Anda di halaman 1dari 6

Page 1 of 6

REVOLUSI MEDIA TELEVISI DAN


KAMPANYE PEMILIHAN UMUM 2014
DI INDONESIA

DEDY MASRY
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
ddy.79id@gmail.com

ABSTRAKSI

Menjelang pesta politik 2014 yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia lima tahun ke depan,
terlihat ada gejala revolusi media, khususnya televisi. Televisi muncul sebagai kekuatan baru yang mampu
menggoyang opini publik dengan tayangan dan iklan-iklan yang disajikan, terutama bagi masyarakat awam.
Kampanye politik melalui media televisi dinilai sangat efektif dan praktis karena jangkauannya yang luas dan
bisa menembus ruang internal golongan manapun. Kecerdasan audiens sangat diperlukan, apalagi para
penguasa atau yang memiliki akses terhadap media massa banyak terjun ke dunia politik, sehingga kenetralan
dan objektifitas sebuah pesan yang ditayangkan melalui televisi sangat diragukan serta independensi yang
dipertanyakan. Tingkat kepopuleran seorang tokoh politik juga sangat dipengaruhi oleh akses yang dimiliki
kepada media. Makin besar akses yang dimiliki kepada suatu media, kesempatan untuk mempengaruhi opini
publik juga semakin besar dan kesempatan memperoleh simpati dan dukungan masyarakat juga semakin
meningkat.

PENDAHULUAN
Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 akan dilaksanakan dua kali yaitu Pemilu Legislatif pada tanggal 9
April 2014 yang akan memilih para anggota dewan legislatif dan Pemilu Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 yang
akan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Masa depan Indonesia 5 tahun kedepan ditentukan oleh pilihan
rakyat Indonesia atas wakilnya yang akan duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) melalui Pemilu Legislatif serta pilihan akan pemimpin bangsa 5 tahun ke depan dalam
Pemilu Presiden.
Bukan pilihan yang mudah bagi bangsa Indonesia untuk dapat memilih wakil-wakil rakyat yang tepat
yaitu yang memiliki kredibilitas, kapabilitas dan tanggungjawab yang tinggi dalam menyuarakan suara-suara
rakyat. Kenyataan yang ada selama ini tidak sedikit dari para wakil rakyat yang terpilih, buta dan tuli dalam
melihat dan mendengarkan nasib serta suara-suara rakyat yang telah memilihnya. Mereka lebih mengutamakan
kepentingan-kepentingan partai, kelompok, golongan dan diri pribadinya daripada mempedulikan rakyat yang
mereka wakili. Ini dibuktikan dengan banyaknya para wakil rakyat yang duduk di kursi persakitan tersandung
berbagai macam kasus.
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia berikutnya akan diselenggarakan pada tahun
2014. Ini akan menjadi pemilihan presiden langsung ketiga di Indonesia dan bagi presiden yang terpilih akan
mempunyai jabatan tersebut pada jangka waktu sampai lima tahun.
Media massa memiliki peran penting dalam Pemilu Legislatif Dan Pemilu Presiden 2014. Khusus untuk
pilpres, publik melalui media mendapat informasi utuh mengenai bakal calon presiden. Informasi dan publikasi
media dalam memberitakan kualitas dan rekam jejak calon presiden menjadi salah satu faktor penentu yang
dapat merobah dan membentuk opini serta menjadi masukan bagi pemilih dalam menentukan pilihannya.

