Enzim I Kelompok IX Syofiyani J3L111092 Susanti Pratiwi J3L111160 Widya Soneta J3L111010
PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA PROGRAM DIPLOMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Pendahuluan Enzim merupakan protein yang berperan sangat penting dalam proses aktivitas biologis (Kusnawijaya 1993). Enzim adalah suatu biokatalisator, yaitu suatu bahan yang berfungsi mempercepat reaksi kimia dalam tubuh makhluk hidup tetapi zat itu sendiri tidak ikut bereaksi karena pada akhir reaksi terbentuk kembali. Suatu reaksi kimia yang berlangsung dengan bantuan enzim memerlukan energi yang lebih rendah sehingga enzim berfungsi menurunkan energi aktivasi. Sebagian besar enzim bekerja secara khas, artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim - amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa. Enzim tersusun atas bagian protein dan bukan protein. Bagian protein disebut apoenzim, dan bagian non protein disebut kofaktor. Kofaktor dapat berupa ion logam seperti Cu, Mg, K, Fe, Na atau koenzim yang berupa bahan organik, misalkan vitamin B (B 1 dan B 2 ). Enzim umumnya merupakan protein globular. dan ukurannya berkisar dari hanya 62 asam amino pada monomer 4- oksalokrotonat tautomerase sampai dengan lebih dari 2.500 residu pada asam lemak sintase. Kebanyakan enzim berukuran lebih besar daripada substratnya, tetapi hanya sebagian kecil asam amino enzim yang secara langsung terlibat dalam katalisis. Seperti halnya protein-protein lain, enzim merupakan rantai asam amino yang melipat. Tiap-tiap urutan asam amino menghasilkan struktur pelipatan dan sifat-sifat kimiawi yang khas. Rantai protein tunggal kadang-kadang dapat berkumpul bersama dan membentuk kompleks protein. Kebanyakan enzim dapat mengalami denaturasi, yakni terbuka dari lipatannya dan menjadi tidak aktif yang disebabkan oleh pemanasan ataupun denaturan kimiawi. Denaturasi dapat bersifat reversibel maupun ireversibel tergantung dari sifat enzim (Ahmad 2000). Kerja enzim sangat dipengaruhi oleh zat inhibitor, yaitu bahan yang menghambat kerja enzim. Ada 2 jenis inhibitor, yaitu inhibitor kompetitif dan inhibitor non kompetitif. Inhibitor kompetitif bekerja dengan cara berikatan pada tempat aktif enzim. Akibatnya substrat yang tidak bisa berikatan dengan enzim. Sedangkan inhibitor non kompetitif tidak berikatan dengan tempat aktif, tetapi menyebabkan perubahan pada tempat aktif. Ini pun berakibat substrat tidak bisa berikatan dengan enzim (Harper 1980). Tujuan Percobaan Percobaan bertujuan menentukan sifat dan susunan air liur atau saliva. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan tabung reaksi, pipet tetes, lempeng tetes dan alat- alat gelas lainnya. Bahan-bahan yang digunakan air liur (saliva),asam asetat encer, kertas lakmus, pewarna penoftalein (PP) dan metil orange (MO), pereaksi Biuret, pereaksi Millon, pereaksi Molisch, HNO 3 10%, AgNO 3 2%, asam asetat, HCl 10%, BaCl 2 , posfomolibdat, ferrosulfat, NaOH 10%, CuSO 4 dan akuades. Prosedur Percobaan Uji bobot jenis dilakukan dengan bobot densitometer kosong ditimbang. Setelah itu, air liur secukupnya dimasukkan ke dalam densitometer. Bobot densitometer dengan air liur ditimbbang. Percobaan dilakukan tiga kali ulangan. Bobot jenis air liur kemudian dihitung. Uji lakmus PP dan MO dilakukan dengan beberapa