Anda di halaman 1dari 2

Teori Pers

Teori pers modern dalam kajian jurnalisme modern diyakini muncul pada abad 17 setelah terjadi
banyak perbincangan di tempat publik seperti kafe maupun kedai-kedai minum di Amerika.
Tepatnya pada tahun 1609 embrio surat kabar muncul ketika percetakan menyajikan data-data,
gosip dan lain sebagainya tentang topik-topik politik, pekerjaan ataupun yang lainnya. Namun konon
katanya teori pers telah mulai berkembang semenjak zaman romawi kuno.
Perjalanan panjang dunia jurnalisme semenjak awal hingga sekarang telah membawa pers
bersinggungan dengan dinamika geografis dan falsafah hidup yang dianut sekelompok manusia pada
wilayah teritorial tertentu sehingga jika di klasifikasikan akan mengantarkan kita kepada teori pers.
Dunia jurnalisme publik mengenal empat teori pers, yaitu teori pers otoritarian, libertarian, social
responsibility, dan Soviet komunis (Mondry 2009:59)
Teori Pers Otoritarian
Teori ini mulai berkembang paska berakhirnya masa renaisan dan ditemukannya mesin cetak. Teori
otoritarian dalam pers lahir akibat persinggungan jurnalisme dengan filsafat kekuasaan monarkhi
absolut. Filsafat monarkhi absolut ini secara mudah dapat dipahami bahwa kebenaran bukanlah
milik pendapat komunitas/rakyat ataupun masyarakat. Kebenaran adalah milik sekelompok kecil elit
yang dekat dan atas nama kekuasaan. Dengan demikian pers didudukkan sebagai corong pemerintah
dan bersifat top down.
Siebert mengungkapkan bahwa teori otoritarian dalam pers bermula pada abad 17 di Inggris
(Mondry 2009:59). Pada masa ini kelangsungan hidup dari para penerbit berada di tangan para
penguasa yang sangat ketat dalam mengawasi siaran publik menggunakan media massa. Dan hampir
dipastikan hanya segilintir lembaga pers swasta yang mampu memperoleh ijin edar secara resmi dari
pemerintah. Model ini jelas sekali menghilangkan fungsi pers sebagai social control dan media
kebenaran objektif kepada masyarakat.
Meskipun tepri otoritarian telah sangat lama, hingga saat ini masih banyak negara mengadopsi teori
ini mengingat sangat menguntungkan bagi pemerintah. Negara-negara komunis dan negara-negara
berkembang masih banyak yang mengadopsi teori ini.
Teori pers libertarian
Teori libertarian berkembang pesat pada awal abad 19 meskipun sebenarnya kemunculannya
dimulai pada akhir abad 17 (Mondry 2009:61). Pers libertarian sangat terpengaruh oleh suasana
revolusi Perancis (1789) dan kemerdekaan koloni Amerika Serikat. Dinamika dunia yang berubah
secara drastis menyebabkan makna filsafat tentang manusia berubah, bahwa manusia adalah
makhluk individu yang berakal dan mempunyai independensi untuk menentukan benar salah,
memilih baik buruk terhadap beberapa alternatif yang ia temukan. Terlebih lagi ketika para filosof
seperti Locke, Milton dan Mill mengemukakan pemikiran mereka secara massif tentang rasionalisme
dan Hak Asasi manusia.
Sebagai antitesis dari teori otoritarian, kebenaran bukan lagi menjadi hak dari
penguasa/pemerintah. Pers bukan lagi didudukkan sebagai corong dari pemerintah melainkan
sebagai mitra untuk menyampaikan sebuah kebenaran yang berimbang. Dalam beberapa keadaan,
teori ini menempatkan pers sebagai pengawas atas pelaksanaan program pemerintah dan
menentukan sikap atas kebijakan pemerintah yang tentunya dengan menyajikan data-data
pembanding sebagai bukti dan argumentasi bagi media massa/pers.
Dengan berdasarkan pada teori pers libertarian ini, media massa lebih berperan sebagai media
hiburan, promosi juga sebagai alat kontrol pemerintah. Kaum minoritas maupun mayoritas diberikan
kesempatan yang sama untuk berpendapat melalui media, setiap pemikiran dan informasi secara
bebas bisa mendapatkan tempat. Masyarakat diberikan kebebasan untuk menentukan kebenaranya
dan pilihannya sendiri melalui penelusuran atas media-media yang ada.
Teori pers Social Responsibility
Ternyata kebebasan pers yang didewakan pada masa libertarian banyak memakan korban.
Setidaknya telah terjadi dekadensi moral yang sangat parah sehingga perlu adanya tanggung jawab
sosial bagi pers terhadap masyarakat. Terinspirasi dari tulisan WE Hocking, pada abad 20,
pemerintah Amerika serikat mulai menekankan pentingnya tanggung jawab sosial dalam pers. Pada
intinya teori pers social responsibility adalah dalam kebebasan yang mutlak, terkandung sebuah
tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dalam melaksanakan fungsinya.
Menurut Santana dalam teori pers social responsibility mencakup beberapa faktor (Mondry
2009:65), yaitu :
1. Media massa mempunyai tanggungjawab tertentu kepada masyarakat.
2. Penyajian informasi, kebenaran, objektivitas dan perimbangan berdasarkan standar profesi
yang bertanggungjawab.
3. Segala aktivitas pers tidak diperbolehkan melanggar aturan hukum yang berlaku.
4. Aktivitas pers harus dalam rangka menghindari kejahatan, kerusakan ataupun kekacauan.
Juga harus terbebas dari unsur-unsur SARA.
5. Pers harus menjunjung tinggi pluralitas dengan sudut pandang yang berimbang.
6. Wartawan harus dapat mempertanggungjawabkan atas setiap aktivitas pressrelease secara
profesional.
Teori Pers Soviet Komunis
Dalam teori ini secara garis besar dapat dipahami bahwa pengawasan pers di bawah partai, bukan
pemerintah. Dalam pemerintah soviet, pengawas pers tersebut dikenal dengan istilah Glavit. Siaran
pers berisikan agitasi, propaganda dan bujukan yang kesemuanya bermuara pada pikiran-pikiran
partai komunis tersebut. Pers dijadikan alat untuk komunikasi massa oleh partai komunis untuk
melaksanakan program yang telah dicanangkan dengan cara membujuk dan memaksa secara
simultan dan terkoordinir.
Teori ini muncul merupakan hasil dari dinamika pemikiran yang disajikan oleh Carl Marx, Lenin dan
Stalin berikut para murid dan pengikutnya. Pers dijadikan alat untuk mensupport ideologi dan
memberikan sumbangan yang nyata bagi kelanggengan sistem sosialis Soviet yang di tegakkan oleh
partai. Oleh karena itu media massa dalam pengawasan yang sangat ketat dan tidak diperbolehkan
melakukan kritik atas kebijakan pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai