Anda di halaman 1dari 19

JURNAL PENGUNGKAPAN

DIRI PADA MANTAN


NARAPIDANA

Leonie Fitriani Ndoen
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma

ABSTRAKSI

Sudah menjadi harapan besar
bagi setiap terpidana yang menjalani
hukuman untuk dapat menghirup udara
segar di luar penjara dan kembali
ditengah masyarakat, namun predikat
bekas narapidana ibarat beban yang
amat berat, dan mendapat pandangan
penuh curiga dari masyarakat. Agar
mantan narapidana dapat berinteraksi
kembali dengan baik di masyarakat,
maka mantan narapidana harus dapat
menjaga dan mempertahankan suatu
hubungan dengan cara pengungkapan
diri. Diharapkan dengan pengungkapan
diri seorang mantan narapidana dapat
berinteraksi kembali di masyarakat.
Tujuan dari diadakannya
penelitian ini adalah mendapat
penjelasan tentang bagaimana
pengungkapan diri seorang mantan
narapidana, mendapat penjelasan
mengenai faktor-faktor apa yang
menyebabkan seorang mantan
narapidana melakukan pengungkapan
diri, dan mendapat penjelasan mengenai
dampak apa yang terjadi dari
pengungkapan diri seorang mantan
narapidana. Dalam penelitian ini
digunakan metode kualitatif dalam
bentuk studi kasus, dengan subjek
dalam penelitian ini adalah seorang pria
yang pernah melakukan tindak pidana
dan telah selesai menjalani hukumannya
dan berstatus sebagai mantan
narapidana.
Berdasarkan hasil penelitian
mengenai pengungkapan diri pada
mantan marapidana dapat disimpulkan
bahwa, subjek seorang yang memiliki
kemampuan pengungkapan diri yang
tinggi, hal ini dapat dilihat dari jumlah
informasi yang di ungkapkan, sifat
pengungkapan diri, kedalaman
informasi, waktu pengungkapan diri
serta lawan bicara yang dapat membuat
subjek melakukan pengungkapan diri.
Faktor yang menyebabkan subjek
melakukan pengungkapan diri yaitu
faktor eksternal yang terdiri dari,
perasaan menyukai, efek diadik, jenis
kelamin, dan penerimaan masyarakat,
serta faktor internal yang terdiri dari .
Adapun dampak dari pengungkapan diri
subjek ialah subjek merasa bahwa
kesadaran diri nya meningkat, dapat
mengatasi perasaan takut, dapat
membangun hubungan yang lebih dekat
dan mendalam, dapat memecahkan
berbagai konflik dan masalah
interpersonal, dan dapat memperoleh
energi tambahan yang di peroleh dari
teman-teman subjek dan lingkungan
subjek yang mendengar pengungkapan
diri subjek.
Kata kunci : Pengungkapan Diri, Mantan
Narapidana

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah


Sudah menjadi harapan besar
bagi setiap terpidana yang menjalani
hukuman untuk dapat menghirup udara
segar di luar penjara, kembali dan hidup
ditengah masyarakat bersama keluarga,
sahabat dan bergaul dengan anggota
masyarakat yang lain, merupakan
angan-angan yang indah bagi setiap
narapidana. Namun demikian, angan-
angan itu terkadang tidak semulus
seperti yang terlintas dalam benak
mereka, karena predikat bekas
narapidana ibarat beban yang amat
berat, penuh tantangan dan pandangan
penuh curiga dari masyarakat.
Sebagian besar dari pelaku
pelanggaran hukum sesungguhnya
hanyalah orang-orang yang secara
situasional (dalam keadaan khusus)
melakukan pelanggaran hukum, dan
kemungkinan pengulangan
pelanggarannya kecil. Demikian juga
banyak orang yang melakukan
1

pelanggaran hukum secara tidak


sengaja atau karena lalai. Dalam
keadaan sakit (jiwa) orang tidak
menyadari apa yang dilakukan ketika
melakukan tindakan pelanggaran hukum
pidana. Orang menjadi pelaku
pelanggaran berulang melalui suatu
proses yang panjang, termasuk
memahirkan tindakan pelanggaran
ketika berada di dalam lembaga
penghukuman (penjara) dan penolakan
masyarakat untuk berinteraksi kembali
dengan masyarakat (Mustofa, 2008).
Widyastuti (2008) mengatakan
bahwa dalam kehidupan sosial di
masyarakat, penolakan masyarakat
terhadap mantan narapidana dapat
disebabkan karena pandangan negatif
kepada setiap mantan narapidana, dan
sikap kewaspadaan masyarakat yang
berlebihan terhadap mantan narapidana.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
setiap anggota masyarakat atau
lingkungan manapun memang tertata
oleh aturan yang telah disetujui anggota
lingkungannya. Semakin majemuk dan
besar suatu lingkungan maka norma
dan aturan yang ada semakin baku dan
tertera dalam hukum yang disahkan
melalui proses berstandar nasional
maupun internasional. Hal ini senada
dengan pendapat Kurniawan (2008)
yang mengatakan bahwa mantan
narapidana sering kesulitan kembali ke
tengah masyarakat karena predikat
negatif narapidana. Sikap penolakan
sebagian masyarakat terhadap para
mantan napi terkadang membuat
mereka merasa diperlakukan tidak
manusiawi.
Yudobusono (1995)
mengatakan adanya penilaian negatif
tentang mantan narapidana dikarenakan
banyaknya narapidana yang mengulangi
kesalahannya berulang kali, sehingga
membuat masyarakat memandang
rendah dan negatif pada mereka, namun
demikian di samping adanya pandangan
negatif dari masyarakat, dari mantan
narapidana sendiri juga terjadi rasa
rendah diri dan juga adanya hambatan-
hambatan psikologis untuk terjun di
tengah masyarakat. Pendapat ini di
dukung oleh Fattah (2008), yang
mengatakan bahwa individu seringkali
dirundung rasa curiga dan rasa tidak
percaya diri sehingga tidak berani
menyampaikan berbagai gejolak atau
pun emosi yang ada di dalam dirinya
kepada orang lain, apalagi jika
menyangkut hal-hal yang dianggapnya
tidak baik untuk diketahui orang lain.
Dampaknya individu lebih banyak
memendam berbagai persoalan hidup
yang akhirnya seringkali terlalu berat
untuk ditanggung sendiri sehingga
menimbulkan berbagai masalah
psikologis maupun fisiologis, untuk
menutup pandangan negatif itu perlu
pembuktian diri dengan banyak
memberikan prestasi sehingga
pandangan negatif akan berangsur
menjadi pandangan positif.
Yudobusono (1995) juga
mengatakan bahwa sebelum kembali ke
masyarakat, mantan narapidana terlebih
dahulu dididik, dibina, serta
dikembangkan kehidupannya agar
menjadi orang yang aktif dan produktif
serta kreatif sehingga mantan
narapidana dapat membuktikan diri,
berinteraksi kembali dengan masyarakat
dan dapat memenuhi kebutuhan hidup
nya sendiri maupun untuk keluarganya
dengan jalan tidak melanggar hukum
lagi.
Berinteraksi kembali dengan
masyarakat, sama juga dengan
berhubungan dengan orang lain. Weiss
(dalam Brehm, 1992) berpendapat
bahwa terdapat lima kebutuhan penting
yang hanya dapat dipenuhi melalui
hubungan dengan orang lain, yaitu:
kebutuhan untuk menyatakan perasaan
secara bebas terhadap orang lain,
kebutuhan dalam hal berbagai perhatian
dan kekhawatiran, kebutuhan dalam hal
pengasuhan, kebutuhan untuk
memberikan bantuan kepada orang lain,
kebutuhan menjamin kembali apa yang
menjadi bagian individu tersebut. Hal ini
di perkuat dengan pernyataan Maslow
(dalam Ritandiyono & Retnaningsih,
1996) yang berpendapat bahwa terdapat
lima kebutuhan-kebutuhan universal
yang dibawa individu sejak lahir yaitu:
kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan
rasa aman, kebutuhan akan rasa
memiliki dan cinta, kebutuhan akan
2

penghargaan, dan kebutuhan akan


aktualisasi diri.
Menurut Fattah (2008),
pengungkapan diri dapat diartikan
sebagai pemberian informasi tentang diri
sendiri kepada orang lain. Informasi
yang diberikan tersebut dapat mencakup
berbagai hal seperti pengalaman hidup,
perasaan, emosi, pendapat, cita-cita,
dan lain sebagainya. Pengungkapan diri
haruslah dilandasi dengan kejujuran dan
keterbukaan dalam memberikan
informasi, atau dengan kata lain apa
yang disampaikan kepada orang lain
hendaklah bukan merupakan suatu
topeng pribadi atau kebohongan belaka
sehingga hanya menampilkan sisi yang
baik saja.
Dalam hal ini mantan narapidana
yang ingin mengungkapkan dirinya di
masyarakat cenderung memiliki rasa
rendah diri yang besar dikarenakan
statusnya sebagai mantan narapidana
yang dipandang negatif dalam
masyarakat. (Kurniawan, 2008). Dari
masyarakat sendiri sulit untuk menerima
mantan narapidana, Wahid (2008)
mengatakan mantan narapidana sulit
mencari pekerjaan karena perusahaan
selalu melihat catatan perbuatan
seorang mantan napi, jarang
perusahaan yang mau menerima
mantan narapidana.
Berdasarkan uraian di atas maka
dapat disimpulkan bahwa dalam
kehidupan sosial di masyarakat, sering
kali terjadi penolakan masyarakat
terhadap mantan narapidana yang ingin
kembali kemasyarakat. Hal tersebut
dapat disebabkan karena pandangan
negatif masyarakat, sikap kewaspadaan
masyarakat yang berlebihan terhadap
mantan narapidana, dan dari mantan
narapidana sendiri terjadi rasa rendah
diri dan hambatan-hambatan psikologis
untuk terjun di tengah masyarakat. Agar
mantan narapidana dapat berinteraksi
kembali dengan baik di masyarakat,
maka mantan narapidana harus dapat
menjaga dan mempertahankan suatu
hubungan dengan cara pengungkapan
diri.
Dari uraian di atas peneliti
melihat bahwa permasalahan yang
dialami oleh mantan narapidana yang
ingin berinteraksi kembali kemasyarakat
dengan cara mengungkapkan dirinya di
masyarakat, menarik untuk diteliti. Maka
peneliti mencoba mengangkat
permasalahan yang dihadapi seorang
mantan narapidana yang ingin
mengungkapkan dirinya di masyarakat,
serta dampak-dampak apa saja yang
timbul dari pengungkapan diri seorang
mantan narapidana.
B. Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian ini akan diajukan
beberapa pertanyaan, antara lain :
1. Bagaimana pengungkapan diri pada
mantan narapidana?
2. Faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan mantan narapidana
melakukan pengungkapan diri?
3. Apa dampak pengungkapan diri pada
mantan narapidana?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa
tujuan diantaranya ialah:
1. Untuk mengetahui bagaimana
pengungkapan diri pada mantan
narapidana.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa
saja yang menyebabkan mantan
narapidana melakukan
pengungkapan diri.
3. Untuk mengetahui dampak
pengungkapan diri pada mantan
narapidana.

D. Manfaat Penelitian

Penilitian ini diharapkan memiliki
dua manfaat, yaitu:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi
masukan teoritis bagi perkembangan
ilmu psikologi, khususnya psikologi
sosial, serta dapat digunakan sebagai
pedoman dalam penelitian yang lebih
lanjut, mengenai pengungkapan diri
pada mantan narapidana.
3

2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai
pengungkapkan diri seorang mantan
narapidana dalam masyarakat, sehingga
mantan narapidana dapat berinteraksi
kembali dengan masyarakat dan dapat
diterima dimasyarakat, dan diharapkan
agar seorang mantan narapidana tidak
melakukan perbuatan melanggar hukum
lagi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengungkapan Diri

1. Pengertian Pengungkapan Diri
Dalam kehidupan sosial di
masyarakat, individu seringkali
dirundung rasa curiga dan tidak percaya
diri yang kuat sehingga tidak berani
menyampaikan berbagai gejolak atau
pun emosi yang ada di dalam dirinya
kepada orang lain, apalagi jika
menyangkut hal-hal yang dianggapnya
tidak baik untuk diketahui orang lain.
Akibatnya individu tersebut lebih banyak
memendam berbagai persoalan hidup
yang akhirnya seringkali terlalu berat
untuk ditanggung sendiri sehingga
menimbulkan berbagai masalah
psikologis maupun fisiologis (Fattah,
2008).
Pada bab terdahulu telah
dikatakan dalam suatu ruang konseling,
banyak individu yang mengatakan
bahwa mereka sulit sekali
mengungkapkan diri (mengatakan
pendapat, perasaan, cita-cita, rasa
marah, jengkel, dan sebagainya) kepada
orang lain, bahkan tidak pernah berbagi
informasi jika tidak diminta atau ditanya,
yang menarik adalah mereka mengakui
bahwa kondisi tersebut sangat tidak
nyaman dan cenderung membuat
mereka dijauhi oleh rekan atau pun
anggota keluarganya sendiri. Meskipun
di satu sisi mereka merasa ragu dan
takut untuk mengungkapkan diri, namun
di sisi lain mereka merasa bahwa hal
tersebut sangat diperlukan untuk
meringankan beban diri sendiri (Fattah,
2008).
Menurut Handoyo (1987),
pengungkapan diri adalah suatu bentuk
komunikasi dimana seseorang membagi
dan mengungkapkan hal-hal atau
informasi yang sifatnya pribadi dan
rahasia dan saat dimana seseorang
menceritakan perasaannya kepada
orang lain yang ia percayai.
Pengungkapan diri dapat menjadi hal
penting dalam membangun hubungan
ke tingkat yang lebih intim.
Selanjutnya Fattah (2008),
mengatakan pengungkapan diri dapat
diartikan sebagai pemberian informasi
tentang diri sendiri kepada orang lain.
Informasi yang diberikan tersebut dapat
mencakup berbagai hal seperti
pengalaman hidup, perasaan, emosi,
pendapat, cita-cita, dan lain sebagainya.
Pengungkapan diri haruslah di landasi
dengan kejujuran dan keterbukaan
dalam memberikan informasi, atau
dengan kata lain apa yang disampaikan
kepada orang lain hendaklah bukan
merupakan suatu topeng pribadi atau
kebohongan belaka sehingga hanya
menampilkan sisi yang baik saja.
Johnson (1997), mendefinisikan
pengungkapan diri sebagai pengutaraan
kepada orang lain tentang bagaimana
individu bereaksi terhadap situasi saat
ini dan bagaimana dia memberikan
informasi tentang masa lalu secara
relevan, sehingga orang lain dapat
memahami tindakan yang di ambil saat
ini. Dengan pengungkapan diri pada
seseorang, itu berarti individu
mengatakan pada seseorang mengenai
perasaannya tentang apa yang telah ia
lakukan atau katakan atau perasaannya
terhadap suatu peristiwa yang baru saja
terjadi.
Berdasarkan uraian diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa
pengungkapan diri adalah suatu bentuk
komunikasi dimana di dalamnya terjadi
suatu pemberian informasi kepada
orang lain, terhadap situasi saat ini dan
bagaimana dia memberikan informasi
tentang masa lalu secara relevan,
4

mengenai hal-hal yang sifatnya pribadi


dan rahasia.
2. Komponen Pengungkapan Diri
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Gilbert (dalam Pearson,
1983), ada lima komponen dari
pengungkapan diri yaitu:
a. Jumlah informasi yang diungkap
Tidak semua orang memberikan
jumlah informasi yang sama dalam
proses pengungkapan diri yang
mereka lakukan. Ada beberapa
orang yang relatif dapat dikatakan
tidak memberikan informasi pribadi
tentang dirinya dan beberapa orang
yang lain lagi menceritakan semua
pengalaman masa lalunya, apa yang
terjadi pada dirinya pada saat ini dan
tujuan-tujuannya untuk masa depan.
b. Sifat dari pengungkapan diri
Sifat pengungkapan diri itu berbeda-
beda (Positif dan Negatif). Yang
termasuk di dalam pengungkapan diri
yang bersifat positif adalah
pernyataan mengenai pribadi yang
dapat dikategorikan sebagai pujian
atau ucapan selamat. Pengungkapan
diri yang sifatnya negatif adalah
suatu penilaian pernyataan yang
bentuknya celaan mengenai diri
pribadi. Pengungkapan diri yang
sifatnya negatif dapat memberikan
masalah untuk orang lain jika hal ini
dilakukan secara berlebihan.
c. Kedalaman pengungkapan diri
Pengungkapan diri dapat dilakukan
dengan dalam ataupun dangkal.
Memberitahukan mengenai aspek-
aspek tentang diri pribadi yang tidak
biasa dan yang menyebabkan diri
mudah mendapat celaan, termasuk
juga tujuan hidup yang sifatnya
spesifik serta mengenai kehidupan
yang intim, dipertimbangkan atau
dapat dikatakan pengungkapan diri
yang sifatnya dalam. Pernyataan
mengenai makanan kesukaan, dan
hal-hal yang sifatnya tidak intim
adalah pengungkapan diri yang
sifatnya dangkal.
d. Waktu pengungkapan diri
Pengungkapan diri juga dapat dilihat
dalam bentuk waktu yang terjadi
dalam suatu hubungan.
Pengungkapan diri dalam suatu
hubungan biasanya dilakukan
dengan orang asing dan dalam tahap
pertama dari suatu hubungan, kurang
lebih terjadi selama tahap
pertengahan suatu hubungan, dan
pengungkapan diri meningkat seperti
halnya meningkatnya waktu atau
lamanya suatu hubungan.
e. Lawan bicara
Pengungkapan diri biasanya
dilakukan dengan orang lain yang
dirasakan dekat atau dapat
dipercaya. Hal ini dapat dilakukan
dengan orang tua, dengan suami
atau istri, pacar, atau teman yang
berjenis kelamin sama. Dengan siapa
seseorang melakukan pengungkapan
diri adalah penting dan ini merupakan
komponen terakhir dari
pengungkapan diri yang tidak dapat
diabaikan.
3. Dimensi Pengungkapan Diri
Menurut Derlega et al. (1993),
terdapat dua dimensi dari
pengungkapan diri:
a. Descriptive Self Disclosure;
pengungkapan diri yang berisi
informasi dan fakta-fakta tentang diri
sendiri yang bersifat kurang pribadi,
seperti riwayat keluarga, kebiasaan-
kebiasaan, dan lain-lain.
b. Evaluative Self Disclosure;
pengungkapan diri yang berisi
ekspresi mengenai perasaan-
perasaan, pikiran-pikiran, dan
penilaian-penilaian pribadi seperti
perasan cinta atau benci, peristiwa-
peristiwa yang memalukan.
4. Karakteristik Pengungkapan Diri
Pengungkapan diri yang efektif memiliki
5