tetes air liur ditempatkan dalam lempeng tetes. Kemudian pereaksi penoftalein dimasukkan ke dalam lempeng tetes yang berisi air liur. Perubahan warna yang terjadi diamati. Hal yang sama dilakukan dengan mengganti fenolftalein dengan metil orange sebagai pereaksi. Selain itu ujimenggunakan kertas lakmus juga dilakukan. Kertas lakmus asam diletakkan pada lempeng tetes. Kemudian saliva diteteskan diatasnya. Perubahan warna yang terjadi diamati. Perlakuan yang sama dilakukan dengan mengganti kertas lakmus asam dengan kertas lakmus basa. Uji Biuret dilakukan dengan 3 ml air liur dalam tabung reaksi ditambahkan dengan 1 ml NaOH 10%. Campuran kemudian dikocok sebentar dan ditambahkan 1 tetes CuSO 4 . Perubahan warna yang terjadi diamati. Hasil reaksi positif berupa larutan berwarna ungu. Uji Millon dilakukan dengan penambahan 5 tetes peraksi Millon ke dalam 3 ml saliva (air liur). Campuran kemudian dipanaskan selama 5 menit dan diamati perubahan warna dan keberadaan endapan. Perubahan warna menjadi merah menandakan hasil uji yang positif. Uji Mollisch dilakukan dengan penambahan pereaksi Mollisch sebanyak 2 tetes ke dalam 3 ml saliva. Setelah itu campuran dikocok sebentar kemudian ditambahkan 3 ml H 2 SO 4 dengan cara dialirkan pelan-pelan dan pipetnya ditempelkan di dinding tabung. Campuran diamati hingga terbentuk lingkaran berwarna ungu (cincin ungu) diantara cairan. Uji klorida dilakukan dengan 3 tetes larutan HNO 3 10% ditambahkan ke dalam 2 ml saliva. Campuran kemudian ditambahkan AgNO 3 2% hingga endapan putih terbentuk. Uji musin dilakukan dengan 2 ml saliva dipipet ke dalam tabung reaksi. Kemudian beberapa tetes CH 3 COOH ditambahkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian campuran diamati apakah terbentuk endapan putih. Uji sulfat dilakukan dengan 2 ml saliva dipipet ke dalam tabung reaksi. Larutan HCl 10% ditambahkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu campuran kemudian ditambahkan BaCl 2 . Diamati apakah terbentuk endapan putih. Uji fosfat dilakukan dengan 1 ml saliva dipipet ke dalam tabung reaksi. Kemudian sebanyak 1 ml urea ditambahkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu campuran kemudian ditambahkan 1 ml fosfomolibdat. Setelah itu ditambahkan 1 ml ferosulfat. Perubahan warna yang terjadi diamati hingga terbentuk endapan berwarna biru. Data dan Hasil Percobaan Tabel 1 Hasil percobaan sifat dan susunan air liur (saliva). Jenis uji Hasil pengamatan Perubahan warna Bobot jenis BJ= 0.9135 g/ml - Lakmus merah basa biru Lakmus biru basa biru Pewarna PP asam tidak bewarna Pewarna MO asam orange Uji Biuret + ungu Uji Millon + merah Uji Molisch + cincin ungu Uji klorida + endapan putih Uji sulfat + endapan putih Lanjutan Tabel 1 Hasil uji sifat dan struktur air liur (saliva). Jenis uji Hasil Pengamatan Perubahan warna Uji pospat + biru Uji musin + endapan putih
Keterangan : PP : penoftalein MO : metil orange (-) : tidak terjadi perubahan warna (+) : menunjukkan hasil yang positif untuk masing-masing uji
Gambar 1 Hasil percobaan sifat dan struktur enzim (a) uji lakmus biru, (b) lakmus merah, (c) uji metil orange dan (d) uji penolftalein.
a b c d e f g Gambar 2 Hasil percobaan sifat dan struktur enzim (a) uji Biuret, (b) uji Molisch, (c) uji Millon, (d) uji khlorida, (e) uji fosfat, (f) uji sulfat dan (g) uji musin.
Pembahasan Penentuan sifat asam atau basa saliva ditentukan dengan cara pengujian indikator. Indikator yang digunakan adalah penolftalein (PP) dan Methyl Orange (MO). Penoftalein merupakan pereaksi yang tak berwarna pada pH asam, sedangkan metil orange merupakan pereaksi yang berwarna jingga pada pH asam. Fenolftalein memiliki rentang pH 8.0 9.3 dengan perubahan warna dari tak berwarna menjadi merah muda. Sementara itu, metil orange memiliki rentang pH 3.1 4.4 dengan perubahan warna dari merah menjadi kuning (Harjadi 1986). Berdasarkan percobaan, air liur yang telah ditetesi pereaksi penoftalein dan metil orange masing-masing menghasilkan perubahan warna tak berwarna dan warna jingga. Perubahan warna yang diakibatkan oleh penambahan pereaksi terhadap air liur menunjukkan bahwa air liur memiliki pH yang asam. Kisaran pH air liur antara 6.2 hingga 7.6 dengan rata-rata 6.7 (Girindra 1986). Uji Biuret dan Millon dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya kandungan protein dalam saliva. Berdasarkan percobaan dalam uji Biuret memiliki hasil reaksi positif berupa larutan berwarna ungu ketika ditambahkan CuSO 4 . Hasil dari uji Millon juga menunjukkan hasil yang positif yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah setelah dilakukan pemanasan. Karena hasil uji Biuret dan Millon menunjukkan hasil yang positif, berarti pada sampel saliva yang digunakan mengandung protein. Pereaksi CuSO 4 pada uji Biuret berfungsi dalam menyediakan ion Cu 2+ yang nantinya akan bereaksi dengan ikatan peptida dalam rantai polipeptida pada suasana basa. Hasil dari reaksi ini berupa terbentuknya kompleks warna ungu (Harper 1980). Uji Molisch dilakukan untuk menunjukkan ada atau tidaknya karbohidrat. Uji ini memberikan hasil yang positif dengan terbentuknya cincin ungu kepada semua karbohidrat yang lebih besar daripada tetrosa. Berdasarkan Uji Molisch terhadap saliva menunjukkan reaksi yang positif, sedangkan menurut Lehninger (1998) bahwa pada saliva tidak mengandung karbohidrat. Karbohidrat dalam air liur yang dihasilkan probandus dapat disebabkan oleh masih adanya sisa-sisa makanan yang terkandung dalam air liur. Uji Musin dilakukan untuk menunjukkan apakah di dalam saliva terdapat garam-garam anorganik seperti garam klorida, sulfat, posfat. Uji musin, uji klorida, uji sulfat, dan uji fosfat terhadap saliva juga menunjukkan reaksi positif karena saliva mengandung musin dan garam-garam anorganik yang ditandai dengan terbentuknya endapan putih. Keberadaan fosfat dan sulfat di dalam air liur tidak mutlak adanya. Hal tersebut bergantung pada makanan yang kita konsumsi (Maryati 2000). Prinsip uji klorida dengan 3 ml saliva ditambahkan dengan AgNO 3 dalam suasana asam sehingga terbentuk endapan putih. Endapan putih dari hasil pencampuran uji klorida merupakan endapan AgCl. Penggunaan preaksi HNO 3
untuk membuat suasana menjadi asam. Hasil percobaan menunjukkan hasil yang telah sesuai dengan literatur bahwa saliva akan mendapat ion Cl yang berasal dari cairan gigi. Ketika larutan uji dicampurkan dengan AgNO 3 dalam suasana asam akan membentuk endapan putih atau AgCl (Gilvery & Goldstein 1996). Simpulan Berdasarkan percobaan dapat disimpulkan bahwa saliva mempunyai bobot jenis 0.9135 g/ml. Berdasarkan uji lakmus, PP dan MO saliva memiliki pH asam. Saliva mengandung protein berdasarkan uji Biuret dan uji Milon. Hasil positif pada uji Molisch disebabkan adanya sisa makanan pada air liur probandus. Uji musin, klorida, sulfat, dan fosfat menunjukkan reaksi yang positif. Daftar Pustaka Ahmad Hiskia. 2000. Larutan Asam dan Basa. Bandung: Exact Ganeca. Gilvery dan Goldstein. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional Edisi 3. Surabaya: Airlangga University Press. Girindra A. 1986. Biokimia I. Jakarta: Gramedia. Harjadi W. 1986. Ilmu Kimia Analaitik Dasar. Jakarta: Gramedia. Harper et al. 1980. Biokimia (Review of Physiological Chemistry) Edisi 17. Jakarta: EGC. Kusnawijaya. 1993. Biokimia. Bandung: Exact Ganeca. Lehinger AL. 1998. Dasar-Dasar Biokimia 1. Thenawijaya M, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. Maryati Sri. 2000. Sistem Pencernaan Makanan. Jakarta: Erlangga.