Anda di halaman 1dari 21

1

TUGAS PAPER FARMAKOLOGI VETERINER I


ANTIBIOTIK YANG MENGHAMBAT SINTESIS PROTEIN
















FEBIO T M MEUS
13-087








FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014


2

BAB II
PEMBAHASAN
2.2 JENIS-JENIS ANTIBIOTIKA YANG MENGHAMBAT SINTESIS
PROTEIN
2.2.1 TETRASIKLIN
a. STRUKTUR KIMIA
Tetrasiklin umumnya bersifat bakteriostatik dan merupakan
antibiotika yang berspektrum luas. Antibiotik ini memiliki mekanisme
masuk ke dalam sel bakteri yang diperantai oleh transport protein.
Tetrasiklin dapat melakukan pengikatan ke subunit 30S ribosom dengan
menghambat amino asil-tRNA mRNA sehingga menghambat sintesis
protein. Faktor penghambat penyerapan tetrasiklin adalah Makanan
(kecuali dosisiklin dan minosiklin), pH tinggi, pembentukan kompleks
dengan Ca
+
, Mg
2+
, Fe
2+
, Al
3+
yang terdapat dalam susu dan antacid.
Golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan adalah klortetrasiklin
diisolasi dari Streptomyces aureofaciens. Kemudian oksitetrasiklin berasal
dari Streptomycesrimosus. Tetrasiklin dibuat secara semisintetik dari
klortetrasiklin. Golongan tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama
bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis
protein kuman.

b. MEKANISME KERJA
Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada
ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotik ke
dalam ribosom bakteri gram negatif; pertama yang disebut difusi pasif
melalui kanal hidrofilik, kedua ialah sistem transport aktif. Setelah masuk
maka antibiotik berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi
masuknya tRNA-asam amino pada lokasi asam amino.

c. EFEK ANTIMIKROBA
3

Pada umumnya spektrum golongan tetrasiklin sama (sebab
mekanismenya sama), namun terdapat perbedaan kuantitatif dan aktivitas
masing-masing derivat terhadap kuman tertentu. Hanya mikroba yang
cepat membelah yang dipengaruhi obat ini.
Golongan tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat
bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein
kuman.

d. SPEKTRUM ANTIMIKROBA
Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi
kuman gram-positif dan negatif, aerobik dan anaerobik. Selain itu juga
aktif terhadap spiroket, mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela dan
protozoa tertentu.
Pada umunya tetrasiklin tidak digunakan untuk pengobatan infeksi oleh
streptokokus karena lebih efektif dengan penisilin G, eritromisin,
sefalosporin; kecuali doksisiklin yang digunakan untuk pengobatn sinusitis
pada orang dewasa yang disebabkan oleh Str. pneumoniae dan
Str.pyogenes. banyak strain S.aureus yang resisten terhadap tetrasiklin.
Tetrasiklin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin dalam pengobatan
infeksi batang gram-positif seperti B.anthracis, Erysipel, Iothrix
Rhusiopathiae, Clostridium tetani dan Listeria monocytogenes.
Kebanyakan strain N.gonorrhoeae sensitif terhadap tetrasiklin, tetapi
N.gonorrhoeae penghasil penisilinase (PPNG) biasanya resisten terhadap
tetrasiklin.
Efektivitasnya tinggi terhadap infeksi batang gram-negatif seperti
Brucella, Francisella tularensis, Pseudomonas mallei, Pseudomonas
pseudomallei, Vibrio cholorae, Campylobacter fetus, Haemophyllus
ducreyi, dan Calymmatobacterium granulomatis, Yersinia pestis,
Pasteurella multocida, Spirillum minor, Leptotrichia buccalis, Bordetella
pertusis, Acinetobacter dan Fusobacterium. Strain tertentu H.influenza
mungkin sensitif tetapi E.coli, Klebsella, Enterobacter, Proteus indol
positif dan Pseudomonas umumnya resisten.
4

Tetrasiklin merupakan obat yang sangat efektif untuk infeksi
Mycoplasma pneumoniae, Ureaplasma urealyticum, Chlamydia
trachomatis, Chlamydia psittaci dan berbagai riketsia. Selain itu juga aktif
terhadap Borrelia recurrentis, Treponema pertenue, Actinomyces israelii.
dalam kadar tinggi aktif menghambat Entamoeba histolytica.

