A. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml dalam masa 24 jam
setelah anak lahir. (Prof. dr. Ida Bagus Gde Manuaba : 1996)
Menurut Doengoes (2001), perdarahan postpartum adalah kehilangan darah lebih
500 ml selama atau setelah melahirkan.
Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum
hemorrhage)adalah perdarahan pervaginam yang melebihi 500 ml setelah melahirkan.
(Syaifuddin, Abdul Bari, 2002)
B. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala terjadinya Pendarahan Post Partum Skunder antara lain sebagai berikut:
1. Pendarahan terjadi secara terus menerus setelah seharusnya lokhia rubra berhenti.
2. Pendarahan dapat terjadi secara mendadak, seperti pendarahan post partum primer
dan di ikuti gangguan system kardiovaskuler sampai syok.
3. Mudah terjadi infeksi skunder sehingga dapat menimbulkan:
a. Lokhia yang terjadi berbau dan keruh
b. Fundus uteri tidak segera mengalami involusi, terjadi subinvolusi uteri.
4. Denyut nadi menjadi cepat dan lemah
5. Tekanan darah menurun
6. Pucat dan dingin
7. Sesak napas
8. Berkeringat
C. Diagnosis
Diagnosis Perdarahan Pascapersalinan
(1) Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
(2) Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.
(3) Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: - Sisa plasenta atau selaput
ketuban - Robekan rahim - Plasenta suksenturiata
(4) Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah
(5) Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot Observation Test),
dll
Perdarahan pascapersalinan ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan
menakutkan hingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau
dapat berupa perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus yang juga
bahaya karena kita tidak menyangka akhirnya perdarahan berjumlah banyak, ibu menjadi
lemas dan juga jatuh dalam presyok dan syok. Karena itu, adalah penting sekali pada
setiap ibu yang bersalin dilakukan pengukuran kadar darah secara rutin, serta pengawasan
tekanan darah, nadi, pernafasan ibu, dan periksa juga kontraksi uterus perdarahan selama
1 jam.
D. Etiologi
Sebab pendarahan postpartum dibagi menjadi 4 kelompok utama, yaitu :
1. atonia uteri
Keadaan lemahnya tonus/konstraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak
mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan
plasenta lahir.kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi myometrium dinamakan
atonia uteri dan keadaan ini menjadi penyebab utama pendarahan postpartum.
Pendarahan postpartum bisa dikendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-serat
myometrium. Kontraksi dan retraksi ini menyebabkan terlipatnya pembuluh-
pembuluh darah sehingga aliran darah ke tempat plasenta menjadi berhenti.
Faktor predisposisi terjadinya atoni uteri adalah :
a. Regangan rahim yang berlebihan karena gemeli, polihidroamnion, atau anak
terlalu besar.
b. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan lama atau persalinan kasep.
c. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit
menahun.
d. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.
e. Infeksi intrauterin (korioamnionitis)
f. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
g. Prioritas sering di jumpai pada multipara dan grande mutipara.
h. Faktor sosial ekonomi yaitu malnutrisi;
Gejala Klinik :
a. Perdarahan pervaginam massif
b. Konstraksi uterus lemah
c. Anemia
d. Konsistensi rahim lunak
e. Perdarahan segera setelah anak lahir
Diagnosis
Bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan
banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat
atau lebih dengan konstraksi yang lembek. Perlu diperhatikan pada saat atonia uteri
didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang
sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus
diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
Penanganan
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien.
Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat
hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan
kliniknya.
Pada umunya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut :
a. Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.
b. Sekaligus merangsang konstraksi uterus dengan cara :
- Masase fundus uteri dan merangsang puting susu
- Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui i.m, i.v, atau s.c
- Memberikan derivat prostaglandin
- Pemberian misoprostol 800-1000 ug per rectal
- Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal.
- Kompresi aorta abdominalis
c. Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan
operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan
uterus) atau melakukan histerektomi.
2. Robekan jalan lahir
Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi
rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan
lahir. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomy, robekan spontan perineum,
trauma forceps, dan ekstraksi.
Gejala Klinik
a. Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
b. Uterus kontraksi dan keras
c. Plasenta lengkap
d. Pucat dan Lemah
Perlukaan jalan lahir terdiri dari :
a. Robekan Perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di
garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut
arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah
dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika.
