Anda di halaman 1dari 28

TRANSLATE

PHYCOREMEDIATION BY HIGH-RATE ALGAL PONDS (HRAPs)












Tugas
Untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan Bioremediasi


Dosen Pengajar
Aditya Rahman, S.Si., M.Eng
NIP. 19810919 200501 1004



Oleh
Rezky Rahmayanti/J1C111043



PROGRAM STUDI S-1 BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
APRIL 2014
179

12 Phycoremediasi Melalui
High-Rate Algal Ponds
(HRAPs)
Ismail Rawat, Ramanathan Ranjith Kumar,
dan Faizal Bux
Institute for Water and Wastewater Technology
Durban University of Technology
Durban, South Africa

ISI
Phycoremediasi melalui High-Rate Algal Ponds (HRAPs)......................... . 179
12.1 Pendahuluan................................................................................... . 180
12.2 Karakteristik................................................................................... . 182
12.2.1 Karakteristik Fisika............................................................ . 184
12.2.2 Karakteristik Kimia............................................................ . 185
12.2.3 Karakteristik Biologi.......................................................... . 186
12.3 Phycoremediasi.............................................................................. . 186
12.4 Jenis Alga Digunakan Sebagai Phycoremediasi............................ . 188
12.5 High-Rate Algal Ponds (HRAPs).................................................. . 190
12.5.1 Penghilangan Nutrisi.......................................................... . 192
12.5.2 Faktor yang Mempengaruhi HRAPs.................................. . 194
12.5.3 Pengolahan Air Limbah dan Pertumbuhan Alga yang Efi
Sien...................................................................................... 197
12.6 Air Limbah Sebagai Bahan Mentah Untuk Produksi Biomassa.... . 198
12.7 Ekonomi dan Keseimbangan Energi Phycoremediasi Mengguna -
kan HRAPs.................................................................................... . 201
12.8 Kesimpulan.................................................................................... . 203
Pengakuan.................................................................................................... . 203
Referensi...................................................................................................... . 203

180

12.1 PENDAHULUAN
Pembuangan limbah cair dan padat di sungai, danau, dan lautan telah terjadi
selama periode waktu yang lama. Industrialisasi meningkat luas dalam melayani
kebutuhan penduduk perkotaan yang menghasilkan sejumlah besar limbah dan
memerlukan perawatan untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut.
Sumber titik kontaminasi air limbah memiliki kapasitas untuk overload dalam
menerima air dan merupakan ancaman yang paling luas terhadap lingkungan dan
kualitas air. Air limbah umumnya mengandung konsentrasi nutrisi organik dan
anorganik yang sangat tinggi, salah satu penyebab utamanya adalah degradasi
ekologi ireversibel. Degradasi ekologi ireversibel mengganggu bio-sistem dan
proses daur ulang alami seperti fotosintesis, respirasi, fiksasi nitrogen, penguapan,
dan curah hujan. Pengolahan air limbah yang efektif dan penggunaan air limbah
reklamasi memiliki potensi besar dalam membantu memenuhi kebutuhan air
bersih untuk berbagai keperluan dosmetic dan industri, sehingga sedikit
mengurangi kebutuhan akan air pada pusat-pusat perkotaan. Dalam air limbah
industri dan kota, pengurangan berbagai tumpukan kimia pada sumbernya
bukanlah proses yang mudah dan merupakan proses yang sangat mahal untuk
memperbaiki dengan metode perawatan konvensional karena permintaan untuk
operator terampil, investasi modal yang tinggi, biaya operasional yang tinggi,
kehandalan dan lain-lain. Operasi kompleks dalam metode perawatan
konvensional untuk menghilangkan bahan kimia tidak menjamin pengurangan
reduksi lumpur. Penghilangan lumpur adalah salah satu tantangan utama dalam
pengolahan air limbah yang berkelanjutan, tetapi dapat dicapai oleh Best
Available Technique (BAT) untuk perawatan aspek sosial-ekonomi dari
pengolahan air limbah yang efisien. Hal ini, ditambah dengan potensi pemulihan
sumber energi yang wajib dan diperlukan dalam menyelidiki kelayakan
pengolahan biologis. Telah terjadi pertumbuhan di seluruh dunia yang berkaitan
dengan menurunnya sumber daya air dan meningkatnya permintaan untuk
pelestarian dan pengelolaan sumber daya air berkelanjutan (Garca et al., 2000).
Budidaya mikroalga merupakan bioteknologi menarik untuk metode
pengolahan air limbah yang memiliki potensi sebagai metode alternatif perawatan
konvensional. Mikroalga adalah sumber bio populer, seperti teknologi tepat
181

mikroalga yang dapat menambahkan sejumlah manfaat untuk proses perawatan
karena mereka memiliki kapasitas yang lebih besar untuk perawatan sejumlah
kontaminan air limbah. Chinnasamy et al. (2010) mengamati bahwa ditemukan
konsorsium dari lima belas mikroalga asli sangat efisien untuk mengurangi lebih
dari 96% di pabrik pengolahan nutrisi air limbah dalam waktu 72 jam. Wang et al.
(2010) melaporkan penurunan cepat terjadi pada nitrat, fosfat, dan tingkat logam
dalam pengolahan air limbah dengan waktu yang singkat menggunakan budidaya
mikroalga. Pengolahan air limbah mikroalga merupakan metode ekonomis dari
pengolahan air limbah dan memiliki sejarah penelitian sangat luas selama lebih
dari 50 tahun (Oswald et al, 1954; Oswald, 1991; Ruiz et al., 2011). Penghilangan
limbah Mikroalga berbasis nutrisi dan/atau bahan kimia dapat dicapai dengan
akumulasi atau konversi dan biomassa, sehingga menjadi metode bioteknologi
yang lebih baik untuk pelestarian ekosistem air tawar (Hoffmann, 1998; Ruiz et
al., 2011). Mengingat bahwa limbah yang murah dapat digunakan sebagai pakan
untuk spesies mikroalga yang diinginkan dalam menghasilkan produk ganggang
yang diturunkan dan juga sekaligus menghilangkan nutrisi, serta membuat sistem
biologi yang lebih menarik. Dengan demikian, teknologi phycoremediation adalah
bidang yang menjanjikan untuk studi yang dapat diterapkan seperti dalam
pengolahan air limbah, biomassa dan produksi biofuel untuk energi berkelanjutan.
Budidaya mikroalga untuk pengolahan air limbah sangat berkualitas tinggi,
proses yang sangat ramah lingkungan tanpa terjadinya polusi sekunder. Reklamasi
produksi limbah menghasilkan metabolisme mikroalga yang bernilai tinggi seperti
lipid, karbohidrat, dan protein. Mikroalga sering diterapkan dalam pengolahan
tersier limbah domestik di kolam pematangan sistem pengolahan air limbah pada
skala kecil dan skala menengah (Hanumantha Rao et al., 2011; Rawet et al.,
2011). Teknologi seperti sistem pengolahan kolam air limbah canggih yang
terintegrasi (AIWPS) tersedia secara komersial (Oswald, 1991). Desain yang
termasuk paling umum adalah kolam fakultatif, yaitu pertumbuhan permukaan
yang relatif mendalam dan dukungan dari mikroalga sendiri. Kolam tinggi tingkat
alga (HRAPs) adalah teknologi ciri untuk memperbaiki sejumlah aliran air
limbah, terutama dalam kondisi tropis dan subtropis karena ketersediaan sinar
matahari yang dimanfaatkan oleh mikroalga untuk fotosintesis (Phang et al., 2000;
182