e. RESISTENSI
Beberapa spesies kuman terutama streptokokus beta hemolotikus,
E.coli, Pseudomonas aeruginosa, Str.pneumoniae, N.gonorrhoeae,
Bacteroides, Shigella, dan S.aureus makin meningkatkan resistensinya
terhadap tetrasiklin. Reistensi terhadap satu jenis tetrasiklin biasanya
disertai resistensi terhadap semua tetrasiklin lainnya, kecuali minosiklin
pada resistensi S.aureus dan doksiiklin pada resistensi B.fragilis.

f. FARMAKOKINETIK
1. Absorpsi
Sekitar 30-80% tetrasiklin diserap dalam salura cerna.
Doksisiklin dan minosiklin diserap lebih dari 90%. Absorpsi
sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus. Adanya
makanan dalam lambung menghambat penyerapan, kecuali
minosiklin dan doksisiklin. Absorpsi dihambat dalam derajat tertentu
oleh pH tinggi dan pembentukan kelat yaitu kompleks tetrasiklin
dengan suatu zat lain yang sukar diserap seperti aluminium
hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya terdapat
dalam antasida, dan juga ferum. Tetrasiklin diberikan sebelum
makan atau 2 jam sesudah makan.

2. Distribusi
Dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein
plasma dalam jumlah yang bervariasi. Dalam cairan cerebrospinal
(CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10-20% kadar dalam serum.
Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis.
5

Penetrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik. Obat
golongan ini ditimbun di hati, limpa dan sumssum tulang serta di
sentin dan email gigi yang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin
menembus sawar uri dan terdapat dalam ASI dalam kadar yang
relatif tinggi. Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya, doksisiklin
dan minosiklin daya penetrasinya ke jaringan lebih baik.

3. Ekskresi
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin dengan filtrasi
glomerolus dan melalui empedu. Pemberiaan per oral kira-kira 20-
55% golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin. Golongan
tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam empedu mencapai
kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang
diekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi
enterohepatik; maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk
waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada
saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami
akumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap diekskresi melalui
tinja.

g. EFEK SAMPING
1. Gangguan lambung.
Penekanan epigastrik biasanya disebabkan iritasi ari mukosa
lambung dan sering kali terjadi pada penderita yang tidak patuh
yang diobati dengan obat ini.

2. Efek terhadap kalsifikasi jaringan.
Deposit dalam tulang dan pada gigi timbul selama kalsifikasi pada
anak yang berkembang. Hal ini menyebabkan pewarnaan dan
hipoplasi pada gigi dan menganggu pertumbuhan sementara.

3. Hepatotoksisitas fatal.
6

Efek samping ini telah diketahui timbul bila obat ini diberikan pada
perempuan hamil dengan dosis tinggi terutama bila penderita
tersebut juga pernah mengalami pielonefritis.

4. Fototoksisitas.
Fototoksisitas, misalnya luka terbakar matahari yang berat terjadi
bila pasien menelan tetrasiklin terpajan oleh sinar matahari atau
UV. Toksisitas ini sering dijumpai dengan pemberian tetrasiklin,
doksisiklin dan deklosiklin.

5. Gangguan keseimbangan.
Efek samping ini misalnya pusing, mual, muntah terjadi bila
mendapat minosiklin yang menumpuk dalam endolimfe telinga dan
mempengaruhi fungsinya.



6. Pseudomotor serebri.
Hipertensi intrakranial benigna ditandai dengan sakit kepala dan
pandangn kabur yang dapat terjadi pada orang dewasa. Meskipun
penghentian meminum obat membalikkan kondisi, namun tidak
jelas apakah dapat terjadi sekuela permanen.

7. Superinfeksi.
Pertumbuhan berlebihan dari kandida (misalnya dalam vagina) atau
stafilokokus resisten (dalam usus) dapat terjadi.

h. PENGGUNAAN KLINIK.
Penyakit yang obat pilihannya golongan tetrasiklin adalah:

1. Riketsiosis.
7

Perbaikan yang dramatik tampak setelah penggunaan obat golongan
ini. Demam mereda dalam 1-3 hari dan ruam kulit hilang dalam 5
hari. Perbaikan klinis tampak 24 jam setelah terapi.

2. Limfogranuloma venereum
Golongan tetrasiklin merupakan obat pilihan utama penyakit ini.
Terapi 3-4 minggu dan 1-2 bulan untuk keadaan kronik.

3. Psitakosis.
Pemberiaan golongan tetrasiklin selama beberapa hari mengatasi
gejala klinis.

4. Inclusion conjunctivitis.
Pengobatannya dengan salep mata atau tetes mata yang mengandung
golongan tetrasiklin selama 2-3 minggu.



