Anda di halaman 1dari 11

Gastroesophageal Reflux disease (GERD) adalah suatu kondisi dimana cairan lambung

mengalami refluks ke esofagus sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar,
nyeri di dada, regurgitasi dan komplikasi. GERD merupakan penyakit kronik yang
memerlukan pengobatan jangka panjang sehingga berdampak terhadap penurunan
produktivitas, kualitas hidup. Anamnesis gejala klinis tipikal, adanya faktor risiko dan
test PPI dapat menegakkan diagnosis GERD lebih dini sehingga komplikasi dapat
dicegah. Penatalaksanaan GERD dapat berupa pengobatan non farmakologis seperti
mengubah gaya hidup diperlukan dalam penatalaksanaan pasien. Penggunaan PPI
diperlukan untuk mengurangi gejala refluks. Untuk pasien yang sudah lanjut
mengalami komplikasi penggunaan PPI setiap hari diperlukan.

Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu kondisi di mana cairan lambung
mengalami refluks ke esofagus sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar,
nyeri di dada, regurgitasi dan komplikasi. GERD merupakan penyakit kronik yang
memerlukan pengobatan jangka panjang sehingga berdampak terhadap penurunan
produktivitas, kualitas hidup. Suatu studi kohort di Argentina dari 4000 kasus GERD
dilaporkan adanya peningkatan insiden striktur, asma, batuk kronis, fibrosis paru,
laringitis dan metaplasi esofagus. Esofagus Barretts adalah bentuk metaplasi yang
merupakan komplikasi lanjut penyakit GERD.
Penderita GERD hampir separuh penduduk dunia. Di negara Barat GERD merupakan
penyakit di mana pasien sering meminta pertolongan. Menurut data di Amerika Serikat
diperkirakan 7% dari populasi menderita heart burn tiap hari, 14% tiap minggu.
Prevalensi GERD di negara Barat sekitar 20-40% dari populasi. Studi lain mengatakan
prevalensi GERD 19,4%. Sedangkan di Asia prevalensi GERD lebih rendah.
Keluhan heart burn dan regurgitasi adalah gejala klasik GERD. Tetapi gejala heart burn
tidak timbul bahkan pada kasus yang menimbulkan komplikasi Esofagus Barretts dan
adenokarsinoma esofagus tidak menimbulkan gejala heart burn lagi. Lebih lanjut
beberapa pasien gejala GERD tidak khas sehingga tidak dapat dijadikan pegangan
untuk menegakkan diagnosis.
Patofisiologi GERD
Ada beberapa faktor yang berperan untuk terjadinya GERD, yaitu:
1. Mekanisme antirefluks.
2. Kandungan cairan lambung.
3. Mekanisme bersihan oleh esofagus.
4. Resistensi sel epitel esofagus.
5. Infeksi Helicobacter pylori.
1. Mekanisme antirefluks
Spingter Esofagus Bawah (SEB)
Keadaan normal terdapat perbedaan tekanan antara abdomen dan thorak. Di mana
tekanan intraabdomen lebih tinggi. Keadaan ini membuat kecenderungan terjadinya
refluks cairan lambung ke esofagus. Spingter esofagus bawah adalah pertahanan yang
pertama untuk mencagah refluks. Bila spingter tidak ada maka akan terjadi refluks
terus-menerus. Terdapat otot sirkuler pada esofagus bagian bawah sepanjang 1-3,5 cm
yang mempertahankan tekanan sebesar 10-45 mmHg lebih tinggi dari tekanan dari
lambung untuk mencegah refluks. Meskipun otot SEB tidak dapat dibedakan dengan
otot esofagus yang lain, tapi otot SEB dapat dibedakan dari fungsinya yang khas. Otot
SEB secara spontan tekanan meningkat dan relaksasi berdasarkan stimulasi elektrik.
Ada beberapa keadaaan yang membuat SEB terganggu, yaitu:
a. Kelemahan otot SEB. Ketika tekanan otot SEB mendekati nol, SEB tidak efektif
mencegah refluks. Keadaan ini tidak biasa pada orang normal. Penelitian yang
dilakukan oleh Kahrilas dan Gupta rokok adalah salah satu yang membuat kelemahan
otot SEB. Di kepustakaan dikatakan GERD yang berat disebabkan oleh karena
kelemahan otot SEB.
b. Respon tonus otot SEB yang kurang. Keadaan ini terjadi pada saat pasien batuk dan
bersin. Oleh karena otot SEB yang tidak respon terhadap peningkatan tekanan
abdomen, maka terjadi refluks.
c. Relaksasi otot SEB yang menetap. Mekanisme ini paling penting terhadap kejadian
refluks. Dalam keadaan normal, peristaltik esofagus dirangsang oleh proses menelan.
Kemudian esofagus relaksasi selama 3-10 detik mengikuti bolus makanan yang mulai
masuk ke lambung. Bila makanan sudah masuk ke lambung dan relaksasi berlangsung
lebih lama lebih dari 45 detik di mana tekanan mendekati 0, maka terjadi refluks.
Fenomena ini dapat menjelaskan pada pasien yang mengalami gangguan kelemahan
otot yang sering mengalami refluks.Secara fisiologi normal, relaksasi terjadi
karena adanya rangsangan bolus makanan yang akan memasuki lambung
seperti penjelasan di atas. Keadaan lain adalah rangsangan gas dari lambung.
Tekanan gas yang terkumpul di lambung akan mengirim informasi melalui
reseptor di lambung ke medula spinalis melalui nukleus traktus solitarius dan
menyebabkan relaksasi SEB. Di medula spinalis terdapat reseptor G-
Aminobutyric Acid B (GABAB). Perangsangan reseptor ini akan menghambat
relaksasi otot SEB. Blok reseptor kolienergik juga dapat menghambat
relaksasi otot SEB. Relaksasi SEB dirangsang melalui reseptor kolesitokinin-A
pada otot SEB.
d. Hiatal hernia. Esofagus membentang dari thoraks sampai abdomen melewati
diafragma yang disebut dengan hiatus esophagus. Ketika diafragma kontraksi atau pada
saat inspirasi, maka diafragma menjepit esophagus. Efek ini penting sebagai antirefluks
pada saat inspirasi dan peningkatan tekanan intraabdomen. Banyak kasus GERD yang
berat karena adanya hiatal hernia di mana bagian fundus gaster masuk ke hiatal hernia.
Kondisi ini menyebabkan mengganggu tekanan SEB sehingga peningkatan tekanan
intraabdomen menyebabkan refluks. Ada dua hal yang mempengaruhi tekanan SEB
yaitu otot intrinsik yang berasal dari otot esofagus dan otot ekstrinsik yang berasal dari
crural diafragma. Pada kasus hiatal hernia, SEB berada di rongga thoraks. Jadi
walaupun tonus SEB normal tapi kalau terpisah dari crural esofagus maka akan mudah
terjadi refluks.
2. Kandungan asam lambung
Yang menyebabkan injuri mukosa esofagus adalah cairan lambung yang bersifat
kaustik. Zat yang terkandung di cairan lambung yang bersifat kaustik adalah asam
lambung, pepsin, cairan empedu, dan enzim pankreas. Atas dasar inilah peran PPI
untuk menghambat sekresi asam lambung dan pepsin penting dalam penatalaksanaan
GERD. Juga perlambatan pengosongan lambung akan menyebabkan produksi asam
lambung meningkat dan juga menyebabkan penurunan tonus SEB yang menetap. Oleh
karena itu kondisi tersebut meningkatkan risiko GERD.
3. Resistensi sel epitel esofagus
Sel epitel esofagus adalah faktor yang berperan sebagai proteksi terhadap injuri. Telah
diketahui kalau pada orang normal terjadi refluks. Oleh karena itu sel epitel penting
untuk mencegah esofagitis. Akan tetapi bila kejadian refluks terus berlangsung
lamakelamaan akan merusak epitel juga sebagai benteng pertahanan.
4. Mekanisme bersihan esofagus
Material kautik yang berasal dari lambung masuk ke esofagus normalnya akan cepat
dibersihkan. Ada 4 mekanisme yang berperan:
Gaya gravitasi.
Peristaltik.
Saliva.
Produksi bikarbonat esofagus.
Bila material lambung masuk ke esofagus, maka keempat mekanisme tersebut bekerja
bersamaan. Pada penderita skleroderma risiko GERD meningkat melalui mekanisme
bersihan esofagus yang tidak normal. Pada saat tidur atau bungkuk risiko terjadi GERD
akan tetapi ada mekanisme lain sebagai proteksi, maka GERD terhindari. Rokok akan
meningkatkan risiko GERD melalui peningkatan produksi asam dan penurunan
produksi saliva.
5. Infeksi Helicobacter pylori
Infeksi bakteri ini sudah diketahui akan meningkatkan risiko kanker lambung. Tapi
kuman ini tidak menginfeksi esofagus. Malahan merupakan sebagai faktor menurunkan
risiko GERD. Diduga karena infeksi Helicobacter pylori akan menurunkan produksi
asam lambung. Saat ini hubungan infeksi Helicobacter pylori dan patogenesis GERD
masih kontroversi.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal
(ekstraesofagus). Gejala GERD 70% merupakan tipikal, yaitu:
1. Heart burn. Heart burn adalah sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heart
burn adalah gejala yang tersering.
2. Regurgitasi. Regurgitasi adalah kondisi di mana material lambung terasa di
pharing. Kemudian mulut terasa asam dan pahit. Kejadian ini dapat menyebabkan
komplikasi paru-paru.
3. Disfagia. Disfagia biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur.
Gejala atipikal (ekstraesofagus) seperti batuk kronik dan kadang wheezing, suara serak,
pneumonia asmpirasi, fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri dada nonkardiak. Data
yang ada kejadian suara serak 14,8%, bronkhitis 14%, disfagia 13,5%, dispepsia 10,6%,
dan asma 9,3%. Kadang-kadang gejala GERD tumpang tindih dengan gejala klinis
dispepsia sehigga keluhan GERD yang tipikal tidak mudah ditemukan. Spektrum klinik
GERD bervariasi mulai gejala refluks berupa heart burn, regurgitasi, dispepsia tipe
ulkus atau motilitas. Terdapat dua kelompok GERD yaitu GERD pada pemeriksaan
endoskopi terdapat kelainan esofagitis erosif yang ditandai dengan mucosal break dan
yang tidak terdapat mucosal break yang disebut Non Erosive Reflux Disease (NERD).
Manifestasi klinis GERD dapat menyerupai manifestasi klinis dispepsia berdasarkan
gejala yang paling dominan adalah:
Manifestasi klinis mirip refluks yaitu bila gejala yang dominan adalah rasa panas di
dada seperti terbakar.
Manifestasi klinis mirip ulkus yaitu bila gejala yang dominan adalah nyeri ulu hati.
Manifestasi klinis dismotilitas yaitu gejala yang dominan adalah kembung, mual, dan
cepat kenyang.
Manifestasi klinis campuran atau nonspesifik.
Untuk menilai derajat esofagitis digunakan klasifikasi Los Angeles.
Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles

Spektrum Klinis GERD di Beberapa Negara
Menurut Melleney dan Willoughby di Inggris, dari 84 pasien dengan manifestasi klinis
dispepsia yang di endoskopi didapatkan 11,9% normal, 35,7% esofagitis, 28,6%
hiperemis ringan di mukosa gaster atau duodenum, 4,8% ulkus peptik, 7,1% kanker
esofagus dan gaster, dan kelainan ringan 11,9%. Di Indonesia data dari rumah sakit yang
mempunyai fasilitas endoskopi didapatkan hasil dispepsia fungsional 60-70%, refluks
esofagus 10-20%, tukak peptik 10-15%, keganasan lambung 2-5%. Ada pula pasien
dispepsia dengan keluhan yang tumpang tindih seperti rasa terbakar di dada dan nyeri
bagian tengah abdomen (42,7%). Juga didapatkan data bahwa pasien dengan diagnosa
ulkus peptikum 28% dengan keluhan heart burn. Data lain keluhan nyeri epigastrium
didapatkan 9% ulkus dan 14% esofagitis. Penelitian oleh Syafruddin di RSCM yang
berhubungan dengan keluhan esofagitis adalah disfagia 10%, mual 26,7%, nyeri ulu hati
33,3%, esofagitis 22,8%, dan kembung 40%. Sedangkan penelitian oleh Poeniati
didapatkan keluhan rasa panas di dada seperti terbakar (heart burn) 24,7% dan muntah
26,7%. Dengan demikian ada beberapa kasus GERD dengan manifestasi klinis
dispepsia.
Dari penelitian Syafruddin didapatkan esofagitis derajat ringan (derajat 1 dan 2) sebesar
36,6%, dan tidak didapatkan derajat 3 dan 4. Sedangkan penelitan Marshal dkk derajat
3 dan 4 mencapai 4%. Berdasarkan data endoskopi dari bagian gastroenterologi
FKUIRSCM dari tahun 2003-2005 kasus esofagitis tidak jauh berbeda dari sebelumnya
yaitu sebesar 22,24%. Penyakit ini cukup sering yang membuat seseorang berobat ke
dokter umum maupun ahli penyakit dalam.
Penelitian yang dilakukan Khek Yu Ho dkk di Asia membagi menjadi 3 etnis yaitu Cina,
Melayu dan India. Gejala regurgitasi >1 kali dalam seminggu pada etnis India 11%,
Melayu 2,1%, Cina 0,4%. Sedangkan gejala heart burn pada etnis India 5,3%, Melayu
3%, Cina 0,4%. Di barat didapatkan gejala regurgitasi dan heart burn lebih banyak dari
pada di Asia sebesar 29-44%. Heart burn pada wanita hamil di Singapura dilaporkan
sebesar 23% sedangkan di negara barat 50%.
Penelitian Swarnjit Singh dkk meneliti hubungan antara keluhan heart burn dan chest
pain dengan GERD. Mereka menemukan data bahwa keluhan heart burn merupakan
keluhan yang bermakna dihubungkan dengan GERD dengan sensitivitas 93% dan
spesifisitas 71%. Sedangkan chest pain tidak ada hubungan yang bermakna dengan
GERD.
Penelitian Ho June Song dkk meneliti gejala atipikal GERD berupa gejala dispepsi
predominan nyeri dan predominan dismotilitas yang dihubungkan dengan temuan
esofagitis. Hasilnya adalah didapatkan hasil yang bermakna antara gejala dispepsi
predominan nyeri dengan GERD (p<0,001).Jose D Sollano dkk meneliti erosif
esofagitis derajat A dan B di Philipina. Dari jumlah sampel 15.981 didapatkan
gejala erosif esofagitis antara lain nyeri epigastrium (p<0,001), pirosis
(p=0,281), regurgitasi (p=0,544), disfagia (p=0,193), perdarahan saluran
cerna bagian atas (p=0,138), muntah (p<0,001), dan kembung (p=0,190).
Penelitian yang dilakukan di Jepang menemukan terdapat hubungan antara gejala berat
heart burn, regurgitasi, disfagia, dan odynophagia yang semakin berat dengan grade
esofagitis (gambar).

Gambar. Hubungan antara grade esofagitis dengan gejala klinis
Menurut kepustakaan gejala ekstraesofagus berupa pneumonia 23,6%, nyeri dada tidak
khas 23,1%, suara serak 14,8%, disfagia 13,5%, dispepsi 10,6%, dan asma 9,3%. Menurut
penelitian di Cina dikatakan terdapat hubungan antara esofagus Barretts dengan
penyakit GERD.
Penelitian di Swedia menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara edenokarsinoma dengan GERD. Di Asia prevalensi esofagus Barretts sebesar
0,08%. Sedangkan di Amerika 0,4%.
Diagnosis GERD
Untuk menegakkan diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan dari analisa gejala
klinis, sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang. Akan tetapi tidak satupun
yang menjadi standar baku. Menurut konsensus nasional penatalaksanaan penyakit
reflux gastroesofagus, standar baku untuk diagnosa GERD adalah dengan pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas dengan ditemukan mucosal break di esofagus.
Pemeriksaan lain menurut konsensus nasional penatalaksanaan penyakit reflux
gastroesofagus adalah pemeriksaan pH esofagus dan terapi empiris. Kendala yang
dihadapi adalah tidak semua pelayanan kesehatan mempunyai alat endoskopi dan
operator sehingga tidak dapat mendiagnosa GERD dengan pasti dan tepat yang
berdampak terhadap penatalaksanaan pasien GERD.
Di pusat kesehatan primer di Indonesia diagnosis GERD ditegakkan hanya berdasarkan
gejala saja karena terbatasnya sarana diagnostik endoskopi dan biaya yang tidak
terjangkau oleh masyarakat. Oleh karena itu dokter yang bertugas di tempat tersebut
masih bingung untuk membedakan antara GERD dan dispepsi. Oleh karena itu
dibutuhkah guideline untuk mendeteksi GERD agar penatalaksanaan lebih tepat dan
cepat sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup.
Saat ini di keluarkan konsensus yang dimotori oleh 18 negara yang terdiri dari ahli di
bidang gastroenterologi untuk mempermudah diagnosis GERD di puskesmas.
Walaupun demikian untuk menegakkan GERD dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis walaupun mempunyai sensitivitas yang lebih rendah daripada dengan
pemeriksaan endoskopi. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan di beberapa
negara, gejala-gejala yang ditemukan pada pasien GERD dapat menjadi pertimbangan
dalam menegakkan diagnosis. Kalau melihat datadata penelitian yang sudah dilakukan,
gejala tipikal GERD seperti heart burn dan regurgitasi yang mempunyai sensitivitas
93% dan spesivisitas 71% dapat menjadi pertimbangan untuk memutuskan memulai
terapi GERD. Walaupun ada juga GERD dengan manifestasi klinis dispepsi yang
merupakan gejala atipikal GERD. Akan tapi dispepsi predominan nyeri dapat pula
dipertimbangkan sebagai gejala GERD. Selain itu gejala ekstraesofagus dan faktor risiko
dapat menjadi pertimbangan dalam menegakkan diagnosis GERD. (tabel 2)
Tabel 2.

Untuk mendiagnosa GERD dari keluhan tidak mudah. Oleh karena itu diperlukan juga
pemeriksaan penunjang lain. Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis GERD
adalah dengan pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas dan ditemukan mucosal
break di esofagus. Tetapi untuk mendiagnosis NERD tidak ada pemeriksaan standar.
Sehingga untuk melakukan diagnosis digunakan pedoman:
Tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi.
Pemeriksaan pH esofagus dengan hasil positif.
Terapi empiris yang dikenal dengan tes PPI
Ada beberapa pemeriksaan untuk diagnosis GERD yaitu:
1. Pemeriksaan Esofagogram.Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa
penebalan lipatan mukosa esofagus, erosi dan striktur. Pemeriksaan ini mempunyai
akurasi 24,6% untuk esofagitis ringan, 81,6% esofagitis sedang, dan 98,7% esofagitis
berat.
2. Monitoring pH intra esofagus 24 jam.Pemeriksaan ini berhubungan dengan
episode reflux dan gejala-gejalanya serta
NERD. Akurasi pemeriksaan ini mencapai 96%.
3. Tes Perfusi Berstein. Digunakan untuk menilai sensitivitas mukosa esofagus
terhadap paparan asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCl 0,1% yang
dialirkan ke esofagus dan menggunakan NaCl 0,9% sebagai kontrol. Sensitivitas
pemeriksaan ini 78 % dan spesifisitas 84%.
4. Tes PPI. Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada
pasien yang diduga menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu
minggu. Tes ini mempunyai sensitivitas 75% dan spesitivitas 55%.
5. Manometri esofagus. Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah
pemberian terapi pada pasien NERD terutama untuk tujuan penelitian. Pemeriksaan ini
juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.
6. Endoskopi. Diindikasikan:
Menilai adanya kerusakan mukosa esofagus mulai erosi sampai keganasan.
Mengambil sampel biopsi.
Kecurigaan adanya esofagus Barretts.
7. Histopatologi. Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau
keganasan. Tetapi bukan untuk memastikan NERD.
Penatalaksanaan
1. Modifikasi gaya hidup. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan faktor risiko
seperti berhenti merokok, menurunkan berat badan, menghindari makanan yang
berpotensial menyebabkan reflux seperti coklat dan makanan yang mengandung mint,
meninggikan kepala dan tempat tidur, dan menghindari makan sebelum tidur.
2. Farmakologi.
Pengobatan GERD (tabel 3)
Tabel 3. Pengobatan GERD

3. Pembedahan antireflux
Modalitas ini bersifat individu. Terapi ini dilakukan apabila dengan pengobatan
medikamentosa gagal. Operasi dilakukan bila pemeriksaan manometri menunjukkan
motilitas esofagus normal. Indikasi lain adalah untuk memperbaiki diafragma pada
kasus hiatus hernia.
4. Terapi endoskopi
Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya adalah radiofrekuensi, endoscopic
suturing, dan endoscopic emplatation. Radiofrekuensi adalah dengan memanaskan
gastroesophageal junction. Tujuan dari jenis terapi ini adalah untuk mengurangi
penggunaan obat, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi reflux.
5. Follow up. Menurut beberapa studi observasi, bila selama 10 tahun tidak ada
perubahan gejala, maka sebaiknya dilakukan endoskopi ulang dan selanjutnya
dilakukan setiap 10 tahun.
Komplikasi
1. Erosif esofagus. Keadaan ini paling sering terjadi yaitu suatu inflamasi mukosa
esofagus.
2. Esofagus barretts. Adalah komplikasi jangka panjang. Benyak penelitian sudah
membuktikan ada hubungan antara reflux jangka panjang dengan insiden esofagus
Barretts.
3. Striktur esofagus. Jika reflux berlangsung secara kronik, dan inflamasi berlangsung
lama dapat menyebabkan striktur.
Kesimpulan
GERD adalah suatu kondisi kronik yang memerlukan terapi jangka lama. Pengobatan
untuk mengurangi gejala terus menerus kadang kala diperlukan untuk kenyamanan
pasien, dan yang menjadi masalah adalah dalam menegakkan diagnosis memerlukan
pemeriksaan yang invasif. Walaupun demikian dari anamnesis gejala klinis tipikal,
adanya faktor risiko dan tes PPI dapat menegakkan diagnosis GERD lebih dini sehingga
komplikasi dapat dicegah. Penatalaksanaan GERD dapat berupa pengobatan
nonfarmakologis seperti mengubah gaya hidup diperlukan dalam penatalaksanaan
pasien. Penggunaan PPI diperlukan untuk mengurangi gejala reflux. Untuk pasien yang
sudah lanjut mengalami komplikasi penggunaan PPI setiap hari diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai