INTRODUCTION Di Indonesia, dimana orang-orang selalu melihat dan mendengarkan ceramah langsung di Masjid dan Gereja atau di televisi hampir setiap hari, ranah afektif harusnya berkembang sesuai dengan kesadaran setiap individu. Kejujuran, keadilan, empati, pengorbanan diri, pengabdian, toleransi, perdamaian dan keharmonisan seharusnya berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Namun pada kenyataannya, korupsi merajalela di seluruh negeri, pelanggaran hukum menjadi berita utama setiap harinya, konflik antar penduduk lokal kerap kali terjadi, tindak kekerasan terhadap anak dan pelecehan seksual juga sering kali diberitakan. Penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang pada awalnya hanya dikenal dikalangan anak-anak kelas menengah keatas, sekarang juga merambah mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Perselisihan kadang terjadi diantara anak-anak dari sekolah yang sama maupun sekolah yang berbeda, antar penduduk desa, antar pejabat dari partai politik yang berbeda atau antar para pendukung kandidat yang berbeda dalam pemilihan bupati atau gubernur. Harusnya tidak ada lagi anak yang membunuh ayahnya sendiri dan ayah yang memperkosa anaknya sendiri dan sebagainya. Namun pada kenyataannya, tindak kriminal serta perilaku buruk kerap kali diberitakan terjadi di wilayah Indonesia. Di Australia, dimana orang-orang tidak banyak membicarakan agama dan moralitas, ranah afektif telah menjadi bagian dari kehidupa sehari-hari di sekolah maupun di masyarakat. menghormat orang yang lebih tua, mendahulukan wanita dan orang cacat bukanlah sekedar semboyan. Mereka adalah contoh nyata yang telah menjadi ciri khas kehidupan orang Australia. Contohnya, saat di transportasi umum, anak muda akan merasa bersalah jika mereka tidak memberikan tempat duduk kepada orang yang lebih tua, wanita maupun orang cacat. Di Australia, masih ada orang yang bisa menyaksikan dhalang (orang yang memainkan pertunjukan wayang di Jawa) menyampaikan tentang perdamaian dan kesejahteraan yang dikaruniakan kepada Negara yang diceritakan pada awal cerita. Dalam pertanian Australia, para petani hanya akan membuka pintu kandang di pagi hari dan ternak pun akan berhamburan keluar, melepaskannya di padang rumput, dan kembali ke kandang pada sore hari. Petani tidak perlu merasa ketakutan, karena disana tidak ada pencuri yang berniat mencuri hewan ternak. Di daerah Blackburn, sekitar 4 km dari kampus Universitas Deakin Melbourne, beberapa keluarga tidak perlu bersusah payah mengunci pintu rumah dan kandang mereka, karena mereka tidak meragukan keamanan di daerah mereka. Polisi hanya sesekali melakukan patroli keliling, tanpa memerlukan waktu yang lama. Polisi juga biasanya tidak berjaga-jaga disekitar perbatasan kota kota Melbourne atau Sydney, tetapi pengendara mobil dan motor tidak menerobos lampu merah. Kamera tersembunyi bias saja menjadi bukti, tetapi kedisiplinan orang-orang disanalah yang dapat menjadi alasan yang lebih tepat. Lalu, apa yang salah dengan yang terjadi di Indonesia? Di setiap kota di Indonesia, hampir selalu ada polisi yang berjaga-jaga di sekitar persimpangan dan tempat ramai, tetapi penerobosan lampu merah atau pelanggaran lalu lintas lainnya sudah biasa terjadi. Ketika pelanggar lalu lintas tertangkap, nampakya tidak ada standar ukuran yang jelas mengenai jaminan bahwa pelanggaran yang sama tidak akan terulang untuk kedua kalinya. Ada dua situasi bertentangan yang mendorong penulis untuk menyelidiki lebih jauh mengenai apa yang melatarbelakangi situasi tersebut dan menawarkan solusi permasalaha dalam lingkup perkembangan ranah afektif dalam pendidikan di Indonesia dengan cara mengadaptasi model yang ada di dalam dan luar negeri. Pembahasan ini, dalam beberapa tingkatan, meliputi aspek dari pendidikan karakter. Pemilihan yang berfokus pada pengembangan ranah afektif bermaksud untuk lebih menyeluruh agar memungkinkan adanya perbandingan dari segi aspek yang sama di bawah perbedaan budaya. Karena beberapa unsur pendidikan karakter yang terkait dengan tempattertentu, ras, bangsa secara budaya, maka perkembangan ranah afektif kemungkinan besar diterapkan pada pendidikan di seluruh dunia, tanpa menghiraukan perbedaan ras dan kebangsaan. Walaupun ada beberapa perbedaan unsur dari pendidikan karakter yang membatasi secara kultural untuk suatu tempat yang khusus, ras, atau bangsa, pengembangan ranah afektif kemungkinan besar diadakan untuk mengarahkan seluruh pendidikan yang ada di dunia, tanpa menghiraukan perbedaan ras dan kebangsaan.