KAJIAN TEORITIS/KONSEP
Kampanye merupakan bagian penting dalam marketing politik. Di samping kampanye resmi yang
diatur undang-undang, sebelum pemilu bahkan sudah ada pemasangan atribut-atribut partai atau gambar-gambar
peorangan yang bisa dianggap sebagai kampanye terselubung. Kampaye politik diperlukan dalam rangka
membangun pencitraan para calon, untuk itu para calon kontestan Pemilu membayar konsultan atau merekrut
orang-orang yang ahli dalam politik untuk menyusun strategi dan skenario yang efektif memenangkan pemilu.
Page 2 of 6

Jika merujuk pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kampanye yaitu kegiatan-kegiatan penyampaian visi, misi, dan program pada waktu tahapan kampanye Pemilu.
Dalam Undang-undang ini, selain waktu, diatur juga soal materi kampanye, metode kampanye, larangan dalam
kampanye dan sanksi atas pelanggaran kampanye, yang semua itu nantinya akan diatur secara lebih teknis dalam
peraturan-peraturan KPU. Permasalahannya, untuk kegiatan-kegiatan diluar tahapan, penyelenggara Pemilu
biasanya tidak bisa mengambil tindakan atau memberikan sanksi terhadap pihak-pihak, baik partai politik
maupun orang-perorang yang melakukan kampanye di luar yang telah diatur dalam undang-undang. Kampanye-
kampanye atau kegiatan berbentuk kampanye melalui media dan pemasangan atribut ini telah terlalu banyak
memenuhi ruang-ruang dan kehidupan kita. Intensitas kegiatan berbentuk kampanye semakin meningkat masa
liburan dan hari besar keagamaan. Kampanye merupakan salah satu bentuk komunikasi politik yang dilakukan
oleh para calon atau elit politik.
Fagen (1966), mengartikan komunikasi politik sebagai segala komunikasi yang terjadi dalam suatu
sistem politik dan antara sistem tersebut dengan lingkungannya. Menurut Dahlan (1999) komunikasi adalah
unsur yang esensial dalam demokrasi. Batasan demokrasi banyak ditentukan oleh komunikasi. komunikasi
menentukan watak dan mutu demokrasi pada suatu masyarakat. Bachtiar Aly (2010), menyebut komunikasi
politik sebagai proses penyampaian pesan politik dari elit politik kepada masyarakat secara timbal balik agar
pesan-pesan politik yang disampaikan memperoleh respons yang diharapkan seperti terjadinya proses
pengambilan keputusan politik secara demokratis, transparan dan tanggung gugat (akuntabiIitas).
Jauh-jauh hari sudah banyak Parpol atau calon tertentu yang sudah berkampanye secara terselubung.
Mereka mulai merebut simpati massa melalui pendekatan-pendekatan persuasif. Semuanya mendadak menjadi
baik hati, lebih perhatian dan lebih peduli terhadap masyarakat. Menjelang pemilu adalah masa dimana Parpol
atau calon melakukan pendekatan kepada massa untuk menarik dukungan dan simpati. Kampanye dan pemilu
pada dasarnya dianggap sebagai suatu ajang berlangsungnya proses komunikasi politik tertentu yang sangat
tinggi intensitasnya. Ini dikarenakan dalam proses interaksi politik berlangsung dalam tempo yang singkat.
Para peserta kampanye berusaha menyakinkan masyarakat sebagai pemberi suara bahwa
kelompok/partainya merupakan kelompok terbaik dibanding dengan kelompok-kelompok lain sehingga layak
untuk dipilih dan memenangkan Pemilu. Pada dasawarsa terakhir, media massa dipandang sebagai satu alat
kampanye yang sangat ampuh digunakan untuk mempublikasikan kelebihan bakal calon atau partai politik
tertentu karena media massa merupakan sarana penyampaian pesan secara langsung kepada masyarakat luas.
Menurut Soehadi, media massa adalah perantara atau alat-alat yang digunakan oleh massa dalam hubungannya
satu sama lain. keefektifan media massa dalam menyampaikan pesan politik telah menjadikannya sebagai ajang
pertempuran politik. Sekarang ini adalah abad atau masa informasi yang membuat siapapun yang memiliki akses
kepada media massa memiliki kemampuan untuk membuat opini publik sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Menurut Mc Quail, secara umum media massa memiliki berbagai fungsi bagi khalayaknya yaitu
pertama, sebagai pemberi informasi; kedua, pemberian komentaratau interpretasi yang membantu pemahaman
makna informasi; ketiga, pembentukan kesepakatan; keempat, korelasi bagian-bagian masyarakat dalam
pemberian respon terhadap lingkungan; kelima, transmisi warisan budaya; dan keenam, ekspresi nilai-nilai dan
simbol budaya yang diperlukan untuk melestarikan identitas dan kesinambungan masyarakat

