Anda di halaman 1dari 149

17

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN


PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA
DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR








NIRMALASARI IDHA WIJAYA















SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
26
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1
juta km
2
(Dahuri et al, 2001), sedangkan Kabupaten Kutai Timur sendiri memiliki
garis pantai sepanjang 152 km

(Bappeda Kutim, 2004). Dengan kekayaan laut
sebesar ini selayaknya Indonesia menjadikan bidang kelautan sebagai tumpuan
dalam pembangunan ekonomi nasional. Namun kenyataannya selama ini
pembangunan perikanan dan kelautan, termasuk pemberdayaan masyarakat
pesisir, selalu diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sectoral) dalam
pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi masih dititikberatkan pada
pembangunan di daratan (up land) yang terkadang melupakan dampaknya bagi
wilayah pesisir. Kondisi ini masih ditambah lagi dengan karakteristik pesisir yang
multiganda (multi use) dalam penggunaannya, sehingga konflik kepentingan
menjadi tidak dapat dihindarkan. Kabupaten Kutai Timur sebagaimana umumnya
daerah pesisir yang lain tidak terlepas dari kondisi tersebut.
Kabupaten Kutai Timur merupakan salah satu wilayah hasil pemekaran
dari Kabupaten Kutai berdasarkan UU no. 47 tahun 1999, tentang pemekaran
wilayah propinsi dan kabupaten, dan diresmikan oleh Mendagri pada tanggal 28
Oktober 1999. Sebagai kabupaten yang baru terbentuk, Kabupaten Kutai Timur
memiliki banyak sumberdaya alam yang belum dimanfaatkan baik di darat
maupun di laut. Sumberdaya yang terdapat di daratan antara lain pertambangan
batu bara dan minyak bumi, hutan hujan tropis, termasuk hutan lindung Taman
Nasional Kutai.
Sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan laut Kabupaten
Kutai Timur antara lain ekosistem mangrove, ekosistem estuaria, ekosistem
terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem pantai berpasir.
Ekosistem-ekosistem tersebut masing-masing memiliki fungsi ekologis yang
sangat penting, serta kekayaan biota yang tinggi dan produktif. Garis pantai
Kabupaten Kutai Timur sepanjang 152 km, dan berdasarkan pada UU No 22
27
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Pasal 3 dan 10, maka sejauh 4 mil dari
garis pantai tersebut pengelolaannya merupakan kewenangan Pemda Kutai Timur.
Perubahan status dari kecamatan menjadi kabupaten menyebabkan
perkembangan penduduk sangat pesat di daerah ini. Perkembangan penduduk ini
pada akhirnya mendorong pembangunan wilayah yang juga semakin pesat.
Pembangunan wilayah yang pesat ini, bila tidak didukung dengan perencanaan
yang tepat, dikhawatirkan akan merusak kelestarian sumberdaya alam.
Sektor budidaya perikanan pesisir, saat ini merupakan sektor yang belum
berkembang di Kabupaten Kutai Timur. Namun hal ini bukan berarti kawasan
pesisir dan laut Kabupaten Kutai Timur tidak memiliki potensi yang dapat
mendukung pengembangan budidaya perikanan pesisir. Garis pantai sepanjang
152 km dengan ekosistem pesisir yang kaya merupakan modal yang besar untuk
budidaya perikanan pesisir.
Berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten
Kutai Timur atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-
2005 (Lampiran 4), struktur ekonomi di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur
saat ini didominasi oleh sektor pertambangan batu bara, yakni adanya PT Kaltim
Prima Coal dan pertambangan minyak bumi oleh PT Pertamina, dengan angka
PDRB sebesar Rp. 10.157.143.080.000,00 (82,36 % dari total PDRB tahun 2005).
Sementara itu sektor perikanan mempunyai nilai PDRB hanya sebesar Rp.
89.747.690.000,00 (0,73 % dari total PDRB tahun 2005).
Permasalahan umum yang merupakan kendala dalam berkembangnya
perikanan budidaya tersebut antara lain karena kebijakan dari Pemerintah Daerah
Kabupaten Kutai Timur dalam bentuk arahan tata ruang untuk pengembangan
budidaya perikanan pesisir yang belum partisipatif. Dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN) posisi Kabupaten Kutai Timur dalam
pengembangannya termasuk dalam Kawasan Andalan Laut (KADAL) Bontang
dan sekitarnya dengan sektor unggulan perikanan, pertambangan, dan pariwisata.
Namun pembangunan daerah selama ini masih dititikberatkan pada sektor
pertambangan.
Pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan pesisir Kabupaten
Kutai Timur selama ini dilakukan tanpa perencanaan dan pengawasan yang baik,
28
seperti aktivitas tangkap lebih pada beberapa kawasan, penangkapan ikan dengan
menggunakan bom dan bahan kimia, konversi hutan mangrove menjadi tambak
dan lain-lain. Salah satu bukti lain pengelolaan dan pengaturan pemanfaatan
perairan laut di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur belum dilakukan secara
baik dan benar yaitu timbulnya berbagai konflik pemanfaatan ruang seperti antara
kapal-kapal pengangkut batubara dengan petani budidaya karamba tancap, antara
kegiatan budidaya rumput laut dengan aktivitas lalu lintas kapal-kapal nelayan,
serta antara pemanfaatan hutan mangrove untuk tambak oleh penduduk dengan
pengelola Taman Nasional Kutai (TNK). Untuk mengatasi konflik pemanfaatan
ruang tersebut perlu disusun suatu rencana tata ruang yang menyeluruh dan
terpadu bagi semua sektor yang terkait dengan wilayah pesisir. Dengan adanya
penataan ruang ini diharapkan setiap sektor yang ada akan lebih terjamin
keberlanjutan usahanya, termasuk sektor perikanan budidaya.
Perikanan budidaya, terutama budidaya yang berbasis pada perairan
(water-based aquaculture), merupakan sistem yang terbuka, dimana interaksi
antara unit budidaya dengan lingkungan perairan berlangsung hampir tanpa
pembatasan. Selain itu sistem water-based aquaculture umumnya dilakukan di
perairan umum (open acces) yang bersifat multi fungsi, sehingga bisa terkena
dampak pencemaran atau menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan
(agen pencemar). Keberhasilan perikanan budidaya sangat tergantung pada
kondisi kualitas air, sedangkan air merupakan media yang sangat dinamis dan
mudah terpengaruh dampak pencemaran dari lingkungan di sekitarnya, baik
eksternal maupun internal. Oleh karena itu penzonasian wilayah perikanan
budidaya dalam penataan ruang diharapkan dapat menghindarkan sektor budidaya
dari sektor lain yang tidak berkesesuaian, sehingga pengembangan budidaya dapat
menguntungkan dan berkelanjutan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka hal penting yang diperlukan
adalah adanya identifikasi potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang
mendukung kegiatan budidaya perikanan. Selain itu diperlukan suatu pengelolaan
pesisir secara menyeluruh yang mencakup penyusunan zonasi dan arahan
pengembangan kegiatan budidaya perikanan pesisir berdasarkan dengan
kesesuaian lahannya dalam rencana tata ruang, sehingga diharapkan dapat
29
terlaksana pembangunan wilayah pesisir yang menguntungkan dan berkelanjutan,
dengan memperhatikan fungsi preservasi, konservasi dan fungsi pemanfaatannya.

Identifikasi dan Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam pengembangan
perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan di Kabupaten Kutai Timur
yang dapat mendukung kegiatan perikanan budidaya belum diidentifikasi.
2. Belum ada zonasi untuk perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur.
3. Faktor-faktor strategis yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kawasan
pesisir Kabupaten Kutai Timur untuk kegiatan perikanan budidaya belum
diidentifikasi.
4. Kebijakan yang dilakukan untuk mengarahkan pengembangan perikanan
budidaya di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur belum disusun secara
terpadu dan berkelanjutan sesuai dengan peruntukan lahan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis kesesuaian lahan wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur
untuk budidaya tambak, budidaya karamba, dan budidaya rumput laut.
2. Menilai kelayakan finansial pengembangan perikanan budidaya.
3. Mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang
mempengaruhi pengembangan kawasan perikanan budidaya.
4. Merumuskan strategi pengembangan kawasan perikanan budidaya di
wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah Daerah,
sebagai masukan dalam perencanaan dan pengembangan pesisir Kabupaten Kutai
Timur untuk kegiatan budidaya, berdasarkan pada kondisi fisik dan sosial
ekonomi yang ada sehingga dapat dilakukan perencanaan secara terpadu sesuai
dengan peruntukannya.
30
TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Ruang, Wilayah, dan Kawasan
Undang-undang Nomor 24/1992 tentang Penataan Ruang mendefinisikan
ruang sebagai wadah kehidupan yang meliputi ruang daratan, laut, dan udara,
termasuk di dalamnya tanah, air, udara, dan benda lainnya sebagai satu kesatuan
kawasan tempat manusia dan mahkluk hidup lainnya melakukan kegiatan dan
memelihara kelangsungan hidupnya.
Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: (i) jarak, (ii) lokasi, (iii)
bentuk, dan (iv) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu karena
pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan pengaturan ruang dan
waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata
ruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001).
Wilayah didefinisikan Budiharsono (2001) sebagai suatu unit geografi
yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara
internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan
sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak
sama.
Definisi konsep kawasan menurut Rustiadi et al. (2006) adalah adanya
karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam
suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
fungsional.

Pengembangan Kawasan
Istilah pembangunan dan pengembangan digunakan dalam banyak hal
yang sama, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah development, sehingga untuk
berbagai hal, istilah pembangunan dan pengembangan dapat saling dipertukarkan.
Secara umum pembedaan istilah pembangunan dan pengembangan di
Indonesia memang sengaja dibedakan karena istilah pengembangan dianggap
mengandung konotasi pemberdayaan, kedaerahan atau kewilayahan, dan
lokalitas. Ada juga yang berpendapat bahwa kata pengembangan lebih
menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa
31
pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari nol, atau tidak
membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang
sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas
(Rustiadi et al., 2006).
Secara filosofis, proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang
sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga
yang paling humanistik (Rustiadi et al., 2006).
Menurut Todaro (2000) yang diacu dalam Rustiadi et al. (2006),
pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis
konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling
hakiki, yaitu kecukupan (sustenance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan
rasa harga diri atau jatidiri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk
memilih. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses dimensional yang
mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap
masyarakat, dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan
kemiskinan.
Terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma,
menurut Anwar (2001) yang diacu dalam Rustiadi et al. (2006), mengarahkan
pembangunan wilayah/kawasan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang
mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability).

Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
sangat kaya akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Sumberdaya pesisir
terdiri dari sumberdaya hayati dan nir-hayati, dimana unsur hayati terdiri atas
ikan, mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan biota laut lain beserta
ekosistemnya, sedangkan unsur non-hayati terdiri dari sumberdaya mineral dan
abiotik lain di lahan pesisir, permukaan air, kolom air, dan dasar laut (Djais et al.,
2002).
32
Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (Integrated Coastal Zone
Management/ICZM) adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-
jasa lingkungan (environmental service) yang terdapat di kawasan pesisir dengan
cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assesment) tentang
kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat
di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian
merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfataan guna mencapai
pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilakukan
secara kontinyu dan dinamis, dengan mempertimbangkan segala aspek sosial,
ekonomi, budaya, dan aspirasi masyarakat pengguna (stakeholders), serta konflik
kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada
(Sorensen dan Mc Creary, 1990; IPPC, 1994 dalam Dahuri et al., 2001).
Lebih lanjut, Dahuri et al. (2001) mengatakan bahwa pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu (ICZM) adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah
pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan
pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai
pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan (sustainable development).
Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mencakup tiga dimensi: sektoral,
bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.
Sedangkan menurut Cicin-Sain (1998) pengelolaan pesisir diinter-
pretasikan dalam dimensi keterpaduan kebijakan yang menekankan pada beberapa
isu penting, yaitu: 1) keterpaduan antar sektor di dalam wilayah pesisir atau
dengan wilayah lain, 2) keterpaduan antara wilayah darat dan laut dalam zona
pesisir, 3) keterpaduan antar level pemerintahan (nasional dan lokal), 4)
keterpaduan antar negara, 5) keterpaduan antar disiplin ilmu (ilmu alam, sosial,
dan teknik).
Dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu, mengintegrasikan antara
kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan vertikal dan
horisontal, ekosistem darat dan lalut, sains dan manajemen, merupakan proses
pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang mengacu pada pengelolaan yang
berkelanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berdomisili
di wilayah tersebut. Oleh karenanya pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah
33
pesisir Kabupaten Kutai Timur harus terintegrasi dan harus melibatkan semua
sektor serta stakeholders yang ada, sehingga dapat mencapai pembangunan yang
berkelanjutan serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir
khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Penataan Ruang Pesisir
Dalam pengembangan lautan salah satu kegiatannya yang penting adalah
menata ruang lautan untuk penggunaan multiganda (multiple use of ocean space)
untuk: (i) menghindari konflik penggunaan ruang lautan, dan (ii) menjaga
kelestarian sumberdaya yang terkandung di dalamnya (Rais et al., 2004).
Menurut Rustiadi et al. (2006) penataan ruang adalah upaya aktif manusia
untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan ke
keseimbangan yang baru, yang lebih baik. Penataan ruang pada dasarnya
merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses
pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik,
maka penataan ruang secara hakiki harus dipandang sebagai bagian dari proses
pembangunan khususnya menyangkut aspek-aspek spasial dari proses
pembangunan.
Penataan ruang dilakukan sebagai upaya: (1) optimasi pemanfaatan
sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): prinsip efisiensi
dan produktivitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya
Tata ruang wilayah pesisir merupakan pengaturan penggunaan lahan
wilayah pesisir ke dalam unit-unit yang homogen ditinjau dari keseragaman fisik,
non-fisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, keamanan. Pengaturan
penggunaan lahan diperlukan karena wilayah pesisir merupakan kawasan di
permukaan bumi yang paling padat dihuni oleh umat manusia (Dahuri et al.,
2001).
Tiga alasan ekonomis terkonsentrasi pembangunan di wilayah pesisir
menurut Bengen (1999) adalah: (a) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan
yang secara biologis sangat produktif, (b) wilayah pesisir menyediakan berbagai
kemudahan praktis dan relatif lebih mudah bagi kegiatan industri dan pemukiman
dan kegiatan lainnya, dibandingkan dengan yang dapat disediakan daratan lahan
34
atas, (c) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama yang menarik dan
menguntungkan.

Sistem Teknologi Akuakultur
Sistem teknologi akuakultur didefinisikan sebagai wadah produksi beserta
komponen lainnya dan teknologi yang diterapkan pada wadah tersebut serta
bekerja secara sinergis dalam rangka mencapai tujuan akuakultur. Tujuan
akuakultur adalah memproduksi ikan dan akhirnya memperoleh keuntungan.
Memproduksi ikan berarti mempertahankan ikan bisa dan tetap hidup, tumbuh dan
berkembang biak dalam waktu sesingkat mungkin hingga mencapai ukuran pasar
dan bisa dijual. Komponen di dalam sistem teknologi akuakultru bekerja sinergis
sehingga tercipta lingkungan terkontrol dan optimal bagi upaya mempertahankan
kelangsungan hidup ikan serta memacu pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan
(Effendi, 2004).
Menurut Effendi (2004), sistem akuakultur bisa dikelompokkan menjadi 2,
yaitu sistem akuakultur berbasiskan daratan (land-based aquaculture) dan sistem
akuakultur berbasiskan air (water-based aquaculture). Sistem budidaya yang
termasuk dalam land-based aquaculture antara lain terdiri dari kolam air tenang,
kolam air deras, tambak, bak, akuarium, dan tangki. Sedangkan sistem budidaya
yang termasuk dalam water-based aquaculture antara lain jaring apung, jaring
tancap, karamba, kombongan, long line, rakit, pen culture, dan enclosure.
Dalam sistem land-based aquaculture, unit budidaya berlokasi didaratan
dan mengambil air dari perairan di dekatnya. Terdapat pembatas antara unit
budidaya dengan perairan sebagai sumber air, minimal oleh pematang sehingga
land-based aquaculture merupakan sistem tertutup (closed system). Faktor
lingkungan eksternal yang mempengaruhi sistem produksi, seperti pencemaran,
dapat direduksi dengan cara menutup aliran air masuk ke dalam sistem atau men-
treatment air terlebih dahulu sebelum digunakan.
Berbeda dengan land-based aquaculture, unit budidaya water-based
aquaculture ditempatkan di badan perairan (sungai, saluran irigasi, danau, waduk,
dan laut) sehingga merupakan suatu sistem yang terbuka (open system), dimana
interaksi antara ikan (unit budidaya) dengan lingkungan perairan berlangsung
35
hampir tanpa pembatasan. Selain itu sistem water-based aquaculture umumnya
dilakukan di perairan umum (open acces) yang bersifat multi fungsi, sehingga
bisa terkena dampak pencemaran atau menjadi salah satu sumber pencemaran
lingkungan (agen pencemar). Konflik kepentingan dan isu lingkungan pada water-
based aquaculture lebih sering muncul dan lebih rumit dibandingkan pada land-
based aquaculture (Effendi, 2004).

Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir dan Laut
Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan
organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka
mendapatkan keuntungan. Budidaya laut merupakan bagian dari kegiatan
budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang
terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik
(Shell & Lowell, 1993) untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial.
Berdasarkan kepada habitat sumber air yang dimanfaatkan, budidaya perikanan
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu budidaya air tawar (freshwater culture), budidaya
air payau (brackishwater culture) dan budidaya laut (mariculture) (Pillay, 1990)
Tujuan budidaya laut adalah memproduksi makanan, meningkatkan stok
ikan di laut (stock enhancement), memproduksi umpan untuk kegiatan
penangkapan atau menghasilkan ikan hias (Tucker, 1998). Kegiatan budidaya laut
untuk tujuan memproduksi makanan manusia sesungguhnya memiliki sejarah
yang panjang terutama di Cina, Mesir, Romawi dan Eropa (Effendi, 2004), namun
berkembang dengan cepat beberapa puluh tahun belakangan ini saja (Beveridge,
1996). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain menurunnya
produksi perikanan tangkap, sedangkan populasi manusia cenderung bertambah
dengan. Budidaya perikanan diharapkan mengisi kekurangan kebutuhan protein
akibat stagnasi dan menurunnya produksi perikanan sementara populasi manusia
bertambah dengan cepat (Muir dan Roberts, 1985).
Kegiatan budidaya perikanan di wilayah pesisir dan laut sebagian besar
adalah kegiatan usaha perikanan tambak, baik tambak udang, ikan bandeng, atau
campuran keduanya. Selain itu, terdapat pula beberapa jenis kegiatan budidaya
yang lain, seperti budidaya rumput laut, tiram dan budidaya ikan dalam keramba
36
(net impondment) (Bardach et al., 1972). Air merupakan media utama dalam
kegiatan budidaya perikanan, oleh karena itu pengelolaan terhadap sumber-
sumber air alami maupun non alami (tambak, kolam, dan lain-lain) harus menjadi
perhatian utama dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Dalam kegiatan budidaya perikanan laut terdapat beberapa tipe
pembudidayaan yaitu:
1) Sea Ranching dan Restocking
Sistem terbuka terdiri atas kegiatan sea ranching dan restocking. Sea
ranching adalah pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan laut yang
terisolasi geografis secara alamiah. Kawasan karang dalam adalah suatu
kawasan yang secara geografis dan alamiah mengisolasi ikan-ikan karang
(demersal species), teripang, moluska dan krustasea (udang dan lobster).
Secara reguler hatchery swasta melakukan kegiatan restocking beberapa benih
ikan potensial kedalam kawasan sea ranching (Nurhakim, 2001).
2) Eclosure
Enclosure adalah sistem budidaya yang dilakukan di perairan laut
dimana sebagian besar dinding wadah dari sistem tersebut merupakan dinding
alam (teluk, perairan diantara beberapa pulau) dan sebagian kecil berupa
dinding buatan manusia (man made) berupa jaring, pagar kayu atau batu
(Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Kepadatan organisme budidaya bergantung
kepada jenis komoditas yang diusahakan dan daya dukung sistem. Prakteknya,
budidaya dalam sistem enclosure ini tidak dilakukan pemberian pakan (no
feeding), dan hanya mengandalkan kepada ketersediaan pakan alami. Kegiatan
ini mengandalkan benih dari hatchery yang berlokasi di dekatnya. Output dari
kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan
ukuran bibit (2-3 bulan pemeliharaan) untuk keperluan pembesaran (fatening)
di sistem cage culture atau pen culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan
kemampuan pembudidayaan yang rendah.
3) Pen Culture
Pen culture adalah sistem budidaya menggunakan wadah dengan
dinding buatan manusia yang terbuat dari jaring atau kayu, sementara dasar
wadah berupa dinding alam (Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Kepadatan
37
organisme budidaya bergantung kepada jenis komoditas yang diusahakan dan
daya dukung sistem. Beberapa komoditas yang potensial dipeliharan dalam
sistem ini adalah abalon, teripang dan ikan kerapu.
Prakteknya, budidaya dalam sistem pen culture ini bisa dilakukan
pemberian pakan atau tanpa pemberian pakan (no feeding), dan hanya
mengandalkan kepada ketersediaan pakan alami. Output dari kegiatan ini
adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan ukuran bibit
(2-3 bulan pemeliharaan) untuk keperluan pembesaran (fatening) di sistem
cage culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan kemampuan
pembudidayaan menengah.
4) Cage culture
Cage culture adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring, baik
mengapung (floating net cage) maupun menancap (fixed net cage) (Beveridge,
1996; Pillay, 1990). Semua dinding adalah buatan manusia. Sistem ini
menggunakan padat penebaran ikan yang relatif tinggi, sehingga tergolong
berteknologi intensif. Mengingat kepadatan ikan tinggi, maka dibutuhkan
lokasi dengan sirkulasi air yang baik sehingga mampu mensuplai oksigen yang
cukup bagi organisme budidaya dan ketersediaan pakan yang cukup. Sistem
budidaya ini seyogyanya dilakukan oleh SDM dengan kemampuan
pembudidayaan yang relatif tinggi. Sistem budidaya cage culture tergolong
sistem budidaya intensif, sehingga dituntut pula pemberian pakan yang intensif
dan pengguna benih yang bermutu (Gjedrem, 1988; Cowey &. Cho, 1991
dalam Soebagio, 2004).
Jaring apung adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang
mengapung (floating net cage) dengan bantuan pelampung dan ditempatkan di
perairan seperti danau, waduk, laguna, selat, dan teluk. Sistem tersebut dewasa
ini lebih dikenal dengan dengan nama karamba jaring apung (KJA). Komoditas
akuakultur yang sudah lazim dibudidayakan dalam KJA di perairan laut antara
lain kerapu, kakap, udang windu, bandeng, samadar dan ikan hias laut
(Effendi, 2004).
Jaring tancap (fixed net cage) adalah sistem teknologi budidaya dalam
wadah berupa jaring yang diikatkan pada patok yang menancap ke dasar
peraiaran. Sistem ini ditempatkan di pantai perairan danau, waduk, laut, dan
38
sungai yang tenang yang memiliki kedalaman sekitar 3-7 m. Pada kedalaman
perairan >7 m sulit untuk mencari patok dengan panjang >10 m. Penempatan
sistem ini di perairan laut harus memperhatikan kisaran pasang surut pada saat
pasang kantong jaring yang terendam bisa mengakibatkan ikan lepas keluar,
sedangkan pada saat surut ketinggian air dari dasar kantong masih bersisa
minimum 1 m (Effendi, 2004). Komoditas akuakultur yang sudah lazim
dibudidayakan dalam karamba jaring tancap di perairan laut antara lain kerapu,
kakap, udang windu, bandeng, samadar dan ikan hias laut. Di Kabupaten Kutai
Timur saat ini telah mulai diupayakan pembesaran udang lobster (Homarus sp)
dalam karamba jaring tancap.

Budidaya Tambak di Wilayah Pesisir
Budidaya tambak adalah kegiatan pemeliharaan dan pembesaran biota
perairan dalam suatu perairan tambak dalam waktu tertentu untuk mendapatkan
hasilnya dengan cara memanennya.
Pengertian tambak adalah kolam ikan yang dibuat pada lahan pantai laut
dan menggunakan air laut (bercampur dengan air sungai) sebagai penggenangnya.
Tambak berasal dari kata nambak yang berarti membendung air dengan
pematang sehingga terkumpul pada suatu tempat. Bentuk tambak umumnya
persegi panjang dan tiap petakan dapat meliputi areal seluas 0,5 sampai 2 ha.
Deretan tambak dapat mulai dari tepi laut terus ke pedalaman sejauh 1-3 km
(bahkan ada yang mencapai 20 km) tergantung sejauh mana air pasang laut dapat
mencapai daratan (Hardjowigeno, 2001).
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), berdasarkan letak tambak
terhadap laut dan muara sungai yang memberi air ke tambak, maka dapat
dibedakan tiga jenis tambak, yaitu:
(a) Tambak lanyah, adalah tambak yang terletak dekat sekail dengan laut atau
lebih jauh, tetapi air laut masih dapat menggenangi tambak tanpa mengurangi
salinitas yang menyolok, sehingga tambak tersebut berisi air laut yang
berkadar garam 30 .
(b) Tambak biasa, adalah tambak yang terletak di belakang tambak lanyah dan
selalu terisi campuran air asin dari laut dan air tawar dari sungai, setelah kedua
39
macam air tersebut tertahan dalam petakan tambak, maka terciptalah air payau
dengan kadar garam 15 .
(c) Tambak darat, adalah tambak yang terletak jauh dari pantai laut. Tambak ini
kurang memenuhi syarat untuk produksi biota air payau karena salinitasnya
rendah (5-10 ).
Biota perairan yang umum dibudidayakan di tambak antara lain: udang
windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus merguensis), bandeng (Chanos
chanos), kakap (Lates calcalifer), nila merah (Oreochromis niloticus), dan rumput
laut (Euchema spp). Di wilayah Kalimantan mulai muncul usaha budidaya
kepiting bakau (Scylla serrata) di tambak.
Udang windu merupakan komoditas yang paling populer dibudidayakan,
karena permintaan pasar laur negeri yang semakin meningkat dengan harga yang
relatif tinggi. Komoditas lain yang cukup banyak diusahakan, terutama di tambak
tradisional adalah bandeng. Perkembangan teknologi budidaya bandeng
cenderung lambat, namun merupakan komoditas yang banyak diproduksi dan
dikonsumsi.
Bandeng merupakan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan
strategis dibanding komoditas perikanan lain, karena: (i) teknologi pembenihan
dan pembesaran telah dikuasai dan berkembang di masyarakat, (ii) persyaratan
hidupnya tidak memerlukan kriteria kelayakan yang tinggi karena toleran terhadap
perubahan mutu lingkungan, (iii) merupakan ikan yang paling banyak diproduksi
dan dikonsumsi di Indonesia dalam bentuk hidup dan segar, serta untuk umpan
hidup tuna, (iv) merupakan sumber protein ikan yang potensial bagi pemenuhan
gizi serta pendapatan masyarakat petambak dan nelayan (Ahmad, 1998 dalam
Alaudin, 2004).
Untuk memperoleh produksi tambak yang diharapkan, kegiatan budidaya
tambak udang harus memperhatikan daya dukung lahan. Poernomo (1992)
menyatakan daya dukung tambak dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: tipe
dasar pantai, tipe garis pantai, arus, amplitudo pasang surut, elevasi, mutu tanah,
air tawar, jalur hijau, dan curah hujan. Dari daya dukung tersebut maka dapat
ditentukan tingkat teknologi budidaya yang tepat, yaitu tradisional, semi intesif,
atau intensif.
40
Di Indonesia, budidaya tambak udang dikategorikan pada tiga sistem
produksi, yaitu: sistem ekstensif/tradisional, semi intensif, dan intensif. Ciri-ciri
masing-masing sistem budidaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 1a.

Tabel 1a. Sistem budidaya udang di Indonesia
SISTEM CIRI-CIRI
EKSTENSIF Pergantian air memanfaatkan energi pasang surut
Padat penebaran 5.000-15.000 ekor/ha
Menggunakan pupuk TSP, urea, organik yang
diperkaya
SEMI
INTENSIF
Ukuran tambak, kedalaman air, kedalam pematang
mirip tambak ekstensif
Pemasukan air dengan menggunakan pompa air
Menggunakan kincir air
Padat penebaran 15.000-150.000 ekor/ha
Menggunakan pakan buatan (pelet)
INTENSIF Konstruksi tambak lebih dalam daripada tambak
ekstensif
Pemasukan air dengan menggunakan pompa air
Menggunakan kincir air
Padat penebaran >150.000 ekor/ha
Menggunakan pakan buatan (pelet) berkualitas tinggi
Sumber: Chamberlain (1991) dalam Kusumastanto (1994)

Pada umumnya tambak di Indonesia yang dikelola dengan tidak
menggunakan kincir, sedikit menggunakan pakan, serta menerapkan pemupukan
sudah mampu memproduksi udang antara 500-750 kg/ha/4 bulan. Tambak yang
dikelola dengan sistem tradisional ini akan memberikan kelangsungan produksi
yang lebih lestari dibanding sistem intensif (Widigdo, 2002). Di Philipina tambak
yang lestari dan memiliki mutu produk yang baik adalah tambak yang
menerapkan teknologi rendah (tradisional) dengan target produksi sekitar 600-750
kg/ha/4 bulan (Garcia dalam Widigdo, 2002). Sejalan dengan itu, Poernomo
(1992) menyatakan bahwa tambak semi intensif mempunyai target produksi
antara 2-4 ton/ha, sedangkan untuk tambak ekstensif target produksinya antara
500-750 kg/ha. Tambak yang dikelola dengan sistem ekstensif akan memberikan
kelangsungan produksi yang lestari daripada sistem semi intensif.
41
Sistem Informasi dan Analisis Geografis
Sistem informasi adalah suatu jaringan perangkat keras dan lunak yang
dapat menjalankan operasi-operasi dimulai dari perencanaan, pengamatan, dan
pengumpulan data, kemudian untuk penyimpanan dan analisis data, termasuk
penggunaan informasi yang diturunkan ke beberapa proses pengambilan
keputusan. Fungsi sistem informasi adalah sebagai sarana untuk meningkatkan
kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu peta
merupakan bagian dari sistem informasi spasial (Barus dan Wiradisastra, 2000).
Informasi dan analisis geografi berupa informasi yang bersifat keruangan
yang merupakan hasil penafsiran data yang dituangkan dalam bentuk simbol
sebagai gambaran keadaan sebenarnya di lapangan dalam bentuk peta. Informasi
keruangan ditujukan untuk menjawab masalah yang terkait dengan pertanyaan
apa, di mana, kapan, bagaimana, dan mengapa (Sandy, 1986). Untuk lebih
mengoptimalkan dalam menghimpun dan memanfaatkan informasi keruangan
tersebut maka disusunlah Sistem Informasi Geografis (SIG).

Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang
dirancang untuk bekerja dengan data yang berreferensi spasial atau berkoordinat
geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan
kemampuan khusus untuk data yang berreferensi spasial bersamaan dengan
seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang
berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial (Star
dan Estes dalam Barus dan Wiradisastra, 2000)
SIG secara singkat diartikan sebagai suatu perangkat lunak untuk
mengumpulkan, menyimpan, menampilkan kembali, mentransformasi, dan
menyajikan data keruangan (spatial) atau geografis dari sebagian fenomena ruang
muka bumi (Burrough dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Kelebihan SIG jika
dibandingkan dengan sistem pengelolaan data dasar yang lain adalah
kemampuannya untuk menyajikan informasi spatial maupun non spatial secara
bersama-sama dalam bentuk vektor, raster ataupun data tabular (Barus dan
Wiradisastra, 2000).
42
Basis data yang terdapat di dalam SIG dibagi dalam dua bagian, yaitu
basis data grafis/spatial/ruang dan basis data non grafis/atribut/keterangan. Model
data grafis terdiri dari dua model, yaitu data raster dan data vektor. Pada model
data raster setiap informasi akan disimpan pada setiap pixel (picture element).
Susunan data dasar raster ini terdiri dari koordinat pixel dan informasi yang
dikandungnya disajikan biasanya dengan intensitas warna. Pada susunan
demikian, setiap pixel adalah satuan yang berdiri sendiri dan bukan merupakan
satu rangkaian yang saling berhubungan dengan pixel sekitarnya (De Mers, 1997).
Data dasar vektor mengandung informasi koordinat dan arah. Model
vektor ini dapat menampilkan kembali titik, garis, dan poligon (area) dengan
ketelitian dan pendekatan yang cukup tinggi dari kenampakan sesungguhnya.
Data spatial vektor secara garis besar dibedakan dalam tiga jenis kenampakan,
yaitu feature titik, garis, dan area (Laurini dan Thompson dalam Barus dan
Wiradisastra, 2000).
Basis data non grafis/non spasial berbentuk atribut, yang peranannya tidak
menunjukkan posisinya akan tetapi lebih bersifat penjelasan mengenai obyek atau
bersifat identitas. Data atribut dapat dinyatakan menjadi 4 bentuk, yaitu: a)
nominal, b) ordinal, c) interval, dan d) ratio (Barus dan Wiradisastra, 2000).

Penentuan Sektor Basis dalam Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah memandang penting adanya keterpaduan sektoral,
spasial, serta keterpaduan antar pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan antar
wilayah. Dalam kacamata sistem industri, keterpaduan sektoral berarti
keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Wilayah
yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antara sektor ekonomi
wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor
yang sangat dinamis (Rustiadi et al., 2006).
Akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dalam suatu perencanaan
pembangunan selalu diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut
dimensi sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu
pemahaman bahwa (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung atau tidak
langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan
43
(penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain), (2) setiap sektor
memiliki keterkaitan dengan sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-
beda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa
sektor cenderung memiliki aktifitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran
sumberdaya alam, infrastruktur, dan sosial yang ada. Sehingga setiap wilayah
selalu terdapat sektor yang bersifat strategis (Rustiadi et al., 2006). Sektor
strategis di suatu wilayah dapat ditentukan dengan pendekatan model ekonomi
basis.
Inti dari model berbasis ekonomi (economic base model) adalah bahwa
arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut.
Ekspor tersebut berupa barang-barang dan jasa, termasuk tenaga kerja. Tenaga
kerja dan pendapatan pada sektor basis adalah fungsi permintaan dari luar
(exogeneous), yaitu permintaan dari luar yang mengakibatkan terjadinya ekspor
dari wilayah tersebut. Disamping sektor basis, ada kegiatan-kegiatan sektor
pendukung yang dibutuhkan untuk melayani pekerja (dan keluarganya) pada
sektor basis dan kegiatan sektor basis itu sendiri. Kegiatan sektor pendukung,
seperti perdagangan dan pelayanan perseorangan, disebut sektor non-basis
(Budiharsono, 2001).
Untuk mengetahui apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau non-
basis dapat digunakan beberapa metode, yaitu: (1) metode pengukuran langsung
dan (2) metode pengukuran tidak langsung. Metode pengukuran langsung
dilakukan dengan survai langsung. Metode pengukuran tidak langsung ada
beberapa metode, yaitu: (1) melalui pendekatan asumsi; (2) metode location
quotient; (3) metode kombinasi 1 dan 2; dan (4) metode kebutuhan minimum
(Budiharsono, 2001).

