IDENTIFIKASI PERISTIWA NAIK TURUNNYA MUKA AIR LAUT
BERDASARKAN KANDUNGAN FOSIL DAN BIOTURBASI (FOSIL JEJAK) PADA DAERAH KALI SIWUNGU, KECAMATAN TEMBALANG, KOTA SEMARANG, JAWA TENGAH, INDONESIA
Ammar Baskara 21100112130048 Email: ammarbaskara@gmail.com Teknik Geologi Universitas Diponegoro
ABSTRACT
In Sunday, November 24 th 2013 is done of sequence observation and take a data in the Siwungu River that located in Tembalang kecamatan, Semarang city, East Java provence. Siwungu River is the one product from change of the earth strata that involved organism as the owner or biotic component and abiotic component as the support of necessary biotic things. Which one even that can cause of changes of the earth strata is changes of the activity sea surface. At a given moment, sea surface can have tide up (transgression) although have tide down (regression) or can have tide up and tide down in the same of relative time. Sea surface activity, can be detected from fossil and trace fossil that record in lithology of local area that is product of sedimentation by water or fluids and exposed at the outcrop. Base on the geological regional, a paper of Magelang, Semarang city is the area that located at coordinate from 1101620 BT 1103029 BT and 65534 LS- 70704 LS. From the field data, daerah Siwungu River composed of Kaligetas formation (Qpkg) that consisting of lithology as claystone carbonaceous containing fragments of fossil shell mollusca and Kerek formation (Tmk) that consisting lithology as siltstone carbonaceous containing fragments of fossil shell mollusca. In the interpretasion process, data that have been get in the field are combinated with any referention about tafonomy. From the analysis result in the Siwungu River, there are full body of the shell molusca, fragments of fossil shell mollusca, bioturbation, and concretion sandstone. Concretion can be became evidence that have been occured HST phase. Full body of the shell molusca can be became evidence that have been occured MFS phase. Fragments of fossil shell mollusca can be became evidence that have been occured TST phase. Keywords: sea surface activity, shell fossil moluska, bioturbation, TST, MFS, HST.
PENDAHULUAN Latar Belakang Kota Semarang, provinsi Jawa Tengah, Indonesia berdasarkan data geologi regional merupakan wilayah dengan produk-produk vulkanik gununapi Ungaran dan sedimen hasil pengendapan lingkungan pengendapan laut. Berbagai bentuk lahan dan susunan batuan yang menyusun daerah kota Semarang juga dipengaruhi oleh hasil pengendapan laut. Salah satu contoh kecamatan yang dipengaruhi hasil pengendapan laut yaitu kecamatan Tembalang. Singkapan yang menunjukkan adanya hasil pengendapan laut yaitu di Kali Siwungu yang terletak di sebelah utara Universitas Diponegoro. Adanya endapan laut dapat dipengaruhi oleh aktivitas muka air laut. Kenaikan muka air laut dapat berupa pasang, surut, maupun pasang yang kemudian disusul surut dalam waktu yang relatif bersamaan. Kondisi naik atau turunnya muka air laut dapat dikenali dengan keberadaan fosil, jejak-jejak fosil, litologi serta struktur sedimen yang terlihat pada singkapan (outcrop) pada kali Siwungu. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan system tracts berdasarkan kondisi tafonomi, struktur sedimen, dan litologi yang menyususun daerah penelitian.
GEOLOGI REGIONAL Lokasi daerah observasi mencakup wilayah Kotamdya Semarang, Provinsi Jawa tengah. Secara geografis terletak pada koordinat 1101620 1103029 Bujur
2
Timur dan 65534 - 70704 Lintang Selatan dengan luas daerah sekitar 391,2 km. Wilayah Kotamadya Semarang sebagaimana daerah lainnya di Indonesia beriklim tropis, terdiri dari musim kemarau dan musim hujan silih berganti sepanjang tahun. Besarnya rata-rata jumlah curah hujan tahunan wilayah Semarang utara 2000-2500 mm/tahun dan Semrang Selatan antara 2500- 3000 mm/tahun. Morfologi Daerah Morfologi daerah studi berdasarkan pada bentuk topografi dan kemiringan lerengnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) satuan morfologi yaitu: 1. Dataran, merupakan daerah dataran aluvial pantai dan sungai dan setempat di bagian baratdaya merupakan punggungan lereng perbukitan, bentuk lereng umumnya datar hingga sangat landai dengan kemiringan lereng medan antara 0 5% (0-3%), ketinggian tempat di baruan utara antara 0 25 m dpl dan di baguan baratdaya ketinggiannya antara 225 275 m dpl. Luas penyebaran sekitar 164,9 km2 (42,36%) dari seluruh daerah studi. 2. Daerah Bergelombang, satuan morfologi ini umumnya merupakan punggungan, kaki bukit dan lembah sungai, mempunyai bentuk permukaan bergelombang halus dengan kemiringan lereng medan 5 10% (3-9%), ketinggian tempat antara 25 200 m dpl. Luas penyebarannya sekitar 68,09 km2. (17,36%) dari seluruh daerah studi. 3. Pebukitan berlereng landai, satuan morfologi ini merupakan kaki dan punggungan perbukitan, mempunyai bentuk permukaan bergelombang landai dengan kemiringan lereng 10 15 % dengan ketinggian wilayah 25 435 m dpl. Luas penyebaran sekitar 73,31 km2 (18,84%) dari seluruh daerah pemetaan. Tata Guna Lahan Penggunaan lahan di wilayah Kotamadya Semarang terdiri dari wilayah terbangun (Build Up Area) yang terdiri dari pemukiman, perkantoran perdagangan dan jasa, kawasan industri, transportasi. Sedangkan wilayah tak terbangun terdiri dari tambak, pertanian, dan kawasan perkebunan dan konservasi.
Susunan Stratigrafi Geologi Kota Semarang berdasarkan Peta Geologi Lembar Magelang Semarang (RE. Thaden, dkk; 1996), susunan stratigrafi kali Siwungu adalah sebagai berikut: 1. Formasi Kalibeng (Tmkl) Batuannya terdiri dari napal, batupasir tufaan dan batu gamping. Napal berwarna abu-abu kehijauan hingga kehitaman, komposisi terdiri dari mineral lempung dan semen karbonat, porositas rendah hingga kedap air, agak keras dalam keadaan kering dan mudah hancur dalam keadaan basah. Pada napal ini setempat mengandung karbon (bahan organik). Batupasir tufaan kuning kehitaman, halus kasar, porositas sedang, agak keras, Batu gamping merupakan lensa dalam napal, berwarna putih kelabu, keras dan kompak. 2. Formasi Kerek (Tmk) Perselingan batu lempung, napal, batu pasir tufaan, konglomerat, breksi volkanik dan batu gamping. Batu lempung kelabu muda tua, gampingan, sebagian bersisipan dengan batu lanau atau batu pasir, mengandung fosil foram, moluska dan koral-koral koloni. Lapisan tipis konglomerat terdapat dalam batu lempung di K. Kripik dan di dalam batupasir. Batu gamping umumnya berlapis, kristallin dan pasiran, mempunyai ketebalan total lebih dari 400 m. Struktur Geologi Struktur geologi yang terdapat di daerah studi umumnya berupa sesar yang terdiri dari sesar normal, sesar geser dan sesar naik. Sesar normal relatif berarah barat timur sebagian agak cembung ke arah utara, sesar geser berarah utara selatan hingga barat laut tenggara, sedangkan sesar normal relatif berarah barat timur. Sesar-sesar tersebut umumnya terjadi pada batuan Formasi Kerek, Formasi Kalibening dan Formasi Damar yang berumur kuarter dan tersier. Selain itu juga ada struktur lipatan dan kekar. Gerakan Tanah Dari hasil analisis kemantapan lereng diketahui bahwa tanah pelapukan batu lempung mempunyai sudut lereng kritis paling kecil yaitu 14,85%. pelapukan napal sudut lereng kritisnya adalah 19,5% , Pelapukan batu pasir tufaan mempunyai sudut lereng kritis
3
20,8% dan pelapukan breksi sudut lereng kritisnya 23,5%. Berdasarkan analisis di atas maka daerah Kotamadya Semarang dapat dibagi menjadi 4 zona kerentanan gerakan tanah, yaitu Zona Kerentanan Gerakan Tanah sangat Rendah, Rendah, Menengah dan Tinggi. 1. Zona Kerentanan Gerakan Tanah Sangat Rendah Daerah ini mempunyai tingkat kerentanan sangat rendah untuk terjadi gerakan tanah. Pada zona ini sangat jarang atau tidak pernah terjadi gerakan tanah, baik gerakan tanah lama maupun gerakan tanah baru, terkecuali pada daerah tidak luas di sekitar tebing sungai. Merupakan daerah datar sampai landai dengan kemiringan lereng alam kurang dari 15 % dan lereng tidak dibentuk oleh endapan gerakan tanah, bahan timbunan atau lempung yang bersifat mengembang. Lereng umumnya dibentuk oleh endapan aluvium (Qa), batu pasir tufaan (QTd), breksi volkanik (Qpkg), dan lava andesit (Qhg). Daerah yang termasuk zona kerentanan gerakan tanah sangat rendah sebagian besar meliputi bagian utara Kota Semarang, mulai dari Mangkang, kota semarang, Gayamsari, Pedurungan, Plamongan, Gendang, Kedungwinong, Pengkol, Kaligetas, Banyumanik, Tembalang, Kondri dan Pesantren, dengan luas sekitar 222,8 Km2 (57,15%) dari seluruh daerah studi.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam untuk menentukan system tracts berdasarkan kondisi tafonomi, struktur sedimen, dan litologi penyusunnya yaitu menggunakan metode observasi lapangan yang dikembangkan dengan metode studi pustaka yang berfungsi sebagai data-data pendukung dalam pembuatan paper ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah penelitian terbagi menjadi tiga segmen. Ketiga segmen masih terdapat pada daerah di sekitar aliran Kali Siwungu. Pada segmen pertama, pengamatan dilakukan pada pukul 08.00 WIB. Dimensi singkapan yaitu sekitar 5 m x 2 m. Litologi penyusunnya yaitu berupa batulanau yang berwarna coklat kehijauan, strukturnya massif, ukuran butirnya lanau (1/256 1/16 mm skala Wentworth), sortasinya baik, kemasnya tertutup, tingkat kebundarannya well rounded, fragmennya pasir sangat halus (1/16 1/8 mm Skala Wentworth) sampai lanau (1/256 1/16 mm skala Wentworth), matriksnya invisible lanau (1/256 1/16 mm skala Wentworth), dan semennya karbonatan. Tingkat pelapukan pada segmen pertama ini cukup tinggi yang ditunjukkan dengan adanya lumut dan warna hijau pada tubuh batuan. Kemelimpahan kandungan fossil makro dalam segmen ini cukup tinggi. Fosil berupa cangkang moluska yang utuh maupun yang sudah pecah membentuk fragmen-fragmen, baik itu gastropoda maupun pelecypoda. Fosil jejak atau bioturbasi juga ditemukan dalam litologi penyusun segmen satu ini sebagai akibat burrowing atau tingkah laku organisme dengan cara mengebor bagian tubuh batuan setelah atau pada saat mengalami diagenesis. Kemungkinan organismenya yaitu dari filum moluska yang didasarkan pada penemuan fosil-fosil cangkang moluska di sekitarnya. Fosil-fosil moluska yang berupa pecahan- pecahan fragmen cangkang, dapat diinterpretasikan bahwa system tract yang terjadi yaitu fase TST (Transgresion System Tracts) awal. Ketika muka air laut mulai naik, arus air akan mentransport material-material yang telah terbentuk atau terendapkan sebelumnya seperti cangkang-cangkang moluska. Fosil-fosil cangkang moluska yang pada mulanya utuh akan pecah karena aktivitas naiknya muka air laut yang menyapu material-material yang dilewatinya. Pada fase awal TST, juga ditemukan adanya konkresi batupasir sebagai akibat aktivitas arus berupa arus turbidit. Arus ini akan mencampur semua material yang dilaluinya. Nucleus atau inti suatu material klastika akan mengikat material yang sejenis ketika terjadi arus turbidit. Nucleus ini akan terus mengikat material yang sejenis sembari bergerak dengan cara rolling. Pergerakan ini terhenti ketika arus turbidit yang membawanya berangsur-angsur menghilang. Nucleus yang telah mengikat banyak material sejenis ini, akan mengalami diagenesis membentuk suatu kenampakan seperti fragmen batuan yang menyisip di antara lapisan batuan yang memiliki dimensi lebih besar. Ketika mencapai titik puncak, dimana terjadi kesetimbangan eustacy dan suplai sedimen yang sedikit, kondisi muka air laut tidak mengalami perubahan yang
4
signifikan. Fase ini dinamakan MFS (Maximum Flooding Surface). Pada fase MFS, kondisi air mulai tenang ditambah dengan suplai sedimen yang sedikit yang dapat memberikan ruang hidup yang luas pada organisme moluska untuk tumbuh dan berkembang. Apabila mati dan menjadi fosil, maka akan ditemukan dalam kondisi sewaktu masih hidup. Kondisi air yang tenang, jernih, hangat, cocok untuk tempat beraktivitas organisme moluska. Aktivitas moluska seperti mencari makan atau sebagai bentuk tingkah lakunya yang lain, dapat terekam pada lapisan batuan yang telah mengalami diagenesis. Organisme ini mencari makan dengan menggali lubang di dalam batuan atau yang sering disebut burrowing. Pada segmen dua (2), pengamatan dilakukan sekitar pukul 08.11 WIB. Jarak tempuh dari segmen satu (1) ke segmen dua (2) yaitu sekitar 50 m. Dimensi singkapan yaitu sekitar 5 m x 1 m. Litologi penyusunnya yaitu berupa batulempung yang berwarna abu- abu kecoklatan, strukturnya massif, ukuran butirnya lepung (<1/256 mm skala Wentworth), sortasinya baik, kemasnya tertutup, tingkat kebundarannya well rounded, fragmennya lempung (<1/256 skala Wentworth), matriksnya invisible, dan semennya karbonatan. Tingkat pelapukan pada segmen kedua ini cukup tinggi yang ditunjukkan dengan adanya lumut dan warna hijau pada tubuh batuan. Kandungan fossil makro dalam segmen ini sangat sedikit. Fosil berupa cangkang moluska yang sudah pecah membentuk fragmen-fragmen yang sudah tidak dapat diidentifikasi morfologinya. Fosil- fosil fragmen cangkang yang bentuknya tidak beraturan ini, diindikasikan berasal dari endapan sebelumnya saat belum terjadi transgresi. Konkresi hadir dalam jumlah yang cukup banyak apabila dibandingkan dengan jumlah fosil fragmen atau pecahan-pecahan cangkang moluska. Adanya konkresi menunjukkan tahap atau fase TST awal. Kehadiran fosil fragmen cangkang dalam kuantitas yang sedikit menunjukkan bahwa fase MFS terjadi dalam kurun waktu yang sebentar, sehingga organisme moluska tidak dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang utuh dan sempurna. Akan tetapi, jejak fosil atau bioturbasi masih ada dan terlihat pada singkapan walaupun dalam kuantitas yang sedikit. Fase MFS dalam kurun waktu yang relatif pendek dapat disebabkan oleh suplai materal sedimen yang banyak dari laut atau pengaruh cuaca yang dapat mengakibatkan turunnya muka air laut kembali. Karena fase MFS yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat, maka akan terjadi fase HST (Highstand System Tract). Pada segmen tiga (3), pengamatan dilakukan sekitar pukul 08.20 WIB. Jarak tempuh dari segmen dua (2) ke segmen tiga (3) yaitu sekitar 5 m. Dimensi singkapan yaitu sekitar 5 m x 2,5 m. Litologi penyusunnya yaitu berupa batulempung yang berwarna abu- abu kecoklatan, strukturnya massif, ukuran butirnya lepung (<1/256 mm skala Wentworth), sortasinya baik, kemasnya tertutup, tingkat kebundarannya well rounded, fragmennya lempung (<1/256 skala Wentworth), matriksnya invisible, dan semennya karbonatan. Tingkat pelapukan pada segmen kedua ini yaitu sedang yang ditunjukkan dengan adanya soil dengan ketebalan sekitar 0,5 m di antara lapisan litologi ini. Kemelimpahan kandungan fossil makro dalam segmen ini sedikit. Fosil berupa cangkang moluska yang utuh maupun yang sudah pecah membentuk fragmen-fragmen, baik itu gastropoda maupun pelecypoda. Akan tetapi, jenis fosil yang mendominasi yaitu fosil fragmen pecahan-pecahan cangkang. Konkresi hadir dalam jumlah yang cukup banyak apabila dibandingkan dengan jumlah fosil fragmen atau pecahan-pecahan cangkang moluska dan dalam dimensi yang besar yaitu dengan panjang sekitar 40 cm. Adanya konkresi menunjukkan tahap atau fase TST awal dan dimensinya yang besar menunjukkan bahwa proses nucleasi klastika batuan terhadap material-material yang sejenis berlangsung dalam waktu yang cukup lama dengan jarak tempuh yang jauh. Hal ini mengindikasikan bahwa fase TST awal berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
KESIMPULAN Segmen satu (1) tersusun atas litologi batulanau, ditemukan fosil utuh cangkang moluska, fosil pecahan atau fragmen cangkang moluska, bioturbasi, konkresi, system tract nya yaitu mulai dari TST awal sampai MFS, segmen dua (2) tersusun atas litologi batulempung, ditemukan fosil utuh cangkang moluska, fosil pecahan atau fragmen cangkang moluska, bioturbasi, konkresi, system tract nya yaitu mulai dari TST awal, MFS, sampai HST awal, segmen tiga (3) tersusun atas litologi
5
batulempung, ditemukan fosil utuh cangkang moluska, fosil pecahan atau fragmen cangkang moluska, bioturbasi, konkresi, system tract nya yaitu mulai dari TST awal sampai MFS yang berlangsung dalam waktu singkat.