METODOLOGI
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data dengan
observasi dan studi dokumentasi atau literatur dari jurnal, makalah dan media massa. Menurut Creswell (2003:1)
penelitian kualitatif merupakan sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau manusia,
berdasarkan penciptaan gambaran komprehensif lengkap dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan
informan secara terperinci dan disusun dengan suatu latar alamiah. Dipilihnya penelitian kualitatif karena
peneliti merasa tidak memiliki informasi yang memadai terhadap objek yang diteliti. Hal ini sesuai dengan
pandangan Creswell (2003:9) bahwa untuk penelitian jenis ini, masalah harus digali karena hanya tersedia
sedikit informasi mengenai topik tersebut. Sumber data yaitu data sekunder yang berasal dari buku-buku, media
massa, arsip, dan data penunjang lainnya seperti peristiwa-peristiwa yang diberitakan di media cetak, media
digital dan media online. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model interaktif Hubermen
dan Milles yang terdiri dari tiga hal utama yaitu: (a) Reduksi data; (b) Penyajian data; (c) Penarikan kesimpulan
(Idrus, 2009:146-147).
Page 3 of 6

ANALISIS DAN HASIL ANALISIS
Perhelatan politik yang akan digelar beberapa bulan ke depan merupakan hal yang lumrah bagi negara
yang menganut sistem demokrasi. Menjelang agenda lima tahunan tersebut, saat ini bangsa Indonesia sudah
dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang akan menentukan nasib bangsa lima tahun berikutnya. Kampanye mulai
gencar dilaksanakan untuk menarik simpati masyarakat dan mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya, yang
pada akhirnya menjadi pemenang dalam pertarungan politik tersebut. Kampanye dilakukan agar tingkat
popularitas partai/golongan mendapat tempat di hati masyarakat, karena tingkat popularitas adalah salah satu
faktor yang mempengaruhi dukungan masyakat.

