Anda di halaman 1dari 6

SEDIKIT TENTANG PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PERDATA

Pada umumnya dalam perkara perdata, alat bukti yang banyak dipergunakan adalah surat (bukti tertulis)
kecuali perkara perceraian, kemudian saksi, karenanya dalam Pasal 164
HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 KUH Perdata, surat menduduki tempat teratas dari seluruh alat
bukti. Lain halnya dengan perkara pidana, alat bukti yang banyak dipergunakan adalah saksi karena
hampir semua perbuatan pidana (feit) itu disaksikan/diketahui, karenanya pula dalam Pasal 184 KUHAP,
saksi menduduki tempat teratas dari seluruh alat bukti.
1. Surat
Sekalipun sudah dinazegelen (pemateraian terlambat) di kantor pos, masih harus
diperlihatkan/dicocokan dengan aslinya oleh Hakim yang memeriksa perkara, dan hingga kini
Mahkamah Agung tidak menerima surat bukti yang tidak ada aslinya. Namun secara kasuistis (dalam
kondisi tertentu) masih dimungkinkan adanya kompromi, yaitu :
a. Surat asli tidak dapat diperlihatkan, dalam hal ini adalah bijaksana jika hakim tidak serta merta
menolaknya, karena dapat saja surat aslinya itu berada pada pihak lawannya yang justru akan
diajukannya.
b. Surat asli yang sudah tidak mungkin ditemukan, misalnya antara lain, surat menyurat sebagai alas hak
(rechts titel) dari harta benda bantuan dari bank dunia pasca tsunami Aceh, maka surat berupa fotokopi
itu dapat menjadi bukti permulaan, sebagaimana putusan Mahkamah Agung Nomor 112 K/Pdt/1996
tanggal 17 September 1998, yang menyatakan bukti fotokopi kuitansi tanpa diperlihatkan aslinya serta
tidak dikuatkan oleh keterangan saksi atau alat bukti lain, maka tidak dapat dipergunakan sebagai alat
bukti yang sah dan harus dikesampingkan.
c. Surat bukti berupa fotokopi dari fotokopi dapat diterima sebagai bukti guna menunjang
pengakuan Tergugat (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1498 K/Pdt/2006 tanggal 23
Januari 2008).

2. Saksi
a. Untuk keterangan saksi haruslah diperhatikan syarat formiel dan syarat materiil dari kesaksian, juga
keterangan saksi tidak perlu dikonfrontir (cross examination) dengan pihak lawan (tidak berlaku mutlak)
karena pasti dibantah, anjurkan untuk disampaikan pada kesimpulan. Lain halnya dengan perkara
pidana yang mencari kebenaran materiil (materiel warheid) serta hakimpun harus meyakini kebenaran
akan keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).
b. Saksi de Auditu/Hearsay
Testimonium de Auditu adalah kesaksian yang keterangannya didapat dari orang lain, bukan dengan
cara melihat, mendengar dan mengalami sendiri akan peristiwanya.

Dalam khazanah Peradilan Islam, dikenal dengan Syahadah Istifadhah atau kesaksian bersifat
Muanan yakni kesaksian yang didapat dari orang lain.
Kesaksian ini dapat terjadi pada perkara pengesahan nikah dan wakaf, karena peristiwanya telah lama
terjadi.
Menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 308 K/Sip/1959 tanggal 11 November
1959, Testimoniu de Auditu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti langsung,


* Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Banten


1
melainkan hanya sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden), dan dari persangkaan itulah dapat
dikonstruksi/dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu.
Mahkamah Agung dalam putusan yang lain (Nomor 239 K/Sip/1973 tanggal 25
November 1975), Testimonium de Auditu itu pada umumya menurut perasaan, harus diingat hampir
semua peristiwa/kejadian tidaklah di suratkan (tidak dicatat), melainkan dengan hanya pesan secara
turun temurun, sedangkan saksi yang mengetahui/mengalami langsung sudah tidak ada lagi. Untuk itu
sangat diperlukan kehati-hatian dengan cara memperhatikan siapa yang bercerita dan dari mana cerita
itu didapatnya, mungkin saja pesan atau/cerita itu dari pelaku/orang yang terlibat langsung dalam
peristiwanya, dll. Disini Mahkamah Agung masih ada kompromi terhadap kesaksian de Auditu, sehingga
menurut penulis penerapan de Auditu dapat dibenarkan secara eksepsional.
c. Saksi Keluarga/Orang Dekat
Penerapan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo.Pasal
134 Kompilasi Hukum Islam, adalah bersifat imperatif, yaitu mendengarkan keterangan pihak keluarga
serta orang dekat dengan suami istri.
Sifat imperatifnya bagi Pengadilan adalah dapat dilihat dari pendirian Mahkamah Agung yang
menjatuhkan putusan sela, dengan memerintahkan Pengadilan Agama untuk melakukan pemeriksaan
tambahan, yakni memeriksa pihak keluarga atau orang dekat dengan suami istri sebagai saksi,
dikarenakan belum didengar keterangannya.
Pendirian Mahkamah Agung ini mengandung anti bahwa pemerikasaan saksi yang
berasal dari keluarga atau orang dekat dari suami istri itu sebagai keharusan, akan tetapi keharusannya
itu bukanlah yang dapat mengancam batalnya putusan Pengadilan Agama. Kalau demikian berarti
Mahkamah Agung menganggap bahwa sifat imperatifnya itu bukanlah sebagai pelanggaran yang
berkualitas tinggi yang dapat membatalkan putusan Pengadilan Agama, melainkan cukup dengan
pemeriksaan tambahan saja.
Apabila pendirian Mahkamah Agung tersebut, dikaitkan dengan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam, maka tujuannya harus dipahami, yaitu untuk
mengetahui/membuktikan bahwa rumah tangga suami istri itu sudah sulit untuk didamaikan, sehingga
menurut penulis jika seandainya telah diyakini bahwa rumah tangga tersebut sudah sangat sulit untuk
dirukunkan kembali, maka secara mafhum mukhalafah (a contrario), dengan hanya diajukan saksi
masing-masing satu saja karena ketiadaan saksi lagi oleh suami istri yang meskipun secara kuantitas
tidak mencapai batas minimal dari pada kesaksian, tidaklah akan mengakibatkan minimumnya
pembuktian saksi, sehingga tidak melanggar ketentuan Pasal 169 HIR, yaitu unus testis nullus testis (satu
saksi bukanlah saksi).
3. Sumpah
Pengaturan sumpah tambahan (Suppletoir Eed/Aanvullend Eed) ditemui pada Pasal 155
HIR/Pasal 182 R.Bg/Pasal 1941 KUH Perdata yang dalam khazanah Peradilan Islam di kenal dengan
Yamien aI Istizhaar, di mana Hakim baru diperkenankan melakukan sumpah tambahan, jika dalil gugatan
atau bantahan tidak terbukti secara sempurna.
Dalam penerapan sumpah tambahan ini sangat diperlukan kepiawaian dan rasa keadilan dari hakim
dalam pengalokasian (pembebanannya), kepada siapa yang lebih pantas, Penggugat atau Tergugat,
karena akan membawa resiko, mengingat disaat para pihak hanya mampu mengajukan bukti
permulaan yang dianggap berbobot sama, padahal
sesungguhnya takarannya tidak sama persis, Hakim di sini berwenang, bukan berkewajiban


2
untuk memerintahkan salah satu pihak untuk bersumpah, yang tentu saja apabila salah (tidak tepat)
dalam pengalokasiannya (pembebanannya), maka akan merugikan pihak yang seharusnya lebih berhak
untuk bersumpah.
Apabila Hakim berpendapat bahwa tidak ada pihak yang pantas untuk dibebani sumpah
tersebut (Hakim tidak yakin), sebaiknya sumpah tersebut jangan dibebankan dan perkara ditolak saja.
4. Descente/Plaatselijke Onderzoek/Plaaatsopneming/Pemeriksaan Setempat
Pemeriksaan setempat (PS) atau lebih tepat disebut sidang pemeriksaan setempat (SPS), dapat
dilakukan sebelum atau sesudah pemeriksaan alat bukti (tergantung urgensi), jangan sampai terjadi
kesalahan Hakim di mana dilakukan setelah pemeriksaan alat bukti, sementara perkara tersebut diputus
dengan dinyatakan gugatan tidak diterima (niet onvanklijke verklaard/NO) di karenakan pada waktu
pemeriksaan setempat baru didapat fakta bahwa objek perkara tidak diketemukan/tidak jelas
identitas dan keberadaanya. Padahal dari jawab berjawab sebelum tahap pembuktian, Hakim sudah
dapat mengetahui kapan sidang pemeriksaan setempat itu dilakukan (sebelum atau sesudah
pembuktian). Pemeriksaan setempat juga atas inisiatif Hakim dan dapat juga atas permintaan para pihak
(perhatikan SEMA Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat).
5. Novum Untuk Perkara Peninjauan Kembali (PK).
Dalam perkara peninjauan kembali, adanya novum (bukti baru) dalam hal ini bukti surat adalah suatu
bukti yang menentukan yang tidak/belum pernah diajukan dalam perkara sebelumnya, bukan yang
dibuat/diadakan setelah perkara diputus dan telah berkekuatan hukum tetap.
Terhadap bukti (surat) baru tersebut disidangkan dengan Hakim Tunggal atas dasar PHS dari Ketua
Pengadilan Agama, dan yang disumpah adalah yang menemukan surat itu (Pemohon Peninjauan
Kembali) dengan kata/lafaz sumpahnya menyebut kapan surat tersebut didapat/diketemukan yang
dituangkan dalam berita acara persidangan.



Serang, 2 April 2012
































3

Anda mungkin juga menyukai