Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Salah satu sistem yang ada dalam tubuh seseorang adalah sistem
pernapasan. Dengan bernapas setiap sel dalam tubuh menerima persediaan
oksigen dan pada saat yang sama melepaskan produk oksidasinya. Pernapasan
adalah proses ganda yakni terjadinya pertukaran gas didalam jaringan atau
pernapasan dalam dan terjadi diluar paru-paru adalah pernapasan luar
Penyakit jantung menjadi penyebab kematian utama baik pada laki-laki maupun
perempuan di Amerika Serikat. Pada tahun 2005, sekitar 920.000 orang mengalamiserangan
jantung, dimana setiap 34 detik terdapat satu orang yang mengalamiserangan jantung.
Sehingga dapat diramalkan bahwa terdapat sekitar 300.000orang di Amerika Serikat yang
mengalami serangan jantung setiap tahunnya dankurang dari 15% yang dapat tetap bertahan
hidup. Dari data statistik ini menunjukkan tingginya kebutuhan kemampuan pertolongan
pertama pada pasien serangan jantung yang berakibat pada henti jantung baik pada orang
awam maupun pada tenaga kesehatan utamanya perawat.
RJP dilakukan pada pasien yang mengalami henti jantung atau cardiac arrest.
Cardiac arrest ialah tidak adanya aktivitas mekanis jantung, yang dapat dikonfirmasi
dengan tidak terabanya denyut nadi, tidak ada respon dan apnea atau napas gasping
(terengah-engah). Istilah cardiac arrest lebih umum digunakan jika dibandingkan dengan
cardiopulmonary arrest karena istilah ini lebih ditujukan pada pasien yang tidak bernapas
(atau hanya gasping) sekaligus nadinya tidak teraba. Pernapasan gasping merupakan
pernapasan abnormal dan tidak dapat dianggap sebagai tanda pernapasan yang adekuat.
2

Di Rumah sakit mardi waluyo pada kasus pasien dengan penyakit jantung yang
pertama di lakukan adalah pembebasan jalan napas, (Airway), biasanya menggunakan
urofaring, di tambah bantuan oksigen, serta bantuan observasi keadaan pasien menggunakan
monitor, jika pasien mengalami henti jantung maka dilakukan resusitasi jantung paru yang di
lakukan oleh tenaga kesehatan yang ada.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalahnya adalah apakah ada pengaruh
atau manfaat dari teori tentang bantuan hidup dasar terhadap pengetahuan resusitasi jantung
paru.
1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Diharapkan tenaga kesehatan dapat memahami tentang teori
bantuna hidup dasar dan pengaruh resusitasi jantung paru.
1.3.2 Tujuan Khusus
Setelah di berikan seminar, tenaga kesehatan mengetahui tentang
cara memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi (melalui kompresi dada) dan ventilasi
(melalui bantuan napas penolong) dari pasien yang mengalami henti jantung atau henti
napas.
1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan Tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit bisa memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien henti jantung


3

1.4.2. Bagi Pasien dan Keluarga
Pasien dan keluarga dapat mngetahui tentang teori bantuan hidup dasar dan
pengetahuan resusitasi jantung paru yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
1.4.3. Bagi Mahasiswa
Dapat memberikan pengetahuan tentang RJP, sehingga dapat memberikan
asuhan keperawatan secara holistik.


















4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian resusitasi jantung paru
Pengertian resusitasi jantung paru adalah tindakan pertolongan pertama
pada orang yang mengalami henti napas atau pun henti jantung oleh karena sebab-
sebab tertentu. Mempunyai tujuan RJP untuk membuka kembali jalan napas yang
menyempit atau tertutup sama sekali.
Resusitasi jantung paru ini mengandung arti harfiah "Menghidupkan
Kembali" tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk
mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis.
Pertolongan ini dilakukan untuk mengatasi henti nafas dan henti jantung.
Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa RJP merupakan gabungan
penyelamatan pernapasan ( bantuan napas ) dengan kompresi dada eksternal.
Resusitasi digunakan ketika seorang korban mengalami henti jantung dan juga
henti napas
2.2 Konsep Penyakit
1) Anatomi dan fisiologi jantung
Jantung merupakan organ berongga yang berfungsi mengepam darah
melalui saluran darah dengan denyutan yang sekata yang berulang-ulang.
Jantung terletak di sebelah kiri dari tengah dada, dan di belakang tulang
dada (sternum). Ia diselaputi oleh perikardium dan dikelilingi oleh peparu.
Secara purata, jantung orang dewasa mempunyai berat sekitar 300-350 g.
5

Jantung terdiri dari empat ruang, dua atrium di atas dan dua ventrikel di
bawah.

2) Pengertian Henti Jantung
Henti jantung, yang juga dikenal sebagai henti kardiopulmonar atau
henti sirkulasi, merupakan keadaan terhentinya sirkulasi normal dari darah
akibat kegagalan jantung dalam berkontraksi secara efektif. Henti jantung
berbeda dengan (namun dapat disebabkan oleh) infark miokard akut atau
serangan jantung, di mana terdapat hambatan aliran darah ke jantung.
3) Penyebab
Penyakit arteri koroner merupakan penyebab utama dari henti jantung
yang tiba-tiba. Kebanyakan kondisi jantung (IMA, Miokarditis,
Kardiomiopati, Trauma/Temponade, Gagal jantung) dan non jantung
(Hipoksia, Hiperkapnea, Hiperkalsemia, sengatan listrik) juga dapat
meningkatkan risiko henti jantung.

6

4) Tanda dan Gejala
Henti jantung dibuktikan dengan pulsasi nadi yang tidak teraba.
Tetapi, akibat dari tidak adekuatnya sirkulasi otak, pasien dapat mengalami
penurunan kesadaran dan dapat mengalami henti napas. Kriteria diagnostik
utama untuk mendiagnosis henti jantung (yang berlawanan dengan henti
napas yang mana memiliki tanda dan gejala yang mirip) adalah kekurangan
sirkulasi yang dapat dibuktikan dengan beberapa cara
5) Faktor resiko serangan jantung
Usia dan Jenis Kelamin
Pria di bawah usia 50 tahun memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita pada kelompok usia yang sama. Setelah menopause, resiko
seorang wanita bertambah karena penurunan yang tajam dari hormon
estrogen yang bersifat melindungi.
Keturunan
Penelitian menunjukkan bahwa jika terdapat riwayat gangguan jantung
dalam keluarga, keturunan mereka lebih cenderung mengembangkan
problem yang serupa
Diabetes
Penderita diabetes dapat mengalami penyakit jantung akibat komplikasi dari
penyakit tersebut
Merokok
Merokok secara langsung bertanggung jawab atas kira-kira 20 persen dari
semua kematian karena penyakit jantung dan hampir 50 persen dari
serangan jantung pada wanita berusia di bawah 55 tahun. Merokok
7

meningkatkan tekanan darah dan memasukkan zat-zat kimia beracun,
seperti nikotin dan karbon monoksida, ke dalam aliran darah. Selanjutnya,
zat-zat kimia ini akan merusak arteri. Para perokok juga membuat mereka
yang ikut menghirup asapnya beresiko mengalami masalah pada jantung.
Penelitian menyingkapkan bahwa orang-orang yang tidak merokok yang
tinggal dengan para perokok memiliki tambahan resiko serangan jantung.
Oleh karena itu, dengan berhenti merokok seseorang dapat mengurangi
resikonya sendiri dan bahkan dapat menyelamatkan kehidupan orang-orang
tercinta yang tidak merokok.
Hipertensi
Tekanan darah tinggi (hipertensi) dapat melukai dinding arteri dan
memungkinkan kolesterol LDL memasuki saluran arteri dan meningkatkan
penimbunan plak. Seraya timbunan plak meningkat, terjadi lebih banyak
penghalang terhadap aliran darah dan dengan demikian terjadilah
peningkatan tekanan darah yang meningkatkan resiko serangan jantung
Obesitas
Kelebihan berat meningkatkan tekanan darah tinggi dan ketidaknormalan
jumlah lemak. Menghindari atau mengobati obesitas (kegemukan) adalah
cara utama untuk menghindari diabetes. Diabetes kemudian akan
meningkatkan resiko penyakit jantung koroner.
Gaya hidup
Orang-orang yang tidak banyak bergerak memiliki resiko serangan jantung
yang lebih tinggi. Mereka menghabiskan sebagian besar dari hari mereka
tanpa aktif secara fisik dan tidak berolahraga dengan teratur. Serangan
8

jantung sering kali terjadi pada orang-orang ini setelah kegiatan-kegiatan
yang berat seperti bekerja keras di kebun, jogging, mengangkat beban berat,
atau menyekop salju. Tetapi resikonya menurun di antara mereka yang
berolahraga dengan teratur. Jalan-jalan santai selama 20 hingga 30 menit
sebanyak tiga atau empat kali seminggu dapat menurunkan resiko serangan.
Olahraga dengan teratur dapat meningkatkan kemampuan jantung untuk
memompa dan dapat menurunkan kadar kolesterol serta menurunkan
tekanan darah
Stress
Berdasarkan penelitian, stres dapat menyebabkan penyempitan arteri dan ini
menurunkan aliran darah hingga 27 persen. Penyempitan yang berarti
bahkan dapat terlihat pada arteri yang terkena penyakit ringan. Penelitian
lain mengesankan bahwa stres berat dapat menyebabkan pecahnya dinding
arteri yang memicu serangan jantung.
2.3. Indikasi RJP
RJP dilakukan pada pasien yang mengalami henti jantung atau cardiac arrest.
Cardiac arrest ialah tidak adanya aktivitas mekanis jantung, yang dapat dikonfirmasi
dengan tidak terabanya denyut nadi, tidak ada respon dan apnea atau napas gasping
(terengah-engah). Istilah cardiac arrest lebih umum digunakan jika dibandingkan dengan
cardiopulmonary arrest karena istilah ini lebih ditujukan pada pasien yang tidak bernapas
(atau hanya gasping) sekaligus nadinya tidak teraba. Pernapasan gasping merupakan
pernapasan abnormal dan tidak dapat dianggap sebagai tanda pernapasan yang adekuat.
Henti jantung yang tidak tertangani akan berujung pada kematian yang berlangsung
tiba-tiba yang di disebut dengan sudden cardiac arrest (SCD). SCD merupakan suatu
9

kondisi kematian alamiah yang didahului dengan hilangnya kesadaran dalam waktu satu
jam sejak onset perubahan akut pada status kardiovaskuler. Berikut ditampilkan skema yang
menunjukkan tahapan SCD dari empat persepktif kronologis yaitu: (1) tanda peringatan
(warning sign atau prodromal), (2) onset peristiwa terminal, (3) cardiac arrest, (4)
perkembangan pada kematian biologis.
Irama jantung yang dapat teramati saat pasien yang mengalami henti jantung yaitu:
a. Takikardia ventrikel tanpa nadi ( pulseless ventricular tachycardia atau
VT),dimana EKG menunjukkan kompleks QRS lebar yang masih teratur
denganfrekuensi lebih dari 120 kali/menit.

b. Fibrilasi ventrikel (ventricular fibrillation atau VF), dimana EKG menunjukkan
gelombang yang tidak teratur dengan bentuk yang berbeda-beda yang menunjukkan
terjadinya kontraksi ventrikel yang tidak terkoordinasi.
10


c. Asistol, dimana EKG menunjukkan tidak adanya aktivitas listrik yang berlangsung
pada jantung

d. Aktivitas listrik tanpa nadi (pulseless electrical activity atau PEA), dimana
aktivitas listrik pada jantung menunjukkan adanya gelombang EKG, tapi nadi sentral
(karotis) tidak teraba.

Irama VT dan VF dikategorikan sebagai irama shockable, yang artinya irama-
irama ini dapat diberikan kejut listrik (shock) dengan menggunakan defibrilator untuk
mengakhiri irama tersebut. Sedangkan irama asistol dan PEA dikategorikan sebagai irama
nonshockable.
2.4. Fase RJP
Penelitian telah menunjukkan bahwa cardiac arrest akibat VF terjadi dalam tiga fase, yaitu :
11

1. Fase 1 (fase elektris). Fase ini berlangsung sejak munculnya henti jantung VFhingga 5
menit setelah henti jantung. Tindakan defibrilasi awal menjaditindakan paling penting
selama periode ini.
2. Fase 2 (fase sirkulasi atau hemodinamik). Fase ini berlangsung sejak 5 menithingga 15
menit setelah henti jantung. RJP menjadi tindakan paling pentingselama periode ini,
setelah itu diikuti dengan pemberian tindakan defibrilasi jika tersedia.
3. Fase 3 (Fase metabolik). Fase ini berlangsung setelah 15 menit terjadinya henti jantung.
Selama fase ini, efektifitas defibrilasi dan RJP sudah menurun. Penelitian menunjukkan
adanya manfaat pada pemberian terapi hipotermia dalam jangka waktu beberapa menit
hingga beberapa jam setelah munculnya tanda sirkulasi spontan (spontaneous
circulation). Saat ini hipotermia terapeutik telah dimasukkan sebagai bagian dari
strategi terapi standar pada korban henti jantung yang mengalami koma. Hipotermia
terapeutik akan memberikan manfaat sebagai berikut, yaitu:
a. Penghambatan atau supresi reaksi-reaksi kimia yang dipicu oleh cedera reperfusi
b. Memperbaiki pengiriman oksigen ke otak
c. Menurunkan frekuensi jantung dan meningkatkan resistensi vaskuler sistemik tetapi
tetap mempertahankan volume sekuncup dan tekanan darah arteri.
2.5. Rantai Kelangsungan Hidup (Chain of Survival)
Upaya untuk meningkatkan peluang keberhasilan dalam penyelamatan jiwa
melalui bantuan hidup dasar dan lanjut, diperlukan suatu tindakan yang terkoordinasi dan
terpadu yang digambarkan dengan chain of survival (rantai kelangsungan hidup).
Chain of survival menunjukkan rangkaian tindakan ideal yang harus dilakukan
sesegera mungkin setelah mengenali onset SCD, yang terdiri dari 5 (lima) tindakan yang
digambarkan dengan rangkaian mata rantai yang saling bertautan, yaitu
12

1. Early recognition and activation. Melakukan pengenalan segera pada kondisi
henti jantung dan mengaktivasi sistem respons gawat darurat
(EMS/Emergency Medical Responses)
2. Early CPR. Memberikan resusitasi jantung paru sedini mungkin
3. Early defibrillation. Melakukan defibrilasi sesegera mungkin. Pada tempat
danfasilitas umum, biasanya tersedia AED ( Automated External
Defibrillation)
4. Effective advanced life support. Melakukan pemberian bantuan hidup lanjut
dengan efektif
5. Integration of post-cardiac arrest care. Melakukan pemberian perawatan
pasca henti jantung yang terintegrasi.
Bantuan hidup dasar meliputi mata rantai 1 sampai dengan mata rantai 3,
sedangkan mata rantai 4 dan 5 termasuk pemberian bantuan hidup lanjut (BHL). Setiap
orang dapat menjadi penolong pada korban yang tiba-tiba mengalami henti jantung.
Keterampilan RJP dan penerapannya bergantung pada pelatihan yang pernah dijalani,
pengalaman dan kepercayadirian penolong. Kompresi dada merupakan fondasi RJP
sehingga setiap penolong baik terlatih maupun tidak, harus mampu memberikan
kompresi dada pada setiap korban henti jantung. Karena pentingnya, kompresi dada harus
menjadi tindakan prioritas pertama setiap korban dengan usia berapapun. Penolong yang
terlatih harus memberikan kompresi dada yang dikombinasikan dengan ventilasi (napas
bantuan). Sedangkan penolong yang telah sangat terlatih diharapkan memberikan
pertolongan dalam bentuk tim.