5. Trakoma.
Pengobatan dengan salep mata golongan tetrasiklin dikombinasikan
dengan doksisiklin oral selama 40 hari.

6. Uretritis nonspesifik.
Pengobatan dengan tetrasiklin oral 4 kali sehari 500 mg selama 7 hari.

7. Infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Dapat diatasi dengan obat golongan tetrasiklin. Walaupun
penyembuhan cepat dicapai, bakteri ini mungkin tetap ada dalam
sputum setelah obat dihentikan.

8. Bruselosis.
8

Pengobatan yang memuaskan didapat setelah 3 minggu dengan
golongan tetrasiklin. Untuk kasus berat dikombinasi dengan
streptomisin.

9. Tularemia.
Terapi dengan tetrasiklin cukup baik meskipun streptomisin adalah
obat pilah utama penyakit ini.

10. Kolera.
Tetrasiklin adalah antibiotik paling efektif untuk kasus ini. Dapat
mengurangi kebutuhan cairan infus sebanyak 50 %dari yang
dibutuhkan.

i. INTERAKSI OBAT
Bila tetrasiklin diberikan dengan metoksifluoran maka dapat
menyebabkan nefrotoksisk. Bila dikombinasikan dengan penisilin maka
aktivitas antimikrobanya dihambat. Bila tetrasiklin digunakan bersamaan
dengan produk susu maka akan menurunkan absorpsinya karena
membentuk khelat tetrasiklin dengan ion kalsium yang tidak dapat
diabsorpsi.

2.2.2 KLINDAMISIN

a. MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja klindamisin sama dengan eritromisin yaitu mengikat
secara ireversibel pada tempat sub unit 50S ribosom bakteri, sehingga
menghambat langkah translokasi sintesis protein.

b. SPEKTRUM ANTIBAKTERI
Spektrum antibakterinya menyeruapai linkomisin hanya in vitro
klindamisin lebih aktif. Obat ini aktif terhadap S.aureus, D.pneumoniae,
9

Str.pyogenes, Str.anaerobic, Str.viridans dan Actinomyces israelli. Obat
ini juga aktif terhadap Bacteroides fragilis dan kuman anaerob lainnya.

c. FARMAKOKINETIK
Klindamisin diserap hampir lengkap pada pemberiaan oral. Adanya
makanan dalam lambung tidak banyak mempengaruhi absorpsi obat ini.
Klindamisin palmitat yang digunakan sebagai preparat oral pediatrik, tidak
aktif secara in vitro. Tetapi setelah mengalami hidrolisis akan dibebaskan
klindamisin yang aktif. Klindamisin didistribusi dengan baik, ke berbagai
cairan tubuh, jaringan dan tulang, kecuali CSS walaupun sedang terjadi
meningitis. Dapat menembus sawar uri dengan baik. Kira-kira 90%
klindamisin dalam serum terikat dengan albumin. Hanya sekitar 10%
klindamisin diekskresi dalam bentuk asal melalui urin. Sejumlah kecil
klindamisin ditemukan dalam feses. Sebagian besar obat dimetabolisme
menjadi N-demetilklindamisin dan klindamisin sulfoksid untuk
selanjutnya diekskresi melalui urin dan empedu.



d. EFEK SAMPING
selain kulit kemerahan, efek samping yang paling serius yang dapat
berakibat fatal yaitu kolitis pseudomembranosa yang disebabkan
pertumbuhan berlebihan Clostridium difficile yang mengeloborasi toksin
nekrotik. Reaksi lain yang jarang terjadi ialah sindrom stevens-johnson,
peningkatan SGPT dan SGOT sementara, granulisitopenia,
trombositopenia dan reaksi anfilaksis. Tromboflebitis dapat terjadi karena
pemberian Intra Vena (IV).

e. PENGGUNAAN KLINIK
Walaupun beberapa infeksi kokus gram positif dapat diobati
dengan klindamisin, pengobatan ini harus dipertimbangkan baik-baik
karena mungkin menimbulkan kolitis. Klindamisin terutam bermanfaat
10

untuk infeksi kuman anaerobik, terutama B.fragilis. untuk pengobatan
abses paru, pemberiaan klindamisin 3 kali 600 mg secara iv lebih efektif
daripada penisilin 1 juta unit tiap 4 jam. Peranan obat ini untuk pneumonia
aspirasi, pneumonia pasca obstruksi atau abses paru belum dipastikan,
tetapi didapat kesan bahwa klindamisin merupakan alternatif yang baik
untuk penisilin.

2.2.3 KLORAMFENIKOL

Kloramfenikol diisolasi pertama kali dari Streptomyces venezuelae. Karena
daya anti mikrobanya yang kuat, maka penggunaannya meluas hingga tahun 1950,
dan diketahui obat ini dapat menimbulkan anemia aplastik yang fatal. Karena
toksisitasnya, penggunaan obat ini dibatasi hanya untuk mengobati infeksi yang
mengancam kehidupan dan tidak ada alternatif lain.

a. MEKANISME KERJA
Kloramfenikol bekerja dengan mengikat sub unit 50S ribosom bakteri dan
menghambat sintesis protein kuman. Yang dihambat ialah enzim peptidil
trasferase yang merupakan katalisator untuk pembentukan ikatan-ikatan
peptida pada proses sintesis protein kuman. Karena kemiripan ribosom
mitokondria mamalia dengan bakteri, sintesis protein pada organela ini
dihambat dengan kadar klorafenikol tinggi yang dapat menimbulkan
toksisitas sumsum tulang. Efek toksiknya pada sel mamalia terutama
terlihat pada sistem hemopoetik dan diduga berhubungan dengan
mekanisme kerja obat ini.

b. SPEKTRUM ANTIBAKTERI
Spektrum antibakterinya meliputi D.pneumoniae, Streptomyces pyogenes,
Streptomycesviridans, Neiserria, Haemophilus, Bacillus sp, Listeria,
Bartonella, Brucella, P.multocida, C.diphtheriae, Chlamydia,
Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob.
11

Bebrapa strain D.pneumoniae, H.influenzae dan N.meningitidis brsifat
resisten; S.aureus umunya sensitif, sedang Enterobactericeae banyak yang
telah resisten.
Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E.coli, K.pneumoniae dan
Pr.mirabilis . Kebanyakan strain Serratia, Providencia, dan Proteus
rettgerii resisten, juga kebanyakan strain Pseudomonas aeruginosa dan
strain tertentu Salmonella typhi

c. FARMAKOKINETIK
Setelah pemberiaan oral, kloramfenikol diserap dengan cepat.
Kadar puncak dalam darah tercapai dalam 2 jam. Untuk anak diberikan
ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang tidak pahit. Bentuk ester ini
akan terhidrolisis di usus dan membebaskan kloramfenikol. Masa paruh
eliminasi pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi umur kurang 2
minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat
dengan albumin. Obat ini diditribusikan secara baik ke berbagai jaringan
tubuh, termasuk otak, cairan cerebrospinal dan mata. Dalam hati
kloramfenikol mengalami konyugasi dengan asam glukoronat oleh enzim
glukuronil transferase. Dalam waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol yang
diberikan per oral telah diekskresi melalui urin, hanya 5-10% dalam
bentuk aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk glukuronat atau hidrolisat lain
yang tidak aktif. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresi terutam melalui
filtrat glomerulus sedangkan metabolitnya dengan sekresi tubulus.

d. EFEK SAMPING
Reaksi hematologik. Terdapat dalam 2 bentuk. Pertama yaitu
reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang. Kelainan darah
yang terlihat yaitu anemia, retikulositopenia, peningkatan serum ion dan
iron binding capacity serta vakuolisasi seri eritrosit bentuk muda. Bentuk
kedua prognosinya sangat buruk karena anemia yang timbul bersifat
irreversibel. Bentuk yang hebat bermanifestasi sebagai anemia aplastik
dengan pansitopenia.
12

Reaksi alergi. Kloramfenikol dapat menimbulkan kemerahan
kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis. Kelainan menyerupai reaksi
Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demam tifoid walaupun jarang
dijumpai.
Reaksi saluran cerna. Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis,
diare dan enterokolitis.
Gray baby sindrom.
Efek ini terjadi pada neonatus bila regimen dosis kloramfenikol tidak
disesuaikan secara akurat. Neonatus memiliki kapasitas rendah dalam
menglukuronidasi antibiotika dan fungsi ginjalnya belum sempurna
sehingga kemampuannya untuk mengekskresi obat menurun, yang
menumpuk sampai tingkat yang mengganggu fungsi ribosom mitokondria.
Hal ini menyebabkan masuknya makanan terganggu, menekan pernafasan,
kardiovaskular kolaps, sianosis (karena itu disebut grey baby) dan
kematian.
Reaksi neurologik. Terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium, dan
sakit kepala. Neuritis perifer atau neuropati optik dapat juga timbul
terutama setelah pengobatan lama.


