PROGRAM STUDI S-1 BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU APRIL 2014 179
12 Phycoremediasi Melalui High-Rate Algal Ponds (HRAPs) Ismail Rawat, Ramanathan Ranjith Kumar, dan Faizal Bux Institute for Water and Wastewater Technology Durban University of Technology Durban, South Africa
ISI Phycoremediasi melalui High-Rate Algal Ponds (HRAPs)......................... . 179 12.1 Pendahuluan................................................................................... . 180 12.2 Karakteristik................................................................................... . 182 12.2.1 Karakteristik Fisika............................................................ . 184 12.2.2 Karakteristik Kimia............................................................ . 185 12.2.3 Karakteristik Biologi.......................................................... . 186 12.3 Phycoremediasi.............................................................................. . 186 12.4 Jenis Alga Digunakan Sebagai Phycoremediasi............................ . 188 12.5 High-Rate Algal Ponds (HRAPs).................................................. . 190 12.5.1 Penghilangan Nutrisi.......................................................... . 192 12.5.2 Faktor yang Mempengaruhi HRAPs.................................. . 194 12.5.3 Pengolahan Air Limbah dan Pertumbuhan Alga yang Efi Sien...................................................................................... 197 12.6 Air Limbah Sebagai Bahan Mentah Untuk Produksi Biomassa.... . 198 12.7 Ekonomi dan Keseimbangan Energi Phycoremediasi Mengguna - kan HRAPs.................................................................................... . 201 12.8 Kesimpulan.................................................................................... . 203 Pengakuan.................................................................................................... . 203 Referensi...................................................................................................... . 203
180
12.1 PENDAHULUAN Pembuangan limbah cair dan padat di sungai, danau, dan lautan telah terjadi selama periode waktu yang lama. Industrialisasi meningkat luas dalam melayani kebutuhan penduduk perkotaan yang menghasilkan sejumlah besar limbah dan memerlukan perawatan untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut. Sumber titik kontaminasi air limbah memiliki kapasitas untuk overload dalam menerima air dan merupakan ancaman yang paling luas terhadap lingkungan dan kualitas air. Air limbah umumnya mengandung konsentrasi nutrisi organik dan anorganik yang sangat tinggi, salah satu penyebab utamanya adalah degradasi ekologi ireversibel. Degradasi ekologi ireversibel mengganggu bio-sistem dan proses daur ulang alami seperti fotosintesis, respirasi, fiksasi nitrogen, penguapan, dan curah hujan. Pengolahan air limbah yang efektif dan penggunaan air limbah reklamasi memiliki potensi besar dalam membantu memenuhi kebutuhan air bersih untuk berbagai keperluan dosmetic dan industri, sehingga sedikit mengurangi kebutuhan akan air pada pusat-pusat perkotaan. Dalam air limbah industri dan kota, pengurangan berbagai tumpukan kimia pada sumbernya bukanlah proses yang mudah dan merupakan proses yang sangat mahal untuk memperbaiki dengan metode perawatan konvensional karena permintaan untuk operator terampil, investasi modal yang tinggi, biaya operasional yang tinggi, kehandalan dan lain-lain. Operasi kompleks dalam metode perawatan konvensional untuk menghilangkan bahan kimia tidak menjamin pengurangan reduksi lumpur. Penghilangan lumpur adalah salah satu tantangan utama dalam pengolahan air limbah yang berkelanjutan, tetapi dapat dicapai oleh Best Available Technique (BAT) untuk perawatan aspek sosial-ekonomi dari pengolahan air limbah yang efisien. Hal ini, ditambah dengan potensi pemulihan sumber energi yang wajib dan diperlukan dalam menyelidiki kelayakan pengolahan biologis. Telah terjadi pertumbuhan di seluruh dunia yang berkaitan dengan menurunnya sumber daya air dan meningkatnya permintaan untuk pelestarian dan pengelolaan sumber daya air berkelanjutan (Garca et al., 2000). Budidaya mikroalga merupakan bioteknologi menarik untuk metode pengolahan air limbah yang memiliki potensi sebagai metode alternatif perawatan konvensional. Mikroalga adalah sumber bio populer, seperti teknologi tepat 181
mikroalga yang dapat menambahkan sejumlah manfaat untuk proses perawatan karena mereka memiliki kapasitas yang lebih besar untuk perawatan sejumlah kontaminan air limbah. Chinnasamy et al. (2010) mengamati bahwa ditemukan konsorsium dari lima belas mikroalga asli sangat efisien untuk mengurangi lebih dari 96% di pabrik pengolahan nutrisi air limbah dalam waktu 72 jam. Wang et al. (2010) melaporkan penurunan cepat terjadi pada nitrat, fosfat, dan tingkat logam dalam pengolahan air limbah dengan waktu yang singkat menggunakan budidaya mikroalga. Pengolahan air limbah mikroalga merupakan metode ekonomis dari pengolahan air limbah dan memiliki sejarah penelitian sangat luas selama lebih dari 50 tahun (Oswald et al, 1954; Oswald, 1991; Ruiz et al., 2011). Penghilangan limbah Mikroalga berbasis nutrisi dan/atau bahan kimia dapat dicapai dengan akumulasi atau konversi dan biomassa, sehingga menjadi metode bioteknologi yang lebih baik untuk pelestarian ekosistem air tawar (Hoffmann, 1998; Ruiz et al., 2011). Mengingat bahwa limbah yang murah dapat digunakan sebagai pakan untuk spesies mikroalga yang diinginkan dalam menghasilkan produk ganggang yang diturunkan dan juga sekaligus menghilangkan nutrisi, serta membuat sistem biologi yang lebih menarik. Dengan demikian, teknologi phycoremediation adalah bidang yang menjanjikan untuk studi yang dapat diterapkan seperti dalam pengolahan air limbah, biomassa dan produksi biofuel untuk energi berkelanjutan. Budidaya mikroalga untuk pengolahan air limbah sangat berkualitas tinggi, proses yang sangat ramah lingkungan tanpa terjadinya polusi sekunder. Reklamasi produksi limbah menghasilkan metabolisme mikroalga yang bernilai tinggi seperti lipid, karbohidrat, dan protein. Mikroalga sering diterapkan dalam pengolahan tersier limbah domestik di kolam pematangan sistem pengolahan air limbah pada skala kecil dan skala menengah (Hanumantha Rao et al., 2011; Rawet et al., 2011). Teknologi seperti sistem pengolahan kolam air limbah canggih yang terintegrasi (AIWPS) tersedia secara komersial (Oswald, 1991). Desain yang termasuk paling umum adalah kolam fakultatif, yaitu pertumbuhan permukaan yang relatif mendalam dan dukungan dari mikroalga sendiri. Kolam tinggi tingkat alga (HRAPs) adalah teknologi ciri untuk memperbaiki sejumlah aliran air limbah, terutama dalam kondisi tropis dan subtropis karena ketersediaan sinar matahari yang dimanfaatkan oleh mikroalga untuk fotosintesis (Phang et al., 2000; 182
Mustafa et al., 2011). Kolam yang dangkal tergantung pada pencampuran mekanik untuk produksi alga maksimum dan penghilangan kebutuhan oksigen biologis. HRAPs merupakan reaktor yang paling hemat biaya untuk pengelolaan limbah cair dan menangkap energi surya, serta penangkapan karbon dioksida di atmosfer yang digunakan dalam pengolahan limbah hewan (Narkthon, 1996). HRAP pengolahan air limbah bisa sangat efisien dalam mengurangi bakteri, kebutuhan oksigen biologis (BOD), dan tingkat gizi dengan pendekatan terpadu untuk daur ulang limbah. Phycoremediation dapat digunakan dalam proses sebagai langkah kedua setelah pengolahan anaerobik awal dari air limbah organik yang tinggi untuk menghasilkan penurunan yang signifikan dalam bahan organik yang berpengaruh, seperti nitrogen dan fosfor. Mikroalga yang dipanen kaya akan nutrisi seperti nitrogen, kalium, dan fosfor, yang dapat digunakan untuk pakan ternak, dan lain-lain (Ogbonna et al., 2000; Olgum, 2003; Rawat et al., 2011) . Oleh karena itu, HRAPs sangat sesuai untuk sanitasi di masyarakat pedesaan kecil karena kesederhanaan operasi HRAPs dibandingkan dengan teknologi konvensional seperti proses pengaktifan lumpur. Bab ini secara kritis mengevaluasi HRAPs phycoremediation untuk menghilangkan nutrisi kekuatan organik yang tinggi melalui mikroalga yang diperkaya.
12.2 KARAKTERISTIK AIR LIMBAH Air limbah merupakan salah satu sumber utama dalam meningkatkan kadar polutan air secara leseluruhan (Gomec, 2010). Pemahaman tentang karakteristik air limbah sangat penting dalam desain dan proses operasional pengolahan air limbah dan upaya penelitian yang cukup layak. Air limbah dibagi menjadi dua jenis : (1) air limbah kota dan (2) air limbah industri. Air limbah umumnya merupakan kombinasi dari limbah rumah tangga dan limbah industri, tergantung pada sistem pengumpulan pengolahan. Air limbah yang dihasilkan berbeda yaitu selama kegiatan manusia dan dicampur bersama-sama. Gambar 12.1 memberikan
183
Gambar 12.1 Tipe Air limbah isdustri dan domestik
TABEL 12.1 Komposisi Kimia dan Karakteristik Air Limbah yang Tidak Terpelihara
184
beberapa contoh dari tipe air limbah kota dan air limbah industri. Pengolahan air limbah kota dan air limbah industri secara sosial biologi yang ekonomis adalah menggunakan teknologi tinggi tepatguna (Metcalf dan Eddy, 1991) dan dapat memperoleh air limbah dengan berbagai tujuan. Tabel 12.1 memperlihatkan penilaian tingkat komposisi dengan tipe lemah, sedang, dan kuat dari air limbah domestik. Penilaian yang lengkap pada kualitas air limbah dapat diklasifikasikan secara luas kedalam tiga karakteristik dan sumbernya yaitu karakteristik fisika, kimia, dan unsur biologi (Gambar 12.2).
12.2.1 Karakteristik Fisika Struktur persepsi dari karakteristik fisika dan kimia air limbah dapat merubah hakikatnya dengan merubah aliran habitat dan pola individunya. Karateristik fisika air limbah yang termasuk adalah sebagai berikut:
Gambar 12.2 Karakteristik fisika, kimia, dan biologi dari air limbah (Sumber: Rawat et al., 2011.) 185
1. Warna: Penampilan fisik, warna yang signifikan kualitatif dari air limbah tergantung pada waktu yang bertahan dalam tangki, dan warnanya bervariasi dari cokelat muda sampai warna abu-abu terang. Warna ini dikenal untuk mengubah abu-abu gelap atau hitam pada air limbah akan basi. Perubahan warna air limbah terjadi karena fermentasi dari berbagai senyawa kimia yang dihasilkan, khususnya hidrogen sulfida dan sulfida besi. Warna dapat diukur dengan perbandingan menggunakan metode standar. 2. Bau: Bau yang menyerang dalam air limbah terutama terjadi karena hubungan impuri terlarut dan sejumlah senyawa bau yang dihasilkan oleh mikroba hidup yang diperkaya dan organisme air yang membusuk ketika dalam kondisi anaerobik. Senyawa pokok penghasil bau adalah hidrogen sulfida, diproduksi sebagai gas oleh dekomposisi bakteri dalam kondisi anaerob. 3. Padat Isi: Total padatan merupakan hasil dari yang terlarut dan tergantung materi yang tetap sebagai residu dalam air limbah (Metcalf dan Eddy, 1987) pada penguapan pada 103 C sampai 105 C. 4. Suhu: Suhu air limbah dapat berubah-ubah pada suatu musim dengan lokasi yang geografis, dari 10 C menjadi 21 C (Muttamara, 1996). Memainkan suhu merupakan peran utama dalam pengolahan air limbah dan variasinya karena dapat menyebabkan perubahan sebagai akibat dari reaksi kimia dan biologi organisme planktonik. Air limbah mengandung bakteri dan jamur yang mungkin memiliki pengaruh besar pada karakteristik fisik dari air limbah, terutama ketika dalam kelimpahan karena suhu normal. Kekeruhan dan warna yang tidak langsung berhubungan dengan suhu diakibatkan karena sebagian besar termasuk dalam produk reaksi kimia yaitu keseimbangan air limbah koagulasi yang dapat berubah karena suhu. Suhu juga sangat penting dalam mencegah penentuan berbagai parameter, seperti perubahan pH yang sering terjadi di daerah dengan kapasitas rendah penetral asam, konduktivitas, tingkat kejenuhan gad yang berbeda, berbagai bentuk alkalinitas, dan lain-lain.
12.2.2 KARAKTERISTIK KIMIA Senyawa kimia karakterisasi dari air limbah yang paling penting adalah sehubungan dengan pengolahan yang efektif. Identifikasi komponen kimia dan konsentrasi mereka digunakan sebagai ukuran kualitas air limbah. Air limbah 186
domestik dan industri mengandung berbagai bahan kimia organik dan anorganik. Komponen kimia utama dalam limbah air limbah adalah karbohidrat, protein, lipid, dan urea. Urea dalam air limbah sebagian besar dari senyawa organik, urine, yang merupakan konstituen utama dan membentuk sejumlah besar zat nitrogen (Rawat et al., 2011) melalui dekomposisi yang cepat. Bahan kimia organik, yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen, dan komponen lainnya seperti belerang, fosfor, besi, amonia, protein, lemak, lignin, sabun, minyak, dan bahan kimia organik sintetis lainnya yang mudah terurai dan produksi dekomposisinya ditemukan dalam sistem. Parameter fisikokimia dalam air limbah, seperti Total Dissolved Solids (TDS), karakteristik kimia organik melibatkan interaksi pH, mineral alkali, dan nutrisi lainnya. Ini terkait dengan kemampuan pelarut air limbah (Drinan dan Whiting, 2001). Terdapat beberapa senyawa kimia anorganik yang umum hadir dalam air limbah diantaranya adalah nitrogen, sulfur, klorida, fosfor, besi, hidrogen, dan mencari jumlah logam berat (Muttamara, 1996).
12.2.3 KARAKTERISTIK BIOLOGI Umumnya dalam air limbah, jutaan organisme mikroskopis dan makroskopis didistribusikan secara luas yang berasal dari air limbah rumah tangga dibuang. Organisme yang termasuk adalah bakteri, protozoa, virus, dan spesies alga terbatas. Banyak dari mikroorganisme dan makroorganisme yang dianggap tidak berbahaya, kemudian besar keragaman organisme sangat disesuaikan dengan kondisi mereka yang efektif dalam pengolahan air limbah dan pengaktifan pengolahan lumpur dalam fasilitas pengolahan. Beberapa publikasi baru-baru ini melaporkan bahwa air limbah menyediakan media yang ideal untuk pertumbuhan mikroba potensial (Kong et al., 2010; Cho et al., 2011; Christenson dan Sims, 2011; Park et al., 2011a; Pittman et al., 2011; Rawat et al., 2011), terlepas dari pengolahan air limbah anaerobik atau aerobik (Abeliovich, 1986).
12.3 PHYCOREMEDIASI Istilah phycoremediasi ini diciptakan oleh John (2000) untuk merujuk pada remediasi air yang dilakukan oleh alga. Mikroalga memiliki khasiat tinggi dalam pengolahan air limbah dan dapat menawarkan solusi yang mungkin untuk masalah lingkungan (Lau et al., 1994; Craggs et al., 1997; Korner dan Vermaat, 1998; 187
Harun et al., 2010). Mikroalga merupakan organisme yang eukariotik dan mikroorganisme autotrophic yang dapat beradaptasi dengan hampir semua lingkungan air (termasuk air limbah) dan menghasilkan biomassa yang kaya akan berbagai nutrisi dan mineral. Mikroalga sangat bervariasi dalam protein (10% sampai 53%), karbohidrat (10% sampai 16%), lemak (15% sampai 55%), dan mineral (5%) konstituen (Xu et al., 2006). Phycoremediasi air limbah (domestik atau industri) mengacu pada pemanfaatan skala besar apapun (yang diinginkan) mikroalga untuk menghilangkan polutan atau biotransformasi senyawa kimia organik berbahaya bagi produk akhir tidak berbahaya, xenobiotik, dan penghilangan patogen dari air limbah. Biomassa mengkonsumsi jumlah yang cukup nutrisi dari sumber-sumber yang tersedia secara bebas, seperti air limbah yang kaya akan nutrisi organik, kimia anorganik, dan CO 2 dari limbah dan pembuangan aliran (Oiguin, 2003), yang dapat mempercepat penyebaran biomassa mikroalga (45% sampai 60% mikroalga oleh berat kering), asam nukleat, dan phospholipid. Penghilangan nutrisi dapat lebih meningkat dengan amonia stripping atau fosfor presipitasi akibat peningkatan pH yang berhubungan dengan fotosintesis (Lalibertd et al., 1994; Oswald, 2003; Hanumantha Rao et al., 2011; Rawat et al., 2011). Phycoremediasi digunakan sebagai pengolahan tersier biologis, biasanya dilakukan untuk pengolahan air limbah kota sekunder, yang telah menjadi fokus penelitian selama beberapa dekade terakhir (Oswald dan Gotaas, 1957). High- Rate Algal Ponds (HRAPs) untuk pengolahan air limbah merupakan pengolahan yang sangat efektif, dalam kultur mikroalga HRAP yang dibudidayakan dapat mengasimilasi sejumlah besar nutrisi, sehingga terjadi penurunan BOD dan Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia. Mikroalga dianggap sebagai solusi yang paling fleksibel di antara proses pengolahan air limbah biologis. Air limbah domestik berisi sebagian besar nutrisi seperti nitrogen dan fosfor yang secara langsung dan tidak langsung dapat mendukung produktivitas mikroalga dan mempertahankan biomassa pada tingkat yang cukup tinggi untuk mencapai penghilangan nutrisi yang efisien dalam sistem air limbah. Penerapan mikro alga dalam pengolahan air limbah untuk mengurangi bau, pewarna, nitrat, nitrit, fosfat, amonia, TDS, TSS, BOD, dan meningkatkan pH dan 188
penyerapan logam berat telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir. Pengolahan biomassa limbah mikroalga dapat digunakan untuk berbagai keperluan (Munoz dan Gudeysse, 2006). Baru-baru ini, Kumar et al., (2011) mempelajari tinggi tingkat tanaman alga Chlorella vulgaris yang dibudidayakan pada pengolahan air limbah secara konfeksioner, dimana biomassa yang dipanen digunakan untuk studi potensi antioksidan enzimatik dan nonenzimatik. Namun, biomassa mikroalga yang diperkaya perlu dipanen dengan biaya rendah yang hemat biaya dengan menggunakan sistem penghilangan nutrisi. Hal ini masih dalam proses tahap awal. Aplikasi dan keuntungan dari phycoremediasi adalah sebagai berikut (Olguin, 2003) 1. Penghilangan unsur hara dari air limbah baik air limbah kota maupun air limbah industri atau limbah diperkaya dengan bahan organik tinggi 2. Penghilangan nutrisi dan senyawa xenobiotik dengan bantuan biosorben berbasis alga 3. Pengolahan secara efisien air limbah asam dan logam berat 4. Meningkatkan oksigenasi dari atmosfer 5. Penyerapan CO 2
6. Meningkatkan kualitas limbah 7. Transformasi dan degradasi xenobiotik 8. Biosensing senyawa beracun dengan ganggang
12.4 JENIS ALGAE DIGUNAKAN SEBAGAI PHYCOREMEDIATION Sejarah panjang dari penelitian pengolahan limbah berbasis alga, dipelopori oleh algologists Oswald dan rekan kerjanya (1953), yang dirancang sebagai teknologi dalam melaksanakan peran ganda mikroalga yang digunakan untuk pengolahan air limbah dan produksi protein. Ini dimulai bersama Golueke dan Oswald (1965), yang memperoleh wawasan tentang aspek-aspek ekonomi dari teknologi pengolahan kolam air limbah berbasis mikroalga dan sumber potensial alternatif limbah yang direnovasi dan produksi protein. Mikroalga telah digunakan secara luas sebagai teknologi pengolahan yang tepat di kolam pengolahan air limbah sejak awal 1950-an (Oswald et al., 1953; Oswald dan Gotaas 1957; 189