13

2.6. Komplikasi RJP
RJP merupakan tindakan yang tidak akan menimbulkan komplikasi jika dilakukan
dengan tepat. Namun komplikasi yang dapat muncul akibat pemberian napas bantuan dan
kompresi dada yaitu:
a. Akibat napas buatan
Inflasi gaster
Regurgitasi
Bila terjadi inflasi gaster, perbaiki jalan nafas dan hindari tidal volume yang besar dan
laju pemberian napas buatan yang terlalu cepat.
b. Akibat kompresi dada
Fraktur iga dan sternum. Komplikasi ini sering terjadi terutama pada orangtua.
RJP tetap diteruskan walaupun terasa ada fraktur iga. Posisi tanganyang salah
saat melakukan kompresi dada dapat menyebabkan fraktur iga.
Pneumothoraks
Hemothoraks
Kontusio paru
Laserasi hati dan limpaPosisi tangan yang terlalu rendah akan menekan
procesus xipoideus ke arahhepar/limpa dan menyebabkan cedera pada hati dan
limpa
Emboli lemak
2.7. Penghentian RJP
Upaya pemberian bantuan hidup dasar dihentikan pada beberapa kondisi di bawahini, yaitu:
a. Kembalinya sirkulasi & ventilasi spontan
b. Ada yang lebih bertanggung jawab
14

c. Penolong lelah atau sudah 30 menit tidak ada respon
d. Adanya Do Not Resuscitation (DNR)
e. Tanda kematian yang ireversibel
Beberapa tanda kematian yang dapat diidentifikasi yaitu:
Lebam mayat, muncul sekitar 20
30 menit setelah kematian, darah akanberkumpul pada bagian tubuh yang paling rendah
akibat daya tarik bumi. Terlihat sebagai warna ungu pada kulit.
Kaku mayat (rigor mortis). Kaku pada tubuh dan anggota gerak setelah kematian.
Terjadi 1- 23 jam kematian
Pupil melebar (midriasis) dan refleks terhadap cahaya negatif
Cedera mematikan, yaitu cedera yang bentuknya begitu parah sehingga hampir dapat
dipastikan pasien/korban tersebut tidak mungkin bertahan hidup.
Langkah-langkah (Sekuens) Resusitasi Jantung Paru Sejak tahun 1966,
American Heart Assocation (AHA) telah menetapkan pedoman resusitasi dengan urutan
langkah- langkah (sekuens) BHD dengan akronim A-B-C yaitu membuka jalan napas
korban ( Airway ), memberikan bantuan napas (Breathing ) dan kemudian memberikan
kompresi dada (Circulation). Namun ternyata sekuens ini berdampak pada penundaan
bermakna sekitar 30 detik untuk memberikan kompresi dada lebih awal untuk
mempertahankan sirkulasi pada korban. Pada menit-menit awal korban/pasien mengalami
henti jantung, dalam darah pasien masih terkandung residu oksigen dalam bentuk ikatan
oksihemoglobin yang dapat diedarkan dengan bantuan sirkulasi buatan melalui kompresi
dada. Sehingga dalam Guidelines 2010, AHA mengatur ulang sekuens RJP dari A-B-
C menjadi C -A-B, sehingga memungkinkan setiap penolong memulai kompresi
dada sesegera mungkin. Rangkaian bantuan hidup dasar pada dasarnya dinamis, namun
15

sebaiknya tidak ada langkah yang terlewatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.
Pedoman baru ini berisi beberapa rekomendasi yang didasarkan pada pembuktian ilmiah,
yaitu:
Pengenalan segera henti jantung tiba-tiba (suddent cardiact arrest) didasarkanpada
pemeriksaan kondisi Unresponsive dan tidak adanya napas normal (seperti, korban
tidak bernapas atau hanya gasping/terengah-engah). Penolong tidak boleh
menghabiskan waktu lebih dari 10 detik untuk melakukan pemeriksaan nadi. Jika nadi
tidak dapat dipastikan dalam 10 detik, maka dianggap tidak ada nadi dan RJP harus
dimulai atau memakai AED (automatic external defibrilator) jika tersedia.
Perubahan pada RJP ini berlaku pada korban dewasa, anak dan bayi tapi tidak pada
bayi baru lahir.
Look, Listen and Feel " telah dihilangkan dari algoritme bantuan hidup dasar
Kecepatan kompresi dada 100x permenit
Penolong terus melakukan RJP hingga terjadi retum of spontaneous circulation
(ROSC)
Kedalaman kompresi untuk korban dewasa telah diubah dari 1 - 2 inchi menjadi 2
inchi (5 cm)
Peningkatan fokus untuk memastikan bahwa RJP diberikan dengan high-
quality didasarkan
pada :
- Kecepatan dan kedalaman kompresi diberikan dengan adekuat dan
memungkinkan full chest recoil antara kompresi
- Meminimalkan interupsi saat memberikan kompresi dada
- Menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan
16