Analisis kampanye dan opini publik
Opini publik merupakan pendapat dari suatu kelompok masyarakat yang diperoleh dari diskusi sosial
dari pihak-pihak yang berkepentingan. Opini publik identik dengan kebebasan, keterbukaan dalam
mengungkapkan ide-ide. Untuk membentuk opini publik atau seseorang, diperlukan adanya pemahaman
terhadap mereka yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap sesuatu, sikap (attitude), persepsi atau
pengalaman tentang suatu objek/peristiwa. (R.P. Abelson)
Opini publik sangat bernilai bagi seseorang yang terlibat dalam ranah politik dengan alasan: (1) opini
publik mewakili citra superioritas, sehingga ada keyakinan bahwa siapa yang menguasai opini publik, maka ia
akan bisa mengendalikan orang lain. (2) opini publik mewakili realitas faktual sehingga individu merasa harus
merespon sebagai cara untuk menunjukkan eksistensi diri. (3) opini publik berhubungan dengan citra, rencana
dan operasi/aksi. Seringkali opini publik ini merefleksikan apa yang menjadi kemauan banyak orang. Karena itu,
seorang yang terlibat dalam dunia politik akan berlomba-lomba memanfaatkan opini publik sebagai basis
argumentasi atas alasan untuk memutuskan sesuatu.
Opini publik hanya dapat berkembang dinegara-negara demokratis dimana terdapat kebebasan bagi tiap
individu untuk mengembangkan pendapatnya dengan lisan, tertulis, gambar-gambar, isyarat dan lambang
lainnya yang dapat dimengerti. Kebebasan untuk menyatakan opini pengembangannya tidak akan terlepas dari
sistem pers yang dianut oleh masyarakat itu sendiri.
Media adalah salah satu faktor yang bisa mempengaruhi opini publik. Tidak dapat dipungkiri bahwa
perkembangan manusia pada zaman modern ini tidak terlepas dari peran media. Pembentukan mental manusia
juga banyak dipengaruhi oleh media, karakter manusia juga sedikit banyak dipengaruhi oleh media. Maka media
semakin marak digunakan sebagai penggiring opini masyarakat menuju pencitraan yang diinginkan. Dengan
demikian, media pun telah menjadi alat pembentuk citra. Terlebih lagi pada masa kampanye, baik di tingkat
daerah, maupun di tingkat nasional. Semua kandidat benar-benar memanfaatkan media secara maksimal. Para
kandidat juga tidak segan-segan mengeluarkan dana kampanye yang besar demi menggiring opini masyarakat
melalui penguasaan media. Maka tidak mengherankan jika para politikus negri ini adalah seorang penguasa
media.
Begitu besarnya peran media massa dalam pembentukan opini publik, dan menjadikannya sebagai alat
mengontruksi masyarakat. Kampanye yang dilakukan melalui media massa ini, seharusnya berlangsung secara
jujur dan objektif. Tanpa bersifat menjatuhkan pencitraan orang lain dan memprofokasi pihak lain. Pemberitaan
dan pengiklan yang dilakukan tidak membuat orang lain berburuk sangka apalagi memanas-manasi karena
fenomena perilaku masyarakat kita yang biasanya mudah bersifat beringas ketika mendapatkan suatu berita
atau informasi. Dan disamping itu sebagai masyarakat, kita dituntut untuk bisa berlaku arif dan bijaksana dalam
menyikapi pemberitaan yang diperoleh serta tidak mudah terpancing sebelum mengetahui kebenaran suatu
berita.
Jadi, kampanye politik yang dilakukan pada media massa yang bisa mempengaruhi bahkan membentuk
opini publik hendaklah dilakukan secara jujur, objektif, tidak provokatif dan menjatuhkan pencitraan orang lain .

Analisis peran televisi dalam menentukan pilihan rakyat
Michael Bauman (2007) menjelaskan adanya fenomena telepolitics yakni bergesernya peran partai dan
munculnya dominasi media, terutama televisi, dalam mempersuasi pemilih. Televisi mampu menyelinap ke
ruang domestik keluarga dan menjadi perantara hubungan yang lebih bersifat impersonal. Berbeda dengan
pertemuan-pertemuan politik konvensional yang mensyaratkan kehadiran seseorang, interaksi melalui televisi
lebih bersifat praktis dan tidak merepotkan pemilih.
Page 4 of 6

Tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya kemajuan teknologi membuat media massa elektronik ini
menjelma menjadi sebuah saluran kampanye terhadap masyarakat. Hal ini dikarenakan hampir setiap orang
memiliki media ini. Oleh karena itu banyak partai atau calon yang akan berkompetisi dalam Pemilu
memanfaatkan hal ini untuk menyampaikan visi dan misi mereka kepada masyarakat luas. Banyak sedikitnnya
penayangan yang berhubungan dengan transformasi ataupun sosialisasi visi dan misi dari sebuah Partai maupun
calon yang dijagokannya akan sangat mempengaruhi penilaian masyarakat terhadapnya. Oleh karena itu, bagi
yang ingin mendapat kemenangan suara harus mampu menguasai media ini dengan penayangan iklannya.
Tetapi tidak sedikit biaya tentunya. Televisi memiliki kemampuan yang besar untuk mempengaruhi pola pikir
masyarakat, terutama masyarakat awam. Apalagi televisi mampu menjangkau semua golongan, termasuk yang
memiliki kekurangan fisik tunarungu dan tunanetra. Seorang tunarungu masih bisa melihat tayangan di televisi,
sedangkan tunanetra masih bisa mendengarkan. Hal inilah yang membuat televisi dijadikan sebagai saluran
kampanye yang efektif. Namun kita juga tidak boleh melupakan salah satu tujuan usaha yaitu tentunya profit.
Artinya kita jangan mudah terpedaya oleh media massa yang mengatasnamakan berimbang dan tidak memihak.
Karena penayangan iklan tentunya tidak gratis. Banyak sedikitnya penayangan ditentukan oleh besar kecilnya
biaya. Selain itu juga kita perlu melihat siapa yang ada di balik media itu. Sedekat apakah hubungan antara
sebuah media dengan pemerintah, Parpol, maupun tokoh politik lainnya? Ini sebagai parameter untuk mengukur
netralitas sebuah media. Karena ini mempengaruhi pada setiap pemberitaan oleh media.
Tentunya kita sering melihat sebuah media lebih condong pada pemerintah atau partai tertentu. Kalau
kita jeli dalam mencermati berita oleh media cetak ataupun elektronik, terkadang pemeberitaan selalu
menyudutkan salah satu pihak dan mengunggulkan pihak yang lain. Selalu mencari kesalahan pihak lawan
tanpa melihat juga kesalahan pihak yang dibela.
Suatu pesan atau berita yang sering diulang-ulang akan dapat menarik perhatian seseorang dibanding
dengan pesan yang kurang banyak diungkapkan. Terlebih jika suatu berita serentak di berbagai surat kabar
maupun televisi ditayangkan. Dalam surat kabar, sebuah berita besar atau yang menjadi topik utama selalu
ditempatkan di halaman depan dengan judul yang menarik dan membuat penasaran ditambah dengan foto yang
mendukung.
Semakin sering seorang tokoh atau berita tentang partai dimuat di halaman itu, maka akan semakin
terkenallah dia. Kita coba ingat kembali berita dalam surat kabar pada waktu menjelang Pemilu 2004. Siapakah
calon, tokoh, atau partai yang sering berpose di halaman utama. Tentunya kita sering melihat berita tentang
tokoh baru tersebut, tentunya seorang figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Nama dan partainya begitu
sering muncul, ditambah dengan berita yang membuat simpati pada tokoh tersebut akibat disia-siakan oleh
pemerintah sewaktu menjabat menteri.
Ternyata media massa baik surat kabar maupun televisi berpengaruh sangat besar bagi pemenangan
dalam Pemilu. Komunikasi politik lebih efektif melalui sarana tidak langsung atau menggunakan media tersebut.
Karena pesan yang disampaikan akan serentak diketahui oleh orang banyak di segala penjuru dan juga dapat
diulang-ulang penayangannya. Persepsi, interpretasi, maupun opini publik mudah dipengaruhi lewat iklan
maupun berita dalam media. Maka untuk menghindari terjadinya disfungsi media, media harus bisa menjadi
penengah atau perantara antara pemerintah, elit partai, dan masyarakat. Di masa reformasi ini, dimana sudah
mulai ada kebebasan pers seharusnya pers harus mengubah pola kerjanya yang semula menjilat pemerintah
karena terpaksa, tetapi sekarang harus netral dan sebagai alat kritik sosial bagi pemerintah maupun masyarakat.

Analisis dampak penguasa media terhadap objektifitas dan netralitas kampanye politik
Di era modernisasi kampanye politik di Indonesia pasca Orde Baru, televisi memang memainkan
peranan yang sangat menentukan dalam mempengaruhi perilaku pemilih. Saiful Mujani dan Liddle
dalam Personality, Party and Voter (2010) bahkan mengatakan bahwa lebih dari 88 persen pemilih di pemilu
2009 mengikuti kampanye politik melalui televisi. Dengan angka penetrasi yang demikian tinggi, menjadi wajar
jika politisi beramai-ramai meningkatkan popularitasnya melalui layar kaca.
Inilah era telepolitics di mana televisi menggantikan organisasi partai politik sebagai saluran sosialisasi
politik. Tayangan-tayangan televisi dari debat presiden, berita, talk show, sampai iklan politik telah memberi
masyarakat akses yang luas terhadap informasi politik. Bentuk-bentuk kampanye langsung telah berganti
menjadi kampanye melalui televisi dan media massa.
Asp dan Esaiasson (1996) memberikan tiga tahapan perubahan model kampanye tersebut yang mereka
sebut sebagai medialization of politics. Tahapan pertama muncul ketika media massa terutama televisi menjadi
Page 5 of 6

kanal dominan yang menghubungkan antara pemerintah, partai politik, dan warga. Proses komunikasi politik
tidak terjadi secara langsung melalui komunikasi interpersonal. Perjumpaan secara fisik berganti dengan citra
artifisial yang direproduksi media. Alih-alih dianggap sebagai warga negara, individu-individu lebih tepat
disebut sebagai penonton dalam kultur baru ini.
Sedangkan tahapan kedua, media tidak lagi hanya menjadi arena politik dan kontestasi ideologis. Media
telah menjadi aktor politik itu sendiri. Televisi melakukan proses menyaring berita yang akan disiarkan.
Penyaringan ini dilakukan secara selektif oleh gatekeepers yang menentukan mana yang pantas diberitakan dan
mana yang harus disembunyikan. Media membentuk dan memobilisasi opini publik mengenai persepsi dan
pemahaman politik. Tujuannya, tentu saja, membentuk agar agenda media beserta berbagai kepentingan politik
di belakangnya menjadi agenda publik.
Tahapan ketiga yang merupakan tahapan terakhir memperlihatkan bentuk dari kekuatan media yang
tak terlihat. Tahap ini terjadi ketika masyarakat atau lebih luas sistem sosial dan politik mengadopsi
bagaimana nalar media bekerja. Masyarakat terjebak dalam rutinitas yang diciptakan oleh media. Semisal
tentang bagaimana logika media mengeluarkan atau menahan satu isu, melakukan konfrontasi, membuka ruang
polemik, sampai personifikasi isu, dan sebagainya.
Televisi telah menjadi elemen komunikasi politik yang perannya melampaui partai politik dan warga.
Aktor-aktor politik harus menggunakan media untuk memastikan pesan-pesannya baik berupa program-
progam politik, pernyataan sikap, maupun kampanye sampai kepada publik. Pengaruh media jauh melampaui
apa yang bisa dilakukan oleh partai politik dalam menyampaikan pesan-pesannya. Konsekuensinya, akses
terhadap media menjadi perhatian utama aktor-aktor politik yang saling bersaing.
Wajar jika saat ini, para pemilik televisi yang juga politikus mendapatkan ruang yang lebih banyak di
televisinya. Berbeda dengan partai-partai politik yang tidak memiliki televisi. Tak perlu repot-repot menghitung
statistik kuantitas kemunculan Hary Tanoe, Surya Paloh, sampai Aburizal Bakrie di stasiun televisi miliknya.
Yang harus diperhatikan, bahaya sekaligus kelemahan kelemahan kampanye politik melalui televisi segera
terlihat terang benderang ketika nalar publik sudah bekerja seiring dengan logika industri televisi.
Banyaknya penguasa televisi yang juga terjun dalam bidang politik membuat kenetralan televisi
sebagai media diragukan. Pasalnya, media televisi yang harusnya bersifat netral terhadap berita-berita di
masyarakat, terutama berita politik, dapat berperan pula sebagai pembentuk opini masyarakat baik langsung
maupun tak langsung.
Sebagaimana diketahui, terdapat tiga bos televisi yang kini mewarnai dunia politik, yaitu Hary
Tanoesoedibjo yang merupakan bos MNC TV, sebuah perusahaan yang membidangi RCTI, Global TV, dan
MNC TV, Aburizal Bakrie sebagai pemilik ANTV dan TVOne, serta Surya Paloh yang memiliki Metro TV.
Penggunaan media TV tersebut sangat dirasakan oleh bos televisi tersebut, karena kerap muncul baik di
iklan politik maupun di pemberitaan. Pendeklarasian Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo menjadi capres dan
cawapres yang akan melaju di pemilu 2014 misalnya, tak melihat dari hasil survey yang berkembang saat ini.
Padahal, elektabilitas mereka dalam survey tergolong rendah. Pemilik TV yang juga merupakan tokoh politik
tersebut menjamin bahwa kenetralan televisi dan media lain yang dikelolanya akan tetap bersifat netral.
Pemred TV One Totok Suryanto menanggapi bahwa iklan sang pemilik, Abruizal Bakrie yang
ditayangkan sudah sesuai prosedur yang berlaku.Adjie Alfaraby dari Lingkaran Survey Indonesia mengaku
bahwa potensi bos televisi untuk menjadi populer dengan media politik berupa TV mereka sangat besar.
Fenomena ini tentu semakin membuat berbagai pihak mempertanyakan independensi media, terutama dalam
media yang merupakan kepemilikan dari tokoh politik.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Media televisi sudah menjadi saluran kampanye yang efektif karena dapat menjangkau seluruh
kalangan sasaran kampanye. Televisi yang juga berperan sebagai media yang berpengaruh besar terhadap
pembentukan opini publik juga sudah mendominasi ranah politik (dominasi media). Terjunnya beberapa nama
pemilik stasiun televisi telah mempengaruhi tingkat kenetralan dan objektifitas pemberitaan, sehingga
independensi media semakin dipertanyakan.