Mustafa et al., 2011). Kolam yang dangkal tergantung pada pencampuran
mekanik untuk produksi alga maksimum dan penghilangan kebutuhan oksigen
biologis. HRAPs merupakan reaktor yang paling hemat biaya untuk pengelolaan
limbah cair dan menangkap energi surya, serta penangkapan karbon dioksida di
atmosfer yang digunakan dalam pengolahan limbah hewan (Narkthon, 1996).
HRAP pengolahan air limbah bisa sangat efisien dalam mengurangi bakteri,
kebutuhan oksigen biologis (BOD), dan tingkat gizi dengan pendekatan terpadu
untuk daur ulang limbah. Phycoremediation dapat digunakan dalam proses
sebagai langkah kedua setelah pengolahan anaerobik awal dari air limbah organik
yang tinggi untuk menghasilkan penurunan yang signifikan dalam bahan organik
yang berpengaruh, seperti nitrogen dan fosfor. Mikroalga yang dipanen kaya akan
nutrisi seperti nitrogen, kalium, dan fosfor, yang dapat digunakan untuk pakan
ternak, dan lain-lain (Ogbonna et al., 2000; Olgum, 2003; Rawat et al., 2011) .
Oleh karena itu, HRAPs sangat sesuai untuk sanitasi di masyarakat pedesaan kecil
karena kesederhanaan operasi HRAPs dibandingkan dengan teknologi
konvensional seperti proses pengaktifan lumpur. Bab ini secara kritis
mengevaluasi HRAPs phycoremediation untuk menghilangkan nutrisi kekuatan
organik yang tinggi melalui mikroalga yang diperkaya.

12.2 KARAKTERISTIK AIR LIMBAH
Air limbah merupakan salah satu sumber utama dalam meningkatkan kadar
polutan air secara leseluruhan (Gomec, 2010). Pemahaman tentang karakteristik
air limbah sangat penting dalam desain dan proses operasional pengolahan air
limbah dan upaya penelitian yang cukup layak. Air limbah dibagi menjadi dua
jenis : (1) air limbah kota dan (2) air limbah industri. Air limbah umumnya
merupakan kombinasi dari limbah rumah tangga dan limbah industri, tergantung
pada sistem pengumpulan pengolahan. Air limbah yang dihasilkan berbeda yaitu
selama kegiatan manusia dan dicampur bersama-sama. Gambar 12.1 memberikan





183















Gambar 12.1 Tipe Air limbah isdustri dan domestik

TABEL 12.1
Komposisi Kimia dan Karakteristik Air Limbah yang Tidak Terpelihara















184

beberapa contoh dari tipe air limbah kota dan air limbah industri. Pengolahan air
limbah kota dan air limbah industri secara sosial biologi yang ekonomis adalah
menggunakan teknologi tinggi tepatguna (Metcalf dan Eddy, 1991) dan dapat
memperoleh air limbah dengan berbagai tujuan. Tabel 12.1 memperlihatkan
penilaian tingkat komposisi dengan tipe lemah, sedang, dan kuat dari air limbah
domestik. Penilaian yang lengkap pada kualitas air limbah dapat diklasifikasikan
secara luas kedalam tiga karakteristik dan sumbernya yaitu karakteristik fisika,
kimia, dan unsur biologi (Gambar 12.2).

12.2.1 Karakteristik Fisika
Struktur persepsi dari karakteristik fisika dan kimia air limbah dapat merubah
hakikatnya dengan merubah aliran habitat dan pola individunya. Karateristik
fisika air limbah yang termasuk adalah sebagai berikut:
















Gambar 12.2 Karakteristik fisika, kimia, dan biologi dari air limbah (Sumber: Rawat et al., 2011.)
185

1. Warna: Penampilan fisik, warna yang signifikan kualitatif dari air limbah
tergantung pada waktu yang bertahan dalam tangki, dan warnanya bervariasi
dari cokelat muda sampai warna abu-abu terang. Warna ini dikenal untuk
mengubah abu-abu gelap atau hitam pada air limbah akan basi. Perubahan
warna air limbah terjadi karena fermentasi dari berbagai senyawa kimia yang
dihasilkan, khususnya hidrogen sulfida dan sulfida besi. Warna dapat diukur
dengan perbandingan menggunakan metode standar.
2. Bau: Bau yang menyerang dalam air limbah terutama terjadi karena hubungan
impuri terlarut dan sejumlah senyawa bau yang dihasilkan oleh mikroba hidup
yang diperkaya dan organisme air yang membusuk ketika dalam kondisi
anaerobik. Senyawa pokok penghasil bau adalah hidrogen sulfida, diproduksi
sebagai gas oleh dekomposisi bakteri dalam kondisi anaerob.
3. Padat Isi: Total padatan merupakan hasil dari yang terlarut dan tergantung
materi yang tetap sebagai residu dalam air limbah (Metcalf dan Eddy, 1987)
pada penguapan pada 103 C sampai 105 C.
4. Suhu: Suhu air limbah dapat berubah-ubah pada suatu musim dengan lokasi
yang geografis, dari 10 C menjadi 21 C (Muttamara, 1996). Memainkan suhu
merupakan peran utama dalam pengolahan air limbah dan variasinya karena
dapat menyebabkan perubahan sebagai akibat dari reaksi kimia dan biologi
organisme planktonik. Air limbah mengandung bakteri dan jamur yang
mungkin memiliki pengaruh besar pada karakteristik fisik dari air limbah,
terutama ketika dalam kelimpahan karena suhu normal. Kekeruhan dan warna
yang tidak langsung berhubungan dengan suhu diakibatkan karena sebagian
besar termasuk dalam produk reaksi kimia yaitu keseimbangan air limbah
koagulasi yang dapat berubah karena suhu. Suhu juga sangat penting dalam
mencegah penentuan berbagai parameter, seperti perubahan pH yang sering
terjadi di daerah dengan kapasitas rendah penetral asam, konduktivitas, tingkat
kejenuhan gad yang berbeda, berbagai bentuk alkalinitas, dan lain-lain.

12.2.2 KARAKTERISTIK KIMIA
Senyawa kimia karakterisasi dari air limbah yang paling penting adalah
sehubungan dengan pengolahan yang efektif. Identifikasi komponen kimia dan
konsentrasi mereka digunakan sebagai ukuran kualitas air limbah. Air limbah
186

domestik dan industri mengandung berbagai bahan kimia organik dan anorganik.
Komponen kimia utama dalam limbah air limbah adalah karbohidrat, protein,
lipid, dan urea. Urea dalam air limbah sebagian besar dari senyawa organik, urine,
yang merupakan konstituen utama dan membentuk sejumlah besar zat nitrogen
(Rawat et al., 2011) melalui dekomposisi yang cepat. Bahan kimia organik, yang
terutama terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen, dan komponen lainnya seperti
belerang, fosfor, besi, amonia, protein, lemak, lignin, sabun, minyak, dan bahan
kimia organik sintetis lainnya yang mudah terurai dan produksi dekomposisinya
ditemukan dalam sistem. Parameter fisikokimia dalam air limbah, seperti Total
Dissolved Solids (TDS), karakteristik kimia organik melibatkan interaksi pH,
mineral alkali, dan nutrisi lainnya. Ini terkait dengan kemampuan pelarut air
limbah (Drinan dan Whiting, 2001). Terdapat beberapa senyawa kimia anorganik
yang umum hadir dalam air limbah diantaranya adalah nitrogen, sulfur, klorida,
fosfor, besi, hidrogen, dan mencari jumlah logam berat (Muttamara, 1996).