e. PENGGUNAAN KLINIK
1. Demam tifoid.
Walaupun sering dilaporkan adanya resistensi S.typhi terhadap
kloramfenikol, tapi masih tetap sebagai pilhan utama untuk penyakit
ini. Untuk pengobatannya, kloramfenikol diberikan 4 kali sehari 500
mg selama 2-3 minggu. Untuk anak 50-100 mg/kgBB sehari selama 10
hari. Dapat pula digunakan tiamfenikol dengan dosis 50 mg/kgBB
sehari pada minggu pertama dan diteruskan 1-2 minggu lagi dengan
dosis separuhya.

2. Meningitis purulenta.
13

Kloramfenikol efektif untuk penyakit yang disebabkan H.influenzae
ini. Untuk terapi awal pada anak, kloramfenikol diberikan bersama
dengan suntikan penisilin G.

3. Riketsiosis.
Tetrasiklin merupakan obat pilihan pertama untuk penyakit ini. Namun
apabila tetrasiklin tidak dapat diberikan, maka digunakan
kloramfenikol dengan dosis awal 50 mg/kgBB dilanjutkan dengan
pemberian 1 g tiap 8 jam. Untuk anak kloramfenikol palmitat 100
mg/kgBB sehari, Dilanjutkan sampai 8 jam bebas demam.
Infeksi lain. Klorafenikol memliki efktivitas yang sama dengan
tetrasiklin dalam pengobatan lymphogranuloma venerum, psittcosis,
infeksi mycoplasma pneumoniae dan P.pestis. namun untuk kasus ini
sebaiknya digunakan tetrasiklin yang toksisitasnya relatif rendah.
Kloramfenikol dapat digunakan untuk bruselosis dengan dosis 0,75-1
gram tiap 6 jam bila tetrasiklin tidak dapat diberikan. Kloramfenikol
dapat pula digunakan untuk mengatasi infeksi kuman anaerobik yang
berasal dari lumen usus.



f. INTERAKSI OBAT
Kloramfenikol mampu menghambat fungsi penggabungan oksidase
hepatik sehingga dapat menghambat metabolisme obat seperti warfarin,
fenitoin, tolbutamid dan klopropamid, sehingga meningkatkan konsentrasi
dan efeknya.

2.2.4 AMINOGIKOSID
Aminoglikosid adalah suatu golongan antibiotic bakterisid yang asalnya
didapat dari berbagai species Streptomyces dan memiliki sifat-sifat kimiawi
antimikroba, farmakologis, dan toksik yang spesifik. Golongan ini meliputi
14

Streptomycin, neomycin, kanamycin, amikacin, gentamycin, tobramycin,
sisomycin dan netilmycin.

a. SIFAT KIMIAWI DAN FISIK
Aminoglikosid mempunyai cincin Hexose yaitu streptidine (pada
streptomycin),atau 2-deoxystreptamine (pada aminoglikosid lain), dimana
berbagai gula amino dikaitkan oleh ikatan glikosid. Agen-agen ini larut
air, stabil dalam larutan dan lebih aktif pada pH alkali dibandingkan pH
asam.

b. MEKANISME KERJA
Aminoglikosida merupakan penghambat sintesis protein
irreversible, namun mekanisme pasti bakteriosidnya tidak jelas. Begitu
memasuki sel, ia akan mengikat protein subunit-30S yang spesifik (untuk
streptomycin S12).
Aminoglikosid menghambat sintesis protein dengan 3 cara:
1. Agen-agen ini mengganggu kompleks awal pembentukan peptide.
2. Agen-agen ini menginduksi salah baca mRNA, yang mengakibatkan
penggabungan asam amino yang salah ke dalam peptide, sehingga
menyebabkan suatu keadaan nonfungsi atau toksik protein.
3. Agen-agen ini menyebabkan terjadinya pemecahan polisom menjadi
monosom non-fungsional.
c. MEKANISME RESISTENSI
Telah ditentukan 3 mekanisme prinsip yaitu:
1. Mikroorganisme memproduksi suatu enzim transferase atau enzim-
enzim yang menyebabkan inaktivitas aminoglikosid, melalui adenilasi,
asetilasi, atau fosforilasi.
2. Menghalangi masuknya aminoglikosida ke dalam sel.
3. Protein reseptor sub unit ribosom 30S kemungkinan hilang atau
berubah sebagai akibat dari mutasi.

d. FARMAKOKINETIKA
15

Aminoglikosid diabsorbsi sangat buruk pada saluran
gastrointestinal yang utuh. Setelah suntikan intramuscular, aminoglikosid
diabsorbsi dengan baik dan mencapai konsentrasi puncak dalam darah
antara 30-90 menit. Aminoglikosid biasanya diberikan secara intravena
30-60 menit. Secara tradisional aminoglikosid diberikan dalam 2 atau 3
dosis terbagi perhari bagi pasien-pasien dengan fungsi ginjal normal.
Aminoglikosid merupakan senyawa yang sangat polar dan tidak
dapat langsung memasuki sel. Sebagian besar aminoglikosid tidak dapat
masuk ke mata dan SSP. Aminoglikosid dibersihkan di ginjal, dan
ekskresinya berbanding langsung dengan klirens kreatinin. Waktu paruh
normal dalam serum adalah 2-3 jam, namun meningkat dalam 24-48 jam
pada pasien dengan kerusakan fungsi ginjal yang signifikan.
Aminoglikosid hanya mengalami klirens secara sebagian dan tidak
beraturan melalui hemodialisis (misalnya 40-60% untuk gentamicyn), dan
lebih efektif jika klirens melalui dialysis peritoneal.
Penyesuaian dosis harus dilakukan untuk menghindari akumulasi
obat dan toksisitas pada pasien-pasien dengan insufisiensi fungsi ginjal.
Bisa jadi dosis obat dibiarkan konstan dan interval antar dosis dinaikkan,
atau interval dibiarkan konstan sementara dosisnya dikurangi. Berbagai
monogram dan formula telah dikembangkan untuk menghubungkan kadar
serum kreatinin dalam dengan penyesuaian pada regimen pengobatan.
Dosis harian Aminoglikosid dihitung dengan cara mengalikan
dosis harian maksimum dengan rasio perbandingan klirens kreatinin yang
diperkirakan terhadap klirens normal yaitu 120 mg/min, yang merupakan
nilai tipikal untuk pria dewasa normal dengan bobot 70 kg. Untuk wanita
berusia 60 tahun dengan bobot 60 kg dan serum kreatinin 3 mg/dL, dosis
tepat untuk gentamicyn adalah sekitar 50 mg/hari.
Terdapat variasi individual yang patut dipertimbangkan dalam
kadar serum Aminoglikosid diantara pasien-pasien dengan nilai klirens
kreatinin yang diperkirakan sama. Oleh sebab itu, adalah wajib untuk
mengukur kadar serum obat untuk menghindari toksisitas berat khususnya
apabila dosis tinggi diberikan selama lebih dari beberapa hari atau jika
16

fungsi ginjal berubah dengan cepat. Untuk regimen tradisional dengan
pemberian dosis dua atau tiga kali sehari, konsentrasi serum puncak harus
ditentukan dari sampel darah yang diambil sekitar 30-60 menit setelah
pemberian satu dosis dan konsentrasi trough dari sampel yang diambil
sebelum pemberian dosis berikutnya.

e. EFEK SAMPING
Semua Aminoglikosid bersafat ototoksik dan nefrotoksik.
Ototoksisitas dan nefrotoksisitas cenderung ditemukan saat terapi
dilanjutkan hingga lebih dari 5 hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada
orang-orang lanjut usia dan dalam kondisi insufisiensi fungsi ginjal.
Penggunaan bersama diuretic loop (misalnya furosemid) atau agen
antimikroba nefrotoksik lain (misal vanomicyn atau amphotericyn) dapat
meningkatkan nefrotoksisitas dan sedapat mungkin dihindarkan.

f. PENGGUNAAN KLINIS
Aminoglikosid paling sering digunakan melawan bakteri enteric
gram-negatif, khusunya ketika isolatnya resisten obat dan ketika dicurigai
sepsis. hampir selalu digunakan dalam kombinasi dengan antibiotic beta-
laktam dalam upaya untuk memperluas cakupan meliputi patogen-patogen
gram positif yang potensial dan untuk mendapatkan keuntungan
sinergisme kedua kelas obat ini. Pemilihan aminoglikosid dan dosisnya
sebaiknya tergantung pada infeksi yang sedang dihadapi dan kerentanan
dari isolate tersebut.

2.2.5 ERITROMICYN

a. STRUKTUR KIMIA
Struktur umum dari ertromycin ditunjukkan di atas cincin
makrolida dan gula-gula desosamin dan kladinose. Obat ini sulit larut
dalam air (0,1%) namun dapat langsung larut pada zat-zat pelarut organik.
Larutan ini cukup satabil pada suhu 4
o
C, namun dapat kehilangan aktivitas
17

dengan cepat pada suhu 20
o
C dan pada suhu asam. Ertromycin biasanya
tersedia dalam bentuk berbagai ester dan garam.

b. AKTIVITAS ANTIMIKROBA
Eritromycin efektif terhadap organisme-organisme gram positif,
terutama pneumococcus, streptococcus, dan corynebacteria, dalam
konsentrasi plasma sebesar 0,02 mg/mL. Selain itu mycoplasma,
legionella, Chlamydia trachomatis, C psittaci, C pneumonia, helicobacter,
listeria, dan mycobacteria tertentu, juga rentan terhadap ertromycin.
Demikian pula organism-organisme gram negative, seperti spesies
neisseria, Bordetella pertussis, Batonella henselae, dan B quintana (agen-
agen penyebab pada penyakit catscratch dan angiomatosis basiler),
beberapa spesies rickettise, Tropenome pallidum, serta spesies
campylobacter. Sekalipun demikian, Haemophilus influenza agak kurang
rentan. Hambatan sintesis protein terjadi melalui ikatan ke RNA ribosom
50S. Sintesis protein terhambat karena reaksi-reaksi translokasi aminoasil
dan hambatan pembentuk awal.

c. RESISTENSI
Resistensi terhadap ertromycin biasanya dikode oleh plasmid. Terdapat 3
mekanisme yang telah dikenal :
1. Penurunan permeabilitas membrane sel atau pengaliran keluar (efflux)
yang aktif.
2. Produksi esterase (oleh enterobacteriaceae) yang menghidrolisis
makrolida.
3. Modifikasi situs ikatan ribosom (disebut juga preoteksi ribosom) oleh
mutasi kromosom atau oleh metilase pengganti atau penginduksi
makrolida.

d. FARMAKOKINETIKA
Ertromycin basa dihancurkan oleh asam lambung dan harus diberikan
dengan salut enteric. Stearat dan ester cukup tahan pada keadaan asam dan
18

diabsorbsi lebih baik. Garam lauryl dan ester propionil ertromycin
merupakan preprat oral yang paling baik diabsorbsi. Dosis oral sebesar 2
g/hari menghasilkan konsentrasi basa ertromycin serum dan konsentrasi
ester sekitar 2 mg/mL. Akan tetapi, yang aktif secara mikrobiologis adalah
basanya, sementara konsentrasinya cenderung sama tanpa
memperhitungkan formulasi. Waktu paruh serum adalah 1,5 jam dalam
kondisi normal dan 5 jam pada pasien dengan anuria. Penyesuaian untuk
gagal ginjal tidak diperlukan. Ertromycin tidak dapat dibersihkan melalui
dialysis. Jumlah besar dari dosis yang diberikan diekskresikan dalam
empedu dan hilang dalam fases, hanya 5% yang diekskresikan dalam
urine. Obat yang telah diabsorbsi didistribusikan secara luas, kecuali
dalam otak dan cairan serebrospinal. Ertromycin diangkut oleh leukosit
polimorfonukleus dan makrofag. Oabt ini melintasi sawar plasenta dan
mencapai janin.

e. PENGGUNAAN KLINIS
Eritromycin merupakan obat pilihan dalam:
1. Infeksi-infeksi corynebacterial (diphtheria, corynebacterial sepsis,
erythasma)
2. Infeksi kuman Chlamydia pada pernafasan, neonates, okuler, atau
genital
3. Mengobati pneumonia dalam komunitas.
4. Sebagai pengganti untuk individu yang alergi terhadap Penisiln, dalam
infeksi yang disebabkan oleh staphylococcus, streptococcus, dan
pneumococcus.
5. Sebagai profilaksis terhadap endokarditis dalam prosedur-prosedur
dental pada individu penyakit jantung valvular, sekalipun Clindamycin
yang ditoleransi dengan baik telah banyak menggantikannya.

f. EFEK SAMPING
1. Efek-efek gastrointestinal. Anoreksia, mual, muntah dan diare sesekali
menyertai
19

2. Pemberian oral. Intoleransi ini disebabkan oleh stimulitas langsung
pada motilitas usus.
3. Toksisitas hati. Dapat menimbulkan hepatitis kolestasis akut (demam,
ikterus, kerusakan fungsi hati), kemungkinan sebagai reaksi
hipersensitivitas.
4. Interaksi-interaksi obat. Menghambat enzim-enzim sitokrom P450 dan
meningkatkan konsentarsi serum sejumlah obat, termasuk teofilin,
antikoagulan oral, siklosporin, dan metilprednisolon. Meningkatkan
konsentrasi serum digoxin oral dengan jalan meningkatkan
bioavailabilitas.

2.2.6 CLARITOMYCIN

a. STRUKTUR KIMIA
Claritromycin diturunkan dari eritromycin dengan penambahnsatu
kelompok methyl, serta memiliki stabilitas asam dan absorpsi oral yang
lebih baik dibandingkan dengan eritromycin.

b. AKTIVITAS ANTIMIKROBA
Mekanisme kerja claritromycin sama dengan eritromycin, kecuali bahwa
claritromycin lebih aktif terhadap kompleks Mycobacterium avium.
Claritromycin juga mempunyai aktivitas terhadap M. leprae dan
Toxoplasma gondii. Streptokokkus dan stapilokokkus yang resisten
terhadap eritromycin juga resisten terhadap claritromycin.

c. FARMAKOKINETIKA
Dosis 500 mg menghasilkan konsentrasi serum sebesar 2-3
mg/mL. Waktu paruh claritromycin (6 jam) yang lebih panjang
dibandingkan dengan eritromycin memungkinkan pemberian dosis 2 kali
sehari. Claritromycin dimetabolisme dalam hati. Metabolit utamanya
adalah 14-hidroksiclaritromycin, yang juga mempunyai aktivitas
antibakteri. Sebagian dari obat aktif dan metabolit utama ini dieliminasi
20

dalam urine, dan pengurangan dosis dianjurkan bagi pasien-pasien dengan
klirens kreatinin dibawah 30 mL/menit.

d. PENGGUNAAN KLINIS
Keuntungan claritromycin dibandingkan eritromycin adalah lebih
rendahnya frekuensi intoleransi gastrointestinal dan lebih jarangnya
frekuensi pemberian dosis.

2.2.7 AZITROMICYN

a. STRUKTUR KIMIA
Azitromycin merupakan senyawa dengan cincin makrolida lakton 15-atom
yang diturunkan dari eritromycin dengan penambahan suatu nitrogen yang
dimetilasi ke dalam cincin laktone eritromycin.

b. AKTIVITAS ANTIMIKROBA DAN PENGGUNAAN KLINIS
Spektrum aktivitas dan penggunaan klinis identik dengan claritromycin.
Azitromycin aktif terhadap kompleks M avium dan T gondii. Azitromycin
sedikit kurang aktif dibandingkan eritromycin dan claritromycin terhadap
stapilikokkus dan streptokokkus, namun sedikit lebih aktif terhadap H
influenzae. Azitromycin sangat aktif terhadap klamidia.
c. FARMAKOKINETIKA
Azitromycin berbeda dengan eritromycin dan claritromycin
terutama dalam sifat farmakokinetika. Satu dosis Azitromycin 500 mg
dapat menghasilkan konsentrasi serum yang lebih rendah, yaitu sekitar 0,4
g/mL. Akan tetapi Azitromycin dapat melakukan penetrasi kesebagian
besar jaringan dapat melebihi konsentrasi serum sepuluh hingga seratus
kali lipat. Obat dirilis perlahan dalam jaringan-jaringan (waktu paruh
jaringan adalah 2-4 hari) untuk menghasilkan waktu paruh eliminasi
mendekati 3 hari. Sifat-sifat yang unik ini memungkinkan pemberian dosis
sekali sehari dan pemendekan durasi pengobatan dalam banyak kasus.
21

Azitromycin diabsorbsi dengan cepat dan ditoleransi dengan baik
secara oral. Obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan atau 2 jam
setelah makan. Antasida aluminium dan magnesium tidak mengubah
bioavaibilitas, namun memperlama absorbsi dan dengan 15 atom (bukan
14 atom), maka Azitromycin tidak menghentikan aktivitas enzim-enzim
sitokrom P450, dan oleh karena itu tidak mempunyai interaksi obat seperti
yang ditimbulkan oleh eritromycin dan claritmycin.














more????
twiter : @eebymarciano
fb : eeby marciano

Anda mungkin juga menyukai