Metode Location Quotient
Metode location quotient (LQ) merupakan perbandingan antara pangsa
relatif pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah terhadap
pendapatan (tenaga kerja) total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan (tenaga
kerja) sektor i pada tingkat nasional terhadap pendapatan (tenaga kerja) nasional
(Budiharsono, 2001). Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:
44




Dimana:
v
i
= pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat wilayah
v
t
= pendapatan (tenaga kerja) total wilayah
V
i
= pendapatan (tenaga kerja) sektor i pada tingkat nasional
V
t
= pendapatan (tenaga kerja) total nasional
Apabila LQ suatu sektor 1, maka sektor tersebut merupakan sektor basis.
Sedangkan bila LQ suatu sektor < 1, maka sektor tersebut merupakan sektor non-
basis. Asumsi metode LQ adalah penduduk di wilayah yang bersangkutan
mempunyai pola permintaan wilayah sama dengan pola permintaan kabupaten.
Asumsi lainnya adalah bahwa permintaan wilayah akan suatu barang akan
dipenuhi terlebih dahulu oleh produksi wilayah, kekurangannya diimpor dari
wilayah lain.

Proses Hierarki Analitik/PHA (Analitycal Hierarchy Process/AHP)
Marguire dan Carver (1991) dalam Subandar (2002) telah mengamati
kelemahan analisis spasial (SIG) dalam menganalisis sebuah model multi kriteria
dalam konteks proses pembuatan keputusan (spatial decision). Kelemahan SIG
yang lain adalah keterbatasannya dalam penentuan prosedur pendukung
pengambilan keputusan (Birkin et al, 1996; Maguire, 1995 dalam Subandar,
2002).
Subandar (1999) mengunakan teknik MCDM (Multy Criteria Multy
Decision) untuk mengatasi kelemahan SIG dalam pengambilan keputusan. Proses
Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analitycal Hierarchy
Process/AHP) merupakan salah satu metode MCDM yang mula-mula
dikembangkan oleh Saaty (1991), dan sangat populer digunakan dalam
perencanaan lahan, terutama dalam pengalokasian penggunaan lahan (land use
allocation). Kelebihan dari teknik ini adalah kemampuan untuk memandang
masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang
Vt
Vi
vt
vi
LQ /
i
=
45
memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun
tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara
sederhana (Saaty, 1991).
Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analitycal
Hierarchy Process/AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty,
seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun
1970-an.
Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah
(Saaty, 1991):
1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam
persoalan yang tidak terstruktur.
2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem
dalam memecahkan persoalan kompleks.
3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu
sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah
elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan
mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk
mendapatkan prioritas.
6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap
alternatif.
8. AHP mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan
memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan
mereka.
9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang
representatif dari penilaian yang berbeda-beda.
10. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu
persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui
pengulangan.
46
Proses Hierarki Analitik/PHA pada dasarnya didesain untuk menangkap
secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan
tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala
preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat
suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya
diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun
masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi
yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik
sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang
didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. PHA ini banyak digunakan pada
pengambilan keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya,
dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik
(Saaty, 1991).
Pada dasarnya metode dari PHA ini adalah; (i) memecah-mecah suatu
situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya;
(ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; (iii)
memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya
setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan
variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi
hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1991).
Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hierarki Analitik (PHA) lebih
disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hierarki.
Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan
dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hierarki. Bahkan
model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang
saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta
kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang
dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan
berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan
yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi
sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan
baik oleh model PHA.
47
PHA merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan
dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan berusaha memahami
suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan
keputusan. Sebaiknya, sedapat mungkin dihindari adanya penyederhanaan seperti
membuat asumsi-asumsi dengan tujuan dapat diperoleh model yang kuantiatif.
Dalam PHA, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara
rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible
(tidak terukur) ke dalam aturan biasa sehingga dapat dibandingkan (Saaty, 1991).
Poerwowidagdo (2003), menyatakan bahwa di dalam penyelesaian
persoalan dengan PHA terdapat tiga prinsip dasar yang harus di perhatikan, yaitu:
(i) menggambarkan dan menguraikan secara hierarki, yaitu memecah-mecah
persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, (ii) pembedaan prioritas dan sintesis atau
penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif
kepentingannya, dan (iii) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen
dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan
suatu kriteria logis.
Tahapan analisis data dengan PHA menurut Saaty (1991) adalah:
1. identifikasi sistem
2. penyusunan struktur hierarki
3. membuat matriks perbandingan/komparasi (pairwise comparison)
4. menghitung matriks pendapat individu
5. menghitung pendapat gabungan
6. pengolahan horisontal
7. pengolahan vertikal
8. revisi pendapat.

Analisis SWOT
Analisis SWOT (Strenght Weakness Opportunities Threats) adalah
identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi
organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (Strenght) dan peluang (Opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats)
48
(Salusu, 1996). Sedangkan menurut Kotler, 1988; Wheelen dan Hunger, 1995
dalam Kajanus (2001) analisa SWOT adalah suatu alat yang umum digunakan
untuk penganalisaan lingkungan yang internal dan eksternal dalam rangka
mencapai suatu pendekatan sistematis dan dukungan untuk suatu situasi
pengambilan keputusan.
Analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2
model matriks, yaitu matriks SWOT atau matriks TOWS. Model matriks
mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat
kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Suatu strategi dirumuskan setelah
TOWS selesai dianalisis (Salusu, 1996).
Matriks TOWS menghasilkan 4 strategi (Rangkuti, 2004), yaitu:
(1) Strategi SO, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang.
(2) Strategi WO, memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan
kelemahan yang ada.
(3) Strategi ST, memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil
dampak dari ancaman eksternal.
(4) Strategi WT, didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha
memperkecil kelemahan, serta menghindari ancaman.

Metode Rapid Rural Appraisal (RRA) untuk Pengkajian Wilayah
RRA (Rapid Rural Appraisal), dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
sebagai Pengenalan Pedesaan dalam Waktu singkat, merupakan metode yang
relatif baru berkembang sejak akhir dekade 70-an.
Menurut Daniel (2002), RRA dirancang terutama untuk untuk tim yang
berbeda disiplin ilmu, guna dipakai untuk mengumpulkan dan menganalisis
informasi atau data dalam jangka waktu yang singkat, dengan lebih komprehensif.
Metode penelitian ini pada prakteknya tidak perlu harus terlalu terfokus pada
sampel yang representatif (berbeda dengan metode survei atau studi kasus), tetapi
lebih mengutamakan pemahaman tentang realita sosial dan ekonomi yang
berkaitan dengan aspek bio-fisik suatu daerah atau masyarakat. Keunggulan
metode ini adalah jawaban atas suatu masalah dapat diperoleh dalam waktu
singkat dan biaya murah, tapi juga secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan
(Daniel, 2002).
49
Dalam pelaksanaannya metode RRA juga sekaligus melakukan konfirmasi
data (secara segitiga), data sekunder, didalami melalui wawancara semistruktural
dengan pengambil kebijakan, kemudian data ini dikonfirmasikan ke lapangan
(petani, sesepuh desa, sumberdaya alam). Dari lapangan hasilnya didiskusikan
oleh tim yang terdiri berbagai disiplin ilmu atau keahlian (Daniel, 2002).
Wawancara semistruktural adalah suatu bentuk wawancara yang hanya
menggunakan beberapa pertanyaan pokok (sub-topik) sebagai pedoman.
Pertanyan-pertanyan pokok tersebut telah disiapkan sebelumnya, tetapi tidak
berbentuk kuisioner, dan dijadikan acuan untuk membuat pertanyaan ketika
melaksanakan wawancara.
Penelitian untuk tesis pada bidang ilmu yang bersifat multidisiplin seperti
pengelolaan sumberdaya pesisir, walaupun merupakan penelitian indiviual, sangat
memungkinkan menggunakan metode RRA ini karena bidang ilmu yang
multidisplin menggunakan berbagai displin ilmu di dalam analisisnya.



















50
METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur, dengan
garis pantai sepanjang 152 km, yang meliputi 5 kecamatan pantai yaitu
Kecamatan Sangatta, Kecamatan Bengalon, Kecamatan Sangkulirang, Kecamatan
Kaliorang, dan Kecamatan Sandaran (Gambar 1).
Batas penelitian ke arah darat, untuk peruntukan budidaya tambak, dibatasi
sejauh 4 km dari garis pantai. Sedangkan batas penelitian ke arah laut dibatasi
sejauh 4 mil laut yang merupakan batas kewenangan pengelolaan pesisir oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur berdasarkan UU No 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah.
Waktu penelitian kurang lebih 7 bulan, yaitu dari bulan Agustus 2006
Pebruari 2007. Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: (1) tahap
persiapan bulan Agustus-Oktober 2006 (2) tahap penelitian lapangan bulan
November 2006-Januari 2007 (3) tahap analisis data bulan Pebruari 2007.

Kerangka Pendekatan Studi
Pengembangan budidaya perikanan laut di kawasan pesisir Kabupaten
Kutai Timur didasarkan pada kondisi potensi supply, demand, dan existing.
Potensi supply adalah kondisi sumberdaya alam kawasan pesisir baik secara fisik,
kimia maupun biologi yang mempunyai interaksi satu sama lain, yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan
potensi demand meliputi kondisi sosial ekonomi masyarakat serta stakeholders
lain yang dalam perkembangannya membutuhkan pasokan sumberdaya alam yang
memadai serta pengaturan pemanfaatan agar dapat terjamin kelestariannya.
Kondisi existing adalah kondisi pemanfataan saat ini yang meliputi budidaya
tambak, budidaya karamba sistem fixed net cage, dan budidaya rumput laut long
line.
Selanjutnya dilakukan analisis terhadap ketiga komponen tersebut untuk
menetapkan zonasi dan arahan pengembangan kawasan, yang sesuai dengan
kondisi (potensi dan status) sumberdaya alam dan prioritas kebutuhan masyarakat.

17




















Gambar 1. Wilayah Administrasi dan Stasiun Sampling di Lokasi Penelitian
26
52
Untuk mengkaji pemanfaatan lahan digunakan pendekatan analisis spasial,
analisis konflik, dan analisis arahan pengembangan. Analisis spasial untuk
mengetahui kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi
Geografis. Sedangkan analisis konflik pemanfaatan lahan dilakukan dengan
pendekatan Proses Hierarki Analitik/PHA (Analysis Hierarchy Proces). Dengan
analisis tersebut akan dapat ditentukan prioritas kegiatan pemanfaatan ruang yang
optimal.
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif untuk mendapatkan
karakteristik kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur dengan berdasarkan pada
kondisi biogeofisik yang ada. Karakteristik kawasan merupakan salah satu acuan
dalam Sistim Informasi Geografis (SIG) untuk menentukan kesesuaian lahan agar
sesuai dengan peruntukannya.
Kelemahan analisis spasial (SIG) dalam menganalisis sebuah model multi
kriteria dalam konteks proses pembuatan keputusan (spatial decision) untuk
pemecahan konflik pemanfaatan lahan, dijembatani dengan cara menggabungkan
bobot yang diperoleh dari PHA dengan matriks atribut yang diperoleh pada
analisis spasial (SIG).
Komponen dalam analisis PHA didasarkan pada tujuan pengembangan
kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur yang berkelanjutan (sustainable
development), yang dibangun oleh tiga dimensi, yang merupakan pilar dasar
pembangunan berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dan
dimensi kelestarian lingkungan. Pembobotan dalam PHA menggunakan metode
participatory yang merupakan gabungan pendapat dari seluruh responden dengan
menggunakan rata-rata geometrik (geometric mean).
Penghitungan nilai Location Quotient (LQ) untuk setiap sektor usaha
dilakukan untuk mengetahui usaha budidaya yang merupakan sektor basis,
sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan kawasan budidaya.
Selanjutnya dilakukan analisis SWOT untuk memperoleh strategi arahan
pengembangan kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur. Analisis SWOT
dilakukan untuk memperoleh rencana pengembangan kawasan pesisir Kabupaten
Kutai Timur berdasarkan faktor internal (kekuatan-kelemahan) dan faktor
eksternal (peluang-ancaman) yang ada di daerah tersebut.
Kerangka pendekatan studi yang digunakan disajikan dalam Gambar 2
berikut ini.
53




















Analisis Konflik
Pemanfaatan Lahan
(PHA)
Rancangan PHA
Proses PHA

PEMANFAATAN SAAT INI:
- budidaya tambak
- budidaya karamba
- budidaya rumput laut

BIOFISIK:
Jenis Tanah
Curah Hujan
Topografi
Kemiringan Lahan
Penggunaan Lahan
Jarak dari laut
Dan lain lain
KONDISI DAN POTENSI
WILAYAH PESISIR KAB. KUTAI TIMUR
Analisis Kesesuaian
Lahan (SIG)
Kriteria Kesesuaian
Lahan
Proses Analisis
Kesesuaian Lahan
PRIORITAS PENGEMBANGAN
KAWASAN PESISIR
PETA KESESUAIAN LAHAN
Untuk KEGIATAN PERIKANAN
SISI SUPLAI SISI PERMINTAAN
Pembangunan
Berkelanjutan:
dimensi Lingkungan
dimensi Ekonomi
dimensi Sosial

Penggabungan Matriks Atribut
dan Matriks Bobot
Matriks Bobot Matriks Atribut
STRATEGI DAN ARAHAN PENGEMBANGAN
KAWASAN BUDIDAYA PERIKANAN
DI WILAYAH PESISIR KAB. KUTAI TIMUR
Gambar 2. Kerangka Pendekatan Penelitian

- Analisis LQ
- Analisis SWOT
- Analisis Kelayakan Usaha
- Analisis Spasial
PETA KOMPOSIT
KESESUAIAN LAHAN
54
Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data
primer dan data sekunder. Data primer meliputi: (i) data fisik-geografi kawasan
pesisir, (ii) data aspirasi masyarakat di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur
meliputi masalah sosial-ekonomi-budaya. Data primer diperoleh melalui observasi
lapangan pada wilayah penelitian dan melalui hasil wawancara semi terstruktur
dengan pengguna (stakeholders) yang terkait di wilayah tersebut.
Metode penentuan titik stasiun untuk observasi lapangan dilakukan secara
purposive sampling, dimana penentuan titik stasiun dilakukan secara sengaja
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang diambil
antara lain berupa daerah lokasi budidaya yang ada saat ini, cakupan lokasi
penelitian yang cukup jauh, transportasi, keselamatan peneliti, waktu dan biaya.
Data sekunder meliputi literatur-literatur penunjang dan data pendukung
lainnya. Data sekunder yang dibutuhkan ditelusuri dari data BPS, hasil penelitian
terdahulu, Bappeda Kabupaten Kutai Timur, dan data dari instansi lain yang
terkait dengan penelitian ini. Pengumpulan data sekunder dilakukan untuk
memberikan masukan ke dalam sistem informasi geografik, baik itu data spasial
maupun data atribut. Rincian jenis data dan sumber data yang akan digunakan
dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 1.

Teknik Pengambilan Responden
Untuk memperoleh data primer berupa aspirasi stakeholders digunakan
teknik Stakeholders Analysis (Analisis Stakeholders). Analisis stakeholders adalah
suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu
yang terkait, mengkategorikan informasi , dan menjelaskan kemungkinan konflik
antar kelompok, serta kondisi yang memungkinkan terjadinya trade off
(Budiharsono, 2006).
Langkah-langkah dalam melakukan analisis stakeholders adalah:
(i) Identifikasi stakeholders;
(ii) Membuat tabel stakeholders;
(iii) Menganalisis pengaruh dan kepentingan stakeholders;
(iv) Membuat stakeholders grid;
(v) Menyepakati hasil analisis dengan stakeholders utama.
55
Tabel 1. Jenis dan Sumber Data yang Dibutuhkan dalam Analisis Kesesuaian
Lahan dan Arahan Pengembangan Kawasan Budidaya Perikanan di
Pesisir Kab. Kutai Timur
NO PARAMETER BENTUK SUMBER DATA
A. DATA BIO-FISIK
1. Geomorfologi pantai, meliputi:
Topografi/elevasi pantai
Keterlindungan Perairan
Material dasar perairan
Batimetri

Peta/laporan
Peta/laporan
Peta/laporan
Peta/laporan

Bappeda Kutim
Proses Citra Satelit
Proses Citra Satelit
Dishidros TNI AL
2. Hidro-oseanografi, meliputi:
Pasang surut tahun 2006
Gelombang
Salinitas
Suhu permukaan laut
Kecerahan perairan
Kecepatan arus
Sedimentasi
Curah Hujan

Tabular
Tabular
Tabular
Tabular
Tabular
Tabular
Tabular
Tabular

Dishidros TNI AL
Observasi
MCRMP Kutim/P2O LIPI
MCRMP Kutim/P2O LIPI
MCRMP Kutim/P2O LIPI
Observasi/Dishidros AL
Proses Citra satelit
Puslit Tanag
3. Tanah, meliputi:
Penggunaan lahan
Kelerengan
Struktur dan tekstur tanah

Peta
Peta
Peta

Proses Citra /Bakosurtanal
Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat (Puslit Tanag)
4. Ekosistem pesisir, meliputi:
Mangrove
Padang lamun
Terumbu karang
Pantai berpasir

Laporan
Laporan
Laporan
Laporan

Proses Citra satelit
dan
observasi
B. Data Sosial-Ekonomi-Budaya
1. Ekonomi, meliputi:
Perekonomian wilayah
Pendapatan
Produksi perikanan
Ketenagakerjaan

Statistik
Statistik
Kuisioner
Statistik

BPS
BPS
BPS/Statistik DKP Kutim
BPS/ Statistik DKP Kutim
2. Sosial Budaya, meliputi:
Jumlah penduduk
Lama tinggal
Pendidikan
Adat istiadat/kesukuan

Statistik
Wawancara
Wawancara
Wawancara

BPS
Responden
BPS
Responden
3. Sarana Prasarana
Jalan
Pasar
Telekomunikasi
Pelabuhan
Kelembagaan (koperasi dll)

Statistik
Statistik
Statistik
Statistik
Statistik

BPS
BPS
BPS
BPS
BPS

56
Teknik pengambilan responden dalam rangka menggali informasi/
pendapat stakeholders adalah metode expert judgement (Pendapat Pakar). Pakar
ditentukan secara purposive sampling. Pakar responden berjumlah 12 orang, yang
merupakan key persons (tokoh kunci) yang mewakili kelompok-kelompok
stakeholders yang diperoleh pada saat identifikasi stakeholders. Kelompok
stakeholders ini meliputi setiap unsur yang terkait dengan pengelolaan kawasan
pesisir Kabupaten Kutai Timur, yaitu dari unsur birokrasi, akademisi, pelaku
usaha, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli pada pengelolaan
pesisir.

Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dalam 5 (lima) tahap berurutan, yaitu : i) analisis
kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis, ii)
analisis konflik pemanfaatan lahan dilakukan dengan menggunakan metode PHA,
iii) analisis LQ dan analisis spasial peta komposit dilakukan untuk menentukan
arahan pengembangan kawasan untuk budidaya, iv) kelayakan finansial
pengembangan usaha budidaya dilakukan dengan analisis kelayakan usaha, dan v)
strategi pengembangan kawasan pesisir dilakukan dengan metode SWOT.
Masing-masing analisis tersebut dijelaskan pada bagian berikut ini.

i) Analisis Kesesuaian Lahan
Analisis kesesuaian lahan di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur
meliputi kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak, budidaya karamba,
dan budidaya rumput laut. Analisis dilakukan dalam 4 tahap, yaitu: (i)
penyusunan matriks kesesuaian setiap kegiatan yang dilakukan, (ii) pembobotan
dan pengharkatan, (iii) analisis proximity (pendekatan), yaitu membuat buffer
berupa zona penyangga di sekeliling feature (informasi) dari coverage (tematik)
input (titik, dan garis) untuk membuat suatu coverage baru, dan (iv) analisis
overlay (tumpang susun), yaitu proses penampakan coverage, dilakukan untuk
menganalisis dan mengidentifikasi hubungan spasial antara feature-feature dari
coverage. Analisis dilakukan dengan menggunakan software Arc View 3.2. Alur
kerja analisis kesesuaian lahan disajikan pada gambar 3.
57


























Gambar 3. Alur Kerja Analisa Spasial untuk Kesesuaian Lahan

Penyusunan Matriks Kesesuaian
Penyusunan matriks kesesuaian dilakukan dengan menggunakan kriteria-
kriteria kesesuaian, masing-masing untuk kegiatan: (i) budidaya tambak, (ii)
budidaya karamba, dan (iii) budidaya rumput laut. Kriteria kesesuaian disusun
berdasarkan parameter biofisik yang relevan dengan setiap kegiatan, dan dibuat
dengan mengacu pada matriks kriteria kesesuaian dari berbagai studi pustaka
seperti FAO (1976) yang diacu dalam Hardjowigeno et al (1996), BPPT (2004),
dan dari beberapa penelitian terdahulu, yang dimodifikasi oleh peneliti.

Pembobotan (Weighting) dan Pengharkatan (Scoring)
Pemberian bobot didasari oleh tingkat kepentingan masing-masing
parameter secara berurutan, mulai dari yang terpenting sampai yang kurang
penting. Selain itu setiap tema akan dibagi menjadi beberapa kelas yang diberi
KONDISI DAN
POTENSI WILAYAH
PETA KESESUAIAN LAHAN
PESISIR KAB. KUTAI TIMUR
PETA KOMPOSIT
PEMANFAATAN
SAAT INI
ANALISIS
SPASIAL
KRITERIA KESE-
SUAIAN LAHAN
BASIS
DATA
PETA TEMATIK I
DATA SEKUNDER
PETA CITRA
DATA PRIMER
PENGUMPULAN
DATA
VEKTORIZED PETA TEMATIK -n
58
skor berdasarkan tingkat kesesuaiannya. Sehingga pada hasil akhir akan diperoleh
nilai akhir atau matriks atribut yang merupakan hasil perkalian antara bobot
dengan skor kelas.
Setiap kriteria dan parameter, pemberian bobot, dan skor kelas ditentukan
berdasarkan studi kepustakaan, dan justifikasi dari tenaga ahli yang berkompeten
di bidang perikanan, baik secara tertulis maupun secara lisan.
Proses pemberian bobot dan skor dilakukan melalui pendekatan index
overlay model (Bonham-Carter, 1994 dalam Vincentius, 2003) dengan persamaan
matematis sebagai berikut:




Dimana: S = Indeks terbobot dari area atau poligon terpilih
S
ij
= Skor kelas ke-j dari layer ke-i
W
i
= Bobot untuk input layer ke-i
n = Jumlah layer

Kelas Kesesuaian
Pembagian kelas kesesuaian dilakukan menurut klasifikasi FAO (1976)
yang diacu oleh Hardjowigeno (2001), yang membagi kesesuaian lahan menjadi 2
ordo, yaitu ordo S (suitable/sesuai) dan ordo N (not suitable/tidak sesuai).
Selanjutnya ordo ini dibedakan lagi menjadi kelas-kelas yaitu: Sangat Sesuai (S1),
Sesuai (S2), dan Tidak Sesuai Permanen (N).
i) Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable), yaitu: lahan tidak mempunyai
pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau
hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara
nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak akan menambah masukan
dari pengusahaan lahan tersebut. Nilai scoring untuk kelas S1 sebesar 3.
ii) Kelas S2: sesuai (suitable), yaitu: lahan yang mempunyai pembatas yang agak
berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari. Pembatas tersebut akan
mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh, serta

=
n
i
i
n
i
i ij
W
W S
S
59
meningkatkan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut. Nilai scoring
untuk kelas S2 sebesar 2.
iii) Kelas N: tidak sesuai permanen (permanent not suitable), yaitu: lahan yang
mempunyai pembatas sangat berat/permanen, sehingga tidak mungkin
dipergunakan untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari. Nilai scoring
untuk kelas N sebesar 1.
Pelaksanaan operasi tumpang susun (overlay) untuk setiap peruntukan
dimulai dari parameter yang paling penting (bobotnya terbesar), berurutan hingga
parameter yang kurang penting.
Pada kegiatan ini diperoleh range nilai kesesuaian lahan antara 0-300.
Range ini selanjutnya di bagi dalam 3 kelas, sehingga tersusun pembagian nilai
kesesuaian sebagai berikut:
Nilai 0-170 (N) = tidak sesuai
Nilai 171-224 (S2) = cukup sesuai
Nilai 225-300 (S1) = sangat sesuai
Matriks kesesuaian untuk setiap peruntukan ditampilkan pada Tabel 2-4
berikut ini.

Tabel 2. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Tambak Tradisional
No. Kriteria Bobot
Kelas Kesesuaian (Skor)
S1 (3) S2 (2) N(1)
1 Tekstur Tanah 20 halus sedang kasar
2 Jenis Tanah 20 Aluvial
Mediteran,
Regosol, Latosol
Grumosol
3
Curah Hujan
(mm/tahun)
15 < 1500 1500-3000 > 3000
4 Topografi 15 Datar Berombak Berbukit
5
Kemiringan
Lahan (%)
10 0-2 >2-8 >8
6
Penggunaan
Lahan
10
Semak,
alang-alang,
rawa, tambak
Pengembangan
Pelabuhan,
Sawah, kebun
campuran
Pemukiman,
Hutan lindung
7
Jarak dari
Sungai (m)
5 < 500 500 - 2000 > 2000
8
Jarak dari laut
(m)
5 < 2000 2000 - 4000 > 4000
Sumber: modifikasi dari Hardjowigeno (2001) dan Wibowo (2004)
60

Tabel 3. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Karamba Jaring Tancap
(Fixed net cage)
No. Parameter/Kriteria Bobot
Kelas Kesesuaian (Skor)
S1 (3) S2 (2) N(1)
1
Keterlindungan
Perairan
20
Sangat
terlindung
Terlindung Terbuka
2
Kecepatan Arus
(cm/dtk)
15 20-30
11 - <20 atau
>30 - 45
< 11 atau
>45
3
Kedalaman Perairan
(m)
15 2-3
1 - <2 atau
>3 - 5
<1 atau
>5
4
Material Dasar
Perairan
10
Pasir
berkarang
Pasir
berlumpur
Lumpur
5 Pencemaran 10 Tidak ada Tidak ada Tinggi
6 Kecerahan (%) 10 85-100 70 - <85 <70
7 Salinitas (ppm) 10 29-30
27 - <29 atau
>30 - 35
<27 atau
>35
8 Suhu (C) 5 27-30
24 - <27 atau
>30 - 34
<24 atau
<34
9 DO (ppm) 5 >7 5 - 7 <5
Sumber: modifikasi dari Subandar (2005) dan Soebagio (2004)


Tabel 4. Kriteria Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut Sistem Long
Line
No. Parameter/Kriteria Bobot
Kelas Kesesuaian (Skor)
S1 (3) S2 (2) N(1)
1 Keterlindungan 20
Sangat
terlindung
Terlindung Terbuka
2
Kedalaman Perairan
(m)
20 3 - 15
2 - 3 atau
>15 - 40
<1 atau
>40
3
Material Dasar
Perairan
15
Karang
berpasir
Pasir- Pasir
berlumpur
Lumpur
4 Arus (cm/dt) 15 21 - 30
11 - <21 atau
>30 - 45
<11 atau
>45
5 Kecerahan (%) 10 80 - 100 60 - <80 <60
6 Salinitas (ppm) 10 30 - 32
25 - <30 atau
>32 - 35
<25 atau
>35
7 Suhu (C) 5 28 - 30
25 - <28 atau
>30 - 33
<25 atau
>33
8 DO (ppm) 5 >7 3 - 7 <3
Sumber: modifikasi dari Dirjen Perikanan Budidaya (2004), Besweni (2002),
Syahputra (2005), dan Subagio (2004)

61
ii) Analisis Konflik Pemanfaatan Lahan
Dalam menganalisis konflik pemanfaatan lahan dalam pengembangan
kawasan budidaya perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur digunakan
pendekatan Proses Hierarki Analitik/PHA. Proses Hierarki Analitik adalah suatu
pendekatan yang biasanya digunakan untuk menganalisis kebijakan dalam
pemanfaatan ruang agar dapat tepat dan sesuai dengan peruntukannya dengan
tetap memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan.
Langkah paling awal dalam PHA adalah merinci permasalahan ke dalam
komponen-komponennya (tujuan, kriteria, sub kriteria, dan alternatif kegiatan),
kemudian mengatur bagian dari komponen-komponen tersebut ke dalam bentuk
hierarki.
Tahapan-tahapan dalam Proses Hierarki Analitik adalah sebagai berikut:
1) Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari faktor-faktor yang
mempengaruhi permasalahan/konflik pemanfaatan ruang dan menentukan
variabel yang berpengaruh serta solusi yang diinginkan.
2) Penyusunan Struktur Hierarki
Membuat struktur hierarki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh
dari level puncak sampai ke level dimana dimungkinkan campur tangan untuk
dapat memecahkan persoalan.
3) Membuat Matriks Perbandingan Berpasangan
Dilakukan untuk menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap
masing-masing kriteria/kepentingan yang berada satu tingkat di atasnya.
Penentuan tingkat kepentingan pada setiap tingkat hierarki dilakukan dengan
teknik komparasi berpasangan berdasarkan pendapat dari para pakar atau
bukan, namun memahami permasalahan.
4) Menghitung Matriks Pendapat Individu
Dilakukan dengan cara menghimpun semua pertimbangan yang diperlukan
untuk mengembangkan perangkat matriks pada langkah ke 3 menjadi matriks
pendapat individu.
5) Menghitung Matriks Pendapat Gabungan
62
Untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriks-matriks pendapat
individu yang ada. Untuk memadukan matriks pendapat individu yang berasal
dari 12 orang responden tersebut menjadi vektor prioritas gabungan,
digunakan rata-rata geometrik (GEOMETRIC MEAN) dengan formulasi
sebagai berikut:


Dimana: RG
i
= rata-rata geometrik baris ke-i
m = responden (1-12)
B
ij
= vektor prioritas baris ke-i kolom ke-j
6) Pengolahan Horisontal
Pengolahan horisontal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap
elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama.
7) Revisi Pendapat
Revisi pendapat dapat dilakukan apabila nilai CR (Consistensy Ratio) cukup
tinggi yaitu 0,1 dengan mencari Root Mean Square (RMS) dan merevisi
pendapat pada baris yang mempunyai nilai terbesar.
Pengumpulan pendapat responden dilakukan dengan menggunakan teknik
RRA, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Software
Expert Choice version 2000 dan Microsoft Excell 2003.
Dari analisis ini dapat dihasilkan prioritas pengembangan kawasan pesisir
Kutai Timur untuk kegiatan-kegiatan: (i) budidaya tambak, (ii) budidaya karamba,
dan (iii) budidaya rumput laut.
Tujuan prioritas pengembangan perikanan di kawasan pesisir Kabupaten
Kutai Timur yang berkelanjutan (sustainable development) dibangun oleh
beberapa kriteria, yang merupakan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan,
yaitu pilar ekonomi, pilar sosial budaya, dan pilar kelestarian lingkungan.
Struktur hierarki berbagai kriteria dalam mencapai tujuan untuk arahan
pengembangan kawasan budidaya perikanan laut di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur dapat dilihat dalam gambar 4.
m
ij
m
i
B RG
1
=
63


Level 1 :



Level 2 :





Level 3 :






Level 4:







Gambar 4. Diagram Hierarki Analisis Arahan Pengembangan
Kawasan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur

Tujuan
Prioritas Pengembangan kawasan Budidaya
Perikanan Di Wilayah Pesisir Kab. Kutai Timur
Kriteria Peningkatan Ekonomi

Penurunan Konflik Sosial

Kelestarian SDA dan Lingkungan

Sub
Kriteria
Jasa
Lingkungan
SDA Tidak
Pulih
SDA
Pulih
Konflik Antar
Ruang
Konflik Antar
Pelaku
Peningkatan
PAD
Penyerapan TK dan
Kesempatan Berusaha
Peningkatan
Pendapatn
Alternatif
Kegiatan
Kawasan
Bd Karamba
Kawasan
Bd Tambak
Kawasan Bd
Rumput Laut


iii) Analisis Location Quotient untuk Penentuan Sektor Basis
Metode location quotient (LQ) merupakan perbandingan antara produksi
sektor i pada tingkat kecamatan terhadap produksi total kecamatan, dengan pangsa
relatif produksi sektor i pada tingkat kabupaten terhadap produksi total kabupaten.
Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:

Dimana:
v
i
= pendapatan/tenaga kerja/produksi sektor i pada tingkat kecamatan
v
t
= pendapatan/tenaga kerja/produksi total kecamatan
V
i
= pendapatan/tenaga kerja/produksi sektor i pada tingkat kabupaten
V
t
= pendapatan/tenaga kerja/produksi total kabupaten
Berdasarkan nilai LQ akan diketahui apakah suatu sektor merupakan
sektor basis atau sektor non-basis. Sektor basis akan menjadi sektor strategis
dalam pengembangan perikanan budidaya.

iv) Analisis Kelayakan Usaha
Analisis kelayakan usaha mencakup pada perhitungan penentuan biaya
investasi, biaya operasional dan penerimaan. Analisis ini menggunakan kriteria
Revenue Cost Ratio (R/C), Net Benefit (), Net Present Value (NPV), dan Net
Benefit Cost Ratio (Net B/C).

Revenue Cost Ratio (R/C)
Analisis ini digunakan untuk melihat layak atau tidaknya suatu usaha yang
dilakukan dengan membandingkan penerimaan dengan biaya produksi selama
periode waktu tertentu (satu musim tanam). Secara matematis R/C dapat
dituliskan:
R/C = TR/TC
Dimana: TR = total penerimaan (Total Revenue)
TC = total pengeluaran (Total Cost)
Kriteria Usaha: R/C > 1, usaha menguntungkan
R/C = 1, usaha impas
R/C < 1, usaha merugikan
Vt
Vi
vt
vi
LQ /
i
=


46
Net Present Value (NPV)
Net Present Value (nilai saat ini) adalah nilai kini dari keuntungan bersih
yang akan diperoleh di masa yang akan datang. NPV merupakan selisih antara
present value dari manfaat dengan present value dari biaya. Secara matematis
NPV dapat dituliskan:
NPV =

=
+

n
t
t
t t
r
C B
0
) 1 (
) (

Dimana : B
t
= Manfaat pada tahun ke-t
C
t
= Biaya pada tahun ke-t
r = Tingkat bunga diskonto (discount rate)
n = umur ekonomis
t = 0, 1, 2, 3..... tahun ke-n
Kriteria Usaha: NPV > 1, usaha layak untuk dilaksanakan
NPV = 1, pengembalian persis sebesar opportunity cost modal
NPV < 1, usaha tidak layak dilakukan

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Net B/C merupakan perbandingan nilai sekarang dari keuntungan suatu
usaha dengan biaya investasi pada awal usaha. Untuk menghitung nilai net B/C
digunakan persamaan berikut:




Dimana : B
t
= Manfaat pada tahun ke-t
C
t
= Biaya pada tahun ke-t
r = Tingkat bunga diskonto (discount rate)
n = umur ekonomis
t = 0, 1, 2, 3..... tahun ke-n

Kriteria Usaha: Net B/C > 1, usaha layak untuk dilaksanakan
Net B/C = 1, usaha perlu ditinjau kembali
Net B/C < 1, usaha tidak layak dilakukan

0 ) (
) 1 (
) (
0 ) (
) 1 (
) (
/
1
0
<
+

>
+

=
=
t t
n
t
t
t t
t t
n
t
t
t t
C B
i
B C
C B
i
C B
C NetB


47
v) Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya di Pesisir Kab. Kutai Timur
Analisis strategi pengembangan budidaya perikanan di wilayah pesisir
Kabupaten Kutai Timur dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT
(strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Analisis ini dilakukan dengan
menerapkan kriteria kesesuaian dengan data kuantitatif dan deskripsi keadaan
(faktor internal dan eksternal) yang diperoleh dengan teknik RRA.
Pembobotan dan skoring dalam analisis SWOT ini dilakukan berdasarkan
hasil wawancara dengan teknik RRA tersebut, yang kemudian dijustifikasi oleh
peneliti dalam bentuk bobot dan skor.
Berdasarkan Rangkuti (2002) langkah-langkah yang dilakukan dalam
analisis SWOT ini adalah sebagai berikut:
1. Tahap pengumpulan data
Tahap pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan
pra-analisis. Pada tahap ini data dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal
dan internal.
Data eksternal berasal dari lingkungan luar (peluang dan ancaman),
sedangkan data internal berasal dari dalam sistem pengelolaan kawasan pesisir
Kabupaten Kutai Timur, mencakup ketersediaan sumberdaya alam, kondisi
sumberdaya manusia dan pengembangan kawasan yang sedang dijalankan
(kekuatan dan kelemahan).
Dalam tahap ini digunakan dua model matriks yaitu: (i) matriks faktor
strategi eksternal, dan (ii) matriks faktor strategi internal.
Matriks faktor strategi eksternal disusun dengan langkah-langkah:
Pada kolom 1 disusun peluang-peluang dan ancaman-ancaman
Selanjutnya pada kolom 2 diberi bobot terhadap masing-masing faktor
peluang dan ancaman, mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0
(tidak penting). Jumlah bobot untuk semua faktor peluang dan ancaman
sama dengan 1,0.
Pada kolom 3 diberi skala rating mulai dari nilai 4 (outstanding) sampai
dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi
pemanfaatan lahan untuk suatu kegiatan tertentu. Pemberian nilai rating
untuk peluang bersifat positif (nilai 4=sangat besar, 3=besar, 2=sedang,


48
dan 1=kecil). Sedangkan pemberian nilai rating untuk ancaman bersifat
negatif (nilai 4=kecil, 3=sedang, 2=besar, dan 1=sangat besar).
Pada kolom 4 diisi nilai hasil perkalian bobot dan rating suatu faktor yang
sama. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari faktor
tersebut.
Pada kolom 5 diberi komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu
dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.
Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4. Nilai tersebut
menunjukkan bagaimana sistem bereaksi terhadap faktor-faktor strategis
eksternalnya.

Tabel 5. External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS)
Faktor-faktor
Strategi Eksternal
Bobot Rating Skor Komentar
1 2 3 4 5
Peluang:
O1
O2
O3
....


4
3
2
1

Ancaman:
T1
T2
T3
....


1
2
3
4

TOTAL 1,00 -


Matriks faktor strategi internal disusun dengan langkah-langkah:
Pada kolom 1 disusun kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan.
Pada kolom 2 diberi bobot terhadap masing-masing faktor, mulai dari 1,0
(sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Jumlah bobot untuk
semua faktor kekuatan dan kelemahan sama dengan 1,0.
Pada kolom 3 diberi skala rating mulai dari nilai 4 (outstanding) sampai
dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi
pemanfaatan lahan untuk suatu kegiatan tertentu. Pemberian nilai rating
untuk kekuatan bersifat positif (nilai 4 = sangat besar, 3 = besar, 2 =


49
sedang, dan 1 = kecil). Sedangkan pemberian nilai rating untuk kelemahan
bersifat negatif ((nilai 4 = kecil, 3 = sedang, 2 = besar, dan 1 = sangat
besar).
Pada kolom 4 diisi nilai hasil perkalian bobot dan rating suatu faktor yang
sama. Nilai hasil kali tersebut merupakan skor pembobotan dari faktor
tersebut.
Pada kolom 5 diberi komentar atau catatan mengapa faktor-faktor tertentu
dipilih dan bagaimana skor pembobotannya dihitung.
Menjumlahkan skor pembobotan pada kolom 4. Nilai tersebut
menunjukkan bagaimana sistem bereaksi terhadap faktor-faktor strategis
internalnya.

Tabel 6. Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS)
Faktor-faktor
Strategi Eksternal
Bobot Rating Skor Komentar
1 2 3 4 5
Peluang:
S1
S2
S3
....


4
3
2
1

Ancaman:
W1
W2
W3
....


1
2
3
4

TOTAL 1,00 -

2. Tahap analisis
Pada tahap analisis digunakan Model Matriks TOWS, dimana terdapat 4
strategi yang dapat dihasilkan, yaitu strategi SO, WO, ST, dan WT (tabel
berikut).
Setelah diperoleh matriks TOWS, selanjutnya disusun rangking semua
strategi yang dihasilkan berdasarkan faktor-faktor penyusun strategi tersebut.





50
Tabel 7. Model Matriks TOWS Hasil Analisis SWOT
IFAS

EFAS
STRENGTH
(S)
WEAKNESSES
(W)
OPPORTUNITIES
(O)
SO1
SO2
SO3
..
..
SOn
WO1
WO2
WO3
..
..
WOn
THREATS
(T)
ST1
ST2
ST3
..
..
STn
WT1
WT2
WT3
..
..
WTn
























51
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Kondisi Geografis
Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur merupakan hasil
pemekaran dari Kabupaten Kutai. Terbentuknya Kabupaten Kutai Timur ini pada
tahun 1999, yang didasarkan atas Undang-undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang
Pemekaran Wilayah Propinsi dan Kabupaten, yang diresmikan oleh Menteri
dalam Negeri pada tanggal 28 Oktober 1999.
Lokasi Kabupaten Kutai Timur ini mudah dijangkau dengan berbagai jenis
transportasi baik darat, laut maupun udara. Melalui jalan darat, Kabupaten Kutai
Timur dapat dijangkau dalam jangka waktu sekitar 3 jam dari Kota Samarinda
(Ibukota Kalimantan Timur). Sedangkan jika melalui udara, terdapat pelabuhan
udara di PT KPC (perusahaan batubara) yang terbuka untuk umum (1 satu jam
perjalanan dari Pelabuhan Udara Sepinggan, Balikpapan). Untuk prasarana
transportasi laut telah direncanakan akan dikembangkan Pelabuhan Laut Sangatta
dan Pelabuhan Laut Maloy.
Posisi strategis dari Kabupaten Kutai Timur adalah sebagai berikut :
Terletak pada jalur poros regional lintas trans Kalimantan yang
menghubungkan jalur Tanjung Selor Tanjung Redep (kota-kota di utara
Kabupaten Kutai Timur) ke Kota Samarinda langsung ke Balikpapan serta ke
Kabupaten Pasir (Kalimantan Selatan), Kalimantan Tengah dan Kalimantan
Barat;
Terletak pada poros pertumbuhan kawasan ekonomi terpadu (Kapet)
SASAMBA (Samarinda-Samboja-Balikpapan) dan kawasan segitiga
pertumbuhan Bontang-Sanggata-Muara Wahau dan Sangkulirang;
Terletak di sepanjang Selat Makasar yang merupakan alur pelayaran nasional,
regional maupun internasional.
Wilayah Kabupaten Kutai Timur memiliki bentangan pantai sepanjang
152 km dengan batas wilayah untuk sebelah selatan Desa Teluk Pandan hingga
ujung utara adalah Tanjung Mangkalihat. Kabupaten Kutai Timur ini memiliki
luas wilayah sekitar 35.747, 5 km
2
atau 3.574.750 ha.



52
Secara geografis kabupaten ini terletak pada koordinat :
1
o
5239 Lintang Utara (LU) 0
o
0210 Lintang Selatan (LS)
115
o
5626 Bujur Timur (BT) 118
o
5819 Bujur Timur (BT)
Wilayah kabupaten ini secara geografis dibatasi oleh :
Sebelah Utara : Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Berau
Sebelah Timur : Selat Makasar
Sebelah Selatan : Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Bontang
Sebelah Barat : Kabupaten Kutai Kartanegara
Secara administrasi Kabupaten Kutai Timur memiliki 11 kecamatan.
Ibukota Kabupaten Kutai Timur adalah Sanggata yang terletak di kecamatan
Sanggata. Wilayah kecamatan yang berada di pesisir ada 5, yaitu Kecamatan
Sangatta, Kecamatan Bengalon, Kecamatan Sangkulirang, Kecamatan Kaliorang,
dan Kecamatan Sandaran (lihat Tabel 8 dan Gambar 4).

Tabel 8. Wilayah Kabupaten Kutai Timur Per Kecamatan
No. Kecamatan Ibukota Kec. Luas (km
2
) % Jumlah Desa
1. Sanggata Sanggata 3.898,26 10,91 22
2. Sangkulirang Sangkulirang 6.020,05 16,84 20
3. Muara Wahau Muara Wahau 5.724,31 16,01 9
4. Muara Bengkal Muara Bengkal 1.562,30 4,37 13
5. Muara Ancalong Muara Ancalong 3.241,28 9,07 12
6. Busang Long Lees 3.721,62 10,41 6
7. Telen Juk Ayak 3.129,60 8,76 7
8. Kombeng Miau Baru 581,27 1,63 7
9. Bengalon Sepaso 3.396,24 9,50 13
10. Kaliorang Bukit makmur 699,01 1,96 15
11. Sandaran Manubar 3.773,54 10,56 7
JUMLAH 35.747,48 100,00 129
Sumber : Pengolahan data BPS, 2005



Topografi dan Morfologi
Kemiringan lereng di wilayah Kabupaten Kutai Timur sangat bervariasi.
Hal ini dikarenakan morfologi di wilayah ini adalah sebagian pegunungan dan
sebagian lagi adalah wilayah pantai. Kemiringan lereng 0 2% terutama wilayah-
wilayah kecamatan di daerah pantai seperti Kecamatan Bengalon dan Sanggata.
Kemiringan lereng 2 5% didominasi di Kecamatan Sangkulirang, kemiringan
lereng 15 40% didominasi di daerah pegunungan seperti Kecamatan Sandaran
dan Kaliorang. Sedangkan kemiringan yang curam/terjal (>40%) dominan di
wilayah Kecamatan Muara Wahau, Telen dan Busang (Bappeda Kutim, 2004).
Kabupaten Kutai Timur terletak pada kisaran elevasi 0 2.025 m di atas
permukaan air laut (Mean Sea Level). Secara umum wilayah ini didominasi oleh
elevasi 0 150, yaitu meliputi sebagian besar Kecamatan Sandaran, Sangkulirang,
Kaliorang, Bengalon, Sanggata, Muara Bengkal, Muara Ancalong, Telen dan
sebagian kecil Kecamatan Busang dan Muara Wahau. Elevasi >150 m dpal
terletak di daerah bagian utara kabupaten. Wilayah dengan elevasi >375 m dpal
terletak di Kabupaten Busang Muara Wahau (Bappeda Kutim, 2004). Daerah
pesisir pantai sebagian memiliki elevasi 0-7 m dan sebagian yang lain mempunyai
elevasi 7-25 m (Unmul, 2002). Lahan-lahan tambak yang eksisting saat ini
umumnya terletak pada elevasi antara 0-0,75 m diatas permukaan air laut rata-rata
(MSL).

Iklim
Berdasarkan Klasifikasi Schmidt dan Ferguson, type iklim di Kabupaten
Kutai Timur termasuk kelas A dengan ciri utamanya tidak terdapat perbedaan
musim hujan dan kering, dimana bulan basahnya (100 mm) sangat dominan.
Sedangkan berdasarkan Klasifikasi Koppen termasuk kelas Af (Iklim Tropika
Basah) dengan ciri hujan terdapat sepanjang tahun, lembab, dan berangin dengan
jumlah hari hujan rataan 75 hari/tahun (Unmul, 2002).
Berdasarkan data BPS Kutai Timur tahun 2005, curah hujan rata-rata di
Kabupaten Kutai Timur pada Tahun 2004 berkisar antara 28 mm/bulan (bulan
Agustus) hingga 146 mm/bulan (bulan Juni). Selama tahun 2004 terdapat 9 bulan


59
basah (lebih dari 100 mm), bulan basah tertinggi terjadi antara bulan Desember
hingga Pebruari.
Suhu udara rataan 27,6
o
C, dengan kisaran suhu udara maksimum antara
31,6
o
C32,8
o
C dan kisaran suhu udara minimum antara 21,9
o
C23,8
o
C.
Kelembaban udara cukup tinggi, rataan 75%, dengan kisaran maksimum antara
9296% dan kisaran minimum antara 5359%. Panjang penyinaran matahari
berkisar antara 3,6 5,1 jam/hari (Unmul, 2002).
Rata-rata radiasi matahari tertinggi pada bulan April (545,5 g/cal/cm
2
/hari)
dan terendah pada bulan Januari (292 g/cal/cm
2
/hari) dengan lama penyinaran
matahari berkisar antara 3,69 jam (bulan Januari) hingga 6,54 jam (bulan
Agustus). Evapotranspirasi Potensial (PET) yang dihitung dengan menggunakan
metode Papadakis diperoleh sebesar 1098 mm/tahun atau rata-rata berkisar antara
2,71 sampai dengan 3,64 mm/hari (Bappeda Kutim, 2004).

Kondisi Sungai
Sungai-sungai di lokasi penelitian termasuk sungai alluvial yang berpola
dendritik, terutama Sungai Sangatta dan Sungai Bengalon aliran sungai melalui
daerah yang sangat datar dan banyak diantaranya melalui daerah yang berawa-
rawa. Karena daerah rawa ini secara hidrologis berfungsi sebagai daerah retensi
banjir (mengurangi besarnya debit banjir), maka sungai-sungai di daerah
penelitian memiliki fluktuasi yang tidak besar dan kecepatan arusnya lambat.
Sungai-sungai demikian sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut, dengan
ciri-ciri antara lain intrusi air asin dapat masuk jauh ke arah hulu, dengan fluktuasi
salinitas antara air pasang dan air surut yang relatif kecil di daerah muara sungai.
Sungai-sungai di Kecamatan Sangkulirang, terutama pada hamparan
Prupuk dan Marokangan mempunyai karakteristik yang agak berbeda dengan
Sungai Sangatta dan Sungai Bengalon, karena memiliki kemiringan yang relatif
besar sehingga pengaruh pasang surut relatif lebih kecil. Dengan demikian
fluktuasi salinitas antara waktu air pasang dengan air surut relatif lebih besar.
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bermuara ke kawasan pesisir
Kabupaten Kutai Timur adalah DAS Sangatta, DAS Sangkimah, DAS Santan,
DAS Bengalon, dan DAS Sangkulirang.


60
Kondisi Pantai
Kondisi fisiografi wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur dapat dibedakan
menjadi lima kelompok, yaitu: dataran pasir, dataran aluvial, rawa pasang surut,
rataan lumpur, dan perbukitan. Bentuk lahan di wilayah pesisir merupakan hasil
bentukan dari proses marin dan koluvial-fluvial secara bersamaan. Bentuk lahan
tersebut meliputi rataan pasang surut (tidal flat/tidal swamp), delta, beting karang,
dan rataan lumpur. Rawa pasang surut tersebar antara daerah Tanjung Pakut
sampai Muara Bengalon, sekitar Sungai Dunan, Pulau Sengkuang, Pulau
Senumpak, sekitar Sungai Mengenay, dan Sungai Senyiur. Sebaran delta terutama
di muara-muara sungai dengan ukuran yang cukup besar, seperti Sungai Sangatta,
Sungai Bengalon, dan Sungai Kenyamukan.
Kondisi pantai sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang
lain. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi dan karakteristik catchment area
sungai-sungai yang mengalir di perairan tersebut.
Menurut data dari penelitian Unmul (2002), kondisi tanah di pesisir Kab.
Kutai Timur menunjukkan perbedaan sifat fisik, yaitu:
Hamparan Muara Bengalon (Kec. Bengalon) bertekstur liat berdebu.
Hamparan Kaliorang (Kec. Kaliorang) bertekstur pasir berlempung.
Hamparan Susuk (Kec. Sandaran) bertekstur lempung liat berpasir.
Hamparan Marokangan (Kec. Sangkulirang) bertekstur lempung.
Jenis tanah liat berdebu mempunyai tekstur yang halus dengan
permeabilitas rendah serta mempunyai tingkat kesuburan yang cukup tinggi dan
dapat menunjang pertumbuhan kelekap dengan baik.
Jenis tanah lempung liat berpasir mempunyai tekstur yang agak kasar
dengan permeabilitas sedang, tetapi mempunyai tingkat kesuburan yang rendah
dan kurang menunjang pertumbuhan kelekap.
Jenis tanah pasir berlempung mempunyai tekstur yang agak kasar dengan
permeabilitas yang tinggi dan tingkat kesuburan rendah.

Sifat Kimia Tanah
Kesuburan tanah ditandai oleh banyaknya kandungan bahan organik dan
unsur hara tanah. Kesuburan tanah penting diketahui terutama pada lokasi areal


61
pertambakan yang diusahakan secara tradisional dan semi intensif, dimana pakan
alami masih dibutuhkan. Pada budidaya bandeng, kelekap merupakan bahan
pakan utama, sedangkan pada budidaya udang kesuburan perairan menentukan
kesuburan plankton.
Bahan organik terukur di pesisir Kab. Kutai Timur berkisar antara 1,05-
3,19% (Unmul, 2002). Apabila dibandingkan dengan kebutuhan ideal yang
berkisar antara 3-5% maka kandungan bahan organik ini masih relatif rendah,
sehingga diperlukan pengelolaan tanah dengan pemupukan, terutama dengan
pupuk organik seperti pupuk kandang.
Derajat keasaman (pH) tanah berkisar antara 5,1-7,4 dengan pH potensial
berkisar antara 4,8-7,3. kecilnya perbedaan antara pH aktual dengan pH potensial
menunjukkan bahwa pH tanah di lokasi tersebut cukup stabil (tidak berfluktuasi).
Bila dibandingkan dengan pH ideal untuk keperluan budidaya tambak yaitu antara
7,5 -8,5; maka pH tanah tersebut masih relatif rendah, sehingga diperlukan
pengapuran untuk memperbaiki kondisi pH tanah.

Kondisi Hidro-Oseanografi
Pasang Surut Laut
Pasang surut di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur termasuk tipe
campuran cenderung ke harian ganda atau mixed prevailing semidiurnal (Unmul,
2002), yaitu kecenderungan dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua
kali air surut dengan amplitudo dan periode pasang surut yang berbeda. Fluktuasi
pasang surut maksimum tercatat sebesar 2,5 meter pada saat pasang purnama
(Dishidros, 2005; Unmul, 2002). Di Tanjung Maloy tercatat air surut rendah
(LWS) = 0 meter, Mean Sea Level = 1,57 meter dan air pasang tinggi (HWS) =
3.20 meter (Dinas Perhubungan Laut, 2002 dalam Fitran, 2002).

Arus Laut
Kecepatan arus permukaan maksimum di perairan pesisir Kab. Kutai
Timur terjadi pada saat pergerakan pasang surut terbesar, yaitu saat neap tide dan
spring tide dengan kecepatan arus rata-rata mencapai 20-80 cm/detik dengan arah
arus pasang 250-333 dan arah arus surut mempunyai arah 36-130.


62
Arus perairan yang terjadi di perairan pesisir Kab. Kutai Timur dikaitkan
dengan fluktuasi pasang surut memperlihatkan perubahan arah dan kecepatan arus
sesuai dengan perubahan pasang surut. Hal tersebut mengindikasikan adanya
pengaruh yang dominan dari pasang surut terhadap arus. Kecepatan arus pada
waktu air pasang lebih kecil dibanding kecepatan arus pada waktu air surut,
karena pada waktu surut ada tambahan massa air tawar.
Kecepatan arus yang terukur pada saat penelitian adalah sebagaimana yang
tercantum pada lampiran 2.

Gelombang Laut
Berdasarkan sumbernya, gelombang di pantai selatan dapat dibedakan dari
jenis gelombang alun dan gelombang angin. Gelombang alun merupakan
gelombang rambat yang berasal dari wilayah atas Kalimantan yang kemudian
merambat mencapai pesisir. Pada umumnya gelombang alun lebih tinggi daripada
gelombang angin. Gelombang tinggi terjadi bila terdapat super posisi gelombang
alun dan gelombang angin.
Menurut nelayan lokal, musim angin di perairan laut Kabupaten Kutai
Timur dapat dibedakan menjadi 3, yaitu musim angin utara (Pebruari-April),
musim angin selatan (Mei-September), dan musim angin pancaroba/peralihan
(Oktober-Januari). Pada musim angin utara, gelombang kecil, sehingga perairan
laut relatif tenang. Pada musim angin selatan mulai bertiup angin yang
menyebabkan gelombang menjadi tinggi. Musim yang paling buruk biasanya
terjadi pada musim peralihan dimana terjadi putaran angin yang menyebabkan
gelombang tinggi dan arah gelombang tidak menentu, sehingga berbahaya bagi
pelayaran.
Teluk Lombok, Teluk Golok, dan Teluk Sangkulirang merupakan daerah
yang cukup terlindung dari aspek gelombang alun, sehingga perairan teluk pada
umumnya di dominasi gelombang refraksi-defraksi dari gelombang alun dan
gelombang angin lokal. Oleh karena itu tinggi gelombang perairan teluk lebih
kecil dari perairan bebas, sementara itu terumbu karang juga dapat meredam
gelombang. Biasanya gelombang yang melewati hamparan terumbu karang akan
pecah, dengan demikian kondisi gelombang di wilayah studi yang terletak pada


63
lingkup daerah teluk atau berdekatan dengan terumbu karang pada dasarnya
sangat mendukung bagi usaha budidaya laut.
Gelombang laut di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur relatif kecil.
Berdasarkan informasi nelayan setempat gelombang pada kondisi normal
maksimum sekitar 30 50 cm. Di wilayah perairan laut antara 1 sampai 2 mil dari
garis pantai terdekat kisaran tinggi gelombang di Sangkulirang lebih tinggi
dibandingkan wilayah laut lainnya sedangkan pada perairan terluar mempunyai
tinggi gelombang berkisar 50 70 cm.
Berdasarkan hasil penelitian kerjasama antara Bappeda Kutai Timur
dengan Universitas Mulawarman (2002) yang dilaksanakan pada bulan Nopember
2001, tinggi gelombang rerata mencapai 20 cm dengan periode gelombang 20
detik per rangkaian gelombang. Tinggi gelombang laut yang terukur pada saat
penelitian dapat dilihat pada lampiran 2.

Kecerahan Perairan
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, tingkat kecerahan perairan di
pesisir Kabupaten Kutai Timur rata-rata lebih dari 80%. Namun pada beberapa
daerah tertentu yang dekat dengan muara sungai besar dan kecepatan arusnya
rendah, sehingga flushing rate kecil, seperti daerah Teluk Lombok, Muara
Sangatta, Muara Bengalon, dan Teluk Sangkulirang memiliki kecerahan kurang
dari 80%, bahkan kurang dari 60%. Hal ini terjadi karena kebanyakan sungai-
sungai di Kabupaten Kutai Timur mempunyai padatan tersuspensi yang tinggi,
akibat erosi yang disebabkan oleh pembukaan hutan di daerah hulu sungai.

Salinitas
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola
sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat
curah hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang
rendah sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas
perairannya tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran
salinitas di suatu perairan.



64
Potensi Ekosistem Pesisir dan Laut
Secara ekologis, tipe ekosistem yang utama terdapat di wilayah pesisir dan
laut Kabupaten Kutai Timur ada 3 (tiga) yaitu hutan bakau, terumbu karang, dan
padang lamun. Ketiganya merupakan ekosistem yang sangat vital, dinamis, high
bio-diversity, dan produktivitas tinggi. Ekosistem ini banyak dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan seperti ppemukiman, kegiatan perikanan tangkap, perikanan
budidaya, perhubungan, rekreasi, dan industri.
Dibandingkan dengan daerah lain, kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur
lebih spesifik karena mempunyai hutan rawa dan sungai-sungai besar. Sungai
merupakan sarana bagi berbagai kepentingan, tidak saja oleh penduduk tapi juga
oleh industri, HPH, pertambangan minyak, dan batu bara. Oleh karena itu kondisi
ekosistem di pesisir Kabupaten Kutai Timur sangat dipengaruhi kualitas dan
kuantitas air sungai.
Kawasan Kabupaten Kutai Timur terbentuk dari beberapa ekosistem yang
terdiri dari ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, dan ekosistem
padang lamun. Diantara ekosistem tersebut terdapat beberapa yang dikategorikan
sebagai kawasan konservasi, oleh karena berfungsi penting dalam menunjang
kehidupan biota laut dan pelindung fisik kawasan pesisir, antara lain :

1. Mangrove
Komunitas jenis mangrove yang terdapat di lokasi penelitian terdiri dari 7
jenis, yaitu: Avicennia spp, Sonneratia spp, Rhizophora mucronata, Rhizopora
apiculata, Bruguiera, Ceriops, dan Casuarina equsetifolia.
Menurut hasil penelitian Saragih (2004), degradasi hutan mangrove terjadi
di beberapa desa yang termasuk dalam Kecamatan Sangatta, yaitu Desa Singa
Geweh, Desa Sangatta Utara dan Desa Sangkima. Degradasi terjadi pada jenis
Ceriops dan Casuarina equsetifolia. Degradasi ini terjadi karena konversi
mangrove untuk pertambakan, pemukiman, perluasan Pertamina Daerah Operasi
Sangkima, dan pembangunan Tempat Pelelangan Ikan di Muara Sungai
Kenyamukan. Selain itu pengaruh pasut pada saat angin Utara dan Selatan
menyebabkan masuknya air laut lebih jauh ke daratan, sehingga kedua komunitas


65
tersebut tidak dapat tumbuh. Kondisi mangrove di kecamatan lain, yaitu
Kaliorang, Sangkulirang, dan Sandaran relatif masih utuh.
Keberadaan fauna di kawasan mangrove sangat spesifik karena terkait
dengan habitat lahan basah, sebagian besar didominasi oleh jenis burung, Oleh
karenanya, keberadaan fauna erat kaitannya dengan ekosistem lahan basah, yaitu
rawa dan delta muara sungai, seperti burung-burung air, satwa lain selain burung
adalah biawak (Varanus salvator), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis),
dan beberapa jenis ular.

2. Padang Lamun
Sebagai penyangga ekosistem terumbu karang, padang lamun berfungsi
meredam gelombang dan arus, perangkap sedimen, tempat asuhan, tempat
mencari makan, dan tempat pemijahan beberapa jenis ikan, udang, dan biota laut
lainnya. Ekosistem padang lamun berada di rataan terumbu karang, didominasi
oleh tumbuhan rumput laut dengan struktur perakaran di dasar perairan, luasannya
mencapai 2.416 ha pada kedalaman 0-2 meter.
Secara umum padang lamun di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur
ditumbuhi oleh Halophila pinealis dan Enhalus pinifolia. Jenis lainnya adalah
Thallasia, Halodule, Cymodoceae, Padina, Halimeda, Galaxaura, dan Laurencia
dengan penutupan sebesar 52-100%.
Selain berbagai jenis flora laut, padang lamun di Kabupaten Kutai Timur
juga dihuni oleh berbagai organisme seperti bintang laut biru (Linckia laevigatus),
bulu babi (Tripnesteus gratila), teripang biru dan coklat.

3. Terumbu Karang
Terumbu karang umumnya berada di pesisir utara Kabupaten Kutai Timur
(Kecamatan Sangkulirang dan Sandaran), yaitu di sekitar Pulau Miang Besar dan
Pulau Miang Kecil, serta Pulau Birah-birahan di depan Teluk Manubar, dengan
luasan terumbu karang mencapai 1.117 ha.
Kondisi terumbu karang di daerah ini masih cukup baik (Unmul, 2002).
Terumbu karang yang ada dari jenis karang lunak dan keras. Jenis yang dominan
adalah Acropora, selain itu pada kedalam 2-8 meter ditemukan koloni karang biru


66
(Heliopora) dan karang api (Millepora), juga jenis karang Anacropora,
Sarcolphyton, Pocillopora, Porites, dan Serriatopora yang penyebarannya sampai
pada kedalaman 15 meter.

Kegiatan Perikanan
Mata pencaharian utama penduduk di pesisir Kabupaten Kutai Timur
adalah sektor perikanan, baik budidaya tambak, perikanan tangkap, perikanan
budidaya, maupun pengolahan hasil perikanan. Seperti halnya kondisi yang terjadi
di perikanan Laut Jawa pada umumnya, potensi sumberdaya perikanan di
kawasan Kabupaten Kutai Timur cenderung mengalami ancaman tangkap lebih
(over-fishing). Oleh karenanya kegiatan budidaya perikanan semakin ditingkatkan
pengembangannya untuk meningkatkan nilai tambah bagi nelayan. Budidaya
perikanan yang dikembangkan diantaranya adalah ikan kerapu (Epinephelus spp),
lobster, dan rumput laut (Eucheuma sp). Sedang pengolahan hasil perikanan
masih relatif sedikit yaitu hanya ada kegiatan pengasinan ikan.
Banyaknya jumlah rumah tangga perikanan (RTP) yang terlibat dalam
kegiatan perikanan laut dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah Rumah Tangga Perikanan menurut Jenis Kegiatan, di Kabupaten
Kutai Timur (Satuan: RTP)
Kecamatan
Perikanan
Laut
Tambak
Karamba
(Kerapu, Lobster RumputLaut)
Sangatta 575 125 50
Sangkulirang 570 - 30
Sandaran 441 142 25
Bengalon 293 123 -
Kaliorang 148 149 -
Sumber: Buku Tahunan Statistik Perikanan, DKP Kab. Kutai Timur, 2005
Kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan umumnya penangkapan
ikan karang (ikan demersal) dan ikan pelagis untuk konsumsi. Lokasi
penangkapan terletak di perairan Kabupaten Kutai Timur hingga laut lepas yaitu
di perairan Selat Makassar.


67
Alat yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan yaitu jaring muro-
ami, bubu, jaring insang, bubu, dan jaring cebur. Sedangkan pengeboman masih
digunakan di beberapa tempat, sehingga mengakibatkan rusaknya hamparan
terumbu karang yang merupakan habitat ikan hias dan biota laut lainnya.
Penangkapan ikan dengan alat bagan tancap ditemui disekitar perairan
Muara Sangatta yang menyebar sepanjang perairan pantai dangkal, namun
jumlahnya hanya sekitar 4-5 buah saja. Berdasarkan pengamatan, diketahui
bangunan bagan yang tidak digunakan lagi dan dibiarkan begitu saja di perairan.

Kependudukan
Jumlah penduduk di Kabupaten Kutai Timur pada tahun 2004 sebanyak
168.529 jiwa. Dengan luas wilayah 35.747,5 km
2
maka kepadatan penduduknya
rata-rata adalah 4,71 jiwa per km
2
. Distribusi atau sebaran penduduknya tidak
merata dan hanya terkonsentrasi di wilayah-wilayah ibukota kecamatan.
Kepadatan penduduknya paling tinggi ada di Kecamatan Kombeng, yaitu 22,71.
Untuk kecamatan pantai, wilayah yang paling tinggi kepadatan penduduknya
adalah Kecamatan Sangkulirang, yaitu sebesar 17,80. Laju pertumbuhan
penduduk umumnya lebih dari 1%, kecuali di Kecamatan Kaliorang.
Penyebaran penduduk dari 11 kecamatan yang ada di Kabupaten Kutai
Timur lebih terkonsentrasi di Kecamatan Sangatta (lebih 30%) dan Kecamatan
Sangkulirang (lebih dari 11%). Penyebaran, kepadatan dan laju pertumbuhan
penduduk 5 kecamatan pantai di Kabupaten Kutai Timur selama tahun 2000
hingga 2004 dapat dilihat pada Tabel 10 berikut.
Tabel 10. Penyebaran, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk kecamatan
pantai, di Kabupaten Kutai Timur Tahun 2000-2004
Kecamatan 2000 2001
00-
01
2002
01-
02
2003
02-
03
2004 03-04

Padat
/km
2
Sebar
%
Padat
/km
2
Sebar
%
Laju
%
Padat
/km
2
Sebar
%
Laju
%
Padat
/km
2
Sebar
%
Laju
%
Padat
/km
2
Sebar
%
Laju
%
Sangatta 11,50 30,61 11,97 29,70 4,09 14,07 33,87 17,51 15,75 37,10 11,91 16,36 37,85 3,91
Bengalon 1,78 4,12 2,55 5,51 43,76 2,61 5,47 2,23 3,18 6,52 21,81 3,21 6,47 1,10
Sangkulirang 2,76 11,33 2,90 11,11 8,40 2,83 10,51 -2,53 2,79 10,61 -1,28 17,80 9,83 5,39
Kaliorang 16,04 7,65 17,38 7,73 5,21 17,21 7,43 -1,03 16,89 7,14 -1,81 2,75 7,38 -1,37
Sandaran 1,21 3,10 1,23 2,95 1,80 1,19 2,78 -2,68 1,48 3,37 23,64 1,49 3,35 1,22
Sumber: BPS, Kab. Kutai Timur dalam Angka 2005



68
Isu dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kutai Timur
Dalam Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai
Timur dinyatakan bahwa, isu pengembangan wilayah Kabupaten Kutai Timur
meliputi 2 isu utama, yaitu masalah ekonomi dan keterbatasan SDM:
1. Ekonomi:
Perekonomian Kabupaten Kutai Timur bersifat dualistik, dimana struktur
perekonomian terbagi dua, yaitu ekonomi modern dan ekonomi tradisional
yang relatif terpisah dan kurang terkait satu sama lain. Keterpisahan kedua
struktur tersebut mengakibatkan perkembangan ekonomi yang cepat dari
sektor modern kurang mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi
tradisional. Bahkan penguasaan sebagian besar lahan oleh sektor modern
telah menyebabkan pengembangan ekonomi tradisional makin terbatas.
Perekonomian wilayah Kabupaten Kutai Timur masih sangat bergantung
pada sektor modern seperti kegiatan eksploitasi SDA yang tidak dapat
diperbaharui, yang kurang memberikan dampak pengganda (multiplier
effect) dan kesejahteraan pada masyarakatnya, serta potensial menurunkan
kualitas lingkungan.
Perekonomian rakyat yang masih bersifat subsistence (sekedar untuk
penyambung hidup), dengan volume perdagangan yang relatif kecil dan
hanya mencukupi kebutuhan sendiri. Para petani tambak dan rumput laut
belum bisa memproduksi panen yang cukup besar untuk keperluan ekspor.
Kegiatan ekonomi yang berlangsung relatif terisolasi dengan sistem
ekonomi yang lebih luas, sehingga nilai dan volume perdagangan dengan
wilayah Indonesia lainnya relatif kecil, apalagi dengan pasar internasional.
2. Keterbatasan SDM:
Kemampuan SDM belum mendukung tujuan pengembangan wilayah yang
berbasis SDA yang dapat diperbaharui. Pemerintah Daerah belum memiliki sarana
dan prasarana yang memadai untuk pelaksanaan pemerintahan umum,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu keterbatasan
ketersediaan sumberdaya manusia daerah dan aparatur pemerintah baik dari segi
kualitas maupun kuantitas dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat
dipastikan dapat menghambat proses pembentukan kelembagaan yang mendukung
tujuan pengembangan wilayah.