12.2.3 KARAKTERISTIK BIOLOGI
Umumnya dalam air limbah, jutaan organisme mikroskopis dan makroskopis
didistribusikan secara luas yang berasal dari air limbah rumah tangga dibuang.
Organisme yang termasuk adalah bakteri, protozoa, virus, dan spesies alga
terbatas. Banyak dari mikroorganisme dan makroorganisme yang dianggap tidak
berbahaya, kemudian besar keragaman organisme sangat disesuaikan dengan
kondisi mereka yang efektif dalam pengolahan air limbah dan pengaktifan
pengolahan lumpur dalam fasilitas pengolahan. Beberapa publikasi baru-baru ini
melaporkan bahwa air limbah menyediakan media yang ideal untuk pertumbuhan
mikroba potensial (Kong et al., 2010; Cho et al., 2011; Christenson dan Sims,
2011; Park et al., 2011a; Pittman et al., 2011; Rawat et al., 2011), terlepas dari
pengolahan air limbah anaerobik atau aerobik (Abeliovich, 1986).

12.3 PHYCOREMEDIASI
Istilah phycoremediasi ini diciptakan oleh John (2000) untuk merujuk pada
remediasi air yang dilakukan oleh alga. Mikroalga memiliki khasiat tinggi dalam
pengolahan air limbah dan dapat menawarkan solusi yang mungkin untuk masalah
lingkungan (Lau et al., 1994; Craggs et al., 1997; Korner dan Vermaat, 1998;
187

Harun et al., 2010). Mikroalga merupakan organisme yang eukariotik dan
mikroorganisme autotrophic yang dapat beradaptasi dengan hampir semua
lingkungan air (termasuk air limbah) dan menghasilkan biomassa yang kaya akan
berbagai nutrisi dan mineral. Mikroalga sangat bervariasi dalam protein (10%
sampai 53%), karbohidrat (10% sampai 16%), lemak (15% sampai 55%), dan
mineral (5%) konstituen (Xu et al., 2006).
Phycoremediasi air limbah (domestik atau industri) mengacu pada
pemanfaatan skala besar apapun (yang diinginkan) mikroalga untuk
menghilangkan polutan atau biotransformasi senyawa kimia organik berbahaya
bagi produk akhir tidak berbahaya, xenobiotik, dan penghilangan patogen dari air
limbah. Biomassa mengkonsumsi jumlah yang cukup nutrisi dari sumber-sumber
yang tersedia secara bebas, seperti air limbah yang kaya akan nutrisi organik,
kimia anorganik, dan CO
2
dari limbah dan pembuangan aliran (Oiguin, 2003),
yang dapat mempercepat penyebaran biomassa mikroalga (45% sampai 60%
mikroalga oleh berat kering), asam nukleat, dan phospholipid. Penghilangan
nutrisi dapat lebih meningkat dengan amonia stripping atau fosfor presipitasi
akibat peningkatan pH yang berhubungan dengan fotosintesis (Lalibertd et al.,
1994; Oswald, 2003; Hanumantha Rao et al., 2011; Rawat et al., 2011).
Phycoremediasi digunakan sebagai pengolahan tersier biologis, biasanya
dilakukan untuk pengolahan air limbah kota sekunder, yang telah menjadi fokus
penelitian selama beberapa dekade terakhir (Oswald dan Gotaas, 1957). High-
Rate Algal Ponds (HRAPs) untuk pengolahan air limbah merupakan pengolahan
yang sangat efektif, dalam kultur mikroalga HRAP yang dibudidayakan dapat
mengasimilasi sejumlah besar nutrisi, sehingga terjadi penurunan BOD dan
Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia. Mikroalga
dianggap sebagai solusi yang paling fleksibel di antara proses pengolahan air
limbah biologis. Air limbah domestik berisi sebagian besar nutrisi seperti nitrogen
dan fosfor yang secara langsung dan tidak langsung dapat mendukung
produktivitas mikroalga dan mempertahankan biomassa pada tingkat yang cukup
tinggi untuk mencapai penghilangan nutrisi yang efisien dalam sistem air limbah.
Penerapan mikro alga dalam pengolahan air limbah untuk mengurangi bau,
pewarna, nitrat, nitrit, fosfat, amonia, TDS, TSS, BOD, dan meningkatkan pH dan
188

penyerapan logam berat telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir.
Pengolahan biomassa limbah mikroalga dapat digunakan untuk berbagai
keperluan (Munoz dan Gudeysse, 2006). Baru-baru ini, Kumar et al., (2011)
mempelajari tinggi tingkat tanaman alga Chlorella vulgaris yang dibudidayakan
pada pengolahan air limbah secara konfeksioner, dimana biomassa yang dipanen
digunakan untuk studi potensi antioksidan enzimatik dan nonenzimatik. Namun,
biomassa mikroalga yang diperkaya perlu dipanen dengan biaya rendah yang
hemat biaya dengan menggunakan sistem penghilangan nutrisi. Hal ini masih
dalam proses tahap awal.
Aplikasi dan keuntungan dari phycoremediasi adalah sebagai berikut (Olguin,
2003)
1. Penghilangan unsur hara dari air limbah baik air limbah kota maupun air
limbah industri atau limbah diperkaya dengan bahan organik tinggi
2. Penghilangan nutrisi dan senyawa xenobiotik dengan bantuan biosorben
berbasis alga
3. Pengolahan secara efisien air limbah asam dan logam berat
4. Meningkatkan oksigenasi dari atmosfer
5. Penyerapan CO
2

6. Meningkatkan kualitas limbah
7. Transformasi dan degradasi xenobiotik
8. Biosensing senyawa beracun dengan ganggang

12.4 JENIS ALGAE DIGUNAKAN SEBAGAI PHYCOREMEDIATION
Sejarah panjang dari penelitian pengolahan limbah berbasis alga, dipelopori
oleh algologists Oswald dan rekan kerjanya (1953), yang dirancang sebagai
teknologi dalam melaksanakan peran ganda mikroalga yang digunakan untuk
pengolahan air limbah dan produksi protein. Ini dimulai bersama Golueke dan
Oswald (1965), yang memperoleh wawasan tentang aspek-aspek ekonomi dari
teknologi pengolahan kolam air limbah berbasis mikroalga dan sumber potensial
alternatif limbah yang direnovasi dan produksi protein. Mikroalga telah digunakan
secara luas sebagai teknologi pengolahan yang tepat di kolam pengolahan air
limbah sejak awal 1950-an (Oswald et al., 1953; Oswald dan Gotaas 1957;
189

Fallowfield dan Garrett, 1985; Lincoln dan Earle, 1990; Ghosh, 1991; Oswald,
1991; Borowitzka, 1999; Oswald, 2003; Hanumantha Rao et al., 2011).
Phycoremediasi dapat memberikan solusi jangka panjang yang lebih
berkelanjutan daripada pengolahan air limbah jenis lainnya, di mana metode
secara biologi digunakan karena mikroalga memiliki kapasitas yang lebih besar
untuk memperbaiki CO
2
, oleh fotosintesis dan secara efisien dapat menghilangkan
nutrisi yang berlebihan dengan biaya minimal (Hirata et al., 1996; Murakami dan
Ikenouchi, 1997). Penghilangan nutrisi yang paling efisien dari air limbah telah
diteliti yaitu menggunakan strain alga dengan sifat yang khusus seperti toleransi
pada suhu ekstrim, komposisi kimia dari produk yang bernilai tinggi, akumulasi
logam berat, dan pertumbuhan mixotrophic inter alia. Strain mikroalga yaitu
Phormidium diisolasi dari suatu lingkungan kutub di bawah suhu 10 C, dan
kemampuan strain ini untuk menghilangkan nutrisi anorganik dalam air limbah
selama musim semi dan musim gugur dari iklim dingin yang dipelajari oleh Tang
et al., (1997). Mikroalga yang umum termasuk dalam pengolahan air limbah
adalah Chlorella, Oscillatoria, Scenedesmus, Synechocystis, Lyngbya,
Gloeocapsa, Spirulina, Chroococcus, Anabaena, dan lain-lain. Beberapa jenis
spesies Chlorella (vulgaris) tumbuh secara universal yang telah digunakan untuk
pengolahan air limbah di seluruh dunia. Mereka adalah mikroalga yang dapat
tumbuh yang kaya nutrisi nitrogen (N) dan fosfor (P) air limbah kota dan
mengkonversi air limbah yang mengandung N dan P menjadi biomassa alga
(Green et al., 1995; Benemann dan Oswald, 1996; Olguin, 2003; Orpez et al.,
2009). Spesies mikroalga yang efisien lainnya digunakan untuk menghilangkan N
dan P pada variasi limbah industri termasuk seperti Fsutryocuccus bruunii, yang
digunakan untuk pengolahan primer pembuangan kotoran limbah (Sawayama et
al., 1995); Scenedesmus obliquus, yang digunakan dalam pengolahan air limbah
perkotaan (Martinez et al., 2000); dan air limbah buatan, (Gomez Villa et al.,
2005). Polutan merupakan pemulihan dari sistem pemanenan biomassa (Adey et
al., 1996). Selain dari hasil penumpuan biomassa mikroalga, materi yang tidak
ramah lingkungan disediakan dalam bentuk pigmen, protein, antioksidan, asam
amino, dan senyawa bioaktif lainnya yang membuat mereka ideal untuk
melepaskan nutrisi. Pengolahan air limbah tingkat dari polutan organik atau
190

berbahaya telah dilakukan oleh mickroalga dengan sifat yang khusus. Mikroalga
yang paling banyak dipelajari adalah Chlorella, Scenedsmus, dan spesies
Ankistrodesmus, di mana berbagai limbah industri yang digunakan adalah seperti
air limbah industri kertas, produksi air limbah minyak zaitun, dan air limbah
pabrik (Ghasemi et al., 2011; Rawat et al., 2011). Seleksi strain mikroalga sangat
berperan penting dalam pengolahan air limbah melalui HRAP. Koleksi mikroalga
yang ditemukan hanya beberapa ribu jenis mikroalga yang berbeda yang secara
efisien dapat mendukung pengolahan air limbah dan produksi biomassa untuk
nilai tambah produk sampingan dalam memenuhi permintaan dimasa yang akan
datang untuk biofuel alternatif. Oleh karena itu, kita perlu memusatkan pada strain
mikroalga yang efektif dengan kombinasi kemajuan terbaru dalam teknik secara
genetik dan ilmu material yang dapat memperbaiki masalah-masalah tersebut.

12.5 HIGH-RATE ALGAL PONDS (HRAPS)
Tiga jenis umum dari kolam pematangan digunakan dalam pengolahan air
limbah adalah kolam fakultatif, kolam anaerobik, dan yang paling umum adalah
kolam stabilisasi limbah. Kolam aerobik, juga dikenal sebagai kolam tingkat
tinggi, yang dangkal dan terdapat oksigen sepenuhnya atau komplit (Oswald,
1978). High-Rate Algal Ponds (HRAPs) dikembangkan mulai pada tahun
1950 sebagai alternatif untuk kolam yang tidak tercampur oksidasi BOD, padatan
tersuspensi, dan penghilangan patogen (Rawat et al., 2011). Mereka termasuk
rendah biaya dan teknologi pemeliharaan rendah untuk perbaikan berbagai jenis
limbah (De Godos et al., 2010). HRAPs menunjukkan kinerja yang lebih baik bila
dibandingkan dengan kolam anaerobik, aerobik, dan fakultative karena
menggunakan limbah yang sama. Habitat bersama dari alga fotosintetik dan
bakteri heterotrofik disebut sebagai simbiosis HRAP. HRAPs telah digunakan
untuk pengolahan berbagai air limbah, termasuk limbah domestik, kandang babi,
air limbah hewan, limpasan pertanian, dan drainase tambang serta air limbah
kilang minyak seng (Rawat et al., 2011). Pemanfaatan mikroalga untuk asimilasi
nitrogen dan fosfor pada konsentrasi rendah menyajikan alternatif yang
berkelanjutan untuk penggunaan sistem pengolahan yang ada, seperti nitrogen dan
fosfor yang dapat memperbaiki biomassa alga untuk digunakan kembali (Boelee
et al., 2011). HRAPs dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan alga, dan
191

teknologi pada umumnya terdiri dari campuran mekanis kolam yang dangkal
(Olgutn, 2003; Garcia et al., 2006). Sebuah alat pompa baling-baling besar
digunakan untuk membuat kecepatan saluran yang cukup untuk pencampuran
secaralembut. Kolam umumnya dengan lebar 2 meter sampai 3 meter, tinggi 0,1 -
0,4 meter, dan luasnya berkisar dari 1.000 sampai 5.000 m
2
, tergantung pada skala
aplikasinya (Garcia et al., 2006; De Godos et al., 2009; Rawat et al., 2011). Waktu
retensi hidrolik sistem tersebut umumnya adalah dalam kisaran 4 sampai 10 hari,
tergantung pada kondisi iklim. Pencampuran kontinyu adalah syarat untuk
menjaga sel-sel dalam suspensi dan mengurangi efek tempat yang teduh, sehingga
dapat melakukan pembongkaran ganggang terhadap cahaya secara berkala,
bahkan dalam kultur yang lebih padat. Desain yang paling umum yang telah
terbukti sukses dalam skala besar adalah campuran paddlewheel loop tunggal.
Karena biaya energi ini akan ketergantungan pada kecepatan, sebagian besar
tambak telah dioperasikan pada kecepatan dari 10 sampai 30 cm s
-1
(Oigutn,
2003; Rawat et al,, 2011). Modus aksi dari HRAP terjadi langsung melalui
pertumbuhan ganggang dan pemanenan biomassa dan secara tidak langsung
dengan penguapan amonia nitrat dan curah hujan ortofosfat melalui perubahan
pH. Fotosintesis alga sehingga mengontrol efisiensi nitrat dan penghapusan fosfat
(Olgum, 2003). Fotosintesis alga menyediakan oksigen untuk dekomposisi dari
bahan organik oleh bakteri heterotrofik aerobik yang memungkinkan untuk
pengurangan bahan organik ditambah dengan penghilangan fosfor karena serapan
oleh ganggang (Garcia et al., 2006) dan nitrogen. Biomassa yang dihasilkan bisa
dipanen dan dapat digunakan untuk produksi biiofuel melalui berbagai jalur (Park
et al., 2011b).
Sistem ini mudah dioperasikan bila dibandingkan dengan teknologi
konvensional, sehingga membuat mereka ideal untuk digunakan oleh masyarakat
pedesaan kecil (Garcia et al., 2006). HRAPs telah berhasil digunakan dalam
remediasi limbah babi dan juga limbah dari sistem akuakultur (Olgum, 2003).
Kombinasi pengolahan air limbah dan produksi biofuel dapat diterima jauh lebih
menarik dari sebelumnya, hal ini disebabkan karena implikasi menguntungkan
dari kombinasi tersebut. Namun, dalam penelitian pokok skala besar harus
192

dilakukan dalam rangka mengoptimalkan produksi alga dan mempertahankan
standar limbah yang berkualitas tinggi (Park et al., 2011a).

12.5.1 Penghilangan Nutrisi
Penghilangan nitrogen dan fosfor dari air limbah sangat penting dalam mencegah
kerusakan ekologis ke lingkungan air. Fosfor adalah partikular yang sulit untuk
dihilangkan (Pittman et al., 2011). Presipitasi kimia saat ini proses komersial
utama untuk menghilangkan fosfor dari air limbah. Penghilangan biologis secara
efisien bervariasi dari 20% menjadi 30% untuk sebagian besar organisme (de-
Bashan et al., 2004). Fosfor tersebut kemudian diubah menjadi lumpur aktif yang
tidak dapat sepenuhnya didaur ulang dan dibuang ke tempat pembuangan sampah
atau diolah untuk membuat pupuk lumpur. Mikroalga adalah efektivitas dalam
menghilangkan nitrogen, fosfor, dan logam beracun dari air limbah, sehingga
mereka menjadi ideal untuk menghilangkan nutrisi dan proses pemulihan (Pittman
et al., 2011). Serapan mikroalga dari fosfor telah terbukti menjadi efisien sebagai
pengolahan kimia (Pittman et al., 2011).
Karbon, nitrogen, fosfor, dan sulfur adalah persyaratan penting untuk
semua pertumbuhan mikroalga (Chisti, 2007; Tsai et al., 2011; Zeng et al., 2011).
Unsur-unsur ini biasanya ditemukan dalam air limbah domestik dalam konsentrasi
yang mendukung budidaya microalga. Kebutuhan gizi minimal dapat diperkirakan
dengan menggunakan rumus molekul dari biomassa mikroalga, yaitu
CO
0,48
H
1,83
N
0,11
P
0,01
(Chisti, 2007; Putt et al., 2011). Nitrogen merupakan faktor
penting untuk pengaturan pertumbuhan dan regulasi kadar lemak mikroalga.
Fosfor, meskipun dibutuhkan dalam jumlah yang lebih kecil, harus diberikan lebih
karena bersifat kompleks dengan ion logam dan tidak sepenuhnya tersedia untuk
penyerapan sel (Chisti, 2007). Mikroalga alami memanfaatkan nutrisi dan sumber
energi yang sesuai dari lingkungan mereka, sehingga dapat mengoptimalkan
pemanfaatan secara efisien untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Mereka
adalah organisme yang baik, dalam satu spesies mungkin dapat menjalani
berbagai jenis metabolisme, tergantung pada kemampuan nutrisi yang berhasil
digunakan untuk pertumbuhan serta faktor-faktor lingkungan lainnya (Amaro et
al., 2011). Nitrogen digunakan dalam bentuk nitrat dan amonia, nitrogen dalam
193

bentuk amonia lebih banyak disukai pada kehadiran spesies kimia (Feng et al.,
2011).
Budidaya fototropik menggunakan sinar matahari dan CO
2
, sebagai
sumber karbon anorganik untuk produksi energi dan pertumbuhan (Mata et al.,
2010). Budidaya fototropik kurang rentan terhadap kontaminasi daripada jenis
budidaya lainnya. Pertumbuhan heterotrofik terjadi karena tidak adanya cahaya
menggunakan sumber karbon organik seperti glukosa, asetat, gliserol, fruktosa,
sukrosa, laktosa, galaktosa, dan mannose (Amaro et al., 2011). Organisme yang
mampu menjalani pertumbuhan mixotropik memiliki kemampuan untuk
melakukan fotosintesis atau menggunakan substrat organik sebagai sumber
karbon. Produksi Mixotropik mengurangi hambatan fotosintesis dan mengurangi
hilangnya biomassa karena respirasi pada fase gelap (Brennan dan Owende,
2010; Pittman et al., 2011). Sumber karbon organik dalam air limbah
memungkinkan mikroalga untuk menjalani pertumbuhan mixotropik diikuti oleh
pertumbuhan fototropik. Dalam hal ini secara efektif dapat menghilangkan nutrisi
dengan meningkatkan biomassa dan potensi produktivitas lipid (Feng et al.,
2011).
Penghilangan nuttrisi secara efisien tergantung pada jenis alga yang
dibudidayakan dan telah terbukti dipengaruhi secara positif oleh budidaya strain
alga yang toleran terhadap ekstrim tertentu, seperti suhu ekstrim, sedimentasi
cepat, atau kemampuan untuk tumbuh dengan mixotropik (Olguin, 2003). Dalam
memilih strain untuk budidaya pada HRAPs harus benar-benar istimewa
diantaranya adalah (1) memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi, (2) memiliki
konsentrasi protein tinggi ketika tumbuh di bawah kondisi dengan gizi terbatas,
(3) digunakan untuk pakan ternak/ikan, (4) memiliki kemampuan untuk
mentolerir tingkat nutrisi yang tinggi, (5) menghasilkan produk yang bernilai
tambah, (6) dapat tumbuh secara mixotropik, dan (7) mudah dipanen (Sheehan et
al., 1998; Olguin, 2003; Rawat et al., 2011). Chiorella vulgaris, Haematococcus
pluvialis, dan Arthrospira (Spirulina) platensis, antara lain adalah contoh species
yang dapat tumbuh di bawah kondisi seperti fotoautotropik, heterotropik, dan
mixotropik (Amaro et al., 2011).
194

Pengolahan air limbah mikroalga memiliki potensi secara signifikan untuk
mengurangi biaya-biaya dari pengolahan apabila dibandingkan dengan metode
kimia konvensional; metode ini secara parsial dapat dicapai dengan negasi dari
kebutuhan untuk aerasi mekanis sebagai mikroalga untuk menghasilkan oksigen
melalui proses fotosintesis (Pittman et al., 2011). Pengolahan secara spontan dari
produksi air limbah dan produksi biomassa mengurangi biaya kedua proses
tersebut (Brennan dan Owende, 2010; Christenson dan Sims, 2011). Selain itu,
produksi biofuel dalam hubungannya dengan pengolahan air limbah telah
dimasukkan kedalam lingkungan sebagai metode yang paling layak untuk
produksi biofuel dari mikroalga dalam waktu dekat (Brennan dan Owende, 2010).
Beberapa penelitian telah membuktikan potensinya untuk menghilangkan
nutrisi dari sintetis air limbah melalui produksi biomassa mikroalga. Penghilangan
fosfor dari 98% dan jumlah penghilangan amonia removal telah dicapai dengan
(Martinez et al., 2000) menggunakan Scenedesmus obliquus . Boelee et al. ( 2011)
menunjukkan penghilangan simultan nitrat dan fosfat menjadi 2,2 mg L
-1
dan 0,15
mg L
-1
, masing-masing dengan menggunakan biofilm mikroalga. Su et al. ( 2012)
melaporkan penyisihan fosfor secara efisiensi dari alga menjadi 89%. Bakteri
fotosintetik tertentu dan mikroalga hijau seperti Rhodobacter sphaeroides dan
Chlorella sorokiniana dapat bertahan dalam kondisi heterotrofik, menghilangkan
konsentrasi tinggi asam organik (>1.000 mg L
-1
) dan amonia (400 mg L
-1
)
(Olguin, 2003). Penghilangan bakteri dari zat-zat seperti hidrokarbon polisiklik
aromatik, pelarut organik, dan senyawa fenolik dapat dibantu dengan
menggunakan hasil oksigen mikroalga yang dibutuhkan untuk aksi bakteri.
Biosorpsi logam berat dapat dicapai dengan pertumbuhan mikroalga di bawah
kondisi phototrophic (Brennan dan Owende, 2010).

12.5.2 Faktor Yang Mempengaruhi High-Rate Algal Ponds (HRAPs)
Efisiensi HRAPs tergantung pada berbagai faktor. Pertumbuhan mikroalga pada
HRAPs mirip dengan produksi biomassa pada media buatan. CO
2
, pencampuran,
ketersediaan cahaya yang baik, penetrasi, kandungan nutrisi esensial, pH, dan
suhu adalah salah satu faktor yang paling penting dalam mencapai produksi
biomassa tinggi dan penghilangan nutrisi secara efektif (Garcia et al., 2006;
Pittman et al., 2011). Faktor biotik seperti bakteri sinergis, zooplankton predator,
195

dan bakteri patogen juga dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroalga.
Variabelnya akan berbeda, tergantung pada jenis air limbah dan pengolahan air
limbah satu dengan pengolahan air limbah lainnya (Pittman et al., 2011).
Kandungan gizi (nitrogen dan fosfor) dalam air limbah secara signifikan dapat
lebih tinggi daripada media konvensional. Nitrogen pada air limbah umumnya
adalah dalam bentuk amonia, yang dapat menghambat pertumbuhan alga pada
konsentrasi tinggi (Pittman et al., 2011).
Karbon berasimilasi dari atmosfer dan CO
2
, yang diproduksi oleh oksidasi
bahan organik. Pertumbuhan fotosintetik alga memanfaatkan CO
2
sebagai sumber
karbon untuk pertumbuhan dengan menghasilkan oksigen sebagai produk
sampingan, yang digunakan oleh bakteri untuk termineralisasi bahan organik dan
menghasilkan CO
2
, yang dikonsumsi oleh fotosintesis alga. Hal ini dapat
membantu dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (Munoz dan Guieysse, 2006;
Ansa et al., 2011; Park et al., 2011a). HRAPs secara umum memiliki karbon yang
terbatas dan harus dilengkapi, serta berpotensi dalam pemanfaatan gas yang
dibuang untuk peningkatan efisiensi penghilangan nutrisi (De Godos et al., 2010).
Siklus pada siang hari akan mempengaruhi aktivitas fotosintesis, dengan pH dan
penghilangan nutrisi secara efisien (Garcia et al., 2006). Konsentrasi CO
2
yang
terlarut memiliki efek langsung pada sistem pH, seperti asam di lingkungan alam
ketika dilarutkan dalam air. budidaya pH secara langsung mempengaruhi
ketersediaan nutrisi alami seperti amonia dan fosfat Hal ini juga dapat membantu
dalam hal proliferasi bakteri nitrifikasi (Craggs, 2005; De Godos et al., 2010).
Kedua pH dan oksigen terlarut (DO) nilai tertingginya terjadi pada tengah hari
karena memaksimalkan efisiensi dari fotosintesis dengan demikian penghilangan
CO
2
dan peningkatan DO dari >200% saturasi (Garcia et al., 2006; Taman et al.,
2011a). Konsumsi CO
2
dan asam karbonat oleh fotosintesis mampu meningkatkan
pH ke tingkat dasar (>11), sehingga meningkatkan penghilangan nutrisi melalui
penguapan amonia dan presipitasi fosfor (Craggs, 2005; Su et al., 2012). Pada
malam hari, penghilangan secara efisiensi akan menurun dan dapat berhenti
karena oksigen yang tidak memadai untuk respirasi aerobik. Selain itu, semakin
rendah pH di malam hari maka penghilangan nitrogen dan fosfor akan menurun
karena tergantung pada proses pH (Garcia et al., 2006; De Godos et al., 2010).
196

Tingginya pH juga dapat mengurangi pemanfaatan nutrisi melalui penghambatan
yang signifikan dari pertumbuhan alga karena akan mengalami keracunan amonia.
Selain itu, pH di atas 8,3 semakin menghambat aktivitas bakteri dan dengan
demikian oksidasi bahan organik dilakukan oleh bakteri heterotrofik (Craggs,
2005; Ansa et al., 2011). Tingkat pH yang optimal yang dimiliki kebanyakan
spesies alga air tawar adalah 8, di atas atau di bawah pH tersebut akan
menurunkan produktivitasnya (Kong et al., 2010). Walaubagaimanapun beberapa
alga mampu tumbuh pada pH >10, seperti Amphora sp. dan Ankistrodesmus sp.
(Park et al., 2011a). Stabilitas pH pada HRAPs membawa keseimbangan yang
menangkap CO
2
dari udara, respirasi bakteri, dan serapan CO
2
dari alga (Su et al.,
2012).
Produktivitas kultur alga dilakukan dengan penghilangan nutrisi akan
menjadi ringan dan tergantung pada suhu. Fotosintesis akan meningkat dengan
peningkatan intensitas cahaya sampai ke tingkat maksimum yang dicapai pada
saturasi cahaya tanpa adanya pembatasan nutrisi (Park et al., 2011a). Kerusakan
pada reseptor cahaya (fotoinhibisi) terjadi di luar titik jenuh cahaya, sehingga
mengurangi produktivitas (Richmond, 2004). Potensi fotoinhibisi terjadi lebih
umum selama bulan-bulan musim panas, sehingga fotosintesis berhenti di tengah
hari (Olguin, 2003). Dengan peningkatan pada kepadatan kultur, terdapat
peningkatan dengan cara efek yang meneduh. Konsentrasi pada alga dari 300 g
TSS m
-3
akan menyerap semua cahaya yang tersedia di atas 15 cm dari kolam.
Pencampuran demikian sangat penting dalam mengurangi efek tersebut (Ansa et
al., 2011; Parket al., 2011a). Peningkatan produktivitas alga dilakukan dengan
meningkatkan suhu. Untuk sebagian besar spesies mikroalga berada di bawah
kondisi kultur yang optimal, suhu optimal sangat bervariasi antara 28 C dan 35
C. Suhu optimal sangat bervariasi dengan nutrisi dan keterbatasan cahaya.
Peningkatan suhu di atas hasil optimal dalam fotorespirasi, dapat mengurangi
produktivitas secara keseluruhan (Sheehan et al., 1998). Perubahan suhu yang
mendadak dapat mengakibatkan penurunan substansial dalam pertumbuhan alga.
Suhu juga mempengaruhi pH, oksigen, dan kelarutan CO
2
, serta keseimbangan
ion (Park et al., 2011a).
197

HRAPs sangat rentan terhadap kontaminasi oleh alga asli dan
penggembalaan oleh zooplankton dan patogen alga lainnya. Upaya untuk
pertumbuhan alga sebagai monokultur pada HRAPs telah gagal karena terjadinya
kontaminasi (Sheenan et al., 1998; Park et al., 2011a). Protozoa dan rotifera
memiliki kemampuan untuk mengurangi konsentrasi alga pada tingkat yang
sangat rendah dalam jangka waktu hanya beberapa hari (Benemann, 2008).
Daphnia memiliki kemampuan untuk mengurangi klorofil sebanyak 99% dalam
beberapa hari. Parasit jamur dan infeksi virus memiliki kemampuan untuk
menginduksi alga dalam perubahan struktur selnya dan perubahan dalam
keragaman serta suksesi, sehingga dapat mengurangi populasi alga secara
signifikan (Park et al., 2011a; Rawat et al., 2011). Pengendalian ternak dan parasit
dapat dicapai dengan metode fisik seperti filtrasi, rendahnya konsentrasi DO,
tingkat beban organik yang tinggi, dan proses pengolahan kimia seperti aplikasi
bahan kimia yang meniru hormon invertebrata, meningkatkan pH, dan
meningkatkan konsentrasi amonia yang bebas. Metode yang paling praktis dalam
pengendalian zooplankton adalah penyesuaian pH yaitu pada pH 11, karena
banyak zooplankton yang memiliki kemampuan untuk mentolerir DO pada
tingkat rendah untuk waktu yang lama. Efek racun dari pH yang tinggi ditambah
dengan peningkatan amonia bebas dibawa oleh penguapan amonia pada pH
tinggi. Efek dari substansi penghambat pada jamur parasit memerlukan suatu
uraian dan tidak ada pengolahan secara umum untuk mengontrol jamur ada pada
saat ini (Oarket al., 2011a).

12.5 PENGOLAHAN AIR LIMBAH DAN PERTUMBUHAN ALGA YANG
EFISIEN
Asimilasi nitrogen dan fosfor menjadi biomassa alga dan bakteri dipandang
sebagai biomassa yang menguntungkan hal ini karena potensi pengolahan ulang
nutrisi melalui pengolahan biomassa. Mikroalga uniseluler ditemukan menjadi
mikroalga yang paling efisien dan paling utama di kolam pengolahan air limbah
(Pittman et al., 2011). Penggunaan kombinasi kultur alga dan bakteri dapat
meningkatkan akumulasi nitrogen secara efisien; contohnya dalam pengolahan
asetonitril, 53% amonia berasimilasi ke dalam biomassa dibandingkan dengan
hanya 26% dalam sistem bakteri yang berada di bawah kondisi yang sama. Dalam
198

kondisi yang optimal, penghilangan 100% dapat dicapai (Su et al., 2011).
Efisiensi penyisihan peningkatan nutrisi mungkin disebabkan karena kebutuhan
nitrogen dan fosfor alga dalam jumlah tinggi untuk produksi protein, asam
nukleat, dan fosfolipid, yang mencakup 45% sampai 60% dari berat kering alga
(Munoz dan Guieysse, 2006). Su et al.. ( 2011) menunjukkan COD, amonia, dan
fosfat untuk menghilangkan secara efisien mencapai hingga 98%, 100%, dan
72,6%, masing-masing untuk pengolahan air limbah kota. Penghilangan nutrisi
secara efisien tergantung pada kondisi kultur yang baik seperti yang disebutkan
sebelumnya dan tingkat pelepasan nutrisi. Boelee et al., (2011) menunjukkan
peningkatan linear pada nitrat dan fosfat dapat meningkat hingga 1,0 g m
-2
d
-1
dan
0,13 g m
-2
d
-1
, masing-masing dari air limbah kota. Wang et al., (2011)
menunjukkan tingkat penghilangan amonia dari 90%, terlepas dari konsentrasi
awal yang digunakan. Selanjutnya total nitrogen dan fosfor ditemukan sangat
berkurang dari air limbah peternakan babi. Penghilangan nutrisi secara efisien
berkisar antara 91% sampai 96% amonia dan 72% sampai 87% fosfat, tergantung
pada musim dan kedalaman kultur yang diamati oleh Olguin (2003).

12.6 AIR LIMBAH SEBAGAI BAHAN MENTAH UNTUK PRODUKSI
BIOMASSA
Pengolahan air limbah mikroalga menggunakan mikroalga dengan produksi
biomassa sebagai produk sampingan bukanlah konsep baru. Namun, itu hanya
terjadi pada skala kecil dalam kolam stabilisasi limbah dan HRAPs. Pengolahan
air limbah menggunakan HRAPs memiliki potensi untuk menghasilkan sejumlah
besar biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai aplikasi, termasuk produksi
bahan bakar yang dapat diperpanjang waktunya, pupuk, pakan ternak, dan lain-
lain (Rawat et al., 2011). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan air
limbah sebagai substrat untuk produksi biofuel dapat membuat proses ekonomis
(Brennan dan Owende, 2010; Boelee et al., 2011; Cho et al., 2011). Fokus kepada
pertumbuhan mikroalga terhadap produktivitas biomassa daripada produktivitas
lipid mungkin sangat bermanfaat sebagai jumlah yang lebih besar dari biomassa
yang meningkatkan kelangsungan hidup untuk konversi bahan bakar alternatif
(Pittman et al., 2011). Biomassa mikroalga untuk konversi biofuel dapat
dilakukan dengan beberapa metode, tergantung pada karakteristik biomassa
199

(misalnya, kandungan lipid atau karbohidrat) (Garcia et al., 2006; Rawat et al.,
2011). Hasil panen biomassa dari HRAPs tergantung pada jenis pengolahan
limbah dengan perhatian khusus pada kandungan gizinya. Tabel 12.2 merangkum
pertumbuhan dan produktivitas lipid dari spesies mikroalga pada berbagai jenis air
limbah. Pengolahan limbah babi oleh HRAPs memiliki potensi produktivitas
mencapai hingga 50 t ha
-1
yr
-1
(Rawat et al., 2011).
Produktivitas alga maksimum pada HRAPs dapat dicapai dengan tingkat
pembatasan dan kondisi penghambatan. Karbon merupakan tingkat substrat yang
dapat membatasi dan dapat diatasi dengan penambahan CO
2
. Selain ini melayani
peran ganda dalam penyediaan karbon dan metode pengendalian pH. Penambahan
CO
2
, telah terbukti dapat melipatgandakan produktivitas alga pada skala
laboratorium dan meningkatkan produktivitas sebesar 30% dalam HRAP skala
pengendalian (Park et al., 2011a). Pertumbuhan Biomassa pada instalasi
pengolahan air limbah menunjukkan bahwa produktivitas alga berkisar antara 5
sampai 16 g m
-2
d
-1
dan kandungan lipid rata-rata 10% tanpa penambahan CO
2
.
Dengan penambahan CO
2
, produktivitas yang dihasilkan diharapkan menjadi 25 g
m
-2
d
-1
(Sturm dan Lamer, 2011). Namun, harus diperhatikan bahwa penambahan
CO
2
yang berlebihan juga menyebabkan penurunan pH. Sebuah pH dapat
dipertahankan pada pH maksimal yaitu 8 yang dapat menghambat proses fisiko-
kimia penghilangan nutrisi seperti penguapan amonia dan curah hujan fosfat
(Craggs, 2005). Tetapi hal ini tidak selalu berada pada titik negatif, seperti pada
peningkatan asimilasi yang diproduksi biomassa biasanya mengimbangi kerugian
dalam penghilangan fisika-kimia. Selain itu, juga memungkinkan terjadinya daur
ulang dari nutrisi yang telah dinyatakan hilang. Akibat terjadinya penguapan
amonia mengakibatkan kehilangan nitrogen sekitar 24% pada HRAPs tanpa
pengaturan pH (Park et al., 2011a).






200

TABEL 12.2
Biomassa dan Produktivitas Lipid dari Pertumbuhan Mikroalga Dalam
Berbagai Aliran Air Limbah





























201

TABEL 12.2 (Kontinyu)
Biomassa dan Produktivitas Lipid dari Pertumbuhan Mikroalga Dalam
Berbagai Aliran Air Limbah


















12.7 EKONOMI DAN KESEIMBANGAN ENERGI DARI
PHYCOREMEDIASI MENGGUNAKAN HRAPS
Beberapa penelitian yang diusulkan menunjukan bahwa produksi biodiesel
alga akan membuat emisi rumah kaca, peningkatan jejak kaki air, dan
memerlukan energi yang berlebihan dalam produksi biofuel dari bahan mentah
jagung dan canola (Park et al., 2011a). Meskipun begitu air limbah juga dapat
digunakan sebagai sumber nutrisi. Penelitian lainnya menyimpulkan bahwa
produksi biodiesel alga akan menjadi lebih mampu bertahan tetapi pemasukan
bahan mentah hampir separuh dari produksi energinya, kemudian akan membuat
proses ekonomis menjadi tidak mampu bertahan. Penggunaan air limbah akan
menutupi kerugian tersebut dan memberikan sebuah peningkatan dalam Net Rasio
Energi (NER) (Sturm and Lamer, 2011). Perubahan biomassa alga menjadi energi
202

melalui langkah proses biorefinery (pembersihan minyak secara biologi),
termasuk ekstraksi lipid untuk biodiesel, penggunaan sisa biomassa untuk
pembakaran, dan pencernaan anaerobik biosolid, memiliki potensial untuk
menyediakan sejumlah besar energi pada wilayah 4.610 kW-h d
-1
hingga 48.000
kW-h d
-1
(Sheehan et al., 1998; Sturm dan Lamei, 2011). Kebutuhan energi dari
pengolahan air limbah konvensional secara signifikan lebih tinggi dari High-Rate
Algal Ponds. Advanced Integrated Wastewater Ponds System (AIWPS), yang
dirancang oleh Oswald dan Green, LLC, membutuhkan hingga 91% lebih sedikit
energi (kW-h k
-1
BOD dihilangkan) daripada sistem konvensional (Olgum, 2003;
Rawat et al., 2011).
Pelepasan oksigen mikroalga menyediakan oksigen yang dibutuhkan untuk
perkembangbiakan bakteri heterotrofik, sehingga meniadakan kebutuhan untuk
aerasi mekanik seperti dalam pengolahan air limbah konvensional. Pengolahan air
limbah konvensional mencapai biaya sekitar empat kali lebih besar daripada
penggunaan HRAPs (Rawat et al., 2011). AIWPS terdiri dari kolam fakultatif
canggih dengan lubang pencernaan anaerobik, HRAPs, kolam pengendapan alga,
dan kolam pematangan dalam seri (Craggs, 2005). Sistem ini membutuhkan 50
kali lebih banyak lahan daripada pengolahan air limbah konvensional, lumpur
aktif, dan tidak memperhitungkan luas lahan yang dibutuhkan untuk pembuangan
limbah lumpur aktif. Biaya modal dan biaya operasional AIWPS setengah dan
kurang dari seperlima dari masing-masing lumpur aktif (Park et al., 2011a).
Pasokan nutrisi, air, dan CO
2
, berkontribusi dari 10% sampai 30% dari total biaya
produksi alga komersial (Benemann, 2008). Sebagian besar dari biaya air limbah
pada HRAPs ditutupi oleh biaya pengolahan air limbah (Tabel 12.2). Biaya
produksi alga dan pemanenan menggunakan HRAPs pengolahan air limbah
memiliki dampak lingkungan yang kurang dalam hal jejak air, energi, dan
penggunaan pupuk. Daur ulang pada pertumbuhan media digunakan sebagai
metode untuk meminimalkan biaya. Daur ulang bisa dilakukan meskipun,
menyebabkan penurunan produktivitas alga karena peningkatan pencemaran
dan/atau akumulasi metabolisme menjadi terhambat (Park et al., 2011a).



203

12.8 KESIMPULAN
Para peneliti sepakat bahwa penggunaan pengolahan air limbah melalui
HRAPs adalah satu-satunya metode yang sangat ekonomis saat ini tersedia untuk
produksi alga biofuel. Terdapat manfaat yang signifikan dengan penggunaan
HRAPs air limbah secara efektif, diantaranya adalah pengolahan air limbah
dengan rendah biaya dan produksi biomassa alga untuk generasi biofuel.
Meskipun begitu masih ada kebutuhan besar untuk mengoptimalkan kondisi untuk
pertumbuhan alga dan penghilangan nutrisi di bawah kondisi iklim yang berlaku.
Lipid optimal terdapat pada skala besar dan pemanenan biomassa alga masih tetap
memiliki beberapa tantangan. Perbaikan di daerah ini selanjutnya akan
mengurangi biaya keseluruhan produksi alga dan mampu meremediasi air limbah.

UCAPAN TERIMA KASIH
Para penulis dengan ini mengakui Yayasan Riset Nasional (Afrika Selatan)
sebagai kontribusi keuangan.

REFERENSI
Abeliovich, A. (1986). Handbook of microbial mass culture. In Algae in
Wastewater Oxidation Ponds (Ed. A. Richmond), CRC Press, Boca Raton,
FL, pp. 331-338.

Adey, W.H., Luckett, C., and Smith, M. (1996). Purification of industrially
contaminated groundwaters using controlled ecosystems. Ecological
Engineering, 7: 191-212.

Amaro, H.M, Guedes, A.C., and Malcata, F.X. (2011). Advances and perspectives
in using microalgae to produce biodiesel. Apllied Energy, 88, 3402-3410.

Ansa, E.D.O., Lubberding, H.J., Ampofo, J.A., and Gijzen, H.J. (2011). The role
of algae in the removal of Escherichia coli in a tropical lake. Ecological
Engineering, 37: 317-324.

Beneman, J.R., and Oswald, W.K. (1996). Systems and Economic Analysis of
Microalgae Ponds for Conversion of Carbon Dioxide to Biomass.
Pittsburgh Energy Technology Center, Pittsburgh, PA, p. 201.

Boelee, N.C., Temmink, H., Janssen, M., Buisman, C.J.N., and Wijffels, R.H.
(2011). Nitrogen and phosphorus removal from municipal wastewater
effluent using microalgae biofilms, Water Research, 45: 5925-5933.

204

Borowitzka, M.A. (1999). Commercial production of microalgae: Ponds, tanks,
tubes and fermenters. Journal of Biotechnology, 70: 313-321.

Brennan, L., and Owende, P. (2010).Biofuels from microalgae-A review of
technologies for production, processing, and extractions of biofuels and co-
products. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 14: 557-577.

Chisti, Y. (2007). Biodiesel from microalgae. Biotechnology Advances, 25: 249-
306.

Chinnasamy, S., Bhatnagar, A., Hunt, R. W., and Das, K.C. (2010). Microalgae
cultivation in a wastewater dominated by carpet mill effluents for biofuel
applications. Bioresource Technology, 101: 3097-3105.

Cho, S., Luong, T.T., Lee, D., Oh, Y.K., and Lee, T. (2011). Reuse of effluent
water from a municipal wastewater treatment plant in microalgae cultivation
for biofuel production. Bioresource Technology, 102: 8639-8645.

Christenson, L., and Sims, R. (2011). Production and harvesting of microalgae for
wastewater treatment, biofuels, and bioproducts. Biotechnology Advances.
Doi: 10.1016/j.biotechady.2011.05.015.

Craggs, R.J., McAuley, P.J., and smith, V.J. (1997). Wastewater nutrient removal
by marine microalgae grown on a corrugated raceway. Water Research, 31:
1701-1707.

Craggs, R.J. (2005). Advanced integrated wastewater ponds. In Pond Treatment
Technology, IWA Scientific and Technical Report Series (Ed. A. Shilton).
IWA, London, pp. 282-310.

De-Bashan, L.E., Hernandez, J.P., Morey, T., and Bashan, Y. (2004). Microalgae
growth promoting bacteria as helpers for microalgae: A novel approach
for removing ammonium and phosphorus from municipal wastewater.
Water Research, 38: 466-474.

De Godos, I., Blanco, S., Garcia-Encina, P.A., Becares, E., and Munoz, R. (2009).
Long-term operation of high rate algal ponds for the bioremediation of
piggery wastewaters at high loading rates. Bioresource Technology, 100:
4332-4339.

De Godos, I., Blanco, S., Garcia-Encina, P.A., Becares, E., and Munoz, R. (2010).
Influence of flue gas sparging on the performance of high rate algae ponds
treating agro-industrial wastewaters. Journal of Hzarfous Materials, 179:
1049-1054.

Drinan, J.E., and Whiting, N.E. (2001). Water & Wastewater Treatment: A Guide
for the Nonengineering Professional. CRC Press, Technomic Publishing,
Boca Raton, FL.
205

Fallowfield, H.J., and Garrett, M.K. (1985). The treatment of wastes by algal
culture. Journal of Applied Bacteriology-Symposium Supplement, 187S-
205S.

Anda mungkin juga menyukai