PERKEMBANGAN RANAH AFEKTIF Richard & Schmidt (2002: 169) mendefinisikan ranah afektif sebagai sebuah sasaran dengan tujuan pengembangan sikap, perasaan dan nilai siswa, sedangkan Collins & OBrien (2003:12) menganggap ranah afekif sebagai aspek pembelajaran yang melibatkan emosi, perasaan, dan sikap. Jalal (2010:11) mengkaitkan perasaan dan ranah afektif dengan nilai rohani atau keagamaan ketika dia menyarankan penggabungan antara dzikir (beribadah, mengingat Allah satu-satunya Tuhan) dengan fikir (pikiran dan pengetahuan) dan keterampilan fisik. Demikian seorang yang berkarakter mampu menyeimbangkan antara perkembangan kemampuan kognitif, psikomotor dan afektif. Oleh karena itu, dia menguraikannya secara mendalam. Kutipan dari Haigh (1975), Lang, Katz & Menezes (1998:73) menekankan bahwa tugas para pendidik anak-anak adalah lebih dari sekadar mengisi ember yang kosong dengan pengetahuan. Karena memiliki hak dan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak-anak seperti yang dimiliki orang tua, guru sangat perlu memperhatikan ranah afektif. Kegunaan afektif dalam pendidikan ada tiga kali lipat. Pertama, hal ini masih diperdebatkan bahwasanya masalah mendidik anak secara utuh berarti sama saja mendidik emosi (perasaan) mereka. Walaupun begitu, peran guru lebih sering terkait dengan pengajaran serta penegakan kedisiplinan. Kedua, keadaan emosional (begitu juga dengan nilai, sikap, kepekaan, dll yang mendasari atau mendukungnya) bisa jadi membantu atau justru mengganggu proses belajar anak dalam ranah lainnya. Persoalan emosional perlu disisipkan dalam rangka mendukung pembelajaran sesuai dengan kurikulum. Ketiga, sekolah merupakan tempat untuk bersosialisasi. Hubungan antara perasaan dan nilai moral, integrasi sosial yang baik dan hubungan antar personal yang efektif sangatlah kuat. Untuk mencapai dua tujuan dari integrasi sosial dan pengembangan personal tersebut, sekolah sangatlah perlu menempatkan dimensi afektif pada adaptasi personal dan sosial. Berbicara tentang pendidikan karakter secara spesifik, Foerster (Kholis, 2010:50) mengajukan empat karakteristik yang relevan dengan pengelolaan sistem pengembangan ranah afektif. Keempat karakteristik tersebut ialah: (1) ketetapan nilai yang dipakai sebagai acuan normatif terhadap seluruh tindakan yang berhubungan dengan nilai yang diberikan; (2) hubungan yang mendorong seseorang untuk konsisten berprinsip meskipun terdapat resiko di belakangnya; (3) kemandirian dalam usaha memahami prinsip-prinsip tersebut sampai menjadi nilai personal tanpa adanya tekanan dari pihak luar; dan (4) ketekunan dan ketaatan. Dalam penjelasan lebih jauh, Megawangi (2010:30) menegaskan bahwa pendidikan harus membimbing ke arah keluarga yang sehat dan bahagia seperti yang diindikasikan oleh beberapa karakteristik yang harus dimiliki berikut ini: (1) cinta kasih Tuhan dan hasil ciptaan-Nya; (2) pertanggungjawaban, kedisiplinan dan kemandirian; (3) kejujuran; (4) rasa hormat dan kesopanan; (5) kasih sayang, peduli dan kerja sama; (6) kepercayaan diri, kerja keras dan ketekunan; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) kebajikan dan kerendahan hati; (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan. Untuk mencapai karakteristik-karakteristik di atas, perubahan harus dimulai dari dalam diri setiap individu. Hal ini akan terwujud hanya jika seseorang memiliki rasa cinta dalam berbuat kebaikan di muka bumi ini. Rasa cinta dalam berbuat kebaikan itu mungkin jika seseorang memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Rasa cinta dalam berbuat kebaikan tersebut akhirnya akan menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan ini tidak hanya tumbuh dari sekedar latihan tetapi dimulai dari pemahaman diri masing-masing sehingga seseorang dapat mengembangkan (1) ranah kognitif; (2) ranah afektif; dan (3) ranah psikomotor.
MASALAH: KESENJANGAN ANTARA KENYATAAN DAN HARAPAN Visi dan misi di hampir setiap institusi pendidikan memandang perkembangan afektif sebagai sebuah elemen penting dalam mengembangkan generasi muda untuk menjadi manusia yang utuh. Pentingnya ranah afektif terkadang tidak hanya tertera dalam kurikulum maupundalamrancangan pengembangan strategis lembaga, namun juga terwujud dalam bentuk slogan yang dicetak pada cenderamata, spanduk, atau bahkan di gerbang kampus maupun di pintu masuk kantor pusat lembaga. Beberapa sekolah bahkan menggambar slogan tersebut di dinding dengan huruf kapital TAQWA, CERDAS, TERAMPIL. Kata TAQWA yang diletakkan di awal slogan tersebut pasti bukanlah sebuah kebetulan. Penulisnya pasti telah memikirkan keutamaan nilai moral dan spiritual yang berhubungan erat dengan ranah afektif. Dalam hal ini, polisi-polisi Indonesia juga pasti telah menyadari keutamaan mengasihi sehingga dua slogan mereka berbunyi Polisi Sahabat Rakyat (Rahardjo, 2002:199) dan Polisi Sahabat Anak (Tabah, 1991: 70). Polisi-polisi Indonesia ingin membangun sebuah citra publik bahwa mereka bukan semata-semata para penegak hukum yang menindas, namun juga mitra publik kapanpun mereka dibutuhkan. Slogan-slogan diatas telah menjadi alat yang menarik perhatian untuk mengungkapkan kasih sayang yang dikehendaki oleh masing-masing lembaga dengan tujuan agar publik mengetahuinya. Selain itu, kejujuran, keadilan, empati, pengorbanan diri, pengabdian, toleransi, perdamaian, dan kerukunan telah menjadi topik yang kerap kali masyarakat dengar dan saksikan secara langsung di masjid-masjid dan gereja-gereja maupun di televisi setiap harinya. Dengan demikian, kasih sayang harusnya juga berkembang di hati masing-masing individu dan mengarahkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Namun kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam lingkup birokrasi, korupsi berkembang subur di seluruh negeri (Sudarto, 2010), dan pelanggaran hukum menjadi bagian dari berita terpopuler sehari-hari. Irawan (2010) juga memuji perhatian Presiden Susilo Bambang Yudoyono terhadap banyaknya pejabat pemerintah yang terlibat korupsi. Dia telah memberikan izin pada lebih dari 150 pejabat pemerintah untuk dapat diselidiki atas keterlibatannya dalam kasus korupsi. Di lingkup parlemen, pemandangan memalukan dapat pula disaksikan di hampir setiap rapat pleno dimana banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tertangkap basah sedang tertidur. Dalam beberapa sidang paripurna, banyak kursi yang kosong, menandakan bahwa mereka tidak hadir. Anak-anak mereka di rumah dapat menyaksikan apa yang mereka perbuat dari gaji tinggi yang mereka terima dari uang rakyat. Sebuah pemandangan tidak mengenakkan dengan jelas ditunjukkan dalam forum terhormat di badan yang terhormat ini ketika para anggota yang mewakili partai oposisi memprotes keputusan yang dibuat oleh pimpinan sidang untuk menghentikan rapat yang membahas isu korupsi terkait dengan Bank Century. Kontak fisik antar anggota Dewan Perwakilan Rakyat disiarkan secara langsung di TV (Boy M., 2010), sementara perundingannya tetap tanpa kepastian. Masalah yang belum jelas terkait korupsi dan pelanggaran hukum yang masih terus berkembang dirasa oleh beberapa pihak merugikan keadilan publik. Beberapa orang menyangsikan apakah anggota Dewan Perwakilan Rakyat benar-benar mewakili aspirasi rakyat. Aksi Pong yang membuat grafiti JUJUR, ADIL, TEGAS di atap Gedung Parlemen Indonesia merupakan cerminan dari protes tegasnya terhadap anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dalam pandangannya tidak mewakili publik yang menuntut kejujuran, keadilan dan ketegasan terkait dengan isu parlementer yang mereka hadapi. (Kristanti, 2010). Di era Orde Baru, indoktrinasi Pancasila (Lima Prinsip Jalan Hidup Orang Indonesia) dilaksanakan secara intensif dan ekstensif di seluruh Indonesia, di daerah-daerah pedesaan yang terpencil sekalipun. Berjuta-juta dolar dihabiskan dan beribu-ribu guru dipekerjakan. Namun, nilai-nilai luhur Pancasila hanya berhenti pada level retorika karena banyak tokoh- tokoh penting pada badan eksekutif dan legislatif gagal memberikan panutan terhadap pengamalan Pancasila sebagai sebuah jalan hidup. Sosialisasi kemurnian Pancasila menjadi sebuah pekerjaan yang menghibur dari pertunjukan badut dimana tepuk tangan akan menggema di ruang kelas apabila sang penyaji dapat dengan cerdik melontarkan lelucon- lelucon ejekan dengan tujuan mengkritisi salah satu tokoh penting lokal maupun nasional. Dewasa ini, kejadian serupa bahkan telah dipertontonkan dalam tingkah laku yang lebih buruk oleh banyak tokoh-tokoh penting yang terhormat dari masyarakat Indonesia. Perkelahian antar anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam forum majelis umum merupakan sebuah contoh dari ketidakharmonisan dan pelanggaran susila (Boy, 2010). Contoh lain adalah berita yang melaporkan banyaknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pejabat tinggi dari sektor yang berbeda di pemerintahan telah terlibat korupsi (Irawan, 2010). Pelanggaran-pelanggaran susila dan kasus-kasus korupsi ini dipublikasikan di media massa secara nasional dan internasional, sehingga bukan hanya Negara tetangga tapi orang-orang diseluruh dunia mengetahui berita tersebut. Sehingga, Pancasila, yang membuat bangsa luar negeri memberikan penghargaan tinggi terhadap masyarakat Indonesia, secara perlahan dilupakan karena kurangnya teladan yang pantas dicontoh dari aplikasinya dalam kehidupan orang Indonesia (Sudarto, 2010:2). Pada akhirnya, tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dari negeri tercinta ini. Tidak ada lagi rujukan yang jelas seperti apa yang direncanakan pemerintah untuk memperbaiki ketidakpastian jalan hidup rakyat dan petunjuk mana yang akan diambil untuk rakyat. Bahkan ketika rencana pendidikan karakter diajukan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Pena Pendidikan, 2010), masalahnya akan bergantung pada kurangnya tokoh panutan nasional hingga lokal serta level institusi yang mampu memberikan contoh penerapan karakter-karakter yang diharapkan. Dalam lingkup masyarakat, perkelahian kerap terjadi antar sesama warga lokal, antar warga yang bertetangga desa, antar pejabat dari partai politik yang berbeda atau antar pendukung kandidat yang berbeda dalam pemilihan bupati atau gubernur, serta antar pendukung tim berlawanan dalam pertandingan olahraga. Penyiksaan pada anak dan pelecehan seksual sering kali diberitakan. Penyalahgunaan narkoba, yang pada awalnya hanya dikenal di kalangan anak-anak berada dan kelas menengah keatas, sekarang juga mulai merambah mereka yang berasal dari kelas sosial bawah. Ada banyak anak yang membunuh orangtua mereka dengan tangan mereka sendiri (Efti, 2003: 16), dan seorang ayah yang memperkosa anak perempuannya sendiri (Prakuso, 1989:83). Dalam lingkup pendidikan, perselisihan sering terjadi antar mahasiswa (Saputra &Zuula, 2010) atau anak-anak dari sekolah yang sama maupun yang berbeda. Terlepas dari larangan yang diberlakukan oleh pengelolaan lembaga pendidikan, bullying masih dilakukan oleh panitia pelaksana program orientasi siswa baru. Selama masa orientasi, beberapa murid senior berlaku kasar dan bahkan menyiksa murid-murid baru tersebut. Dalam hal perkembangan ranah efektif dalam dunia pendidikan, hal yang bertentangan dapat pula dirasakan dalam penilaian pada indikator keberhasilan pelajar. Terlepas dari tujuan yang menempatkan pertimbangan yang sama mengenai pencapaian siswa yang berkaitan dengan perkembangan ranah kognitif, psikomotor dan afektif, keberhasilan siswa pada dua ranah yang disebutkan terlebih dahulu tampaknya menyamarkan tujuan penilaian pada ranah yang terakhir. Walaupun bukti masih perlu dikumpulkan, tampak bahwa keberhasilan seorang murid SMA (Sekolah Menengah Atas) dalam Ujian Akhir Nasional kemungkinan besar akan mempengaruhi kedudukannya di kelas meskipun pencapaiannya kurang memuaskan di bidang afektif, yaitu perkembangan moral. Pencapaian kurang baik siswa tersebut