sejumlah karakteristik (Johnson, 1997),


antara lain:
a. Reaksi yang diberikan kepada
individu atau peristiwa lebih merujuk
pada perasaan daripada fakta-fakta.
Untuk dapat mengungkapkan diri
artinya dapat berbagi dengan orang
lain bagaimana perasaan kita
mengenai suatu peristiwa yang baru
saja terjadi.
b. Pengungkapan diri memiliki dua
dimensi: keluasan dan kedalaman.
Untuk dapat mengenal seseorang
lebih baik, kita menampilkan lebih
banyak topik untuk dijelaskan
(keluasan) dan membuat penjelasan
itu diungkapkan secara lebih pribadi
(kedalaman).
c. Pengungkapan diri fokus pada saat
ini, bukan masa lalu. Pengungkapan
diri bukan berarti kita
mengungkapkan secara mendalam
mengenai masa lalu kita. Seseorang
mengetahui dan mengenal kita bukan
melalui sejarah masa lalu kita tapi
melalui pemahaman mereka tentang
bagaimana kita bersikap.
d. Pada tahap awal suatu hubungan,
pengungkapan diri perlu saling
berbalasan. Jumlah pengungkapan
diri yang kita lakukan akan
mempengaruhi jumlah
pengungkapan diri yang dilakukan
oleh orang lain.
5. Faktor-faktor yang Menyebabkan
Pengungkapan Diri
DeVito (dalam Handoyo, 1987)
menjelaskan beberapa faktor yang
dapat menyebabkan pengungkapan diri
ialah:
a. Besar kelompok
Pengungkapan diri lebih banyak
terjadi dalam kelompok kecil
daripada dalam kelompok yang
besar. Kelompok yang terdiri dari dua
orang merupakan lingkungan yang
paling cocok untuk pengungkapan
diri.
b. Perasaan menyukai
Seorang individu akan melakukan
pengungkapan diri lebih kepada
orang yang disukai, dicintai dan yang
dipercayai. Ini tidak mengherankan
karena orang yang disukai akan lebih
bersikap mendukung dan positif.
c. Efek diadik
Seseorang akan melakukan
pengungkapan diri apabila lawan
bicaranya juga melakukan
pengungkapan diri. Efek diadik ini
membuat seseorang yang melakukan
pengungkapan diri merasa lebih
aman dan nyatanya memperkuat
perilaku pengungkapan diri sendiri.
d. Kompetensi
Mereka yang kompeten lebih
memiliki kepercayaan diri dan
karenanya lebih memanfaatkan
pengungkapan diri. Orang yang
kompeten kemungkinan memiliki
lebih banyak hal positif tentang
dirinya sendiri untuk diungkap
ketimbang orang-orang yang tidak
berkompeten.
e. Kepribadian
Orang yang mudah bergaul dan
ekstrovert melakukan pengungkapan
diri lebih banyak dibandingkan
mereka yang kurang pandai bergaul
dan introvert. Perasaan gelisah juga
mempengaruhi derajat
pengungkapan diri. Seseorang yang
kurang berani bicara pada umumnya
juga kurang mengungkapkan diri
ketimbang mereka yang berani
berbicara maka akan lebih nyaman
dalam berkomunikasi.
f. Topik
Seseorang cenderung membuka diri
tentang topik tertentu. Seseorang
mungkin akan lebih mengungkapkan
informasi diri tentang pekerjaan dan
hobi dibandingkan tentang kehidupan
seks atau situasi keuangan.

6

g. Jenis kelamin
Pada umumnya pria kurang terbuka
dibandingkan wanita, wanita yang
maskulin kurang membuka diri
dibandingkan dengan wanita feminin,
selanjutnya pria feminin lebih
membuka diri lebih besar
dibandingkan pria yang nilai skala
feminitasnya lebih rendah.
6. Dampak Positif Pengungkapan Diri
Johnson (1981), mengatakan
dampak positif dari pengungkapan diri
dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Meningkatkan kesadaran diri (self-
awareness)
Dalam proses pemberian informasi
kepada orang lain, anda akan lebih
jelas dalam menilai kebutuhan,
perasaan, dan hal psikologis dalam
diri anda. Selain itu, orang lain akan
membantu anda dalam memahami
diri anda sendiri, melalui berbagai
masukan yang diberikan, terutama
jika hal itu dilakukan dengan penuh
empati dan jujur.
b. Membangun hubungan yang lebih
dekat dan mendalam, saling
membantu dan lebih berarti bagi
kedua belah pihak
Keterbukaan merupakan suatu
hubungan timbal balik, semakin anda
terbuka pada orang lain maka orang
lain akan berbuat hal yang sama.
Dari keterbukaan tersebut maka akan
timbul kepercayaan dari kedua pihak
sehingga akhirnya akan terjalin
hubungan persahabatan yang sejati.

c. Mengembangkan keterampilan
berkomunikasi
Memungkinkan seseorang untuk
menginformasikan suatu hal kepada
orang lain secara jelas dan lengkap
tentang bagaimana ia memandang
suatu situasi, bagaimana
perasaannya tentang hal tersebut,
apa yang terjadi, dan apa yang
diharapkan.
d. Mengurangi rasa malu dan
meningkatkan penerimaan diri (self
acceptance)
Jika orang lain dapat menerima anda
maka kemungkinan besar anda pun
dapat menerima diri anda.
e. Memecahkan berbagai konflik dan
masalah interpersonal
Jika orang lain mengetahui
kebutuhan anda, ketakutan, rasa
frustrasi anda, dan sebagainya, maka
akan lebih mudah bagi mereka untuk
bersimpati atau memberikan bantuan
sehingga sesuai dengan apa yang
anda harapkan.
f. Memperoleh energi tambahan dan
menjadi lebih spontan
Harap diingat bahwa untuk
menyimpan suatu rahasia dibutuhkan
energi yang besar dan dalam kondisi
demikian seseorang akan lebih cepat
marah, tegang, pendiam dan tidak
riang. Dengan berbagi informasi hal-
hal tersebut akan hilang atau
berkurang dengan sendirinya.

7.Dampak Negatif dari Pengungkapan
diri
Walaupun pengungkapan diri dapat
meningkatkan rasa suka dan
perkembangan suatu hubungan, tetapi
dapat juga berdampak negatif De Vito
(1983), menyatakan dampak negatif
dari pengungkapan diri ialah sebagai
berikut :
a. Keacuhan
Individu mungkin akan berbagi
informasi dengan individu lain untuk
memulai suatu hubungan. Kadang-
kadang keterbukaan yang dilakukan,
adalah hubungan timbal balik oleh
individu lain yang membangun suatu
hubungan pada lain waktu. Namun
keterbukaan tersebut, terkadang
membuat individu lain bersikap acuh
dan tidak tertarik sama sekali untuk
mengenal diri individu tersebut.
b. Penolakan (rejection)
Informasi yang diungkapkan tentang
diri sendiri, dapat membawa diri
sendiri kepada suatu penolakan
sosial.
c. Hilang Kendali (loss of control)
7

Kadang-kadang informasi yang


diungkapkan kepada orang lain
tersebut, bertujuan untuk menyakiti
atau mengontrol perilaku orang yang
memberikan informasi.
d. Pengkhianatan
Saat diri individu mengungkapkan
informasi pribadi kepada orang lain,
individu sering menganggap dan
bahkan dengan tegas meminta, agar
pengetahuan akan informasi tersebut
hanya di antara penyampaian
informasi dengan orang yang
menerima informasi tersebut.
Sayangnya kepercayaan seperti ini
kadang-kadang dikhianati.
B. Mantan Narapidana