Fallowfield dan Garrett, 1985; Lincoln dan Earle, 1990; Ghosh, 1991; Oswald, 1991; Borowitzka, 1999; Oswald, 2003; Hanumantha Rao et al., 2011). Phycoremediasi dapat memberikan solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan daripada pengolahan air limbah jenis lainnya, di mana metode secara biologi digunakan karena mikroalga memiliki kapasitas yang lebih besar untuk memperbaiki CO 2 , oleh fotosintesis dan secara efisien dapat menghilangkan nutrisi yang berlebihan dengan biaya minimal (Hirata et al., 1996; Murakami dan Ikenouchi, 1997). Penghilangan nutrisi yang paling efisien dari air limbah telah diteliti yaitu menggunakan strain alga dengan sifat yang khusus seperti toleransi pada suhu ekstrim, komposisi kimia dari produk yang bernilai tinggi, akumulasi logam berat, dan pertumbuhan mixotrophic inter alia. Strain mikroalga yaitu Phormidium diisolasi dari suatu lingkungan kutub di bawah suhu 10 C, dan kemampuan strain ini untuk menghilangkan nutrisi anorganik dalam air limbah selama musim semi dan musim gugur dari iklim dingin yang dipelajari oleh Tang et al., (1997). Mikroalga yang umum termasuk dalam pengolahan air limbah adalah Chlorella, Oscillatoria, Scenedesmus, Synechocystis, Lyngbya, Gloeocapsa, Spirulina, Chroococcus, Anabaena, dan lain-lain. Beberapa jenis spesies Chlorella (vulgaris) tumbuh secara universal yang telah digunakan untuk pengolahan air limbah di seluruh dunia. Mereka adalah mikroalga yang dapat tumbuh yang kaya nutrisi nitrogen (N) dan fosfor (P) air limbah kota dan mengkonversi air limbah yang mengandung N dan P menjadi biomassa alga (Green et al., 1995; Benemann dan Oswald, 1996; Olguin, 2003; Orpez et al., 2009). Spesies mikroalga yang efisien lainnya digunakan untuk menghilangkan N dan P pada variasi limbah industri termasuk seperti Fsutryocuccus bruunii, yang digunakan untuk pengolahan primer pembuangan kotoran limbah (Sawayama et al., 1995); Scenedesmus obliquus, yang digunakan dalam pengolahan air limbah perkotaan (Martinez et al., 2000); dan air limbah buatan, (Gomez Villa et al., 2005). Polutan merupakan pemulihan dari sistem pemanenan biomassa (Adey et al., 1996). Selain dari hasil penumpuan biomassa mikroalga, materi yang tidak ramah lingkungan disediakan dalam bentuk pigmen, protein, antioksidan, asam amino, dan senyawa bioaktif lainnya yang membuat mereka ideal untuk melepaskan nutrisi. Pengolahan air limbah tingkat dari polutan organik atau 190
berbahaya telah dilakukan oleh mickroalga dengan sifat yang khusus. Mikroalga yang paling banyak dipelajari adalah Chlorella, Scenedsmus, dan spesies Ankistrodesmus, di mana berbagai limbah industri yang digunakan adalah seperti air limbah industri kertas, produksi air limbah minyak zaitun, dan air limbah pabrik (Ghasemi et al., 2011; Rawat et al., 2011). Seleksi strain mikroalga sangat berperan penting dalam pengolahan air limbah melalui HRAP. Koleksi mikroalga yang ditemukan hanya beberapa ribu jenis mikroalga yang berbeda yang secara efisien dapat mendukung pengolahan air limbah dan produksi biomassa untuk nilai tambah produk sampingan dalam memenuhi permintaan dimasa yang akan datang untuk biofuel alternatif. Oleh karena itu, kita perlu memusatkan pada strain mikroalga yang efektif dengan kombinasi kemajuan terbaru dalam teknik secara genetik dan ilmu material yang dapat memperbaiki masalah-masalah tersebut.
12.5 HIGH-RATE ALGAL PONDS (HRAPS) Tiga jenis umum dari kolam pematangan digunakan dalam pengolahan air limbah adalah kolam fakultatif, kolam anaerobik, dan yang paling umum adalah kolam stabilisasi limbah. Kolam aerobik, juga dikenal sebagai kolam tingkat tinggi, yang dangkal dan terdapat oksigen sepenuhnya atau komplit (Oswald, 1978). High-Rate Algal Ponds (HRAPs) dikembangkan mulai pada tahun 1950 sebagai alternatif untuk kolam yang tidak tercampur oksidasi BOD, padatan tersuspensi, dan penghilangan patogen (Rawat et al., 2011). Mereka termasuk rendah biaya dan teknologi pemeliharaan rendah untuk perbaikan berbagai jenis limbah (De Godos et al., 2010). HRAPs menunjukkan kinerja yang lebih baik bila dibandingkan dengan kolam anaerobik, aerobik, dan fakultative karena menggunakan limbah yang sama. Habitat bersama dari alga fotosintetik dan bakteri heterotrofik disebut sebagai simbiosis HRAP. HRAPs telah digunakan untuk pengolahan berbagai air limbah, termasuk limbah domestik, kandang babi, air limbah hewan, limpasan pertanian, dan drainase tambang serta air limbah kilang minyak seng (Rawat et al., 2011). Pemanfaatan mikroalga untuk asimilasi nitrogen dan fosfor pada konsentrasi rendah menyajikan alternatif yang berkelanjutan untuk penggunaan sistem pengolahan yang ada, seperti nitrogen dan fosfor yang dapat memperbaiki biomassa alga untuk digunakan kembali (Boelee et al., 2011). HRAPs dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan alga, dan 191
teknologi pada umumnya terdiri dari campuran mekanis kolam yang dangkal (Olgutn, 2003; Garcia et al., 2006). Sebuah alat pompa baling-baling besar digunakan untuk membuat kecepatan saluran yang cukup untuk pencampuran secaralembut. Kolam umumnya dengan lebar 2 meter sampai 3 meter, tinggi 0,1 - 0,4 meter, dan luasnya berkisar dari 1.000 sampai 5.000 m 2 , tergantung pada skala aplikasinya (Garcia et al., 2006; De Godos et al., 2009; Rawat et al., 2011). Waktu retensi hidrolik sistem tersebut umumnya adalah dalam kisaran 4 sampai 10 hari, tergantung pada kondisi iklim. Pencampuran kontinyu adalah syarat untuk menjaga sel-sel dalam suspensi dan mengurangi efek tempat yang teduh, sehingga dapat melakukan pembongkaran ganggang terhadap cahaya secara berkala, bahkan dalam kultur yang lebih padat. Desain yang paling umum yang telah terbukti sukses dalam skala besar adalah campuran paddlewheel loop tunggal. Karena biaya energi ini akan ketergantungan pada kecepatan, sebagian besar tambak telah dioperasikan pada kecepatan dari 10 sampai 30 cm s -1 (Oigutn, 2003; Rawat et al,, 2011). Modus aksi dari HRAP terjadi langsung melalui pertumbuhan ganggang dan pemanenan biomassa dan secara tidak langsung dengan penguapan amonia nitrat dan curah hujan ortofosfat melalui perubahan pH. Fotosintesis alga sehingga mengontrol efisiensi nitrat dan penghapusan fosfat (Olgum, 2003). Fotosintesis alga menyediakan oksigen untuk dekomposisi dari bahan organik oleh bakteri heterotrofik aerobik yang memungkinkan untuk pengurangan bahan organik ditambah dengan penghilangan fosfor karena serapan oleh ganggang (Garcia et al., 2006) dan nitrogen. Biomassa yang dihasilkan bisa dipanen dan dapat digunakan untuk produksi biiofuel melalui berbagai jalur (Park et al., 2011b). Sistem ini mudah dioperasikan bila dibandingkan dengan teknologi konvensional, sehingga membuat mereka ideal untuk digunakan oleh masyarakat pedesaan kecil (Garcia et al., 2006). HRAPs telah berhasil digunakan dalam remediasi limbah babi dan juga limbah dari sistem akuakultur (Olgum, 2003). Kombinasi pengolahan air limbah dan produksi biofuel dapat diterima jauh lebih menarik dari sebelumnya, hal ini disebabkan karena implikasi menguntungkan dari kombinasi tersebut. Namun, dalam penelitian pokok skala besar harus 192
dilakukan dalam rangka mengoptimalkan produksi alga dan mempertahankan standar limbah yang berkualitas tinggi (Park et al., 2011a).
