Anda di halaman 1dari 16

TUGAS TERSTRUKTUR

METODELOGI PENELITIAN


PARTISIPASI PETANI DALAM PENINGKATAN KAPASITAS
KELEMBAGAAN GAPOKTAN TANI MAKMUR DESA TRUSMI
KECAMATAN PLERED KABUPATEN
CIREBON













Disusun oleh:

VIVI ZULFIYANA
A1G012002


KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2014
PARTISIPASI PETANI DALAM PENINGKATAN KAPASITAS
KELEMBAGAAN GAPOKTAN TANI MAKMUR DESA TRUSMI
KECAMATAN PLERED KABUPATEN
CIREBON

I. PENDAHULUAN




A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara agraris karena dari 188,2 juta hektar total
daratan Indonesia sekitar 70 persennya lahan tersebut digunakan untuk usaha bidang
pertanian (Deptan, 2014). Selain daratan, potensi laut juga besar untuk pembangunan
pertanian. Sektor pertanian yang tetap menjadi tumpuan penghidupan sebagian besar
masyarakat Indonesia. Dari jumlah penduduk Indonesia nerdasarkan hasil survei angkatan
kerja nasional tahun 2012 yang bekerja, 49,88 persen bekerja di sektor pertanian, sedangkan
yang bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 14,53 persen, sektor
perindustrian sebesar 5,34 persen, dan sektor jasa kemasyarakatan, social dan perorangan
sebesar 16.94 persen dan lainnya sebesar 13,31 persen (BPS, 2012).
Jumlah penduduk yang besar (lebih dari 200 juta) dengan daya beli yang rendah
sangat berpotensi mengalami rawan pangan atau mengalami ketergantungan impor pangan
yang akan mengganggu ketahanan nasional. Kenyataan yang harus diakui bahwa sektor
pertanian di Indonesia sebagian besar dibangun oleh petani dengan skala usaha yang relatif
sempit. Akan tetapi sektor pertanian ini tidak boleh diabaikan, karena pertanian menjadi
tumpuan penghidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Keadaan pelaku usaha pertanian
tersebut setiap tahun semakin bertambah jumlahnya dengan tingkat kesejahteraan yang masih
rendah.
Permasalahan skala usaha pertanian yang masih kecil menghambat petani
meningkatkan pendapatannya sehingga sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Faktor yang
menyebabkan petani miskin selain luas usahanya yang sempit antara lain produktivitasnya
yang rendah, kapasitas petani yang rendah, aksesibilitas rendah terhadap modal, teknologi
informasi dan informasi pasar serta infrastruktur yang terbatas. Disamping itu mereka hanya
memiliki sedikit kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang diluar pertanian (off-farm
atau out-farm). Sektor pertanian Indonesia selama ini belum mampu merespon kelebihan
tenaga kerja yang ada, sedangkan transformasi struktural perekonomian nasional yang
diharapkan bisa memindahkan tenaga kerja ke sektor non pertanian yang tak kunjung terjadi.
Strategi revitalisaasi pertanian ini mulai dicanangkan sejak 2005 guna mengatasi
permasalahan pertanian akan tetapi hasil konkretnya masih belum dilihat.
Implikasi dari pembangunan sektor pertanian yaitu menempatkan petani sebagai
pelaku/ subjek (bukan objek) dalam pembangunan pertanian dengan eksistensinya sebagai
manusia yang bermartabat. Akibat terpenuhinya kebutuhan komunitas petani baik kebutuhan
individu, maupun kebutuhan komunitas petani. Pada situasi lingkungan sumberdaya yang
terbatas memerlukan suatu strategi pembangunan yang berorientasi pada peningkatan
kapasitas petani dan dapat terciptanya petani yang tangguh disamping kelembagaaan
pertanian yang lain.
Upaya peningkatan daya saing pertanian dilakukan melalui pengembangan
kelembagaan pertanian termasuk didalamnya penguatan kapasitas kelembagaan petani.
Banyaknya petani kecil sebaiknya digerakkan untuk bergabung secara kolektif dalam
kelompok-kelompok sekunder masyarakat tani, selain meningkatkan produktifitas usaha juga
dapat meningkatkan efisiensi usaha pertanian. Menurut Reed (1979) ada dua alternatif dalam
mengatasi permasalahan petani kecil yaitu konsolidasi lahan usahatani menjadi lebih luas dan
memperluas skala pengelolaan serta penggunaan sumberdaya usahatani tanpa mengubah
pemilikan petani, melalui usahatani koperasi atau kelompok.
Menurut Sapta (2013), untuk itu perlu adanya pembangunan kelembagaan petani yang
dilandasi pemikiran bahwa:
a. Proses pertanian memerlukan sumberdaya manusia tangguh yang didukung
infrastruktur, peralatan, kredit dan sebagainya
b. Pembangunan kelembagaan petani lebih rumit daripada manajemen sumberdaya alam
karena memerlukan factor pendukung dan unit-unit produksi
c. Kegiatan pertanian mencakup tiga rangkaian: penyiapan input, mengubah input
menjadi produk dengan usaha tenaga kerja dan manajemen dan menempatkan output
menjadi berharga
d. Kegiatan pertanian memerlukan dukungan dalam bentuk kebijakan dan kelembagaan
dari pusat hingga local
e. Kompleksitas pertanian yang meliputi unit-unit usaha dan kelembagaan, sulit
mencapai kondisi optimal.
Lain halnya menurut Haryadi (2010) yang menjadi salah satu hambatan implementasi
revitalisasi pertanian di Indonesia adalah tidak adanya organisasi ekonomi petani yang kokoh
sebagai salah satu ciri pertanian modern, bunga bank yang relative mahal, dan minimnya
perhatian langsung pemerintah daerah dalam sistem pembangunan daerah. Sedangkan
menurut Soedijanto (2004) dalam Sapta (2011) menyebutkan kemandirian petani dalam
mengelola sumberdaya pertanian sebagai permasalahan dalam penyuluhan pertanian di
Indonesia diantaranya adalah masalah kelembagaan tani dan kepemimpinan petani.
Perbedaan sosial dan kultural masyarakat petani di negara berkembang dengan asal bentuk
kelembagaaan yang diadopsi menyebabkan kelembagaan petani yang dibangun tidak
berkembang.
Kapasitas atau capacity menurut Kamus Webster merujuk pada kemampuan untuk
atau melakukan (ability for or to do); kesanggupan (capability; suatu keadaan yang
memenuhi syarat (a condition of being qualified). Kapasitas petani berarti kemampuan petani
untuk melakukan kegiatan pertanian, mempunyai kesanggupan dalam menjawab tantangan,
serta memenuhi syarat sebagai petani yang unggul. Kapasitas atau kemampuan petani
merupakan salah satu prasyarat bagi petani untuk berpartisipasi dalam pembangunan
pertanian. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pengembangan kelembagaan.
Pengembangan kelembagaan bagi masyarakat petani dianggap penting karena
beberapa alasan. Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu
lembaga petani. Kedua, organisasi masyarakat memberikan kontinuitas pada usaha-usaha
untuk menyebarkan dan mengembangkan teknologi, atau pengetahuan teknis kepada
masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam struktur
ekonomi yang terbuka dalam jurnal Sapja (2011). Oleh karena itu, kerjasama petani dapat
mendorong penggunaan sumberdaya lebih efisien, sarana difusi inovasi dan pengetahuan.
Implikasi diberlakukannya otonomi daerah, berdasarkan UU No.22 tahun 1999
membawa dampak buruk pada perkembangan kelembagaan petani, terutama kelembagaan
kelompok tani hampir seluruh wilayah Indonesia termasuk di Propinsi Jawa Barat (Yustika,
2006). Lain halnya dalam studi kasus ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon kini
memberi prioritas bagi pengembangan kelembagaan penyuluhan yang selama ini memberi
kontribusi bagi peningkatan produksi pertanian dan menjadi mitra petani dalam memfasilitasi
kelembagaan kelompok tani.
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan potensi agrarian yang
tinggi, dinilai dari kondisi topografi dan demografi wilayahnya. Faktanya, sektor agraria
memang masih menjadi salah satu mata pencaharian dominan masyarakat Jawa Barat.
Kegiatan penyuluhan pertanian di Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang dapat
dikatakan provinsi penyangga pangan nasional karena hampir semua komoditas pertanian
penting dihasilkan dan total hasil produksi panen Provinsi Jawa Barat 2007 yaitu 9.203.497
ton (BPS, 2008). Berdasarkan data dari UPT Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan Plumbon (2012) Potensi pertanian studi kasus Gapoktan Tani Makmur desa
Trusmi Wetan kecamatan Plered kabupaten Cirebon diantaranya:
a. usaha padi sawah dengan produksi 363,4 ton dengan satu musim dalam luas 46,5 Ha.
b. Palawija meliputi jagung satu hektar memproduksi dua ton dan kacang hijau satu hektar
dengan produksi 0,8 ton.
c. Sayuran meliputi tomat satu hektar memproduksi 25 ton, mentimun tiga hektar
memproduksi 36 ton, kacang panjang lima hektar memproduksi 15 ton.
d. Buah-buahan mencakup mangga 21 ha/pohon, pisang 250 ha/pohon, dan papaya 25
ha/pohon serta belimbing 12 ha/pohon.
Dengan adanya potensi pertanian yang cukup besar tersebut perlu didukung dengan
keberadaan kelembagaan petani yang kuat, namun akhir-akhir ini justru mengalami stagnasi.
Untuk itu, berdasarkan kondisi kelembagaan petani saat ini khususnya kelembagaan
kelompok tani yang dipandang sebagai strategi sosial dalam pembangunan pertanian, maka
dirasa perlu untuk mengkaji aspek-aspek apa saja yang berpengaruh terhadap stagnasi dan
keberhasilan yang dirasakan oleh gapoktan Tani Makmur desa Trusmi Wetan kecamatan
Plered ini.

B. Identifikasi Masalah
Sebagian besar penduduk pertanian Indonesia dihasilkan oleh usaha tani dengan
luasan yang sempit. Dengan skala usaha yang kecil sangat sulit bagi petani untuk mengelola
usahatani secara efisien. Liberalisasi ekonomi dan globalisasi merupakan tantangan yang
harus dihadapi petani, sehingga petani harus mengusahakan pertanian di dalam lingkungan
tropik yang penuh risiko diantaranya hama, cuaca yang tak tentu dan sebagainya. Di samping
itu kondisi infrastruktur yang belum memadai, kebijakan pertanian pun secara ekonomi dan
politik kurang berpihak.
Dalam menjalankan usahanya, petani juga berhadapan dengan pelaku usaha yang lain
di bidang pertanian. Belum ada atau lemahnya kelembagaan petani akan berakibat pada
rendahnya posisi tawar petani yang berakibat pada rendahnya tingkat kesejahteraaan petani
dan rendahnya dukungan pembangunan pertanian secara nasional. Kelembagaan kelompok
semestinya mampu memenuhi kebutuhan petani, mampu meningkatkan daya saing serta
mampu mendukung keberlangusungan usaha, namun sampai saat ini kelompok-kelompok
petani masih menunjukan tingkat perkembangan yang dirasa masih rendah. Kebijakan
otonomi daerah yang diharapkan dapat lebih mengembangkan potensi-potensi lokal yang
justru berdampak buruk pada keberadaan kelembagaan kelompok petani.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka didapatkan
permasalahan-permasalahan penelitian untuk dikaji antara lain sebagai berikut:
1. Sejauh mana partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dan kapasitas
kelembagaan kelompok petani di Gapoktan Tani Makmur Desa Trusmi Wetan
Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon, serta bagaimana keterkaitan masing-masing
variabel tersebut?
2. Faktor apa sajakah yang lebih berpengaruh dalam pengembangan kapasitas kelembagaan
Gapoktan Tani Makmur Desa Trusmi Wetan Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon?
3. Bagaimana strategi penyuluhan yang tepat, kondusif, tepat sasaran serta tepat guna bagi
peningkatan kapasitas kelembagaan Gapoktan Tani Makmur Desa Trusmi Wetan
Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon?


C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini antara lain:
1. untuk mengidentifikasi dan menjelaskan pengaruh berbagai faktor terhadap tingkat
partisipasi anggota dalam kelembagaan kelompok petani yang ada di Gapoktan Tani
Makmur Desa Trusmi Wetan Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon untuk
mengidentifikasi dan menjelaskan pengaruh berbagai faktor terhadap tingkat kapasitas
anggota dalam kelembagaan kelompok petani,
2. untuk merumuskan suatu strategi penyuluhan yang sesuai untuk mendorong petani dalam
peningkatan kelembagaan kelompok petani yang efektif dalam mengelola sumberdaya
pertanian secara berkelanjutan.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah diuraikan, maka manfaat penelitian ini antara lain:
1. Sebagai sumbangan informasi dan pendukung bagi petani agar dapat berpartisipasi
secara aktif kepada kelompok tani yang diikutinya.
2. Sebagai bahan acuan bagi penyuluh pertanian dalam memberikan sosialisasi kepada
petani tentang manfaat dari adanya partisipasi petani yang baik guna meningkatkan
kapasitas kelembagaan kelompok tani.

E. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini memfokuskan pada kelembagaan petani, yaitu kelembagaan kelompok
petani. Berikut kerangka pemikiran penelitian ini:
1. Arti Penting Kelembagaan Kelompok Petani
Permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian salah satunya adalah masalah
kelembagaan pertanian yang kurang mendukung. Untuk itu perlu adanya pembangunan
kelembagaan pertanian yang dilandasi pemikiran bahwa proses pertanian memerlukan
sumberdaya manusia tangguh yang didukung infrastruktur, peralatan, kredit dan sebagainya.
Peningkatan kualitas petani biasanya dilihat dari bagaimana manajemen yang diterapkan dan
hasil seperti apa yang dihasilkan dari usahataninya. Oleh karena itu, perlu dukungan dalam
bentuk kebijakan dan kelembagaan dari pusat hingga lokal.
Salah satu wadah bagi petani untuk dapat memperoleh ilmu dan wawasan baru dalam
usahatani di luar pendidikan formal adalah dengan bergabung dengan kelompok tani. Dengan
adanya petani yang tergabung dalam kelompok tani maka memudahkan petani untuk dapat
saling bertukar pikiran satu sama lain mengenai masalah - masalah yang dihadapi dalam
usahataninya serta dapat menemukan solusi bersama. Kelompok tani juga memudahkan
petani dalam aksesibilitas terhadap mendapatkan modal serta saprodi pertanian dari lembaga-
lembaga pemerintahan ataupun lembaga keuangan. Karena pada umumnya bantuan yang
diberikan oleh lembaga pemerintah diberikan untuk para kelompok tani yang ada.
2. Partisipasi Petani Dalam Kelembagaan Kelompok Petani
Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu
kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukung yaitu kemauan,
kemampuan dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi. Masyarakat perlu mengalami
proses belajar untuk mengetahui kesempatan-kesempatan memperbaiki kehidupan.
Beberapa alasan petani berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang berkaitan
dengan program pembangunan antara lain: petani memiliki informasi yang sangat penting
untuk merencanakan program, petani lebih termotivasi untuk bekerjasama dalam program
jika ikut bertanggungjawab didalamnya dan masyarakat yang demokratis secara umum
menerima bahwa rakyat yang etrlibat berhak berpartisipasi dalam keputusan mengenai tujuan
yang ingin dicapai.


3. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani
Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan berbagai aspirasi masyarakat yang selalu
berkembang diperlukan suatu kelembagaan yang mempunyai kapasitas yang memadai.
Kapasitas kelembagaan kelompok tani adalah luaran yang diharapkan oleh kelompok tani
dalam memajukan kinerja serta kemampuan kelompok tani dalam menghasilkan output yang
berguna bagi kesejahteraan anggotanya. Luaran yang diharapkan oleh kelompok tani itu
dapat berupa seberapa banyak anggota yang berpartisipasi aktif terhadap kelompok tani, serta
bagaimana loyalitas para anggota untuk memajukan kelompoknya. Hasil produk-produk
pertanian yang berkualitas dan sesuai kuantitas yang diharapkan yang ada dari kelompok tani
juga dapat dijadikan ukuran dalam mengukur keberhasilan kelompok tani dalam mencapai
kapasitasnya. Pada penelitian ini kapasitas kelembagaan kelompok tani yang akan dihitung
adalah dari seberapa besar pasrtisipasi anggota yang aktif terhadap kelompok taninya.
4. Skema kerangka pemikiran
Berdasarkan uraian diaatas secara skematis kerangka berpikir yang digunakan dapat
dilihat pada Gambar 1. dibawah ini.









Gambar 1. Kerangka Berfikir Teoritis
FAKTOR-FAKTOR
INTERNAL:
1. Status Sosial
Ekonomi Petani
2.Pengalaman Belajar

FAKTOR-FAKTOR
EKSTERNAL:
1.Kepemimpinan
2.Dukungan
penyuluhan dan
peran pihak luar
Partisipasi Dalam
Kelembagaan
Kelompok Petani
Kapasitas
Kelembagaan
Kelompok Petani
Kapasitas Petani
F. Deskripsi Variabel
Variabel Definisi Indikator Skala Ukur
Tingkat
Kapasitas
petani
Kondisi yang menunjukkan
kemampuan individu petani
dalam melaksanakan perananya
sesuai dengan status yang
dimilikinya sehingga mampu
mengembangkan potensi
pribadi, mengelola sumberdaya
usahatani dan berinteraksi
dengan orang lain dalam suatu
komunitas pertanian
(Y1) Kapasitas petani
Skala ordinal
dengan
simbol 1,2,3
(Y1.1) Kemampuan
Sebagai Pengelola
Usatani
1.Kemampuan teknik usahatani;
2.Memanfaatkan potensi sumberdaya
alam;
3. Kemampuan agribisnis
(Y1.2) Kemampuan
Anggota
Masyarakat
1.Adaptasi dengan komunitas;
2.Mengembangkan kerjasama;
3.Kepemimpinan dan pengambilan
keputusan
(Y1.3)
Kemamampuan
Sebagai Pribadi
Dan Kepala
Keluarga
1.Mempunyai pengetahun luas;
2.Prilaku mandiri;
3.Ketangguhann menghadapi masalah
Kapasitas
Kelembagaan
Kelompok
Petani
Kemampuan kelembagaan
untuk mencapai tujuan atau
visinya, serta suatu kondisi
yang menjunjukkan
perkembangan kelembagaan
kelompok petani dalam
melaksanakan fungsi dan
perananya dalam mengelola
sumberdaya pertanian.
(Y2) Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani
Skala ordinal
dengan
simbol
1,2,3,4,5
(Y2.1) Pencapaian
Tujuan
Kelembagaan
1. Keberadaan dan kejelasan tujuan
2. Kesesuaian tujuan dengan kebutuhan
anggota
3. Tingkat oemenuhan kebutuhan
anggota
(Y2.2) Fungsi Dan
Peran
1. Kemampuan memperoleh, mengatur
dan memelihara informasi, tenaga kerja,
Kelembagaan modal dan material
2. Kemampuan mengelola konflik
Y2.3)
Keberlanjutan
Kelembagaan
1. Kesadaran anggota
2. Kekompakkan anggota
3. Kepercayaan anggota
4. Kerjasama dengan pihak Lain
5. Pola komunikasi dengan pihak lain
Partisipasi
Petani dalam
Kelembagaan
Kelompok Tani
Derajat keseluruhan peran serta
petani dalam kegiatan
kelembagaan dimana petani
tersebut menjadi anggotanya.
(Y3) Tingkat Partisipasi Petani Dalam Kelembagaan
Kelompok Petani
Skala ordinal
dengan
simbol
1,2,3,4,5
(Y3.1) Intensitas
Keterlibatan
1.Intensitas keterlibatan dalam
perencanaan kegiatan;
2.Intensitas keterlibatan dalam
pelaksanaan sampai evaluasi kegiatan
(Y3.2) Kualitas
Keterlibatan
1.Kesadaran untuk terlibat;
2.Peran dan tanggungjawab yang
diambil;
3.Fungsi peran yang dilakukan;
4.Jumlah informasi yang diperoleh
Status Sosial
Ekonomi Petani
Karakteristik, bersifat sosial
dan ekonomi, dimiliki oleh
petani yang menunjukan
stratifikasi petani dalam
masyarakat
(X1) Status Ekonomi Petani
Skala ordinal
dengan
simbol 1,2,3
(X1.1) Umur 1. Lama (tahun)
(X1.2) Tingkat
Pendidikan Formal
1. Lama (tahun)
(X1.3) Tingkat
Pendidikan Formal
1. Macam pendidikan;
2.Intensitas pendidikan yang diperoleh;
3.Kesesuaian dengan bidang usaha
(X1.4) Tingkat
Pendapatan
1. Jumlah (rupiah)
(X1.5) Tingkat
Parisipasi Sosial
1.Intensitas dalam kegiatan sosial;
2.Kualitas dalam mengikuti kegiatan
sosial
Pengalaman
Belajar
Kondisi yang dialami petani
dalam mengakses informasi
yang ada dan menghasilkan
perubahan perilaku dalam
pengelolaan usahatani.
(X2) Pengalaman Belajar
Skala ordinal
dengan
simbol 1,2,3
(X2.1) Akses
Media Massa
1. Jenis media massa yang diakses
2.Frekuensi dalam mengakses media
3.Kesesuaian informasi dengan
kebutuhan usahatani
(X2.2) Interaksi
Dengan Penyuluh
1. Jumlah tatap muka yang dilakukan
2. Kualitas tatap muka
(X2.3) Interaksi
Dengan Petani Lain
Dan Pedagang
1. Jumlah tatap muka yang dilakukan
2. Kualitas tatap muka
Kepemimpinan
Lingkungan personal yang
mempengaruhi perilaku
individu dalam interaksi dan
pengelolaan usahatani
(X3) Tingkat Kepemimpinan
Skala ordinal
dengan
simbol 1,2,3
(X3.1) Fungsional
1. Adanya proses instrumental
2. Adanya proses internalisasi
3. Adanya proses identifikasi
(X3.2) Situasional
1. Perilaku yang berorientasi hubungan
2. Perilaku yang berorientasi pada tugas
Dukungan
Penyuluhan dan
Peran Pihak
Lain
Segala bentuk layanan yang
diterima petani dari
kelembagaan penyuluhan dan
pihak lain dalam meningkatkan
(X4) Tingkat Dukungan Penyuluhan Dan Peran Pihak Luar
Skala ordinal
dengan
simbol 1,2,3

(X4.1) Kompetisi
Penyuluh
1. Penguasaan yang dibutuhkan petani
2. Kemampuan berkomunikasi dengan
petani
kemampuan petani melalui
peningkatan pengetahuan, sikap
dan keterampilan petani dalam
mengelola sumber daya
usahatani.
3. Komitmen terhadap profesi
penyuluhan partisipatif



(X4.2) Pendekatan
Penyuluhan
1. Kesesuaian Informasi
2. Ketepatan metode interaktif yang
digunakan
3. Penggunaan media penyuluhan yang
partisipatif
(X4.3)
Kelembagaan
Penyuluhan
1. Ketersediaan program penyuluhan
partifipatif
2.Kemudahan akses dan dukungan
fasilitas yang diperlukan
3. Kontinuitas pelaksanaan program

G. Hipotesis Penelitian
Hipotesis 1:
Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara
nyata oleh kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuannya sebagai pengelola
usahatani, sebagai anggota masyarakat dan kemampuan sebagai pribadi dan kepala
keluarga.
Hipotesis 2:
Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara
nyata oleh status sosial ekonomi, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan, dukungan
penyuluhan dan peran pihak luar.
Hipotesis 3:
Tingkat kapasitas petani dipengaruhi secara nyata oleh status sosial ekonomi petani,
pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan, dukungan penyuluhan dan peran pihak luar.












Daftar Pustaka

BPS. 2012. Data Ketenagakerjaan Penduduk Indonesia (On-line). http://sulteng.bps.go.id/
index.php/2012-08-31-00-30-22/ketenagakerjaan.html?layout =edit&id=346. Diakses
tanggal 1 Agustus 2014.

Deptan. 2014. Luasan usaha bidang pertanian (On-line). http://www.litbang.deptan.go.id/
special/komoditas/b1lahan. Diakses tanggal 1 Agustus 2014.

Haryadi, F. Trisakti. 2010. Pelaksanaan Program Revitalisasi Pertanian: Keberhasilan
dan Hambatan.ppt.Yogyakarta.(On-line). http://fhinzzcoepoe.wordpress.com / 2012/
03/ 09/akankah-pertanian-indonesia-mengalami-masa-keemasannya/. Diakses tanggal 5
Agustus 2014.

Reed, Edward. 1979. Two Approaches to Cooperation in Rice Production in South Korea
dalam Group Farming in Asia. Editor John Wong. Singapore University Press: Kent
Ridge, Singapore.

Soedijanto. 2004. Menata Kembali Penyuluhan Petanian di Era Pembangunan Agribisnis.
Departemen Pertanian: Jakarta.

UPT BP3K. 2012. Data Base Usahatani Padi, Palawija, Buah-Buahan, Sayuran Gapoktan
Tani Makmur Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon: Cirebon.

Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi.
Banyumedia Publishing: Malang.

Anda mungkin juga menyukai