Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
NIM : 12112051
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
TA 2013/2014
1. Teori Geosinklin
Teori ini dikonsep oleh Hall pada tahun1859 yang kemudian dipublikasikan oleh Dana
pada tahun 1873. Teori ini bertujuan untuk menjelaskan terjadinya endapan batuan sedimen
yang sangat tebal, ribuan meter dan memanjang seperti pada Pegunungan Himalaya, Alpina
dan Andes. Konsep tersebut menyatakan bahwa geosinklin terbentuk memanjang atau seperti
cekungan dalam skala ribuan meter, yang terus menurun akibat dari akumulasi batuan sedimen
dan volkanik.Sedangkan geosinklin adalah suatu daerah sempit pada kerak bumi mengalami
depresi selama beberapa waktu sehingga terendapkan secara ekstrim sedimen yang tebal.
Proses pengendapan ini menyebabkan subsidence (penurunan) pada dasar cekungan. Endapan
sedimen yang tebal dianggap berasal dari sedimen akibat proses orogenesa yang membentuk
pengunungan lipatan dan selama proses ini endapan sedimen yang telah terbentuk akan
mengalami metamorfosa. Terdeformasinya batuan di dalamnya dapat dijelaskan sebagai akibat
dari menyempitnya cekungan, sehingga batuan di dalamnya terlipat dan tersesarkan.
Pergerakan ini terjadi akibat adanya gaya penyeimbang atau isostasi.Kelemahan dari teori yakni
tidak bisanya menjelaskan asal-usul vulkanik. Pada intinya, golongan ilmuwan menganggap
bahwa gaya yang bekerja pada bumi merupakan gaya vertical. Artinya, semua deformasi yang
terjadi diakibatkan oleh gaya utama yang berarah tegak lurus dengan bidang yang terdeformasi.
2. Arus Konveksi
Para ahli kebumian percaya bahwa di bumi ini terdapat lempeng-lempeng litosfer yang
'mengambang' di atas astenosfer.
Litosfer merupakan bagian terluar bumi yang padat, kaku, dan mudah pecah, terdiri dari kerak
bumi dan mantel bagian atas, sedangkan astenosfer adalah bagian dari mantel bagian atas yang
apabila dilewati oleh gelombang gempa, maka gelombang yang melewatinya akan mengalami
penurunan kecepatan (dikenal dengan istilah Low Velocity Zone). Astenosfer besifat lunak dan
"dapat mengalir". Sifat dari astenosfer ini memungkinkan suatu lempeng litosfer yang
menumpang diatasnya bergerak. Apabila kita membicarakan lempeng-lempeng yang bergerak,
maka haruslah kita membicarakan hal yang membuatnya bergerak. Salah satu hipotesa yang
paling diterima pada abad ini untuk menjelaskan suatu tenaga yang mampu menyebabkan
lempeng yang sangat luas dan berat bergerak adalah hipotesa Arus Konveksi.
Mekanisme arus konveksi digunakan untuk mejelaskan bagaimana lempeng-lempeng
yang ada bergerak di atas litosfer, dan secara sederhana mekansime ini tidak ada bedanya
dengan mekanisme pergerakan air pada wadah yang dipanaskan. Konveksi pada interior bumi
hanya dapat berlangsung jika terdapat sumber panas yang cukup .Panas di dalam bumi
mungkin dapat berasal dari dua sumber utama, yaitu dari peluruhan radioaktif dan panas
residual. Peluruhan radioaktif merupakan proses spontan yang terjadi ketika suatu isotop
mengalami kehilangan partikel-partikel dari nukleusnya lalu membentuk isotop dari unsur yang
lainnya. Peluruhan radioaktif secara alamiah terjadi pada unsur-unsur kimia seperti uranium,
thorium, dan sebagainya dan akan melepaskan energi panas yang secara lambat bermigrasi ke
permukaan bumi. Donald J. de Paolo (1981) menyatakan bahwa konveksi pada mantel
mendapatkan panasnya dari bagian mantel bagian bawah yang masih memiliki sumber radiaktif
yang utuh. Berbeda dengan panas karena peluruhan radioaktif, panas residual merupakan
energi gravitasi yang tersisa sejak masa pembentukan bumi melalui proses kompresi debu
kosmis, tetapi mekanisme yang memungkinkan bahwa panas ini dapat terkonsentrasi pada
daerah-daerah tertentu lalu menciptakan arus konveksi masih belum dapat dijelaskan dengan
baik.
Arus konveksi pada mantel
Sampai saat ini ada beragam model arus konveksi di bawah lempeng yang dikemukakan,
ada yang menyatakan bahwa arus konveksi hanya terjadi pada mantel bagian atas (astenosfer),
ada yang menyatakan bahwa arus tersebut terdapat mantel secara keseluruhan, dan ada juga
yang menyatakan bahwa sebenarnya ada dua jenis arus yang berkonveksi pada mantel (yaitu
pada astenosfer dan juga pada mesosfer) pada saat yang bersamaan. Namun pada dasarnya,
semua model yang ada tersebut berusaha untuk menjelaskan satu hal, yaitu: pergerakan
lempeng litosfer di atas astenosfer. Pada saat ini diketahui bahwa gaya yang meyebabkan
terjadinya pergerakan lempeng ternyata bukan hanya arus konveksi melalui mekanisme basal
drag-nya saja, tetapi arus konveksi diterima sebagai salah satu yang menyebabkan lempeng
bergerak.
3. Teori Apungan Benua
Sudah sejak lama para ahli kebumian mengetahui bahwa daratan-daratan yang ada di
muka bumi ini sebenarnya tidaklah tetap di tempatnya, tetapi secara berlahan daratan-daratan
tersebut bermigrasi di sepanjang bola bumi. Terpisahnya bagian daratan dari asalnya dapat
membentuk suatu lautan yang baru dan dapat juga berakibat pada terjadinya proses daur ulang
lantai samudera kedalam interior bumi. Sifat mobilitas kerak bumi ditandai dengan adanya
gempa bumi, aktivitas gunung api dan pembentukan pegunungan (orogenesa). Berdasarkan
ilmu pengetahuan kebumian, teori yang menjelaskan mengenai bumi yang dinamis (mobil)
dikenal dengan teori Tektonik Lempeng.
Hipotesa Pengapungan Benua (Continental Drift)
Revolusi dalam ilmu pengetahuan kebumian sudah dimulai sejak awal abad ke 19, yaitu
ketika munculnya suatu pemikiran yang bersifat radikal pada kala itu dengan mengajukan
hipotesa tentang benua-benua yang bersifat mobil yang ada di permukaan bumi. Sebenarnya
teori tektonik lempeng sudah muncul ketika gagasan mengenai hipotesa Pengapungan Benua
(Continental Drift) diperkenalkan pertama kalinya oleh Alfred Wegener (1915) dalam bukunya
The Origins of Oceans and Continents. Pada hakekatnya hipotesa pengapungan benua adalah
suatu hipotesa yang menganggap bahwa benua-benua yang ada saat ini dahulunya bersatu
yang dikenal sebagai super-kontinen yang bernama Pangaea. Super-kontinen Pangea ini diduga
terbentuk pada 200 juta tahun yang lalu yang kemudian terpecah-pecah menjadi bagian-bagian
yang lebih kecil yang kemudian bermigrasi (drifted) ke posisi seperti saat ini. Bukti bukti tentang
adanya super-kontinen Pangaea pada 200 juta tahun yang lalu didukung oleh fakta fakta
sebagai berikut:
Kecocokan / kesamaan Garis Pantai :
Adanya kecocokan garis pantai yang ada di benua Amerika Selatan bagian timur dengan
garis pantai benua Afrika bagian barat. Kedua garis pantai ini apabila dicocokan atau
dihimpitkan satu dengan lainnya akan berhimpit. Wegener menduga bahwa kedua benua
tersebut pada awalnya adalah satu. Berdasarkan adanya kecocokan bentuk garis pantai inilah
kemudian Wegener mencoba untuk mencocokkan semua benua-benua yang ada di muka bumi.
Persebaran Fosil :
Diketemukannya fosil-fosil yang berasal dari binatang dan tumbuhan yang tersebar luas
dan terpisah di beberapa benua :
1. Fosil Cynognathus, suatu reptil yang hidup sekitar 240 juta tahun yang lalu dan
ditemukan di benua Amerika Selatan dan benua Afrika.
2. Fosil Mesosaurus, suatu reptil yang hidup di danau air tawar dan sungai yang hidup
sekitar 260 juta tahun yang lalu, ditemukan di benua Amerika Selatan dan benua Afrika.
3. Fosil Lystrosaurus, suatu reptil yang hidup di daratan sekitar 240 juta tahun yang lalu,
ditemukan di benua benua Afrika, India, dan Antartika.
4. Fosil Clossopteris, suatu tanaman yang hidup 260 juta tahun yang lalu, dijumpai di
benua benua Afrika, Amerika Selatan, India, Australia, dan Antartika.
Pertanyaannya adalah, bagaimana binatang-binatang darat tersebut dapat bermigrasi
menyeberangi lautan yang sangat luas serta di laut yang terbuka? Boleh jadi jawabannya adalah
bahwa benua-benua yang ada sekarang pada waktu itu bersatu yang kemudian pecah dan
terpisah-pisah seperti posisi saat ini.
Kesamaan Jenis Batuan :
Jalur pegunungan Appalachian yang berada di bagian timur benua Amerika Utara
dengan sebaran berarah timur laut dan secara tiba-tiba menghilang di pantai Newfoundlands.
Pegunungan yang umurnya sama dengan pegunungan Appalachian juga dijumpai di British Isles
dan Scandinavia. Kedua pegunungan tersebut apabila diletakkan pada lokasi sebelum terjadinya
pemisahan / pengapungan, kedua pegunungan ini akan membentuk suatu jalur pegunungan
yang menerus. Dengan cara mempersatukan / mencocokan kenampakan bentuk-bentuk
geologi yang dipisahkan oleh suatu lautan memang diperlukan, akan tetapi data-data tersebut
belum cukup untuk membuktikan hipotesa pengapungan benua (continental drift). Dengan kata
lain, jika suatu benua telah mengalami pemisahan satu dan lainnya, maka mutlak diperlukan
bukti-bukti bahwa struktur geologi dan jenis batuan yang cocok/sesuai. Meskipun bukti-bukti
dari kenampakan geologinya cocok antara benua-benua yang dipisahkan oleh lautan, namun
belum cukup untuk membuktikan bahwa daratan/benua tersebut telah mengalami
pengapungan.
Bukti Paleoclimatic (Iklim Purba) :
Para ahli kebumian juga telah mempelajari mengenai ilklim purba, di mana pada 250
juta tahun yang lalu diketahui bahwa belahan bumi bagian selatan pada zaman itu terjadi iklim
dingin, di mana belahan bumi bagian selatan ditutupi oleh lapisan es yang sangat tebal, seperti
benua Antartika, Australia, Amerika Selatan, Afrika, dan India. Wilayah yang terkena glasiasi di
daratan Afrika ternyata menerus hingga ke wilayah ekuator. Akan tetapi argumentasi ini
kemudian ditolak oleh para ahli kebumian, karena selama perioda glasiasi di belahan bumi
bagian selatan, di belahan bumi bagian utara beriklim tropis yang ditandai dengan
berkembangnya hutan rawa tropis yang sangat luas dan merupakan material asal dari endapan
batu bara yang dijumpai di Amerika bagian timur, Eropa dan Asia. Pada saat ini, para ahli
kebumian baru percaya bahwa daratan yang mengalami glasiasi berasal dari satu daratan yang
dikenal dengan super-kontinen Pangaea yang terletak jauh di bagian selatan dari posisi saat ini.
Bukti-bukti dari Wegener dalam mendukung hipotesa Pengapungan Benua baru diperoleh
setelah 50 tahun sebelum masyarakat ahli kebumian mempercayai kebenaran tentang hipotesa
Pengapungan Benua.