69
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak
Kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur diperoleh dari hasil analisis terhadap parameter-parameter: jenis
tanah, tekstur tanah, curah hujan, topografi, kemiringan lahan, penggunaan lahan,
jarak dari sungai, dan jarak dari pantai.
Rata-rata wilayah pesisir di Kabupaten Kutai Timur memiliki kelerengan
<2 %, kecuali di Kecamatan Kaliorang, Sandaran, dan sebagian Kecamatan
Sangkulirang, sehingga air pasang dari laut dapat masuk hingga beberapa
kilometer ke darat melalui sungai-sungai yang landai.
Agar usaha pertambakan dapat berjalan secara berkelanjutan, dikaitkan
dengan tujuan perlindungan seperti tertuang dalam Keppres No. 32 Tahun 1990
tentang pengelolaan kawasan lindung, dengan mempertimbangkan pasang surut
(tidal range) antara 0,3-2,5 meter (tunggang pasang 2,2 m), maka kawasan pantai
selebar 260 m (dibula tkan menjadi 300 m) dari garis pantai ke arah darat tidak
dialokasikan sebagai kawasan pertambakan. Kawasan ini dijadikan sebagai
kawasan sempadan pantai (green belt). Demikian juga dengan kawasan selebar
100 m di kiri dan kanan sungai dialokasikan sebagai kawasan sempadan sungai.
Jenis tanah yang terdapat di wilayah penelitian adalah marin (marine
group) dan kubah gambut (peat domes group). Tanah jenis marin merupakan
dataran pasang surut di sepanjang pesisir, dengan kelerengan <3 % (landai),
bervegetasi mangrove, dan bersedimen halus.
Tanah marin di wilayah penelitian terdiri dari jenis tanah fluvaquents,
tropaquepts, hydraquents, dan dystropepts. Tanah hydraquents, yang banyak
terdapat di Kecamatan Sangatta dan Bengalon, merupakan jenis tanah yang masih
mentah/ berlumpur, sehingga akan menyulitkan dalam pembuatan konstruksi
tambak. Oleh karena itu tanah ini harus dikeringkan terlebih dahulu. Jika tanah
tersebut mengandung bahan sulfidik, maka akan terjadi proses oksidasi
berkepanjangan pada saat penggalian tambak sehingga membentuk pirit.
Simpson dan Pedini (1985) diacu dalam Hardjowigeno (2001)
mengemukakan bahwa penyebab utama rendahnya hasil udang dan ikan pada


70
sejumlah lahan pantai adalah adanya pirit (FeS
2
). Senyawa ini bila dalam keadaan
kering akan teroksidasi menjadi asam sulfat yang sangat masam. Beberapa tambak
yang dibangun di tanah yang kaya pirit di Sulawesi Selatan menunjukkan
penurunan pH tanah dari 7 menjadi 4 dalam waktu kurang dari 12 jam (Poernomo,
1992 dalam Hardjowigeno, 2001).
Budidaya tambak tidak bisa dilepaskan dari pasokan air asin secara
kontinyu, oleh karena itu kedekatan lokasi pertambakan dari pantai akan menjadi
pertimbangan utama. Semakin dekat lokasi pertambakan dari pantai, akan
semakin mudah dalam pengambilan air laut, sehingga biaya yang dikeluarkan
untuk memasok air laut ke tambak menjadi lebih murah. Faktor kedekatan lokasi
dari sungai untuk menjamin pasokan air tawar, juga akan membantu kelancaran
budidaya pertambakan.
Amplitudo pasang surut merupakan faktor yang paling berpengaruh untuk
pasokan air ke tambak. Yang penting diperhatikan bagi usaha pertambakan adalah
rata-rata tinggi air pasang dan rata-rata tinggi air surut. Kedua rata-rata tersebut
diperlukan untuk menetapkan apakah daerah yang dinilai masih berada dalam
batas-batas air pasang surut atau sudah berada di luarnya. Perlu dicatat bahwa air
pasang yang melimpas suatu lahan tidak selalu berupa air asin atau payau tetapi
dapat juga berupa air tawar yang berasal dari sungai yang tertahan oleh pasang air
laut (Hardjowigeno, 2001).
Fluktuasi pasang surut air laut yang dianggap memenuhi syarat pembuatan
tambak antara 2-3 m, atau paling tidak 1,5-2,5 m (Samun et al 1984 dalam Fadlan,
2003). Tambak yang terletak pada daerah dengan pasang surut yang besar,
membutuhkan pematang dan tanggul yang tinggi dengan biaya pembuatan yang
mahal. Sebaliknya, fluktuasi pasang surut <1 m, meyebabkan daya jangkau air
terlalu pendek sehingga proses pengisian dan pengeringan air tidak dapat
dilakukan dengan baik kecuali dengan batuan pompa. Tunggang pasang (tidal
range) air laut di pesisir Kabupaten Kutai Timur adalah 2,2 meter, sehingga
masih dalam kisaran layak untuk budidaya tambak.
Topografi dan ketinggian tempat dari permukaan air laut (elevasi)
merupakan faktor lain yang perlu diperhatikan pada pembuatan tambak. Tambak
memerlukan daerah datar dan masih dapat digenangi langsung oleh pasang surut


71
air asin atau payau. Ketinggian seluruh tempat itu tidak boleh melebihi tinggi
permukaan air pasang tertinggi, karena tambak akan sulit dialiri, dan juga tidak
boleh lebih rendah daripada tinggi permukaan air surut terrendah, sekalipun masih
dekat pantai, karena tambak akan mengalami banjir permanen (Hardjowigeno,
2001; Afrianto dan Liviawati, 1991).
Tanah yang bergelombang sebaiknya dihindarkan karena akan
memerlukan biaya tinggi untuk penggalian dan perataan tanah. Penggalian tanah
yang banyak dan dalam menyebabkan lapisan tanah yang subur akan terbuang
(Poernomo, 1992).
Iklim berkaitan dengan pengeringan dasar tambak secara berkala dengan
tujuan untuk memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan mineralisasi bahan
organik, dan menghilangkan bahan-bahan beracun seperti H
2
S, amoniak, serta
metan. Karena itu diperlukan adanya bulan-bulan kering tertentu pada setiap
tahun. Curah hujan tinggi sepanjang tahun tanpa bulan kering kurang cocok untuk
tambak. Hujan terus-menerus sepanjang hari selama beberapa minggu akan
menurunkan suhu air tambak. Sebaliknya, curah hujan yang terlalu rendah dan
bulan kering yang terlalu panjang juga kurang baik untuk daerah pertambakan.
Curah hujan antara 2.000-3.000 mm/th dengan bulan kering 2-3 bulan cukup baik
digunakan untuk tambak (Soeseno, 1988 dalam Hardjowigeno, 2001).
Pada saat ini wilayah pesisir di Kabupaten Kutai Timur yang eksisting
digunakan untuk budidaya tambak adalah sekitar muara Sungai Sangatta, Teluk
Lombok, muara Sungai Kenyamukan, muara Sungai Sangkima, dan muara Sungai
Bengalon. Kondisi sesuai dengan hasil analisis spasial kesesuaian lahan tambak,
yang menunjukkan bahwa daerah tersebut memang sesuai untuk pengembangan
budidaya tambak.
Menurut hasil analisis spasial, potensi wilayah pesisir Kabupaten Kutai
Timur yang sesuai untuk pengembangan budidaya tambak adalah sebagaimana
disajikan dalam Gambar 5.
Luas areal berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan
budidaya tambak dapat dilihat pada Tabel 11.




72
Tabel 11. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tambak di Pesisir Kabupaten
Kutai Timur
No. Kesesuaian Lahan Luas (Ha)
1 Sangat Sesuai 2.572,220
2 Sesuai 7.154,573
Sumber: hasil analisis spasial

Hasil analisis spasial menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya
tambak adalah sebagai berikut:
(i) Lokasi yang termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) seluas 2.572,220
ha, tersebar di pesisir Muara Sangkima, Teluk Lombok, Muara Sangatta, Muara
Bengalon, Tanjung Manis dan yang luas adalah daerah Sempayau, Rapak, Mandu,
dan Benua Baru di Teluk Sangkulirang.
(ii) Lokasi yang termasuk dalam kelas sesuai (S2) seluas 7.154,573 ha,
tersebar di sepanjang pesisir Kecamatan Sangatta, Bengalon, Kaliorang dan
Sangkulirang dengan jarak ke darat sejauh batas wilayah penelitian.
Kawasan sangat sesuai (S1) dicirikan dengan tidak adanya faktor
pembatas yang berarti jika lahan tersebut dikembangkan untuk tambak secara
berkelanjutan. Dalam jangka panjang produktivitas lahan pada lokasi ini tidak
akan menurun secara nyata. Dari 2.572,220 ha lahan tambak yang sangat sesuai
tersebut, yang sudah dibuka menjadi tambak baru sekitar 841 ha, dan hanya
sekitar 280 ha yang sudah produktif (Statistik Dinas Perikanan Kelautan, 2005).
Kawasan sesuai (S2) dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang
cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan tambak secara berkelanjutan.
Pembatas tersebut akan mengurangai produksi dan keuntungan yang diperoleh
karena adanya penambahan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut. Sebagai
pembatas pada kawasan ini adalah: (i) sebagian wilayah berada pada tanah yang
bersifat asam, sehingga diperlukan biaya untuk pengolahan tanah, (ii) lahan
terletak pada kebun, tegalan dan persawahan, sehingga akan menambah biaya
untuk pembebasan lahan bila dikonversi menjadi tambak, (iii) jarak yang cukup
jauh dari pantai dan sungai, sehingga memerlukan tambahan biaya untuk pasokan
air asin dan air tawar.


73



















Gambar 5. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur


74
Lahan tambak yang sesuai S1 maupun S2 di sekitar muara Sungai Sangatta
mempunyai ancaman yang cukup berat bagi keberlanjutan usaha budidaya tambak
tersebut, karena di sepanjang DAS Sungai Sangatta terdapat banyak industri dan
permukiman, baik industri yang berskala besar, seperti pertambangan PT KPC,
maupun industri yang berskala kecil, seperti usaha penggergajian kayu (sawmill),
moulding, bengkel, pasar, dan home industri lainnya. Industri dan rumah tangga ini,
seperti yang sudah umum terjadi di Kalimantan, membuang limbahnya ke sungai.
Sehingga ancaman pencemaran oleh limbah anthropogenik sangat mungkin terjadi.
Bahaya pencemaran ini dapat mengakibatkan serangan penyakit dan kegagalan
panen.
Demikian juga lahan-lahan tambak di sekitar Sungai Sangkima dan Teluk
Kabba perlu diperhatikan pembukaannya, agar tidak mengkonversi hutan mangrove
yang ada di sekitarnya. Hutan mangrove di wilayah ini termasuk dalam kawasan
Taman Nasional Kutai (TNK) yang mempunyai fungsi konservasi, sehingga
mengkonversi hutan mangrove ini dapat berpengaruh pada keberlanjutan usaha-usaha
lainnya yang memanfaatkan sumberdaya alam,
Salah satu alternatif dalam memanfaatkan kawasan di sekitar hutan mangrove
untuk tambak agar berkelanjutan adalah dengan menggunakan sistem mina hutan
(silvofishery). Penerapan mina hutan dikawasan ekosistem hutan mangrove
diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani disekitar kawasan
tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat.
Harapan ini dapat terwujud dengan catatan tidak ada pemilik modal yang menguasai
lahan secara berlebihan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, harus ada ikatan
perjanjian antara pengelola tambak dan Dinas Kehutanan, yang antara lain berisi
kewajiban bagi pengelola tambak untuk menjaga kelestarian hutan serta sanksi bagi
pengelola tambak mengingkari kewajibannya. Berdasarkan pengalaman ketentuan
yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara lain menjaga perbandingan hutan
dan tambak sebesar 80% hutan dan 20% tambak.
Dengan pengembangan mina hutan secara lebih tertata dan perbandingan
antara hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat meningkatkan


75
produksi per satuan luas dan hasil tangkapan udang liar. Harapan tersebut didasarkan
pada asumsi bahwa hutan disekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan
kesuburan kolam dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu, hutan yang lebih baik akan menjadi
tempat mengasuh anak yang cukup bagi udang, melindungi udang dari suhu yang
tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak bagi udang dan ikan.
Untuk kondisi tanah tambak di Kabupaten Kutai Timur yang cenderung asam
dan dan salinitas air tambak yang tinggi karena tingginya evaporasi air tambak,
komoditas yang cukup baik dikembangkan adalah kepiting bakau (Scylla serrata).
Kepiting bakau sangat memungkinkan dikembangkan dengan model mina hutan
karena habitatnya secara alami adalah hutan bakau.
S. serrata merupakan jenis kepiting yang paling popular sebagai bahan
makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal (bernilai ekonomis tinggi). Dalam
pemenuhan kebutuhan pasar masih dilakukan dengan cara penangkapan di alam.
Harga kepiting bakau untuk keperluan ekspor relatif tinggi, sehingga mempunyai
prospek yang baik untuk dikembangkan. Hasil statistik perikanan Indonesia tahun
1990/1999 menunjukkan, rajungan dan kepiting merupakan komoditas ekspor yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi setelah udang dan ikan. Nilai ekspor
kepiting/rajungan pada tahun 1999 mencapai 54 juta dollar AS.
Budidaya tambak dengan komoditas S. Serrata ini diharapkan lebih
menguntungkan bagi petani karena tidak memerlukan biaya yang tinggi untuk input
teknologi, dan benih masih banyak tersedia di alam sehingga tidak perlu
mendatangkan dari luar daerah. Selain itu secara lokal, istri-istri nelayan di Desa
Sangkima juga sudah memanfaatkan daging kepiting untuk pembuatan kerupuk
kepiting

Kesesuaian Lahan Budidaya Karamba Sistem Jaring Tancap (Fixed net cage)
Kesesuaian lahan untuk budidaya karamba di wilayah pesisir Kabupaten Kutai
Timur diperoleh dari hasil analisis terhadap parameter: keterlindungan perairan,


76
tinggi gelombang, kecepatan arus, kedalaman perairan, material dasar perairan, dan
tingginya tingkat pencemaran.
Pengambilan data hidro-oseanografi untuk analisis kesesuaian lahan karamba
ini dilakukan pada musim angin peralihan (bulan Oktober-Desember), dimana
kondisi gelombang tinggi dan arah arus tidak menentu. Oleh karena itu potensi
kesesuaian lahan untuk karamba yang dianalisis pada penelitian ini merupakan
potensi untuk musim pancaroba. Pada musim yang lain (musim selatan dan utara)
kondisi kesesuaian lahan ini mungkin dapat berbeda, karena kondisi hidro-
oseanografinya juga berbeda. Namun pada penelitian ini perbedaan tersebut tidak
dibahas karena tidak mengambil data pada musim selatan dan musim utara.
Budidaya karamba yang sudah dilakukan di pesisir Kabupaten Kutai Timur
adalah budidaya karamba sistem Fixed net cage. Jaring tancap (Fixed net cage)
adalah sistem teknologi budidaya dalam wadah berupa jaring yang diikatkan pada
patok yang menancap ke dasar perairan (Effendi, 2004). Kepadatan organisme
budidaya dalam sistem ini relatif rendah, karena terletak pada perairan yang
dangkal sehingga kualitas lingkungan dalam sistem ini kurang baik dibanding
karamba jaring apung. Beberapa komoditas yang potensial dipelihara dalam
sistem ini adalah lobster, teripang dan ikan kerapu.
Menurut hasil analisis spasial, potensi wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur
yang sesuai untuk pengembangan budidaya karamba adalah sebagaimana disajikan
dalam Gambar 6. Luas areal berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk
pengembangan budidaya karamba dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Karamba di Pesisir Kabupaten
Kutai Timur
No. Kesesuaian Lahan Luas (ha)
1 Sangat Sesuai 804,259
2 Sesuai 3.155,090
Sumber: hasil analisis spasial


77
Hasil analisis spasial menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya
karamba adalah sebagai berikut:
(i) Lokasi yang termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) seluas 804,259 ha,
berada di Kecamatan Kaliorang dan Sangkulirang, yaitu perairan Pulau Miang
Besar dan Miang Kecil, Bual-bual, Teluk Kaliorang dan Sempayau.
(ii) Lokasi yang termasuk dalam kelas sesuai (S2) seluas 3.155,090 ha, tersebar di
sepanjang pesisir Teluk Sangkulirang, Dusun Tepian Kelambu, Tanjung
Pagar, Teluk Nepa, pesisir Teluk Pandan, dan Teluk Lombok.
Kawasan sangat sesuai (S1) dicirikan dengan tidak adanya faktor pembatas
yang berarti jika lahan tersebut dikembangkan untuk karamba secara berkelanjutan.
Dalam jangka panjang produktivitas lahan pada lokasi ini tidak akan menurun secara
nyata. Kawasan yang sangat sesuai (S1) terluas terdapat pada perairan Bual-bual dan
Pulau Miang, karena secara umum kondisi perairan di kawasan tersebut cukup
terlindung dari arus yang kuat karena terlindung oleh terumbu karang di P. Miang dan
perairan cukup jernih karena sedikit muara sungai dan hutan mangrove.
Kawasan sesuai (S2) dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang
cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan karamba secara berkelanjutan.
Pembatas tersebut kebanyakan berupa kondisi fisik oseanografi yang ekstrim pada
musim-musim tertentu. Pesisir dan laut Kabupaten Kutai Timur mengalami kecepatan
arus dan gelombang yang tinggi pada musim selatan dan peralihan, yang berlangsung
antara bulan Juli-Desember. Pada kondisi ini karamba terkadang tidak mampu
menahan gelombang sehingga rusak bahkan hancur. Oleh karena itu perlu dicari
solusi teknik budidaya yang bersifat tidak permanen, misalnya karamba jaring apung
dengan menggunakan pelampung drum plastik, sehingga pada saat musim-musim
tersebut karamba dapat diangkat agar tidak rusak oleh gelombang. Faktor pembatas
lain adalah sedimentasi dan pencemaran yang berasal dari lingkungan eksternal dan
internal.



78





















Gambar 6. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Karamba sistem Fixed net cage di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur


79
Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Sistem Long Line
Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan berhasil
tidaknya suatu usaha budidaya rumput laut. Untuk memperoleh hasil yang
memuaskan dari usaha budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai
dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut.
Faktor ekologi yang berpengaruh terhadap budidaya rumput laut, adalah:
1. Keterlindungan
Lokasi harus terlindung untuk menghindari kerusakan fisik rumput laut dari
terpaan angin dan gelombang yang besar (Anonim, 1979).
2. Dasar Perairan, Dasar perairan yang paling baik bagi pertumbuhan
(Eucheuma sp) adalah dasar perairan yang stabil yang terdiri dari potongan
karang mati bercampur dengan pasir karang (Anonim,1979).
3. Kedalaman Air
Pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air minimal 50 cm,
supaya rumput laut tidak mengalami kekeringan karena terkena sinar
matahari secara Iangsung dan sekitar 210 cm saat pasang tinggi (Anonim,
1979).
4. Salinitas
Salinitas perairan yang tinggi dengan kisaran 28-34 dengan nilai optimum
32 untuk itu hindari lokasi dari sekitar muara sungai (Zatnika, 1985).
5. Suhu air yang sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar 27-30C (Zatnika,
1985).
6. Kecerahan yang ideal dengan angka transparansi sekitar 1,5 m (Zatnika,
1985).
7. Keasaman (pH)
Kisaran pH antara 7-9. Nilai diharapkan pada kisaran 7,3 8,2 Karena
perubahan pH akan mempengaruhi keseimbangan kandungan karbon
dioksida (C0
2
) yang secara umum dapat membahayakan kehidupan biota
laut dari tingkat produktivitas primer perairan (Anonim,1999).
8. Pergerakan air (Ombak dan Arus)
Lokasi budidaya harus terlindung dari arus (pergerakan air) dan hempasan
ombak yang terlalu kuat. Apabila hal ini terjadi, arus dan ombak akan


80
merusak dan menghanyutkan tanaman. Air harus mempunyai gerakan air
yang cukup. Kecepatan arus yang cukup untuk budidaya Eucheuma sp 20
40 cm/detik. Dengan kondisi seperti ini, akan mempermudah penggantian
dan penyerapan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman, tetapi tidak
sampai merusak tanaman (Anggadiredja, 2006).
9. Aman dari predator dan kompetitor
Lokasi budidaya bukan merupakan tempat berkumpulnya predator rumput
laut, seperti ikan, penyu, bulu babi, dan herbivor lainnya. Dengan demikian,
kerusakan tanaman dapat ditekan, di samping juga dapat menghemat biaya
pemeliharaan dan perlindungan terhadap hama tanaman (Anggadiredja,
2006).
10. Untuk keamanan dan keberlanjutan budidaya maka lokasi yang dipilih
bukan merupakan tempat yang menjadi jalur pelayaran (Anggadiredja,
2006).
Pengambilan data hidro-oseanografi untuk analisis kesesuaian lahan
budidaya rumput laut ini dilakukan pada musim angin pancaroba (bulan Oktober-
Desember), dimana kondisi gelombang tinggi dan arah arus tidak menentu. Oleh
karena itu potensi kesesuaian lahan untuk karamba yang dianalisis pada penelitian
ini merupakan potensi untuk musim pancaroba. Pada musim yang lain (musim
selatan dan utara) kondisi kesesuaian lahan ini mungkin dapat berbeda, karena
kondisi hidro-oseanografinya juga berbeda. Namun pada penelitian ini perbedaan
tersebut tidak dibahas karena tidak mengambil data pada musim selatan dan
musim utara.
Menurut hasil analisis spasial, potensi wilayah pesisir Kabupaten Kutai
Timur yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut adalah
sebagaimana disajikan dalam Gambar 7.
Luas areal berdasarkan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan
budidaya rumpur laut dapat dilihat pada Tabel 13.





81
Tabel 13. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Rumput Laut di Pesisir
Kabupaten Kutai Timur
No. Kesesuaian Lahan Luas (ha)
1 Sangat Sesuai 3.790.540
2 Sesuai 7.492,305
Sumber: hasil analisis spasial
Hasil analisis spasial menunjukkan penyebaran kelas lahan untuk budidaya
rumput laut adalah sebagai berikut:
(iii) Lokasi yang termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) seluas 3.790,540 ha,
tersebar di pesisir Desa Sangkima, Desa Sekerat, Desa Kaliorang, Dusun
Labuhan Kelambu, sepanjang pesisir Teluk Sangkulirang, Tanjung Pagar,
dan Teluk Nepa.
(iv) Lokasi yang termasuk dalam kelas sesuai (S2) seluas 7.492,305 ha,
tersebar di sepanjang pesisir Kabupaten Kutai Timur .
Kawasan sesuai (S2) dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang
cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan rumput laut secara
berkelanjutan. Sebagai pembatas pada kawasan ini adalah: (i) lokasi berada pada
lahan yang mempunyai kondisi pergerakan arus dan gelombang yang pada musim
tertentu (musim selatan) bersifat ekstrim, sehingga pada musim tersebut tidak
dapat dilakukan usaha budidaya rumput laut, (ii) kualitas/kesuburan perairan tidak
cukup mendukung pertumbuhan rumput laut, sehingga pertumbuhan lebih lambat,
(iii) lokasi yang cukup jauh dari sarana transportasi, sehingga memerlukan
tambahan biaya untuk pengangkutan.



82



















Gambar 7. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Sistem Long Line di Pesisir Kabupaten Kutai Timur


76
Identifikasi Keterlibatan dan Peran Stakeholder
Untuk menganalisis konflik pemanfaatan ruang dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir dan untuk merumuskan arahan pengembangan kegiatan
perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur dilakukan dengan metode
participatory oleh stakeholder yang terkait agar diperoleh hasil yang partisipatif,
integratif, dan akomodatif.
Berdasarkan hasil identifikasi stakeholders, maka stakeholders yang terkait
dengan pengembangan kegiatan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur adalah sebagaimana yang disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Stakeholder yang Terkait dengan Kegiatan Perikanan Budidaya di
Pesisir Kabupaten Kutai Timur.
Kelompok
Stakeholders
Stakeholders
Pemerintah
Daerah
1. DPRD KabupatenKutim
2. Dinas Kelautan dan Perikanan,
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur,
4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,
5. Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Timur,
6. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, dan
7. Taman Nasional Kutai Timur,
LSM 8. Yayasan BIKAL
Swasta/
Masyarakat
Pesisir
9. Masyarakat Pembudidaya,
10. Masyarakat Nelayan,
11. Masyarakat Wisatawan,
12. PT Kaltim Prima Coal,
13. PT Pertamina
14. Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), dan
15. Koperasi Perikanan
Akademisi 16. Stiper Kutai Timur
Sumber: Analisis Data Primer

Lebih lanjut, stakeholders yang telah diidentifikasi tersebut
dikelompokkan/dipetakan dalam suatu kriteria sesuai dengan tingkat kepentingan,
kapasitas, dan relevansinya atas pembangunan.
Dengan pemetaan stakeholder, maka akan didapat profil stakeholder yang
diperlukan. Sebagai suatu alternatif, secara lebih rinci pemetaan stakeholder bisa
dilakukan dengan memberi skor dengan melihat peran, pengaruh stakeholders
pada perencanaan daerah. Tabel 15 berikut ini menunjukkan matrik analisis


77
pengaruh stakeholders terhadap pengembangan perikanan di pesisir Kabupaten
Kutai Timur.
Tabel 15. Matriks Analisis Pengaruh Stakeholders Terhadap Pengembangan
Kegiatan Perikanan di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Stakeholders Peran dalam
Kegiatan
Pembuat
Keputusan
Pengorganisir
Pelaksana
Pemanfaat
Pengontrol
Pendukung
Penentang
Pengaruh Kegiatan
Terhadap Kepentingan
Stakeholders
T= tidak dikenal
1 = tidak penting
2 = agak penting
3 = sedang
4 = sangat penting
5 = pemain kunci
Pengaruh Stakeholders
Terhadap Keberhasilan
Kegiatan
T= tidak dikenal
1 = tidak penting
2 = agak penting
3 = sedang
4 = sangat penting
5 = pemain kunci
Tahap
Perencanaan
Tahap
Pelaksanaan
DPRD Kab.** Pembuat
Keputusan
4 5 3
Pemda Kutim** Pengorganisir 4 5 3
Bappeda Kutim** Pengorganisir 4 5 2
DKP Kutim** Pelaksana
Pengontrol
5 5 5
Dis Lingkungan
Hidup Kutim***
Pelaksana
Pengontrol
3 4 2
Taman Nasional
Kutai***
Pelaksana
Pengontrol
5 4 3
LSM BIKAL*** Pendukung
Pengontrol
5 2 4
HNSI Kutim* Pemanfaat 4 2 5
Kop Perikanan* Pemanfaat 4 2 5
Stiper Kutim*** Pendukung
Pengontrol
2 3 2
PT KPC*** Pemanfaat 5 3 4
PT Pertamina*** Pemanfaat 5 3 3
Masyarakat* Pemanfaat 5 1 5
Sumber: Analisis Data Primer
Sumber format : LGA Romania, RTI (Chetwynd et al., 2001)
Keterangan : * Stakeholder Utama
** Stakeholder Kunci
*** Stakeholder Sekunder



78
Berdasarkan stakeholders yang berhasil diidentifikasi tersebut,
diambil 12 orang responden yang merupakan tokoh kunci (key persons)
untuk mewakili tiap-tiap kelompok stakeholders tersebut. Dari ke-12
responden ini dimintai informasi tentang keterlibatan dan pengaruh mereka
dalam perencanaan dan pelaksanaan pengembangan wilayah pesisir
Kabupaten Kutai Timur. Selanjutnya dari informasi yang diperoleh dibuat
skoring, seperti yang telah disajikan dalam tabel di atas. Selain dilakukan
wawancara untuk identifikasi stakeholders, ke-12 responden tersebut juga
dimintai pendapat untuk memberikan skor pada analisis hierarki untuk
menentukan kegiatan budidaya yang paling diprioritaskan dalam
pengembangan perikanan budidaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur.
Dari semua stakeholders yang telah diidentifikasi tersebut, belum
semua terlibat dalam perencanaan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang
untuk pengembangan kegiatan perikanan di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur. Di samping itu, dari stakeholders yang telah memberikan
masukan dan keinginan mereka, belum semuanya dapat terealisasi dalam
pelaksanaan pembangunan wilayah pesisir.
Berdasarkan matriks analisis stakeholders (Tabel 15) peran masing-
masing kelompok stakeholders dalam pengembangan perikanan budidaya
laut adalah sebagai berikut:
a) Masyarakat dan pengusaha setempat merupakan stakeholder utama yang
memiliki kepentingan secara langsung, yakni sebagai pelaku dan pemanfaat
dari kegiatan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur ini.
b) Pemerintah Daerah, Bappeda Kabupaten Kutai Timur dan Dinas Kelautan
Perikanan Kabupaten Kutai Timur merupakan stakeholder kunci yang
memiliki kewenangan langsung dalam pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan perikanan budidaya laut di kawasan ini. Bappeda Kabupaten Kutai
Timur dan Dinas Kelaut Perikanan Kabupaten Kutai Timur, selain berperan
sebagai pengorganisir juga sebagai pengambil keputusan mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan kegiatan perikanan budidaya laut di kawasan ini. Hal
ini karena sejak diberlakukannya otonomi daerah, Dinas Kelautan Perikanan


79
Kabupaten Kutai Timur adalah sebagai penanggung jawab kegiatan perikanan
di seluruh wilayah Kabupaten Kutai Timur.
c) Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, Dinas Pariwisata
Kabupaten Kutai Timur, Taman Nasional Kutai (TNK), instansi pemerintah
lainnya, Community Development PT KPC, dan Akademisi Stiper Kutai
Timur, serta LSM merupakan stakeholder sekunder, karena tidak memiliki
kepentingan secara langsung namun memiliki kepedulian terhadap kegiatan
perikanan laut di kawasan ini. Kelompok stakeholders ini hanya berperan
sebagai pendukung kegiatan perikanan. Sementara itu pihak Community
Development PT KPC berperan sebagai sumber dana yang memberikan
subsidi bagi masyarakat dalam mengembangkan kegiatan perikanan budidaya
laut di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur.

Proses Hierarki Analitik untuk Konflik Pemanfaatan Lahan
Komponen dalam analisis PHA didasarkan pada tujuan pengembangan
wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur yang berkelanjutan (sustainable
development), yang dibangun oleh tiga dimensi, yang merupakan pilar dasar
pembangunan berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dan
dimensi kelestarian lingkungan.
Dimensi pembangunan ekonomi disusun oleh tiga sub kriteria yang
menyusun tujuan pembangunan ekonomi, yaitu peningkatan Pendapatan Asli
daerah (PAD), peningkatan pendapatan masyarakat pesisir, serta adanya
penyerapan tenaga dan terbukanya kesempatan berusaha. Dimensi pembangunan
sosial budaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur dicirikan dengan adanya
penurunan konflik dalam pemanfaatan ruang pesisir, baik konflik antar pelaku
maupun konflik antar ruang. Sedangkan dari komponen kelestarian sumberdaya
alam dan lingkungan hidup faktor-faktor yang ikut menentukan prioritas
pengembangan kawasan budidaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur adalah
kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam yang bersifat dapat pulih
(renewable resources), kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak
dapat pulih (unrenewable resources), dan pemanfaatan sumberdaya untuk jasa-
jasa lingkungan (Gambar 4).


80
Berdasarkan metode Proses Hierarki Analitik (PHA), diperoleh hasil
prioritas sebagai berikut:
Tabel 16. Matriks Prioritas Kriteria dalam Mencapai Tujuan Pengembangan
Perikanan di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Kriteria Bobot Prioritas
Ekonomi 0,211 P3
Penurunan Konflik 0,264 P2
Pelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan 0,526 P1
Sumber: Analisis Data Primer
Dari Tabel 16 di atas diketahui bahwa pelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan merupakan kriteria yang menempati prioritas pertama untuk mencapai
tujuan pengembangan perikanan yang berkelanjutan, prioritas kedua adalah
kriteria sosial yang berupa penurunan konflik dalam pemanfaatan ruang, dan
prioritas terakhir adalah kriteria pencapaian ekonomi.
Merupakan pilihan yang sangat logis bila pelaku usaha (stakeholders) di
pesisir Kabupaten Kutai Timur memilih untuk memprioritaskan pelestarian SDA
dibanding kriteria lainnya, karena pembangunan yang berkelanjutan baru dapat
terlaksana bila sumberdaya masih tersedia dengan baik. Sumberdaya alam akan
lestari bila pemanfaatannya dilakukan sesuai dengan kemampuan daya dukung
lingkungan. Pengalaman pembangunan pesisir dan lautan selama periode
Pembangunan Jangka Panjang I cenderung menuju ke arah yang tidak
berkelanjutan, akhirnya berakibat pada terjadinya: pencemaran lingkungan;
overeksploitasi sumberdaya alam; degradasi fisik habitat pesisir : mangrove,
terumbu karang, pantai berpasir, estuaria, dll; konflik pemanfaatan ruang; dan
kemiskinan.
Penyelesaian masalah sosial yang berupa konflik pemanfaatan ruang juga
merupakan kriteria yang harus diprioritaskan, karena pengalaman dari banyak
daerah, konflik akan menyebabkan kondisi daerah menjadi tidak kondusif untuk
perekonomian. Oleh karena itu sedini mungkin hendaknya ada rencana tata ruang
pesisir yang dapat mengakomodir sebanyak mungkin kebutuhan pelaku usaha di
wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur. Dengan adanya rencana tata ruang akan


81
dapat dicapai keharmonisan spasial pada wilayah pesisir dan laut, sehingga para
pelaku usaha lebih terjamin kepastian usahanya di wilayah tersebut.
Pembangunan ekonomi merupakan prioritas terakhir dalam pengembangan
wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur yang berkelanjutan. Namun hal ini tidak
berarti bahwa pembangunan ekonomi bukan masalah penting. Selama ini,
menurut teori ekonomi konvensional, pembangunan ekonomi diukur dari
pertumbuhan ekonomi, yang didasarkan pada angka PDRB (Pendapatan Domestik
Regional Bruto) atau secara nasional berdasarkan angka GNP (Gross National
Product) per kapita.
Tolok ukur keberhasilan pembangunan hendaknya tidak hanya didasarkan
pada pertumbuhan GNP perkapita, tetapi harus memasukkan tiga kriteria lainnya:
(1) berkurangnya kemiskinan absolut, (2) menurunnya ketimpangan distribusi
pendapatan, dan (3) mengecilnya tingkat pengangguran.
Pembangunan yang berhasil paling tidak harus dapat memenuhi basic
human needs (pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan) seluruh
rakyatnya (ILO, 1976).
Keberhasilan pembangunan ekonomi harus dapat menciptakan: meluasnya
pemilikan aset-aset ekonomi produktif oleh rakyat, pertumbuhan ekonomi,
pemerataan dan peningkatan kreativitas rakyat, peningkatan keseluruhan sistem
sosial, dan terjaminnya harga diri dan kebebasan/kemerdekaan rakyat.
Dimensi pembangunan ekonomi disusun oleh tiga sub kriteria yang
menyusun tujuan pembangunan ekonomi, yaitu peningkatan Pendapatan Asli
daerah (PAD), peningkatan pendapatan masyarakat pesisir, serta adanya
penyerapan tenaga dan terbukanya kesempatan berusaha.
Hasil analisis hierarki untuk sub kriteria ekonomi dalam pengembangan
wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur adalah sebagaimana yang disajikan dalam
Tabel 17.
Dalam kriteria ekonomi, kegiatan perikanan yang terlebih dahulu harus
diprioritaskan untuk dikembangkan adalah kegiatan yang dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat. Selanjutnya kegiatan yang perlu dikembangkan adalah
kegiatan yang dapat menyerap tenaga kerja dan membuka kesempatan usaha


82
seluas-luasnya bagi masyarakat, dan kegiatan yang terakhir perlu dilakukan
adalah kegiatan yang dapat meningkatkan pemasukan daerah melalui PAD.
Tabel 17. Matriks Prioritas Kriteria Ekonomi dalam Mencapai Tujuan
Pengembangan Perikanan di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Sub Kriteria Ekonomi Bobot Prioritas
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 0,165 P3
Peningkatan pendapatan masyarakat 0,497 P1
Penyerapan Tenaga Kerja dan Peluang Kesempatan Usaha 0,338 P2
Sumber: Analisis Data Primer
Dengan memprioritaskan kegiatan yang lebih meningkatkan pendapatan
masyarakat pesisir dan dapat menyerap tenaga kerja, serta membuka kesempatan
usaha bagi masyarakat, diharapkan dapat lebih meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir Kabupaten Kutai Timur, sehingga kesenjangan kesejahteraan
antara masyarakat nelayan dengan kelompok masyarakat lain, seperti pekerja
pertambangan PT KPC dan pekerja di bidang kehutanan dan perkebunan, dapat
berkurang. Berkurangnya kesenjangan ini akan mengurangi potensi konflik antar
kelompok masyarakat.
Dimensi pembangunan sosial budaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur
dicirikan dengan adanya penurunan konflik dalam pemanfaatan ruang pesisir, baik
konflik antar pelaku maupun konflik antar ruang. Proses hierarki analitik
menunjukkan hasil sebagai berikut:
Tabel 18. Matriks Prioritas Kriteria Penurunan Konflik dalam Mencapai Tujuan
Pengembangan Perikanan di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Sub Kriteria Penurunan Konflik Bobot Prioritas
Konflik antar Pelaku 0,542 P1
Konflik antar Ruang 0,458 P2
Sumber: Analisis Data Primer
Kegiatan yang mencegah adanya konflik antar pelaku usaha merupakan
kegiatan yang lebih diprioritaskan dibandingkan kegiatan yang dapat mencegah
konflik antar ruang. Konflik antar pelaku merupakan isu yang cukup sensitif


83
dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, sehingga pencegahan terhadap
timbulnya konflik akan membuat kondisi kegiatan perikanan menjadi lebih
kondusif bagi para pelaku usaha.
Sementara itu untuk mengatasi konflik antar ruang, seperti yang pernah
terjadi pada tahun 2005 di Kabupaten Kutai Timur antara perusahaan
pertambangan dengan petani karamba, solusi yang bisa ditempuh antara lain
dengan menyusun tata ruang pesisir yang sesuai dengan peruntukannya, dan
menjalankan konsep tersebut dengan benar.
Dari komponen kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup faktor-
faktor yang ikut menentukan prioritas pengembangan wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur adalah kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam yang bersifat
dapat pulih (renewable resources), kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya
alam yang tidak dapat pulih (unrenewable resources), dan pemanfaatan
sumberdaya untuk jasa-jasa lingkungan.
Tabel 19. Matriks Prioritas Kriteria Pelestarian Sumberdaya Alam dan
Lingkungan dalam Mencapai Tujuan Pengembangan Perikanan
Sub Kriteria SDA dan Lingkungan Bobot Prioritas
Sumberdaya Alam pulih 0,486 P1
Sumberdaya Alam tidak pulih 0,280 P2
Jasa-jasa Lingkungan 0,234 P3
Sumber: Analisis Data Primer
Hasil analisis hierarki menunjukkan bahwa kegiatan perikanan yang
memanfaatkan sumberdaya dapat pulih (renewable resources) adalah kegiatan
yang lebih penting dilakukan dibanding kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya
alam tidak pulih dan pemanfaatan jasa-jasa lingkungan.
Dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur dinyatakan bahwa permasalahan
perekonomian kawasan disini adalah perekonomian yang bersifat dualistis,
dimana kegiatan ekonomi utama yang berlangsung saat ini sangat bergantung
pada sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dan memberikan pengaruh
besar terhadap masalah-masalah lingkungan, seperti kegiatan pertambangan


84
batubara dan eksploitasi hutan (logging), serta tidak memberikan dampak pada
kegiatan ekonomi lokal.
Pemanfaatan sumberdaya dapat pulih, seperti kegiatan penangkapan dan
budidaya ikan, bila dilakukan sesuai dengan kapasitas daya dukungnya akan lebih
bersifat lestari dibanding pemanfaatan sumberdaya tidak pulih, seperti bahan-
bahan tambang yang pada suatu saat akan habis. Sumberdaya pulih dapat segera
diperbaharui bila rusak, namun biaya untuk perbaikan mungkin akan sangat besar
bila dibandingkan hilangnya keuntungan bila memanfaatkan sumberdaya tersebut
secara lestari sesuai daya dukungnya.
Sementara itu jasa-jasa lingkungan merupakan prioritas terakhir, karena
pada saat ini di pesisir Kabupaten Kutai Timur belum banyak kegiatan perikanan
yang memanfaatkan pesisir untuk jasa-jasa lingkungan. Pemanfaatan pesisir untuk
jasa lingkungan yang sudah ada saat ini adalah Tempat Pelelangan Ikan di Muara
Sungai Kenyamukan. Namun sampai saat ini belum dipakai untuk pelelangan.
Alternatif kegiatan budidaya yang diprioritaskan untuk pengembangan
wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur berdasarkan hasil analisis hierarki adalah
sebagai mana disajikan dalam Tabel 20.
Budidaya karamba merupakan kegiatan yang dianggap paling penting oleh
stakeholders untuk diprioritaskan, karena komoditas ikan kerapu sangat tinggi
nilainya di pasar eksport.
Tabel 20. Bobot dan Prioritas Kegiatan Budidaya untuk Pengembangan
Perikanan di Wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur
Alternatif Kegiatan Bobot Prioritas
Budidaya Tambak 0,122 P3
Budidaya Karamba 0,442 P1
Budidaya Rumput laut 0,436 P2
Sumber: Analisis Data Primer
Walaupun budidaya karamba mempunyai prioritas lebih penting daripada
budidaya rumput laut, namun nilai bobotnya tidak terlalu berbeda jauh, sehingga
dapat dikatakan tingkat kepentingan antara karamba dan rumput laut tidak
berbeda jauh.


85
Peta Komposit Kesesuaian Lahan
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur, untuk ketiga jenis kegiatan budidaya seperti diuraikan di bagian
sebelumnya, diperoleh adanya lokasi yang memiliki kesesuaian lahan untuk lebih
dari satu peruntukan. Dengan melakukan overlay terhadap peta-peta kesesuaian
tersebut dengan menggunakan bobot prioritas yang diperoleh dari hasil Analisis
Hierarki Proses (AHP), maka akan diperoleh hasil berupa peta komposit, yang
disajikan dalam Gambar 8.
Peta komposit menunjukkan bahwa terjadi perpotongan lokasi (lokasi
yang sama) antara budidaya karamba dengan budidaya rumput laut, dan tidak
terjadi perpotongan antara budidaya tambak dengan budidaya karamba maupun
rumput laut karena budidaya tambak menggunakan lahan di daratan. Namun
demikian kedepannya perlu dilakukan suatu pengelolaan agar tidak terjadi konflik
yang diakibatkan oleh pencemaran limbah tambak terhadap budidaya karamba
dan rumput laut.
Perpotongan lokasi antara kesesuaian lahan budidaya karamba dan
budidaya rumput laut terjadi di: Teluk Sangkulirang, perairan di sekitar P. Miang,
Teluk Lombok, dan Perairan Desa Sangkima. Namun dengan pembobotan
kembali menggunakan nilai dari hasil analisis hierarki, maka diperoleh kesesuaian
lahan sebagai berikut:
Sangat Sesuai Budidaya Karamba: terdapat di Teluk Golok (Kec. Kaliorang),
Perairan P. Miang, Perairan Desa Bual-bual, Perairan Desa Sempayau dan
Desa Benua Baru (Kec. Sangkulirang)
Sangat Sesuai Budidaya Rumput laut: terdapat di sepanjang pesisir
Kecamatan Kaliorang, Teluk Sangkulirang, Teluk Lombok dan Sangkima
(Kec. Sangatta), dan perairan Tanjung Pagar dan Teluk Nepa (Kec. Sandaran).


86




























Gambar 8. Peta Komposit Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak, Karamba, dan Rumput Laut di Wilayah Pesisir KabupatenKutai Timur


87
Luasan area untuk tiap peruntukan yang dihitung berdasarkan peta
komposit kesesuaian lahan adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Luas Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tambak, Karamba dan
Rumput Laut Berdasarkan Peta Komposit di Kabupaten Kutai Timur
No. Kegiatan Budidaya Luas (ha)
1 Sangat Sesuai Karamba 544,811
2 Sangat Sesuai Rumput Laut 3.197,335
3 Sangat Sesuai Tambak 2.572,220
4 Sesuai Karamba
659,959

5 Sesuai Rumput Laut
6.312,365

6 Sesuai Tambak 7.154,573
Sumber: hasil analisis data spasial
Berdasarkan luas kesesuaian lahan untuk budidaya tersebut dapat dilihat
bahwa pesisir Kabupaten Kutai Timur memiliki potensi yang paling besar untuk
pengembangan budidaya rumput laut, berikutnya adalah pengembangan budidaya
tambak dan karamba.
Kemungkinan pengembangan perikanan dari tiap-tiap kecamatan pantai
yang ada di Kabupaten Kutai Timur dapat dilihat berdasarkan pemusatan aktifitas
dan potensi luas kesesuaian lahan pada tiap-tiap kecamatan yang disajikan pada
Tabel 24.

Pengembangan Perikanan Budidaya di Wilayah Kecamatan
Pengembangan perikanan budidaya di wilayah kecamatan dilihat
berdasarkan pemusatan aktifitas dan potensi kesesuaian lahan untuk budidaya di
wilayah kecamatan tersebut. Pusat aktifitas wilayah dianalisa dengan
menggunakan analisis LQ (Location Quotient). Dengan menggunakan LQ dapat
dianalisa peranan suatu sektor pada wilayah, sehingga dapat diketahui potensi
ekonomi suatu wilayah berdasarkan aktifitas ekonomi wilayah tersebut. Analisis
LQ menggunakan indikator nilai produksi menurut jenis budidaya pada tahun
2005 di wilayah kecamatan pantai Kabupaten Kutai Timur (Lampiran 3). Nilai


88
LQ dari sektor-sektor budidaya di wilayah kecamatan pantai di pesisir Kabupaten
Kutai Timur dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Nilai LQ Kecamatan Pantai di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Sumber: Hasil Analisis Data Sekunder
Keterangan: LQ suatu sektor < 1, sektor tersebut merupakan sektor non-basis
LQ suatu sektor 1, maka sektor tersebut merupakan sektor basis (*)
Luas kesesuaian lahan budidaya diperoleh dari hasil analisis spasial
terhadap peta komposit. Namun karena belum ada pembagian wilayah
administratif di perairan, untuk menentukan garis batas wilayah perairan yang
membagi dua kecamatan dilakukan dengan cara menarik garis yang tegak lurus
dengan garis pantai. Cara ini seperti yang dilakukan untuk membagi wilayah
perairan antar provinsi (informasi dari Bp. Dr. Sapta Putra Ginting). Hasil
penghitungan luas kesesuaian lahan perikanan budidaya di pesisir tiap kecamatan
dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Luas Kesesuaian Lahan Perikanan budidaya di Pesisir Kecamatan
Pantai Kabupaten Kutai Timur (ha)
Sumber: Hasil Analisis Data Spasial

Kecamatan
Sektor
Perikanan
pesisir
Perikanan
Darat
Tambak Kolam Karamba
Kerapu
Rumput
Laut
Sangatta 0,47 1,67* 0,26 2,51* 2,50* 0,88
Sangkulirang 1,07* 2,90* 1,21* 0,00 0,00 2,65*
Kaliorang 1,66* 0,00 1,48* 0,00 0,00 1,07*
Bengalon 0,47 0,00 1,72* 0,00 0,00 0,00
Sandaran 50,26* 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Kesesuaian
Lahan
Kecamatan
Total
(Ha)
Sangatta Bengalon Kaliorang Sangkulirang Sandaran
Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %
S1
Karamba

- 0,00

- 0,00 38,610 7,09

506,201 92,91

- 0,00 544,811
S1 Rumput
Laut

265,698 8,31

56,660 1,77 524,648 16,41

1.766,032 55,23

584,297 18,27 3.197,335
S1 Tambak

828,317 32,20

386,226 15,02

72,731 2,83

1.142,400 44,41

142,546 5,54 2.572,220
S2
Karamba

6,616 1,00

8,920 1,35 22,497 3,41 177,607 26,91

444,319 67,33 659,959
S2 Rumput
Laut

1.626,786 25,77

888,485 14,08 1.204,185 19,08 764,047 12,10

1.828,862 28,97 6.312,365
S2 Tambak

1.709,640 23,90

763,777 10,68

823,446 11,51

2.277,259 31,83

1.580,451 22,09

7.154,573


89
Kecamatan Sangatta
Analisis nilai LQ menunjukkan bahwa di Kecamatan Sangatta, yang
merupakan ibukota kabupaten, sektor budidaya karamba (LQ = 2,50) merupakan
sektor basis di kecamatan ini. Sedangkan sektor budidaya tambak dan rumput laut
bukan sektor basis karena nilai LQ kurang dari 1. Budidaya karamba mungkin
dapat dikembangkan di Kecamatan Sangatta, karena telah menjadi sektor yang
diandalkan untuk saat ini, namun hasil analisis spasial menunjukkan bahwa
kesesuaian lahan untuk budidaya karamba tidak ada yang masuk pada kelas sangat
sesuai, sehingga mungkin keberlanjutan usaha budidaya akan terbatas karena
dipengaruhi oleh faktor-faktor pembatas budidaya, antara lain karena sifat fisik
hidro-oseanografi yang kurang mendukung.
Pada musim selatan tahun 2006 (sekitar bulan Agustus) ada beberapa unit
karamba tancap yang hancur diterjang ombak di pesisir Tanjung Bara. Oleh sebab
itu akan lebih baik bila yang dikembangkan di Kecamatan Sangatta adalah
budidaya rumput laut, karena budidaya rumput laut tidak memerlukan bangunan
kayu yang permanen dan mahal seperti karamba, sehingga bila tiba musim selatan
pembudidaya hanya cukup mengangkat tali biang/tali ris dan tidak menanam
rumput laut untuk menghindarkan kerugian. Sementara untuk budidaya karamba,
karamba yang telah ditancapkan tidak dapat dengan mudah dicabut dan diangkat
ke daratan.
Menurut hasil analisis spasial, perikanan budidaya yang mungkin
dikembangkan di pesisir Kecamatan Sangatta adalah budidaya tambak dan
budidaya rumput laut.

Kecamatan Bengalon
Kecamatan Bengalon, sektor yang menjadi sektor basis hanya budidaya
tambak. Saat ini perairan pesisir di Kecamatan Bengalon belum dimanfaatkan
sama sekali untuk perikanan budidaya pesisir, sehingga nilai LQ sektor lain masih
nol. Namun sektor budidaya tambak merupakan andalan, bahkan di tingkat
kabupaten nilai basisnya paling besar, sehingga ke depannya Kecamatan
Bengalon dapat dijadikan sentra budidaya tambak di Kabupaten Kutai Timur. Hal
ini didukung dengan luas potensial kesesuaian lahan untuk budidaya tambak yang


90
cukup luas. Luas potensial kesesuaian lahan untuk tiap-tiap sektor budidaya di
tiap kecamatan disajikan pada Tabel 23.
Lahan yang sangat sesuai untuk budidaya rumput laut juga ada di
Kecamatan Bengalon, namun potensinya kecil sehingga untuk pengembangannya
kurang menguntungkan, karena tidak sesuai antara biaya untuk pembangunan
sarana dan infrastruktur dibandingkan perolehan keuntungan dari budidaya. Selain
itu, bila Bengalon dijadikan sebagai sentra budidaya tambak, maka kualitas
perairan di pesisir akan cenderung menurun karena limbah dari tambak dan
mungkin menjadi tidak sesuai lagi untuk budidaya rumput laut dan karamba.

Kecamatan Sangkulirang
Kecamatan Sangkulirang mempunyai sektor basis pada budidaya tambak
(LQ=1,21) dan rumput laut (LQ=2,65). Budidaya rumput laut mempunyai nilai
basis yang paling besar di tingkat kabupaten, sehingga Kecamatan Sangkulirang
dapat dijadikan sebagai sentra produksi rumput laut, karena berdasarkan hasil
analisis spasial, kesesuaian lahan potensial untuk budidaya rumput laut di Teluk
Sangkulirang cukup luas.
Selain budidaya rumput laut Kecamatan Sangkulirang juga potensial untuk
budidaya karamba, karena mempunyai perairan yang sangat sesuai untuk
pengembangan budidaya karamba cukup luas. Secara umum Kecamatan
Sangkulirang merupakan kecamatan di Kabupaten Kutai Timur yang memiliki
kesesuaian lahan potensial yang paling luas untuk semua jenis peruntukan
budidaya, baik budidaya tambak, karamba, maupun rumput laut (Tabel 23).
Sehingga Kecamatan Sangkulirang dapat dijadikan wilayah pusat (nodal) dalam
pengembangan perikanan budidaya pesisir di Kabupaten Kutai Timur. Hal ini
didukung dengan adanya Desa Maloy yang dijadikan sebagai pusat Kawasan
Agropolitan. Selain itu di kawasan Maloy juga direncanakan akan dibangun
pelabuhan umum.
Adanya pusat kawasan Agropolitan ini karena Pemerintah daerah
Kabupaten Kutai Timur menyandarkan bidang ekonomi dengan sektor pertanian
sebagai tumpuan di masa depan, dengan melakukan program yang disebut
GERDABANGAGRI (Gerakan Daerah Pembangunan Agribisnis). Tujuan dari


91
program ini adalah mendorong strategi pembangunan wilayah dengan
menciptakan titik-titik pertumbuhan (Growth Point) dalam rangka menyebarkan
efek Pemerataan Pembangunan (Equity Development) (Bappeda Kutai Timur,
2004).

Kecamatan Kaliorang
Kecamatan Kaliorang mempunyai sektor basis pada budidaya tambak
(LQ=1,48) dan rumput laut (LQ=1,07). Namun bila didasarkan pada hasil analisis
spasial, Kecamatan Kaliorang mempunyai potensi untuk pengembangan budidaya
karamba, karena di perairan Teluk Golok terdapat lokasi yang sangat sesuai untuk
budidaya karamba.
Dalam RTRW Kabupaten Kutai Timur Tahun 2004, Kecamatan Kaliorang
termasuk dalam Kawasan II sebagai sentra produksi dalam pengembangan
kawasan pedesaan, bersama-sama dengan Kecamatan Sangkulirang, Bengalon dan
Sandaran. Orientasi aliran produksi dari kawasan ini adalah keluar dari Kabupaten
Kutai Timur melalui pelabuhan Maloy yang terdapat di Kecamatan Sangkulirang.

Kecamatan Sandaran
Bila dilihat dari nilai LQ, Kecamatan Sandaran tidak memiliki sektor yang
menjadi basis pengembangan perikanan budidaya. Saat ini yang menjadi sektor
basis di Kecamatan Sandaran hanyalah sektor perikanan pesisir tangkap
(LQ=50,26). Hal ini terjadi karena saat ini akses jalan ke Kecamatan Sandaran
belum terbuka, sarana transportasi dari kota kabupaten hanya melalui laut,
sehingga perkembangan wilayah juga masih sangat terbatas. Namun demikian bila
dilihat dari hasil analisis kesesuaian lahan Kecamatan Sandaran mempunyai
potensi sangat sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut, dan sangat
sesuai untuk budidaya tambak.
Pengembangan budidaya rumput laut mempunyai potensi yang sangat
besar di Kecamatan Sandaran, karena potensinya sangat luas. Selain itu hasil
pascapanen berupa produk rumput laut kering masih memungkinkan disimpan
selama beberapa saat sebelum dijual. Hal ini mengingat kondisi transportasi ke
kecamatan Sandaran masih sangat terbatas, sehingga pemasaran rumput laut tidak


92
dapat dilakukan setiap saat.
Sedangkan pengembangan budidaya tambak masih agak sulit dilakukan,
sebelum akses jalan ke kecamatan ini dibuka. Produk tambak menghendaki dijual
dalam keadaan segar/beku. Kondisi transportasi yang terbatas akan menghambat
suplai sarana produksi dan proses pemasaran produk di kecamatan Sandaran.
Matriks arahan pengembangan perikanan budidaya pesisir di tiap
kecamatan berdasarkan nilai LQ budidaya dan potensi luas kesesuaian lahannya
dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Matrik Arahan Pengembangan Perikanan budidaya Pesisir di
Kecamatan Pantai Kabupaten Kutai Timur
Kecamatan
Pantai
LQ Budidaya/
Sektor Basis
Potensi
Kesesuaian Lahan
Arahan
Pengembangan
Kawasan Budidaya
Sangatta Karamba
Kerapu
(LQ= 2,50)
S1 Tambak (828,317 ha)
S1 Rumput Laut (265,698 ha)
Budidaya Tambak
Budidaya Rumput Laut
Sangkulirang Tambak
(LQ=1,21)
Rumput Laut
(LQ=2,65)
S1 Tambak (1.142,400 ha)
S1 Rumput Laut (1.766,032 ha)
S1 Karamba (506,201 ha)
Budidaya Tambak
Budidaya Rumput Laut
Budidaya Karamba
Kaliorang Tambak
(LQ=1,48)
Rumput laut
(LQ=1,07)
S1 Tambak (72,731 ha)
S1 Rumput Laut (524,648 ha)
S1 Karamba (38,610 ha)
Budidaya Tambak
Budidaya Rumput Laut
Budidaya Karamba
Bengalon Tambak
(LQ=1,72)
S1 Tambak (386,226 ha)
S1 Rumput Laut (56,660 ha)
Budidaya Tambak

Sandaran Tidak ada
sektor Basis
S1 Rumput Laut (584,297 ha)
S1 Tambak (142,546 ha)
Budidaya Rumput Laut


Luas Efektif Lahan untuk Perikanan Budidaya
Luas efektif lahan diartikan sebagai luasan lahan perairan dan daratan
pesisir yang dapat dimanfaatkan untuk suatu kegiatan budidaya yang secara sosial
tidak menimbulkan konflik, secara ekologi tidak mengganggu ekosistem pesisir,
sehingga secara ekonomi dapat menguntungkan dan berkelanjutan.
Luas efektif lahan untuk budidaya ini ditentukan berdasarkan beberapa
pertimbangan, yaitu:
- Wilayah pantai (daratan pesisir) di Kabupaten Kutai Timur merupakan
wilayah yang multiguna untuk berbagai pemanfataan, seperti pemukiman;


93
industri pertambangan; hutan lindung Taman Nasional Kutai (TNK); Pusat
Pendaratan Ikan (PPI); pelabuhan; kawasan wisata; hutan tanaman industri
dan perkebunan rakyat; dan lain-lain
- Perairan dangkal di Kabupaten Kutai Timur merupakan lokasi yang dekat
dengan garis pantai (dekat dengan tempat kehidupan masyarakat), sehingga
merupakan kawasan yang multiguna untuk berbagai pemanfaatan oleh
masyarakat disekitarnya, misalnya untuk alur pelayaran transportasi, baik
transport penumpang maupun barang (produksi tambang, hutan, perkebunan);
penangkapan ikan tradisional; bagan ikan; kawasan pelabuhan; wisata bahari
dan wisata pantai; kebutuhan ruang bagi operasional budidaya; dan lain-lain
- Perairan dangkal terdiri dari berbagai ekosistem yang memiliki beragam
komunitas biota, seperti estuaria, lamun, dan terumbu karang, sehingga secara
ekologis penting dipertahankan untuk kawasan konservasi, dan kawasan
penyangga (buffer zone).
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, dapat dilakukan analisis
kebutuhan lahan untuk seluruh aktivitas pemanfaatan yang ada. Analisis
kebutuhan lahan ini akan lebih baik hasilnya bila untuk setiap pemanfaatan
tersebut, dilakukan analisis kesesuaian lahan sesuai dengan kriteria biofisiknya.
Namun karena pada penelitian ini tidak dilakukan analisis kesesuaian lahan untuk
pemanfataan selain budidaya, maka kebutuhan lahan untuk pemanfaatan selain
budidaya dilakukan dengan menggunakan rencana pola pemanfataan ruang yang
ada dalam RTRW KabupatenKutai Timur dan asumsi-asumsi berdasarkan
kebutuhan penduduk di wilayah tersebut. Analisis kebutuhan lahan berdasarkan
asumsi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 12.
Dari hasil analisis tersebut dapat ditentukan luas efektif lahan perairan
untuk budidaya yaitu:
Budidaya tambak = 3.913,47 ha
Budidaya karamba jaring tancap = 411,13 ha
Budidaya rumput laut long line = 3.246,62 ha
Luas efektif lahan untuk perikanan budidaya dan perkiraan jumlah unit
budidaya yang boleh dibangun dapat dilihat pada Tabel 25 berikut.


94
Tabel 25. Luas Efektif Lahan Perikanan Budidaya dan Jumlah Unit Budidaya
yang Dapat Dilakukan di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur

NO

Budidaya
Luas Potensial
Lahan (ha)
Luas Efektif
Lahan (ha)
Jumlah Unit
Budidaya (unit)
1.
Tambak
(unit 1 ha)
9.726,79 3.913,34 3.913
2.
Karamba
(unit 144 m
2
)
1.204,77 411,13 28.550
3.
Rumput Laut
(unit 2400 m
2
)
9.509,71 3.246,62 13.528
Sumber: hasil analisis data primer
Berdasarkan hasil perhitungan luas efektif lahan perikanan budidaya dan
arahan pengembangan budidaya di setiap kecamatan pantai, maka dapat
digambarkan peta zonasi pengembangan perikanan budidaya di wilayah pesisir
Kabupaten Kutai Timur. Zonasi perikanan budidaya ini diharapkan dapat
memberikan arah bagi pengembangan budidaya yang berkelanjutan secara sosial
ekonomi dan secara ekologis aman bagi lingkungan, karena telah
mempertimbangkan kawasan-kawasan yang merupakan daerah konservasi, baik
kawasan mangrove maupun terumbu karang, maupun pemanfataan oleh sektor
lainnya. Peta zonasi pengembangan perikanan budidaya di wilayah pesisir
Kabupaten Kutai Timur dapat dilihat pada Gambar 9.

Kelayakan Usaha Pengembangan Perikanan budidaya
Kelayakan usaha merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan
dalam pengembangan kawasan untuk usaha perikanan budidaya, agar usaha
budidaya tersebut dapat berkelanjutan.
Untuk mengetahui kelayakan usaha perikanan budidaya pesisir dihitung
dari besarnya nilai investasi, biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan,
pendapatan yang diperoleh dari nilai jual hasil panen, dan kewajiban membayar
pinjaman bank dengan bunga 24% per tahun selama 3 tahun.
Kelayakan usaha tersebut digambarkan berdasarkan kriteria nilai Revenue
Cost Ratio (R/C) dan keuntungan () untuk mengetahui kelayakan pada saat ini
tanpa memasukkan fakor nilai uang di masa mendatang (undiscounted criteria).


95



















Gambar 9. Peta Zonasi Pengembangan Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur


Sedangkan untuk mengetahui kelayakan usaha dimasa mendatang dengan
memasukkan faktor nilai uang (discounted criteria) digunakan kriteria Net Present
Value (NPV), dan Net Benefit Cost (Net B/C). Tingkat discount rate diasumsikan
sebesar 12 % (mengacu pada kisaran suku bunga kredit pada saat ini), perhitungan
rentang usaha selama 5 tahun, umur ekonomis peralatan 3 tahun, dan usaha
budidaya dioperasikan mulai tahun pertama.
Usaha budidaya yang dianalisis kelayakan usahanya adalah budidaya
tambak udang tradisional, budidaya kerapu pada karamba jaring tancap, dan
budidaya rumput laut long line.
Rincian biaya dan manfaat pada analisis kelayakan usaha dapat dilihat
pada lampiran 6-11, dan hasil perhitungan nilai , R/C, NPV, dan Net B/C dapat
dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Analisis Kelayakan Usaha Perikanan Budidaya di Pesisir Kutai Timur
No. KRITERIA
TAMBAK UDANG
TRADISIONAL
(Rp/ha/th)
RUMPUT LAUT
LONG LINE
(Rp/unit/th)
KARAMBA
TANCAP KERAPU
(Rp/unit/th)
1.
Keuntungan ()
(tahun ke-1) (Rp)
12.087.500 10.661.667 31.971.500
2. R/C (tahun ke-1) 1,37 1,39 1,71
3. NPV (Rp) 21.968.175,82 28.307.279 61.057.824,20
4. Net B/C 1,64 2,92 2,20
5. PbP (tahun) 3,94 3,78 3,65
Sumber: Hasil Analisis Data Primer
Tambak Udang Tradisional
Budidaya tambak udang yang dianalisis adalah tambak udang tradisional,
karena menurut Garcia & Garcia (l985) yang diacu oleh Widigdo (2002), di
Philipina produksi tambak tradisional plus sebesar 600-750 kg/ha/musim tanam
akan lebih lestari bila dibandingkan dengan tambak intensif. Sedangkan menurut
Poernomo (1992), di Indonesia tambak yang dikelola dengan sistem ekstensif
(tradisional) dengan produksi secara alami antara 500-750 kg/ha/musim tanam
akan memberikan kelangsungan produksi yang lebih lestari dibanding sistem semi
intensif.
Asumsi usaha pada budidaya tambak tradisional plus adalah: padat
penebaran 2-5 ekor/m
2
, pakan campuran antara pelet dan ikan rucah, ukuran
tambak 1 ha, dengan teknologi (pompa air dan pemupukan), masa pemeliharaan 6


97
97
bulan (2 musim per tahun), ukuran udang dipanen 20-30 gr dengan rata-rata
produksi 500 kg/ha.
Dari hasil analisis (Tabel 25), diperoleh nilai rasio penerimaan dengan
biaya (R/C) pada tambak udang tradisional seluas 1 ha per tahun sebesar 1,37.
Nilai R/C 1,37 bermakna bahwa setiap Rp 1.000.000,- uang yang dipakai untuk
pembiayaan tambak akan memperoleh manfaat sebesar Rp. 1.370.000,-. Waktu
pengembalian investasi (payback periode) selama 3 tahun 9 bulan. Nilai NPV
sebesar Rp 21.968.175,82,- menunjukkan keuntungan bersih yang akan diperoleh
selama 10 tahun yang dihitung berdasarkan nilai uang saat ini. Nilai Net B/C yang
diperoleh sebesar 1,64 (Net B/C > 1) bermakna bahwa manfaat yang diperoleh
adalah sebesar 1,64 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sehingga
berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa usaha
budidaya tambak udang dengan teknologi tradisional plus layak
direkomendasikan untuk dikembangkan di pesisir Kabupaten Kutai Timur.
Budidaya Rumput Laut Long Line
Budidaya rumput laut yang dianalisis adalah budidaya rumput laut
Eucheuma cottonii sistem long line, dengan asumsi usaha menurut Anggadireja
(2006) sebagai berikut: berat benih 100 gr per simpul, jarak simpul 25x100 cm,
ukuran tiap unit long line 2.400 m, masa pemeliharaan 3 bulan (4 musim tiap
tahun), dan produksi rata-rata 2.375 kg rumput laut kering/unit.
Dari hasil analisis (Tabel 25), diperoleh nilai rasio penerimaan dengan
biaya (R/C) pada budidaya rumput laut long line seluas 2.400 m per tahun
sebesar 1,39. Nilai R/C 1,39 bermakna bahwa setiap Rp 1.000.000,- uang yang
dipakai untuk pembiayaan rumput laut akan memperoleh manfaat sebesar Rp.
1.390.000,-. Waktu pengembalian investasi (payback periode) selama 3 tahun 7
bulan. Nilai NPV sebesar Rp 28.307.279,- menunjukkan keuntungan bersih yang
akan diperoleh selama 10 tahun yang dihitung berdasarkan nilai uang saat ini.
Nilai Net B/C yang diperoleh sebesar 2,92 (Net B/C > 1) bermakna bahwa
manfaat yang diperoleh adalah sebesar 2,92 kali lebih besar dari biaya yang
dikeluarkan. Sehingga berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan
bahwa usaha budidaya rumput laut long line layak direkomendasikan untuk
dikembangkan di pesisir Kabupaten Kutai Timur.


98
98
Karamba Tancap untuk Budidaya Kerapu Tikus
Karamba tancap yang dianalisis adalah karamba untuk budidaya kerapu
tikus. Asumsi usaha diambil sesuai dengan analisis Subandar (2005) untuk
budidaya kerapu dalam karamba jaring apung, yaitu: padat penebaran 300
ekor/lubang, survival rate 30 %, pakan ikan rucah rata-rata sebanyak 20 kg per
hari, ukuran tiap unit long line 144 m yang terdiri dari 4 lubang (6x6x3
m
3
/lubang), masa pemeliharaan 15 bulan (0,8 musim tiap tahun), ukuran panen
0,5 kg/ekor, dan produksi rata-rata 105 kg/lubang (420 kg/unit).
Dari hasil analisis (Tabel 25), diperoleh nilai rasio penerimaan dengan
biaya (R/C) pada budidaya kerapu dalam karamba tancap seluas 144 m per tahun
sebesar 1,71. Nilai ini bermakna bahwa setiap Rp 1.000.000,- uang yang dipakai
untuk pembiayaan karamba akan memperoleh manfaat sebesar Rp. 1.710.000,-.
Waktu pengembalian investasi (payback periode) selama 3 tahun 6 bulan. Nilai
NPV sebesar Rp 61.057.824,20,- menunjukkan keuntungan bersih yang akan
diperoleh selama 10 tahun yang dihitung berdasarkan nilai uang saat ini. Nilai Net
B/C yang diperoleh sebesar 2,20 (Net B/C > 1) bermakna bahwa manfaat yang
diperoleh adalah sebesar 2,20 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
Sehingga berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa
usaha budidaya kerapu tikus dalam karamba tancap layak direkomendasikan
untuk dikembangkan di pesisir Kabupaten Kutai Timur.

Proyeksi Peningkatan Pendapatan
1. Budidaya Tambak
Jumlah unit tambak yang dapat diusahakan berdasarkan kapasitas lahan adalah
3.913 unit. Berdasarkan asumsi keuntungan pada Tabel 26 di atas, yaitu
sebesar Rp 12.087.500,- maka diperkirakan akan diperoleh pendapatan
sebesar Rp 47.298.387.500,- per tahun dari usaha budidaya tambak.
2. Budidaya karamba jaring tancap
Jumlah unit yang dapat dibangun untuk karamba jaring tancap adalah 28.550
unit usaha karamba. Berdasarkan asumsi keuntungan pada Tabel 26 sebesar
Rp 31.971.500,- maka diperkirakan akan diperoleh pendapatan sebesar
Rp 912.786.325.000,- per tahun dari usaha budidaya karamba.


99
99
3. Budidaya rumput laut long line
Jumlah unit yang dapat dibangun untuk budidaya rumput laut long line sekitar
13.528 unit usaha. Berdasarkan asumsi keuntungan pada Tabel 26, yaitu
sebesar Rp 10.661.667,- maka diperkirakan akan diperoleh pendapatan sekitar
Rp 144.231.031.176,- per tahun dari usaha budidaya rumput laut.

Unsur-unsur Strategis SWOT

1) Kekuatan:
S1: Ketersediaan Lahan Masih Luas
Hasil analisis spasial terhadap peta kesesuaian lahan menunjukkan bahwa
luas efektif pesisir Kabupaten Kutai Timur yang dapat dimanfaatkan untuk
budidaya tambak seluas 3.913,34 ha, untuk budidaya karamba jaring tancap
seluas 411,13 ha dan untuk budidaya rumput laut long line seluas 3.246,62 ha.

S2: Adanya Investasi dari Masyarakat
Selain adanya investasi dari luar, pengembangan perikanan budidaya
pesisir mempunyai faktor kekuatan yang cukup besar, yaitu adanya minat
masyarakat dalam menginvestasikan modalnya dalam usaha perikanan budidaya
pesisir. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa sebagian besar
modal untuk kegiatan budidaya, baik di tambak, karamba, maupun rumput laut
berasal dari modal pribadi pembudidaya.

S3: Kelayakan Usaha Perikanan Budidaya di Pesisir
Berdasarkan kelayakan ekonomi, pengembangan budidaya tambak
diproyeksikan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar
Rp 47.298.387.500,- per tahun, pengembangan budidaya karamba diproyeksikan
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar Rp 912.786.325.000,- per
tahun, dan pengembangan budidaya rumput laut diproyeksikan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar Rp 144.231.031.176,- per tahun.





100
100
S4: Tersedia Tenaga Kerja Lokal
Data dari BPS Kabupaten Kutai Timur menunjukkan jumlah angkatan
kerja pada tahun 2004 di Kabupaten Kutai Timur adalah 111.286 orang. Dari
jumlah angkatan kerja tersebut yang masih mencari pekerjaan sebanyak 3.733
orang (3,35%), sedangkan yang lainnya masih bersekolah (5,86%), tidak bekerja
karena mengurus rumah tangga (26,22%), sudah bekerja (60,21%), dan lain-lain
(4,35%). Jumlah angkatan kerja yang masih mencari pekerjaan ini merupakan
tenaga kerja yang perlu diberi kesempatan kerja dengan pengembangan perikanan
budidaya.

S5: Etos Kerja Budidaya
Masyarakat di pesisir Kabupaten Kutai Timur sebagian besar (lebih dari
60%) adalah pendatang dari P. Sulawesi. Jiwa bahari dari para pendatang ini
merupakan modal yang besar dalam pengembangan perikanan budidaya di pesisir,
karena masyarakat sudah terbiasa dengan kehidupan di laut. Dari hasil
wawancara, masyarakat di pesisir Kabupaten Kutai Timur menunjukkan minat
yang cukup tinggi untuk melakukan usaha perikanan budidaya sebagai pekerjaan
sampingan dari pekerjaan utama mereka sebagai nelayan. Saat ini di Kecamatan
Sangatta sudah cukup banyak nelayan yang beralih profesi menjadi pembudidaya
karamba tancap dan rumput laut.

S6: Tersedia Sarana Kelembagaan Budidaya
Sebagai bentuk dukungan terhadap pengembangan perikanan budidaya
Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur membentuk Unit Pelayanan
Pengembangan (UPP) Perikanan budidaya, yang dibentuk dengan Surat
Keputusan Bupati Kutai Timur. Salah satu fungsi UPP perikanan budidaya ini
adalah memberi rekomendasi pada Kelompok Pengelola Budidaya yang terdapat
di kecamatan-kecamatan untuk memperoleh pinjaman Dana Penguatan Modal
dari Bank BRI.
Selain lembaga UPP ini, di Kabupaten Kutai Timur ini terdapat dua
koperasi perikanan, yaitu: Koperasi Perikanan Bukit Pelangi dan Koperasi
Perikanan Wana Mina. Namun koperasi ini belum mampu membantu para
pembudidaya dalam mengatasi permasalahan pemasaran hasil budidaya.


101
101

2) Kelemahan:
W1: Terbatas Sarana Produksi/Infrastuktur Penunjang
Sarana produksi dan infrastruktur penunjang perikanan budidaya pesisir
bisa dikatakan belum tersedia sama sekali di Kabupaten Kutai Timur, baik dari
sarana pembenihan, penyediaan sarana produksi seperti pakan, obat-obatan, dan
peralatan budidaya, maupun sarana pengolahan pascapanen. Untuk memenuhi
semua kebutuhan sarana produksi tersebut, pembudidaya harus mencarinya ke
luar daerah seperti Bontang, Samarinda, dan Balikpapan.

W2: Kurangnya Sarana Informasi Pasar
Pembudidaya rumput laut dan kerapu di Kabupaten Kutai Timur belum
mepunyai informasi pasar nasional dan internasional yang cukup memadai untuk
memasarkan hasil panennya. Selama ini pembudidaya hanya menjual hasil
panennya ke tengkulak dengan harga sesuai yang ditawarkan tengkulak, sehingga
harga yang diperoleh relatif rendah.

W3: Kurang Pengetahuan Teknologi Budidaya
Berdasarkan hasil pengamatan pada saat survei, beberapa unit karamba
kerapu yang diamati dalam keadaan kosong. Tersendatnya usaha budidaya
karamba kerapu ini terjadi karena pembudidaya tidak menguasai faktor teknologi
dan manajamen budidaya dengan baik, terutama faktor benih yang bermutu,
pengendalian hama dan penyakit, pakan ikan, serta pemilihan lokasi yang benar.
Demikian juga dengan budidaya rumput laut, unit yang kosong terjadi karena
pembudidaya kesulitan memperoleh benih rumput laut yang unggul, serta kondisi
oseanografi yang ekstrim pada musim angin selatan dan pancaroba.
Pada usaha budidaya tambak, kolam-kolam yang kosong terjadi karena
pembudidaya kesulitan memperoleh benih udang dan ikan bandeng yang bermutu.
Sedangkan benih alam yang ditangkap dari perairan disekitarnya dijual dengan
harga yang lebih mahal dibanding harga benih dari hatchery. Sebagai contohnya
adalah benur alam ukuran fingerling dibeli dengan harga Rp. 100,00/ekor
sementara bila dibeli dari hatchery harganya Rp. 40,00/ekor. Namun yang menjadi
masalah adalah di Kabupaten Kutai Timur tidak ada hatchery, hatchery yang


102
102
terdekat berada di Kota Balikpapan yang jaraknya sekitar 250 km atau sekitar 6
jam bila ditempuh melalui jalan darat.

W4: Kurang Pengetahuan Teknologi Pasca Panen
Teknologi pascapanen juga belum dikuasai dengan baik oleh
pembudidaya. Hasil panen dari budidaya tambak umumnya dijual dalam keadaan
segar, namun karena belum ada coldstorage pendinginan hanya dilakukan dengan
menggunakan es batu. Sedangkan pabrik es batu belum tersedia, sehingga es batu
dibuat dengan menggunakan refrigerator (lemari es), akibatnya harga es menjadi
mahal, dan menambah tinggi biaya produksi. Pabrik es batu yang pernah
dibangun dengan dana dari proyek PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir) pada tahun 2003 di Dusun Kenyamukan, Kecamatan Sangatta sudah tidak
dapat berproduksi 2 bulan setelah pabrik tersebut dibangun. Masalahnya karena
tidak cukup suplai air tawar untuk pembuatan es dan tidak ada teknisi yang dapat
melakukan perawatan mesin terhadap pabrik es tersebut.
Perlakuan pascapanen terhadap rumput laut adalah dengan pengeringan.
Belum ada usaha pengolahan terhadap rumput laut menjadi produk jadi seperti
manisan, dodol, atau serbuk agar-agar. Sementara itu sebagai pembanding, para
pembudidaya rumput laut di Kota Bontang telah mampu mengolah rumput laut
menjadi manisan dan dodol, dan dijual sebagai oleh-oleh khas daerah tersebut.

W5: Kualitas SDM Rendah
Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Kutai Timur masih
rendah, terutama masyarakat di desa pantai, karena umumnya desa-desa pantai di
Kabupaten Kutai Timur masih terisolir dan kurang fasilitas pendidikan.
Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Kutai Timur tahun 2005, tingkat
pendidikan tertinggi yang dicapai oleh penduduk usia 10 tahun ke atas adalah:
tidak sekolah sebanyak 31.673 orang (25,60%), tamat Sekolah Dasar sebanyak
41.397 orang (33,46%), dan tamat Sekolah Lanjutan Pertama sebanyak 25.479
orang (20,59%), atau sekitar 79,65% penduduk Kabupaten Kutai Timur hanya
berpendidikan di bawah Sekolah Lanjutan Pertama. Rendahnya tingkat
pendidikan ini menyebabkan informasi teknologi budidaya lambat diserap oleh
masyarakat. Selain itu masyarakat juga kurang memahami pentingnya menjaga


103
103
kelestarian sumberdaya alam untuk mendukung keberlanjutan usaha perikanan
budidaya.

3) Peluang:
O1: Permintaan Pasar Tinggi
Peluang terbesar yang mendukung pengembangan perikanan budidaya
pesisir adalah permintaan terhadap produk perikanan yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Sebagian besar spesies budididaya laut seperti ikan napoleon,
ikan kerapu, udang lobster, teripang, abalone, kerang mutiara merupakan
komoditas ekspor yang sangat diminati oleh pasar internasional sehingga
memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tidak hanya pasar internasional, di dalam
negeripun pemintaan produk budidaya laut untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
(seafood) masyarakat terus meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan
masyarakat dan perubahan pola hidup masyarakat dari agraris menjadi industri
(Soebagio, 2004).
Hasil penelitian FAO (1993) yang diacu oleh Soebagio (2004),
mendapatkan adanya kecenderungan perubahan pola makan masyarakat agraris
yang sedang berubah menjadi masyarakat industri. Salah satu perubahan pola
makan tersebut adalah adanya kecenderungan peningkatan jumlah manusia yang
makan di luar rumah, seperti di kantin kantor, katering, restoran. Perubahan pola
makan tersebut menuntut adanya makanan dan bahan makanan yang gampang dan
cepat disajikan dan dimakan (ready to eat) atau dimasak (ready to cooked),
seseuai dengan pola hidup masyarakat industri yang serba cepat. Hasil penelitian
tersebut juga memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan konsumsi
makanan dari laut (seafood).
Kebutuhan kerapu untuk pasar dunia total diperkirakan sebesar 24.200 ton
per tahun atau sebesar US$ 290 juta untuk harga rata-rata US$ 12 per kilogram
(BPPT, 2002). Sedangkan untuk pasar rumput laut jenis Euchema cottoni, pada
tahun 2006 kebutuhan dunia diperkirakan sebesar 202.300 ton kering dan sampai
tahun 2010 diperkirakan sekitar 274.100 ton kering (Anggadireja et al, 2006).
Harga ikan kerapu tikus dalam keadaan hidup ditingkat nelayan dapat
mencapai US$ 20 (Rp 200.000,-) untuk setiap kilogramnya. Ikan tersebut


104
104
diekspor terutama ke Hongkong dengan harga jual yang berlipat kali. Harga
rumput laut kering juga meningkat cukup tajam yaitu Rp. 2.450/kg pada tahun
2004 menjadi Rp. 4000/kg pada tahun 2006.

O2: Dukungan Permodalan dari Pemda dan Perusahaan Mitra
Peluang lain dalam pengembangan perikanan budidaya adalah adanya
dukungan modal dari pemerintah dan perusahaan mitra. Pada tahun 2006, Dirjen
budidaya DKP Pusat memberi batuan untuk pengembangan rumput laut dengan
penyaluran melalui Dana Penguatan Modal (DPM) bank BRI sebesar 140 juta.
Bunga Angsuran yang harus dibayar petani sebesar 6% dengan jangka waktu
pembayaran per 3 bulan. Sedangkan untuk karamba kerapu, Dirjen budidaya DKP
Pusat memberi bantuan sebesar 285 juta untuk 10 unit karamba. Bunga Angsuran
yang harus dibayar petani sebesar 6% dengan jangka waktu pembayaran per tahun
untuk budidaya karamba kerapu. Untuk memperoleh pinjaman ini Kelompok
Pengelola Budidaya yang terdapat di kecamatan-kecamatan harus mengajukan
permohonan pinjaman Dana Penguatan Modal ke Bank BRI berdasarkan
rekomendasi dari UPP Perikanan budidaya.
Selain investasi yang berasal dari Dirjen Budidaya DKP Pusat, Dinas
Kelautan Perikanan Kabupaten Kutai Timur juga memberikan bantuan berupa
proyek demplot untuk budidaya rumput laut sebesar Rp. 275 juta pada tahun
2006.

O3: Adanya Lembaga Pendidikan yang Mendukung Perikanan Budidaya
Lembaga pendidikan yang mendukung pengembangan perikanan budidaya
di Kabupaten Kutai Timur adalah Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur
(STIPER Kutai Timur) dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Kelautan
Sangatta (SMKN Kelautan Sangatta).
Salah satu Program Studi di STIPER Kutai Timur adalah Program Studi
Ilmu Kelautan. Program Studi ini mempunyai konsentrasi pada pengembangan
potensi pesisir dan laut di Kabupaten Kutai Timur. Out put dari program studi ini
adalah sarjana perikanan dengan kompetensi 40 % teori dan 60 % praktek.
Sedangkan SMKN Kelautan Sangatta menghasilkan lulusan dengan kompetensi


105
105
sebagai teknisi budidaya. Para lulusan ini merupakan SDM yang dapat
diberdayakan untuk pengembangan perikanan budidaya.

4) Ancaman:
T1: Tengkulak yang Mendominasi Pasar
Belum tersedianya lembaga pemasaran semacam koperasi yang mampu
menampung dan memasarkan hasil budidaya menyebabkan masyarakat terpaksa
menjual hasil panennya pada penampung/tengkulak, yang akan membawa hasil
panen tersebut ke eksportir di Balikpapan.
Belum berfungsinya lembaga pemasaran ini berimbas pada harga produk
yang fluktuatif di tingkat pembudidaya. Harga kerapu tikus yang diperoleh
pembudidaya dari tengkulak/penampung adalah sekitar Rp. 230.000,00 per
kilogram dalam keadaan hidup. Sedangkan bila dijual langsung ke eksportir di
Balikpapan harga yang diperoleh adalah Rp. 300.000,00. Selain kurang
berfungsinya lembaga pemasaran, terjadinya fluktuasi harga adalah karena
pembudidaya tidak mengetahui informasi pasar yang terkini, baik mengenai
harga, permintaan pasar, maupun siapa konsumen yang memerlukan produk
perikanan.

T2: Persaingan dengan Produk dari Luar Daerah
Ancaman lain dalam pemasaran hasil budidaya adalah adanya produk dari
daerah lain, misalnya Kota Bontang. Perikanan budidaya pesisir di Kota Bontang
lebih maju dibanding budidaya di Kabupaten Kutai Timur, karena sarana dan
prasarana serta akses ke Bontang sudah tersedia, sehingga pemasarannya lebih
luas. Produksi tambak seperti bandeng dan udang windu dari Bontang banyak
masuk ke pasar di Sangatta, ibukota Kabupaten Kutai Timur.

T3: Pencemaran Industri pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ancaman dari lingkungan terhadap pengembangan budidaya di
KabupatenKutai Timur adalah tingginya sedimentasi dan polutan yang terbawa
melalui sungai. Pemukiman di Pulau Kalimantan umumnya berada di sepanjang
sungai, karena dahulunya sungai merupakan sarana transportasi yang vital
sebelum dibangun jalan darat. Selain pemukiman, banyak kegiatan seperti


106
106
transportasi sungai, pasar, dan industri yang membuang limbah ke sungai. Dari
hasil pengamatan pada sungai-sungai yang berada di tengah kota seperti S.
Sangatta, polutan yang sering ditemukan adalah minyak dan sampah. Sementara
sungai yang jauh dari kota umumnya masih bersih dari sampah.

T4: Konflik Pemanfaatan Lahan
Ancaman dari aspek sosial adalah adanya konflik pemanfaatan lahan antar
stakeholders di pesisir Kabupaten Kutai Timur. Konflik yang pernah terjadi
adalah antara perusahaan pertambangan PT Kaltim Prima Coal dengan
pembudidaya karamba pada Januari 2005.

T5: Kondisi Oseanografi yang Ekstrim pada Musim Tertentu
Kualitas perairan di pesisir Kabupaten Kutai Timur cukup mendukung
usaha perikanan budidaya. Namun pada saat tertentu kondisi arus dan gelombang,
yang sangat dipengaruhi oleh musim angin, dapat menjadi ekstrim dan merupakan
ancaman bagi kelanjutan usaha budidaya. Oleh karena itu diperlukan adanya input
teknologi yang dapat mengatasi ancaman tersebut.

Strategi Pengembangan Perikanan budidaya Pesisir
Strategi pengembangan perikanan budidaya pesisir di Kabupaten Kutai
Timur dianalisa dengan menggunakan analisis SWOT.
Tabel 27. Hasil External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS)
Faktor-faktor
Strategi Eksternal
Bobot Rating Skor Komentar
1 2 3 4 5
Peluang:
O1: permintaan pasar tinggi
O2: dukungan permodalan dari pemda dan mitra
O3: Adanya Lembaga Pendidikan yang Mendukung
Perikanan Budidaya

0,20
0,15
0,10


4
4
2


0,80
0,60
0,20


Pemasaran
Permodalan
Teknologi
Ancaman:
T1: tengkulak yang mendominasi pasar
T2: persaingan dengan produk dari luar daerah
T3: pencemaran industri pada DAS
T4: konflik pemanfaatan lahan
T5: kondisi oseanografi yang ekstrim

0,15
0,10
0,10
0,15
0,05

1
1
2
2
2

0,15
0,10
0,20
0,30
0,10

Pemasaran
Pemasaran
Teknologi
Sosial
Teknologi
TOTAL 1,00 2,45
Sumber: Analisis Data Primer


107
107

Tabel 28. Hasil Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS)
Faktor-faktor
Strategi Internal
Bobot Rating Skor Komentar
1 2 3 4 5
Kekuatan:
S1: ketersediaan lahan masih luas
S2: adanya investasi dari masyarakat
S3: kelayakan usaha perikanan budidaya pesisir
S4: tersedia tenaga kerja lokal
S5: etos kerja budidaya
S6: tersedia sarana kelembagaan budidaya

0,1
0,1
0,1
0,1
0,05
0,05

4
3
3
2
1
1

0,4
0,3
0,3
0,2
0,05
0,05

Permodalan
Permodalan
Pendapatan
Sosial
Sosial
Kelembagaan
Kelemahan:
W1: terbatas sarana produksi/infrastuktur penunjang
W2: kurangnya sarana informasi pasar
W3: kurang pengetahuan tentang budidaya
W4: kurang pengetahuan teknologi pasca panen
W5: kualitas SDM rendah

0,15
0,1
0,1
0,1
0,05

1
1
2
2
3

0,15
0,1
0,2
0,2
0,15

Sarana
Pemasaran
Teknologi
Teknologi
Sosial
TOTAL 1,00 2,10
Sumber: Analisis Data Primer

Dari hasil pembobotan terhadap faktor-faktor yang berpengaruh diperoleh
hasil bahwa faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) lebih besar
pengaruhnya dibanding faktor internal (kekuatan dan kelemahan), terhadap
pengembangan perikanan budidaya pesisir di pesisir kabupaten Kutai Timur,
dengan rasio sebesar 2,45 : 2,10.
Berdasarkan matriks EFAS dan IFAS tersebut di atas, maka dengan model
matriks TOWS diperoleh strategi-strategi yang dikelompokkan dalam 4 kategori,
yaitu:
i) Strategi SO, yaitu penggunaan unsur-unsur kekuatan wilayah pesisir untuk
mendapatkan keuntungan dari peluang-peluang yang ada;
ii) Strategi WO, yaitu memperbaiki kelemahan yang ada di wilayah pesisir
dengan memanfaatkan peluang yang tersedia,
iii) Strategi ST, yaitu penggunaan kekuatan yang ada untuk menghindari atau
memperkecil dampak dari ancaman eksternal;
iv) Strategi WT, yaitu taktik pertahanan yang diarahkan pada pengurangan
kelemahan internal untuk menghadapi ancaman eksternal (Vincentius, 2003)




108
108
Tabel 29. Matriks TOWS Strategi Pengembangan Kawasan Perikanan budidaya
MATRIKS TOWS
STRENGTH (S)
S1: ketersediaan lahan masih luas
S2: adanya investasi dari
masyarakat
S3: kelayakan usaha perikanan
budidaya pesisir
S4: tersedia tenaga kerja lokal
S5: etos kerja budidaya
S6: tersedia sarana kelembagaan
budidaya
WEAKNESSES (W)
W1: terbatas sarana
produksi/ infrastuktur
penunjang
W2: kurangnya informasi
pasar
W3: kurang pengetahuan
tentang budidaya
W4: kurang pengetahuan
teknologi pasca
panen
W5: kualitas SDM rendah
OPPORTUNITIES (O)
O1: permintaan pasar tinggi
O2: dukungan permodalan dari
pemda dan mitra
O3: adanya lembaga pendidikan
yang mendukung perikanan
budidaya
STRATEGI SO
1) peningkatan skala usaha
perikanan budidaya dengan
memanfaatkan investasi dari
mitra atau pemda;
2) pemberdayaan tenaga kerja
lokal sebagai pekerjaan
sampingan atau utama dalam
perikanan budidaya;
STRATEGI WO
1) pengembangan sarana
dan infrastruktur
budidaya laut;
2) peningkatan kapasitas
SDM di pesisir;
3) pengembangan teknik
budidaya dan
pengolahan/pasca
panen;
THREATH (T)
T1: tengkulak yang mendominasi
pasar
T2: persaingan dengan produk dari
luar daerah
T3: pencemaran industri pada DAS
T4: konflik pemanfaatan lahan
T5: kondisi oseanografi ekstrim

STRATEGI ST
1) pengembangan sistem
pemasaran yang bisa
menggerakkan perekonomian
lokal;
2) pengembangan kawasan
budidaya terpadu untuk
mengoptimalkan pemanfaatan
perairan pesisir;

STRATEGI WT
1) pengembangan akses
informasi budidaya
melalui kelembagaan
yang terkait;


Sumber: Analisis Data Primer
Strategi-strategi di atas selanjutnya diurutkan menurut rangking
berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunnya, sebagaimana disajikan pada
Tabel 30.





109
109
Tabel 30. Penentuan Prioritas Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya di
Pesisir Kabupaten Kutai Timur
UNSUR SWOT KETERKAITAN SKOR RANK
Strategi 1
1) peningkatan skala usaha perikanan budidaya
dengan memanfaatkan investasi dari mitra
perusahaan atau pemda;
S1,S2,S3,O1,O2

2,40


1

Strategi 2 2) pengembangan teknik budidaya dan pasca
panen;
W3,W4,W5,O1,O3 1,55 2
Strategi 3 3) peningkatan kapasitas SDM di pesisir; W3,W4,W5,O2, O3 1,35 3
Strategi 4 4) pemberdayaan tenaga kerja lokal sebagai
pekerjaan sampingan atau utama;
S4,S5,O1
1,05

4

Strategi 5 5) pengembangan kawasan budidaya terpadu
untuk mengoptimalkan pemanfaatan
perairan pesisir;
S1,S6,T3,T4,T5
1,05

5

Strategi 6 6) pengembangan sarana dan infrastruktur
budidaya pesisir;
W1,O1
0,95

6

Strategi 7 7) pengembangan sistem pemasaran yang bisa
menggerakkan perekonomian lokal;
S2,S6,T1,T2
0,60

7

Strategi 8 8) pengembangan akses informasi melalui
kelembagaan yang terkait;
W1,W2,T1,T2
0,50

8

Sumber: Analisis Data Primer

Setelah memperhatikan segala potensi sumber daya dan aktivitas perikanan
budidaya pesisir di Kabupaten Kutai Timur dan digabungkan dengan faktor dari
analisa SWOT maka disusun rencana program kerja dan rencana strategi dalam
pengembangan perikanan budidaya di pesisir. Selengkapnya rencana strategi yang
kemudian diaplikasikan dalam rencana program adalah sebagai berikut :
Strategi 1
Peningkatan skala usaha perikanan budidaya pesisir.
Pencetakan lahan tambak dan pembuatan unit karamba baru.
Pinjaman lunak, kredit, atau dana bergulir untuk meningkatkan skala
usaha.
Penyediaan sarana produksi seperti benih, pakan, peralatan, dan obat-
obatan untuk operasional budidaya.


110
110
Peningkatan teknologi untuk mengurangi kematian/kegagalan panen.
Strategi 2
Pengembangan teknik budidaya dan pengolahan/pasca panen.
Pelatihan dan pendampingan teknik budidaya dan pasca panen bagi
masyarakat pembudidaya.
Penganekaragaman spesies budidaya laut selain komoditas yang telah
dibudidayakan selama ini, misalnya pembesaran kepiting bakau, abalone,
lobster, kakap, dan sebagainya.
Melakukan penelitian-penelitian yang mendukung pengembangan
teknologi budidaya laut.
Membuat kawasan percontohan/demplot pada satu desa untuk dijadikan
sentra budidaya, sehingga dapat dijadikan percontohan bagi desa-desa
lainnya.
Strategi 3
Peningkatan kapasitas SDM di pesisir.
Mendirikan sekolah di desa-desa pesisir yang terisolir.
Memasukkan mata pelajaran yang terkait dengan kelestarian sumberdaya
alam, terutama sumberdaya pesisir dan laut, sebagai muatan lokal pada
kurikulum di sekolah-sekolah tersebut.
Strategi 4
Pemberdayaan tenaga kerja lokal sebagai pekerjaan utama atau sampingan.
Mengatur kerjasama antara investor yang melakukan usaha budidaya di
pesisir dengan penduduk lokal agar dapat memberikan peluang usaha bagi
penduduk lokal untuk ikut serta dalam usaha perikanan budidaya.
Menetapkan aturan bagi pengusaha/investor untuk menggunakan tenaga
kerja lokal sebelum menggunakan tenaga dari luar daerah.
Mempermudah pemberian kredit untuk usaha budidaya bagi penduduk
lokal.
Pelatihan bagi wanita di desa pesisir agar dapat melakukan pengolahan
hasil perikanan menjadi makanan khas seperti baso ikan, abon ikan,
krupuk kepiting, dodol, manisan rumput laut, dan lain-lain.


111
111
Strategi 5
Pengembangan kawasan budidaya terpadu untuk mengoptimalkan
pemanfaatan perairan pesisir.
Perencanaan kawasan terpadu untuk proses produksi budidaya mulai dari
sarana pembenihan, hingga pengolahan pasca panen.
Pembuatan rencana kawasan (zonasi) untuk kegiatan perikanan tangkap,
budidaya, maupun zona konservasi atau perlindungan.
Mensosialisasikan sistem budidaya selain yang budidaya telah eksisting,
seperti sistem budidaya karamba jaring apung, sea ranching, dan
enclosure.
Melakukan analisis kesesuaian lahan bagi sistem budidaya lain selain
sistem budidaya yang telah eksisting saat ini, seperti tersebut diatas.
Strategi 6
Pengembangan sarana dan infrastruktur budidaya laut.
Pembangunan Unit Pelaksana Teknis (UPT) perikanan budidaya pesisir,
sebagai sarana transfer teknologi budidaya yang cepat ke masyarakat.
Pembangunan sarana transportasi darat dan pelabuhan, untuk membuka
akses ke daerah pesisir yang masih terisolir.
Pembangunan hatchery untuk memproduksi benih ikan bagi sistem
budidaya yang telah berlangsung.
Memfasilitasi kerjasama antara masyarakat pembudidaya dengan agen
(pedagang) sarana produksi perikanan budidaya seperti pakan, obat-
obatan, dan peralatan budidaya, untuk memudahkan pembudidaya
memperoleh saprodi perikanan budidaya.
Pengadaan fasilitas dalam pengawetan ikan hasil produksi budidaya (cold
storage maupun es batu).
Strategi 7
Pengembangan sistem pemasaran yang bisa menggerakkan perekonomian
lokal.
Membuat sistem bisnis yang mendukung posisi tawar (bargaining
position) dari pelaku budidaya (produsen), terutama masyarakat lokal.


112
112
Mengaktifkan fungsi kelembagaan sosial-ekonomi seperti koperasi,
kelompok pembudidaya, PKK, dan sebagainya untuk mendukung kegiatan
pemasaran produk budidaya.
Menjalin kerja sama pemasaran antara kelompok pembudidaya lokal
dengan pengusaha swasta melalui fasilitator pemerintah.
Strategi 8
Pengembangan akses informasi melalui kelembagaan yang terkait.
Pengadaan sarana prasarana komunikasi (pengefektifan wartel), pendirian
pemancar telepon, dan pengadaan sarana transportasi antar daerah dari
pemerintah.
Pembuatan data informasi pemasaran baik untuk kebutuhan dalam atau
luar negeri, yang dapat diakses secara mudah oleh semua pelaku budidaya
di Kabupaten Kutai Timur.





















113
113
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Hasil analisis spasial terhadap peta komposit menunjukan pesisir di
Kabupaten Kutai Timur mempunyai potensi kesesuaian lahan sangat sesuai
(S1): untuk budidaya tambak seluas 9.726,79 ha; untuk budidaya karamba
seluas 1.204,77 ha; untuk budidaya rumput laut seluas 9.509,71 ha. Namun
tidak semua potensi ini dapat dimanfaatkan semua untuk budidaya karena sifat
pesisir yang open acces. Berdasarkan pertimbangan pemanfaatan oleh sektor-
sektor lain di pesisir Kabupaten Kutai Timur, maka luas efektif lahan perairan
dan daratan pesisir untuk budidaya yaitu: budidaya tambak 3.913,47 ha;
budidaya karamba jaring tancap 411,13 ha; dan budidaya rumput laut long
line 3.246,62 ha. Luas efektif tersebut merupakan sisi suplai bagi
pengembangan kawasan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten
Kutai Timur.
2. Hasil analisis kelayakan finansial dengan indikator: keuntungan (), R/C,
NPV, dan Net B/C, disimpulkan bahwa kegiatan perikanan budidaya tambak
udang tradisional plus, rumput laut long line, karamba tancap kerapu secara
finansial layak dikembangkan di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur.
3. Hasil analisis terhadap faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman,
serta pendekatan nilai LQ dan potensi kesesuaian lahan pada masing-masing
kecamatan pantai menunjukkan bahwa wilayah pesisir Kecamatan Sangattta
dapat diarahkan untuk pengembangan kawasan budidaya tambak dan rumput
laut; Kecamatan Bengalon dapat diarahkan untuk pengembangan budidaya
tambak; Kecamatan Kaliorang dapat diarahkan untuk pengembangan
budidaya karamba, rumput laut, dan tambak; Kecamatan Sangkulirang dapat
diarahkan untuk pengembangan budidaya karamba, rumput laut, dan tambak;
dan Kecamatan Sandaran dapat diarahkan untuk pengembangan rumput laut.
4. Urutan rencana strategi yang perlu dilakukan dalam pengembangan perikanan
budidaya di pesisir Kabupaten Kutai Timur berdasarkan faktor internal dan


114
114
eksternalnya yang dianalisis dengan SWOT adalah: (1) peningkatan skala
usaha budidaya pesisir dengan memanfaatkan investasi dari mitra perusahaan
atau pemda; (2) pengembangan teknik budidaya dan pengolahan/pasca panen;
(3) peningkatan kapasitas SDM di pesisir; (4) pemberdayaan tenaga kerja
lokal sebagai pekerjaan sampingan atau utama; (5) pengembangan sistem
budidaya terpadu untuk mengoptimalkan pemanfaatan perairan pesisir; (6)
pengembangan sarana dan infrastruktur budidaya pesisir; (7) pengembangan
sistem pemasaran yang bisa menggerakkan perekonomian lokal; dan (8)
pengembangan akses informasi melalui kelembagaan yang terkait.

Saran
1. Perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan untuk perikanan budidaya di pesisir
Kabupaten Kutai Timur pada musim angin utara dan angin selatan, dengan
batas penelitian lebih luas dari yang digunakan pada penelitian ini (yaitu 4 km
ke arah darat dan 4 mil laut ke arah laut) untuk melengkapi kesesuaian lahan
yang dilakukan pada penelitian ini.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi wilayah
pesisir Kabupaten Kutai Timur untuk pengembangan sistem perikanan
budidaya yang lain seperti karamba jaring apung (cage culture), sea ranching,
restocking, dan sebagainya.
3. Untuk menghindari konflik kepentingan berbagai sektor maka dalam
penyusunan tata ruang pesisir Kabupaten Kutai Timur diperlukan penzonasian
bagi sektor lainnya seperti pariwisata pantai, pelabuhan, dan lain-lain, yang
dianalisis berdasarkan aspek biogeofisik, kesesuaian lahan, dan daya dukung
lingkungan.










115
115
DAFTAR PUSTAKA


Afrianto, E. Liviawaty.1991. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Kanisius.
Bandung.

Alauddin, M.H.R. 2004. Analisis Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung
Lingkungan Pesisir untuk Perencanaan Strategis Pengembangan Tambak
Udang Semi Intensif di Wilayah Pesisir Teluk Awarange, Kabupaten
Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Tesis (Tidak dipublikasikan). Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Aliah, R.S., Herdis, Afifah, Maman Surachman. 2002. Menggalang Sinergi untuk
mengembangkan Agribisnis Kerapu. Prosiding Lokakarya Nasional dan
Pameran Pengembangan Agribisnis Kerapu II. BPPT. Jakarta.

Anggadiredja, J.T. et al. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta

Anonim. Undang-Undang nomor 5 tahun 1990. Tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Anonim. Undang-Undang nomor 24 tahun 1992. Tentang Rencana Tata Ruang.

Anonim. Undang-Undang nomor 22 tahun 1999. Tentang Pemerintahan Daerah.

Bakosurtanal. 1996. Pedoman Kesesuaian Lahan. BAKOSURTANAL. Cibinong.
www.bakosurtanal.go.id

Bappeda Kutai Timur. 2004. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Kutai Timur. Bappeda Kabupaten Kutai Timur. Sangatta

Bardach, J. E., J. H. Ryther & W. O. McLarney. 1972. Aquaculture, the Farming
and Husbandry of Freshwater and Marine Organism. John Wiley & Sons
Inc., New York, London, Sydney, Toronto.

Barus, B., U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografis Sarana
Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Pengindraan Jauh dan Kartografi
Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Bengen, D.G. 1999. Penelitian Multidisiplin untuk Mendukung Pengelolaan
Wilayah Pesisir secara Terpadu. Warta Pesisir dan Lautan No. 06 Tahun
1999. Proyek Pesisir-PKSPL. Institut Pertanian Bogor.