2.8. Resusitasi Jantung Paru
2.8.1. Resusitasi Jantung Paru dengan Satu Orang Penolong
Sebelum melakukan tahapan resusitasi jantung paru, harus terlebih dahulu dilakukan
prosedur awal pada korban/pasien, yaitu:
a. Danger (Bahaya)
Memastikan keamanan baik penolong, korban maupun lingkungan. Biasa
disingkat dengan 3A (Tiga Aman). Keamanan penolong harus lebih diutamakan
sebelum mengambil keputusan untuk menolong korban agar penolong tidak
menjadi korban kedua atau korban berikutnya.
b. Response
Memastikan keadaan pasien dengan memanggil nama/sebutan yang umum dengan
keras seperti Pak! / Bu! / Mas! / Mbak! disertai menyentuh atau
menggoyangkan bahu dengan lembut dan mantap untuk mencegah pergerakan
yang berlebihan. Memanggil korban juga dapat disertai dengan memberikan
instruksi sederhana seperti Pak, bukamatanya!, Pak, siapa namanya
pak?. Prosedur ini disebut sebagai teknik touch and talk. Hal ini cukup untuk
membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika tidak
ada respon, kemungkinan pasien tidak sadar. Jika pasien berespon atau terbangun,
tinggalkan pada posisi seperti pada saat ditemukan dan hindari kemungkinan resiko
cedera lain yang bisa terjadi. Analisa kebutuhan perlunya bantuan dari tim gawat
darurat. Jika sendirian, tinggalkan pasien sementara dan meminta bantuan,
kemudian lakukan observasi dan kaji ulang secara reguler.


17

c. Call For Help
Jika pasien/korban tidak memberikan respon terhadap panggilan atau instruksi,
segera meminta bantuan dengan cara berteriak Tolong!, ada orang tidak
sadar untuk mengaktifkan emergency medical service (EMS).
d. Pengaturan Posisi
1. Posisi Pasien
Pasien terlentang pada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan tidak dalam
posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik log roll, yaitu
digulingkan secara bersamaan kepala, leher dan punggung.
2. Posisi Penolong Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar dapat memberikan
resusitasi jantung paru (RJP) secara efektif tanpa harus mengubah
posisi atau menggeser lutut.
Setelah melakukan prosedur dasar, maka langkah-langkah prosedur selanjutnya yang
harus dilakukan, yaitu:
a. Circulation
Terdiri atas dua tahapan, yaitu:
1. Memastikan ada tidaknya denyut nadi pasien/korban
Ada tidaknya denyut nadi korban ditentukan dengan meraba arteri karotis
yang berada di daerah leher pasien/korban dengan menggunakan dua jari tangan
(jari telunjuk dan tengah) diletakkan pada pertengahan leher sehingga
teraba trakhea kemudian kedua jari digeser kira 2-3 cm ke sisi kanan atau
kiri (sebaiknya sisi yang terdekat dengan penolong). Jika dalam 10 detik nadi karotis
sulit dideteksi, kompresi dada harus segera dimulai.
18

AHA Guideline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai
mekanisme untuk menilai henti jantung karena penolong sering mengalami
kesulitan mendeteksi nadi, sehingga penolong awam tidak harus memeriksa denyut
nadi karotis. Korban dianggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar,
tidak bernapas atau bernapas tapi tidak normal (hanya gasping).
2. Melakukan bantuan sirkulasi
Bila nadi karotis tidak teraba, segera mulai lakukan siklus 30 kompresi dan 2
ventilasi, dengan teknik sebagai berikut:
Penolong berlutut di sisi bahu korban
Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpupada kedua tangan.
Penolong meletakkan salah satu tumit telapak tangan pada sternum, diantara 2
puting susu dan telapak tangan lainnya di atas tangan pertama dengan jari saling
bertaut.
Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dada lurus ke bawah secara
teratur dengan kecepatan 100x/menit (hampir 2 x/detik) dengan kedalaman
adekuat. AHA Guideline 2010 merekomendasikan agar kompresi dada
dilakukan cepat dan dalam ( push and hard ) dengan kedalaman yang adekuat,
yaitu:
- Dewasa: 2 inchi (5 cm), rasio 30 : 2 (1 atau 2 penolong)
- Anak : 1/3 diameter antero-posterior dada ( 5 cm), rasio 30 : 2 (1
penolong) dan 15 : 2 (2 penolong)
- Bayi : 1/3 diameter anterio-posterior dada ( 4 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong)
dan 15 : 2 (2 penolong).
19

Selain itu, kompresi yang dilakukan memungkinkan terjadinya
completechest recoil atau pengembangan dada seperti semula setelah
kompresi sebelum memulai kompresi kembali. Dari tindakan kompresi yang
benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60 80 mmHg dan diastolik yang
sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output ) hanya 25% dari
curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien
dan dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi
(kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.
b. Airway
Penolong memastikan jalan napas bersih dan terbuka sehingga memungkinkan pasien
dapat diberi bantuan napas, sehingga langkah ini terdiri atas dua tahapan,yaitu:
1. Membersihkan jalan napas
Membuka mulut dengan cara jari silang (crossfinger), ibu jari diletakkan
berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.
Memeriksa adanya sumbatan pada jalan napas. Jika ditemukan sumbatan benda
cair, bersihkan dengan teknik finger sweep (sapuan jari) yaitu menyusuri
rongga mulut dengan dua jari, bisa dilapisi dengan kasa atau potongan
kain untuk menyerap cairan. Jika ditemukan sumbatan benda padat, dapat
dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Namun teknik
ini harus dilakukan dengan hati-hati karena teknik ini dapat mendorong
sumbatan semakin dalam. Semua prosedur ini tidak boleh dilakukan
lebih dari 10 detik.


20

2. Membuka jalan nafas
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, jalan
napas pasien/korban harus dibuka. Biasanya pada korban yang tidak
sadar tonus otot-ototnya menghilang termasuk tonus otot pada palatum
sehingga palatum dapat turun dan menempel pada epiglotis. Kondisi ini
menjadi penyebab sumbatan jalan napas pada pasien tidak sadar.
Pembebasan jalan napas dapat dilakukan dengan menggunakan tiga
teknik yaitu head tilt (tengadah kepala), chin lift (angkat dagu) dan jaw
thrust (dorongan rahang). Ketiga teknik ini dikenal dengan Triple
Airway Manuveur.
AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk :
- Menggunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada
pasien yang tidak ada kecurigaan trauma kepala dan leher. Sekitar
0,12-3,7% mengalami cedera spinal dan risiko cedera spinal
meningkat jika pasien mengalami cedera kraniofasial dan/atau GCS
<8.
- Gunakan jaw thrust jika pasien dicurigai mengalami cedera
servikal. Pasien suspek cedera spinal lebih diutamakan dilakukan
restriksi manual (menempatkan 1 tangan di tiap sisi kepala pasien)
dari pada menggunakan spinal immobilization devices karena dapat
mengganggu jalan napas, namun alat ini bermanfaat
mempertahankan kesejajaran spinal selama transportasi.


21

c. Breathing
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung
atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara
memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan. Waktu yang
dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 2 detik dan volume udara
yang dihembuskan adalah 400-600ml (10ml/kg) atau sampai dada
pasien/korban tampak mengembang. Jika mengalami kesulitan untuk
memberikan hembusan napas yang efektif, periksa apakah masih ada
sumbatan di mulut pasien serta perbaiki posisi tengadah kepala dan angkat
dagu pasien/korban.
Pemberian bantuan pernapasan, terdiri atas 3 (tiga) teknik yaitu:
1. Mouth to Mouth (Mulut ke Mulut)
Teknik ini merupakan cara yang cepat dan efektif untuk memberikan
udara ke paru-paru korban / pasien. Pada saat dilakukan hembusan
napas penolong harus mengambil napas terlebih dahulu dan mulut
penolong harus dapat menutup seluruh mulut pasien/korban dengan
baik agar tidak terjadi kebocoran saat menghembuskan napas dan juga
penolong harus menutup lubang hidung pasien/korban dengan ibu jari
dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung.
2. Mouth to Nose (Mulut ke Hidung)
Teknik ini direkomendasikan jika usaha bantuan napas dari mulut
korban tidak memungkinkan, misalnya pada mulut korban mengalami
luka yang berat. Tekniknya sama dengan mouth to mouth, perbedaanya
22

pada saat memberikan hembusan pada hidung pasien/korban, penolong
harus harus menutup mulut pasien/korban.
3. Mouth to Stoma (Mulut ke Stoma)
Pasien yang pernah menjalani laringotomi memiliki lubang (stoma)
pada area leher yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila
pasien ini mengalami kesulitan pernapasan maka harus dilakukan
bantuan pernapasan dari mulut ke stoma
Setelah dilakukan pemberian 2 kali hembusan napas (ventilasi) maka
penolong segera melanjutkan kembali pemberian kompresi 30 kali dan ventilasi 2
kali hingga 5 siklus.
d. Evaluasi (Penilaian Ulang)
Sesudah pemberian 5 siklus kompresi dan ventilasi (kira-kira 2 menit), penolong
kemudian melakukan evaluasi, dengan ketentuan sebagai berikut:
Jika tidak ada nadi karotis, penolong kembali melanjutkan kompresi dan ventilasi
dengan rasio 30 : 2 sebanyak 5 siklus
Jika ada nadi tapi napas belum ada, penolong memberikan bantuan napas sebanyak
10- 12 x/menit dan monitor nadi tiap 2 menit.
Jika ada napas dan denyut nadi teraba namun pasien belum sadar, letakkan
pasien/korban pada posisi pemulihan (recovery position) untuk menjadi jalan
napas tetap terbuka dan bila pasien muntah tidak terjadi aspirasi. Waspada terhadap
kemungkinan pasien mengalami henti napas kembali, jika terjadi segera
terlentangkan pasien dan lakukan bantuan napas kembali.


23

AHA Guideline 2010 memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
Pemberian bantuan napas (ventilasi) sama dengan rekomendasi AHA
2005,yaitu:
- Pemberian dilakukan sesuai tidal volume
- Setelah alat intubasi terpasang pada 2 orang penolong : selama
pemberian RJP, ventilasi diberikan tiap 8-10 x/menit tanpa usaha
sinkronisasi antara kompresi dan ventilasi. Kompresi dada tidak boleh
dihentikan untuk pemberian ventilasi.
Tidak menekankan pemeriksaan breathing karena penolong baik
profesional maupun awam kemungkinan tidak dapat menentukan secara
akurat ada atau tidaknya napas pada pasien tidak sadar karena jalan napas
tidak terbuka atau karena pasien mengalami occasional gasping yang dapat
terjadi pada beberapa menit pertama setelah henti jantung.
Bila tersedia, gunakan Automated External Defibrillator (AED).
e. Defibrilation
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah
defibrilasi adalah suatu terapi kejut jantung dengan memberikan energi listrik. Hal
ini dilakukan jika penyebab henti jantung (cardiac arrest) adalah kelainan irama
jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa sekarang ini sudah
tersedia alat untuk defibrilasi (defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang
awam yang disebut Automatic External Defibrilation, dimana alat tersebut dapat
mengetahui korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika
perlu dilakukan defibrilasi alat tersebut dapat memberikan tanda kepada penolong
24

untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan bantuan
sirkulasis
2.8.2. Resusitasi Jantung Paru dengan Metode Tim
RJP dengan metode tim dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai.
Biasanya di rumah sakit telah ditunjuk beberapa personil yang tergabung dalam tim resusitasi (
Resuscitation Team). Tim resusitasi ini akan bertugas saat emergency medical system (EMS)
diaktifkan. EMS dapat diaktifkan dalam bentuk menekan tombol kode (Code button) yang
berada di ruangan atau di samping tempat tidur pasien atau memanggil nomor telepon ekstensi
khusus dan menyampaikan ke operator telepon tentang lokasi dan jenis kegawatdaruratan yang
terjadi agar tim resusitasi dapat didatangkan.Tim resusitasi ini dipimpin oleh seorang.
Team Leader (ketua tim) yang biasanya seorang intensivis atau dokter IGD yang
memiliki pengalaman dalam penanganan henti jantung. Pada beberapa rumah sakit,
ketua timnya adalah seorang perawat yang telah terlatih untuk melakukan penanganan
henti jantung. Perawat dapat memakai
standing order dokter untuk mengarahkan pengambilan keputusan selama upaya resusitasi,
walaupun pada kebanyakan rumah sakit, sertifikasi pelatihan penanganan henti jantung tahap
lanjut ( intermediate atau advance) dijadikan sebagai prasyarat bagi perawat untuk dapat
melakukan penanganan henti jantung dan saat dokter tidak ada, penanganan kegawat daruratan
dapat dipimpin oleh seorang perawat yang terlatih. Pada lahan prehospital, upaya resusitasi
biasanya dipimpin oleh seorang paramedis namun harus bertugas di bawah
standing order dokter, atau protokol tetap lokal yang berlaku.
Upaya resusitasi membutuhkan koordinasi pada empat tugas utama, yaitu:
a. Kompresi dada
b. Pengelolaan jalan napas
25

c. Monitor EKG dan defibrilasi
d. Akses IV dan pemberian obat.
Jika tim resusitasi ini terdiri atas lima personil, maka setiap anggota tim akan bertanggung jawab
menjalankan satu tugas yang telah ditetapkan sebelumnya namun jika pembagian tugas
belum dilakukan maka ketua tim berwenang untuk membagi tanggung jawab ke
setiap anggota tim.
Berikut ini diuraikan tugas masing-masing personil dari tim resusitasi yaitu:
a. Tanggung jawab ketua tim yaitu:
Mengkaji pasien
Melakukan order perawatan emergensi sesuai protokol
Mempertimbangkan alasan dari penyebab henti jantung
Mengawasi anggota tim (dan memastikan bahwa setiap anggota tim melaksanakan
tugasnya masing-masing dengan benar dan aman)
Mengevaluasi keadekuatan kompresi dada (termasuk posisi tangan,kedalaman,
kompresi, ketepatan frekuensi dan rasio kompresi-ventilasi)
Memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi oksigen yang tepat
Mengevaluasi keadekuatan ventilasi (dengan mengkaji ekspansi dada pada setiap
ventilasi)
Memastikan defibrilasi dilaksanakan dengan tepat dan aman
Memastikan pemilihan akses intravena yang tepat
Memastikan pemberian posisi yang tepat saat akan dilakukan pemasangan jalan
napas lanjut (intubasi)
26

Memastikan kesesuaian obat, dosis dan rute pemberian obat (juga memastikan
bahwa obat diberikan dengan tepat pada situasi disritmia dan obat bolus Iv
dilakukan flushing 20 ml NaCL kemudian ekstremitas dielevasikan
Memastikan kemanan seluruh anggota tim (terutama saat defibrilasi dilakukan)
Melakukan pemecahan masalah (termasuk re-evaluasi kemungkinan penyebab
henti jantung dan mengenali adanya alat yang tidak berfungsi dengan atau adanya
selang yang terlepas)
Memustuskan kapan menghentikan upaya resusitasi (dengan berkonsultasidengan
anggota tim).
b. Tanggung Jawab Anggota Tim Anggota tim resusitasi terdiri atas empat anggota
yang memiliki tanggung jawab masing-masing yaitu:
1) Anggota tim manajemen jalan napas
Anggota tim ini sering disebut dengan ventilator, memiliki tanggung jawab untuk:
Melakukan head tilt
chin lift manuveur atau jaw thrust
Mengukur dan memasang OPA atau NPA
Memasang dengan tepat dan memahami indikasi, kontraindikasi, keuntungan,kerugian,
komplikasi, rentang flow, dan konsentrasi oksigen pada setiap alat bantu pernapasan
seperti kanul nasal, simple mask, pocket mask, rebreathing mask, nonrebreathing
mask dan bag valve mask.
Melakukan penghisapan jalan napas atas dengan memilih alat dan selang suction yang
tepat
Mengetahui indikasi, kontraindikasi, keuntungan, kerugian, komplikasi,peralatan, dan
teknik insersi jalan napas lanjut ETT (intubasi), jika tindakan ini menjadi wewenangnya
27