1. Pengertian Mantan Narapidana
Mantan narapidana adalah
orang yang pernah berbuat melanggar
norma-norma yang berlaku di
masyarakat dan telah selesai menjalani
hukuman yang dijatuhkan kepadanya.
(Yudobusono, 1995). Menurut UUNo. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (1982), terpidana adalah
seseorang yang dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan narapidana adalah
terpidana yang menjadi pidana hilang
kemerdekaan di lembaga
permasyarakat.
Dalam penjelasan pasal 2 RUU
Tahun 1996 tentang ketentuan pokok
permasyarakatan (dalam Soedjono,
1972) mantan narapidana adalah
seseorang yang pernah merugikan
pihak lain, kurang mempunyai rasa
tanggung jawab terhadap Tuhan dan
masyarakat serta tidak menghormati
hukum, namun telah
mempertanggungjawabkan
perbuatannya kepada hukum.
Admin, 2007 mengatakan
bahwa mantan narapidana adalah
seseorang yang pernah ditahan karena
diduga keras melakukan kejahatan,
karenanya untuk sementara dia
dimasukkan ke dalam tahanan untuk
kepentingan penyelidikan dan
pemerikasaan dari perkara yang
disangkakan kepadanya.
Menurut KUHP pasal 10 (dalam
KUHAP dan KUHP, 2002) narapidana
adalah predikat lazim diberikan kepada
orang yang terhadapnya dikenakan
pidana hilang kemerdekaan, yakni
hukuman penjara (kurungan). Salim dkk
(1991) mengemukakan narapidana
didefinisikan sebagai orang yang
dipenjara karena tindak pidana,
sedangkan mantan narapidana adalah
orang yang pernah dipenjara karena
tindak pidana namun masa tahananya
telah berakhir.
Berdasarkan dari beberapa
definisi yang telah disebutkan di atas
maka dapat disimpulkan bahwa mantan
narapidana adalah seseorang yang
pernah dihukum dan menjalani hukuman
di lembaga permasyarakatan namun
sekarang sudah selesai menjalani masa
hukuman di lembaga permasyarakatan,
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
2. Penggolongan Narapidana
Harsono (1995) mengemukakan
bahwa pada lembaga permasyarakatan
narapidana digolongkan berdasarkan :
a. Jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin dibedakan
berdasarkan perbedaan antara pria
dan wanita.
b. Usia
Berdasarkan usia narapidana
digolongkan menjadi dua, yang
pertama usia dewasa yaitu mereka
yang sudah berumur 18 tahun ke
atas, dan yang kedua usia anak-anak
yaitu mereka yang berusia di bawah
18 tahun.
c. Jenis kasus
Berdasarkan jenis kasus di lembaga
permasyarakatan, narapidana di
pisahkan dalam beberapa kriteria
jenis kasus kejahatan yaitu kejahatan
politik dan kejahatan kriminal dengan
kekerasan seperti perampokan,
penodongan, serta kriminal tanpa
kekerasan seperti penipuan, dan lain-
lain.
8

d. Lama hukuman
Berdasarkan lama hukuman
narapidana digolongkan berdasarkan
lamanya masa hukuman yang di
jatuhkan vonis pengadilan
terhadapnya yaitu ; seumur hidup, 1-
20 tahun (klasifikasi B-I), 4-12 bulan
(klasifikasi B-IIa), 1-3 bulan
(klasifikasi B-IIb), pidana denda
(klasifikasi B-IIIc) yang sudah
ditentukan pengadilan.

3. Bentuk-bentuk Penjelmaan
Kejahatan
Soesilo (1985), mengemukakan
tentang pembagian bentuk-bentuk
kejahatan yang dapat dilakukan melalui
2 jalan, yaitu :
a. Dilihat dari perbuatannya, maka jenis
kejahatan dapat dibagi atas 2 macam
; yang pertama yaitu dari caranya
dilakukan dan yang kedua dari objek
hukum yang diserangnya.
1) Dilihat dari caranya kejahatan itu
dilakukan dapat dibagi sebagai
berikut :
a) Kejahatan yang dilakukan
sedemikian rupa sehingga si
penderita dapat melihat baik
perbuatan maupun pelakunya,
tanpa atau dengan menyadari
bahwa perbuatannya itu
merupakan suatu pelanggaran
hukum, misalnya penganiyaan,
penghinaan, pencurian dengan
kekerasan, berbagai macam
penipuan, kejahatan seks dan
sebagainya, dan sebaliknya
kejahatan yang dilakukan
sedemikian rupa, sehingga si
penderita pada waktunya
dilakukan tidak dapat melihat
perbuatannya atau pelakunya
misalnya penggelapan,
penadahan, peracunan, berbagai
kejahatan pemalsuan dan
sebagainya.
b) Kejahatan dilakukan dengan
menggunakan alat-alat bantu
khusus berupa senjata, perabot,
bahan-bahan kimia, dan
sebagainya, atau kejahatanyang
dilakukan tanpa alat-alat bantu.
c) Kejahatan yang dilakukan
dengan memakai kekerasan fisik,
tipu daya pembujukan, atau
dengan cara yang biasa.
2) Dilihat dari objek hukum yang
diserangnya, maka kejahatan
dapat dibagi misalnya atas :
a) Kejahatan atas keamanan
negara.
b) Kejahatan terhadap martabat
kedudukan Presiden dan Wakil
Presiden.
c) Kejahatan terhadap ketertiban
umum.
d) Kejahatan terhadap kekuasaan
umum.
e) Kejahatan terhadap kesusilaan.
f) Kejahatan terhadap kebebasan
orang.
g) Kejahatan terhadap jiwa orang.
h) Kejahatan terhadap harta benda,
dan sebagainya yang dapat kita
jumpai pada pembagian dalam
kitab undang-undang hukum
pidana.
b. Dilihat dari pembuat atau pelakunya
maka ada dua jalan kemungkinan
untuk membaginya, yaitu :
1) Melihat motif atau alasan yang
dipakai oleh pelaku, dan
2) Melihat sifat-sifat dari si penjahat
atau pelaku.

Dalam perkembangannya
banyak ahli mulai merumuskan
pembagian kejahatan menurut tipe
penjahat itu dengan tidak selalu
membedakan alasannya, motif atau sifat
dari penjahat. Pembagian kejahatan
menurut seorang Guru Besar dalam
Ilmu Kedokteran Kehakiman Lombroso
(dalam Soesilo, 1985) yang
membedakan antara lain :
a. Penjahat sejak lahir
Penjahat sejak lahir adalah orang-
orang yang mempunyai kelainan
bentuk badan yang terlihat dari
bagian-bagian badan yang abnormal,
cacat, dan kekurangan-kekurangan
badaniah sejak lahir.
b. Penjahat karena sakit jiwa
Penjahat karena sakit jiwa disini
misalnya gila, setengah gila, sinting,
idiot, , melancholi, paralise epilepsi,
histeri, demensia, palagra, dan lain-
lain termasuk pula pemabuk alkohol.
c. Penjahat terdorong oleh nafsu birahi.
9

d. Penjahat karena kesempatan.


Penjahat karena kesempatan adalah
mereka yang berbuat kejahatan
karena terpaksa oleh keadaan,
mereka yang berbuat pelanggaran-
pelanggaran kecil yang tidak berarti.
e. Penjahat dari kebiasaan
Penjahat karena kebiasaan adalah
mereka ini terdiri dari orang-orang
yang mempunyai kebiasaan buruk,
menyimpang dari pada tabiat warga-
warga lain yang normal dan patuh
pada undang-undang akhirnya sering
berbuat kejahatan.

Penggolongan kejahatan
menurut soesilo (1985), yaitu sebagai
berikut :
a. Penjahat kebetulan, yaitu mereka
yang berbuat kejahatan-kejahatan
berupa kejahatan tanpa di sengaja,
akan tetapi karena kelalaian atau
kecerobohannya.
b. Penjahat karena dorongan keadaan,
yaitu mereka yang berbuat suatu
kejahatan karena pengaruh langsung
dari sesuatu dorongan yang timbul
seketika itu juga.
c. Penjahat karena kesempatan, yaitu
mereka yang berbuat kejahatan
dengan mempergunakan
kesempatan yang mereka jumpai.
d. Penjahat yang melakukan kejahatan
dengan persiapan terlebih dahulu.
e. Penjahat ulangan atau residivis, yaitu
mereka yang sebelumnya telah
melakukan berulang kali sesuatu
kejahatan, tanpa membedakan
apakah kejahatan itu sejenis atau
bukan.
f. Penjahat kebiasaan, terdiri dari
orang-orang yang secara teratur
berbuat kejahatan, teristimewa
karena sifatnya yang pasif, pikiran
tumpul, dan masa bodoh.
g. Penjahat yang memang
pekerjaannya, ialah mereka yang
berbuat kejahatan memang tertuju
pada perbuatan jahat dengan aktif.

4. Faktor-faktor Penyebab Kejahatan
Bonger (1977), menyimpulkan
adanya 6 faktor lingkungan sebagai
penyebab kejahatan, yaitu :
a. Terlantarnya anak-anak
Salah satu penyebab timbulnya
kejahatan yang dilakukan oleh anak-
anak di bawah umur ialah karena
mereka di telantarkan oleh orang
tuanya, orang tua bercerai atau
orang tua tidak mampu menghidupi
anak, hal ini dapat membuat anak-
anak berusaha mempertahankan
hidup dengan segala usahanya.
Mulai dari hidup di jalan, mencuri,
bahkan mereka harus mencari
makan di antara tumpukan sampah.
b. Kesengsaraan dan kemiskinan
Tingginya mobilitas sosial semakin
memperjelas jurang antara si miskin
dan si kaya, akibatnya timbul
kesengsaraan dan kemiskinan yang
mendorong mereka untuk
melakukan pencurian dan
perampokan hanya untuk sekedar
memenuhi kebutuhan hidupnya.
c. Rasa ingin memiliki
Seiring dengan perkembangan
zaman dan meningkatnya teknologi
dalam berbagai bidang membuat
pekerjaan manusia menjadi semakin
ringan dan semakin efektif, manusia
semakin berlomba-lomba untuk
meningkatkan dan memenuhi
kesejahteraan hidupnya. Sementara
mereka yang tidak mampu
memenuhi dan meningkatkan
kesejahteraannya, terkadang timbul
rasa ingin memiliki dan mereka
mulai melakukan segala usahanya
untuk mencapai apa yang mereka
inginkan, termasuk dengan
melakukan kejahatan.
d. Demoralisasi seksual
Munculnya rumah bordir dan
maraknya perzinahan dalam kota-
kota besar, mengakibatkan
kemerosotan dalam segi agama.
Seiring dengan hal ini sering terjadi
penyimpangan-penyimpangan
seksual dan mengakibatkan
munculnya perselingkuhan dan
perkosaan.
e. Alkoholisme
Sudah hampi dipastikan efek dari
alkohol dapat meningkatkan emosi
10

dan hilangnya kesadaran sementara


waktu, sehingga tak jarang jika
perbuatan perkelahian, pencurian,
sampai perbuatan yang paling fatal
sekalipun, yaitu pembunuhan dipicu
dari minuman beralkohol.
f. Perang
Pada masa perang dunia kedua,
banyak masyarakat yag kehilangan
harta benda dan sanak saudara
mereka. Mereka tidak lagi memiliki
tempat tinggal karena hancur semua
akibat perang. Akibatnya
perampokan dan penjarahan yang
dilakukan oleh oknum-oknum yang
tidak bertanggung jawab, tak dapat
dihindari.
Adapun Sutherland (1973),
menerangkan bahwa terdapat 2 macam
pengaruh penyebab kejahatan :
a. Pengaruh faktor yang berasal dari
dalam diri individu dan merupakan
pembawaan yang ada secara
alamiah pada dirinya atau juga
sebagai adanya tahapan
perkembangan jiwa (pengaruh
historis atau genetika), yang disebut
sebagai faktor internal.
b. Pengaruh faktor yang berasal dari
luar diri individu baik itu yang berupa
lingkungan fisik maupun lingkungan
sosialnya, yang merupakan reaksi
atas situasi seketika yang
dipandang dari mata individu
tersebut, yang disebut sebagai
faktor eksternal.

C. Pengungkapan Diri Pada Mantan
Narapidana

Sebagian masyarakat merasa
bahwa orang lain tidak perlu mengetahui
latar belakang siapa dirinya, atau
dengan kata lain individu tersebut tidak
perlu melakukan pengungkapan diri
agar orang lain mengetahui siapa
dirinya, namun ada sebagian
masyarakat merasa perlu untuk
melakukan pengungkapan diri agar
dapat menjalin hubungan yang baik
dengan orang lain atau dengan
masyarakat. Seperti juga dengan
mantan narapidana yang ingin
mengungkapkan dirinya di masyarakat,
mantan narapidana cenderung memiliki
rasa rendah diri yang besar dikarenakan
statusnya sebagai mantan narapidana
yang dipandang negatif dalam
masyarakat dan adanya hambatan-
hambatan psikologis untuk terjun di
tengah masyarakat (Kurniawan, 2008).
Dari masyarakat sendiri sulit untuk
menerima mantan narapidana,
dikarenakan adanya sikap kewaspadaan
masyarakat yang berlebihan terhadap
mantan narapidana. Wahid (2008)
mengatakan mantan narapidana sulit
mencari pekerjaan karena perusahaan
selalu melihat catatan kelakuan baik
seseorang, perbuatan seorang mantan
narapidana yang jelas-jelas pernah
melanggar hukum, jarang perusahaan
yang mau menerima mantan
narapidana. Namun dengan
pengungkapan diri, masyarakat akan
mengetahui sisi yang lebih baik dari
seorang mantan narapidana, bahwa
mantan narapidana adalah seorang
yang pernah melanggar hukum dan
sudah selesai menjalani hukumannya,
serta mempunyai hak yang sama untuk
hidup di lingkungan masyarakat.
Dari uraian di atas peneliti
melihat bahwa mantan narapidana yang
ingin berinteraksi kembali kemasyarakat
dengan cara mengungkapkan dirinya di
masyarakat, memiliki rasa rendah diri
yang besar dan cenderung tertutup,
sementara seorang mantan narapidana
harus berinteraksi dengan orang lain
agar dapat memenuhi kebutuhan hidup
nya sendiri maupun untuk keluarganya
dengan jalan tidak melanggar hukum
lagi. Berinteraksi kembali dengan
masyarakat, sama juga dengan
berhubungan dengan orang lain.
Derlega dkk (1993) berpendapat bahwa
salah satu yang memegang peranan
penting dalam mempertahankan suatu
hubungan adalah pengungkapan diri.
Dengan cara pengungkapan diri
masyarakat bisa mengetahui siapa
dirinya, dan dengan pengungkapan diri
juga, mantan narapidana dapat
berinteraksi kembali dengan masyarakat
tanpa adanya rasa malu karena
statusnya sebagai mantan narapidana.
Bila masyarakat tidak menerima mantan
11

narapidana, itu secara tidak langsung


sama saja menyuruh mereka untuk
berbuat jahat kembali. Sebagai
masyarakat yang akan mendukung
perubahan sikap dari seorang mantan
narapidana, yang harus masyarakat
lakukan adalah menghilangkan
statusnya sebagai mantan narapidana,
sebaiknya masyarakat melihat lembaran
baru yang positif dari perubahan yang
akan dilakukannya dan terima
pengungkapan diri mereka dengan
kepercayaan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif dengan bentuk penelitian studi
kasus.
Definisi Studi Kasus
Menurut Punch (dalam Poerwandari,
1998) mengatakan studi kasus adalah
fenomena khusus yang hadir dalam
suatu konteks yang terbatas, meski
batas-batas antara fenomena dan
konteks tidak sepenuhnya jelas. Stake
(dalam Heru Basuki, 2006) menjelaskan
bahwa nama studi kasus ditekankan
oleh beberapa peneliti karena
memfokuskan tentang apa yang dapat
dipelajari secara khusus pada kasus
tunggal. Studi kasus tidak selalu
menggunakan pendekatan kualitatif, ada
beberapa studi kasus yang
menggunakan pendekatan kuantitatif.
Studi kasus ditujukan untuk
mendapatkan pemahaman yang
mendalam tentang suatu kasus, atau
dapat dikatakan untuk mendapatkan
verstehen bukan sekedar erklaren
(deskripsi suatu fenomena). Studi kasus
mampu mengungkap hal-hal yang
spesifik, unik dan hal-hal yang amat
mendetail yang tidak dapat diungkap
oleh studi yang lain. Studi kasus mampu
mengungkap makna dibalik fenomena
dalam kondisi apa adanya atau natural
(Heru Basuki, 2006).
Berdasarkan uraian diatas maka
dapat disimpulkan bahwa studi kasus
adalah suatu penelitian secara
mendalam yang dilakukan untuk
memberikan gambaran mendalam
tentang individu mengenai suatu kasus
yang mempunyai karakteristik tertentu,
dengan tujuan yang dicapai adalah
pemahaman yang mendalam tentang
suatu kasus, atau dapat dikatakan untuk
mendapatkan verstehen bukan sekedar
erklaren (deskripsi suatu fenomena).
Pada masalah ini peneliti menggunakan
penelitian studi kasus dikarenakan
bahwa peneliti ingin memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam
tentang pengungkapan diri mantan
narapidana, mampu mengungkapkan
hal-hal yang spesifik, unik dan amat
detail yang tidak dapat diungkap oleh
studi yang lain. Studi kasus mampu
mengungkap makna di balik fenomena
dalam kondisi apa adanya atau natural.
B. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini subjek
berjumlah 1 orang dan seorang laki-laki,
yang pernah melakukan tindak pidana
dan telah selesai menjalani
hukumannya.
C. Keakuratan Penelitian
Untuk mencapai keakuratan dalam
suatu penelitian dengan metode
kualitatif, ada beberapa teknik yang
digunakan dan salah satu teknik
tersebut adalah triangulasi. Menurut
Moleong (2004) Triangulasi adalah
teknik pemeriksaan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar
data itu untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data
itu. Teknik triangulasi yang paling
banyak digunakan ialah pemeriksaan
melalui sumber lainnya. Adapun
menurut Patton (dalam Poerwandari,
1998) triangulasi dapat dibedakan
menjadi triangulasi data, triangulasi
peneliti, triangulasi teori, triangulasi
metodelogis.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
1. Bagaimana pengungkapan diri
pada mantan narapidana?
12

Berdasarkan penelitian yang


dilakukan penulis menyimpulkan
pengungkapan diri pada mantan
narapidana dapat dilihat dari komponen-
komponen pengungkapan diri,
diantaranya: jumlah informasi yang
diungkapkan. Berdasarkan jumlah
informasi yang diungkap, subjek
cenderung memiliki keterbukaan diri
yang tinggi hal ini di karenakan subjek
memang menceritakan tentang masa
lalu subjek kepada orang lain yang
sudah lama subjek kenal, ataupun
dengan orang baru dalam kehidupan
subjek, hal ini subjek lakukan agar
lingkungan dapat menerima subjek
kembali di lingkungan. Hal ini sesuai
dengan penelitian Gilbert (dalam
Pearson, 1983) yang mengatakan
beberapa orang akan menceritakan
semua pengalaman masa lalunya, apa
yang terjadi pada dirinya pada saat ini,
dan tujuan-tujuannya untuk masa
depan. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Johnson (dalam
Rotenberg,1995) yang mengatakan
dengan pengungkapan diri seseorang
mampu menyesuaikan diri (adaptive),
lebih percaya pada diri sendiri, lebih
kompeten, extrovert, dapat diandalkan,
lebih obyektif, terbuka, lebih mampu
bersikap positif , percaya terhadap
orang lain, dan dapat mengungkapkan
tujuan-tujuan hidupnya untuk masa
depannya.
Komponen yang kedua adalah sifat
dari pengungkapan diri. Pada komponen
sifat dari pengungkapan diri, subjek
mengungkapkan bagian negatif dan
juga positif yang ada pada diri subjek,
hal ini subjek lakukan agar masyarakat
mengetahui bahwa subjek memang
benar adalah orang yang pernah
berbuat salah, namun telah selesai
menjalani hukumannya dan sudah
selayaknya berada kembali di
masyarakat. Hal ini sesuai dengan teori
Gilbert (dalam Pearson, 1983) yang
mengatakan hal yang termasuk dalam
pengungkapan diri positif adalah
pernyataan positif dari bagian dirinya.
Menurut Derlega, et all (1993) yang
mengatakan seseorang dapat
mengemukakan atau menyembunyikan
informasi tentang keadaan dirinya yang
dimaksudkan untuk mengadakan kontrol
sosial, misalnya orang akan
mengatakan sesuatu yang dapat
menimbulkan kesan baik tentang
dirinya. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Jourard (dalam Rotenberg,
1995) kualitas positif atau negatif dalam
pengungkapan diri juga merupakan
faktor yang penting. Pengungkapan diri
yang positif lebih mungkin digunakan
daripada pengungkapan diri yang
negatif.
Komponen yang ketiga ialah
kedalaman pengungkapan diri. Dari
kedalaman pengungkapan diri subjek,
dapat diketahui bahwa subjek memang
mengungkapkan diri secara mendalam
mengapa sampai subjek melanggar
hukum, hal yang menyebabkan subjek
melanggar hukum dikarenakan faktor
ekonomi dan lingkungan, awal
perencanaan, perampokan, sampai
keadaan di dalam LP kepada teman-
teman subjek dan lingkungan tempat
tinggal subjek. Hal ini sesuai dengan
teori Gilbert (dalam Pearson, 1983),
yang mengatakan pengungkapan diri
dapat dilakukan dengan dalam atau
dangkal. Hal ini di perkuat dengan
penyataan Powell (dalam Supratikna,
1995), pengungkapan diri telah
dilakukan secara mendalam, individu
yang menjalin hubungan antar pribadi
dapat menghayati perasaan yang
dialami individu lainnya. Segala
persahabatan yang mendalam dan sejati
haruslah berdasarkan pada
pengungkapan diri dan kejujuran yang
mutlak.
Komponen yang keempat adalah
waktu pengungkapan diri. Berdasarkan
waktu pengungkapan diri dapat
diketahui, subjek mampu melihat kondisi
dan waktu yang tepat tentang kapan
dirinya harus bercerita atau melakukan
pengungkapan diri. Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan Gilbert (dalam
Pearson, 1983) yaitu pengungkapan diri
dalam suatu hubungan dapat dilihat
dalam bentuk waktu. Pengungkapan diri
dalam suatu hubungan biasanya
dilakukan dengan orang asing dan
dalam tahap pertama dari suatu
hubungan.
13

Komponen yang kelima ialah lawan


bicara. Setiap subjek ada masalah
subjek selalu bercerita pada orang tua
subjek, istri,anak, sahabat subjek sedari
kecil, ataupun dengan orang yang di
anggap nyaman oleh subjek. Hal ini
sesuai dengan penyataan Gilbert (dalam
Pearson, 1983), yaitu pengungkapan diri
biasanya dilakukan dengan orang lain
yang dirasakan dekat atau dapat
dipercaya, hal ini dapat dilakukan
dengan orang tua, suami, istri, atau
teman yang berjenis kelamin sama.
Menurut De Vito (1996), selama
melakukan pengungkapan diri, berikan
lawan bicara kesempatan untuk
melakukan pengungkapan dirinya
sendiri. Jika lawan bicara tidak
melakukan pengungkapan diri juga,
maka ada kemungkinan bahwa orang,
tersebut tidak menyukai keterbukaan.
Biasanya pengungkapan diri akan
dilakukan oleh orang-orang yang dirasa
akan mendukung dirinya.
2. Faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan mantan narapidana
melakukan pengungkapan diri?
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan penulis menyimpulkan faktor-
faktor yang menyebabkan mantan
narapidana melakukan pengungkapan
diri ialah: Perasaan menyukai.
Berdasarkan faktor perasaan menyukai,
subjek lebih suka bercerita dengan
orang yang subjek sudah kenal atau
sudah berbincang-bincang lama dengan
subjek. De Vito (dalam Handoyo, 1987)
mengatakan seorang individu akan
melakukan pengungkapan diri lebih
kepada orang yang disukai, dicintai dan
yang dipercayai. Ini tidak mengherankan
karena orang yang disukai akan lebih
bersikap mendukung dan positif. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan De Vito
(1996) kedalaman dan pengungkapan
diri seseorang tergantung pada situasi
dan orang yang diajak untuk
berinteraksi. Jika orang yang
berinteraksi dengan menyenangkan dan
membuat merasa aman serta dapat
membangkitkan semangat maka
kemungkinan bagi individu untuk lebih
membuka diri amatlah besar.
Faktor kedua adalah efek diadik,
subjek sering bertukar pikiran dengan
salah satu teman subjek, karena subjek
merasa nyaman cerita dengan teman
subjek ini dikarenakan mereka sudah
bersahabat selama bertahun-tahun dan
teman subjek pun sering bercerita
kepada subjek. De Vito (dalam
Handoyo, 1987), mengatakan
seseorang akan melakukan
pengungkapan diri apabila lawan
bicaranya juga melakukan
pengungkapan diri. Efek diadik ini
membuat seseorang yang melakukan
pengungkapan diri merasa lebih aman
dan nyatanya memperkuat perilaku
pcngungkapan diri sendiri. Hal ini
diperkuat dengan penyataan Raven &
Rubin (1983), dalam proses
pengungkapan diri nampaknya individu-
individu yang terlibat memiliki
kecenderungan mengikuti norma
resiprok (timbal balik). Bila seseorang
menceritakan sesuatu yang bersifat
pribadi, maka akan cenderung
memberikan reaksi yang sepadan.
Faktor ketiga ialah, jenis kelamin.
Selama subjek di dalam LP dan setelah
keluar dari LP subjek suka bertukar
pikiran dengan teman-teman subjek.
Menurut subjek subjek merasa lebih
nyaman bila bercerita dengan laki-laki,
dalam hal ini subjek lebih memilih
bercerita dengan teman dekat subjek
yang menjadi significant Other kalaupun
ada yang berjenis kelamin berbeda
dengan subjek itu hanya keluarga
subjek. Menurut De Vito (dalam
Handoyo, 1987), pada umumnya pria
kurang terbuka dibandingkan wanita,
wanita yang maskulin kurang membuka
diri dibandingkan dengan wanita
feminin, selanjutnya pria feminin lebih
membuka diri lebih besar dibandingkan
pria yang nilai skala femininitasnya lebih
rendah. Level pengungkapan diri yang
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh
brehm (1992), menemukan bahwa
perempuan lebih sering melakukan
pengungkapan diri dibandingkan laki-
laki, jika pengungkapan diri itu
melibatkan perasaannya terhadap
pasangan, orang terdekat, pekerjaan,
hal-hal yang paling ditakuti dalam
14

kehidupannya, dan apa saja yang sudah


dikerjakan oleh dirinya sampai saat ini.
Perempuan cenderung melakukan
pengungkapan diri mengenai hal-hal
pribadi dan perasaan, Sedangkan laki-
laki lebih sering melakukan
pengungkapan diri mengenai
pandangan politik, hal-hal yang
dibanggakan pada dirinya, dan
berdiskusi mengenai olahraga.
Faktor keempat ialah penerimaan
masyarakat, subjek merasa lingkungan
masyarakat dapat menerima subjek
kembali, hal ini di karenakan
masyarakat di lingkungan subjek
berpendapat bahwa setiap orang pasti
pernah melakukan kesalahan dan setiap
orang yang pernah melakukan
kesalahan dan telah menerima hukuman
dari kesalahannya maka orang tersebut
layak dan pantas untuk di maafkan dan
di terima kembali di masyarakat. De vito
(1983) mengatakan penerimaan
hubungan juga merupakan faktor
penting dalam menentukan frekuensi
atau kemungkinan pengungkapan diri.
3. Apa dampak pengungkapan diri
pada mantan narapidana ?
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan penulis menyimpulkan
dampak pengungkapan diri pada
mantan narapidana ialah: meningkatkan
kesadaran diri, subjek sangat
membutuhkan dukungan dari orang-
orang di sekitar subjek, agar lingkungan
dapat menerima subjek namun subjek
tidak mau memaksa agar orang lain
peduli sama masalah subjek, tetapi yang
subjek rasakan di dalam ataupun di luar
LP teman-teman subjek sangat
mendukung subjek. Menurut Johnson
(1997) mengatakan meningkatkan
kesadaran diri dengan memperoleh
pandangan yang lebih objektif terhadap
pengalaman dan pemikiran melalui
umpan balik dan orang lain. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Johnson
(1981), meningkatkan kesadaran diri
atau self-awareness yaitu dalam proses
pemberian informasi kepada orang lain,
anda akan lebih jelas dalam menilai
kebutuhan, perasaan, dan hal psikologis
dalam diri anda. Selain itu, orang lain
akan membantu anda dalam memahami
diri anda sendiri, melalui berbagai
masukan yang diberikan, terutama jika
hal itu dilakukan dengan penuh empati
dan jujur.
Dampak yang kedua ialah
mengatasi perasaan takut, Ketika subjek
mengungkapkan diri pada masyarakat,
bahwa subjek adalah seorang yang
pernah melanggar hukum dan berstatus
sebagai mantan narapidana yang ingin
berubah menjadi lebih baik. Pada
awalnya subjek mengatakan dirinya
memang sempat merasa khawatir dan
takut untuk kembali ke masyarakat,
namun subjek mengetahui bahwa
kehidupan harus terus berjalan dan
subjek ingin masyarakat mengetahui
bahwa subjek sudah berubah menjadi
lebih baik, oleh sebab itu subjek
melakukan pengungkapan diri pada
masyarakat. Setelah subjek melihat
respon masyarakat sekitar subjek
sebagian besar memberi dukungan
pada subjek, rasa takut tersebut tidak
lagi menjadi masalah bagi subjek. Hal ini
sesuai dengan menyataan Jonhson
(1997), yaitu berkomunikasi secara intim
dengan orang lain, terutama pada saat
stres, nampaknya menjadi kebutuhan
dasar manusia. Dengan mendiskusikan
kecemasan yang kita rasakan, kita akan
menemukan cara untuk menghadapi
kecemasan tersebut. Pengungkapan diri
merupakan bentuk dasar dari dukungan
dan kepedulian di masa krisis.
Dampak yang ketiga ialah,
membangun hubungan yang lebih dekat
dan mendalam. Awalnya subjek
mengatakan bahwa ada beberapa orang
di lingkungan tempat tinggal subjek yang
kurang menerima subjek, tetapi subjek
tidak putus asa untuk tetap
mendekatkan diri dengan lingkungan
dan akhirnya lingkungan menerima
subjek kembali dan pikiran yang negatif
tentang subjek pun sedikit demi sedikit
menghilang. Menurut Johnson (1981),
yaitu dari keterbukaan maka akan timbul
kepercayaan dari kedua pihak sehingga
akhirnya akan terjalin hubungan
persahabatan yang sejati. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Derlega,
et all (1993), saling berbagi rasa dan
informasi tentang diri kita kepada orang
15

lain serta saling mempercayai


merupakan saran yang paling penting
dalam usaha merintis suatu hubungan
sehingga akan semakin meningkatkan
derajat keakraban.
Dampak yang keempat ialah
memecahkan berbagai konflik dan
masalah interpersonal. Subjek
mengatakan dirinya dapat memecahkan
konflik atau masalah yang di hadapinya
terutama masalah dalam beradaptasi
dengan lingkungan masyarakat setelah
subjek keluar dari LP yaitu dengan
pengungkapan diri. Pada saat subjek
melakukan pengungkapan diri,
menceritakan kebutuhannya,
ketakutannya untuk kembali ke
masyarakat, dan rasa frustasi subjek.
Banyak di lingkungan teman subjek atau
pun tempat tinggal subjek yang memberi
masukan dan saran-saran yang berguna
bagi subjek. Pada saat subjek mendapat
masukan dari teman-temannya, subjek
merasa permasalahan yang subjek
hadapi sedikit berkurang karena subjek
mendapat dukungan dari lingkungan
sekitar. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Johnson (1981), jika orang
lain mengetahui kebutuhan anda,
ketakutan, rasa frustrasi anda, dan
sebagainya, maka akan lebih mudah
bagi mereka untuk bersimpati atau
memberikan bantuan sehingga sesuai
dengan apa yang anda harapkan. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan De Vito
(dalam Handoyo, 1987) yang
mengatakan kemampuan mengatasi
kesulitan perasaan takut untuk tidak
diterima dalam masyarakat atau
kelompok, dapat dilakukan melalui
pengungkapan diri.
Dampak yang kelima ialah,
memperoleh energi tambahan. Setelah
subjek melakukan pengungkapan diri
banyak di lingkungan teman subjek atau
pun tempat tinggal subjek yang memberi
masukan dan saran-saran yang berguna
bagi subjek. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Johnson (1981), untuk
menyimpan suatu rahasia dibutuhkan
energi yang besar dan dalam kondisi
demikian seseorang akan lebih cepat
marah, tegang, pendiam dan tidak riang.
Dengan berbagi informasi hal-hal
tersebut akan hilang atau berkurang
dengan sendirinya.
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
mengenai pengungkapan diri pada
mantan narapidana dapat disimpulkan
bahwa :
1. Pengungkapan diri pada mantan
narapidana:
Pertama yaitu jumlah informasi yang
diungkapkan. Subjek orang yang dapat
memberikan informasi tentang dirinya
dengan terbuka tanpa ada rasa takut,
malu, ataupun menutup-nutupi
kekurangannya, terutama pada orang-
orang yang dianggap nyaman oleh
subjek, dengan tujuan agar masyarakat
dapat menerima subjek kembali ke
dalam masyarakat. Kedua yaitu sifat dari
pengungkapan diri, dalam melakukan
pengungkapan diri, subjek melakukan
dua sifat pengungkapan diri, yaitu
bersifat positif dan juga bersifat negatif.
Dimana subjek mengungkapkan diri,
memang benar subjek adalah seorang
mantan narapidana yang pernah
berbuat kesalahan, namun sekarang
sudah menyadari kesalahannya, rajin
beribadah, ingin berubah, dan yang
terpenting ingin kembali ke dalam
masyarakat. Ketiga yaitu kedalaman
pengungkapan diri, subjek orang yang
dapat memberikan informasi secara
mendalam, hal ini perlu subjek lakukan
agar teman-teman subjek tidak
memandang subjek sebelah mata dan
agar masyarakat dapat kembali
menerima subjek di lingkungan tempat
tinggal subjek. Keempat yaitu waktu
pengungkapan diri, subjek baru
melakukan pengungkapan diri setelah
satu minggu subjek keluar dari LP, atau
dengan kata lain subjek cenderung
melakukan pengungkapan diri pada
waktu-waktu tertentu, terutama pada
saat subjek telah merasa nyaman
dengan lawan bicara, atau dengan kata
lain subjek mampu melihat kondisi dan
waktu kapan dirinya harus bercerita atau
16

