Anda di halaman 1dari 8

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji kita ucapkan kepada Sang Maha Pencipta yang telah
memberikan rahmat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah
yang berkaitan dengan hukum Euthanasia.
Namun dalam proses pembuatan makalah ini, kami sangat menyadari akan banyaknya
kekurangan dan masih sangat butuh masukan-masukan dari setiap pembaca.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritis dan saran dalam pembuatan
makalah ini agar kedepan nanti jika kami membuat makalah lagi, banyak kesempurnaan
terkait dengan evaluasi dari kritik dan saran dari pembaca.










Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Garpu tala adalah alat yang berbentuk seperti garpu bergigi dua (atau berbentuk huruf
y) dan beresonansi pada frekuensi tertentu bila dihentakkan pada suatu benda. Garpu tala
hanya bergetar pada satu frekuensi, misalnya nada a' dengan frekuensi 440 Hertz. Karena
frekuensi ini tetap, garpu tala biasanya digunakan untuk menala alat musik lain,
seperti gitar dan piano. Garpu tala dapat memuai jika panas dan menyusut jika dingin
sehingga memengaruhi frekuensi yang dihasilkan tidak tandar lagi. Pada garpu tala yang
berkualitas baik tidak akan mudah menyusut atau memuai sehingga frekuensi yang dihasilkan
tetap standar.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Pengertian Garputala.
1.2.2 fungsi Garputala.

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengerti pengertian Garputala.
1.3.2 Untuk mengerti fungsi Garputala.















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Garputala
Garpu tala adalah alat yang berbentuk seperti garpu bergigi dua (atau berbentuk huruf
y) dan beresonansi pada frekuensi tertentu bila dihentakkan pada suatu benda. Garpu tala
hanya bergetar pada satu frekuensi, misalnya nada a' dengan frekuensi 440 Hertz. Karena
frekuensi ini tetap, garpu tala biasanya digunakan untuk menala alat musik lain,
seperti gitar dan piano. Garpu tala dapat memuai jika panas dan menyusut jika dingin
sehingga memengaruhi frekuensi yang dihasilkan tidak tandar lagi. Pada garpu tala yang
berkualitas baik tidak akan mudah menyusut atau memuai sehingga frekuensi yang dihasilkan
tetap standar. Pada tes kesehatan Garputala memiliki 4 jenis tes garpu tala yang sering
dilakukan :
2.1.1 Tes batas atas dan batas bawah.
2.1.1.1 Tujuan
Menentukan frekwensi garpu tala yang dapat di dengar penderita
melewati hantaran udara bila dibunyikan pada intensitas ambang normal.
2.1.1.2 Cara
Semua garpu tala (dapat dimlai dari frekwensi terendah berurutan
sampai frekwensi tertinggi/sebaliknya) dibunyikan satu persatu, dengan cara
dipegang tangkainya kemudian kedua ujung kakinya dibunyikan dengan
lunak (dipetik dengan ujung jari/kuku, didengarkan terlebih dulu oleh
pemeriksa sampai bunyi hampir hilang untuk mencapai intensitas bunyi yang
terendah bagi orang normal/nilai ambang normal), kemudian diperdengarkan
pada penderita dengan meletakkan garpu tala di dekat MAE pada jarak 1-2
cm dalam posisi tegak dan 2 kaki pada garis yang menghubungkan MAE
kanan dan kiri.
2.1.1.3 Interpretasi
Normal : mendengar garpu tala pada semua frekwensi.
Tuli konduksi : batas bawah naik (frekwensi rendah tak terdengar).
Tuli sensori neural : batas atas turun (frekwnsi tinggi tak terdengar).
2.1.1.4 Kesalahan
Garpu tala dibunyikan terlalu keras sehingga tidak dapat mendeteksi
pada frekuensi mana penderita tak mendengar.

2.1.2 Tes Rinne
2.1.2.1 Tujuan
Membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang pada satu
telinga penderita.
2.1.2.2 Cara
Bunyikan garpu tala frekwensi 512 Hz, letakkan tangkainya tegak
lurus pada planum mastoid penderita (posterior dari MAE) sampai penderita
tak mendengar, kemudian cepat pindahkan ke depan MAE penderita. Apabila
penderita masih mendengar garpu tala di depan MAE desebut Rinne positif,
bila tidak mendengar disebut Rinne negatif.
Bunyikan garpu tala frekwensi 512 Hz, kemudian dipancangkan pada planum
mastoid, kemudian segera dipindah di depan MAE, penderita ditanya mana
yang lebih keras. Bila lebih keras di depan disebut Rinne positif, bila lebih
keras di belakang Rinne negatif.
2.1.2.3 Interpretasi
Normal : Rinne positif (mendengar).
Tuli konduksi : Rinne negatif (tidak mendengar).
Tuli sensori neural : Rinne posotof (dengar).
Kadang-kadang terjadi false Rinne (pseudo positif atau pseudo
negatif) terjadi bila stimulus bunyi ditangkap oleh telinga yang tidak di tes,
hal ini dapat terjadi bila telinga yang tidak dites pendengarannya jauh lebih
baik daripada yang di tes.
2.1.2.4 Kesalahan
Garpu tala tidak diletakkan dengan baik pada mastoid atau miring,
terkena rambut, jaringan lemak tebal shg penderita tidak mendengar atau
getaran terhenti karena kaki garpu tala tersentuh aurikulum.
Penderita terlambat memberi isyarat waktu garpu tala sudah tak terdengar
lagi, shg waktu dipindahkan di depan MAE getaran garpu tala sudah berhenti
2.1.3 Tes Weber
2.1.3.1 Tujuan
Membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita.