Mengatahui bagaimana mengkonfirmasi ketepatan penempatan ETT
Mengetahui bagaimana memfiksasi dan mengamankan ETT dengan tepat
2) Anggota tim kompresi dada
Anggota tim ini sering disebut compressor, memiliki tanggung jawab untuk melakukan
RJP dengan tepat dan memberikan kompresi dada dengan frekuensi, kekuatan dan kedalaman
yang adekuat pada lokasi yang tepat.
3) Anggota tim defibrilasi/elektrokardiografi
Anggota tim ini sering disebut dengan defibrillator, memiliki tanggung jawab untuk:
Mengoprasikan mesin AED atau defibrilator manual
Mengatahui perbedaan defibrilasi dan kardioversi, termasuk indikasi dan potensial
komplikasi akibat tindakan tersebut
Menempatkan padle dengan tepat
Memastikan keamanan seluruh anggota sebelum melakukan discharge
Mengatasi dan mencari jalan keluar jika mesin defibrilasi tidak
berfungsi/bermasalah
4) Anggota tim akses intravena dan medikasi Anggota tim ini sering disebut dengan
circulator, memiliki tanggung jawab untuk:
Memilih vena yang tepat dan memasang akses IV
Memberikan obat dan melakukan flushing dengan NaCl 20 mL serta elevasiektremitas
(sekitar 10-20 detik) pada ekstremitas yang terpasang akses intravena
Memahami rute pemberian obat dan dosis yang tepat seperti pemeberian obat melalui
IV, IO dan trakeal.
Pada lahan praktik, seringkali tanggung jawab memberikan defibrilasi dan akses intravena
dijalankan oleh satu orang yaitu oleh circulator dimana circulator selain menjalankan
28

tanggung jawabnya memberikan akses intravena dan medikasi juga menjalankan tanggung
jawab memberikan defibrilasi, sehingga anggota tim yang terdiri dari empat orang (atau 5 orang
dengan leader) dapat dilakukan oleh 3 orang (atau empat orang dengan leader ). Kondisi ini
tergantung ketersediaan staf yangada atau prosedur standar di rumah sakit.




















29

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Salah satu sistem yang ada dalam tubuh seseorang adalah sistem pernapasan.
Dengan bernapas setiap sel dalam tubuh menerima persediaan oksigen dan pada
saat yang sama melepaskan produk oksidasinya. Pernapasan adalah proses ganda
yakni terjadinya pertukaran gas didalam jaringan atau pernapasan dalam dan
terjadi diluar paru-paru adalah pernapasan luar
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan
untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas
(respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana
fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup
normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali. Resusitasi jantung
paru (RJP), atau juga dikenal dengan cardio pulmonier resusitation (CPR),
merupakan gabungan antara pijat jantung dan pernafasan buatan. Teknik ini
diberikan pada korban yang mengalami henti jantung dan nafas, tetapi masih
hidup.
RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit setelah ditemukan telah terjadi
henti nafas dan henti jantung untuk mencegah kerusakan sel-sel otak dan lain-lain.
Jika penderita ditemukan bernafas namun tidak sadar maka posisikan dalam
keadaan mantap agar jalan nafas tetap bebas dan sekret dapat keluar dengan
sendirinya.Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi
dirumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung
30

paru(RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR). Menurut American
Heart Association
bahwa rantai kehidupan mempunyai hubungan erat dengan tindakanresusitasi
jantung paru, karena bagi penderita yang terkena serangan jantung,dengan
diberikan RJP segera maka akan mempunyai kesempatan yang amat besa runtuk
dapat hidup kembali
Komplikasi dari teknik ini adalah pendarahan hebat. Jika korban mengalami
pendarahan hebat, maka pelaksanaan RJP akan memperbanyak darah yang keluar
sehingga kemungkinan korban meninggal dunia lebih besar. Namun, jika korban
tidak segera diberi RJP, korban juga akan meninggal dunia.

3.2 Saran
Instansi rumah sakit hendaknya mengadakan seminar dan pelatihan yang
di ikuti oleh tenaga kesehatan rumah sakit














31

DAFTAR PUSTAKA

Aehlert, B. (2012). ACLS Study Guide. 4th Ed. St. Louis, Missouri: Mosby
Elsevier.
Berg, R.A., Hemphill, R., Abella, B.S.,et al . (2010). Part 5: Adult Basic Life
Support: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and EmergencyCardiovascular Care.
Circulation, Journal of American Heart Association, 122, 122;S685-
S705.
Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical Surgical Nursing,
Critical Thinking for Collaborative Care. 5th Ed. St.Louis, Missouri:
Elsevier Saunders.
Jameson, J. N. St C.; Dennis L. Kasper; Harrison, Tinsley Randolph; Braunwald,
Eugene; Fauci, Anthony S.; Hauser, Stephen L; Longo, Dan L. (2005).
Harrison's principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill
Medical Publishing Division. ISBN 0-07-140235-7.
Jordan, K.S. (2000). Emergency Nursing Core Curriculum, Emergency Nurses
Association. 5th Ed.USA: WB. Saunders Company.
Koster, R.W., Baubin, M.A., Bossaert, L.L.,et al . (2010). European Resuscitation
CouncilGuidelines for Resuscitation 2010. Section 2. Adult basic life
support and use of automatedexternal defibrillators. Resuscitation , 81,
1277 1292.
Lewis, S.L., Heitkemper, M.M., Bucher, L., et al . (2012). Medical Surgical
Nursing: Assesment and Management of Clinical Problems. Vol. 2.
7th Ed. St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Neumar, R.W., Otto, C.W., Link, M.S.,et al . (2010). Part 8: Adult Advanced
Cardiovascular LifeSupport: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitationand Emergency
Cardiovascular Care. Circulation, Journal of American Heart
Association,122, 122;S729-S767.
Travers, A.H., Rea, T.D., Bobrow, B.J.,et al . (2010). Part 4: CPR Overview 2010
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.Circulation,
Journal of American Heart Association, 122, 122;S676-S684.

Anda mungkin juga menyukai