Anda di halaman 1dari 31

Siap-siap Nikah!

Posted on October 16, 2009 by Gibran Huzaifah


Oleh: Nur Isna (Biologi 2007)
Mungkin karena memang sudah memasuki umurnya, tema yang sering dibicarakan lingkungan
sekitar saya mulai mengarah kepada satu topik, baik serius maupun santai. Kalo kalian nebak
Nikah, 100 buat kalian 100 buat saya. Jangan ngutang lama2 yah..haha, naoon
Ok, kembali ke topik. Berhubungan dengan topik pernikahan ini, pastinya harus ada persiapan
dulu kan? Gak mungkin kalo tiba-tiba menikah tanpa ada persiapan. Yah, mungkin aja sih..tapi
mungkin manisnya cuma sesaat sisanya malah jd beban (Nuaudzubillahi min dzalik). Nah, biar
gak nyesel ada sedikit bocoran buat yg sedang atau akan mempersiapkan pernikahan. Saya sadur
dari buku Siap-siap Nikah karangan Syamsa Hawa.
Ada hal yang penting sebelum memikirkan resepsi dan kawan-kawannya, yaitu paradigma
menikah. Paradigma ini yang akan mendorong atau malah menghambat seseorang untuk
melakukan pernikahan. Ada macam-macam paradigma, baik maupun buruk. Menurut Syamsa
Hawa, paradigma-paradigma ini terbentuk dari pengalaman (orang lain atau keluarga dekat),
perasaan, latar belakang sejarah, dan pemikiran yang bersifat pribadi. Tapi, kalo kalian masih
terpaku dengan paradigma yang kurang baik seperti menganggap pernikahan sebagai beban
sehingga enggan menikah, ada baiknya kalo kalian membuka mata hati dan pikiran kalian.
Karena kalau ditilik lagi menikah itu termasuk ibadah urgent terutama bagi yang sudah siap dan
dianggap mampu. Bahkan manusia diibaratkan belum lengkap agamanya bila belum menikah,
karena menikah itu separuh agama. Coba deh liat lagi QS Ar-Ruum:21,
Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah Dia menciptakan pasangan-pasangan
untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Nah, kalo paradigmanya udah ada yang dibutuhkan adalah persiapan. Persiapan ini dibagi dua
jadi persiapan internal dan persiapan eksternal. Persiapan internal ini mencakup persiapan
mental, ilmu, finansial, fisik, ruhiyah dan doa. Sedangkan persiapan eksternal termasuk
pengondisian orang tua, keluarga, teman-teman, dan calon.
Persiapan Internal
1. Persiapan Mental. Persiapan penting banget karena gak sedikit orang yang udah mampu
tapi masih ngerasa gak siap nikah. Bahkan sebagian besar paradigma nikah yang
membuat orang enggan menikah diakibatkan mental yang kurang siap, antara lain karena
merasa menikah gak penting, trauma, tekanan keluarga, dll. Buat yang merasa termasuk
orang-orang dengan pikiran seperti ini coba kalian liat lagi QS Ar-Ruum: 21. Disana kan
sudah dijelaskan bahwa Allah menganjurkan pernikahan agar kita cenderung merasa
tentram, dan kasih sayang. Gak mungkin kan Allah menganjurkan kita kepada hal-hal
yang tidak baik. Cobalah untuk melihat segala sesuatu lebih positif;)
2. Persiapan Ilmu. Pernikahan itu tidak hanya butuh persiapan metal, namun persiapan ilmu
dan skill. Ilmu yang penting dalam persiapan membangun bahtera rumah tangga ini yaitu
ilmu manajemen, ilmu kesehatan, ilmu komunikasi, ilmu tentang anak, dan ilmu tentang
seks. Untuk lengkapnya kalian bisa baca buku2 yang berkaitan dengan ilmu2 tersebut
karena kalau dibahas disini bakal panjang banget.
3. Persiapan Finansial. Persiapan finansial gak cuma siap-siap menjelang resepsi aja tapi
lebih dititikberatkan pada kesiapan menafkahi dan mensiasati keuangan pasca
pernikahan. Bersiaplah secara finansial, karena menurut survey 80% keretakan dalam
rumah tangga terjadi karena masalah keuangan.
4. Persiapan Fisik. Memang inner beauty adalah hal yang utama. Tapi, apa salahnya kalo
kita ngerawat outer beauty juga. Toh, demi kebaikan diri kita dan keluarga juga.
Contohnya rajin mandi, jauhi rokok, dan rajin medical check up. Kita sehat, kita juga
yang lebih untung kan. Karena kesehatan itu sangat mendukung produktivitas kerja loh:)
5. Persiapan Ruhiyah dan Doa. Nah, persiapan ini yang paling penting karena laki-laki
yang baik akan mendapatkan perempuan yang baik, begitu pula sebaliknya. Jangan lupa
juga untuk tetap berdoa, karena doa merupakan hal kecil yang membawa dampak besar
loh.
Persiapan Eksternal
1. Ortu. Pengondisian ortu penting banget agar ortu tidak terkejut jika rencana hidupmu
ternyata berbeda dengan keinginan mereka dan hal ini harus dilakukan sejak awal.
Misalnya kalo kalian pengen nikah dini, coba diskusikan lebih dulu dengan ortu dengan
senyaman mungkin
2. Keluarga. Keluarga disini termasuk saudara dan kerabat. Ini juga penting untuk menjaga
perasaan. Apalagi kalo kalian punya kakak tapi belum terpikir menikah dan takutnya
merasa dilangkahi oleh kalian yang sudah terpikir untuk menikah terlebih dulu. Atau
siapa tau mereka mau membantu mencarikan jodoh yang terbaik untukmu.
3. Teman-teman. Pengondisian ini penting biar tidak menimbulkan fitnah dengan perilaku
kita. Sharing ini juga bisa meningkatkan kemantapan dan kekuatan alasanmu atau bisa
jadi juga kamu memperoleh jodoh dari kenalan temanmu sendiri.
4. Calon. Ini yang gak kalah penting. Jangan sekedar mencari sosok yang ideal, tapi carilah
calon yang tepat. Syukur-syukur kalo dapet calon yang tepat dan ideal. Amin..Calon yang
tepat itu penting karena pernikahan itu bukan buat bangga-banggaan, tapi untuk
selamanya. Karena kalo kalian emang berjodoh, nanti kamu akan dipertemukan lagi di
syurga. Insya Allah..
Nah, kira-kira itu persiapan yang diperlukan sebelum kalian menikah. Ada yang mau nambahin
lagi?Mangga dikomen langsung aja..:)
Islam membolehkan pacaran ?
on Kamis, 09 Juli 2009
Ketika pacaran sudah menjadi budaya yang menggurita, maka
mengatakan 'tidak' untuk pacaran adalah perjuangan yang sungguh berat. Karenanya banyak
yang kemudian berpikir untuk 'menerima' pacaran, dengan logika dan dalil-dalil yang bisa
memuaskan sebagian orang. Tidak heran jika kemudian muncul 'pembolehan' pacaran dengan
atas nama 'psikologi', 'hak asasi', 'cinta adalah fitrah', bahkan terkadang atas nama ' Islam' . Nah !
Khusus yang terakhir ini, yang membawa-bawa nama Islam, kita perlu bahas lebih lanjut.

Islam membolehkan pacaran ? Akan sangat mudah bagi mereka yang mau dan tidak malu.
Tinggal pilih-pilih dalil yang melegakan tentang nilai-nilai cinta secara universal, jadilah pacaran
itu boleh. Saya pernah satu forum dengan 'ustadz' -yang kebetulan memakai blangkon- , ketika
ditanyakan padanya tentang hukum pacaran. Maka segera saja meluncur dalil-dalil cinta
universal dalam Islam, yaitu ukhuwah islamiyah. Dengan bahasa arab yang fasih, mulailah
beliau menyitir dalil sabda Rasulullah SAW : Tidak beriman seorang dari kamu, hingga
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR Bukhori & Muslim). Nah,
jadilah cinta kepada saudara se-islam menjadi dalil pendukung pacaran.

Bagitu pula saat mendengat ayat, Allah SWT berfirman : Hai manusia, Sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Al-Hujurot 13).
Beberapa dengan percaya diri menyatakan bahwa pacaran , tidak lain dan tidak bukan adalah
upaya saling mengenal antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana disebutkan dengan jelas
pada ayat di atas. Maka jadilah mereka bersemangat dalam pacaran, sebagai sebuah usaha
mengimplementasikan ajaran Al-Quran untuk saling mengenal antara laki-laki dan perempuan.
Alaaah..alaah !

Sebenarnya banyak hadits lain tentang nilai cinta ukhuwah yang universal yang sering
disempitkan menjadi cinta antara dua sejoli. Bahkan lebih dikerucutkan kepada aktifitas-aktifitas
khusus pacaran. Misalnya saja, tentang 'menembak' sang incaran dengan kata 'aku suka kamu'
atau 'aku cinta kamu'. Aktifitas ini kadang dihubung-hubungkan dengan sebuah hadits :

Dari Anas bin Malik ra, bahwasanya ada seorang bersama dengan Nabi SAW, kemudian
lewatlah seorang laki-laki lain. Laki-laki (yang bersama Nabi) itu mengatakan : Ya Rasulullah,
Sungguh aku mencintai laki-laki itu . Maka Rasulullah SAW menjawab padanya : " Apakah
engkau sudah beritahukan (rasa cintamu) kepada dia ?. Dia menjawab : Belum. Lalu Rasulullah
SAW mengatakan : (jika begitu) Beritahukan pada dia. Maka kemudian ia menyusul laki-laki
tersebut dan mengatakan " Inni uhibbuka fillah" (aku mencintaimu karena Allah), maka laki-laki
tersebut menjawab : Semoga Allah yang engkau mencintaiku karena-Nya, juga mencintaimu ! "
(HR Abu Dawud dengan isnad shahih)

Nah, berlandaskan hadits di atas, ada yang melegalkan aktifitas 'menembak' lawan jenisnya
untuk melamar jadi pacar dengan ungkapan : Aku cinta kamu, sebagaimana di isyaratkan dalam
hadits tersebut. Lagi-lagi kasusnya sama, makna 'cinta' yang begitu luas dalam ukhuwah Islam
kembali disempitkan atas nama cinta dua sejoli. Bahkan agar terkesan lebih islami dan
menggetarkan, ada juga yang tanpa tedeng aling-aling menyatakan : " Aku mencintaimu karena
Allah ! ". Tidak lupa dihiasi dengan tatapan mata yang sayu penuh harap. Itu sebuah statemen
yang harus dipertanggungjawabkan kelak. Bagaimana mungkin mencintai seseorang karena
Allah, tapi pada saat yang sama melecehkan aturan-aturan Islam dalam masalah pergaulan lawan
jenis. Astaghfirullah.

Misal yang lain, ada yang membolehkan 'aktifitas pacaran' berupa apel malam minggu, jalan-
jalan dan makan-makan, asal ada yang nemeni. Ada satpam atau pihak ketiga yang bertugas
melakukan pengawasan. Bisa jadi sang adik, kakak, tetangga, atau bahkan ortu sendiri yang ikut
nemeni sang gadis saat si doi apel ke rumahnya. Dengan kata lain, selama aktifitas tidak
berduaan maka pacaran menjadi sah dalam pandangan mereka. Hadits yang dipaksa untuk
digunakan dalam hal ini :

Dari Jabir bin Abdullah ra, Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka janganlah ia menyendiri ( berduaan) bersama seorang wanita tanpa ditemani
mahromnya, karena yang ketiganya adalah setan" (HR Ahmad)
Dari hadits di atas, diambillah sebuah kesimpulan yang sederhana : boleh pacaran asal ditemeni.
Jadi jika sang pacar datang ke rumah, para orang tua ikut menemani ngobrol. Atau bisa juga
mengawasi dari jarak jauh, jika sang pacar mulai senyum-senyum merapat, akan ada suara
batuk-batuk dari kejauhan. Wah ..wah..

Lebih parah lagi kalau ada yang menyatakan ; yang penting orang tua setuju dan ridho anaknya
pacaran ? Bukankah dalam hadits disebutkan : Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda :
keridhoan Rabb (Allah) ada dalam keridhoan kedua orang tua, dan kemurkaan Allah ada pada
kemurkaan kedua orangtua (HR Thobroni, Baihaqi dalam Sya'bul Iman, Albani
menshahihkannya) Nah, jika para orang tua saja sudah rela anaknya di pacari, bahkan banyak
juga yang bangga jika anaknya sudah ada yang ngapeli, lalu apa urusannya melarang-larang
orang pacaran ? .

Hari ini banyak kita lihat, betapa banyak orang tua yang khawatir saat anak gadisnya tak kunjung
punya pacar. Lalu mereka menggunakan beragam cara agar tampilan si gadis lebih cantik dan
menarik. Jika si gadis kebetulan berjilbab, maka terkadang di paksa untuk melepas jilbabnya.
Naudzubillah.

Ada juga yang diminta berhias dengan sungguh-sungguh, agar jika keluar rumah bisa terlihat
menyala-nyala. Bak model iklan, di jalan nanti akan banyak yang melirik dan terpana, siapa tahu
salah seorang akan meminang anak gadisnya jadi sang pacar. Maka jika di lain hari, sang cowok
itu benar-benar datang menyapa anak gadis dan berkunjung ke rumahnya, sang ortu -khususnya
ibu- ini benar-benar terlihat lega dan bahagia. Akan ada suguhan spesial bagi sang cowok,
sapaan hangat dan apa saja yang membuat sang cowok itu betah berlama-lama memacari anak
gadisnya. Duuh..

Itu baru yang rela atau ridho anaknya pacaran. Banyak juga yang lainnya bukan sekedar ridho,
tapi justru malah menyuruh anaknya pacaran ! Apapun, entah orang tua 'sekedar' ridho atau
justru memerintahkan pacaran, sesungguhnya yang namanya maksiat itu tetap bernilai maksiat,
meskipun ditutup-tutupi dengan kerihoan orang tua, perintah orang tua, panggilan cinta yang
fitrah, nilai kemanusiaan dan lain sebagainya. Meninggalkan masksiat adalah perintah dari Allah
SWT, yang tidak bisa dikalahkan dengan perintah-perintah makhluk di bawahnya. Karenanya
sungguh bijak ketika Rasulullah SAW sejak awal sudah mengantisipasi hal ini. Dalam haditsnya
beliau bersabda : Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu
hanya ada pada perbuatan yang baik (HR Bukhori dan Muslim dari Ali bin Abi Tholib ra)

Hakikat dalam aktifitas pacaran adalah kemaksiatan , bukan sekedar satu dua maksiat tapi bisa
jadi menjadi siklus kemaksiatan yang berputar dan terus berputar. Karenanya, pembolehan
pacaran dengan dalil dan logika manapun, hanya akan berkisar seputar usaha menutup-nutupi
pacaran sebagai sebuah kemaksiatan. Banyak yang mengeskplorasi begitu jauh tentang manfaat-
manfaat pacaran agar terlihat nilai positif pacaran. Dari mulai tambahan motivasi belajar,
keluwesan dalam bergaul, pendidikan seks hingga alasan klasik ; 'penjajagan' pra nikah !.

Itu semua menjadi impian semu yang selalu gagal untuk dicapai. Bukannya termotivasi belajar,
tapi nilai ujian justru turun drastis sepanjang sejarah perkuliahan atau sekolahnya. Bukannya
pendidikan seks yang dicapai, tapi justru langsung praktik seksual yang didapat dengan mudah
dan murah tanpa ikatan yang halal sedikitpun. Bukannya penjajagan pra nikah, tetapi benar-
benar penjajagan bagaimana nanti kalau sudah nikah ! Makanya banyak yang sudah
berhubungan suami-istri dengan pacarnya hanya karena 'janji untuk menikah'.

Akhirnya, saya mengajak pada mereka yang 'sempat' membolehkan pacaran. Baik dari kalangan
sosiolog, pendidik, maupun para orangtua. Agar berpikir lebih jernih sebelum membuka kran
kebebasan untuk pacaran. Sedikit saja ada celah untuk membolehkan berpacaran, maka
berikutnya yang ada adalah 'siklus kemaksiatan' yang terus berputar. Ibaratnya dalam masalah
kecanduan narkoba, yang menjadi pemicu awal biasanya adalah 'kebolehan' untuk merokok. Dari
rokok remaja kita belajar banyak tentang obat-obatan, dari yang sederhana hingga jenis yang
paling membahayakan.

Karenanya, jika hari ini kita mengatakan 'silahkan berpacaran' pada anak-anak gadis dan remaja
kita. Itu bagaikan mendekatkan tabung gas dengan sumber api yang menyala. Tidak ada yang
menjamin bahwa tidak akan terjadi ledakan, letupan , atau mungkin hanya sekedar asap panas
yang membumbung tinggi. Demikian pula remaja kita, saat mendapat ijin untuk berpacaran,
maka tidak ada yang menjamin bahwa tidak akan terjadi hubungan badan, ciuman, belaian atau
mungkin 'sekedar' sentuhan dan remasan jari. Semua itu adalah kemaksiatan. Bahkan bukan
cuma satu dua kemaksiatan, tapi (sekali lagi) siklus kemaksiatan yang berputar dan terus
berputar. Efek domino pacaran, begitu kami menyebutnya

Mewacanakan Nikah pada Orangtua
on Minggu, 31 Mei 2009
Assalamualaikum wr wb
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menyatukan hati-hati kita. Semoga forum ahad pagi
ini bisa lebih mengikat ukhuwah diantara kita. Sebagaimana sering dalam membuka sebuah
majelis, saya menyampaikan beberapa harapan :

Di awal majelis ini mari kita berniat Agar iman kita meningkat Ilmu yang berguna di dapat
Ukhuwah kita semakin erat Serta amal semakin semangat

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada Nabi kita Muhammad SAW, keluarga dan
sahabat, serta seluruh kaum muslimin yang istiqomah menjalankan risalah islam hingga hari
akhir nanti.

Kajian ahad ini (31 Desember 2009) di grup facebook (KAJIAN PRA NIKAH) kita akan
sedikit membahas tentang : Rencana Pernikahan dan Orang Tua. Banyak keluhan, curhat atau
pertanyaan yang masuk pada saya seputar hal tersebut. Dari mulai pihak orangtua yang shock
dengan teror dari anaknya yang meminta menikah dengan bertubi-tubi, hingga larangan para ortu
pada anaknya untuk menikah karena masalah ekonomi dan yang semacamnya.

Sepertinya banyak alasan para orangtua belum mengijinkan anaknya untuk menikah, bahkan
sampai pada tahapan ada yang sakit jika anaknya kembali membicarakan tentang pernikahan.
Namun diantara sekian alasan itu, barangkali ada beberapa hal yang sering muncul di benak para
orang tua tentang pernikahan putra-putrinya.

1. Merasa Pernikahan itu tidak perlu cepat-cepat, bisa nanti-nanti saja, apalagi bagi yang anaknya
laki-laki.
2. Merasa sang anak belum mampu dan mandiri secara ekonomi.
3. Merasa khawatir dengan pasangan anaknya nanti, apakah sholeh atau tidak , dan sebagainya.
Bahkan mungkin sebagian sudah ada yang menyiapkan jodoh bagi anaknya.

Nah, ada beberapa hal yang perlu dijalankan seorang akh/ukhti sebelum berproses menuju
pernikahan. Semuanya dijalankan dengan penuh kesungguhan dan lemah-lembut. Jangan
memaksakan niat mulia ini dengan cara yang tidak mulia. Beberapa hal tersebut antara lain :

Pertama : Menunjukkan Prestasi dan Kemampuan Diri

Hendaknya para akhi/ukhti bisa menunjukkan pada kedua orangtuanya bahwa mereka ini telah
layak menikah. Bukan lagi anak kecil yang ingin dimanja, bukan lagi sekedar mahasiswa
biasa yang menanti-nanti gelar sarjana. Yakinkan orangtua dengan parade prestasi, maka insya
Allah akan membukakan hati para orang tua untuk menyatakan : oo.. ternyata anak saya mampu.

Karenanya, berprestasilah terlebih dahulu dan tunjukkan pada orang tua agar mereka bisa tenang
saat merestui anaknya berproses menuju pernikahan.
Ingat ungkapan salah satu putri Syuaib yang diabadikan dalam Al-Quran :



Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya". (Qoshos 26)

Nah, ketika para orangtua sudah cukup merasa tenang bahwa anaknya punya karakter Kuat dan
Terpercaya atau mempunya Performance dan Kredibilitas yang baik, maka insya Allah mereka
akan menyetujui setiap usulan dari anaknya, termasuk usulan nikah. Jadi, buktikan dulu pada
para orangtua bahwa Anda telah banyak mengukir berprestasi .

Kedua : Memberikan Penjelasan tentang Anjuran Menyegerakan Pernikahan

Terkadang orang-orang tua merasa tenang-tenang saja dengan isu pernikahan. Mereka belum
sadar bahwa usia semakin menua dan saatnya untuk menimang cucu telah tiba. Karenanya
berikan pemahaman bahwa urusan nikah adalah ibadah mulia yang juga mengikuti kaidah :
Lebih Cepat Lebih Baik , hal ini tentu senada dengan isyarat dalam sebuah hadits :
:
: : "
."

Dari Ali ra, Rasulullah SAW bersabda : Wahai Ali, tiga hal yang jangan engkau tunda-tunda
(yaitu) : Sholat ketika telah datang waktunya, jenazah yang sudah siap (dimakamkan), dan
bujangan yang sudah menemukan pasangannya (yg sekufu) (HR Tirmidzi dan Ahmad)

Ketiga : Curhat pada Orangtua tentang Kegelisahan Hati dan banyaknya Godaan di luar
sana

Barangkali para orangtua belum sadar sepenuhnya bagaimana kondisi dunia luar yang bisa
mengotori hati putra-putrinya. Di sana ada pemandangan syahwati yang bertaburan di jalanan
dan sekolahan. Di sana ada satu dua pandangan dan sapaan yang melenakan. Di sana ada
ucapan-ucapan indah yang mengotori niat dan hati. Belum lagi dengan iringan lagu-lagu
romantis yang senantiasa memprovokasi.

Seorang akhi/ukhti hendaklah dengan jujur menyampaikan kegelisahan ini. Dan dari sanalah
kemudian muncul keinginan untuk segera membentengi diri. Mengakhiri segala bentuk
romantisme semua yang tiada henti. Sampaikan pada orangtua bahwa anaknya ini ingin menikah
untuk menjaga diri dan juga kehormatan keluarga.

Barangkali hadits di bahwa ini bisa jadi bekal untuk berdiskusi :


) :

.(
Dari Abu Hurairah ra , Rasulullah SAW bersabda : Ada tiga orang yang wajib bagi Allah
menolongnya : orang yang berjihad di jalan Allah, budak Mukatib yang ingin membayar
pembebasannya, dan seorang yang ingin menikah untuk menjaga dirinya (HR Tirmidzi)

Keempat : Meyakinkan tentang rizki dan tekad kuat untuk mandiri

Sungguh kurang layak mengajukan pernikah pada orangtua jika kantong ini belum terisi dari
keringat kita sendiri. Memang ada satu dua kasus dimana orangtua sholih sangat inisiatif dalam
membantu pernikahan anaknya secara finansial. Barangkali ia terinspirasi dengan Nabi Syuaib
yang begitu kooperatif membantu pernikahan putrinya dengan nabi Musa as. Tapi saya yakin
tidak banyak orang tua yang semacam itu.

Nah, jadilah kita harus berjanji-janji bak politisi untuk mewujudkan kemandirian ekonomi.
Sampaikan langkah-langkah Anda ke depan dalam memenuhi kebutuhan dasar sebuah
pernikahan. Jika ada satu dua keluarga yang tulus membantu, terima dengan tangan terbuka tapi
tidak dalam arti melenakan kita untuk mencari dengan keringat kita sendiri.

Jangan lupa mengingatkan konsep ekonomi Ketuhanan yaitu pernikahan adalah salah satu
pintu-pintu rizki di muka bumi ini. Betapa banyak yang menjadi kaya dan bersemangat dalam
berusaha saat di rumah telah ada bidadari yang memotivasi. Yakinkan para orang tua dengan
ayat monumental tentang pernikahan dan rizki
:

32)

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS An-Nuur 32)


Kelima : Menyampaikan bahwa Akhlak dan Agama adalah Prioritas Utama dalam
mencari pasangan nantinya
Terakhir, meyakinkan bahwa calon mantu nanti adalah sosok yang terpilih karena keshalihan
dan agamanya. Bukan sekedar tampan dan cantik karena ini bukan audisi model dan artis, bukan
pula sekedar kaya raya karena ini bukanlah membuat perusahaan komersial. Tapi yang dicari
adalah dua kriteria utama : Akhlak dan Agamanya.

Perlu juga diingatkan pada para orangtua ini dua karakter ini sejak awal, jangan sampai mereka
mengharapkan kriteria bermacam-macam yang barangkali justru tidak islami dan mempersulit
anaknya dalam menemukan jodohnya. Cukuplah bagi para orangtua peringatan Rasulullah SAW
dalam haditsnya :


" :



Dari Abu Hatim ra, Rasulullah SAW bersabda : Jika telah datang (melamar) padamu seorang
yang engkau ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dg anakmu), jika engkau tidak
melakukannya maka akan muncul fitnah di muka bumi ini dan kerusakan yang besar ( HR
Tirmidzi dengan sanad yang baik)

Akhirnya, masih banyak tahapan yang harus akhi/ukhti jalankan sebelum memasuki sebuah
proses pernikahan. Akan ada hambatan, bahkan mungkin tangisan, tapi yakinlah itu semua akan
semakin mendewasakan dan mengokohkan hati untuk menghadapi lebih banyak lagi tantangan
usai pernikahan.

Wallahu alam bisshowab. Semoga Allah SWT memberikan kita kekuatan untuk memahami apa
yang kita kaji pagi ini, menjalankannya dengan sepenuh hati. Serta, -tentu saja-
mendakwahkannya pada yang lain.
Wassalamualaikum wr wb.
Ragam Macam Hukum Pernikahan
on Senin, 08 Juni 2009
Alhamdulillah, tanpa terasa sepekan begitu cepat berlalu. Pagi ini
saatnya kembali mengkaji secuil ilmu tentang pernikahan. Begitu banyak usulan untuk tema-
tema kajian pernikahan, sangat beragam, dan menantang untuk segera dituliskan. Memang
pernikahan adalah dunia yang dipenuhi dengan tema-tema pendahulan. Baik secara ilmu dasar
filosofisnya, hingga masalah teknis-teknis yang diperlukan menjelang pernikahan, semuanya
begitu banyak dan beragam. Karenanya mohon maaf jika usulan-usulan yang masuk belum
segera direalisasikan. Insya Allah jika grup kita ini istiqomah, usulan-usulan tersebut dapat juga
diwujudkan. Amin.

Untuk pekan ini, kita akan membahas ragam macam hukum pernikahan. Agar lebih jelas bagi
kita khususnya ikhwan dan akhwat bujangan apakah saat ini sudah tepat saatnya untuk
menikah, ataukah barangkali masih sekedar keinginan-keinginan sesaat disaat hati merasa sepi.
Agar kita bisa lebih arif bahwasanya tidak setiap keinginan itu harus dipaksakan, tidak setiap
hasrat harus segera dipenuhi. Semua ada aturannya. Semua ada batasan-batasannya.

Pertama : Hukum Menikah menjadi wajib,
Menikah bagi sebagian besar ulama menjadi wajib hukumnya, ketika seorang itu :
Telah mempunyai kemampuan untuk memberikan nafkah finansial pada keluarganya
Berada dalam lingkungan yang memungkinkan terjerumus dalam kezinaan
Latar belakang keimanan dan keshalihannya belum memadai
Puasa sudah tidak mampu lagi menahan gejolak dan kegelisahannya
Hal ini bersandarkan bahwa : menahan dan menjauhi dari kekejian adalah suatu hal yang wajib,
dan jika yang wajib itu tidak terpenuhi selain dengan menikah, maka dengan sendirinya menikah
itu menjadi ikut wajib hakimnya. Kaidah ini dikenal dengan nama : maa lam yatimmu al-wajib
illa bihi fahuwa wajib .

Kedua : Hukum Menikah menjadi Haram
Seseorang diharamkan baginya menikah, ketika bisa dipastikan (berdasarkan pengalaman dan
dhahirnya) bahwa dalam pernikahan itu ia akan menzalimi istrinya. Salah satu contohnya yaitu :
jelas-jelas tidak mampu memberikan nafkah finansial pada istrinya.
Atau dalam kondisi tidak bisa menjalankan kewajibannya kepada suami/istrinya nanti, semisal :
tidak punya kemampuan dalam hubungan suami istri.

Hukum haram ini bisa menjadi berubah saat dipastikan ternyata kondisi-kondisi tersebut telah
diperbaiki. Lalu pertanyaan yang menarik selanjutnya adalah : Bagaimana jika seseorang berada
pada kondisi yang berbahaya mengarah pada zina, dan pada saat yang sama dia belum
mempunyai kemampuan finansial yang cukup ? . Maka solusi sementara untuk hal ini adalah
menjaga diri dengan berpuasa. Karena jika bertemunya wajib dengan haram, maka yang
haramlah yang harus dijauhi terlebih dahulu.

Allah SWT berfirman Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. (QS An- Nuur ayat 33)

Dari Ibnu Masud, Rasulullah SAW bersabda : Wahai segenap pemuda, barang siapa diantara
kamu telah mempunyai kemampuan (jimak) maka hendaklah segera menikah, karena itu lebih
menundukkan pandangan, dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu (memberi
nafkah) maka hendaklah ia berpuasa, karena itu menjadi perisai baginya (HR Jamaah)
Ketiga : Hukum Menikah menjadi Makruh
Yaitu ketika seseorang berada dalam kondisi yang dikhawatirkan (bukan dipastikan) akan
menimbulkan bahaya dan kerugian jika menikah nantinya, misalnya karena beberapa faktor
sebagai berikut :
karena ketidakmampuannya dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya, atau mempunyai
penghasilan tetapi sangat belum layak.
Atau bisa juga karena track record kejiwaannya yang belum stabil, seperti emosional dan ringan
tangan
Atau ada kecenderungan tidak mempunyai keinginan terhadap istrinya, sehingga dikhawatirkan
nanti akan menyia-nyiakan istrinya

Keempat : Hukum Pernikahan menjadi Sunnah
Terakhir, jika seseorang berada dalam kondisi pertengahan maka hukum menikah kembali
kepada asalnya yaitu sunnah mustahabbah atau dianjurkan. Yaitu jika seseorang dalam kondisi :
Mempunyai daya dukung finansial yang mencukupi secara standar
Tidak dikhawatirkan terjerumus dalam perzinaan karena lingkungan yang baik serta kualitas
keshalihan yang terjaga.

Dalil yang menunjukkan hukum asal sunnah sebuah pernikahan, diantaranya adalah yang
diriwayakan anas bin malik ra. Yaitu ketika datang tiga sahabat menanyakan pada istri-istri nabi
tentang ibadah beliau SAW, kemudian mereka bersemangat ingin menirunya hingga masing-
masing mendeklarasikan program ibadah andalannya :
Ada yang mengatakan akan shalat malam terus menerus
Ada yang mengatakan akan puasa terus menerus
Ada yang mengatakan tidak akan menikah selamanya
Dan puncaknya, ketika Rasulullah SAW mendengar hal ini, beliau segera bereaksi keras dan
memberikan statemen yang cukup jelas tentang hal tersebut. Beliau bersabda : Demi Allah ..
sungguh aku ini yang paling takut kepada Allah di antara kamu sekalian, aku juga yang paling
bertakwa pada-Nya, tetapi aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan
aku juga menikahi wahita. Maka barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka bukanlah
bagian dariku (HR Bukhori)

Nah, jika urusannya adalah sunnah, maka insya Allah lebih baik untuk disegerakan. Saya ingat
sebuah kisah nyata yang dulu sering saya sampaikan pada ibu saya jauh-jauh hari sebelum
akhirnya menikah. Kisahnya seorang pemuda mesir yang belajar di Amerika. Pada tahun
pertama, ia minta ijin pada ibunya untuk menikah, tapi oleh ibunya dilarang. Begitu pula tahun
kedua, dan ketiga ia mengulangi lagi permintaan untuk menikah, dan senantiasa juga ditolak.
Hingga akhirnya di tahun keempat dan kelulusannya, ibunya datang dan mengatakan sekaranglah
saatnya menikah. Maka sang anak menjawab dengan enteng : ibu, sekarang saya tidak
memerlukan pernikahan, di Amerika ini saya bisa memenuhi kebutuhan biologis saya tanpa
harus menikah. Bukankah dulu ibu melarang saya menikah, ketika saya benar-benar
membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan biologis saya ?Wal iyyadz billah.

Ikhwan dan akhwat sekalian, marilah mengkaji ulang status dan kondisi kita hari ini. Apakah
telah sampai pada kita kewajiban menikah ? sunnah, atau barangkali justru masih dalam status
makruh ? Anda lebih tahu jawabannya. wallahu alam bisshowab

Kriteria Teman Sejati - Bagian 1
on Minggu, 14 Juni 2009
Assalamu'alaikum wr wb.
Alhamdulillah, ahad ini adalah kajian yang ke-empat dalam grup FB ini. Sampai sejauh ini,
begitu banyak member yang terdaftar. Insya Allah itu menunjukkan semangat yang kuat dalam
mencari ilmu menuju gerbang pernikahan. Semoga semangat itu diikuti dengan keseriusan demi
keseriusan, yang akhirnya benar-benar mengantarkan pada pernikahan. Grup ini sebenarnya
unik, karena bukan saja mengharapkan 'penambahan' jumlah anggota, tapi barangkali juga
sekaligus berharap 'penurunan' jumlah Anggota. Tentu saja pengurangan yang dimaksud adalah
ketika anggota KAJIAN PRA NIKAH ini telah sukses menikah sesuai harapan.

Untuk pekan ini, kita akan selangkah lebih mendekat ke pintu pernikahan. Setelah kita berhasil
meluruskan motivasi kita dalam menikah, kemudian berhasil mewacanakan pernikahan pada
orang tua kita, kemudian kita juga memahami hukum pernikahan yang update bagi diri kita,
maka kini saatnya memahami tentang kriteria pasangan ideal dalam Islam.

Ada beberapa kriteria yang ditekankan oleh ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, yang mungkin
secara khusus berlaku untuk wanita (calon istri) tetapi secara umum, bisa kita ambil filosofisnya
atau tema besarnya juga berlaku untuk kriteria laki-laki.

Pertama : Mempunyai pemahaman dan pengamalan agama yang baik

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : Seorang wanita dinikahi karena empat hal :
hartanya, nasab keluarganya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah yang baik agamanya,
niscaya engkau akan beruntung" (HR Bukhori dan Muslim)

Ada sebuah anekdot yang unik dalam masalah ini, yaitu dalam pandangan ikhwan , semua
akhwat yang komitmen dengan hijab dan aktif dalam dakwah berarti telah terwakili dari sisi
agamanya. Maka kemudian mereka berpikir, " sekarang tinggal mencari sisi kecantikannya ".
Ya, barangkali itulah sisi kecerdasan tersembunyi seorang ikhwan dalam berapologi tentang
kecenderungan fisik.

By the way, tentu saja yang dimaksud kriteria 'agama' disini adalah mencakup hal-hal mendasar
dalam pemahaman dan pengamalan keagamaan, plus akhlak dan kepribadiannya. Contoh
sederhananya bisa dilihat dengan indikasi sebagai berikut :
1. Pemahaman : berhubungan dengan akidah tauhid (rukun iman yang enam) dan juga keyakinan
tentang kewajiban agama secara umum (rukun islam). Menjauhi segala keyakinan dan amalan
yang mendekat pada syirik dan bid'ah.
2. Pengamalan : untuk wanita memang bisa diidentikkan dengan komitmen dalam berhijab
(jilbab). Secara umum tentu berkaitan dengan ibadah harian, seperti : sholat berjamaah dan tepat
waktu, tilawah al-quran yang memadai, serta menghidupkan amalan sunnah lainnya.
3. Kepribadian : indikatornya bisa dilihat cari dia berinteraksi dengan lawan jenis, bagaimana
cara seseorang dalam berdakwah dan berkomunikasi. Bagaimana kesabaran, optimisme, dan
kesungguhan dalam menjalani aktifitasnya. Banyak hal yang bisa menjadi indikator di wilayah
ini, meskipun -tentu saja- tidak semuanya harus menjadi ideal.
Secara khusus bagi pihak perempuan, syarat ketakwaan seorang laki-laki juga haruslah menjadi
pertimbangan utama sebelum menerima atau menolak seseorang yang datang melamar.

Dari Abu Hatim ra, Rasulullah SAW bersabda : " Jika datang kepadamu seorang yang engkau
ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia, jika engkau tidak melakukannya maka
niscaya akan muncul fitnah di muka bumi ini dan kerusakan yang amat nyata "(HR Tirmidzi , ia
berkata : hadits hasan gharib. Albani mengatakan : Hasan lighairihi)

Begitu pula disebutkan dalam riwayat, saat seseorang datang kepada Hasan bin Ali ra -cucu
Rasulullah SAW- dan berkata : " Aku mempunyai seorang putri, menurutmu dengan siapa
sebaiknya aku nikahkan dia ? ". Maka Hasan ra berkata : " Nikahkanlah putrimu dengan laki-laki
yang bertakwa (takut kepada Allah), jika ia mencintai (putrimu) maka ia akan memuliakannya,
dan jika sekalipun ia membenci (tidak suka) putrimu, ia tidak akan menyakitinya."

Kedua : Subur dan tidak Mandul ( Mempunyai kemampuan seksual dan reproduksi )
Diriwayatkan oleh Ma'qal bin yasar ra : Seseorang datang kepada Nabi SAW : Aku suka dengan
seorang perempuan yang cantik dan dari keturunan terhormat, tetapi dia tidak subur (mandul),
apakah aku boleh menikahinya ? ". Rasulullah SAW menjawab : "Tidak ". Kemudian orang tadi
mendatangi beliau sekali lagi,dan Rasulullah SAW pun kembali melarangnya. Demikian
berturut-turut hingga yang ketiga Rasulullah SAW mengatakan : " Nikahilah (wanita) yang
romantis dan subur, karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat ini (di hari
kiamat) " (HR Abu Daud, Hakim, An-Nasa'i. Albani mengatakan : Hasan Shohih)

Kriteria ini jarang sekali diperhatikan oleh mereka yang hendak menikah, bahkan nyaris
meremehkan karena menganggap tidak terlalu urgen untuk jadi bahan pertimbangan. Memang
sebelum menikah, dan di tahun-tahun awal pernikahan masalah 'kesuburan' tidak terlalu
berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga. Namun yang terjadi selanjutnya, ketika beberapa
tahun tak kunjung datang tanda-tanda buah hati menyapa, maka mulailah jarak dan retak itu
muncul. Penyikapan yang bijak dan elegan tentu diharapkan agar rumah tangga tidak tercerai
berai karena alasan di atas.

Berbeda antara bahasan solusi dan preventif. Artinya jika sebelum menikah , kita lebih layak
untuk membahas sisi preventif. Selagi masih banyak pilihan dan kemungkinan, hendaklah sisi ini
juga layak untuk diperhatikan.


Apalagi, salah satu tujuan pernikahan juga untuk melanjutkan generasi-generasi dakwah,
sekaligus melahirkan anak-anak shalih yang mendoakan kedua orangtuanya. Bahkan secara
bercanda sering kita mendengar : salah satu bukti kita pernah ada di dunia ini adalah ; adanya
keturunan kita ..

Lantas bagaimana mengetahui subur tidaknya seseorang ? Pada saat ini memang ada
pemeriksaan yang khusus meneliti soal tersebut. Tapi apakah bijak jika kemudian sebuah pilihan
telah dijatuhkan dengan khitbah, baru kemudian kita memaksa calon kita untuk memerikasakan
dirinya di laborat untuk membuktikan satu kata yaitu kesuburan ? Lalu setelah hasil diterima dan
menyatakan tidak subur, kita dengan enteng bisa mencabut 'lamaran' kita dengan alasan tersebut
? Saya yakin sepenuhnya itu bukan solusi elegan dan islami dalam menyikapi masalah subur dan
tidak subur, sebagaimana saya juga yakin bahwa tidak mudah bagi seseorang yang telah 'jatuh
cinta' untuk mencabut lamarannya begitu saja. Jadi pemeriksaan laborat dalam menentukan subur
tidaknya seseorang, untuk saat ini rasanya belum 'recommended', kecuali jika ada kondisi-
kondisi yang memang sangat membutuhkan itu.

Cara lain yang 'manual' mungkin dengan mengikuti track record sejarah keluarganya. Apakah itu
ibu, bibi, nenek dan seterusnya. Apakah mereka memiliki keturunan yang banyak ataukah justru
sebaliknya. Demikianlah para ulama kita menganjurkan agar seseorang bisa sedikit mengetahui
subur tidaknya seseorang. Barangkali bahasan kedokteran lebih cocok ditampilkan dalam
masalah ini.

Sampai disini bahasan kita pekan ini, insya Allah kita lanjutkan di pekan depan tentang kriteria-
kriteria lainnya yang perlu dijadikan pertimbangan ikhwan dan akhwat sekalian dalam mencari
teman yang sejati. Wallahu a'lam bisshowab.
Kriteria Teman Sejati - Bagian 2
on Rabu, 24 Juni 2009
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh
Ikhwan dan akhwat fillah, semoga Allah SWT senantiasa mempermudah aktifitas kita dan
memberkahinya. Mohon maaf karena kajian ahad pagi yang semestinya saya post kemarin
sempat tertunda karena persiapan mengisi seminari RSI Surakarta.

Mari kita lanjutkan pembahasan kita sebelumnya, yaitu tentang kriteria teman sejati bagian dua.
Setelah sebelumnya kita membahas tentang dua kriteria : Pemahaman dan Pengamalan
Keagamaan serta syarat Kesuburan, maka yang berikutnya adalah :

Ketiga : Hendaknya menikah dengan Gadis Perawan.

Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata : Aku menikah kemudian aku datangi Rasulullah SAW ,
lalu beliau bertanya : Apakah engkau sudah menikah wahai Jabir ? . Aku menjawab :
Benar. Belia bertanya kembali : Apakah dengan janda atau gadis ? .Maka aku menjawab :
dengan seorang janda . Beliaupun berkata : Mengapa bukan seorang perawan hingga engkau
bisa bermain dengannya dan ia pun bisa bermain2 dengan mu ? (HR Bukhori dan yg lainnya)

Kriteria di atas ini tentunya bukan sesuatu yang mutlak atau sebuah keharusan . Melainkan
dianjurkan agar bisa menciptakan kondisi rumah tangga yang lebih dinamis dan romantis. Dalam
prakteknya, istri2 Rasulullah SAW yang dinikahi dalam keadaan gadis pun hanya ibunda Aisyah
ra. Mengapa gadis ? Rasulullah SAW memberikan alasan : agar engkau bisa bermain-main
dengannya dan ia pun bisa bermain denganmu. Ini artinya, secara fitrah potensi seorang gadis
lebih dekat pada anak-anak yang tulus , lugu dan ceria. Sehingga memungkinkan untuk dianjak
bercanda dengan beragam rupa. Barangkali berbeda dengan janda yang lebih serius melihat
sebuah pernikahan. Tetapi sekali lagi, setiap orang bisa memiliki potensi untuk ceria dan
kekanak-kanakan tanpa meliat usia dan status perawan atau jandanya. Wallahu alam.

Keempat : Hendaknya berasal dari keturunan yang baik dari sisi agama dan qonaahnnya.

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : Seorang wanita dinikahi karena empat hal :
hartanya, nasab keluarganya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah yang baik agamanya,
niscaya engkau akan beruntung (HR Bukhori dan Muslim)

Hadist di atas memang sebenarnya mewacanakan kriteria pasangan secara umum, dengan
penekanan pada unsur agama sebagai prioritas utama. Tapi itu bukan berarti menafikkan kriteria
lainnya, semisal : keturunan. Hendaknya kita melihat latar belakang keluarga pasangan kita,
khususnya dalam masalah agama dan qonaahnya. Setidaknya menjadi pertimbangan tersendiri,
karena bagaimanapun keluarga akan memberikan warna pada kepribadian seseorang.

Kelima : Hendaknya mempunyai wajah yang rupawan atau cantik.

Syarat wajah yang rupawan atau cantik tentu saja bukan syarat utama, apalagi kita juga sama-
sama mengetahui bahwa untuk menilai cantik tidaknya seseorang sangat berbeda-beda. Jadi
kriteria ini jangan sampai disalah artikan sebagai pelecehan perempuan karena hanya dinilai dari
sisi fisik saja. Sejatinya mengapa dianjurkan memilih pasangan yang rupawan juga untuk
kepentingan dan manfaat tertentu, yaitu agar lebih menjaga pandangan dan hati serta bertambah
kecintaan. Karena itulah memang syariat kita menganjurkan untuk menikah, yaitu untuk menjaga
pandangan.

Begitu pula dalam proses khitbah disyariatkan juga an-nadhor atau melihat pasangan, agar
benar2 keputusan yang ada bukan sekedar keterpaksaan. Dalam hadits lain juga diisyaratkan hal
yang senada tentang kecantikan pasangan : Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW ditanya :
perempuan bagaimanakah yang terbaik ? . Beliau menjawab, yang membuatmu bahagia ketika
engkau memandangnya . (HR An-Nasai).

Meskipun demikian, jika kecantikan kemudian menjadi hal yang pertama dan utama dalam
pilihan kita, maka sesungguhnya akan menyebabkan kerugian di hari-hari berikutnya. Dalam
hadist lain disebutkan : Janganlah engkau menikahi wanita karena kecantikannya, karena bisa
jadi itu akan menghancurkannya ( karena sombong dan taajub) (HR Baihaqi)

Keenam : Hendaknya bukan dari kalangan kerabat dekat secara keturunan.

Meskipun dalam Islam dibolehkan kita menikah dengan kerabat dekat yang bukan mahram :
semisal sepupu (anak paman/bibi), tapi kita dianjurkan untuk menikah dengan mereka yang jauh
secara kekerabatan dengan kita. Hikmahnya tentu menjadi banyak , antara lain :
1- Memperluas persaudaraan dan taaruf antar suku atau daerah, sebagaimana tersirat dalam
surat Al-Hujurot ayat 13
2- Menjauhkan dari kemungkinan memutus tali persaudaraan , karena bisa terjadi pasangan
dari kerabat dekat yang berselisih akan memperluas wilayah konflik menjadi pemutusan
hubungan kekerabatan.
3- Menjauhkan dari keturunan yang lemah, sebagaimana dibuktikan dalam kedokteran genetika
modern, dan telah disampaikan Rasulullah SAW sejak lama.

Wallahu alam bisshowab. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita untuk
memahami, mengamalkan dan menyebarkan kebaikan2 dalam pembahasan kita pagi ini.
Jazakumullah atas perhatian dan sharenya. Wassalamualaikum wr wb
Kriteria Agama dalam Mencari Pasangan Ideal
on Kamis, 23 September 2010
Islam menuntun kita bagaimana cara memilih pasangan sejati
dalam hidup kita. Salah satu kriteria yang harus dinomor satukan adalah : ad-diin, yaitu sisi
agamanya.Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : Seorang wanita dinikahi karena
empat hal : hartanya, nasab keluarganya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah yang baik
agamanya, niscaya engkau akan beruntung" (HR Bukhori dan Muslim)

Sekedar selingan,. ada sebuah anekdot yang unik dalam masalah ini. Dalam pandangan ikhwan
aktifis dakwah , semua akhwat yang komitmen dengan hijab dan aktif dalam dakwah berarti
telah terwakili dari sisi agamanya. Maka kemudian mereka berpikir, " sekarang tinggal mencari
sisi kecantikannya ". Ya, barangkali itulah sisi kecerdasan tersembunyi seorang ikhwan dalam
berapologi tentang kecenderungan fisik.

By the way, tentu saja yang dimaksud kriteria 'agama' disini adalah mencakup hal-hal mendasar
dalam pemahaman dan pengamalan keagamaan, plus akhlak dan kepribadiannya. Contoh
sederhananya bisa dilihat dengan indikasi sebagai berikut :

1. Pemahaman : berhubungan dengan akidah tauhid (rukun iman yang enam) dan juga keyakinan
tentang kewajiban agama secara umum (rukun islam). Menjauhi segala keyakinan dan amalan
yang mendekat pada syirik dan bid'ah. Mereka tidak kenal dukun, sihir, paranormal, dan tidak
tergoda untuk melakukan amal yang belum jelas dalil dan ketentuannya dalam syariat.

2. Pengamalan : untuk wanita memang bisa diidentikkan dengan komitmen dalam berhijab
(jilbab). Secara umum tentu berkaitan dengan ibadah harian, seperti : sholat berjamaah dan tepat
waktu, tilawah al-quran yang memadai, serta menghidupkan amalan sunnah lainnya. Banyak
yang mencoba membantah kriteria ini dan mengatakan, bahwa nanti setelah menikah kan bisa
diperbaiki. Tentu saja sebagai sebuah keinginan positif hal ini perlu kita hargai, tetapi kenyataan
di lapangan menunjukkan setelah pernikahan terkadang begitu susah untuk mendakwahi istri
sendiri. Bukankah sejarah Nabi Nuh dan Hud juga sudah terpampang begitu jelas dalam masalah
ini ?

3. Kepribadian : indikatornya bisa dilihat cari dia berinteraksi dengan lawan jenis, bagaimana
cara seseorang dalam berdakwah dan berkomunikasi. Bagaimana kesabaran, optimisme, dan
kesungguhan dalam menjalani aktifitasnya. Banyak hal yang bisa menjadi indikator di wilayah
ini, meskipun -tentu saja- tidak semuanya harus menjadi ideal.

Secara khusus bagi pihak perempuan, syarat ketakwaan seorang laki-laki juga haruslah menjadi
pertimbangan utama sebelum menerima atau menolak seseorang yang datang melamar.

Dari Abu Hatim ra, Rasulullah SAW bersabda : " Jika datang kepadamu seorang yang engkau
ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia, jika engkau tidak melakukannya maka
niscaya akan muncul fitnah di muka bumi ini dan kerusakan yang amat nyata "(HR Tirmidzi , ia
berkata : hadits hasan gharib. Albani mengatakan : Hasan lighairihi)

Begitu pula disebutkan dalam riwayat, saat seseorang datang kepada Hasan bin Ali ra -cucu
Rasulullah SAW- dan berkata : " Aku mempunyai seorang putri, menurutmu dengan siapa
sebaiknya aku nikahkan dia ? ". Maka Hasan ra berkata : " Nikahkanlah putrimu dengan laki-laki
yang bertakwa (takut kepada Allah), jika ia mencintai (putrimu) maka ia akan memuliakannya,
dan jika sekalipun ia membenci (tidak suka) putrimu, ia tidak akan menyakitinya."

Jadi, kriteria agama bukanlah sesederhana yang kita bayangkan, yaitu sekedar berjilbab, mengaji
atau keturunan kyai misalnya. Tapi ada serangkaian hal yang perlu kita pertimbangkan kembali
sebelum memilih atau menerima calon suami / istri . Yang terjadi selama ini memang selalu
tidak ideal. Hati sudah tertambat erat baru mempertimbangkan kriteria, maka yang terjadi
biasanya hanyalah permakluman-permakluman.Selamat mempertimbangkan dan salam optimi
Mengkhitbah Wanita yang telah dikhitbah. Mungkinkah ?
on Kamis, 21 Oktober 2010

Syariat Islam yang Indah menjaga hubungan ukhuwah antar saudara seiman, dari mulai hal yang
sederhana, hingga hal yang sensitif seperti khitbah dan lamaran. Karenanya secara umum,
dilarang seorang mengkhitbah perempuan yang sudah dikhitbah oleh saudaranya. Namun
kenyataan di lapangan, hal ini sering dipahami begitu sempit sehingga akhirnya banyak orang
yang terpaksa menerima kenyataan untuk melangsungkan pernikahan tanpa cinta atau juga
cinta tanpa pernikahan.

Banyak yang sempat mempunyai kecenderungan dengan seorang wanita, dan wanita itupun juga
mempunyai kecenderungan yang sama. Tapi kemudian laki-laki tersebut harus gigit jari kuat-
kuat karena tiba-tiba wanita tersebut telah dikhitbah oleh orang lain entah dari mana. Maka ia
pun tenggelam dalam penyesalan tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Kasus semacam ini, ujung-
ujungnya mungkin bisa berakibat perselingkuhan dan lain sebagainya.

Karenanya, tanpa tendensi apapun saya ingin menyarankan bahwa harapan itu masih ada. Masa
depan cinta suci Anda tidak harus pupus begitu saja saat wanita yang Anda suka telah dikhitbah.
Namun semua tergantung keberanian Anda, beranikah Anda ikut turun ke gelanggang dengan
ikut mengkhitbah si dia , sebagai bukti kesungguhan dan perjuangan Anda ?

Sungguh, tanpa bermaksud memprovokasi, sebenarnya ada beberapa kondisi yang
memperbolehkan kita untuk mengkhitbah wanita yang mungkin telah di khitbah, dan bahasan
ini pun sudah banyak di bahas oleh para ulama . Kondisi tersebut antara lain:

Pertama : Khitbah yang pertama telah jelas di tolak, atau pihak lelaki jelas telah
membatalkannya

Dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah saw bersabda: Seorang mukmin adalah saudara
mukmin lainnya. Maka tidak halal bagi seorang mukmin membeli barang telah dibeli
saudaranya, dan mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah saudaranya, hingga laki-laki itu
meninggalaknnya (HR Muslim).
Untuk kasus ini, berarti Anda memang bersikap cukup pasif dengan senantiasa menunggu-
nunggu keputusan baik dari pihak keluarga perempuan, atau juga keseriusan laki-laki yang
mengkhitbah.

Kedua : Laki-laki yang mengkhitbah tersebut mengijinkan dan memperbolehkan Anda
ikut mengkhitbah

Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda:Dan janganlah seorang laki-laki mengkhitbah
(wanita) yang telah dikhitbah laki-laki lain hingga laki-laki yang mengkhitbah sebelumnya
meninggalkannya atau diizinkan laki-laki itu (HR Muslim).

Dalam kasus ini mungkin Anda beruntung, karena laki-laki yang telah mengkhitbah tadi adalah
seorang yang percaya diri dan gentle, mau bertanding satu lawan satu dengan Anda. Maka ia
memperbolehkan Anda mengkhitbah wanita yang juga telah Anda khitbah. Memang jarang tipe
model yang semacam ini, tapi bisa jadi anda termasuk yang beruntung saat hal ini terjadi pada
Anda.

Bagi keluarga wanita, hal ini harus dipahami dengan baik agar tidak tergesa-gesa menolak
khitbah Anda atau laki-laki yang datang kedua, sementara laki-laki pertama telah menyetujui.
Tapi ingat, pastikan bahwa Anda dan laki-laki tersebut harus sama-samamempunyai perjanjian
yang fair, bahwa ukhuwah tetap solid dan tidak akan terbelah apapun hasil yang akan diterima
nantinya.

Ketiga : Boleh, Jika Anda tahu pasti bahwa belum ada jawaban yang jelas dari pihak
perempuan.

Dalam Syarh Sunan Tirmidzi, disebutkan ungkapan Imam SyafiI : bahwa Makna hadis : Dan
janganlah seorang laki-laki mengkhitbah (wanita) yang telah dikhitbah bagi kami, maknanya
adalah : jika seorang laki-laki mengkhitbah wanita dan wanita itu ridho (suka) dan cenderung
kepadanya , maka tidak boleh seorang pun mengkhitbah wanita itu lagi. Tapi (sebaliknya)
selama belum diketahui bahwa wanita itu menerima (khitbah) atau cenderung kepada laki-laki
tadi, maka tidak mengapa mengkhitbah wanita tersebut.

Dalilnya pendapat imam Syafii di atas adalah hadits Nabi saw. Diriwayatkan oleh Fathimah binti
Qais, ketika ia sudah selesai masa iddahnya, ia dikhitbah oleh dua orang, yakni Muawiyah bin
Abu Sufyan dan Abu Jahm. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw, beliau kemudian
bersabda: Tentang Abu Jahm, dia tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya (kiasan untuk
menunjukkan sifat suka memukul), sedangkan Muawiyah sangat faqir, tidak punya harta.
Nikahlah dengan Usamah bin Zaid (HR Muslim). Imam SyafiI menambahkan : hadits di atas
bagi kami, bahwa Fatimah belum memberikan jawaban yang jelas kepada salah satu dari
keduanya.

Melengkapi riwayat diatas, mari kita cermati riwayat berikut ini, yang menunjukkan adanya dua
khitbah karena belum ada kejelasan dari pihak keluarga perempuan. Diriwayatkan oleh Jabir bin
Abdullah : Datang seorang laki-laki pada Rasulullah SAW dan berkata : Ya Rasulullah, kami
mempunyai seorang anak gadis yatim yang dikhitbah oleh dua orang, yang satu miskin dan yang
satu adalah orang kaya. Dia (anak gadis kami) cenderung (cinta) pada yang miskin, sementara
kami lebih menyukai pada yang kaya. Maka Rasulullah bersabda : Tidak pernah terlihat (lebih
menakjubkan) bagi dua orang yang saling mencintai seperti pernikahan (Kitab Al-Luma fi
asbabil wurud hadits)

Dalam dua riwayat di atas, jelas-jelas ada dua khitbah, tetapi Rasulullah bukannya memarahi
sang perempuan dan keluarganya, misalnya dengan kata-kata : mengapa menerima khitbah dua
kali ? , tetapi beliau justru memberikan saran tentang pilihan yang semestinya di putuskan.
Wallahu a'lam.

Akhirnya, sekali lagi saya mengingatkan bahwa hal-hal yang termaktub di atas jangan di salah
gunakan, tetapi di jalankan dengan penuh niatan baik, tanpa tendensi syahwati, dan tetap dengan
menjunjung tinggi nilai ukhuwah islamiyah.

Mengapa saya menuliskan ini, karena banyak hasil dari pemahaman yang salah dari larangan
khitbah di atas, kemudian membuat banyaknya pernikahan dengan keterpaksaan, yang
selanjutnya akan mengarah ke perselingkuhan dan sejenisnya. Naudzubilla
Maskawin : Antara Adat dan Syariat
on Sabtu, 07 November 2009
Setiap daerah mempunyai kebiasaan dan budaya yang berbeda.
Kata-kata bijak dari khasanah budaya jawa mengabadikan kondisi tersebut dengan ungkapan :
negoro mowo toto, deso mowo coro. Bahkan di dalam kajian ushul fikih, pertimbangan budaya
atau adat juga termasuk menjadi salah satu metodologi pengambilan sebuah hukum. Ketika
sebuah adat tidak bertentangan dengan syariat, maka bukanlah sebuah cela saat seorang muslim
ikut meramaikan dan mensyiarkannya. Pada sisi ini, barangkali fenomena mudik, lebaran, dan
halal bihalal nampaknya menjadi contoh yang gamblang tentang akomodasi syariat terhadap
nilai-nilai budaya. Lebih menarik lagi di Minangkabau, antara adat dan syariat ternyata
bersintesis dengan baik hingga menampilkan wajah : "Adat basandi syara', syara' basandi
kitabullah", yang artinya adat bersendikan syariat (ajaran agama) dan syariat bersendikan kitab
Allah SWT (Al Qur'an). Subhanallah
.

Begitu pula saat kita bicara pernikahan, pastilah akan membahas tentang budaya dan adat yang
ada seputarnya. Ada adat yang menyalahi syariat, ada pula yang masih dalam koridor syariat.
Tentu disini bukan tempat untuk membahas satu persatu adat dan budaya pernikahan yang
menyalahi syariat. Saya hanya ingin sekedar berbagi tentang keunikan perbedaan budaya
pernikahan antara masyarakat di Indonesia dan di Arab. Keduanya sama-sama mempunyai
budaya yang unik seputar pernikahan, berbeda satu sama lainnya, bahkan saling bertentangan,
tapi sama-sama dalam batas koridor syariat. Budaya yang unik tersebut diantaranya :

Budaya Mahar di Indonesia

Bagi masyarakat Indonesia secara umum, mahar tidak identik dengan sesuatu yang besar dan
bernilai tinggi. Mereka cukup sederhana dalam menentukan besaran mahar, yang penting ada
kenangan dan kesan yang mendalam bahkan setelah bertahun-tahun pernikahan. Pada sisi ini
bolehlah kita menyebutnya sebagai sebuah hal yang romantis. Masyarakat kita memang
menyukai simbol, karena mahar pun biasanya identik dengan simbol keagamaan atau kasih
sayang. Biasanya seperangkat alat sholat, plus beberapa gram perhiasan. Ada juga yang bernilai
besar, tapi tidak setara dengan kekayaannya, karena mereka menginginkan sebuah kenangan.
Pernikahan artis yang kaya raya misalnya, ternyata besaran maharnya tidak seberapa karena
disesuaikan dengan tanggal pernikahan mereka yang hanya berderet 6 sampai 8 angka.

Dalam sebuah pernikahan, nampaknya mahar di Indonesia menjadi aksesoris pelengkap saja
yang tidak banyak menyita pikiran orang. Pihak mempelai maupun orangtua biasanya lebih
heboh dalam membahas pesta pernikahan, prosesi, dan ritualnya daripada menyinggung soal
mahar. Mungkin juga ini adalah bentuk aplikasi budaya ewuh pakewuh dan masih melekat dalam
masyarakat kita. Keunikan lain juga, biasanya mahar hanya berupa hal-hal tertentu saja
sebagaimana yang disebutkan di atas, tetapi selain itu terkadang mempelai laki-laki malah
memberikan hadiah tunangan yang jumlahnya jauh lebih besar dan berlipat-lipat dari mahar
yang diberikan. Unik memang.

Budaya Mahar di Saudi

Lain di Indonesia, lain di masyarakat arab sana. Di negara tambang minyak itu sejak dulu kala
sangat dikenal dengan mahalnya sebuah mahar menuju pernikahan. Budaya ini pun kemudian
melahirkan kegelisahan dan persoalan di tengah masyarakat, karena banyaknya pemuda dan
wanita yang tak kunjung menikah meski usia melewati kepala tiga dan empat. Hingga pemuda-
pemuda Saudi saat ini berkampanye lewat internet mengajak untuk tidak menikahi perempuan
Saudi. Hal itu diakibatkan semakin mahalnya mas kawin dan biaya resepsi pernikahan (Saudi
Gazette, 11 Feb 09).

Lalu berapa besar sih mahar khas Arab itu ? Di Saudi misalnya, jika seorang pemuda mau
menikahi gadis di sana, biasanya harus menyiapkan : mahar / mas kawin 40.000,- Real atau 90
Juta rupiah dan biaya pesta 15.000 Real atau 40 Juta. Itu belum syarat lainnya seperti : calon
suami harus memilki rumah dengan furniture lengkap walaupun sewa, calon suami kalo bisa
memliki mobil untuk transportasi walaupun yang jadul sekalipun. Nah, besar sekali bukan ? Jika
mau dibandingkan dengan negara kita, kalau mahar itu cukup rukuh dan sajadah, maka di Arab
bisa jadi maharnya adalah pabrik rukuh dan sajadahnya.

Lalu bagaimana besaran mahar secara syariat ?

Mahar tidak lain adalah sebuah pemberian, karenanya bisa berbeda besarannya dan tidak pernah
ditentukan kadarnya karena disebut besar tidaknya sangat bergantung dengan kemampuan
finansial yang memberi. Karenanya para ulama bersepakat tidak ada batas maksimal dalam
pemberian mahar. Ini dilandaskan pada firman Allah SWT : sedang kamu telah memberikan
kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak (qinthaar), (QS Nisa 20). Pernah ada
upaya Umar bin Khotob membatasi besaran mahar, tetapi ditentang dan dibatalkan karena
bertentangan dengan ayat di atas. Jadi, nampaknya masyarakat Saudi mengoptimalkan
mengambil peluang sisi ini, karena secara syariat tidak ada batas maksimal dalam mahar.

Namun, meskipun demikian, syariat tetap menganjurkan untuk mempermudah hal-hal yang
berhubungan dengan mas kawin seperti yang tertera dalam sabda Rasulullah: "Sesungguhnya
wanita yang paling banyak berkahnya adalah wanita yang paling sedikit/murah mas
kawinnya."(HR Thobroni)

Adapun tentang batas minimal, maka memang ada perbedaan ulama seputar masalah ini, sebagai
berikut :

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham ( ada juga riwayat :
seperempat dinar). Mereka mengkiaskan (menyamakan) hal ini dengan wajibnya potong tangan
bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai seperempat dinar atau lebih.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau satu dinar. Ini
berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang dari 10
dirham.

Catatan : jika dikonversikan ke rupiah, dimana 1 dinar adalah 4,25 gram emas 22 karat, maka
batas minimal mahar versi Malikiyah adalah sekitar Rp 300.000,- dan Hanafiyah adalah 1 juta
lebih sekian.

Sementara itu Ulama Syafi'iah (yang madzhabnya tersebar di Indonesia) dan Hanbaliyah
berpendapat, tidak ada batas minimal, yang penting bahwa sesuatu itu bernilai atau berharga
maka sah (layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk seperangkat alat salat). Mereka
mendasarkan pendapatnya pada keumuman ayat Al-Quran : "Dan dihalalkan bagimu selain yang
demikian, yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai" (Q.S.
al-Nisa' : 24). Maka harta dalam ayat tersebut bersifat umum bisa besar dan kecil. Begitu pula
ditambah dalil lain tentang bagaimana Rasulullah SAW menikahkan sahabat dengan hafalan
quran bahkan dengan cincin besi.

Nah, barangkali karena Indonesia menganut madzhab syafii yang tidak mempunyai batas
minimal mahar, maka sangat wajar jika kemudian kita lihat masyarakat kita pun tak begitu
peduli dengan besaran mahar, apa adanya dan sewajarnya saja. Uniknya ini tidak berlaku di
Saudi yang bermadzhab Hanbali, semestinya mereka tidak terlampau strict soal besaran mahar.
Wallahu alam bisshowab
5 Tips Praktis Menyambut Malam Pertama
on Sabtu, 14 Mei 2011


Saat malam pertama hampir menjelang, boleh jadi penampilan kita tampak menakjubkan . Boleh
jadi penampilan dalam kita pun sudah terasa sangat meyakinkan. Boleh jadi pula, semua aroma
yang keluar dari tubuh kita telah menandaskan semua arti keharuman. Tidak selintas pun bau tak
sedap lewat menghadang. Boleh jadi semua itu telah kita miliki, namun sesungguhnya itu belum
cukup. Kita masih membutuhkan sebuah penataan kamar pengantin yang indah, elegan dan
berkesan. Jika perlu, sebuah desain interior kamar pengantin yang bersejarah. Dihiasi pernik-
pernik yang syarI dan menghangatkan jiwa. Juga harum-haruman yang mengundang selera,
pesona, bahkan gairah seksual kita.

Diantara sekian kelengkapan-kelengkapan kamar pengantin yang harus kita perhatikan, agar
malam singkat ini berjalan nyaman dan berkesan, antara lain sebagai berikut :

Pertama : Pengharum ruangan yang elegan.
Tidak terlalu semerbak tapi menghanyutkan. Bisa dipilih dari bunga-bunga wangi segar yang
berkesan natural dan tahan lama. Atau bisa juga produk industri yang praktis dan tak kalah
semerbak macam ragamnya. Wangi-wangian ini akan menutupi jika ada aroma-aroma tubuh
yang tidak bisa ditangani lagi. Apalagi, jika nanti energi banyak terkuras, maka keringat akan
banyak berloncatan keluar dan akhirnya membaui sprei, ranjang, juga pakaian.
Rasulullah bersabda, Yang sangat aku cintai dari duniamu, adalah istri dan haruman. Dan
dijadikan shalat sebagai penyejuk mataku (HR Hakim)

Kedua : Pencahayaan yang cukup.
Tidak terlalu terang yang bisa mengundang rasa malu karena terlihat begitu vulgar saat
berhubungan badan. Tidak pula terlalu suram atau bahkan tanpa cahaya sama sekali, hingga
menyulitkan fase eksplorasi, juga mengurangi gairah masing-masing suami istri. Apalagi bagi
laki-laki, rasa-rasanya lebih semangat jika bisa melihat dengan jelas semua yang dahulu haram
baginya untuk dilihat. Laki-laki mudah terangsang dengan melihat, sedangkan perempuan
dengan mencium atau membaui. Tentang kecenderungan unik ini, Rasulullah saw jauh-jauh hari
telah mengisyaratkan : Ketahuilah bahwa wewangian laki-laki itu ada baunya tetapi tidak ada
warnanya, dan ingatlah bahwa wewangian wanita itu yang ada warnanya tetapi tidak ada baunya.
(HR Tirmidzi)

Lebih dari itu, pencahayaan yang kurang juga akan memunculkan kesan ruangan yang lembab,
dan kadang-kadang penuh misteri. Ini akan mudah memainkan emosi sang penghuni. Ruangan
redup, mampu membuat semangat hidup penghuninya redup pula. Nyaris tanpa gairah.
Ada pencahayaan lain yang alami, yaitu dengan sinar matahari. Ini merupakan sesuatu yang
tidak bias diremehkan begitu saja. Sinar mentari yang masuk dalam kamar kita, selain
menyehatkan, menghangatkan, juga bisa menjadi pertanda bagi suami istri bahwa hari telah
begitu siang, saatnya bangun dan beraktifitas. Maklumlah, pengantin baru.

Ketiga : Pergantian udara yang nyaman.
Ini berarti harus memenuhi syarat kesehatan sebuah ruangan ; ada jendela atau ventilasi udara.
Jika celah udara terlalu sempit, maka akan terasa panas. Produksi keringat bertambah banyak,
emosi juga cepat tersulut. Belum lagi jika ada aroma-aroma baru yang belum pernah ditemui
sebelum ini. Namun sebaliknya, jika celah udara terlalu lebar angin akan masuk berhamburan,
dan suasana menjadi terlalu dingin. Ini memang menyenangkan bagi para pasangan baru. Tapi
ceritanya akan lain jika mengakibatkan masuk angin. Sejatinya semua urusan yang terbaik
adalah yang wajar dan pertengahan.

Meski demikian, jika ruangan kita lebih luas, memang akan tercapai kenyamanan yang berlebih
pula. Hal ini diakui oleh teladan kita saw. Dari Nafi' bin Harits, Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam bersabda : sebagian dari kebahagiaan seorang muslim di dunia :, tetangga yang baik,
tempat tinggal yang luas, dan kendaraan yang nyaman (HR Hakim)

Untuk sirkulasi udara yang lebih terjamin, kita bisa menggunakan kipas angin, saringan udara
atau juga Air Conditioner. Selain kita memperoleh kenyamanan, alat-alat tersebut dapat
menghasilkan suara yang membuat para suami istri tidak ragu dan malu-malu lagi dalam
memulai aktivitas malam pertamanya.

Keempat : Kebersihan yang terjamin.
Kebersihan adalah bagian dari cabang keimanan seseorang. Kamar bersih memang bukan
sekedar yang terawat secara rutin, baik dengan pel harian ataupun sekedar sapu dua kali sehari.
Kamar bersih tidak mengundang dan mengandung komunitas pengganggu kenyamanan seperti
lalat, nyamuk dan kecoa, dan juga sampah-sampah misalnya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda : Bersihkanlah teras dan halaman rumah
kalian, jangan menyerupai orang-orang Yahudi yang biasa menyimpan akba (sampah) di rumah-
rumah mereka. ( Musnad Al-Bazzar )

Kelima : Desain interior yang mendukung mesra.
Selain yang sudah pasti harus ada seperti ranjang, almari pakaian, dan kaca hias, bisa juga Anda
menambahkan pernik-pernik lainnya yang mendukung mesra. Sebut saja contohnya : vas bunga
yang semerbak mewangi, lukisan pemandangan alam yang menyentuh hati, kain gorden dengan
warna kesukaan yang romantis. Atau apapun saja, yang bisa memanjakan mata kita,
menyamankan raga dan menghangatkan jiwa. Jangan lupa, singkirkan juga hal-hal yang bisa
merusak ketenangan Anda malam ini. Contoh sederhananya : matikan handphone atau pesawat
telpon Anda !

Alhamdulillah, beberapa persiapan menyambut malam pertama telah kita lalui. Selanjutnya,
bersiaplah untuk fase berikutnya yang sangat menentukan, juga menegangkan. Uniknya, fase ini
juga menjanjikan berjuta keindahan. Subhanallah
Curhat Pra Nikah : Harga sebuah Keperawanan
on Kamis, 28 Januari 2010

Seorang teman di FB bertanya tentang kegelisahannya seputar rencana pernikahannya. Ia
menuliskan dalam messagenya :

PERTANYAAN

Assalamuallaikum ustadz,
Mohon maaf sebelumnya, saya ingin memohon pendapat atas permasalahan saya yang baru
saja muncul.
Saya saat ini sedang berhubungan dengan seorang wanita di tempat kerja saya, dia adalah
sosok wanita yang secara fisik sempurna.
Dan memang pada awalnya saya niatkan utk secepatnya menikah dengannya untuk menghindari
zinah dan fitnah.
Tetapi kemarin, saya baru saja mengetahui darinya bahwa dia tidak lagi perawan. Memang
terakhir dia berpacaran dengan seorang pria selama 9 tahun.

Saya jadi hilang arah, entah apa yang harus saya lakukan. Bagaimanapun keperawanan adalah
hal yang penting bagi saya.
Dan memang, wanita itu sekarang menyesali atas apa yang telah dia lakukan dulu.

Entah apa yang direncanakan Allah. Saya jg bukanlah seorang muslim yang selalu taat kepada-
Nya. Tetapi saya selalu berusaha menjadi lebih baik.
Salah satu langkah saya adalah untuk sesegera mungkin menikah agar terhindar dari pergaulan
bebas. Tetapi sekarang muncul keraguan dalam hati.

Saya masih menyayanginya, tetapi saya selalu teringat akan dirinya yang sudah tidak lagi
perawan.
Jujur, saya jg munafik, banyak perbuatan mendekati zinah yang telah saya lakukan, tetapi tidak
pernah mencapai mengambil keperawanan wanita yang menjadi pacar saya.

Mohon pendapatnya atas hal ini, ustadz, saya tidak tahu harus bicara kepada siapa.

Terima kasih.Wassalam.


JAWABAN :

Wa'alaikum salam warohmatullah. Anda bertanya tentang pentingnya arti keperawanan dalam
sebuah pernikahan. Untuk menjawabnya, saya teringat dengan satu bahasan yang pernah saya
tulis dalam buku Inspiring Romance, yaitu : " Sekalipun tidak ada Darah yang Menetes ".
Semoga bermanfaat.

BAHKAN SEKALIPUN TAK ADA DARAH MENETES

Ada malam pertama yang seharusnya terindah dalam hidup berubah menjadi neraka dan ladang
pembantaian harkat dan martabat suami istri. Sebab yang paling banyak adalah karena tak ada
sedikitpun darah yang menetes dari kemaluan mempelai perempuan. Kesimpulan singkatnya,
pengantin perempuan tidak perawan lagi dan bukan orang baik-baik. Pengantin pria pun merasa
ditipu dan dikhianati. Akibatnya terkadang cerai ditempat. Ada pula yang berubah menjadi bom
waktu yang setiap saat bisa meledak dalam kehidupan rumah tangga itu. Lebih jauh lagi, pernah
terdengar ada yang sampai menyakiti dan membunuh istri di malam pertamanya, karena terlalu
besar harapan dan kekecewan yang dijumpainya.Naudzubillahi min dzalik. Sungguh sebesar
inikah arti setetes darah ?
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada
berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran (QS An-Najm 28)

Semua hal ini bersumber dari satu hal : nilai agung keperawanan. Masyarakat timur masih tinggi
menjunjung nilai ini. Seorang pengantin tidak perawan bagi mereka adalah aib besar keluarga.
Di lain tempat, saya pernah membaca sebuah tradisi unik, saat pengantin pria membawa
pasangannya ke kamar pengantin, berduyun-duyun serombongan orang menunggu tepat
dihadapan pintu kamar tersebut. Sesaat setelahnya, pengantin pria keluar dengan membawa
sehelai kain yang ada bercak darahnya lalu memperlihatkannya pada mereka yang menunggu di
luar. Setelah melihat darah itu, mereka pun merasa puas dan bergembira. Merayakannya dengan
pesta keperawanan dan meninggalkan kamar pengantin dengan segera. Lihat, betapa tinggi
sebuah keperawanan, hingga masyarakat pun ikut ambil bagian dalam proses penilaiannya.

Adapun masyarakat barat, sebagian besar tak lagi menuntut keperawanan saat menikah. Itu tidak
lagi menjadi sebuah hal yang agung. Para orang tua tidak lagi berpesan pada anak gadisnya saat
keluar rumah untuk hati-hati dalam bergaul. Mereka cukup cerdas dan visioner dengan
memberikan sejumlah kondom sebagai bekalnya diluar rumah. Asalkan tidak hamil, asalkan
suka sama suka maka lelaki manapun sah-sah saja menikmati tubuh anak gadisnya.
Naudzubillahi min dzalik.

Lalu bagaimana dengan kita ? Menjawab ini semua butuh hati bijak dan rasio mendalam.
Permasalahannya tidak sekedar ada tidaknya darah yang keluar. Pandangan banyak orang terlalu
cepat menyimpulkan bahwa tidak ada darah, berarti tidak perawan. Tidak perawan disimpulkan
bukan gadis baik-baik. Apalagi jika tidak dikomunikasikan hal itu sebelumnya, sang suami
menyimpulkan ada penipuan terencana, merasa dikhianati, kecewa, dan lain sebagainya.

Setidaknya ada empat sikap dan pemahaman yang harus kita tahu, pahami, dan jalani dalam
menyikapi berbagai permasalahan yang menyangkut ada tidaknya darah yang keluar di malam
pertama. Namun sebelumnya, harus ada keinginan luhur untuk menjaga keindahan dan
kemesraan malam pertama. Apapun yang terjadi. Bahkan sekalipun tak ada setetes darahpun
yang keluar.

a. Intropeksi diri, Mengkaji Ulang cara memilih Anda.

Allah SWT berfirman : Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula) dan wanita baik-baik untuk laki-laki baik,
dan laki-laki baik-baik untuk wanita baik-baik(pula) (QS An-Nur : 26 )
Ada sebuah isyarat yang diungkapkan ayat diatas, bahwa pada umumnya setiap orang
mempunyai kecenderungan yang sama dengan pasangannya. Ini sama sekali terlepas dari
pembahasan fikih bab syarat sekufu dalam memilih jodoh.Ini masalah kecenderungan yang
berhubungan dengan hobbi, kebiasaan, karakter, kesukaan, teman dan lingkungan, dan
sebagainya. Isyarat yang senada juga ada dalam hadits : Jiwa-jiwa itu bagaikan pasukan yang
dibariskan, yang saling senang akan bertemu dan yang saling benci tidak akan bertemu ( HR
Muslim (2638) dari Abu Hurairah ). Hadits tersebut adalah komentar Rasulullah saw, saat
mendapati seorang wanita Mekkah yang gemar bercanda lalu hijrah ke Madinah dan bertemu
akrab dengan wanita Madinah yang juga suka bercanda !

Maka, pada umumnya karakter kita tidak akan jauh-jauh berbeda dengan pasangan kita. Saya
beberapa kali mengomentari saat ada seorang ikhwah mengeluh tentang proses pernikahan
aktifis dakwah yang berawal dari sebuah imel, chatting, atau bahkan sms, dan mengabaikan
jalur konsultatif dengan para murobbinya. Saya mengatakan padanya, dengan berlandaskan
ayat di atas ; bahwa akhwat yang gemar chatting wajar jika mendapat ikhwan yang gemar
chatting pula. Mereka yang suka berbalas sms wajar jika mendapat pasangan mereka yang suka
berbalas sms juga. Ini artinya apa ?

Dalam konteks tidak ada darah pada malam pertama, sungguh ini adalah sebuah konsekuensi
dari pilihan kita jauh-jauh hari sebelumnya. Ketika kita berproses, ada jeda yang cukup untuk
menimbang ulang dan mencari data tambahan sebagai bahan pertimbangan. Kita pun sadar
sepenuhnya, bahwa prioritas kriteria pasangan kita adalah agamanya bukan ? Terlebih, setelah
pilihan itu terlegitimasi secara penuh dengan keyakinan kita usai sholat istikhoroh. Kemudian
setelah semua fase dan pertimbangan kita lampui, hati kita teguh menyatakan bahwa dia pilihan
kita, maka sesungguhnya pada saat yang sama kita telah berikrar untuk siap konsekuen,
menerima, dan bertanggung jawab atas hal-hal yang kita temui pada pasangan kita di kemudian
hari.

Tidak sedikit mereka yang mengetahui persis bagaimana keadaan pasangannya jauh sebelum
mereka menikah. Dari yang terkenal playboy gonta-ganti pacar, mantan pemakai narkoba,
generasi hura-hura, hingga mereka yang alim, santun, dan mengenal dakwah sejak masih
berpakaian OSIS. Bukankah semua itu telah menjadi pertimbangan jauh-jauh hari sebelum akad
ditunaikan ? Maka pertanyaan selanjutnya adalah : Setelah semua pertimbangan dan keyakinan
kita bahwa pilihan kita tidaklah salah, baik dari segi aqidah, akhlak, ibadah, kepribadian, dan
pemahaman agamanya, maka apalah artinya ada tidaknya setetes darah di malam pengantin ini ?

b. Mengetahui Sejarah Darah, Tidak lekas berburuk sangka

Allah SWT berfirman : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain (QS Al-Hujurat : 12)

Memang tidak mudah membiaskan prasangka buruk menjadi sebuah permakluman. Sementara
banyak orang menyatakan bahwa tidak ada darah, berarti istri kita mempunyai masa lalu yang
kelam. Naudzubillah. Untuk menghindari segala persangkaan yang tak perlu, apalagi jika
berakibat kontak fisik hingga perceraian, ada baiknya kita mengetahui sejarah ada tidaknya
darah di malam pertama.

Sejarah munculnya darah tersebut adalah robeknya hymen (selaput dara), yaitu kulit tipis yang
terletak menutupi sebagian besar muara / mulut vagina. Bentuknya setengah lingkaran dan ada
lubang kecil untuk mengalirkan darah haidh dan sekresi. Kebanyakan hymen ini memang robek
dan berdarah saat terjadi persenggamaan perdana, entah di malam pertama atau malam-malam
sebelumnya, dalam kasus perzinaaan atau perkosaan misalnya.Namun tidak menutup
kemungkinan tidak ada darah sedikitpun yang keluar saat senggama, karena disebabkan kondisi
selaput dara yang beragam. Ada selaput dara yang elastis atau lentur sehingga tidak robek saat
senggama ; Ada selaput dara yang berlobang besar hingga tidak robek saat dilalui oleh penis;
Ada pula yang memang sudah robek saat kecil karena kecelakaan atau berolahraga.

Nah, begitu banyak kemungkinan yang seharusnya bisa menghindarkan kita dari rasa was-was
dan curiga karena tidak ada darah di malam pertama. Ketika kita tahu persis siapa pasangan kita
dan bagaimana sebagian sejarah hidupnya, maka adalah tidak layak jika tiba-tiba kita berbalik
180 derajat dan menuduhnya yang bukan-bukan, hanya saat kita melihat tak ada darah di malam
pertama.

Kalau ingin sekedar melihat darah di malam pertama, maka kedokteran modern saat ini telah
menemukan operasi untuk membuat selaput dara palsu. Sehingga mantan (maaf) pelacur
sekalipun akan terlihat bak gadis perawan saat malam pertama pernikahannya. Anda mau yang
seperti itu ? Naudzubillah

c. Taubat : Anti Virus Masa Lalu yang paling canggih

Bahkan sekalipun ada bibir mungil yang menangis penuh iba malam itu. Menyatakan bahwa ada
kejadian kelam di masa lalu telah merenggut keperawanannya. Sang suami pun tidak bisa serta
merta memvonisnya dengan cerai, atau sekedar menghujaninya dengan kalimat-kalimat yang
membantai. Bisa jadi kejadian kelam itu adalah perkosaan dengan segala modus operandinya.
Bisa jadi pula memang atas dasar suka sama suka, saat hati belum sepenuhnya sadar akan sebuah
dosa.

Untuk kasus pertama, maka sungguh mulia dan sungguh besar jiwa Anda jika mampu
memakluminya. Andalah sang dewa penolong yang diharapkan meneguhkan hati dan
perasaannya yang gundah selama ini. Mungkin juga ia memilih Anda karena yakin bahwa Anda
adalah seorang bijak yang berhati mulia. Benar-benar sebuah pakaian yang berfungsi untuk
menutupi, melindungi dan menghangati. Insya Allah semua berpahala.

Namun jika atas dasar suka sama suka, maka pastikan dan yakinilah bahwa hanya taubat yang
tersisa pada dirinya. Tidak ada cinta dan gairah masa kelam yang masih ada. Hanya taubat dan
sungguh taubat nasukha itu menghapuskan setiap kejahatan betapapun besarnya. Tidak sekali-
sekali kita meremehkan sebuah taubat yang sungguh-sungguh ketulusannya. Ingat saja
kemarahan Rasulullah saw saat Khalid bin Walid mencerca wanita Ghamidiyah yang tengah
dirajam karena berzina. Rasulullah saw menyatakan : Tenanglah wahai Khalid. Demi jiwaku
yang berada di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya perempuan ini telah bertobat dengan tobat
yang apabila dilakukan oleh seorang penarik pajak secara kejam, niscaya dia akan diampuni (
HR Muslim V/120 ).

Di lain wakru, masih pada kasus perzinaan, kali ini dilakukan oleh seorang wanita Juhainah.
Setelah tewas dirajam, Rasulullah saw pun menyalati wanita tersebut, hingga Umar bin Khattab
ra heran dan bertanya : Apakah engkau menyalatinya ya Nabiyyullah. Padahal dia telah berbuat
zina ? . Nabi saw menjawab, Sesungguhnya dia telah bertobat dengan sungguh-sungguh.
Seandainya tobat wanita ini dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, maka
hal itu masih cukup ( HR Muslim V/120)

Meski demikian agungnya sebuah taubat di sisi Allah, namun di sisi seorang laki-laki terkadang
lain kesannya. Sungguh berat menerima hal ini. Sebagai laki-laki ada gengsi yang tinggi ketika
menerima kenyataan istrinya pernah berbuat keji dengan laki-laki lain. Jangankan keperawanan
fisik yang telah direnggut, sebagian laki-laki ada pula yang tidak mau menerima istri yang
pernah mencintai orang lain. Salah satu contoh tipe laki-laki tersebut adalah As-Syahid Sayyid
Quthb. Beliau menolak menikahi seorang wanita yang lama dicintainya secara tulus, hanya
karena wanita tersebut pernah berkenalan dan dipinang oleh laki-laki lain. Keperawanan hati,
demikian beliau mengistilahkannya dalam karya sastra romantis yang bertutur tentang kisah
nyata cinta sejatinya, jauh sebelum mengenal dunia dakwah dan pergerakan.


Akhirnya, semua telah terjadi. Pastikan bahwa tidak ada lagi cinta jahiliyah yang terpendam.
Pastikan bahwa hanya taubat yang tersisa. Kemudian berusahalah untuk menerima istri Anda apa
adanya. Membimbingnya dengan sepenuh keyakinan, bahwa taubat adalah software anti virus
masa lalu yang paling canggih dan selalu up to date.

Jika belum mampu, maka tunggulah sejenak barang sepekan dua pekan. Tak perlu ada banyak
perdebatan atau pertengkaran fisik terjadi. Hingga kita yakin sepenuhnya bahwa tidak ada emosi
dan nafsu yang berbicara. Keputusan yang terbaik dan barakah, insya Allah kan menjelang.

d. Meneguhkan bukan Meruntuhkan Mesra

Ada kalanya tak ada darah di malam pertama, dan sang istri pun tak tau apa sebabnya. Namun
yang berkecamuk hebat dalam pikirannya, sang suami meragukan keperawanannya. Maka
hatinya pun serasa hancur terjerembab. Percaya diri yang sedari tadi ditatanya runtuh tak terkira.
Tiba-tiba wanita tersebut menjadi sang tertuduh. Ia sangat heran mengapa tak ada sedikitpun
darah yang menetes. Padahal kondisinya serupa persis dengan apa yang dikatakan Maryam as
kepada Jibril As : Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah
seorang manusiapun menyentuhku, dan aku bukan (pula) seorang pezina ( QS Maryam 20 )

Terkadang ini menjadi hal yang begitu mengerikan bagi para wanita. Mereka yang sejak lama
menunggu malam pengantin untuk mempersembahkan darah perawannya pada sang suami
tercinta, tiba-tiba harapan mulia ini pupus begitu saja. Tidak ada darah yang keluar, dan ia
merasa wajah suaminya berubah begitu menyeramkan. Hatinya menangis teriris-iris dan berkata-
kata lirih, sebagaimana kondisi Maryam saat merasa takut akan tuduhan kaumnya : Aduhai,
alangkah baiknya jika aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti dan
terlupakan (oleh manusia) (QS Maryam 23)

Wahai para suami, jika menemukan kondisi seperti ini, saatnya untuk meneguhkan mesra. Bukan
meruntuhkannya. Saat ini sangat menentukan baginya. Ada kata-kata bijak yang ditunggunya
dari Anda. Katakan sejujurnya, bahwa setetes darah bukanlah hal yang besar bagi Anda. Katakan
pula, bahwa banyak hal dan kondisi yang mungkin menyebabkan tidak tumpahnya darah sama
sekali. Katakan apa saja yang meninggikan hatinya, hingga rasa percaya dirinya tumbuh
kembali. Hingga ia merasa bahwa Anda sama sekali tak terpengaruh dengan peristiwa aneh yang
baru saja terjadi. Saatnya meneguhkan mesra, bukan meruntuhkannya.

Bagaimana jika saya usul, katakan saja kepada istri Anda saat ia tengah bersedih dengan
kenyataan unik tersebut : " Dinda, kok nggak ada darah yang keluar ya... kita coba lagi yuk ! "

Anda mungkin juga menyukai