2.1.3.2 Cara
Garpu tala frekwensi 512 Hz dibunyikan, kemudian tangkainya
diletakkan tegak lurus di garis median, biasanya di dahi (dapat pula pada
vertex, dagu atau pada gigi insisivus) dengan kedua kaki pada garis
horizontal. Penderita diminta untuk menunjukkan telinga mana yang
mendengar atau mendengar lebih keras. Bila mendengar pada satu telinga
disebut lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Bila kedua telinga tak mendengar
atau sama-sama mendengar bararti tak ada lateralisasi.
2.1.3.3 Interpretasi
Normal : tidak ada lateralisasi
Tuli konduksi : mendengar lebih keras di telinga yang sakit.
Tuli sensori neural : mendengar lebih keras pada telinga yang sehat.
Karena menilai kedua telinga sekaligus maka kemungkinannya
dapat lebih dari satu.
2.1.3.4 Contoh lateralisasi ke kanan, dapat di interpretasikan:
2.1.3.4.1 Tuli konduksi kanan, telinga kiri normal.
2.1.3.4.2 Tuli konduksi kanan dan kiri, tetapi kanan lebih berat.
2.1.3.4.3 Tuli sensori neural kiri, telinga kanan normal.
2.1.3.4.4 Tuli sensori neural kanan dan kiri, tetapi kiri lebih berat.
2.1.3.4.5 Tuli konduksi kanan dan sensori neural kiri.
2.1.4 Tes Schwabach
2.1.4.1 Tujuan
Membandingkan hantaran lewat tulang antara penderita dengan
pemeriksa.
2.1.4.2 Cara
Garpu tala frekwensi 512 Hz dibunyikan kemudian tangkainya
diletakkan tegak lurus pada mastoid pemeriksa, bila pemeriksa sudah tidak
mendengar, secepatnya garpu tala dipindahkan ke mastoid penderita. Bila
penderita masih mendengar maka Schwabach memanjang, tetapi bila
penderita tidak mendengar, terdapat dua kemungkinan yaitu Schwabach
memendek atau normal.
Untuk membedakan kedua kemungkinan ini maka tes dibalik, yaitu
tes pada penderita dulu baru ke pemeriksa.
Garpu tala 512 Hz dibunyikan kemudian diletakkan tegak lurus pada
mastoid penderita, bila penderita sudah tidak mendengar maka secepatnya
garpu tala dipindahkan pada mastoid pemeriksa, bila pemeriksa tidak
mendengar berarti sama-sama normal, bila pemeriksa masih mendengar
berarti Schwabach penderita memendek.
2.1.4.3 Interpretasi
Normal : Schwabach normal
Pada tuli konduksi : Schwabach memanjang.
Pada tuli sensori neural : Schwabach memendek
2.1.4.4 Kesalahan Uji/Test bisa dikarenakan:
Garpu tala tidak tegak dengan baik, kaki garpu tala tersentuh
sehingga bunyi menghilang dan Isyarat menghilangnya bunyi tidak segera
diberitahukan oleh pasi.


















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Garpu tala adalah alat yang berbentuk seperti garpu bergigi dua (atau berbentuk huruf
y) dan beresonansi pada frekuensi tertentu bila dihentakkan pada suatu benda. Garpu tala
hanya bergetar pada satu frekuensi, misalnya nada a' dengan frekuensi 440 Hertz. Karena
frekuensi ini tetap, garpu tala biasanya digunakan untuk menala alat musik lain,
seperti gitar dan piano. Garpu tala dapat memuai jika panas dan menyusut jika dingin
sehingga memengaruhi frekuensi yang dihasilkan tidak tandar lagi. Pada garpu tala yang
berkualitas baik tidak akan mudah menyusut atau memuai sehingga frekuensi yang dihasilkan
tetap standar. Pada tes kesehatan Garputala memiliki 4 jenis tes garpu tala yang sering
dilakukan :
1. Tes batas atas dan batas bawah.
2. Tes Rinne
3. Tes Weber
4. Tes Schwabach
















DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri Herawati,
Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok.
Jakarta : EGC. 2000

Anda mungkin juga menyukai