melakukan pengungkapan diri. Kelima


yaitu lawan bicara. Subjek cenderung
melakukan pengungkapan diri pada
orang-orang terdekat subjek, terutama
orang tua, istri, anak atau teman dekat
subjek. Seandainya dengan orang yang
baru di kenalnya, subjek menunggu
sampai subjek dapat merasa nyaman.
2. Faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan mantan narapidana
melakukan pengungkapan diri:
Pertama ialah perasaan menyukai,
subjek lebih suka bercerita dengan
orang yang subjek sudah kenal atau
sudah berbincang-bincang lama dengan
subjek. Kedua ialah efek diadik, subjek
sering bertukar pikiran dengan salah
satu teman subjek, karena subjek
merasa nyaman cerita dengan teman
subjek ini karena mereka sudah
bersahabat selama bertahun-tahun dan
teman subjek pun sering bercerita
kepada subjek. Ketiga ialah, jenis
kelamin, selama subjek di dalam LP dan
setelah keluar dari LP subjek suka
bertukar pikiran dengan teman-teman
subjek. Menurut subjek subjek merasa
lebih nyaman bila bercerita dengan laki-
laki begitu juga dengan teman dekat
subjek yang menjadi significant Other
kalaupun ada yang berjenis kelamin
berbeda dengan subjek itu hanya
keluarga subjek. Keempat ialah
penerimaan masyarakat, subjek merasa
lingkungan masyarakat dapat menerima
subjek kembali, hal ini di karenakan
masyarakat di lingkungan subjek
berpendapat bahwa setiap orang pasti
pernah melakukan kesalahan dan setiap
orang yang pernah melakukan
kesalahan dan telah menerima hukuman
dari kesalahannya maka orang tersebut
layak dan pantas untuk di maafkan dan
di terima kembali di masyarakat.
3. Dampak pengungkapan diri pada
mantan narapidana:
Pertama ialah meningkatkan
kesadaran diri, subjek sangat
membutuhkan dukungan dari orang-
orang di sekitar subjek, agar lingkungan
dapat menerima subjek namun subjek
tidak mau memaksa agar orang lain
peduli sama masalah subjek, tetapi
yang subjek rasakan di dalam ataupun
di luar LP teman-teman subjek sangat
men support subjek. Kedua ialah
mengatasi perasaan takut, pada
awalnya subjek mengatakan dirinya
memang sempat merasa khawatir dan
takut untuk kembali ke masyarakat,
namun subjek mengetahui bahwa
kehidupan harus terus berjalan dan
subjek ingin masyarakat mengetahui
bahwa subjek sudah berubah menjadi
lebih baik, oleh sebab itu subjek
melakukan pengungkapan diri pada
masyarakat. Ketika subjek
mengungkapkan diri pada masyarakat
bahwa subjek adalah seorang yang
pernah melanggar hukum dan berstatus
sebagai mantan narapidana yang ingin
berubah menjadi lebih baik, respon
masyarakat sekitar subjek sebagian
besar memberi dukungan pada subjek.
Ketiga ialah membangun hubungan
yang lebih dekat dan mendalam,
awalnya subjek mengatakan bahwa ada
beberapa orang di lingkungan tempat
tinggal subjek yang kurang menerima
subjek, tetapi subjek tidak putus asa
untuk tetap mendekatkan diri dengan
lingkungan dan akhirnya lingkungan
menerima subjek kembali dan pikiran
yang negatif tentang subjek pun sedikit
demi sedikit menghilang. Keempat ialah
memecahkan berbagai konflik dan
masalah interpersonal, subjek
mengatakan dirinya dapat memecahkan
konflik atau masalah yang di hadapinya
terutama masalah dalam beradaptasi
dengan lingkungan masyarakat setelah
subjek keluar dari LP yaitu dengan
pengungkapan diri. Pada saat subjek
melakukan pengungkapan diri,
menceritakan kebutuhannya,
ketakutannya untuk kembali ke
masyarakat, dan rasa frustasi subjek.
Banyak di lingkungan teman subjek atau
pun tempat tinggal subjek yang
memberi masukan dan saran-saran
yang berguna bagi subjek. Pada saat
subjek mendapat masukan dari teman-
temannya, subjek merasa
permasalahan yang subjek hadapi
sedikit berkurang karena subjek
mendapat dukungan dari lingkungan
sekitar. Kelima ialah memperoleh energi
17

tambahan, Hal ini juga yang


menguatkan subjek dikarenakan setelah
subjek melakukan pengungkapan diri
banyak di lingkungan teman subjek atau
pun tempat tinggal subjek yang
memberi masukan dan saran-saran
yang berguna bagi subjek.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka
dapat diajukan beberapa saran sebagai
berikut :
1. Untuk Subjek
a. Subjek harus bisa menempatkan
dirinya dengan lebih baik lagi
dalam bermasyarakat setelah
subjek melakukan pengungkapan
diri, dengan memulai sesuatu yang
positif dan bermanfaat bagi
masyarakat.
b. Subjek harus dapat membuktikan
pengungkapan dirinya pada
masyarakat bahwa subjek memang
sudah berubah menjadi lebih baik
setelah subjek keluar dari Lembaga
Permasyarakatan.
c. Setelah subjek melakukan
pengungkapan diri, subjek harus
berjanji tidak mengulangi lagi
tindak pidana yang dilakukannya di
masa yang akan datang.
2. Untuk Masyarakat
a. Masyarakat diharapkan tetap
mendukung pengungkapan diri
subjek, dan membantu subjek
untuk menjadi lebih baik lagi
setelah menyandang status
mantan narapidana.
b. Masyarakat diharapkan tetap
menerima subjek kembali ke dalam
lingkungan sekitar setelah subjek
melakukan pengungkapan diri,
sebagai seorang yang telah
melanggar hukum, namun telah
selesai menjalankan hukumannya
dan ingin kembali bermasyarakat.
3. Untuk Peneliti Selanjutnya
Untuk peneliti selanjutnya
diharapkan dapat melakukan
penelitian dengan melihat dukungan
sosial, penerimaan diri atau faktor
lain yang berpengaruh terhadap
pembentukan pengungkapan diri.
DAFTAR PUSTAKA
Atwater, E. (1983). Psychology of
adjustment. Second Edition. New
Jersey : Prentice Hall, Inc.
Bonger, W. A. (1977). Pengantar
tentang kriminologi cetakan ke-4.
Jakarta : Pustaka Sarjan.
Brehm, S. S. (1992). Intimate
relationships. New York. Mc Graw-
Hill.
Derlega, V., Metts S., Petronio, S. &
Margulis, S.T. (1993). Self disclosure.
California : Sage Publication, Inc.
De vito, J. A. (1983). The interpersonal
communication book. New York :
Harper and Row Publisher.
De vito, J. A. (1996). Essential of human
communication. 2 Edition. New
York : Harper Collins College
Publishers.
Fattah. (2008).
http://www.blogger.com/feeds/65088
98487588642719/posts/default
Handoyo, A. H. (1987). Pola komunikasi
pria homoseksual : Suatu tinjauan
deskripsi mengenai hubungan-
hubungan kaum pria homoseksual,
dikaitkan dengan fungsi serta
peranan bahasa khusus yang
digunakan oleh kelompok tersebut di
wilayah jakarta selatan. Tesis (Tidak
diterbitkan). Jakarta : Universitas
Indonesia.
Harsono, D. I. (1995). Sistim baru
pembinaan narapidana. Jakarta :
Penerbit Djambatan.
Heru Basuki, A. M. (2006). Penelitian
kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusian
dan budaya. Jakarta : Penerbit
Gunadarma.
Hukum Acara Pidana. (1982). Undang-
undang republik indonesia cetakan
ke-1. Jakarta : Sekretariat Negara
Republik Indonesia.
Johnson, D. (1997). Reaching out ;
Interpersonal effchveness and self
18

actralization. http : //. Green-


River.com.
Johnson, D. (1997). http : // www.
Mentalhelp. Net.
Jourard, S. M. (1997). Self disclosure
and openness : Psychological self
help.
KUHAP & KUHP. (2002). Buku
perundang-undangan cetakan ke-4.
Jakarta : Sinar Grafika.
Kurniawan.(2008).http://asosiasibmx.co
m/index.php?option=com_content&tas
k=view&id=163&Itemid=1
Moleong, L. J. (1990). Metode penelitian
kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Moleong, L. J. (1998). Metode penelitian
kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Moleong, L. J. (2004). Metode penelitian
kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Mustofa.(2008).
http://kriminologi1.wordpress.com/200
8/01/18/pemulihan-hak-hak-sipil-
mantan-napi/
Pearson, J.C. (1983). Interpersonal
communication : Clarity, confidence,
concern. Illinois : Scott, Foresman and
Company.
Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan
kualitatif dalam penelitian psikologi.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan
kualitatif dalam penelitian psikologi.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Ritandiyono & Retnaningsih. (1996).
Aktualisasi Diri. Jakarta: Universitas
Gunadarma.
Rotenberg, K. J. (1995). Disclosure
process in children and adolescents.
Cambridge University.

Salim, P. & Salim, Y. (1991). Kamus
bahasa indonesia kontemporer.
Jakarta : Modern English Press.
Soedjono, D. (1972). Usaha
pembaharuan sistem kepenjaraan
dan pembinaan narapidana (dasar-
dasar penologi). Bandung : Alumni.
Soesilo, R. (1985). Kriminologi ;
Pengetahuan tentang sebab-sebab
kejahatan. Bandung : PT. Karya
Nusantara.
Supratiknya, A. (1995). Komunikasi
antar pribadi ; Tinjauan Psikologis.
Yogyakarta: Kanisius.
Sutherland, E. H. (1973). On analyzing
crime ; The heritage of sociologi.
Chicago : The University of Chicago
Press.
Widyastuti.(2008).
http://www.jawapos.com/index.php?a
ct=detail_c&id=329175
Wahid.(2008).
http://napi1708.blogspot.com/2008/0
3/fosil-maharana-forum-berkumpul-
para.html
Yudobusono, S. & Aminatun, S. (1995).
Penelitian diagnostik tentang
persepsi bekas narapidana.
Yogyakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesejahteraan
Sosial.










19

Anda mungkin juga menyukai