12.5.1 Penghilangan Nutrisi Penghilangan nitrogen dan fosfor dari air limbah sangat penting dalam mencegah kerusakan ekologis ke lingkungan air. Fosfor adalah partikular yang sulit untuk dihilangkan (Pittman et al., 2011). Presipitasi kimia saat ini proses komersial utama untuk menghilangkan fosfor dari air limbah. Penghilangan biologis secara efisien bervariasi dari 20% menjadi 30% untuk sebagian besar organisme (de- Bashan et al., 2004). Fosfor tersebut kemudian diubah menjadi lumpur aktif yang tidak dapat sepenuhnya didaur ulang dan dibuang ke tempat pembuangan sampah atau diolah untuk membuat pupuk lumpur. Mikroalga adalah efektivitas dalam menghilangkan nitrogen, fosfor, dan logam beracun dari air limbah, sehingga mereka menjadi ideal untuk menghilangkan nutrisi dan proses pemulihan (Pittman et al., 2011). Serapan mikroalga dari fosfor telah terbukti menjadi efisien sebagai pengolahan kimia (Pittman et al., 2011). Karbon, nitrogen, fosfor, dan sulfur adalah persyaratan penting untuk semua pertumbuhan mikroalga (Chisti, 2007; Tsai et al., 2011; Zeng et al., 2011). Unsur-unsur ini biasanya ditemukan dalam air limbah domestik dalam konsentrasi yang mendukung budidaya microalga. Kebutuhan gizi minimal dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus molekul dari biomassa mikroalga, yaitu CO 0,48 H 1,83 N 0,11 P 0,01 (Chisti, 2007; Putt et al., 2011). Nitrogen merupakan faktor penting untuk pengaturan pertumbuhan dan regulasi kadar lemak mikroalga. Fosfor, meskipun dibutuhkan dalam jumlah yang lebih kecil, harus diberikan lebih karena bersifat kompleks dengan ion logam dan tidak sepenuhnya tersedia untuk penyerapan sel (Chisti, 2007). Mikroalga alami memanfaatkan nutrisi dan sumber energi yang sesuai dari lingkungan mereka, sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan secara efisien untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Mereka adalah organisme yang baik, dalam satu spesies mungkin dapat menjalani berbagai jenis metabolisme, tergantung pada kemampuan nutrisi yang berhasil digunakan untuk pertumbuhan serta faktor-faktor lingkungan lainnya (Amaro et al., 2011). Nitrogen digunakan dalam bentuk nitrat dan amonia, nitrogen dalam 193
bentuk amonia lebih banyak disukai pada kehadiran spesies kimia (Feng et al., 2011). Budidaya fototropik menggunakan sinar matahari dan CO 2 , sebagai sumber karbon anorganik untuk produksi energi dan pertumbuhan (Mata et al., 2010). Budidaya fototropik kurang rentan terhadap kontaminasi daripada jenis budidaya lainnya. Pertumbuhan heterotrofik terjadi karena tidak adanya cahaya menggunakan sumber karbon organik seperti glukosa, asetat, gliserol, fruktosa, sukrosa, laktosa, galaktosa, dan mannose (Amaro et al., 2011). Organisme yang mampu menjalani pertumbuhan mixotropik memiliki kemampuan untuk melakukan fotosintesis atau menggunakan substrat organik sebagai sumber karbon. Produksi Mixotropik mengurangi hambatan fotosintesis dan mengurangi hilangnya biomassa karena respirasi pada fase gelap (Brennan dan Owende, 2010; Pittman et al., 2011). Sumber karbon organik dalam air limbah memungkinkan mikroalga untuk menjalani pertumbuhan mixotropik diikuti oleh pertumbuhan fototropik. Dalam hal ini secara efektif dapat menghilangkan nutrisi dengan meningkatkan biomassa dan potensi produktivitas lipid (Feng et al., 2011). Penghilangan nuttrisi secara efisien tergantung pada jenis alga yang dibudidayakan dan telah terbukti dipengaruhi secara positif oleh budidaya strain alga yang toleran terhadap ekstrim tertentu, seperti suhu ekstrim, sedimentasi cepat, atau kemampuan untuk tumbuh dengan mixotropik (Olguin, 2003). Dalam memilih strain untuk budidaya pada HRAPs harus benar-benar istimewa diantaranya adalah (1) memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi, (2) memiliki konsentrasi protein tinggi ketika tumbuh di bawah kondisi dengan gizi terbatas, (3) digunakan untuk pakan ternak/ikan, (4) memiliki kemampuan untuk mentolerir tingkat nutrisi yang tinggi, (5) menghasilkan produk yang bernilai tambah, (6) dapat tumbuh secara mixotropik, dan (7) mudah dipanen (Sheehan et al., 1998; Olguin, 2003; Rawat et al., 2011). Chiorella vulgaris, Haematococcus pluvialis, dan Arthrospira (Spirulina) platensis, antara lain adalah contoh species yang dapat tumbuh di bawah kondisi seperti fotoautotropik, heterotropik, dan mixotropik (Amaro et al., 2011). 194
Pengolahan air limbah mikroalga memiliki potensi secara signifikan untuk mengurangi biaya-biaya dari pengolahan apabila dibandingkan dengan metode kimia konvensional; metode ini secara parsial dapat dicapai dengan negasi dari kebutuhan untuk aerasi mekanis sebagai mikroalga untuk menghasilkan oksigen melalui proses fotosintesis (Pittman et al., 2011). Pengolahan secara spontan dari produksi air limbah dan produksi biomassa mengurangi biaya kedua proses tersebut (Brennan dan Owende, 2010; Christenson dan Sims, 2011). Selain itu, produksi biofuel dalam hubungannya dengan pengolahan air limbah telah dimasukkan kedalam lingkungan sebagai metode yang paling layak untuk produksi biofuel dari mikroalga dalam waktu dekat (Brennan dan Owende, 2010). Beberapa penelitian telah membuktikan potensinya untuk menghilangkan nutrisi dari sintetis air limbah melalui produksi biomassa mikroalga. Penghilangan fosfor dari 98% dan jumlah penghilangan amonia removal telah dicapai dengan (Martinez et al., 2000) menggunakan Scenedesmus obliquus . Boelee et al. ( 2011) menunjukkan penghilangan simultan nitrat dan fosfat menjadi 2,2 mg L -1 dan 0,15 mg L -1 , masing-masing dengan menggunakan biofilm mikroalga. Su et al. ( 2012) melaporkan penyisihan fosfor secara efisiensi dari alga menjadi 89%. Bakteri fotosintetik tertentu dan mikroalga hijau seperti Rhodobacter sphaeroides dan Chlorella sorokiniana dapat bertahan dalam kondisi heterotrofik, menghilangkan konsentrasi tinggi asam organik (>1.000 mg L -1 ) dan amonia (400 mg L -1 ) (Olguin, 2003). Penghilangan bakteri dari zat-zat seperti hidrokarbon polisiklik aromatik, pelarut organik, dan senyawa fenolik dapat dibantu dengan menggunakan hasil oksigen mikroalga yang dibutuhkan untuk aksi bakteri. Biosorpsi logam berat dapat dicapai dengan pertumbuhan mikroalga di bawah kondisi phototrophic (Brennan dan Owende, 2010).
12.5.2 Faktor Yang Mempengaruhi High-Rate Algal Ponds (HRAPs) Efisiensi HRAPs tergantung pada berbagai faktor. Pertumbuhan mikroalga pada HRAPs mirip dengan produksi biomassa pada media buatan. CO 2 , pencampuran, ketersediaan cahaya yang baik, penetrasi, kandungan nutrisi esensial, pH, dan suhu adalah salah satu faktor yang paling penting dalam mencapai produksi biomassa tinggi dan penghilangan nutrisi secara efektif (Garcia et al., 2006; Pittman et al., 2011). Faktor biotik seperti bakteri sinergis, zooplankton predator, 195
dan bakteri patogen juga dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroalga. Variabelnya akan berbeda, tergantung pada jenis air limbah dan pengolahan air limbah satu dengan pengolahan air limbah lainnya (Pittman et al., 2011). Kandungan gizi (nitrogen dan fosfor) dalam air limbah secara signifikan dapat lebih tinggi daripada media konvensional. Nitrogen pada air limbah umumnya adalah dalam bentuk amonia, yang dapat menghambat pertumbuhan alga pada konsentrasi tinggi (Pittman et al., 2011). Karbon berasimilasi dari atmosfer dan CO 2 , yang diproduksi oleh oksidasi bahan organik. Pertumbuhan fotosintetik alga memanfaatkan CO 2 sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan dengan menghasilkan oksigen sebagai produk sampingan, yang digunakan oleh bakteri untuk termineralisasi bahan organik dan menghasilkan CO 2 , yang dikonsumsi oleh fotosintesis alga. Hal ini dapat membantu dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (Munoz dan Guieysse, 2006; Ansa et al., 2011; Park et al., 2011a). HRAPs secara umum memiliki karbon yang terbatas dan harus dilengkapi, serta berpotensi dalam pemanfaatan gas yang dibuang untuk peningkatan efisiensi penghilangan nutrisi (De Godos et al., 2010). Siklus pada siang hari akan mempengaruhi aktivitas fotosintesis, dengan pH dan penghilangan nutrisi secara efisien (Garcia et al., 2006). Konsentrasi CO 2 yang terlarut memiliki efek langsung pada sistem pH, seperti asam di lingkungan alam ketika dilarutkan dalam air. budidaya pH secara langsung mempengaruhi ketersediaan nutrisi alami seperti amonia dan fosfat Hal ini juga dapat membantu dalam hal proliferasi bakteri nitrifikasi (Craggs, 2005; De Godos et al., 2010). Kedua pH dan oksigen terlarut (DO) nilai tertingginya terjadi pada tengah hari karena memaksimalkan efisiensi dari fotosintesis dengan demikian penghilangan CO 2 dan peningkatan DO dari >200% saturasi (Garcia et al., 2006; Taman et al., 2011a). Konsumsi CO 2 dan asam karbonat oleh fotosintesis mampu meningkatkan pH ke tingkat dasar (>11), sehingga meningkatkan penghilangan nutrisi melalui penguapan amonia dan presipitasi fosfor (Craggs, 2005; Su et al., 2012). Pada malam hari, penghilangan secara efisiensi akan menurun dan dapat berhenti karena oksigen yang tidak memadai untuk respirasi aerobik. Selain itu, semakin rendah pH di malam hari maka penghilangan nitrogen dan fosfor akan menurun karena tergantung pada proses pH (Garcia et al., 2006; De Godos et al., 2010). 196
Tingginya pH juga dapat mengurangi pemanfaatan nutrisi melalui penghambatan yang signifikan dari pertumbuhan alga karena akan mengalami keracunan amonia. Selain itu, pH di atas 8,3 semakin menghambat aktivitas bakteri dan dengan demikian oksidasi bahan organik dilakukan oleh bakteri heterotrofik (Craggs, 2005; Ansa et al., 2011). Tingkat pH yang optimal yang dimiliki kebanyakan spesies alga air tawar adalah 8, di atas atau di bawah pH tersebut akan menurunkan produktivitasnya (Kong et al., 2010). Walaubagaimanapun beberapa alga mampu tumbuh pada pH >10, seperti Amphora sp. dan Ankistrodesmus sp. (Park et al., 2011a). Stabilitas pH pada HRAPs membawa keseimbangan yang menangkap CO 2 dari udara, respirasi bakteri, dan serapan CO 2 dari alga (Su et al., 2012). Produktivitas kultur alga dilakukan dengan penghilangan nutrisi akan menjadi ringan dan tergantung pada suhu. Fotosintesis akan meningkat dengan peningkatan intensitas cahaya sampai ke tingkat maksimum yang dicapai pada saturasi cahaya tanpa adanya pembatasan nutrisi (Park et al., 2011a). Kerusakan pada reseptor cahaya (fotoinhibisi) terjadi di luar titik jenuh cahaya, sehingga mengurangi produktivitas (Richmond, 2004). Potensi fotoinhibisi terjadi lebih umum selama bulan-bulan musim panas, sehingga fotosintesis berhenti di tengah hari (Olguin, 2003). Dengan peningkatan pada kepadatan kultur, terdapat peningkatan dengan cara efek yang meneduh. Konsentrasi pada alga dari 300 g TSS m -3 akan menyerap semua cahaya yang tersedia di atas 15 cm dari kolam. Pencampuran demikian sangat penting dalam mengurangi efek tersebut (Ansa et al., 2011; Parket al., 2011a). Peningkatan produktivitas alga dilakukan dengan meningkatkan suhu. Untuk sebagian besar spesies mikroalga berada di bawah kondisi kultur yang optimal, suhu optimal sangat bervariasi antara 28 C dan 35 C. Suhu optimal sangat bervariasi dengan nutrisi dan keterbatasan cahaya. Peningkatan suhu di atas hasil optimal dalam fotorespirasi, dapat mengurangi produktivitas secara keseluruhan (Sheehan et al., 1998). Perubahan suhu yang mendadak dapat mengakibatkan penurunan substansial dalam pertumbuhan alga. Suhu juga mempengaruhi pH, oksigen, dan kelarutan CO 2 , serta keseimbangan ion (Park et al., 2011a). 197
HRAPs sangat rentan terhadap kontaminasi oleh alga asli dan penggembalaan oleh zooplankton dan patogen alga lainnya. Upaya untuk pertumbuhan alga sebagai monokultur pada HRAPs telah gagal karena terjadinya kontaminasi (Sheenan et al., 1998; Park et al., 2011a). Protozoa dan rotifera memiliki kemampuan untuk mengurangi konsentrasi alga pada tingkat yang sangat rendah dalam jangka waktu hanya beberapa hari (Benemann, 2008). Daphnia memiliki kemampuan untuk mengurangi klorofil sebanyak 99% dalam beberapa hari. Parasit jamur dan infeksi virus memiliki kemampuan untuk menginduksi alga dalam perubahan struktur selnya dan perubahan dalam keragaman serta suksesi, sehingga dapat mengurangi populasi alga secara signifikan (Park et al., 2011a; Rawat et al., 2011). Pengendalian ternak dan parasit dapat dicapai dengan metode fisik seperti filtrasi, rendahnya konsentrasi DO, tingkat beban organik yang tinggi, dan proses pengolahan kimia seperti aplikasi bahan kimia yang meniru hormon invertebrata, meningkatkan pH, dan meningkatkan konsentrasi amonia yang bebas. Metode yang paling praktis dalam pengendalian zooplankton adalah penyesuaian pH yaitu pada pH 11, karena banyak zooplankton yang memiliki kemampuan untuk mentolerir DO pada tingkat rendah untuk waktu yang lama. Efek racun dari pH yang tinggi ditambah dengan peningkatan amonia bebas dibawa oleh penguapan amonia pada pH tinggi. Efek dari substansi penghambat pada jamur parasit memerlukan suatu uraian dan tidak ada pengolahan secara umum untuk mengontrol jamur ada pada saat ini (Oarket al., 2011a).