Page 6 of 6

Saran
Berdasarkan hasil pembahasan, penulis memiliki beberapa saran, yaitu: (1) bagi para kandidat yang
akan mengikuti pertarungan politik ketika melakukan kampanye supaya membentuk opini publik yang positif
dan melakukan pencitraan diri tanpa menjatuhkan pencitraan orang lain, (2) media massa seharusnya bersifat
independen dan netral dalam penyampaian berita, sekalipun ada unsur kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu, (3) sebagai masyarakat umum, kita harus cerdas dalam menyikapi segala hal yang berbau provokasi,
apalagi di musim kampanye seperti sekarang.






DAFTAR PUSTAKA


Aly, Bachtiar. 2010. Komunikasi Politik sebagai Penjuru Penyelesaian.
Creswell, John. W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design; Choosing Among Five Traditions, London,
SAGE Publications.
Dahlan, M. Alwi. 1999. Teknologi Informasi dan Demokrasi. Jurnal ISKI No. 4 Oktober.
Rosady Ruslan, Manajemen Humas dan Komunikasi: Konsep dan Aplikasi, Edisi Revisi, Rajawali Press.
Jakarta.2001
Yuniati, Yenni. 2002, Pengaruh berita di Surat Kabar terhadap Persepsi Mahasiswa tentang Politik, Mediator:
Jurnal Komunikasi Vol. 3 Nomor 1 Tahun 2002, Diterbitkan oleh Fikom Unisba, Bandung.
Majalah Indonesia 2014, No.1 Edisi Desember 2013, PT.Sukses Media: Jakarta
Sunajo, Djoenasi. 1984. Opini Publik. Liberti: Yogyakarta
Nurrahmawati. 2002, Pengaruh Jingle Iklan Teh Botol Sosro di RCTI terhadap Pengingatan Merek Barang
pada Pemirsa Remaja Pelajar SMUN Bandung, Mediator Jurnal Komunikasi, Volume 3 Nomor 1 Tahun
2002, Diterbitkan oleh Fikom Unisba, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai