Anda di halaman 1dari 2

NU Online

Jejak Kesempurnaan Sang Mujtahid


Senin, 20/02/2012 07:42
Judul Buku. Biografi Imam Syafi'i. Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Mujtahid
Penulis . Dr. Tariq Suwaidan
Penerbit. Zaman, Jakarta
Tahun. I, 2011
Tebal. 312 halaman
Peresensi . Abdul Aziz MMM
Khasanah intelektual Islam bagaikan bak sumur tanpa dasar. Tak akan pernah habis ditimba. Selain mewariskan karya-karya
luar biasa yang menyumbang peradaban umat manusia (dari aspek keilmuan, teknologi, sastra, dan budaya), juga memberikan
kita aneka artefak dan maintifak (hasil pemikiran, gagasan) yang mengagumkan.
Namun berbeda dengan warisan intelektual sekuler ataupun tradisi ilmiah dunia klasik, peradaban Islam yang berkibar lewat
pesona ilmu, juga memancarkan teladan dan kharisma dari para individu yang menjadi cendekiawan di masa lalu. Agaknya,
kaum cerdik pandai di dunia Islam masa lalu adalah intelektual paripurna. Teruji dalam teori, terbukti dalam budi pekerti.
Satu bukti dari sekian banyak ilmuan Muslim terkemuka adalah Imam Syafii. Kebanyakan kita mengenal tokoh ini sebagai
satu dari empat Imam dari golongan Ahlussunnah wal Jamaah, atau sebagai pakar ilmu fiqh semata. Padahal, Imam Syafii
adalah intelektual ensiklopedik (wawasan sangat luas), sekaligus intelektual prolific (sangat ahli dalam bidang tertentu). Dari
dunia ilmu, ia ahli sastra, balagah, ilmu hadis, bahasa Arab, bahkan juga kedokteran.
Menurut pengakuan salah satu ulama yang dipetik buku ini, setiap ucapan yang dikeluarkan Imam Syafii adalah bagaikan gula
(halaman 106). Sampai-sampai, buku ini juga menyebut bahwa jika saja Imam Syafii tidak menjadi ahli Hadist maka mungkin
ia akan menjadi ahli pengobatan (kedokteran).
Riwayat hidupnya yang ditulis dalam buku ini adalah jejak kesempurnaan. Meski demikian, buku ini tak hanya sebagai
hegiografi (sejarah orang suci, yang melulu berisi puja-puji), melainkan ditulis berdasarkan aneka sumber, ratusan referensi,
berbagai testimoni, dan juga karya-karya utama dari Sang Imam.
Perjalanan Sang Imam diulas tuntas. Sejak masih kecil Imam Syafii hijrah untuk belajar bahasa Arab di Hudzail, pada masa
remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu di Mekah, kemudian berpetualangan ke Madinah, menjelajah ke Irak dan Mesir
hingga di akhir pengabdian beliau. Gambaran perjalanan panjang dan petualangan tanpa titik inilah yang melegenda.
Buku berjudul Biografi Imam Syafi`I, Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Mujahid, yang ditulis Dr Tariq Suwaidan
ini merekam jejak Imam Syafi`i pada tataran penguasaan ilmu yang sangat dalam. Ia juga ahli hadist dan pakar ilmu usul fiqh,
sebagai bukti keilmuannya ia mempunyai karya-karya monumental yakni kitab Al Umm dan Ar Risalah. Dua karya ini masuk
dalam kategori sebagai magnum opus atau masterpiece karya-karya yang terbilang istimewa.
Selain itu Imam Syafi`i mempunyai sebutan sebagai pembela hadist (Nashiru Hadis). Totalitas dan komitmen teguh untuk
mengibarkan hadist dan Al Qur`an sebagai rujukan utama dalam memutuskan setiap perkara keumatan telah diperlihatkan
Imam Syafi`i. Ia kemudian mengukuhkan pijakan dasarnya itu sebagai mazhab tersendiri yang kemudian memiliki pengaruh
luas. Bahkan kini terbilang paling banyak pengikutnya di sejumlah negara, seperti di penduduk Mesir, Arab Saudi (bagian
barat), Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, Yaman dan Bahrain.
Padahal, jika berkaca dari konteks sosio-historis di masa ketika Imam Syafi`I hidup (paruh akhir abad kedua hijriah), gagasan
NU Online
utamanya itu berada di luar mainstream (di luar arus utama). Sejarah mencatat, waktu itu adalah puncak intelektual Islam
berkibar penuh pesona. Bermacam aliran (firqah) tumbuh menguat. Sejumlah ideologi termasuk Syiah, Sunni, Mu`tazilah, dan
Khawarij bermunculan. Telah hadir pula para ulama dan imam besar.
Namun, berkat kecintaannya kepada ilmu dan hasil dari perjalanan panjang, Imam Syafi`I bisa memperoleh pengikut dan
pengakuan dari banyak pihak. Ia tidak terjebak dalam dua arus utama dalam hal ilmu fiqh, yaitu condong kepada teks hadist
semata, atau lebih berpijak pada nalar (ray'i). Imam Syafi`I berhasil mengkombinasikan antara fiqh Imam Hanafi (condong
pada nalar) dan fiqh Imam Maliki (yang berat pada teks hadist). Pada akhirnya Ia melahirkan fiqh dengan metode baru yang
disusunnya sendiri (halaman 156).
Meski begitu, kemunculannya dengan metode baru ini tak sekedar pelengkap. Lantaran kepakarannya sudah diakui oleh
siapapun, termasuk oleh para Imam besar saat itu. Termasuk oleh Imam Hanafi, tak segan menyebutnya sebagai ensiklopedia
berjalan.
Dari olahan Sang Imam inilah kemudian dunia Islam memperoleh mutiara hikmah tak berbanding. Corak pemikiran Sang
Imam relatif moderat, adaptif, dan paling penting adalah ilmiah. Beliau mengokohkan prinsip dalam mempertimbangkan
masalah keagamaan dengan berdasar pada Al Quran dan Hadis, Ijma Ulama, pendapat sahabat, dan qiyas. Inilah berbagai fakta
dan informasi penting yang tersaji di buku ini. Sebuah karya yang sangat patut kita baca.
` Pengelola Renaisant Institute Tinggal di Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai