Anda di halaman 1dari 25

Sistem Rumah Tangga Dalam

Otonomi Daerah
Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah
Pusat negara Republik Indonesia sangat sentralistik
dan semua daerah di republik ini menjadi
perpanjangan tangan kekuasaan Jakarta
(pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde
Baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni
berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran
(daerah). Daerah yang kaya akan sumber daya
alam, ditarik keuntungan produksinya dan
dibagi-bagi di antara elite Jakarta, alih-alih
diinvestasikan untuk pembangunan daerah.
Akibatnya, pembangunan antara di daerah dengan
di Jakarta menjadi timpang.
B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto
sebagai presiden pasca-Orde Baru
membuat kebijakan politik baru yang
mengubah hubungan kekuasaan pusat dan
daerah dengan menerbitkan Undang- Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan
Otonomi Daerah atau yang biasa disebut
desentralisasi. Dengan terbitnya undang-
undang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya
bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau
didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa
daerah, seperti Aceh, Riau dan Papua
menuntut merdeka dan ingin berpisah dari
Republik Indonesia.
Berangsur-angsur, pemekaran wilayah
pun direalisasikan dengan
pengesahannya oleh Presiden Republik
Indonesia melalui undang-undang. Sampai
dengan tanggal 25 Oktober 2002, terhitung
empat provinsi baru lahir di negara ini, yaitu
Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, dan
Kepulauan Riau. Pulau Papua yang
sebelumnya merupakan sebuah provinsi pun
saat ini telah mengalami pemekaran, begitu
pula dengan Kepulauan Maluku.
Terakhir, pada 4 Desember 2005
sejumlah tokoh dari 11 kabupaten di
Nanggroe Aceh Darussalam
mendeklarasikan pembentukan Provinsi Aceh
Leuser Antara dan Provinsi Aceh Barat
Selatan. Aceh Leuser Antara terdiri dari
lima kabupaten, yakni Aceh Tengah, Aceh
Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Bener
Meriah. Sedangkan Aceh Barat Selatan
meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat
Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan Raya.

Pemberlakuan sistem otonomi daerah
merupakan amanat yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
Amandemen Kedua tahun 2000 untuk
dilaksanakan berdasarkan undang-undang
yang dibentuk khusus untuk mengatur
pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-
amandemen itu mencantumkan
permasalahan pemerintahan daerah dalam
Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan
Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri
tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk
diatur lebih lanjut oleh undang-undang.

Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, Pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Selanjutnya, pada ayat
(5) tertulis, Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat. Dan ayat (6) pasal yang sama
menyatakan, Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor
32 Tahun 2004) memberikan definisi
otonomi daerah sebagai berikut: Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Dalam sistem otonomi daerah, dikenal
istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan. Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonomi untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalamsistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan
dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenangpemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah dan/atay kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.

Sementara itu, tugas pembantuan
merupakan penugasan dari pemerintah
pusat kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota
dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu. Di samping itu,
dalam penyelenggaraan Otoda kita kenal juga
prinsip Otoda, diantaranya adalah: prinsip otda
nyata, luas dan bertanggungjawab.
Pembentukan daerah otonom dalam rangka
desentralisasi di Indonesia memiliki ciri-ciri :
Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi
kedaulatan layaknya di negara federal.
Daerah otonom tidak memiliki Povouir Contituant.
Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk
penyerahan atau pengakuan atas urusan
pemerintahan.
Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada butir c tersebut di atas
utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan
kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai
dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat
Ciri umum penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia sesuai dengan UUD
1945 adalah :
Kesatuan pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan oleh
Pemerintah, bahkan dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum.
Dalam rangka desentralisasi, di wilayah Indonesia dibentuk Provinsi dan di
wilayah Provinsi dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom.
Sebagai konsekuensi ciri butir 1 dan 2, maka kebijakan desentralisasi
dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
Hubungan antara pemerintah daerah otonom dengan pemerintah nasional
(Pusat) adalah bersifat tergantung (dependent) dan hirarkhi (sub-ordinate).
Hal ini berbeda dengan hubungan antara negara bagian dengan pemerintah
federal yang menganut prinsip federalisme, yang sifatnya independent dan
koordinatif.
Penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan
oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik.
Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan
pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan tidak mencakup
urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara Tertinggi dan/atau
Lembaga Tinggi Negara lainnya
Sistem Rumah Tangga Formal
pada sistem rumah tangga formal, pembagian
wewenang, tugas dan tanggungjawab antara
pemerintah pusat dan daerah untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintah tertentu tidak ditentukan
secara rinci.
sistem rumah tangga formal berpangkal tolak bahwa
tidak ada perbedaan sipat antara urusan yang
disenggarakan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Apa saja yang diselenggarakan oleh pusat dapat juga
diselenggarakan oleh daerah.
dalam sistem rumah tangga formal tidak secara apriori
menetapkan apa yang termasuk rumah tangga daerah
itu. Tugas dari daerah-daerah tidak dirinci secara
nominatif didalam undang-undang pembentukannya,
melainkan ditentukan umum saja.
secara teoritik sistem runah tangga formal
memberikan keleluasaan kepada aderah untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
menjadikan urusan tersebut urusan rumah tangga
daerah. Sau-satunya pembatasan terhadap daerah
adalah: bahwa daerah tidak boleh mengatur apa
yang telah diatur dengan undang-undang c.q
peraturan daerah yang tinggi tingkatannya.
apabila pihak yang lebih tinggi kemudian mengatur
apa yang tadinya telah diatur oleh daerah, maka
peraturan daerah yang bersangkutan sejak itu
dinyatakan tidak berlaku lagi.


Sistem Rumah Tangga Material

dalam sistem rumah tangga material ada pembagian
wewenang, tugas dan tanggungjawab yang rinci
antara pusat dan daerah. Urusan pemerintahan yang
termasuk dalam urusan rumah tangga daerah
ditetpakan dengan pasti.
daerah dianggap memang mempunyai ruanglingkup
urusan pemerintahan tersendiri yang secara material
berbeda dengan urusan pememrintahan yang diatur
dan di urus oleh pusat. Lebih lanjut sistem ini
berangkat dari pemikiran bahwa urusan-urusan
pemerintahan dapat dipilah-pilah dalam berbagai
lingkungan satuan pemerintahan.
sistem rumah tangga material sebenarnya berpangkal tolak
dari pemikiran yang keliru, yaitu anggapan bahwa urusan
pememrintahan itu dapat dipilah-pilah. Memang dalam hal
tertentu tanpak sifat suatu urusan pememrintahan, misalnya
yang menyangkut kepentingan dan ketertiban seluruh
negara (pertahanan, urusan luar negeri dan moneter). Tetapi
cukup banyak urusan pemerintahan yang menampakkan
sifat atau karakter ganda.
lebih lanjut, sistem rumah tangga material tidak memberikan
peluang untuk secara cepat menyesuaikan suatu urusan
pemerintahan dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Suatu urusan yang semula dianggap urusan yang bersifat
lokal, karena perkembangan dapat berubah menjadi urusan
yang bercorak nasional, sehingga perlu diatur dan diurus
secara nasional juga.
Sistem Rumah Tangga Nyata (Riil)

dalam sistem ini, penyerahan tugas dan kewenangan
kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata,
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil
dari daerah maupun pememrintahan pusat serta
pertumbuhan masyarakat yang terjadi. Karena
pemberian tugas dan kewajiban serta kewenaangan
ini didasarkan pada kedaan yang riil dalam
masyarakat, maka memungkinkan tugas/wewenang
yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat
dapat diserahkan kepada pemerintah daerah, dengan
melihat kemampuan dan keperluannya untuk diatur
dan diurus sendiri.
sistem rumah tangga nyata mengandung ciri-ciri sistem rumah
tangga formal dan sistem rumah tangga material. Meskipun
demikian, rumah tangga nyata menunjukkan ciri-ciri yang khas
yang membedakannya dengan rumah tangga formal dan
rumah tangga material, yaitu: pertama, adanya urusan
panggkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu
daerah otonom, memberikan kepasatian mengenai urusan
rumah tangga daerah. Kedua, disamping urusan-urusan rumah
tangga yang ditetapkan secara material, daerah-daerah dalam
rumah tangga nyata dapat mengatur dan mengrus semua
urusan pememrintahan yang menurut pertimbangan adalah
penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus
oleh pemerintah pusat. Ketiga, otonomi dalam rumah tangga
nyata didasarkan pada faktor-faktor nyata suatu daerah.
Sistem Rumah Tangga Sisa (Residu)

Dalam sistem ini, secara umum telah ditetntukan lebih
dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah
pusat, sedangkan sisnya menjadi urusan rumah tangga
daerah.
Kebaikan sistem ini terutama terletak pada saat timbulnya
keperluan-keperluan baru, Pemda dapat dengan cepat
mengambil keputusan dan tindakan yang dianggap perlu
tanpa menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya sistem ini
dapat pula menimbulkan kesulitan, menggingat daerah yang
satu dan lainnya tidak sama dalam berbagai lapangan atau
bidang. Akibatnya , bidang atau tugas yang dirumuskan
secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah
yang besar dan terlalu luas bagi daerah yang
kemampuannya terbatas.
Sistem Rumah Tangga Nyata, Dinamis dan Bertanggung
Jawab

Prinsip ini merupakan salah satu variasi dari sistem otonomi riil.
Esensi otonomi nyata dalam arti bahwa pemberian otonomi
kepada daerah harus didasarkan pada faktor-faktor,
perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat
menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu
mengrus rumah tangganya sendiri.
Otonomi yang bertanggung jawab dalam arti bahwa pemberian
otonomi itu harus benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu
melancarkan pembangunan dan tidak bertentangan dengan
BGHN, Politik dan kesatuan antara PemPusat dan Daerah
untuk menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
Sistem Rumah Tangga Daerah Berdasarkan UU No 32
Th 2004
Dengan merujuk pada konsep sistem rumah tangga yang lazim
diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara
kesatuan yang menganut sistem pemerintahan Desentralisasi,
yakni sistem rumah tangga formal, material dan riil, tanpa bahwa
UU N0 32 Th 2004 menganut sistem rumah tangga riil (nyata),
yang berarti mengambil jalan tengah antara sistem rumah tangga
formal dan sistem rumah tangga material. Dengan kata lain, dalam
UU N0 32 Th 2004 terdapat unsur rumah tangga formal dan rumah
tangga material.
Unsur rumah tangga formal dalam UU N0 32 Th 2004 terdapat
dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2).
Sedangkan unsur rumah tangga material terdapat dalam Pasal 13
ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) UU N0 32 Th 2004.
Dengan di anutnya sistem rumah tangga riil atau nyata
membawa makna urusan pemerintahan daerah
Indonesia itu sangat luas, apalagi bagi daerah-daerah
yang mengembangkan urusan rumah tangga yang
bersifat pilihan, serta daerah yang mendapatkan
limpahan urusan melalui tugas pembantuan. Luasnya
urusan pemerintahan ini membwa konsekwensi
banyaknya perangkat daerah yang perlu dipersiapkan
dan besarnya pembiayaan.
Adanya kekhawatiran terhadap pemberian otonomi
seluas-luasnya yang dapat berakibat pada ketidak
harmonisan hubungan antara pusat dan daerah
sesungguhnya tidak perlu terjadi bila dalam
pelaksanaannya tetap berpegang pada prinsip-prinsip
negara yang berotonomi, yaitu:
1. Otonomi adalah perangkat dalam negara
kesatuan. Jadi seluas- luasnya otonomi tidak
dapat menghilangkan arti, apalagi keutuhan
negara kesatuan.
2. Isi otonomi bukanlah pembagian jumlah urusan.
Pembagian urusan harus dilihat dari sifat dan
kualitasnya. Urusan-urusan rumah tangga daerah
selalu ditekankan pada urusan pelayanan.
Jadi, sesungguhnya pengertian otonomi luas bukanlah
terutama soal jumlah urusan. Otonomi luas harus diarahkan
pada pengertian kemandirian, yaitu kemandirian untuk secara
bebas menentukan cara-cara mengurus rumah tangganya
sendiri menurut prinsip-prinsip umum otonomi.
3. Dalam setiap otonomi, selalu disertai dengan sistem dan
mekanisme kendali dari pusat. Kendali itu adalah kendali
dalam bentuk pengawasan dan keuangan.
Berpedoman pada uraian-uraian di atas, terkadung suatu
prinsip bahwa dalam pemberian otonomi harus disesuaikan
dengan potensi daerah yang berbeda-beda. Oleh karena
itu, dalam penentuan isi OTODA minimal ada dua hal yang
penting yaitu:
Pembarian otonomi seluas-luasnya
mengandung arti kemandirian daerah.
Betapapun banyak urusan yang
diserahkan, apabila daerah tidak mandiri,
tidak akan mewujudkan otonomi yang
sebarnya.
Penyelenggaraan otonomi riil atau nyata
tidak menghendaki prinsip uniformitas
dalam penyerahan urusan. Tiap daerah
akan memiliki urusan rumah tangga sesuai
dengan kenyataan yang ada pada daerah
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai