Anda di halaman 1dari 14

AFFECTIVE DOMAIN DEVELOPMENT:

REALITY AND EXPECTATION


(PERKEMBANGAN RANAH AFEKTIF:
KENYATAAN DAN HARAPAN)

Sugirin
FBS Universitas Negeri Yogyakarta (e-mail: sugirin@uny.ac.id; HP: 08122781479)

Translated By:
1. Lia Amalia 1292417
2. Lina Rahmawati 1292457
3. Lukmanul Hakim 1292467
4. Luluatun Azizah 1292477
5. Mutia Retno Maharti 1292687










INTRODUCTION
Di Indonesia, dimana orang-orang selalu melihat dan mendengarkan ceramah langsung
di Masjid dan Gereja atau di televisi hampir setiap hari, ranah afektif harusnya berkembang
sesuai dengan kesadaran setiap individu. Kejujuran, keadilan, empati, pengorbanan diri,
pengabdian, toleransi, perdamaian dan keharmonisan seharusnya berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Namun pada kenyataannya, korupsi merajalela di
seluruh negeri, pelanggaran hukum menjadi berita utama setiap harinya, konflik antar
penduduk lokal kerap kali terjadi, tindak kekerasan terhadap anak dan pelecehan seksual juga
sering kali diberitakan. Penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang pada awalnya hanya
dikenal dikalangan anak-anak kelas menengah keatas, sekarang juga merambah mereka yang
berasal dari kalangan menengah ke bawah. Perselisihan kadang terjadi diantara anak-anak dari
sekolah yang sama maupun sekolah yang berbeda, antar penduduk desa, antar pejabat dari
partai politik yang berbeda atau antar para pendukung kandidat yang berbeda dalam pemilihan
bupati atau gubernur. Harusnya tidak ada lagi anak yang membunuh ayahnya sendiri dan ayah
yang memperkosa anaknya sendiri dan sebagainya. Namun pada kenyataannya, tindak kriminal
serta perilaku buruk kerap kali diberitakan terjadi di wilayah Indonesia. Di Australia, dimana
orang-orang tidak banyak membicarakan agama dan moralitas, ranah afektif telah menjadi
bagian dari kehidupa sehari-hari di sekolah maupun di masyarakat. menghormat orang yang
lebih tua, mendahulukan wanita dan orang cacat bukanlah sekedar semboyan. Mereka adalah
contoh nyata yang telah menjadi ciri khas kehidupan orang Australia. Contohnya, saat di
transportasi umum, anak muda akan merasa bersalah jika mereka tidak memberikan tempat
duduk kepada orang yang lebih tua, wanita maupun orang cacat.
Di Australia, masih ada orang yang bisa menyaksikan dhalang (orang yang memainkan
pertunjukan wayang di Jawa) menyampaikan tentang perdamaian dan kesejahteraan yang
dikaruniakan kepada Negara yang diceritakan pada awal cerita. Dalam pertanian Australia,
para petani hanya akan membuka pintu kandang di pagi hari dan ternak pun akan berhamburan
keluar, melepaskannya di padang rumput, dan kembali ke kandang pada sore hari. Petani tidak
perlu merasa ketakutan, karena disana tidak ada pencuri yang berniat mencuri hewan ternak.
Di daerah Blackburn, sekitar 4 km dari kampus Universitas Deakin Melbourne, beberapa
keluarga tidak perlu bersusah payah mengunci pintu rumah dan kandang mereka, karena
mereka tidak meragukan keamanan di daerah mereka. Polisi hanya sesekali melakukan patroli
keliling, tanpa memerlukan waktu yang lama. Polisi juga biasanya tidak berjaga-jaga disekitar
perbatasan kota kota Melbourne atau Sydney, tetapi pengendara mobil dan motor tidak
menerobos lampu merah. Kamera tersembunyi bias saja menjadi bukti, tetapi kedisiplinan
orang-orang disanalah yang dapat menjadi alasan yang lebih tepat. Lalu, apa yang salah dengan
yang terjadi di Indonesia?
Di setiap kota di Indonesia, hampir selalu ada polisi yang berjaga-jaga di sekitar
persimpangan dan tempat ramai, tetapi penerobosan lampu merah atau pelanggaran lalu lintas
lainnya sudah biasa terjadi. Ketika pelanggar lalu lintas tertangkap, nampakya tidak ada standar
ukuran yang jelas mengenai jaminan bahwa pelanggaran yang sama tidak akan terulang untuk
kedua kalinya.
Ada dua situasi bertentangan yang mendorong penulis untuk menyelidiki lebih jauh
mengenai apa yang melatarbelakangi situasi tersebut dan menawarkan solusi permasalaha
dalam lingkup perkembangan ranah afektif dalam pendidikan di Indonesia dengan cara
mengadaptasi model yang ada di dalam dan luar negeri. Pembahasan ini, dalam beberapa
tingkatan, meliputi aspek dari pendidikan karakter. Pemilihan yang berfokus pada
pengembangan ranah afektif bermaksud untuk lebih menyeluruh agar memungkinkan
adanya perbandingan dari segi aspek yang sama di bawah perbedaan budaya. Karena beberapa
unsur pendidikan karakter yang terkait dengan tempattertentu, ras, bangsa secara budaya, maka
perkembangan ranah afektif kemungkinan besar diterapkan pada pendidikan di seluruh dunia,
tanpa menghiraukan perbedaan ras dan kebangsaan. Walaupun ada beberapa perbedaan unsur
dari pendidikan karakter yang membatasi secara kultural untuk suatu tempat yang khusus, ras,
atau bangsa, pengembangan ranah afektif kemungkinan besar diadakan untuk mengarahkan
seluruh pendidikan yang ada di dunia, tanpa menghiraukan perbedaan ras dan kebangsaan.

PERKEMBANGAN RANAH AFEKTIF
Richard & Schmidt (2002: 169) mendefinisikan ranah afektif sebagai sebuah sasaran
dengan tujuan pengembangan sikap, perasaan dan nilai siswa, sedangkan Collins & OBrien
(2003:12) menganggap ranah afekif sebagai aspek pembelajaran yang melibatkan emosi,
perasaan, dan sikap. Jalal (2010:11) mengkaitkan perasaan dan ranah afektif dengan nilai
rohani atau keagamaan ketika dia menyarankan penggabungan antara dzikir (beribadah,
mengingat Allah satu-satunya Tuhan) dengan fikir (pikiran dan pengetahuan) dan
keterampilan fisik. Demikian seorang yang berkarakter mampu menyeimbangkan antara
perkembangan kemampuan kognitif, psikomotor dan afektif. Oleh karena itu, dia
menguraikannya secara mendalam.
Kutipan dari Haigh (1975), Lang, Katz & Menezes (1998:73) menekankan bahwa tugas
para pendidik anak-anak adalah lebih dari sekadar mengisi ember yang kosong dengan
pengetahuan. Karena memiliki hak dan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak-anak
seperti yang dimiliki orang tua, guru sangat perlu memperhatikan ranah afektif. Kegunaan
afektif dalam pendidikan ada tiga kali lipat. Pertama, hal ini masih diperdebatkan bahwasanya
masalah mendidik anak secara utuh berarti sama saja mendidik emosi (perasaan) mereka.
Walaupun begitu, peran guru lebih sering terkait dengan pengajaran serta penegakan
kedisiplinan. Kedua, keadaan emosional (begitu juga dengan nilai, sikap, kepekaan, dll yang
mendasari atau mendukungnya) bisa jadi membantu atau justru mengganggu proses belajar
anak dalam ranah lainnya. Persoalan emosional perlu disisipkan dalam rangka mendukung
pembelajaran sesuai dengan kurikulum. Ketiga, sekolah merupakan tempat untuk
bersosialisasi. Hubungan antara perasaan dan nilai moral, integrasi sosial yang baik dan
hubungan antar personal yang efektif sangatlah kuat. Untuk mencapai dua tujuan dari integrasi
sosial dan pengembangan personal tersebut, sekolah sangatlah perlu menempatkan dimensi
afektif pada adaptasi personal dan sosial.
Berbicara tentang pendidikan karakter secara spesifik, Foerster (Kholis, 2010:50)
mengajukan empat karakteristik yang relevan dengan pengelolaan sistem pengembangan ranah
afektif. Keempat karakteristik tersebut ialah: (1) ketetapan nilai yang dipakai sebagai acuan
normatif terhadap seluruh tindakan yang berhubungan dengan nilai yang diberikan; (2)
hubungan yang mendorong seseorang untuk konsisten berprinsip meskipun terdapat resiko di
belakangnya; (3) kemandirian dalam usaha memahami prinsip-prinsip tersebut sampai menjadi
nilai personal tanpa adanya tekanan dari pihak luar; dan (4) ketekunan dan ketaatan. Dalam
penjelasan lebih jauh, Megawangi (2010:30) menegaskan bahwa pendidikan harus
membimbing ke arah keluarga yang sehat dan bahagia seperti yang diindikasikan oleh beberapa
karakteristik yang harus dimiliki berikut ini: (1) cinta kasih Tuhan dan hasil ciptaan-Nya; (2)
pertanggungjawaban, kedisiplinan dan kemandirian; (3) kejujuran; (4) rasa hormat dan
kesopanan; (5) kasih sayang, peduli dan kerja sama; (6) kepercayaan diri, kerja keras dan
ketekunan; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) kebajikan dan kerendahan hati; (9) toleransi,
cinta damai, dan persatuan. Untuk mencapai karakteristik-karakteristik di atas, perubahan
harus dimulai dari dalam diri setiap individu. Hal ini akan terwujud hanya jika seseorang
memiliki rasa cinta dalam berbuat kebaikan di muka bumi ini. Rasa cinta dalam berbuat
kebaikan itu mungkin jika seseorang memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk. Rasa cinta dalam berbuat kebaikan tersebut akhirnya akan menjadi
sebuah kebiasaan. Kebiasaan ini tidak hanya tumbuh dari sekedar latihan tetapi dimulai dari
pemahaman diri masing-masing sehingga seseorang dapat mengembangkan (1) ranah kognitif;
(2) ranah afektif; dan (3) ranah psikomotor.

MASALAH: KESENJANGAN ANTARA KENYATAAN DAN HARAPAN
Visi dan misi di hampir setiap institusi pendidikan memandang perkembangan afektif
sebagai sebuah elemen penting dalam mengembangkan generasi muda untuk menjadi manusia
yang utuh. Pentingnya ranah afektif terkadang tidak hanya tertera dalam kurikulum
maupundalamrancangan pengembangan strategis lembaga, namun juga terwujud dalam
bentuk slogan yang dicetak pada cenderamata, spanduk, atau bahkan di gerbang kampus
maupun di pintu masuk kantor pusat lembaga. Beberapa sekolah bahkan menggambar slogan
tersebut di dinding dengan huruf kapital TAQWA, CERDAS, TERAMPIL. Kata TAQWA
yang diletakkan di awal slogan tersebut pasti bukanlah sebuah kebetulan. Penulisnya pasti telah
memikirkan keutamaan nilai moral dan spiritual yang berhubungan erat dengan ranah afektif.
Dalam hal ini, polisi-polisi Indonesia juga pasti telah menyadari keutamaan mengasihi
sehingga dua slogan mereka berbunyi Polisi Sahabat Rakyat (Rahardjo, 2002:199) dan
Polisi Sahabat Anak (Tabah, 1991: 70). Polisi-polisi Indonesia ingin membangun sebuah
citra publik bahwa mereka bukan semata-semata para penegak hukum yang menindas, namun
juga mitra publik kapanpun mereka dibutuhkan.
Slogan-slogan diatas telah menjadi alat yang menarik perhatian untuk mengungkapkan
kasih sayang yang dikehendaki oleh masing-masing lembaga dengan tujuan agar publik
mengetahuinya. Selain itu, kejujuran, keadilan, empati, pengorbanan diri, pengabdian,
toleransi, perdamaian, dan kerukunan telah menjadi topik yang kerap kali masyarakat dengar
dan saksikan secara langsung di masjid-masjid dan gereja-gereja maupun di televisi setiap
harinya. Dengan demikian, kasih sayang harusnya juga berkembang di hati masing-masing
individu dan mengarahkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Namun kenyataan
yang terjadi adalah sebaliknya.
Dalam lingkup birokrasi, korupsi berkembang subur di seluruh negeri (Sudarto, 2010),
dan pelanggaran hukum menjadi bagian dari berita terpopuler sehari-hari. Irawan (2010) juga
memuji perhatian Presiden Susilo Bambang Yudoyono terhadap banyaknya pejabat
pemerintah yang terlibat korupsi. Dia telah memberikan izin pada lebih dari 150 pejabat
pemerintah untuk dapat diselidiki atas keterlibatannya dalam kasus korupsi.
Di lingkup parlemen, pemandangan memalukan dapat pula disaksikan di hampir setiap
rapat pleno dimana banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tertangkap basah sedang
tertidur. Dalam beberapa sidang paripurna, banyak kursi yang kosong, menandakan bahwa
mereka tidak hadir. Anak-anak mereka di rumah dapat menyaksikan apa yang mereka perbuat
dari gaji tinggi yang mereka terima dari uang rakyat. Sebuah pemandangan tidak mengenakkan
dengan jelas ditunjukkan dalam forum terhormat di badan yang terhormat ini ketika para
anggota yang mewakili partai oposisi memprotes keputusan yang dibuat oleh pimpinan sidang
untuk menghentikan rapat yang membahas isu korupsi terkait dengan Bank Century. Kontak
fisik antar anggota Dewan Perwakilan Rakyat disiarkan secara langsung di TV (Boy M., 2010),
sementara perundingannya tetap tanpa kepastian.
Masalah yang belum jelas terkait korupsi dan pelanggaran hukum yang masih terus
berkembang dirasa oleh beberapa pihak merugikan keadilan publik. Beberapa orang
menyangsikan apakah anggota Dewan Perwakilan Rakyat benar-benar mewakili aspirasi
rakyat. Aksi Pong yang membuat grafiti JUJUR, ADIL, TEGAS di atap Gedung Parlemen
Indonesia merupakan cerminan dari protes tegasnya terhadap anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang dalam pandangannya tidak mewakili publik yang menuntut kejujuran,
keadilan dan ketegasan terkait dengan isu parlementer yang mereka hadapi. (Kristanti, 2010).
Di era Orde Baru, indoktrinasi Pancasila (Lima Prinsip Jalan Hidup Orang Indonesia)
dilaksanakan secara intensif dan ekstensif di seluruh Indonesia, di daerah-daerah pedesaan
yang terpencil sekalipun. Berjuta-juta dolar dihabiskan dan beribu-ribu guru dipekerjakan.
Namun, nilai-nilai luhur Pancasila hanya berhenti pada level retorika karena banyak tokoh-
tokoh penting pada badan eksekutif dan legislatif gagal memberikan panutan terhadap
pengamalan Pancasila sebagai sebuah jalan hidup. Sosialisasi kemurnian Pancasila menjadi
sebuah pekerjaan yang menghibur dari pertunjukan badut dimana tepuk tangan akan
menggema di ruang kelas apabila sang penyaji dapat dengan cerdik melontarkan lelucon-
lelucon ejekan dengan tujuan mengkritisi salah satu tokoh penting lokal maupun nasional.
Dewasa ini, kejadian serupa bahkan telah dipertontonkan dalam tingkah laku yang lebih buruk
oleh banyak tokoh-tokoh penting yang terhormat dari masyarakat Indonesia. Perkelahian
antar anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam forum majelis umum merupakan sebuah
contoh dari ketidakharmonisan dan pelanggaran susila (Boy, 2010). Contoh lain adalah berita
yang melaporkan banyaknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pejabat tinggi dari sektor
yang berbeda di pemerintahan telah terlibat korupsi (Irawan, 2010). Pelanggaran-pelanggaran
susila dan kasus-kasus korupsi ini dipublikasikan di media massa secara nasional dan
internasional, sehingga bukan hanya Negara tetangga tapi orang-orang diseluruh dunia
mengetahui berita tersebut.
Sehingga, Pancasila, yang membuat bangsa luar negeri memberikan penghargaan tinggi
terhadap masyarakat Indonesia, secara perlahan dilupakan karena kurangnya teladan yang
pantas dicontoh dari aplikasinya dalam kehidupan orang Indonesia (Sudarto, 2010:2). Pada
akhirnya, tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dari negeri tercinta ini. Tidak ada lagi rujukan
yang jelas seperti apa yang direncanakan pemerintah untuk memperbaiki ketidakpastian jalan
hidup rakyat dan petunjuk mana yang akan diambil untuk rakyat. Bahkan ketika rencana
pendidikan karakter diajukan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Pena Pendidikan, 2010),
masalahnya akan bergantung pada kurangnya tokoh panutan nasional hingga lokal serta level
institusi yang mampu memberikan contoh penerapan karakter-karakter yang diharapkan.
Dalam lingkup masyarakat, perkelahian kerap terjadi antar sesama warga lokal, antar
warga yang bertetangga desa, antar pejabat dari partai politik yang berbeda atau antar
pendukung kandidat yang berbeda dalam pemilihan bupati atau gubernur, serta antar
pendukung tim berlawanan dalam pertandingan olahraga. Penyiksaan pada anak dan pelecehan
seksual sering kali diberitakan. Penyalahgunaan narkoba, yang pada awalnya hanya dikenal di
kalangan anak-anak berada dan kelas menengah keatas, sekarang juga mulai merambah mereka
yang berasal dari kelas sosial bawah. Ada banyak anak yang membunuh orangtua mereka
dengan tangan mereka sendiri (Efti, 2003: 16), dan seorang ayah yang memperkosa anak
perempuannya sendiri (Prakuso, 1989:83).
Dalam lingkup pendidikan, perselisihan sering terjadi antar mahasiswa (Saputra
&Zuula, 2010) atau anak-anak dari sekolah yang sama maupun yang berbeda. Terlepas dari
larangan yang diberlakukan oleh pengelolaan lembaga pendidikan, bullying masih dilakukan
oleh panitia pelaksana program orientasi siswa baru. Selama masa orientasi, beberapa murid
senior berlaku kasar dan bahkan menyiksa murid-murid baru tersebut.
Dalam hal perkembangan ranah efektif dalam dunia pendidikan, hal yang bertentangan
dapat pula dirasakan dalam penilaian pada indikator keberhasilan pelajar. Terlepas dari tujuan
yang menempatkan pertimbangan yang sama mengenai pencapaian siswa yang berkaitan
dengan perkembangan ranah kognitif, psikomotor dan afektif, keberhasilan siswa pada dua
ranah yang disebutkan terlebih dahulu tampaknya menyamarkan tujuan penilaian pada ranah
yang terakhir. Walaupun bukti masih perlu dikumpulkan, tampak bahwa keberhasilan seorang
murid SMA (Sekolah Menengah Atas) dalam Ujian Akhir Nasional kemungkinan besar akan
mempengaruhi kedudukannya di kelas meskipun pencapaiannya kurang memuaskan di bidang
afektif, yaitu perkembangan moral. Pencapaian kurang baik siswa tersebut dalam
perkembangan moral boleh jadi tidak diekspos kecuali jika murid yang sama ini gagal dalam
Ujian Akhir Nasional.
Karena persyaratan paling utama untuk mendaftar ke lembaga sekolah yang lebih tinggi
adalah ijazah kelulusan Ujian Akhir Nasional, tidak ada seleksi resmi yang dapat menghalangi
pemilik ijazah untuk naik ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sementara itu, mereka yang
unggul dalam bidang afektif namun gagal di Ujian Akhir Nasional akan kehilangan kesempatan
untuk maju.
Fenomena yang serupa juga terjadi dalam pemberian beasiswa. Sejauh ini, kebanyakan
beasiswa diberikan kepada mahasiswa didasarkan pada dua kriteria: prestasi akademik yang
ditunjukkan melalui Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan status ekonomi yang dibuktikan
melalui pernyataan status ekonomi keluarga yang dicap oleh kewenangan daerah. Kebanyakan
lulusan terbaik yang diumumkan selama acara wisuda juga dinilai berdasarkan indeks prestasi
kumulaitf. Demikian juga siswa-siswa yang memenangkan kejuaraan olahraga di tingkat
sekolah, lokal, daerah, nasional maupun internasional akan selalu menerima penghargaan
materi dan non-materi. Namun, sedikit sekali siswa, kalaupun ada, yang mendapat penghargaan
resmi dan materi karena pencapaian sukses mereka dalam pengembangan ranah afektif.
Perilaku yang baik menghendaki adanya kejujuran, kesopanan, kebermanfaatan, toleransi,
hormat terhadap yang lebih tua dan orang lain, serta ketakwaan. Dalam praktiknya, tidak ada
penghargaan resmi yang dapat dianugerahkan kepada siswa-siswa yang memiliki kemampuan-
kemampuan tersebut.
Ambivalensi ini tampaknya menjadi salah satu alasan bagi masalah pengamalan dan
penguatan dari, dan karenanya, perkembangan ranah afektif dalam lingkup pendidikan. Anak-
anak mendengar orang-orang mengajarkan kebajikan, namun kenyataannya mereka
menyaksikan kejahatan-kejahatan baik secara langsung maupun terekam dan disiarkan di
media massa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sedikit sekali yang terdengar mengenai
praktik kebajikan-kebajikan tersebut.

SEBUAH JALAN KELUAR: SOLUSI MEMPERBAIKI KEADAAN
Di negara Australia, sampai tahun 2001 (dan mungkin berlanjut sampai sekarang),
khususnya di tingkat pendidikan dasar, perkembangan afektif ditekankan dalam kehidupan
sehari-hari, sejalan dengan perkembangan ranah kognitif dan keterampilan motorik. Sebagai
contoh, di Sekolah Dasar Glenferri, distrik Hawthorne, negara bagian Victoria, keberhasilan
para siswa tidak hanya dinilai dari penampilan mereka dikelas terkait dengan prestasi yang
mereka raih pada mata pelajaran seperti ilmu pengetahuan alam, bahasa, atau ilmu pengetahuan
sosial, namun juga terkait dengan sikap dan perilaku mereka yang diamati di luar kelas bahkan
di luar sekolah.
Di sekolah tersebut, upacara dilaksanakan setiap hari senin pagi sebelum kelas dimulai.
Upacara dihadiri tidak hanya oleh para siswa dan guru namun juga oleh para orang tua yang
mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah. Kepala sekolah menyampaikan sebuah pidato
mengenai program sekolah yang akan dijalankan seminggu ke depan dan hal-hal yang telah
sekolah capai di minggu sebelumnya. Kepala sekolah tidak akan memulai pidatonya sebelum
semua peserta benar-benar tenang. Di akhir pidatonya tibalah saat yang ditunggu-tunggu setiap
orang.
Salah satu siswa (dipilih setiap minggunya dari kelas yang berbeda) berdiri di tengah-
tengah peserta upacara dan mengumumkan nama dan prestasi siswa-siswa terbaik minggu ini
dilanjutkan dengan pemberian sertifikat oleh kepala sekolah didampingi oleh salah satu guru.
Sertifikat diberikan kepada siswa-siswa yang memenangkan kompetisi olahraga ataupun musik
dan kepada siswa yang menunjukan prestasi di beberapa mata pelajaran seperti matematika,
bahasa asing, kesenian, dll. Menariknya, beberapa penghargaan juga diberikan kepada siswa-
siswa yang barangkali tidak unggul dalam ranah kognitif dan keterampilan motorik namun
telah menunjukan perkembangan ranah afektif secara baik.
Sebagai contoh, sebuah penghargaan diberikan kepada (1) siswa yang hampir selalu
membantu guru kelas untuk membawakan buku-buku dan barang lainnya dari dan menuju
kelas; (2) siswa yang paling penuh perhatian saat menyimak presentasi yang dibawakan oleh
pustakawan dari Bagian Perpustakaan; (3) siswa yang paling ikhlas dan suka menolong adik
tingkat saat diminta untuk membantu guru di tingkatan kelas yang lebih rendah (ini biasanya
dilakukan di sekolah dasar dimana siswa-siswa kelas 5 dan 6 membantu guru-guru kelas 1, 2,
atau 3); (4) para siswa yang terlihat dengan sukarela membantu para orang tua dan anak-anak
saat menyeberang jalan di depan sekolah; (5) siswa yang melindungi siswa lainnya yang
hampir menjadi korban kecelakaan di tempat bermain. Sudahkah lembaga sekolah atau
pendidikan di Indonesia memberikan penghargaan kepada siswa yang mengembangkan ranah
afektif dengan cara seperti itu?
Dalam rangka menekankan pentingnya penghargaan dalam pendidikan, Lewis (2010)
mengakui bahwa penghargaan dan hukuman adalah bagian topik yang diperdebatkan oleh para
guru. Banyak guru memandang penghargaan sebagai faktor luar yang tepat dan efektif sebagai
cara mengatur perilaku di kelas sekolah dasar. Sedangkan guru lainnya tidak ingin menyuap
anak-anak untuk melakukan pekerjaan yang harusnya mereka lakukan karena dorongan dari
diri mereka sendiri. Untuk menjauhkan atau meminimalisir ketergantungan seorang murid
terhadap nilai materi sebuah hadiah, Lewis menyarankan hal-hal sebagai berikut:
Sebuah ide penghargaan kelas adalah sebuah konsep penting yang perlu
dipertimbangkan di awal tahun pembelajaran. Jika anda memulai tahun ajaran baru dengan
memberikan siswa penghargaan-penghargaan, mereka akan mengharapkannya dan seakan-
akan mereka bekerja hanya karena untuk mendapatkan hadiah. Namun, jika anda mengurangi
hadiah-hadiah tersebut dari hari ke hari, maka anda dapat sedikit mengurangi aspek materi dan
menghemat pengeluaran uang anda.
Perdebatan tentang kegunaan hadiah diatas tampak seperti membenarkan bahwa
penggunaan hadiah dalam jangka panjang akan membuat anak-anak termotivasi untuk bekerja
karena sebuah hadiah semata. Mereka mungkin akan kehilangan semangat belajar dalam
membentuk kemampuan mereka, serta untuk menyiapkan diri mereka sebagai individu yang
mandiri. Berkenaan dengan konsep pendidikan Indonesia yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Departemen Pendidikan Nasional
Indonesia, 2003: 11).
Penghargaan sebagai sebuah alat motivasi pengembangan ranah afektif dalam konteks
pendidikan harus diberikan secara bijaksana. Penghargaan tersebut tidak selalu diberikan
dalam bentuk materi, akan tetapi diberikan berdasarkan tindakan siswa yang menunjukan
perkembangan ranah afektif baik secara langsung maupun tidak langsung yang ditunjukkan
oleh siswa. Penghargaan secara langsung bisa berupa pujian seperti Bagus!, Pertahankan
itu!, Terimakasih!, dll. Sedangkan yang tidak langsung dapat berupa kedekatan atau
keakraban sebagai penghargaan atas apa yang telah dikerjakan oleh siswa. Penghargaan
tersebut dapat berupa ucapan Selamat Pagi! atau dapat berupa hal yang lebih serius seperti
mengadakan penggalangan dana secara diam-diam untuk membantu siswa yang tidak dapat
membayar biaya sekolah di semester tertentu. Program TOLONG di stasiun tv RCTI dapat
dijadikan contoh yang memotivasi siswa dari berbagai kalangan agar peduli akan orang yang
membutuhkan. Program yang sama dapat diselenggarakan oleh pengurus sekolah untuk
menunjuk beberapa siswa sebagai teladan. Selanjutnya, proses penyeleksian dalam memilih
satu atau dua siswa yang berhak mendapatkan penghargaan dari sekolah dapat dilakukan secara
rahasia.
Beberapa sekolah swasta, khususnya sekolah berbasis agama di Yogyakarta, telah
mengamalkan hal-hal yang mereka ajarkan. Sebagai contoh, di salah satu sekolah tersebut,
setiap pagi manakala para siswa datang, kepala sekolah dan guru-guru berbaris di depan
gerbang untuk menyapa para siswa dengan menjabat tangan mereka. Selain memberikan salam,
kepala sekolah dan para guru mengecek kerapihan pakaian mereka, atau apakah kuku mereka
bersih dan pendek. Karena para orang tua yang mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah
menyaksikan ini setiap pagi, bukanlah sesuatu yang sulit bagi mereka memahami bahwa kepala
sekolah dan guru benar-benar mengamalkan apa yang telah mereka ajarkan. Dan sebaliknya,
guru juga menyaksikan siswa-siswa berpamitan kepada orang tua yang mengantar mereka ke
gerbang sekolah dengan mencium tangan orang tua mereka.
Sekolah ini mempunyai gedung-gedung bertingkat tiga. Di sisi tangga tiap lantai berdiri
seorang guru yang selalu mengingatkan siswanya untuk mendahulukan kaki kanan saat akan
menaiki tangga dan kaki kiri saat menuruni anak tangga, sesuai dengan ajaran Islam. Praktek
ini dan semua yang telah dijelaskan diatas merupakan pengamalan dari affektif, spiritual atau
nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari di sekolah maupun di rumah. Meskipun
demikian, tidak ada penghargaan tertentu yang diberikan kepada murid terbaik seperti yang
ada di Sekolah Dasar Glenferrie.
Pemerintah kabupaten Janeponto menyelenggarakan Festival Anak Shaleh (Pious
Childrens festival) pada hari jumat, 23 july 2010. Syamsudin, kepala bagian hubungan
masyarakat kabupaten Janeponto menjelaskan bahwa festival dimaksudkan untuk memotivasi
anak-anak agar mengekspresikan dan mengapresiasi diri mereka sendiri. Sebagai generasi
muda yang akan menjadi pemimpin di masa depan, mereka harus memiliki moral yang baik di
samping pendidikan formal di sekolah. Anak-anak yang mengikuti festival juga dapat berbagai
pengalaman, perjuangan, kesedihan dan kebahagiaan mereka saat belajar di berbagai lembaga
pendidikan yang berbeda dimana mereka mengembangkan toleransi, menghormati sesama, dll.
Pemerintah berharap melalui festival tersebut ranah affektif, moral dan spiritual peserta dapat
berkembang.
Festival yang serupa sudah lebih dulu di selenggarakan di Purbalingga (Soetarto, 2004)
untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap Al-Quran sehingga anak-anak akan tumbuh menjadi
generasi yang Qurani (generasi yang mengamalkan ajaran Quran). Festival tersebut berusaha
untuk memadukan pengajaran agama dengan pengajaran budaya dan seni. Dengan demikian,
anak-anak tidak hanya mendengar apa yang guru dan orang-orang katakan, tetapi mereka bisa
melihat dan melakukan sesuatu, berpartisipasi aktif dalam serangkaian kegiatan festival.
Sutarto mengusulkan bahwa dengan mendengar dan melihat, anak anak akan menyerap
(belajar) 30% informasi atau pengetahuan, sementara itu dengan melakukannya anak-anak
akan mengerti 70% dari apa yang mereka pelajari. Jika metode yang berbeda ini digabungkan,
anak-anak akan belajar lebih dari 100%.
Festival-festival tersebut, yang secara total menuntut para peserta untuk meggunakan
potensi yang sudah mereka kembangkan, mencakup kemampuan kognitif, psikomotor dan
affektif, memberikan kesempatan lebih kepada anak-anak untuk menunjukkan potensi diri
mereka sendiri. Kegiatan dan berbagai upaya lain yang dilakukan oleh sekolah-sekolah yang
telah disebutkan sebelumnya harusnya dijadikan contoh bagi sekolah lain, baik swasta maupun
negeri.
Khisbiyah (2010: 11) berpendapat bahwa cara yang lebih efektif untuk
mengembangkan ranah afektif harus dengan menghadirkan teladan. Melalui contoh tersebut,
dengan atau tanpa bimbingan, anak-anak akan dengan mudah membentuk diri mereka dari para
teladan tersebut. Sejalan dengan saran ini, Lapsley & Narvaez (2004:67) menegaskan bahwa
identitas moral terbentuk dari kesempatan yang ditawarkan oleh hubungan dan lembaga sosial
yang memantau, melakukan percobaan, serta menerima dukungan dalam pembuatan undang-
undang moral. Sering kali anak-anak dengan perkembangan identitas moral yang baik
dibandingkan dengan masyarakat umum, perbandingan tersebut terfokus pada pembentukan
kemampuan dalam mengejar tujuan moral untuk mengarah pada sikap kedepannya yang tidak
sesuai dengan norma bermasyarakat. Contohnya, orang-orang berpikir bahwa penolakan
Ghandi terhadap warga Negara yang materialistis bertujuan untuk menegakan keadilan. Tentu
saja benar bahwa identitas moral bisa mempertahankan perilaku moral dalam konteks sosial
yang tidak mendukung perilaku semacam itu, bukan berarti bahwa identitas moral terbentuk
dengan sendirinya dalam konteks sosial. Sebenarnya memang semua biografi orang-orang
yang bermoral mencantumkan peran hubungan dan lembaga khusus terhadap tanggung jawab
moral.
Dalam sebuah keluarga, orang tua harus memberikan contoh yang baik bagi anak-
anaknya dengan melibatkan mereka dalam melakukan pekerjaan dan mengumpulkan dana
untuk kepentingan publik. Anak-anak perlu melihat beberapa contoh bahwasanya saling tolong
menolong dan bekerja sama tanpa mengharapkan imbalan merupakan contoh yang baik untuk
ditiru. Orang tua perlu meminta mereka bersedekah atau menyumbang ke masjid dekat rumah,
memberikan uang kepada pengemis, menyediakan air untuk para tamu, dan lain lain. Latihan
tersebut akan memberikan dampak yang besar bagi kehidupan mereka ketika mereka sudah
dewasa. Mereka akan memiliki rasa simpati kepada orang yang tidak mampu dan membagi
sebagian hartanya demi kepentingan umum.
Dalam usaha membantu mengembangkan ranah afektif anak-anak, Djohantini
(2010:11) menekankan perlunya nasehat. Orang tua perlu memperbarui pengetahuan mereka,
termasuk tentang perkembangan terbaru dari teknologi informasi dan komunikasi, sehingga
mereka bisa membimbing dan mendidik anggota keluarga lainnya yang masih dalam proses
pertumbuhan. Hal ini berlaku terutama untuk hidup di zaman teknologi sekarang ini.
Kesenjangan teknologi seperti ketidakmampuan orang tua dalam menggunakan
teknologi sederhana seperti menggunakan ponsel dapat mengakibatkan bencana bagi
keluarga karena orangtua tidak bisa mengawasi apa yang anak-anak mereka lakukan dengan
ponsel mereka. Ketersediaan semua jenis informasi dan fasilitas untuk mengakses informasi
memungkinkan anak-anak untuk mengunduh materi internet yang relevan dengan usia dan
studi mereka serta bisa juga membahayakan dan mempengaruhi pikiran mereka. Mereka dapat
dengan mudah mengakses situs porno yang dapat menyebabkan mereka tidak mampu
berkonsentrasi pada studi mereka. Yang lebih parahnya, ada kasus perkosaan yang dilaporkan
terjadi setelah pemerkosa menonton film porno (Iswarahadi, 2003:74).

KESIMPULAN
Dua latihan yang menunjukkan perbedaan yang jelas antara ucapan dan tindakan,
seperti yang dapat disaksikan dalam keterbukaan, atau bahkan pemeliharaan praktek korupsi
yang melibatkan pejabat pemerintah serta anggota lembaga legislatif yang sering berkhotbah
agama dapat mengakibatkan degradasi atau lunturnya nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan
tanggungjawaban, yang merupakan unsur ranah afektif. Nilai-nilai moral dan spiritual juga
dapat hilang oleh penampilan tokoh-tokoh terhormat yang tampaknya memiliki moral tinggi
tetapi berubah menjadi tidak terhormat dalam realitas kehidupan sehari-hari mereka. Anak-
anak sering menyaksikan contoh adegan vulgar di televisi yang berlawanan dengan perilaku
halus yang dikatakan oleh guru di sekolah atau oleh orang tua di rumah. Apa yang dibutuhkan
oleh anak-anak ini adalah contoh yang layak ditiru kemanapun mereka pergi sehingga mereka
dapat melihat dan merasakan konsistensi nilai-nilai yang digunakan sebagai acuan normatif
untuk semua tindakan yang berkaitan dengan nilai yang diberikan seperti yang disarankan oleh
Foerster. Lagipula, karena anak-anak masih dalam proses perkembangan dan berusaha untuk
menemukan identitas diri, maka nasehat itu diperlukan. Para orang tua harus selalu
memperbarui pengetahuan mereka dengan pengetahuan yang bermanfaat seperti penggunaan
ponsel sehingga mereka bisa mengawasi atau memeriksa apa yang anak-anak mereka lakukan
dengan ponsel mereka untuk memastikan bahwa fasilitas teknologi modern akan memudahkan,
tidak menghambat perkembangan ranah afektif dengan cara yang positif dan pembentukan
kebiasaan berbuat baik. Karena anak-anak sering menyaksikan pemberian penghargaan kepada
orang yang berhasil mengembangkan ranah afektif dan psikomotor, kesempatan juga harus
tersedia di mana mereka dapat melihat, merasakan, dan mengalami manfaat yang benar-benar
diberikan kepada mereka yang berprestasi dalam pengembangan ranah afektif. Dengan cara
ini, anak-anak akan dapat mengaplikasikan kata-kata ke dalam sebuah tindakan.

Anda mungkin juga menyukai