Besweni. 2002. Kajian Ekologi Ekonomi Pengembangan Budidaya Rumput Laut
di Kepulauan Seribu (Studi Kasus di Gugusan P. Pari). Tesis (tidak
dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Beveridge M. C. M. 1996. Cage Aquaculture, Second Edition. Fishing News
Books Ltd., Oxford, London, Edinburgh, Cambridge, Victoria.



116
116
BPS Kutai Timur. 2005. Kabupaten Kutai Timur dalam Angka Tahun 2005. BPS
Kabupaten Kutai Timur. Sangatta.

Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.
Pradnya Paramita. Jakarta.

Budiharsono, S., Suaedi, Asbar. 2006. Sistem Perencanaan Pembangunan
Kelautan dan Perikanan. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri
Sekretariat Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Borrough. 1989. Principle of Geographical Information System. John Wiley &
Sons Inc. New York.

Clark, J.R. 1996. Coastal Zone Management : Handbook. Lewis Publishers.
New York.

Cicin-Sain, B., Robert W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean
Managemant, Concepts and Practise. Island Press. Washington D.C.

Chetwynd E.Jr dan Chetwynd JF 2001. A practical Guide to Citizen Participation
in Local Government in Romania, RTI.

Dahuri, R., Jacub Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.

Daniel, M. 2002. Metode Penelitian Sosial Ekonomi, Dilengkapi beberapa Alat
Analisa dan Penuntun Penggunaan. Bumi Aksara. Jakarta.

De Mers. 1997. Fundamental of Geographical Information System. John Wiley &
Sons Inc. New York.

Deptan. 1979. Budidaya Rumput Laut. Balai Informasi Pertanian. Jakarta.

Djais, F.H., Ansori Zamawi, Sigit Purnomo. 2002. Modul Sosialisasi dan
Orientasi Penataan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Edisi
tahun 2003. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat
Tata Ruang Laut, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan
dan Perikanan RI. Jakarta.

DKP Kutai Timur. 2005. Buku Tahunan Statistik Perikanan. Dinas Kelautan
Perikanan Kabupaten Kutai Timur. Sangatta.

Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta.

Fadhlan, M. 2003. Kajian Kesesuaian dan Optimasi Lahan Tambak Udang di
Wilayah Pesisir Kabupaten Bengkalis. Tesis (tidak dipublikasikan).
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fitran, S.L.D. 2005. Analisis Kesesuaian Lahan dan Kelayakan Finansial
Pengembangan Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir Kecamatan


117
117
Sangkulirang Kabupaten Kutai Timur. Tesis (tidak dipublikasikan).
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hardjowigeno, S., Widiatmaka, A.S., Yogaswara. 2001. Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Kay, R. Jackie Alder. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon.
London.

Kajanus, M. 2001. Local Culture as A Strength of Rural Tourism - Expert
Interview Analysis in Finland, Germany and Britain. Working paper
presented at Grass Roots Conference, 23-27 October, 2001 in Chipping,
Britain. Pohjois-Savo Polytechnic, Rural Education, Kotikylntie 254,
Iisalmi, Finland.

Kusumastanto, T. 1994. An Investment Strategy for The Development of
Brackishwater Shrimp Aquaculture Industry in Indonesia. Ph.D
Dissertation in Economics. Auburn University. Auburn, Alabama. USA.

Muhammad, D. 1999. Penerapan Pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Terpadu dalam Pembangunan Pariwisata Pantai di Kepulauan Derawan
Propinsi Kalimantan Timur. Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah
Pascasarjana IPB. Bogor.

Muir, J. F. & R. J. Roberts. 1985. Recent Advances in Aquaculture. Croom
Helm Ltd., London, Sydney.

Nurhakim, S. 2001. Sea Farming sebagai Upaya Peningkatan Produksi melalui
Perlindungan dan Pengkayaan, hal.:10-16. Dalam, A. Sudrajat, E. S.
Heruwati, A. Poernomo, A. Rukyani, J. Widodo & E. Danakusumah
(Eds.). Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di
Indonesia. Puslitbang Eksplorasi Laut dan Perikanan, Jakarta.

Paliawaludin, L.O. 2004. Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan
Ruang Kawasan Pesisir Teluk Kendari. Tesis (tidak dipublikasikan).
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Permadi, B. 1992. Buku Petunjuk Manual Mengenai Teori dan Aplikasi Model
The Analytical Hierarchy Process (AHP). Pusat Antar Universitas-Studi
Ekonomi Universitas Indonesia.

Pillay, T. V. R. 1990. Aquaculture, Principles and Practices. Fishing News
Books, Oxford, London, Edinburgh, Cambridge, Victoria.

Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis.
Informatika, Bandung.

Poernomo, A. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.



118
118
Poerwowidagdo, S.J. 2003. Prosedur Analisis Sistem. Himpunan Materi Kuliah
Program Pasca Sarjana. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rais, J., Budi Sulistiyo, Son Diamar, Tiene Gunawan, Monique Sumampouw,
Tjoek Azis S., Idwan Suhardi, Asep Karsidi, Sigit Widodo. 2004. Menata
Ruang Laut Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.

Rangkuti, F. 2002. Analisis SWOT, Teknik Membedah kasus Bisnis, Reorientasi
Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

Rustiadi, E., Sunsun S., Dyah R.P. 2006. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah, Diktat (tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Saaty, T.L. 1991. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. Pustaka
Binaman Pressindo. Jakarta.

Salusu, J. 1996. Proses Pengambilan Keputusan Perencanaan. Modul
Perencanaan Pembangunan. Pusat Studi Kebijaksanaan dan Manajemen
Pembangunan-LPPM- Universitas Hasanuddin. Program Diklat Teknik
dan Manajemen Perencanaan Pembangunan Tingkat Dasar (TMPP-D),
Kerjasama OTO-BAPPENAS-Depdagri dengan Unhas. Ujung Pandang.

Sandy, I.M. 1986. Geografi Regional Indonesia. Jurusan Geografi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Depok.

Saragih, A. 2004. Analisis Kerusakan Hutan Mangrove dan Upaya Rehabilitasi
Berbasiskan Partisipasi Masyarakat Lokal di Sekitar Muara Sangatta,
Kalimantan Timur. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana
Universitas Mulawarman. Samarinda.

Shell, E. W & T. F. Lowell. 1993. The Development of Aquaculture: an
Ecosystem Perspective. Alabama Agricultural Experiment Station,
Auburn University, Alabama.

Situmorang, M. 2005, Sumberdaya Minyak dan Gas Bumi (migas) Lepas Pantai
(Bahan Kuliah), Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor, Bogor

Soebagio. 2004. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut
Kepulauan Seribu dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat
Melalui Kegiatan Budidaya Perikanan dan Pariwisata. Disertasi (tidak
dipublikasikan). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Subandar, A. 1999. Potensi Teknik Evaluasi Multi Kriteria dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia Vol. 1 No. 5, hal 70-80.


119
119

Subandar, A. 2002. Multy Criteria Decision Making Techniques. Himpunan
Materi Kuliah PS-SPL IPB. Tidak diterbitkan. 22 hal.

Subandar, A. Lukijanto. A. Sulaiman. 2005. Penentuan Daya Dukung Budidaya
Keramba Jaring Apung. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Jakarta.

Sugiarti; D.G. Bengen; R. Dahuri. 2000. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang
Wilayah Pesisir di Kota Pasuruan Jawa Timur. Jurnal. Pesisir & Lautan,
Volume 3, No. 2. 2000. PKSPL-IPB, Bogor.

Sukardi, K. 2007. Pengelolaan Pesisir untuk Pengembangan Perikanan.
Himpunan Bahan Kuliah (Hand Out). PS-SPL IPB. Bogor

Syahputra, Y. 2005. Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Budidaya Rumput
laut (Euchema cottoni) pada Kondisi Lingkungan yang berbeda dan
Perlakuan Jarak tanam di Teluk Lhok Seudu. Tesis (tidak dipublikasikan).
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tahir, A. 2002. Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan Wilayah
Pesisir di Teluk Balikpapan. Tesis (tidak dipublikasikan). Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tucker Jr., J. W. 1998. Marine Fish Culture. Kluwer Academic Publishers,
Dordrecht The Netherlands.

Unmul. 2002. Survei Potensi Kawasan Pesisir Kabupaten Kutai Timur. Laporan
Penelitian. Universitas Mulawarman (Unmul) dan Bappeda Kabupaten
Kutai Timur. Sangatta

Vincentius, Angelinus. 2003. Analisis Kesesuaian Lahan dan Arahan
Pengembangan Kawasan Pesisir Teluk Maumare, Kabupaten Sikka,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tesis (tidak dipublikasikan). Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Wibowo, A. 2004. Aplikasi SIG untuk Kesesuaian Lahan Tambak. Modul
Pelatihan. Laboratorium Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Inventarisasi Sumberdaya Alam. BPPT. Jakarta.

Widigdo, B. 2006. Metoda/Teknik Penentuan Daya Dukung Wilayah Pesisir.
Materi Kuliah. Tidak Diterbitkan. PS-SPL IPB. Bogor.

Zatnika, A. 1985. Uji Coba Budidaya Rumput Laut di Nusa Dua Bali. Laporan
Penelitian. BPPT. Jakarta.




116
116
Lampiran 1:

Hasil Pengamatan Hidro-osenografi
Lokasi
Posisi
Geografis
Arus
(cm/dt)
Gelombang (cm) Salinitas
()
Kecerahan
(%)
Suhu
Permukaan (C)
pH
Sedimen
Substrat
Terumbu
Karang
Biota
Laut Maksimal Minimal
Stasiun I
1175432E
03031N
2,8 86,0 91,0 32 70 28 7
Pasir putih,
karang pecah
HC Teripang coklat
Stasiun II
1175720E
03815N
8,3 51,5 33,0 30 50 30 7
Pasir putih,
karang pecah
HC
Bulu babi, bintang
laut biru, teripang
Stasiun III
1176630E
05740N
1,8 40,0 32,0 30 60 30 8
Pasir putih,
karang pecah
HC
Bulu babi, bintang
laut biru, teripang
Stasiun IV
1177222E
06014N
7,9 34,5 32,0 35 85-90 29 7
Pasir putih,
karang pecah
HC
Bulu babi, bintang
laut biru
Stasiun V
1180030E
07515N
1,8 44,0 32,5 30 90 31 8
Pasir putih,
karang pecah
SC dan HC
Bulu babi, bintang
laut biru
Stasiun VI
1179920E
09510N
3,2 34,5 18,0 30 60 29 8
Pasir putih,
karang pecah
HC
Bulu babi, bintang
laut biru, teripang

Waktu Pengamatan:
Hari/Tanggal : Kamis/28 Desember 2006
Waktu : 09.00-selesai Wita















117
117

Lampiran 2: Bobot dan Prioritas Alternatif Kegiatan Perikanan untuk Pengembangan Kawasan Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Struktur
Responden
MEAN P

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12
Kriteria Tujuan
Ekonomi

0.109

0.320

0.105

0.105

0.528

0.094

0.320

0.105

0.637

0.297

0.105

0.118

0.184

0.211 P3
Penurunan Konflik Sosial

0.309

0.122

0.258

0.637

0.140

0.280

0.122

0.258

0.258

0.163

0.258

0.268

0.230

0.264 P2
Kelestarian SDA dan Lingk
0.582

0.558

0.637

0.258

0.332

0.626

0.558

0.637

0.105

0.540

0.637

0.614

0.459

0.526 P1


1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

0.873

1.000

Sub Kriteria Ekonomi
a. Peningkatan PAD

0.094

0.109

0.105

0.105

0.140

0.118

0.109

0.105

0.637

0.571

0.105

0.105

0.145

0.165 P3
b. Peningk Pendapatan Masy

0.626

0.582

0.637

0.258

0.528

0.268

0.582

0.637

0.258

0.143

0.637

0.637

0.436

0.497 P1
c. Penyerapan TK

0.280

0.309

0.258

0.637

0.332

0.614

0.309

0.258

0.105

0.286

0.258

0.258

0.297

0.338 P2


1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

0.877

1.000
Sub Kriteria Sosial
c. Konflik antar Pelaku

0.792

0.417

0.683

0.683

0.643

0.402

0.556

0.620

0.380

0.560

0.386

0.332

0.518

0.542 P1
d. Konflik antar Ruang

0.208

0.583

0.317

0.317

0.357

0.598

0.444

0.380

0.620

0.440

0.614

0.668

0.437

0.458 P2


1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

0.956

1.000
Sub Kriteria Lingkungan
f. SDA Dapat Pulih

0.240

0.582

0.637

0.637

0.297

0.105

0.582

0.230

0.637

0.594

0.637

0.528

0.420

0.486 P1
g. SDA tidak Pulih

0.373

0.109

0.105

0.258

0.540

0.637

0.109

0.648

0.258

0.157

0.258

0.140

0.241

0.280 P2
h. Jasa-jasa Lingkungan

0.387

0.309

0.258

0.105

0.163

0.258

0.309

0.122

0.105

0.249

0.105

0.332

0.202

0.234 P3


1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

0.864

1.000
Alternatif Kegiatan
Bd TAMBAK 0.205 0.120 0.215 0.157 0.092 0.101 0.162 0.103 0.075 0.099 0.104 0.083 0.119 0.122 P3
Bd KARAMBA 0.363 0.341 0.498 0.437 0.510 0.531 0.472 0.279 0.426 0.492 0.458 0.463 0.432 0.442 P1
Bd RUMPUT LAUT
0.432
0.539 0.287 0.406 0.398 0.368 0.366 0.618 0.499 0.409 0.438 0.456 0.427 0.436 P2


1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

1.002

0.979

1.000


118
118
Lampiran 3:


Nilai Produksi Perikanan Budidaya Pantai Menurut Kecamatan, 2005 (Dalam Ribuan)

Kecamatan SEKTOR
Total
Kecamatan

Perikanan
Laut
Perikanan
Darat
Tambak Kolam Karamba
Kerapu
Rumput Laut

Sangatta

837,600.00

3,801.80

13,500,000.00

25,740,000.00

40,875,000.00

8,400,000.00

89,356,401.80
Bengalon

549,400.00

1,900.90

18,000,000.00 -

-

7,200,000.00

25,751,300.90
Kaliorang

2,375,500.00

-

61,250,000.00 -

-

8,100,000.00

71,725,500.00
Sangkulirang

349,300.00

-

36,750,000.00 -

-

-

37,099,300.00
Sandaran

350,700.00

- - -

-

-

350,700.00
Sektor i Kabupaten

4,462,500.00

5,702.70

129,500,000.00

25,740,000.00

40,875,000.00

23,700,000.00
Total Sektor Kabupaten
224,283,202.70
Sumber: Buku Tahunan Statistik Perikanan Dinas Kelautan Perikanan Kab. Kutai Timur, 2005














119
119
Lampiran 4:














































Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Kutai Timur, 2006
LAPANGAN USAHA 2000
r)
2001
r)
2002
r)
2003
r)
2004
r)
2005
***)
1. PERTANIAN 287,474.21 303,364.51 580,461.44 568,176.99 601,710.63 675,730.33
a. Tanaman Bahan Makanan 87,224.16 82,009.17 115,539.98 112,135.53 135,885.32 158,815.60
b. Tanaman Perkebunan 24,221.08 27,622.01 62,060.15 83,075.45 92,342.81 102,571.73
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 18,510.14 20,873.38 34,047.20 45,438.12 60,674.31 63,800.38
d. Kehutanan 119,711.13 135,747.29 323,851.19 267,473.58 244,987.49 260,794.94
e. Perikanan 37,807.70 37,112.66 44,962.93 60,054.31 67,820.71 89,747.69
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 4,735,701.68 6,044,022.90 5,367,507.83 4,769,292.87 8,051,312.20 10,157,143.08
a. Pertambangan Migas (Minyak dan Gas) 245,607.79 253,963.62 278,028.76 303,383.34 346,460.23 395,201.82
b. Pertambangan Non Migas 4,453,253.93 5,747,390.95 5,030,278.84 4,387,383.18 7,604,033.33 9,644,004.97
c. Penggalian 36,839.95 42,668.33 59,200.23 78,526.34 100,818.64 117,936.28
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 20,008.60 22,848.06 41,675.34 47,608.46 56,802.07 64,928.43
a. Industri Migas : - - - - - -
a.1. Pengilangan Minyak Bumi - - - - - -
a.2. Gas Alam Cair (LNG) - - - - - -
b. Industri Non Migas : 20,008.60 22,848.06 41,675.34 47,608.46 56,802.07 64,928.43
b.1. Makanan, Minuman dan Tembakau 14,146.76 17,166.77 38,676.64 47,307.35 56,421.16 64,494.20
b.2. Tekstil, Pakaian Jadi dan Kulit - - - - - -
b.3. Kayu, Bambu, Rotan dan Perabot RT 5,683.62 5,465.02 2,732.51 - - -
b.4. Kertas dan Barang Cetakan 109.68 133.09 163.81 185.30 234.40 267.22
b.5. Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet - - - - - -
b.6. Semen, Barang Lain Bukan Logam - - - - - -
b.7. Logam Dasar Besi dan Baja - - - - - -
b.8. Alat Angkutan, Mesin dan Peralatan - - - - - -
b.9. Barang Lainnya 68.55 83.18 102.38 115.81 146.50 167.01
4. LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH 3,942.44 5,362.67 9,331.77 13,258.70 15,522.87 19,922.91
a. Listrik 3,634.84 4,943.77 8,598.97 12,187.20 14,679.39 19,153.20
b. Gas - - - - - -
c. Air Bersih 307.60 418.91 732.81 1,071.50 843.47 769.71
5. BANGUNAN 35,941.79 170,986.42 356,282.45 315,747.76 331,535.15 356,925.82
6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 203,845.40 253,344.17 285,410.25 276,519.90 387,241.67 472,520.20
a. Perdagangan Besar dan Eceran 196,000.66 242,970.61 270,301.03 252,380.76 359,606.18 440,964.97
b. Hotel 855.03 1,564.65 3,072.69 5,932.35 5,191.09 7,012.28
c. Restoran 6,989.71 8,808.90 12,036.52 18,206.79 22,444.39 24,542.95
7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 101,197.56 138,357.81 160,801.12 167,665.51 193,818.36 291,685.90
a. Pengangkutan : 93,682.78 129,526.93 146,159.43 150,487.16 170,477.66 265,981.93
a.1. Angkutan Rel - - - - - -
a.2. Angkutan Jalan Raya 7,746.93 9,464.14 14,424.23 18,673.55 30,581.30 44,361.17
a.3. Angkutan Sungai, Danau & Penyeb. 31,027.45 37,903.16 43,542.35 46,257.57 47,615.13 71,954.98
a.4. Angkutan Laut 45,540.99 69,091.66 73,366.69 70,189.75 74,875.93 122,631.32
a.5. Angkutan Udara - - - - - -
a.6. Jasa Penunjang Angkutan 9,367.41 13,067.97 14,826.16 15,366.29 17,405.29 27,034.46
b. Komunikasi : 7,514.79 8,830.88 14,641.69 17,178.35 23,340.70 25,703.96
b.1. Pos dan Telekomunikasi 5,844.07 6,909.10 11,423.63 13,496.14 18,432.01 20,295.55
b.2. Jasa Penunjang Komunikasi 1,670.72 1,921.78 3,218.06 3,682.21 4,908.70 5,408.41
8. KEUANGAN, PERSEWAAN DAN 69,657.75 89,215.30 110,596.41 127,863.25 140,338.43 167,322.95
JASAPERUSAHAAN
a. Bank 1,957.97 2,466.41 3,058.00 3,427.00 3,941.05 4,456.86
b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank 920.38 1,226.50 1,851.39 3,346.14 4,810.63 5,448.01
c. Jasa Penunjang Keuangan - - - - - -
d. Sewa Bangunan 64,009.30 81,677.68 100,881.14 115,874.10 124,908.60 148,347.75
e. Jasa Perusahaan 2,770.10 3,844.71 4,805.89 5,216.00 6,678.15 9,070.34
9. JASA-JASA 35,813.97 42,219.13 79,110.08 99,374.38 108,736.05 127,052.82
a. Pemerintahan Umum : 28,673.14 33,466.46 67,978.32 86,389.18 93,484.00 109,820.87
a.1. Administrasi Pemerintahan & Pertahanan 28,673.14 33,466.46 67,978.32 86,389.18 93,484.00 109,820.87
a.2. Jasa Pemerintahan Lainnya - - - - - -
b. Swasta : 7,140.83 8,752.67 11,131.76 12,985.21 15,252.04 17,231.96
b.1. Jasa Hiburan dan Rekreasi 581.52 658.44 715.76 799.30 878.18 864.01
b.2. Jasa Sosial Kemasyarakatan 1,804.27 2,152.42 2,544.67 3,205.96 3,934.16 4,685.57
b.3. Jasa Perorangan dan Rumahtangga 4,755.04 5,941.81 7,871.33 8,979.95 10,439.70 11,682.37
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 5,493,583.40 7,069,720.96 6,991,176.69 6,385,507.82 9,887,017.42 12,333,232.44
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO @ 5,247,975.61 6,815,757.34 6,713,147.94 6,082,124.48 9,540,557.19 11,938,030.62
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO @@ 794,721.68 1,068,366.39 1,682,869.09 1,694,741.30 1,936,523.86 2,294,025.64
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN KUTAI TIMUR
ATAS DASAR HARGA BERLAKU MENURUT LAPANGAN USAHA
TAHUN 2000 - 2005 (Juta Rp)


120
120
Lampiran 5:













































Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Kutai Timur, 2006

LAPANGAN USAHA 2000
r)
2001
r)
2002
r)
2003
r)
2004
r)
2005
**)
1. PERTANIAN 5.23 4.29 8.30 8.90 6.09 5.48
a. Tanaman Bahan Makanan 1.59 1.16 1.65 1.76 1.37 1.29
b. Tanaman Perkebunan 0.44 0.39 0.89 1.30 0.93 0.83
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 0.34 0.30 0.49 0.71 0.61 0.52
d. Kehutanan 2.18 1.92 4.63 4.19 2.48 2.11
e. Perikanan 0.69 0.52 0.64 0.94 0.69 0.73
2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 86.20 85.49 76.78 74.69 81.43 82.36
a. Pertambangan Migas (Minyak dan Gas) 4.47 3.59 3.98 4.75 3.50 3.20
b. Pertambangan Non Migas 81.06 81.30 71.95 68.71 76.91 78.20
c. Penggalian 0.67 0.60 0.85 1.23 1.02 0.96
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 0.36 0.32 0.60 0.75 0.57 0.53
a. Industri Migas : - - - - - -
a.1. Pengilangan Minyak Bumi - - - - - -
a.2. Gas Alam Cair (LNG) - - - - - -
b. Industri Non Migas : 0.36 0.32 0.60 0.75 0.57 0.53
b.1. Makanan, Minuman dan Tembakau 0.26 0.24 0.55 0.74 0.57 0.52
b.2. Tekstil, Pakaian Jadi dan Kulit - - - - - -
b.3. Kayu, Bambu, Rotan dan Perabot RT 0.10 0.08 0.04 - - -
b.4. Kertas dan Barang Cetakan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
b.5. Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet - - - - - -
b.6. Semen, Barang Lain Bukan Logam - - - - - -
b.7. Logam Dasar Besi dan Baja - - - - - -
b.8. Alat Angkutan, Mesin dan Peralatan - - - - - -
b.9. Barang Lainnya 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4. LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH 0.07 0.08 0.13 0.21 0.16 0.16
a. Listrik 0.07 0.07 0.12 0.19 0.15 0.16
b. Gas - - - - - -
c. Air Bersih 0.01 0.01 0.01 0.02 0.01 0.01
5. BANGUNAN 0.65 2.42 5.10 4.94 3.35 2.89
6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 3.71 3.58 4.08 4.33 3.92 3.83
a. Perdagangan Besar dan Eceran 3.57 3.44 3.87 3.95 3.64 3.58
b. Hotel 0.02 0.02 0.04 0.09 0.05 0.06
c. Restoran 0.13 0.12 0.17 0.29 0.23 0.20
7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 1.84 1.96 2.30 2.63 1.96 2.37
a. Pengangkutan : 1.71 1.83 2.09 2.36 1.72 2.16
a.1. Angkutan Rel - - - - - -
a.2. Angkutan Jalan Raya 0.14 0.13 0.21 0.29 0.31 0.36
a.3. Angkutan Sungai, Danau & Penyeb. 0.56 0.54 0.62 0.72 0.48 0.58
a.4. Angkutan Laut 0.83 0.98 1.05 1.10 0.76 0.99
a.5. Angkutan Udara - - - - - -
a.6. Jasa Penunjang Angkutan 0.17 0.18 0.21 0.24 0.18 0.22
b. Komunikasi : 0.14 0.12 0.21 0.27 0.24 0.21
b.1. Pos dan Telekomunikasi 0.11 0.10 0.16 0.21 0.19 0.16
b.2. Jasa Penunjang Komunikasi 0.03 0.03 0.05 0.06 0.05 0.04
8. KEUANGAN, PERSEWAAN DAN 1.27 1.26 1.58 2.00 1.42 1.36
JASA PERUSAHAAN
a. Bank 0.04 0.03 0.04 0.05 0.04 0.04
b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank 0.02 0.02 0.03 0.05 0.05 0.04
c. Jasa Penunjang Keuangan - - - - - -
d. Sewa Bangunan 1.17 1.16 1.44 1.81 1.26 1.20
e. Jasa Perusahaan 0.05 0.05 0.07 0.08 0.07 0.07
9. JASA-JASA 0.65 0.60 1.13 1.56 1.10 1.03
a. Pemerintahan Umum : 0.52 0.47 0.97 1.35 0.95 0.89
a.1. Administrasi Pemerintahan & Pertahanan 0.52 0.47 0.97 1.35 0.95 0.89
a.2. Jasa Pemerintahan Lainnya - - - - - -
b. Swasta : 0.13 0.12 0.16 0.20 0.15 0.14
b.1. Jasa Hiburan dan Rekreasi 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
b.2. Jasa Sosial Kemasyarakatan 0.03 0.03 0.04 0.05 0.04 0.04
b.3. Jasa Perorangan dan Rumahtangga 0.09 0.08 0.11 0.14 0.11 0.09
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
DISTRIBUSI PERSENTASE PDRB KABUPATEN KUTAI TIMUR
ATAS DASAR HARGA BERLAKU MENURUT LAPANGAN USAHA
TAHUN 2000 - 2005 (%)


121
121
Lampiran 6:
Rincian Anggaran Biaya Budidaya Tambak Udang Tradisional Plus
(Rp/Ha/Musim)

NO KOMPONEN SATUAN JUMLAH HARGA TOTAL
A. Biaya
1 Investasi
a. Pencetakan Tambak M 10.000 2.500 25.000.000
b. Pembuatan Pintu air unit 1 2.000.000 2.000.000
c. Saluran Irigasi Sekunder m 100 15.000 1.500.000
d. Bangunan Jaga unit 1 3.000.000 3.000.000
SUB TOTAL 31.500.000

2 Biaya Tetap/Peralatan
a. Pompa Air unit 1 2.000.000 2.000.000
b. Peralatan Tebar Benur unit 2 100.000 200.000
c. Anco unit 2 50.000 100.000
d. Peralatan Panen unit 1 200.000 200.000
e. Timbangan unit 1 350.000 350.000
SUB TOTAL 2.850.000

3 Biaya Variabel/modal kerja
a. Benih ekor 30.000 50 1.500.000
b. Pakan kg 3.000 1.000 3.000.000
c. Pupuk kg 200 2.500 500.000
d. Saponin kg 100 5.000 500.000
e. Kapur kg 500 1.000 500.000
f. Tenaga Kerja HKO 180 15.000 2.700.000
g. Bahan Bakar lt 125 4.000 500.000
h. Ongkos Panen hari 1 500.000 500.000
SUB TOTAL 9.700.000


B. Manfaat
Penjualan Hasil Panen kg 300 75.000 22.500.000

Pinjaman bank = Rp 30.000.000, dengan bunga 24 % per tahun, selama 3 tahun
Periode panen tiap 6 bulan (2 musim per tahun)














122
122
Lampiran 7:
Cash Flow Analisis Usaha Tambak Udang Tradisional Plus
di Pesisir Kab. Kutai Timur (Rp/ha/th)
Komponen Tahun ke
0 1 2 3 4 5
1. INVESTASI
a. Pencetakan Tambak 25.000.000
b. Pembuatan Pintu air 2.000.000
c. Saluran Irigasi
Sekunder 1.500.000
d. Bangunan Jaga 3.000.000
SUB TOTAL 31.500.000

2. BIAYA
TETAP/PERALATAN
a. Pompa Air 2.000.000 2.000.000
b. Peralatan Tebar
Benur 200.000 200.000
c. Anco 100.000 100.000
d. Peralatan Panen 200.000 200.000
e. Timbangan 350.000 350.000
SUB TOTAL 2.850.000 2.850.000
Penyusutan (5%) 142.500 142.500,00 142.500,00 142.500,00 142.500,00 142.500,00

3. BIAYA VARIABEL
a. Benih 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000 3.000.000
b. Pakan 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000
c. Pupuk 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
d. Saponin 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
e. Kapur 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
f. Tenaga Kerja 5.400.000 5.400.000 5.400.000 5.400.000 5.400.000
g. Bahan Bakar 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
h. Ongkos Panen 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
SUB TOTAL 19.400.000 19.400.000 19.400.000 19.400.000 19.400.000
Lain-lain (5%) 970.000 970.000 970.000 970.000 970.000
Angsuran bank 12.400.000 12.400.000 12.400.000
TOTAL BIAYA

34.492.500,00

32.912.500,00

32.912.500,00

35.762.500,00

20.512.500,00

20.512.500,00

4. PENERIMAAN
a. Pinjaman Bank

30.000.000,00
b. Penjualan Hasil
Panen

45.000.000,00

45.000.000,00

45.000.000,00

45.000.000,00

45.000.000,00
TOTAL
PENERIMAAN 45.000.000 45.000.000 45.000.000 45.000.000 45.000.000

NET BENEFIT () (34.492.500) 12.087.500 12.087.500 9.237.500 24.487.500 24.487.500

DF (12%) 1,00 0,89 0,80 0,71 0,64 0,57

R/C - 1,37 1,37 1,26 2,19 2,19
PV (34.492.500) 10.792.411 9.636.081 6.575.070 15.562.249 13.894.865
NPV

21.968.175,82
B/C 1,64
PBP 3,94


123
123

Lampiran 8:
RINCIAN ANGGARAN BIAYA BUDIDAYA RUMPUT LAUT
Eucheuma cottonii
LONG LINE (Rp/unit/musim)
NO KOMPONEN SATUAN JUMLAH HARGA TOTAL
A. Biaya
1 Investasi
a. Perahu unit 1 12.000.000 12.000.000

2 Biaya Tetap/Peralatan
a. Tali biang 10 mm kg 20 20.000 400.000
b. Tali ris 7 mm kg 20 20.000 400.000
c. Jerigen piece 40 15.000 600.000
d. Para-para penjemuran unit 4 100.000 400.000
e. Tali rafia kg 100 3.000 300.000
f. Botol aqua piece 160 500 80.000
g. Timbangan unit 1 150.000 150.000
h. Jangkar/kayu patok unit 100 3.000 300.000
SUB TOTAL 2.630.000

3 Biaya Variabel/modal kerja
a. Benih kg 1.920 2.000 3.840.000
b. Upah pengikatan benih HOK 8 60.000 480.000
c. Upah pemanenan HOK 8 60.000 480.000
d. Upah pengeringan HOK 12 15.000 180.000
SUB TOTAL 4.980.000


B. Manfaat
Penjualan Hasil Panen Kering kg 2.375 4.000 9.500.000

1 unit = 2400 m
Pinjaman bank = Rp 10.000.000. dengan bunga 24% per tahun. selama 3 tahun
Periode panen tiap 3 bulan (4 musim per tahun)
















124
124
Lampiran 9:
Cash Flow Analisis Usaha Budidaya Rumput Laut Long Line (2400 m)
di Pesisir Kab.Kutai Timur (Rp/unit/th)
Komponen Tahun ke
0 1 2 3 4 5
1. INVESTASI
a. Perahu 12.000.000
SUB TOTAL 12.000.000

2. BIAYA TETAP/PERALATAN
a. Tali biang 10 mm 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000
b. Tali ris 7 mm 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000
c. Jerigen 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000 600.000
d. Para-para penjemuran 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000
e. Tali rafia 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000 300.000
f. Botol aqua 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000 80.000
g. Timbangan 150.000 150.000
h. Jangkar/patok kayu 300.000 300.000
SUB TOTAL 2.630.000 2.180.000 2.180.000 2.630.000 2.180.000 2.180.000
Penyusutan (5%) 131.500 109.000 109.000 131.500 109.000 109.000

3. BIAYA VARIABEL
a. Benih 15.360.000 15.360.000 15.360.000 15.360.000 15.360.000
b. Upah pengikatan benih 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000
c. Upah pemanenan 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000 1.920.000
d. Upah pengeringan 720.000 720.000 720.000 720.000 720.000
SUB TOTAL 19.920.000 19.920.000 19.920.000 19.920.000 19.920.000
Lain-lain (5%) 996.000 996.000 996.000 996.000 996.000
Angsuran bank 4.133.333 4.133.333 4.133.333

TOTAL BIAYA 14.761.500 27.338.333 27.338.333

27.810.833

23.205.000

23.205.000

4. PENERIMAAN
a. Pinjaman Bank 10.000.000
b. Penjualan Hasil Panen 38.000.000 38.000.000

38.000.000

38.000.000

38.000.000

TOTAL PENERIMAAN 38.000.000 38.000.000

38.000.000

38.000.000

38.000.000

NET BENEFIT ()

(14.761.500) 10.661.667 10.661.667

10.189.167

14.795.000

14.795.000

DF (12%) 1.00 0.89 0.80 0.71 0.64 0.57

R/C - 1.39 1.39 1.37 1.64 1.64
PV (14.761.500) 9.519.345 8.499.415 7.252.448 9.402.490 8.395.080
NPV 28.307.279
B/C 2.92
PBP 3.78







125
125
Lampiran 10:
RINCIAN ANGGARAN BIAYA BUDIDAYA KERAPU TIKUS
DALAM KARAMBA JARING TANCAP (Rp/unit/musim)
NO KOMPONEN SATUAN JUMLAH HARGA TOTAL
A. Biaya
1 Investasi
a. Rakit Karamba unit 1 25.000.000

25.000.000
b. Rumah jaga unit 1 5.000.000

5.000.000
c. Perahu unit 1 12.000.000

12.000.000
d. Tabung oksigen unit 1

4.000.000

4.000.000
SUB TOTAL

46.000.000

2 Biaya Tetap/Peralatan
a. Jaring m 4 1.000.000

4.000.000
b. Peralatan Tebar Benih unit

1 100.000

100.000
c. Peralatan Panen unit 1 200.000

200.000
d. Timbangan unit 1 350.000

350.000
SUB TOTAL

4.650.000


3 Biaya Variabel/modal kerja
a. benih kerapu ekor

1.200 8.000

9.600.000
b. pakan ikan rucah kg

4.800 5.000

24.000.000
c. Obat-obatan unit

1 500.000

500.000
d. Upah pemeliharaan HOK

240 20.000

4.800.000
SUB TOTAL

38.900.000


B. Manfaat
Penjualan Hasil Panen kg

420 230.000

96.600.000

1 unit = 144 m (4 lubang)
Pinjaman bank = Rp 50.000.000. dengan bunga 24% per tahun. selama 5 tahun
Periode panen tiap 15 bulan (0.8 musim per tahun)








126
126
Lampiran 11:
Cash Flow Analisis Usaha Budidaya Kerapu Tikus dalam Karamba Tancap (144 m)
di Pesisir Kabupaten Kutai Timur
Komponen Tahun ke
0 1 2 3 4 5
1. INVESTASI
a. Rakit Karamba 25.000.000.00
b. Rumah jaga 5.000.000.00
c. Perahu 12.000.000.00
d. Tabung oksigen 4.000.000.00
SUB TOTAL 46.000.000.00

2. BIAYA TETAP
a. Jaring 4.000.000.00 4.000.000.00
b. Peralatan Tebar
Benih 100.000.00 100.000.00
c. Peralatan Panen 200.000.00 200.000.00
d. Timbangan 350.000.00 350.000.00
SUB TOTAL 4.650.000.00 4.650.000.00
Penyusutan (5%)

232.500 232.500 232.500 232.500 232.500 232.500

3. BIAYA
VARIABEL
a. benih kerapu 7.680.000 7.680.000 7.680.000 7.680.000 7.680.000
b. pakan ikan rucah 19.200.000 19.200.000 19.200.000 19.200.000 19.200.000
c. Obat-obatan 400.000 400.000 400.000 400.000 400.000
d. Upah pemeliharaan 3.840.000 3.840.000 3.840.000 3.840.000 3.840.000
SUB TOTAL 31.120.000 31.120.000 31.120.000 31.120.000 31.120.000
Lain-lain (5%) 1.556.000 1.556.000 1.556.000 1.556.000 1.556.000
Angsuran bank 12.400.000 12.400.000 12.400.000 12.400.000 12.400.000

TOTAL BIAYA 50.882.500 45.308.500 45.308.500 49.958.500 45.308.500 45.308.500

4. PENERIMAAN
1. Pinjaman Bank 50.000.000
2. Ikan kerapu 77.280.000 77.280.000 77.280.000 77.280.000 77.280.000

TOTAL
PENERIMAAN 77.280.000 77.280.000 77.280.000 77.280.000 77.280.000

NET BENEFIT () (50.882.500) 31.971.500 31.971.500 27.321.500 31.971.500 31.971.500

DF (12%) 1.00 0.89 0.80 0.71 0.64 0.57

R/C - 1.71 1.71 1.55 1.71 1.71
PV

(50.882.500.00)

28.545.982.14

25.487.484.06

19.446.904.04

20.318.466.24

18.141.487.72
NPV

61.057.824.20
B/C 2.20
PBP 3.65



127
127
Lampiran 12:
Rincian Perhitungan Luas Efektif Lahan di Daratan dan di Perairan Pesisir
Kabupaten Kutai Timur

Luas wilayah penelitian di darat: 27.100,34282153 ha (100 %)
Luas wilayah penelitian di perairan: 27.502,75232874 ha (100 %)
Pola pemanfataan di darat (berdasarkan rencana pola pemanfaatan ruang RTRW Kab.
Kutai Timur tahun 2004)
o Hutan lindung mangrove: 22.008 ha (81.21 %)
o Wisata pantai: 184 ha (0.68 %)
o Pemukiman: 227 ha (0.84 %)
o Pertambangan: 600 ha (2.21 %)
o Dermaga pelabuhan. dan lain-lain: 168 ha (0.62 %)
+
23.187 ha (85.56%)
Luas Efektif Budidaya Tambak: 27.100,34 ha 23.187 ha = 3.913,34 ha (14.44 %)

Pola pemanfatan di perairan (berdasarkan asumsi-asumsi)
o Area perikanan tangkap (unit kapal ikan: 2.223 unit): 11.115 ha (40.41 %)
o Alur transportasi penumpang dan barang: 2.000 ha (7.27 %)
o Wisata bahari (luas terumbu karang): 1.280 ha (4.65 %)
o Kawasan konservasi: 5.500 ha (20 %)
o Kawasan penyangga: 2.750 ha (10 %)
o Kawasan pelabuhan: 200 ha (0.73 %)
o Ruang operasional budidaya: 1.000 ha (3.64 %)
+
23.845 ha (86.70%)
Luas untuk budidaya karamba dan rumput laut = 27.502.75 ha 23.845 ha
= 3.657.75 ha (13.30 %)
Luas Efektif untuk budidaya karamba tancap dan rumput laut masing-masing adalah
Luas Efektif Karamba Tancap = 11.24 % x 3.657.75 ha = 411.13 ha
Luas Efektif Rumput Laut = 88.76 % x 3.657.75 ha = 3.246.62 ha
Prosentase luas efektif untuk budidaya karamba tancap dan rumput laut diperoleh dari
luas kesesuaian lahan yang diperoleh dari analisis pada peta komposit, sebagai berikut:
Total Potensi karamba dan rumput laut = 10.714.48 ha
Potensi Karamba = 1.204.77 ha (11.24 % dari Total Potensi)
Potensi Rumput laut = 9.509.71 ha (88.76 % dari Total Potensi)



128
128
Lampiran 13:
KUISIONER SWOT
FAKTOR INTERNAL BUDIDAYA TAMBAK
FOKUS
PENGAMATAN
KEKUATAN
(STRENGTH)
KELEMAHAN
(WEAKNESS)
Sumberdaya alam/
Ekosistem pesisir

Sumberdaya manusia
(sosial. ekon. budaya)

Kelembagaan


Sarana
Prasarana/Investasi


Pemasaran


Kebijakan Pemerintah


Rencana Tata Ruang



FAKTOR EKSTERNAL BUDIDAYA TAMBAK
FOKUS
PENGAMATAN
PELUANG
(OPPORTUNITY)
ANCAMAN
(THREAT)
Sumberdaya alam/
Ekosistem pesisir

Sumberdaya manusia
(sosial. ekon. budaya)

Kelembagaan


Sarana
Prasarana/Investasi


Pemasaran


Kebijakan Pemerintah


Rencana Tata Ruang






129
129
FAKTOR INTERNAL BUDIDAYA KARAMBA PEN CAGE
FOKUS
PENGAMATAN
KEKUATAN
(STRENGTH)
KELEMAHAN
(WEAKNESS)
Sumberdaya alam/
Ekosistem pesisir

Sumberdaya manusia
(sosial. ekon. budaya)

Kelembagaan


Sarana
Prasarana/Investasi


Pemasaran


Kebijakan Pemerintah


Rencana Tata Ruang




FAKTOR EKSTERNAL KARAMBA PEN CAGE
FOKUS
PENGAMATAN
PELUANG
(OPPORTUNITY)
ANCAMAN
(THREAT)
Sumberdaya alam/
Ekosistem pesisir

Sumberdaya manusia
(sosial. ekon. budaya)

Kelembagaan


Sarana
Prasarana/Investasi


Pemasaran


Kebijakan Pemerintah


Rencana Tata Ruang







130
130
FAKTOR INTERNAL BUDIDAYA RUMPUT LAUT
FOKUS
PENGAMATAN
KEKUATAN
(STRENGTH)
KELEMAHAN
(WEAKNESS)
Sumberdaya alam/
Ekosistem pesisir

Sumberdaya manusia
(sosial. ekon. budaya)

Kelembagaan


Sarana
Prasarana/Investasi


Pemasaran


Kebijakan Pemerintah


Rencana Tata Ruang




FAKTOR EKSTERNAL BUDIDAYA RUMPUT LAUT
FOKUS
PENGAMATAN
PELUANG
(OPPORTUNITY)
ANCAMAN
(THREAT)
Sumberdaya alam/
Ekosistem pesisir

Sumberdaya manusia
(sosial. ekon. budaya)

Kelembagaan


Sarana
Prasarana/Investasi


Pemasaran


Kebijakan Pemerintah


Rencana Tata Ruang








131
131
Lampiran 14:

KUISIONER DATA NON GOVERNMENT STAKEHOLDER

Kota/Kabupaten : .. Tanggal :

Profil lembaga
Nama Lembaga :.
Nama Pimpinan :
1.
2....
Alamat : ...
...................
Telephone : ... Facsimile : ..........
E-mail :.
Tanggal berdiri :......
No. Akta (bila ada): ...

Struktur Organisasi:
Ada (terlampir) Tidak ada

Jenis organisasi :
Yayasan Ormas Orpol
Asosiasi CBO Koperasi
.

Tipe kegiatan :
Penelitian Advokasi Info-com
Pendanaan Pendidikan & lat. B. Kemanusiaan
...


Bidang kegiatan :
Pertanian Sosial Kebudayaan
Perburuhan Lingkungan hidup Ibu & anak
Ek. Masyarakat Gizi & makanan Industri
Tek. Tepat guna Masy. Adat Gender
Industri kecil Hak asasi manusi Ketrampilan
..
..


Wilayah Kegiatan:
Desa/Kel. Kab. Kota. Propinsi
Nasional Internasional

Sumber Dana:
Modal sendiri Iuran anggota Pemerintah
Donor Dlm. Neg. Donor LN Usaha sendiri
..
..






132
132
Mitra Kerja :

Instansi Pemerintah
No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan




LSM/ORNOP
No. Nama LSM/ORNOP Nama Program Waktu Keterangan




Lembaga Internasional
No. Nama Lembaga Int. Nama Program Waktu Keterangan




Masyarakat
No. Nama kelompok Nama Program Waktu Keterangan





Peran Dalam Perencanaan Partisipatif

1. Apa yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat dalam perencanaan
pembangunan?




2. Keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan bersama dalam masyarakat.
sering pernah tidak pernah
Penjelasan rinci:




3. Jika Anda pernah terlibat. dimana tingkat keterlibatannya:
Kelurahan Kab./kota Propinsi Nasional
Penjelasan rinci:




4. Bentuk keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan pembangunan
konsultasi persetujuan pelaksanaan





133
133
5. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan lembaga Anda dalam
pelaksanaan proyek/program?
memfasilitasi melatih mendampingi
mengawasi mengevaluasi


Penjelasan:




Perencanaan Yang Partisipatif

1. Pendapat mengenai sistem partisipasi masyarakat di wilayah Anda selama ini
sudah baik cukup baik tidak baik
Alasan:




2. Bila ada. apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat?




3. Pendapat tentang peran pemerintah sebagai fasilitator pembangunan:
sudah baik cukup baik tidak baik
Penjelasan:




4. Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan




5. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk sebuah forum dialog
pembangunan
perlu tidak perlu tidak tahu
mengapa:



6. Bila perlu. bentuk yang paling baik menurut anda adalah
forum dialog NGS & GS forum NGS saja tidak tahu
Penjelasan:



7. Bila perlu. siapa yang harus memfasilitasi pertemuan
pemda NGS . tidak tahu
Penjelasan:




134
134
Pengelolaan Sumberdaya Alam

1. Pilihlah salah satu/lebih dari sumberdaya pesisir berikut yang selama ini dimanfaatkan oleh
stakeholders (pelaku pembangunan) dalam kehidupannya
ekosistem mangrove ekosistem pantai ekosistem estuaria
ekosistem terumbu karang ekosistem lamun ..
Penjelasan:



2. Apakah kondisi sumberdaya pesisir tersebut saat ini dalam mendukung kehidupan stakeholder
atau masyarakat di sekitarnya
baik kurang mendukung tidak mendukung
Alasan:




3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut
.
.
.

4. Apakah konservasi sumberdaya pesisir pernah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan
dalam perencanaan pembangunan selama ini
sering pernah tidak pernah
Penjelasan:



5. Pendapat tentang perlunya mempertimbangkan masalah konservasi dalam perencanaan
pembangunan pesisir
perlu tidak perlu tidak tahu
Alasan:





Terima kasih















135
135
Lampiran 15:

KUISIONER DATA GOVERMENT STAKEHOLDER

Kota/Kabupaten : ..
Tanggal :

Profil lembaga
Nama Dinas/Inst.:
Nama Pimpinan:
1. .
2. .
Alamat :

Telephone : ... Facsimile :
E-mail : .

Struktur Organisasi :
Ada (terlampir) Tidak ada

Tipe kegiatan : .


Mitra Kerja :

Instansi Pemerintah
No. Nama Instansi Nama Program Waktu Keterangan




LSM/ORNOP
No. Nama LSM/ORNOP Nama Program Waktu Keterangan




Lembaga Internasional
No. Nama Lembaga Int. Nama Program Waktu Keterangan




Masyarakat
No. Nama kelompok Nama Program Waktu Keterangan











136
136
Peran Dalam Perencanaan Partisipatif

1. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang benar menurut
Anda apabila masyarakat
mengetahui ikut dalam setiap proses ada sosialisasi
ikut memilih dan menetapkan

Penjelasan:
.................................................................................................



2. Keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan bersama masyarakat.
sering pernah tidak pernah
Penjelasan:




3. Batas keterlibatan institusi Anda dalam perencanaan pembangunan
konsultasi persetujuan pelaksanaan
Penjelasan:



4. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan dinas/instansi dalam
pelaksanaan proyek/program?
memfasilitasi melatih mendampingi
memobilisasi mengawasi mengevaluasi


Penjelasan:




Perencanaan Yang Partisipatif

1. Pendapat mengenai mekanisme partisipasi masyarakat di wilayah Anda selama ini
sudah baik cukup baik tidak baik
Alasan:




2. Adakah hambatan pelaksanaan partisipasi pembangunan bersama
masyarakat?
ada tidak ada
Bila ada. apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat?








137
137
3 Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan




4. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk sebuah forum dialog
pembangunan
perlu tidak perlu tidak tahu
mengapa:




5. Bila perlu. bentuk yang paling baik menurut anda adalah:
forum dialog NGS & GS forum NGS saja tidak tahu
Penjelasan:




6. Bila perlu. siapa yang harus memfasilitasi pertemuan
pemda NGS tidak tahu
Penjelasan:





Pengelolaan Sumberdaya Alam

1. Pilihlah salah satu/lebih dari sumberdaya pesisir berikut yang terkait pengelolaannya dengan
stakeholders (pelaku pembangunan)
ekosistem mangrove ekosistem pantai ekosistem estuaria
ekosistem terumbu karang ekosistem lamun ..
Penjelasan:





2. Apakah kondisi sumberdaya pesisir tersebut saat ini mendukung masyarakat di sekitarnya
baik kurang mendukung tidak mendukung
Alasan:





3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir tersebut
.
.
.





138
138
4. Apakah konservasi sumberdaya pernah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam
perencanaan pembangunan selama ini
sering pernah tidak pernah
Penjelasan:




5. Pendapat tentang perlunya mempertimbangkan masalah konservasi dalam perencanaan
pembangunan pesisir
perlu tidak perlu tidak tahu
mengapa:







Terima kasih
































139
139
Lampiran 16:
KUISIONER PROSES HIERARKI ANALISIS (PHA)


1. Kuisioner perbandingan antar kriteria:
Tujuan
Tujuan
Peningkatan
Ekonomi
Penurunan
Konflik Sosial
Kelestarian
SDA dan
Lingkungan
Peningkatan Ekonomi 1
Penurunan Konflik 1
Kelestarian SDA dan
Lingkungan
1

2. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria Peningkatan Ekonomi
Sub Kriteria
Sub Kriteria

Peningkatan
PAD
Peningkatan
kesejahteraan
Penyerapan TK dan
kesempatan berusaha
Peningkatan PAD 1
Peningkatan
Pendapatan Masyarakat
1
Penyerapan TK dan
kesempatan berusaha
1

3. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria Penurunan Konflik Sosial
Sub Kriteria
Sub Kriteria
Konflik antar Pelaku Konflik antar Ruang
Konflik antar Pelaku 1
Konflik antar Ruang 1

4. Kuisioner perbandingan antar sub-kriteria pada kriteria Kelestarian SDA dan
Lingkungan
Sub Kriteria
Sub Kriteria

Renewable
resources
Unrenewable
resources
Jasling laut
Renewable resources 1
Unrenewableresources 1
Jasling laut 1



140
140
5. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Peningkatan
PAD
Alternatif Kegiatan
Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut
Bd Tambak 1
Bd Karamba 1
Bd Rumput Laut 1


6. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Peningkatan
Pendapatan Masyarakat
Alternatif Kegiatan
Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut
Bd Tambak 1
Bd Karamba 1
Bd Rumput Laut 1

7. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Perluasan
Kesempatan Kerja dan Kesempatan Berusaha
Alternatif Kegiatan
Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut
Bd Tambak 1
Bd Karamba 1
Bd Rumput Laut 1

8. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Penurunan
Konflik antar Pelaku
Alternatif Kegiatan
Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut
Bd Tambak 1
Bd Karamba 1
Bd Rumput Laut 1





141
141
9. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Penurunan
Konflik antar Ruang
Alternatif Kegiatan
Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut
Bd Tambak 1
Bd Karamba 1
Bd Rumput Laut 1

10. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Pemanfaatan
SDA dapat pulih (renewable resources)
Alternatif Kegiatan
Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut
Bd Tambak 1
Bd Karamba 1
Bd Rumput Laut 1


11. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Pemanfaatan
SDA Tidak Pulih (unrenewable resources)
Alternatif Kegiatan
Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut
Bd Tambak 1
Bd Karamba 1
Bd Rumput Laut 1

12. Kuisioner perbandingan antar alternatif kegiatan pada sub kriteria Pemanfaatan
Jasa-jasa Lingkungan
Alternatif Kegiatan
Alternatif Kegiatan

Bd Tambak Bd Karamba Bd Rumput Laut
Bd Tambak 1
Bd Karamba 1
Bd Rumput Laut 1





142
142
Lampiran 17: PETA-PETA TEMATIK















































#
#
#
#
#
##
#
#
#
# ##
##
##
##
##
## ##
# #
#
#
#
#
#
#
#
Tl.Pandan
Tl.Kabak
Tl.Lombok
Tg.Sangatta
Tg.Bara
Muarabengalon Muarabengalon
P.Birahbirahan
P.Miang Besar
P.Miang Kecil
Labuhankelambu Sekerat Sekerat
Bualbual Bualbual
Kaliorang
Kaliorang
Susuk Luar Susuk Luar
Tanjungmanis Tanjungmanis
Susuk Dalam Susuk Dalam Maloy Maloy
Tg. Pagar Tg. Labuhanbini
Tg.Mangkalihat
Teluk Nepa
Sangatta
Sangkulirang
Bengalon
Sandaran
SELAT MAKASSAR
0

1
5
'0

1
5
'
0

3
0
'0

3
0
'
0

4
5
'0

4
5
'
1

0
0
'1

0
0
'
11730'
11730'
11745'
11745'
11800'
11800'
11815'
11815'
11830'
11830'
11845'
11845'
11900'
11900'
118
118
119
119
1
1
0 10 Kilometers
N
INZET LOKASI PENELITIAN
PULAU KALIMANTAN
Sumber Peta:
1. Peta RBI Bakosurtanal 1992
skala 1:250.000
2. Peta Alur Laut Dishidros TNI ALNo .37,
1992, skala 1:200.0000
3. Peta Sumberdaya Laut Kaltim
LIPI, 2001, skala1:1.000.000
LEGENDA:
Bengalon
Kaliorang
Sandaran
Sangatta
Sangkulirang
Permukiman
# Kota
Sungai
Pola Arus
PETA TEMATIK ARUS KAB. KUTAI TIMUR
Kab. Berau
#
#
#
#
#
##
#
#
#
# ##
##
##
##
##
## ##
# #
#
#
#
#
#
#
#
Tl.Pandan
Tl.Kabak
Tl.Lombok
Tg.Sangatta
Tg.Bara
Muarabengalon Muarabengalon
P.Birahbirahan
P.Miang Besar
P.Miang Kecil
Labuhankelambu Sekerat Sekerat
Bualbual Bualbual
Kaliorang
Kaliorang
Susuk Luar Susuk Luar
Tanjungmanis Tanjungmanis
Susuk Dalam Susuk Dalam Maloy Maloy
Tg. Pagar Tg. Labuhanbini
Tg.Mang
Teluk Nepa
Sangatta
Sangkulirang
Bengalon
Sandaran
SELAT MAKASSAR
Bengalon
Kaliorang
Sandaran
Sangatta
Sangkulirang
Kab. Berau
LEGENDA:
Sumber Peta:
1. Peta RBI Bakosurtanal 1992
skala 1:250.000
2. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,
1992, skala 1:200.0000
2. Peta Tematik Proyek MCRMP Kab. Kutim
2005, skala 1:50.000
PULAU KALIMANTAN
INZET LOKASI PENELITIAN
N
0 10 Kilometers
# Kota
Sungai
Garis_pantai
kedalaman
PETA TEMATIK BATHYMETRI KAB. KUTAI TIMUR
0

1
5
'0

1
5
'
0

3
0
'0

3
0
'
0

4
5
'0

4
5
'
1

0
0
'1

0
0
'
11730'
11730'
11745'
11745'
11800'
11800'
11815'
11815'
11830'
11830'
11845'
11845'
11900'
11900'
118
118
119
119
1
1
<2 atau >40m
2-<3 atau >15-40 m
3-15 m


143
143
















































#
#
#
#
#
##
#
#
#
# ##
##
##
##
##
## ##
# #
#
#
#
#
#
#
#
Tl.Pandan
Tl.Kabak
Tl.Lombok
Tg.Sangatta
Tg.Bara
Muarabengalon Muarabengalon
P.Birahbirahan
P.Miang Besar
P.Miang Kecil
Labuhankelambu
Sekerat Sekerat
Bualbual Bualbual
Kaliorang
Susuk Luar Susuk Luar
Tanjungmanis Tanjungmanis
Susuk Dalam Susuk Dalam Maloy Maloy
Tg. Pagar Tg. Labuhanbini
Tg.Mangk
Teluk Nepa
Sangatta
Sangkulirang
Bengalon
Sandaran
SELAT MAKASSAR
Bengalon
Kaliorang
Sandaran
Sangatta
Sangkulirang
LEGENDA:
PULAU KALIMANTAN
INZET LOKASI PENELITIAN
PETA TEMATIK SALINITAS KAB. KUTAI TIMUR
N
0 10 Kilometers
0

1
5
'0

1
5
'
0

3
0
'0

3
0
'
0

4
5
'0

4
5
'
1

0
0
'1

0
0
'
11730'
11730'
11745'
11745'
11800'
11800'
11815'
11815'
11830'
11830'
11845'
11845'
11900'
11900'
118
118
119
119
1
1
Sumber Peta:
1. Peta RBI Bakosurtanal 1992
skala 1:250.000
2. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,
1992, skala 1:200.0000
2. Peta Tematik Proyek MCRMP Kab. Kutim
2005, skala 1:50.000
Salinitas
< 30
>30 -- 31
>31 -- 32
>32 -- 33
>33 -- 34
>34 -- 35 Kab. Berau
#
#
#
#
#
##
#
#
#
# ##
##
##
##
##
## ##
# #
#
#
#
#
#
#
#
Tl.Pandan
Tl.Kabak
Tl.Lombok
Tg.Sangatta
Tg.Bara
Muarabengalon Muarabengalon
P.Birahbirahan
P.Miang Besar
P.Miang Kecil
Labuhankelambu
Sekerat
Bualbual Bualbual
Kaliorang
Susuk Luar Susuk Luar
Tanjungmanis Tanjungmanis
Susuk Dalam Susuk Dalam Maloy Maloy
Tg. Pagar Tg. Labuhanbini
Tg.Mangkaliha
Teluk Nepa
Sangatta
Sangkulirang
Bengalon
Sandaran
SELAT MAKASSAR
Sekerat
Bengalon
Kaliorang
Sandaran
Sangatta
Sangkulirang
LEGENDA:
Sumber Peta:
1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,
1992, skala 1:200.0000
2. Peta RBI Bakosurtanal, 1992
skala 1:250.000
3. Survey Lapangan
PETA TEMATIK KETERLINDUNGAN PERAIRAN KAB. KUTAI TIMUR
N
0 10 Kilometers
0

1
5
'0

1
5
'
0

3
0
'0

3
0
'
0

4
5
'0

4
5
'
1

0
0
'1

0
0
'
11730'
11730'
11745'
11745'
11800'
11800'
11815'
11815'
11830'
11830'
11845'
11845'
11900'
11900'
118
118
119
119
1
1
# Kota
Sungai
Garis_pantai
Keterlindungan
sangat terlindung
terbuka
terlindung
INZET LOKASI PENELITIAN
PULAU KALIMANTAN
Kab. Berau


144
144
















































#
#
#
#
#
# #
#
#
#
# # #
# #
# #
# #
# #
# # # #
# #
#
#
#
#
#
#
#
Tl.Pandan
Tl.Kabak
Tl.Lombok
Tg.Sangatta
Tg.Bara
Muarabengalon Muarabengalon
P.Birahbirahan
P.Miang Besar
P.Miang Kecil
Labuhankelambu Sekerat Sekerat
Bualbual Bualbual
Kaliorang
Kaliorang
Susuk Luar Susuk Luar
Tanjungmanis Tanjungmanis
Susuk Dalam Susuk Dalam Maloy Maloy
Tg. Pagar Tg. Labuhanbini
Tg.Mangkalihat
Teluk Nepa
Sangatta
Sangkulirang
Bengalon
Sandaran
SELAT MAKASSAR
Bengalon
Kaliorang
Sandaran
Sangatta
Sangkulirang
Kab. Berau
LEGENDA:
Sumber Peta:
1. Peta Alur Laut DishidrosTNI AL No .37,
1992, skala 1:200.0000
2. Peta Tematik ProyekMCRMP Kab. Kutim
2005, skala 1:50.000
PETA TEMATIK KECERAHAN PESISIR KAB. KUTAI TIMUR
N
0 10 Kilometers
0

1
5
'0

1
5
'
0

3
0
'0

3
0
'
0

4
5
'0

4
5
'
1

0
0
'1

0
0
'
11730'
11730'
11745'
11745'
11800'
11800'
11815'
11815'
11830'
11830'
11845'
11845'
11900'
11900'
118
118
119
119
1
1
Kecerahan
100%
90%
85%
70%
60%
PULAU KALIMANTAN
INZET LOKASI PENELITIAN
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
# # #
# #
# #
# #
# #
# # # #
# #
#
#
#
#
#
#
#
Tl.Pandan
Tl.Kabak
Tl.Lombok
Tg.Sangatta
Tg.Bara
Muarabengalon Muarabengalon
P.Birahbirahan
P.Miang Besar
P.Miang Kecil
Labuhankelambu Sekerat Sekerat
Bualbual Bualbual
Kaliorang
Kaliorang
Susuk Luar Susuk Luar
Tanjungmanis Tanjungmanis
Susuk Dalam Susuk Dalam Maloy Maloy
Tg. Pagar Tg. Labuhanbini
Tg.Mang
Teluk Nepa
Sangatta
Sangkulirang
Bengalon
Sandaran
SELAT MAKASSAR
Bengalon
Kaliorang
Sandaran
Sangatta
Sangkulirang
LEGENDA:
Sumber Peta:
1. Peta Alur Laut DishidrosTNI AL No.37,
1992, skala 1:200.0000
2. Peta Tematik ProyekMCRMP Kab. Kutim
2005, skala 1:50.000
PULAU KALIMANTAN
INZET LOKASI PENELITIAN
PETA TEMATIK DISSOLVED OKSIGEN KAB. KUTAI TIMUR
N
0 10 Kilometers
0

1
5
'0

1
5
'
0

3
0
'0

3
0
'
0

4
5
'0

4
5
'
1

0
0
'1

0
0
'
11730'
11730'
11745'
11745'
11800'
11800'
11815'
11815'
11830'
11830'
11845'
11845'
11900'
11900'
118
118
119
119
1
1
# Kota
Sungai
Garis_pantai
DISSOLVED OKSIGEN
< 4
4 -- 4,5
>4,5 -- 5
>5 -- 5,5
Kab. Berau


145
145
















































PULAU KALIMANTAN
INZET LOKASI PENELITIAN
0 10 Kilometers
N
PETA TEMATIK TERUMBU KARANG KAB. KUTAI TIMUR
Sumber Peta:
1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,
1992, skala 1:200.0000
2. Peta RBI Bakosurtanal, 1992
skala 1:250.000
3. Survey Lapangan
LEGENDA:
Bengalon
Kaliorang
Sandaran
Sangatta
Sangkulirang
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
# # #
# #
# #
# #
# #
# # # #
# #
#
#
#
#
#
#
#
Tl.Pandan
Tl.Kabak
Tl.Lombok
Tg.Sangatta
Tg.Bara
Muarabengalon Muarabengalon
P.Birahbirahan
P.Miang Besar
P.Miang Kecil
Labuhankelambu
Sekerat
Bualbual Bualbual
Kaliorang
Susuk Luar Susuk Luar
Tanjungmanis Tanjungmanis
Susuk Dalam Susuk Dalam Maloy Maloy
Tg. Pagar Tg. Labuhanbini
Tg.Mangkalihat
Teluk Nepa
Sangatta
Sangkulirang
Bengalon
Sandaran
SELAT MAKASSAR
0

1
5
'0

1
5
'
0

3
0
'0

3
0
'
0

4
5
'0

4
5
'
1

0
0
'1

0
0
'
11730'
11730'
11745'
11745'
11800'
11800'
11815'
11815'
11830'
11830'
11845'
11845'
11900'
11900'
118
118
119
119
1
1
# Kota
Sungai
Garis_pantai
Terumbu Karang
Kab. Berau
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
# # #
# #
# #
# #
# #
# # # #
# #
#
#
#
#
#
#
#
Tl.Pandan
Tl.Kabak
Tl.Lombok
Tg.Sangatta
Tg.Bara
Muarabengalon Muarabengalon
P.Birahbirahan
P.Miang Besar
P.Miang Kecil
Labuhankelambu
Sekerat Sekerat
Bualbual Bualbual
Kaliorang
Kaliorang
Susuk Luar Susuk Luar
Tanjungmanis Tanjungmanis
Susuk Dalam Susuk Dalam Maloy Maloy
Tg. Pagar Tg. Labuhanbini
Tg.Mangkalihat
Teluk Nepa
Sangatta
Sangkulirang
Bengalon
Sandaran
SELAT MAKASSAR
0

0
0
'0

0
0
'
0

1
5
'0

1
5
'
0

3
0
'0

3
0
'
0

4
5
'0

4
5
'
1

0
0
'1

0
0
'
1

1
5
'1

1
5
'
11730'
11730'
11745'
11745'
11800'
11800'
11815'
11815'
11830'
11830'
11845'
11845'
11900'
11900'
118
118
119
119
0
0
1
1
PULAU KALIMANTAN
INZET LOKASI PENELITIAN
# Kota
Sungai
Garis_pantai
0 10 Kilometers
N
PETA TEMATIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN KAB. KUTAI TIMUR
Sumber Peta:
1. Peta Alur Laut Dishidros TNI AL No .37,
1992, skala 1:200.0000
2. Peta RBI Bakosurtanal, 1992
skala 1:250.000
3. Survey Lapangan
4. Olah Data Citra
Bengalon
Kaliorang
Sandaran
Sangatta
Sangkulirang
Substrat_Dasar_Perairan
lumpur
pasir karang
pasir lumpur
LEGENDA:
Kab. Berau


146
146
















































Bengalon
Kaliorang
Sandaran
Sangatta
Sangkulirang
Kab. Berau
LEGENDA:
Sumber Peta:
1. Peta RBI Bakosurtanal 1992
skala 1:250.0000
2. Peta Jenis Tanah Puslitanag
2001, skala 1:250.000
PULAU KALIMANTAN
INZET LOKASI PENELITIAN
PETA TEMATIK CURAH HUJAN KAB. KUTAI TIMUR
Curah_hujan
1600 - 2100
1600 - 2700
1600 - 3900
1600 - 4100
1600 - 4200
1600 - 4400
1800 - 4200
1800 - 4400
0 10 Kilometers
N
#
#
#
#
#
##
#
#
#
# ##
##
##
##
##
## ##
# #
#
#
#
#
#
#
#
Tl.Pandan
Tl.Kabak
Tl.Lombok
Tg.Sangatta
Tg.Bara
Muarabengalon Muarabengalon
P.Birahbirahan
P.Miang Besar
P.Miang Kecil
Labuhankelambu Sekerat Sekerat
Bualbual Bualbual
Kaliorang
Kaliorang
Susuk Luar Susuk Luar
Tanjungmanis Tanjungmanis
Susuk Dalam Susuk Dalam Maloy Maloy
Tg. Pagar Tg. Labuhanbini
Tg.Mangk
Teluk Nepa
Sangatta
Sangkulirang
Bengalon
Sandaran
SELAT MAKASSAR
0

1
5
'0

1
5
'
0

3
0
'0

3
0
'
0

4
5
'0

4
5
'
1

0
0
'1

0
0
'
11730'
11730'
11745'
11745'
11800'
11800'
11815'
11815'
11830'
11830'
11845'
11845'
11900'
11900'
118
118
119
119
1
1
#
#
#
#
#
##
#
#
#
# ##
##
##
# #
# #
# # ##
# #
#
#
#
#
#
#
#
Tl.Pandan
Tl.Kabak
Tl.Lombok
Tg.Sangatta
Tg.Bara
Muarabengalon Muarabengalon
P.Birahbirahan
P.Miang Besar
P.Miang Kecil
Labuhankelambu Sekerat Sekerat
Bualbual Bualbual
Kaliorang
Kaliorang
Susuk Luar Susuk Luar
Tanjungmanis Tanjungmanis
Susuk Dalam Susuk Dalam Maloy Maloy
Tg. Pagar Tg. Labuhanbini
Tg.Mangkaliha
Teluk Nepa
Sangatta
Sangkulirang
Bengalon
Sandaran
SELAT MAKASSAR
0

1
5
'0

1
5
'
0

3
0
'0

3
0
'
0

4
5
'0

4
5
'
1

0
0
'1

0
0
'
11730'
11730'
11745'
11745'
11800'
11800'
11815'
11815'
11830'
11830'
11845'
11845'
11900'
11900'
118
118
119
119
1
1
N
0 10 Kilometers
PETA TEMATIK JENIS TANAH KAB. KUTAI TIMUR
INZET LOKASI PENELITIAN
PULAU KALIMANTAN
Sumber Peta:
1. Peta RBI Bakosurtanal 1992
skala 1:250.0000
2. Peta Jenis Tanah Puslitanag
2001, skala 1:250.000
LEGENDA:
Sangkulirang
Sangatta
Sandaran
Kaliorang
Bengalon
Fluvaquent
Hydraquent
Rendolls
Tropaquept
Tropotolis
Tropudults
Dystropept
Jenis Tanah:


147
147
Lampiran 18:
Dokumentasi
























































Mangrove di lokasi tambak Sangkulirang











Vegetasi cemara laut










Mangrove di Sangkimah










Pantai di lokasi tambak Bengalon










Ekosistem Lamun










Ekosistem pasir putih










Bagan penangkapan ikan










TPI di Muara S. Kenyamukan


148
148


























































Vegetasi kelapa di Teluk Lombok











Karamba di Tanjung Bara










Kondisi Tambak Bengalon










Mangrove Teluk Lombok










Bulu babi










Karamba apung dengan drum










Karamba tancap di Teluk Lombok










Rumput Laut

Anda mungkin juga menyukai