12.5 PENGOLAHAN AIR LIMBAH DAN PERTUMBUHAN ALGA YANG EFISIEN Asimilasi nitrogen dan fosfor menjadi biomassa alga dan bakteri dipandang sebagai biomassa yang menguntungkan hal ini karena potensi pengolahan ulang nutrisi melalui pengolahan biomassa. Mikroalga uniseluler ditemukan menjadi mikroalga yang paling efisien dan paling utama di kolam pengolahan air limbah (Pittman et al., 2011). Penggunaan kombinasi kultur alga dan bakteri dapat meningkatkan akumulasi nitrogen secara efisien; contohnya dalam pengolahan asetonitril, 53% amonia berasimilasi ke dalam biomassa dibandingkan dengan hanya 26% dalam sistem bakteri yang berada di bawah kondisi yang sama. Dalam 198
kondisi yang optimal, penghilangan 100% dapat dicapai (Su et al., 2011). Efisiensi penyisihan peningkatan nutrisi mungkin disebabkan karena kebutuhan nitrogen dan fosfor alga dalam jumlah tinggi untuk produksi protein, asam nukleat, dan fosfolipid, yang mencakup 45% sampai 60% dari berat kering alga (Munoz dan Guieysse, 2006). Su et al.. ( 2011) menunjukkan COD, amonia, dan fosfat untuk menghilangkan secara efisien mencapai hingga 98%, 100%, dan 72,6%, masing-masing untuk pengolahan air limbah kota. Penghilangan nutrisi secara efisien tergantung pada kondisi kultur yang baik seperti yang disebutkan sebelumnya dan tingkat pelepasan nutrisi. Boelee et al., (2011) menunjukkan peningkatan linear pada nitrat dan fosfat dapat meningkat hingga 1,0 g m -2 d -1 dan 0,13 g m -2 d -1 , masing-masing dari air limbah kota. Wang et al., (2011) menunjukkan tingkat penghilangan amonia dari 90%, terlepas dari konsentrasi awal yang digunakan. Selanjutnya total nitrogen dan fosfor ditemukan sangat berkurang dari air limbah peternakan babi. Penghilangan nutrisi secara efisien berkisar antara 91% sampai 96% amonia dan 72% sampai 87% fosfat, tergantung pada musim dan kedalaman kultur yang diamati oleh Olguin (2003).
12.6 AIR LIMBAH SEBAGAI BAHAN MENTAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA Pengolahan air limbah mikroalga menggunakan mikroalga dengan produksi biomassa sebagai produk sampingan bukanlah konsep baru. Namun, itu hanya terjadi pada skala kecil dalam kolam stabilisasi limbah dan HRAPs. Pengolahan air limbah menggunakan HRAPs memiliki potensi untuk menghasilkan sejumlah besar biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai aplikasi, termasuk produksi bahan bakar yang dapat diperpanjang waktunya, pupuk, pakan ternak, dan lain- lain (Rawat et al., 2011). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan air limbah sebagai substrat untuk produksi biofuel dapat membuat proses ekonomis (Brennan dan Owende, 2010; Boelee et al., 2011; Cho et al., 2011). Fokus kepada pertumbuhan mikroalga terhadap produktivitas biomassa daripada produktivitas lipid mungkin sangat bermanfaat sebagai jumlah yang lebih besar dari biomassa yang meningkatkan kelangsungan hidup untuk konversi bahan bakar alternatif (Pittman et al., 2011). Biomassa mikroalga untuk konversi biofuel dapat dilakukan dengan beberapa metode, tergantung pada karakteristik biomassa 199
(misalnya, kandungan lipid atau karbohidrat) (Garcia et al., 2006; Rawat et al., 2011). Hasil panen biomassa dari HRAPs tergantung pada jenis pengolahan limbah dengan perhatian khusus pada kandungan gizinya. Tabel 12.2 merangkum pertumbuhan dan produktivitas lipid dari spesies mikroalga pada berbagai jenis air limbah. Pengolahan limbah babi oleh HRAPs memiliki potensi produktivitas mencapai hingga 50 t ha -1 yr -1 (Rawat et al., 2011). Produktivitas alga maksimum pada HRAPs dapat dicapai dengan tingkat pembatasan dan kondisi penghambatan. Karbon merupakan tingkat substrat yang dapat membatasi dan dapat diatasi dengan penambahan CO 2 . Selain ini melayani peran ganda dalam penyediaan karbon dan metode pengendalian pH. Penambahan CO 2 , telah terbukti dapat melipatgandakan produktivitas alga pada skala laboratorium dan meningkatkan produktivitas sebesar 30% dalam HRAP skala pengendalian (Park et al., 2011a). Pertumbuhan Biomassa pada instalasi pengolahan air limbah menunjukkan bahwa produktivitas alga berkisar antara 5 sampai 16 g m -2 d -1 dan kandungan lipid rata-rata 10% tanpa penambahan CO 2 . Dengan penambahan CO 2 , produktivitas yang dihasilkan diharapkan menjadi 25 g m -2 d -1 (Sturm dan Lamer, 2011). Namun, harus diperhatikan bahwa penambahan CO 2 yang berlebihan juga menyebabkan penurunan pH. Sebuah pH dapat dipertahankan pada pH maksimal yaitu 8 yang dapat menghambat proses fisiko- kimia penghilangan nutrisi seperti penguapan amonia dan curah hujan fosfat (Craggs, 2005). Tetapi hal ini tidak selalu berada pada titik negatif, seperti pada peningkatan asimilasi yang diproduksi biomassa biasanya mengimbangi kerugian dalam penghilangan fisika-kimia. Selain itu, juga memungkinkan terjadinya daur ulang dari nutrisi yang telah dinyatakan hilang. Akibat terjadinya penguapan amonia mengakibatkan kehilangan nitrogen sekitar 24% pada HRAPs tanpa pengaturan pH (Park et al., 2011a).
200
TABEL 12.2 Biomassa dan Produktivitas Lipid dari Pertumbuhan Mikroalga Dalam Berbagai Aliran Air Limbah
201
TABEL 12.2 (Kontinyu) Biomassa dan Produktivitas Lipid dari Pertumbuhan Mikroalga Dalam Berbagai Aliran Air Limbah
12.7 EKONOMI DAN KESEIMBANGAN ENERGI DARI PHYCOREMEDIASI MENGGUNAKAN HRAPS Beberapa penelitian yang diusulkan menunjukan bahwa produksi biodiesel alga akan membuat emisi rumah kaca, peningkatan jejak kaki air, dan memerlukan energi yang berlebihan dalam produksi biofuel dari bahan mentah jagung dan canola (Park et al., 2011a). Meskipun begitu air limbah juga dapat digunakan sebagai sumber nutrisi. Penelitian lainnya menyimpulkan bahwa produksi biodiesel alga akan menjadi lebih mampu bertahan tetapi pemasukan bahan mentah hampir separuh dari produksi energinya, kemudian akan membuat proses ekonomis menjadi tidak mampu bertahan. Penggunaan air limbah akan menutupi kerugian tersebut dan memberikan sebuah peningkatan dalam Net Rasio Energi (NER) (Sturm and Lamer, 2011). Perubahan biomassa alga menjadi energi 202
melalui langkah proses biorefinery (pembersihan minyak secara biologi), termasuk ekstraksi lipid untuk biodiesel, penggunaan sisa biomassa untuk pembakaran, dan pencernaan anaerobik biosolid, memiliki potensial untuk menyediakan sejumlah besar energi pada wilayah 4.610 kW-h d -1 hingga 48.000 kW-h d -1 (Sheehan et al., 1998; Sturm dan Lamei, 2011). Kebutuhan energi dari pengolahan air limbah konvensional secara signifikan lebih tinggi dari High-Rate Algal Ponds. Advanced Integrated Wastewater Ponds System (AIWPS), yang dirancang oleh Oswald dan Green, LLC, membutuhkan hingga 91% lebih sedikit energi (kW-h k -1 BOD dihilangkan) daripada sistem konvensional (Olgum, 2003; Rawat et al., 2011). Pelepasan oksigen mikroalga menyediakan oksigen yang dibutuhkan untuk perkembangbiakan bakteri heterotrofik, sehingga meniadakan kebutuhan untuk aerasi mekanik seperti dalam pengolahan air limbah konvensional. Pengolahan air limbah konvensional mencapai biaya sekitar empat kali lebih besar daripada penggunaan HRAPs (Rawat et al., 2011). AIWPS terdiri dari kolam fakultatif canggih dengan lubang pencernaan anaerobik, HRAPs, kolam pengendapan alga, dan kolam pematangan dalam seri (Craggs, 2005). Sistem ini membutuhkan 50 kali lebih banyak lahan daripada pengolahan air limbah konvensional, lumpur aktif, dan tidak memperhitungkan luas lahan yang dibutuhkan untuk pembuangan limbah lumpur aktif. Biaya modal dan biaya operasional AIWPS setengah dan kurang dari seperlima dari masing-masing lumpur aktif (Park et al., 2011a). Pasokan nutrisi, air, dan CO 2 , berkontribusi dari 10% sampai 30% dari total biaya produksi alga komersial (Benemann, 2008). Sebagian besar dari biaya air limbah pada HRAPs ditutupi oleh biaya pengolahan air limbah (Tabel 12.2). Biaya produksi alga dan pemanenan menggunakan HRAPs pengolahan air limbah memiliki dampak lingkungan yang kurang dalam hal jejak air, energi, dan penggunaan pupuk. Daur ulang pada pertumbuhan media digunakan sebagai metode untuk meminimalkan biaya. Daur ulang bisa dilakukan meskipun, menyebabkan penurunan produktivitas alga karena peningkatan pencemaran dan/atau akumulasi metabolisme menjadi terhambat (Park et al., 2011a).
203
12.8 KESIMPULAN Para peneliti sepakat bahwa penggunaan pengolahan air limbah melalui HRAPs adalah satu-satunya metode yang sangat ekonomis saat ini tersedia untuk produksi alga biofuel. Terdapat manfaat yang signifikan dengan penggunaan HRAPs air limbah secara efektif, diantaranya adalah pengolahan air limbah dengan rendah biaya dan produksi biomassa alga untuk generasi biofuel. Meskipun begitu masih ada kebutuhan besar untuk mengoptimalkan kondisi untuk pertumbuhan alga dan penghilangan nutrisi di bawah kondisi iklim yang berlaku. Lipid optimal terdapat pada skala besar dan pemanenan biomassa alga masih tetap memiliki beberapa tantangan. Perbaikan di daerah ini selanjutnya akan mengurangi biaya keseluruhan produksi alga dan mampu meremediasi air limbah.
UCAPAN TERIMA KASIH Para penulis dengan ini mengakui Yayasan Riset Nasional (Afrika Selatan) sebagai kontribusi keuangan.
REFERENSI Abeliovich, A. (1986). Handbook of microbial mass culture. In Algae in Wastewater Oxidation Ponds (Ed. A. Richmond), CRC Press, Boca Raton, FL, pp. 331-338.
Adey, W.H., Luckett, C., and Smith, M. (1996). Purification of industrially contaminated groundwaters using controlled ecosystems. Ecological Engineering, 7: 191-212.
Amaro, H.M, Guedes, A.C., and Malcata, F.X. (2011). Advances and perspectives in using microalgae to produce biodiesel. Apllied Energy, 88, 3402-3410.
Ansa, E.D.O., Lubberding, H.J., Ampofo, J.A., and Gijzen, H.J. (2011). The role of algae in the removal of Escherichia coli in a tropical lake. Ecological Engineering, 37: 317-324.
Beneman, J.R., and Oswald, W.K. (1996). Systems and Economic Analysis of Microalgae Ponds for Conversion of Carbon Dioxide to Biomass. Pittsburgh Energy Technology Center, Pittsburgh, PA, p. 201.
Boelee, N.C., Temmink, H., Janssen, M., Buisman, C.J.N., and Wijffels, R.H. (2011). Nitrogen and phosphorus removal from municipal wastewater effluent using microalgae biofilms, Water Research, 45: 5925-5933.
204
Borowitzka, M.A. (1999). Commercial production of microalgae: Ponds, tanks, tubes and fermenters. Journal of Biotechnology, 70: 313-321.
Brennan, L., and Owende, P. (2010).Biofuels from microalgae-A review of technologies for production, processing, and extractions of biofuels and co- products. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 14: 557-577.
Chisti, Y. (2007). Biodiesel from microalgae. Biotechnology Advances, 25: 249- 306.
Chinnasamy, S., Bhatnagar, A., Hunt, R. W., and Das, K.C. (2010). Microalgae cultivation in a wastewater dominated by carpet mill effluents for biofuel applications. Bioresource Technology, 101: 3097-3105.
Cho, S., Luong, T.T., Lee, D., Oh, Y.K., and Lee, T. (2011). Reuse of effluent water from a municipal wastewater treatment plant in microalgae cultivation for biofuel production. Bioresource Technology, 102: 8639-8645.
Christenson, L., and Sims, R. (2011). Production and harvesting of microalgae for wastewater treatment, biofuels, and bioproducts. Biotechnology Advances. Doi: 10.1016/j.biotechady.2011.05.015.
Craggs, R.J., McAuley, P.J., and smith, V.J. (1997). Wastewater nutrient removal by marine microalgae grown on a corrugated raceway. Water Research, 31: 1701-1707.
Craggs, R.J. (2005). Advanced integrated wastewater ponds. In Pond Treatment Technology, IWA Scientific and Technical Report Series (Ed. A. Shilton). IWA, London, pp. 282-310.
De-Bashan, L.E., Hernandez, J.P., Morey, T., and Bashan, Y. (2004). Microalgae growth promoting bacteria as helpers for microalgae: A novel approach for removing ammonium and phosphorus from municipal wastewater. Water Research, 38: 466-474.
De Godos, I., Blanco, S., Garcia-Encina, P.A., Becares, E., and Munoz, R. (2009). Long-term operation of high rate algal ponds for the bioremediation of piggery wastewaters at high loading rates. Bioresource Technology, 100: 4332-4339.
De Godos, I., Blanco, S., Garcia-Encina, P.A., Becares, E., and Munoz, R. (2010). Influence of flue gas sparging on the performance of high rate algae ponds treating agro-industrial wastewaters. Journal of Hzarfous Materials, 179: 1049-1054.
Drinan, J.E., and Whiting, N.E. (2001). Water & Wastewater Treatment: A Guide for the Nonengineering Professional. CRC Press, Technomic Publishing, Boca Raton, FL. 205
Fallowfield, H.J., and Garrett, M.K. (1985). The treatment of wastes by algal culture. Journal of Applied Bacteriology-Symposium Supplement, 187S- 205S.