dalam perkembangan moral boleh jadi tidak diekspos kecuali jika murid yang sama ini gagal dalam Ujian Akhir Nasional. Karena persyaratan paling utama untuk mendaftar ke lembaga sekolah yang lebih tinggi adalah ijazah kelulusan Ujian Akhir Nasional, tidak ada seleksi resmi yang dapat menghalangi pemilik ijazah untuk naik ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sementara itu, mereka yang unggul dalam bidang afektif namun gagal di Ujian Akhir Nasional akan kehilangan kesempatan untuk maju. Fenomena yang serupa juga terjadi dalam pemberian beasiswa. Sejauh ini, kebanyakan beasiswa diberikan kepada mahasiswa didasarkan pada dua kriteria: prestasi akademik yang ditunjukkan melalui Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan status ekonomi yang dibuktikan melalui pernyataan status ekonomi keluarga yang dicap oleh kewenangan daerah. Kebanyakan lulusan terbaik yang diumumkan selama acara wisuda juga dinilai berdasarkan indeks prestasi kumulaitf. Demikian juga siswa-siswa yang memenangkan kejuaraan olahraga di tingkat sekolah, lokal, daerah, nasional maupun internasional akan selalu menerima penghargaan materi dan non-materi. Namun, sedikit sekali siswa, kalaupun ada, yang mendapat penghargaan resmi dan materi karena pencapaian sukses mereka dalam pengembangan ranah afektif. Perilaku yang baik menghendaki adanya kejujuran, kesopanan, kebermanfaatan, toleransi, hormat terhadap yang lebih tua dan orang lain, serta ketakwaan. Dalam praktiknya, tidak ada penghargaan resmi yang dapat dianugerahkan kepada siswa-siswa yang memiliki kemampuan- kemampuan tersebut. Ambivalensi ini tampaknya menjadi salah satu alasan bagi masalah pengamalan dan penguatan dari, dan karenanya, perkembangan ranah afektif dalam lingkup pendidikan. Anak- anak mendengar orang-orang mengajarkan kebajikan, namun kenyataannya mereka menyaksikan kejahatan-kejahatan baik secara langsung maupun terekam dan disiarkan di media massa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sedikit sekali yang terdengar mengenai praktik kebajikan-kebajikan tersebut.
SEBUAH JALAN KELUAR: SOLUSI MEMPERBAIKI KEADAAN Di negara Australia, sampai tahun 2001 (dan mungkin berlanjut sampai sekarang), khususnya di tingkat pendidikan dasar, perkembangan afektif ditekankan dalam kehidupan sehari-hari, sejalan dengan perkembangan ranah kognitif dan keterampilan motorik. Sebagai contoh, di Sekolah Dasar Glenferri, distrik Hawthorne, negara bagian Victoria, keberhasilan para siswa tidak hanya dinilai dari penampilan mereka dikelas terkait dengan prestasi yang mereka raih pada mata pelajaran seperti ilmu pengetahuan alam, bahasa, atau ilmu pengetahuan sosial, namun juga terkait dengan sikap dan perilaku mereka yang diamati di luar kelas bahkan di luar sekolah. Di sekolah tersebut, upacara dilaksanakan setiap hari senin pagi sebelum kelas dimulai. Upacara dihadiri tidak hanya oleh para siswa dan guru namun juga oleh para orang tua yang mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah. Kepala sekolah menyampaikan sebuah pidato mengenai program sekolah yang akan dijalankan seminggu ke depan dan hal-hal yang telah sekolah capai di minggu sebelumnya. Kepala sekolah tidak akan memulai pidatonya sebelum semua peserta benar-benar tenang. Di akhir pidatonya tibalah saat yang ditunggu-tunggu setiap orang. Salah satu siswa (dipilih setiap minggunya dari kelas yang berbeda) berdiri di tengah- tengah peserta upacara dan mengumumkan nama dan prestasi siswa-siswa terbaik minggu ini dilanjutkan dengan pemberian sertifikat oleh kepala sekolah didampingi oleh salah satu guru. Sertifikat diberikan kepada siswa-siswa yang memenangkan kompetisi olahraga ataupun musik dan kepada siswa yang menunjukan prestasi di beberapa mata pelajaran seperti matematika, bahasa asing, kesenian, dll. Menariknya, beberapa penghargaan juga diberikan kepada siswa- siswa yang barangkali tidak unggul dalam ranah kognitif dan keterampilan motorik namun telah menunjukan perkembangan ranah afektif secara baik. Sebagai contoh, sebuah penghargaan diberikan kepada (1) siswa yang hampir selalu membantu guru kelas untuk membawakan buku-buku dan barang lainnya dari dan menuju kelas; (2) siswa yang paling penuh perhatian saat menyimak presentasi yang dibawakan oleh pustakawan dari Bagian Perpustakaan; (3) siswa yang paling ikhlas dan suka menolong adik tingkat saat diminta untuk membantu guru di tingkatan kelas yang lebih rendah (ini biasanya dilakukan di sekolah dasar dimana siswa-siswa kelas 5 dan 6 membantu guru-guru kelas 1, 2, atau 3); (4) para siswa yang terlihat dengan sukarela membantu para orang tua dan anak-anak saat menyeberang jalan di depan sekolah; (5) siswa yang melindungi siswa lainnya yang hampir menjadi korban kecelakaan di tempat bermain. Sudahkah lembaga sekolah atau pendidikan di Indonesia memberikan penghargaan kepada siswa yang mengembangkan ranah afektif dengan cara seperti itu? Dalam rangka menekankan pentingnya penghargaan dalam pendidikan, Lewis (2010) mengakui bahwa penghargaan dan hukuman adalah bagian topik yang diperdebatkan oleh para guru. Banyak guru memandang penghargaan sebagai faktor luar yang tepat dan efektif sebagai cara mengatur perilaku di kelas sekolah dasar. Sedangkan guru lainnya tidak ingin menyuap anak-anak untuk melakukan pekerjaan yang harusnya mereka lakukan karena dorongan dari diri mereka sendiri. Untuk menjauhkan atau meminimalisir ketergantungan seorang murid terhadap nilai materi sebuah hadiah, Lewis menyarankan hal-hal sebagai berikut: Sebuah ide penghargaan kelas adalah sebuah konsep penting yang perlu dipertimbangkan di awal tahun pembelajaran. Jika anda memulai tahun ajaran baru dengan memberikan siswa penghargaan-penghargaan, mereka akan mengharapkannya dan seakan- akan mereka bekerja hanya karena untuk mendapatkan hadiah. Namun, jika anda mengurangi hadiah-hadiah tersebut dari hari ke hari, maka anda dapat sedikit mengurangi aspek materi dan menghemat pengeluaran uang anda. Perdebatan tentang kegunaan hadiah diatas tampak seperti membenarkan bahwa penggunaan hadiah dalam jangka panjang akan membuat anak-anak termotivasi untuk bekerja karena sebuah hadiah semata. Mereka mungkin akan kehilangan semangat belajar dalam membentuk kemampuan mereka, serta untuk menyiapkan diri mereka sebagai individu yang mandiri. Berkenaan dengan konsep pendidikan Indonesia yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, 2003: 11). Penghargaan sebagai sebuah alat motivasi pengembangan ranah afektif dalam konteks pendidikan harus diberikan secara bijaksana. Penghargaan tersebut tidak selalu diberikan dalam bentuk materi, akan tetapi diberikan berdasarkan tindakan siswa yang menunjukan perkembangan ranah afektif baik secara langsung maupun tidak langsung yang ditunjukkan oleh siswa. Penghargaan secara langsung bisa berupa pujian seperti Bagus!, Pertahankan itu!, Terimakasih!, dll. Sedangkan yang tidak langsung dapat berupa kedekatan atau keakraban sebagai penghargaan atas apa yang telah dikerjakan oleh siswa. Penghargaan tersebut dapat berupa ucapan Selamat Pagi! atau dapat berupa hal yang lebih serius seperti mengadakan penggalangan dana secara diam-diam untuk membantu siswa yang tidak dapat membayar biaya sekolah di semester tertentu. Program TOLONG di stasiun tv RCTI dapat dijadikan contoh yang memotivasi siswa dari berbagai kalangan agar peduli akan orang yang membutuhkan. Program yang sama dapat diselenggarakan oleh pengurus sekolah untuk menunjuk beberapa siswa sebagai teladan. Selanjutnya, proses penyeleksian dalam memilih satu atau dua siswa yang berhak mendapatkan penghargaan dari sekolah dapat dilakukan secara rahasia. Beberapa sekolah swasta, khususnya sekolah berbasis agama di Yogyakarta, telah mengamalkan hal-hal yang mereka ajarkan. Sebagai contoh, di salah satu sekolah tersebut, setiap pagi manakala para siswa datang, kepala sekolah dan guru-guru berbaris di depan gerbang untuk menyapa para siswa dengan menjabat tangan mereka. Selain memberikan salam, kepala sekolah dan para guru mengecek kerapihan pakaian mereka, atau apakah kuku mereka bersih dan pendek. Karena para orang tua yang mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah menyaksikan ini setiap pagi, bukanlah sesuatu yang sulit bagi mereka memahami bahwa kepala sekolah dan guru benar-benar mengamalkan apa yang telah mereka ajarkan. Dan sebaliknya, guru juga menyaksikan siswa-siswa berpamitan kepada orang tua yang mengantar mereka ke gerbang sekolah dengan mencium tangan orang tua mereka. Sekolah ini mempunyai gedung-gedung bertingkat tiga. Di sisi tangga tiap lantai berdiri seorang guru yang selalu mengingatkan siswanya untuk mendahulukan kaki kanan saat akan menaiki tangga dan kaki kiri saat menuruni anak tangga, sesuai dengan ajaran Islam. Praktek ini dan semua yang telah dijelaskan diatas merupakan pengamalan dari affektif, spiritual atau nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari di sekolah maupun di rumah. Meskipun demikian, tidak ada penghargaan tertentu yang diberikan kepada murid terbaik seperti yang ada di Sekolah Dasar Glenferrie. Pemerintah kabupaten Janeponto menyelenggarakan Festival Anak Shaleh (Pious Childrens festival) pada hari jumat, 23 july 2010. Syamsudin, kepala bagian hubungan masyarakat kabupaten Janeponto menjelaskan bahwa festival dimaksudkan untuk memotivasi anak-anak agar mengekspresikan dan mengapresiasi diri mereka sendiri. Sebagai generasi muda yang akan menjadi pemimpin di masa depan, mereka harus memiliki moral yang baik di samping pendidikan formal di sekolah. Anak-anak yang mengikuti festival juga dapat berbagai pengalaman, perjuangan, kesedihan dan kebahagiaan mereka saat belajar di berbagai lembaga pendidikan yang berbeda dimana mereka mengembangkan toleransi, menghormati sesama, dll. Pemerintah berharap melalui festival tersebut ranah affektif, moral dan spiritual peserta dapat berkembang. Festival yang serupa sudah lebih dulu di selenggarakan di Purbalingga (Soetarto, 2004) untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap Al-Quran sehingga anak-anak akan tumbuh menjadi generasi yang Qurani (generasi yang mengamalkan ajaran Quran). Festival tersebut berusaha untuk memadukan pengajaran agama dengan pengajaran budaya dan seni. Dengan demikian, anak-anak tidak hanya mendengar apa yang guru dan orang-orang katakan, tetapi mereka bisa melihat dan melakukan sesuatu, berpartisipasi aktif dalam serangkaian kegiatan festival. Sutarto mengusulkan bahwa dengan mendengar dan melihat, anak anak akan menyerap (belajar) 30% informasi atau pengetahuan, sementara itu dengan melakukannya anak-anak akan mengerti 70% dari apa yang mereka pelajari. Jika metode yang berbeda ini digabungkan, anak-anak akan belajar lebih dari 100%. Festival-festival tersebut, yang secara total menuntut para peserta untuk meggunakan potensi yang sudah mereka kembangkan, mencakup kemampuan kognitif, psikomotor dan affektif, memberikan kesempatan lebih kepada anak-anak untuk menunjukkan potensi diri mereka sendiri. Kegiatan dan berbagai upaya lain yang dilakukan oleh sekolah-sekolah yang telah disebutkan sebelumnya harusnya dijadikan contoh bagi sekolah lain, baik swasta maupun negeri. Khisbiyah (2010: 11) berpendapat bahwa cara yang lebih efektif untuk mengembangkan ranah afektif harus dengan menghadirkan teladan. Melalui contoh tersebut, dengan atau tanpa bimbingan, anak-anak akan dengan mudah membentuk diri mereka dari para teladan tersebut. Sejalan dengan saran ini, Lapsley & Narvaez (2004:67) menegaskan bahwa identitas moral terbentuk dari kesempatan yang ditawarkan oleh hubungan dan lembaga sosial yang memantau, melakukan percobaan, serta menerima dukungan dalam pembuatan undang- undang moral. Sering kali anak-anak dengan perkembangan identitas moral yang baik dibandingkan dengan masyarakat umum, perbandingan tersebut terfokus pada pembentukan kemampuan dalam mengejar tujuan moral untuk mengarah pada sikap kedepannya yang tidak sesuai dengan norma bermasyarakat. Contohnya, orang-orang berpikir bahwa penolakan Ghandi terhadap warga Negara yang materialistis bertujuan untuk menegakan keadilan. Tentu saja benar bahwa identitas moral bisa mempertahankan perilaku moral dalam konteks sosial yang tidak mendukung perilaku semacam itu, bukan berarti bahwa identitas moral terbentuk dengan sendirinya dalam konteks sosial. Sebenarnya memang semua biografi orang-orang yang bermoral mencantumkan peran hubungan dan lembaga khusus terhadap tanggung jawab moral. Dalam sebuah keluarga, orang tua harus memberikan contoh yang baik bagi anak- anaknya dengan melibatkan mereka dalam melakukan pekerjaan dan mengumpulkan dana untuk kepentingan publik. Anak-anak perlu melihat beberapa contoh bahwasanya saling tolong menolong dan bekerja sama tanpa mengharapkan imbalan merupakan contoh yang baik untuk ditiru. Orang tua perlu meminta mereka bersedekah atau menyumbang ke masjid dekat rumah, memberikan uang kepada pengemis, menyediakan air untuk para tamu, dan lain lain. Latihan tersebut akan memberikan dampak yang besar bagi kehidupan mereka ketika mereka sudah dewasa. Mereka akan memiliki rasa simpati kepada orang yang tidak mampu dan membagi sebagian hartanya demi kepentingan umum. Dalam usaha membantu mengembangkan ranah afektif anak-anak, Djohantini (2010:11) menekankan perlunya nasehat. Orang tua perlu memperbarui pengetahuan mereka, termasuk tentang perkembangan terbaru dari teknologi informasi dan komunikasi, sehingga mereka bisa membimbing dan mendidik anggota keluarga lainnya yang masih dalam proses pertumbuhan. Hal ini berlaku terutama untuk hidup di zaman teknologi sekarang ini. Kesenjangan teknologi seperti ketidakmampuan orang tua dalam menggunakan teknologi sederhana seperti menggunakan ponsel dapat mengakibatkan bencana bagi keluarga karena orangtua tidak bisa mengawasi apa yang anak-anak mereka lakukan dengan ponsel mereka. Ketersediaan semua jenis informasi dan fasilitas untuk mengakses informasi memungkinkan anak-anak untuk mengunduh materi internet yang relevan dengan usia dan studi mereka serta bisa juga membahayakan dan mempengaruhi pikiran mereka. Mereka dapat dengan mudah mengakses situs porno yang dapat menyebabkan mereka tidak mampu berkonsentrasi pada studi mereka. Yang lebih parahnya, ada kasus perkosaan yang dilaporkan terjadi setelah pemerkosa menonton film porno (Iswarahadi, 2003:74).
KESIMPULAN Dua latihan yang menunjukkan perbedaan yang jelas antara ucapan dan tindakan, seperti yang dapat disaksikan dalam keterbukaan, atau bahkan pemeliharaan praktek korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah serta anggota lembaga legislatif yang sering berkhotbah agama dapat mengakibatkan degradasi atau lunturnya nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan tanggungjawaban, yang merupakan unsur ranah afektif. Nilai-nilai moral dan spiritual juga dapat hilang oleh penampilan tokoh-tokoh terhormat yang tampaknya memiliki moral tinggi tetapi berubah menjadi tidak terhormat dalam realitas kehidupan sehari-hari mereka. Anak- anak sering menyaksikan contoh adegan vulgar di televisi yang berlawanan dengan perilaku halus yang dikatakan oleh guru di sekolah atau oleh orang tua di rumah. Apa yang dibutuhkan oleh anak-anak ini adalah contoh yang layak ditiru kemanapun mereka pergi sehingga mereka dapat melihat dan merasakan konsistensi nilai-nilai yang digunakan sebagai acuan normatif untuk semua tindakan yang berkaitan dengan nilai yang diberikan seperti yang disarankan oleh Foerster. Lagipula, karena anak-anak masih dalam proses perkembangan dan berusaha untuk menemukan identitas diri, maka nasehat itu diperlukan. Para orang tua harus selalu memperbarui pengetahuan mereka dengan pengetahuan yang bermanfaat seperti penggunaan ponsel sehingga mereka bisa mengawasi atau memeriksa apa yang anak-anak mereka lakukan dengan ponsel mereka untuk memastikan bahwa fasilitas teknologi modern akan memudahkan, tidak menghambat perkembangan ranah afektif dengan cara yang positif dan pembentukan kebiasaan berbuat baik. Karena anak-anak sering menyaksikan pemberian penghargaan kepada orang yang berhasil mengembangkan ranah afektif dan psikomotor, kesempatan juga harus tersedia di mana mereka dapat melihat, merasakan, dan mengalami manfaat yang benar-benar diberikan kepada mereka yang berprestasi dalam pengembangan ranah afektif. Dengan cara ini, anak-anak akan dapat mengaplikasikan kata-kata ke dalam sebuah tindakan.