Perdarahan pada traktus genetalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan
yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat. Tingkatan
robekan pada perineum dibagi atas 4 tingkat
- Tingkat I : robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perineum
- Tingkat II : robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei
transversalis, tetapi tidak mengenai sfingter ani
- Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter ani
- Tingkat IV : robekan sampai mukosa rektum
faktor-faktor yang menyebabkan trauma pada jalan lahir, antara lain :
1). Interval yang lama antara dilakukannya episiotomy dankelahiran anak
2). Perbaikan episiotomy setelah bayi dilahirkan terlalu lama
3). Pembuluh darah yang putus pada puncak episiotomy tidak berhasil dijahit
4). Kemungkinan terdapat beberapa tempat cedera yang tidak terpikirkan
Penanganan :
1). Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber
perdarahan.
2). Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptic
3). Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang
yang dapat diserap
4). Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal terhadap
operator.
5). Khusus pada rutura perineum komplit ( hingga anus dan sebagian rektum)
dilakuakan penjahitan lapis demi lapis
6). Ruptur uteri harus rujuk ke RS / RSUD dengan infus terpasang.
b. Hematoma vulva
Penanganan :
1). Penanganan hematoma tergantung pada lokasi dan besar hematoma. Pada
hematoma yang kecil, tidak perlu tindakan operatif, cukup dilakukan kompres.
2). Pada hematoma yang besar lebih-lebih disertai dengan anemia dan presyok,
perlu segera dilakukan pengosongan hematoma tersebut. Dilakukan sayatan di
sepanjang bagian hematoma yang paling terenggang. Seluruh bekuan
dikeluarkan sampai kantong hematoma kosong. Dicari sumber perdarahan,
perdarahan dihentikan dengan mengikat atau menjahit sumber perdarahan
tersebut. Luka sayatan kemudian dijahit. Dalam perdarahan difus dapat
dipasang drain atau dimasukkan kasa steril sampai padat dan meninggalkan
ujung kasa tersebut diluar.
c. Robekan dinding vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering
dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi
sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus
diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan
spekulum.
1). Kolpaporeksis
Kolpaporeksis adalah robekan melintang atau miring pada bagian atas
vagina. Hal ini terjadi apabila pada persalinan yang disproporsi sefalopelvik
terjadi regangan segmen bawah uterus dengan servik uteri tidak terjepit antara
kepala janin dengan tulang panggul, sehingga tarikan ke atas langsung
ditampung oleh vagina, jika tarikan ini melampaui kekuatan jaringan, terjadi
robekan vagina pada batas antara bagian teratas dengan bagian yang lebih
bawah dan yang terfiksasi pada jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis juga bisa
timbul apabila pada tindakan pervaginam dengan memasukkan tangan
penolong ke dalam uterus terjadi kesalahan, dimana fundus uteri tidak ditahan
oleh tangan luar untuk mencegah uterus naik ke atas.
2). Fistula
Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena
tindakan vaginal yang sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan
seksio sesarea. Fistula dapat terjadi mendadak karena perlukaan pada vagina
yang menembus kandung kemih atau rektum, misalnya oleh perforator atau
alat untuk dekapitasi, atau karena robekan serviks menjalar ke tempat-tempat
tersebut. Jika kandung kemih luka, urin segera keluar melalui vagina. Fistula
dapat berupa fistula vesikovaginalis atau rektovaginalis.
Penanganan :
1). Robekan dinding vagina harus dijahit.
2). Kasus kolporeksis dan fistula visikovaginal harus dirujuk ke rumah sakit.
d. Robekan serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang
multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan
serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah
uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah
lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan
lahir, khususnya robekan serviks uteri.
3. Retensio plasenta
plasenta tetap tertinggal dalam uterus 30 menit setelah anak lahir. Plasenta
yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala III dapat disebabkan oleh
adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Bila sebagian kecil plasenta masih
tertinggal dalam uterus disebut rest plasenta dan dapat menimbulkan PPP primer
atau sekunder.
Faktor predisposisi retensio plasenta:
a. Plasenta previa
b. Bekas SC
c. Kuret berulang
d. Multiparitas
Penyebab
a. Fungsional
1). HIS kurang kuat
2). Plasenta sukar terlepas karena :
Tempatnya : insersi di sudut tuba
Bentuknya : placenta membranacea, placenta anularis.
Ukurannya : placenta yang sangat kecil
Plasenta yang sukar lepas karena sebab-sebab tersebut di atas disebut
plasenta adhesive
b. Patologi- Anatomis
1). Placenta akreta : vilous plasenta menembus desidua basalis dan nitabuch
layer
2). Placenta increta : vilous plasenta menginvaginasi miometrium
3). Placenta percreta : vilous plasenta menembus miometrium sampai serosa
Gejala Klinis
a. Perdarahan pervaginam
b. Plasenta belum keluar setelah 30 menit kelahiran bayi
c. Uterus berkonstraksi dan keras
Terapi
a. Kalau placenta dalam jam setelah anak lahir, belum memperlihatkan gejala-
gejala perlepasan, maka dilakukan pelepasan, maka dilakukan manual plasenta :
Teknik pelepasan placenta secara manual: alat kelamin luar pasien di
desinfeksi begitu pula tangan dan lengan bawah si penolong. Setelah tangan
memakai sarung tangan, labia disingkap, tangan kanan masuk secara obsteris
ke dalam vagina. Tangan luar menahan fundus uteri. Tangan dalam kini
menyusuri tali pusat yang sedapat-dapatnya diregangkan oleh asisten.
Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan pergi ke pinggir
plasenta dan sedapat-dapatnya mencari pinggir yang sudah terlepas.
Kemudian dengan sisi tangan sebelah kelingking, plasenta dilepaskan ialah
antara bagian plasenta yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan
gerakan yang sejajar dengan dinding rahim. Setelah plasenta terlepas
seluruhnya, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik ke luar.
b. Plasenta akreta
Terapi : Plasenta akreta parsialis masih dapat dilepaskan secara manual tetapi
plasenta akreta komplit tidak boleh dilepaskan secara manual karena usaha
ini dapat menimbulkan perforasi dinding rahim. Terapi terbaik dalam hal
ini adalah histerektomi.
4. Gangguan pembekuan darah
Penyebab pendarahan pasca persalinan karena gangguan pembekuan darah
baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada
riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada
tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan
merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi,
rongga hidung, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis
yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang,
trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin
degradation product) serta perpanjangan tes protombin dan PTT (partial
thromboplastin time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin
dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang
dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar,
trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau EACA (epsilon amino caproic acid).
Pencegahan
Klasifikasi kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan memudahkan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil
saat perawatan antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana
yang sesuai dan jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada saat proses
persalinan, semua kehamilan mempunyai resiko untuk terjadinya patologi
persalinan, salah satunya adalah perdarahan pasca persalinan. Antisipasi terhadap
hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi
setiap penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan
persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal.
b. Mengenal factor predisposisi perdarahan pasca persalinan seperti mutiparitas,
anak besar, hamil kembar, hidramnion, bekas seksio, ada riwayat perdarahan
pasca persalinan sebelumnya dan kehamilan resiko tinggi lainnya yang
resikonya akan muncul saat persalinan.
c. Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
d. Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.
e. Kehamilan resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan
menghindari persalinan dukun.
f. Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi perdarahan
pasca persalinan dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.
E. Pencegahan Perdarahan
1. Perawatan masa kehamilan
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang
disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja
dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan
antenatal care yang baik.Menangani anemia dalam kehamilan adalah penting, ibu-
ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat
dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.
2. Persiapan persalinan
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb,golongan
darah, dan bila memungkinkan sediakan donor darah dan dititipkan di bank darah.
Pemasangan cateter intravena dengan lobang yang besar untuk persiapan apabila
diperlukan transfusi. Untuk pasien dengan anemia berat sebaiknya langsung
dilakukan transfusi.
Sangat dianjurkan pada pasien dengan resiko perdarahan postpartum untuk
menabung darahnya sendiri dan digunakan saat persalinan.
3. Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circular atau
maju mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik. Massae
yang berlebihan atau terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama ataupun sesudah
lahirnya plasenta bisa mengganggu kontraksi normal myometrium dan bahkan
mempercepat kontraksi akan menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan
memicu terjadinya perdarahan postpartum.
4. Kala tiga dan Kala empat
a. Uterotonica dapat diberikan segera sesudah bahu depan dilahirkan. Study
memperlihatkan penurunan insiden perdarahan postpartum pada pasien yang
mendapat oxytocin setelah bahu depan dilahirkan, tidak didapatkan peningkatan
insiden terjadinya retensio plasenta. Hanya saja lebih baik berhati-hati pada
pasien dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada USG untuk
memastikan. Pemberian oxytocin selama kala tiga terbukti mengurangi volume
darah yang hilang dan kejadian perdarahan postpartum sebesar 40%.
b. Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5 menit setelah
bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak ada untungnya justru
dapat menyebabkan kerugian. Pelepasan plasenta akan terjadi ketika uterus
mulai mengecil dan mengeras, tampak aliran darah yang keluar mendadak dari
vagina, uterus terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta terlihat bergerak
keluar dari vagina. Selanjutnya plasenta dapat dikeluarkan dengan cara menarik
tali pusat secra hati-hati. Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap
atau tidak. Untuk manual plasenta ada perbedaan pendapat waktu
dilakukannya manual plasenta. Apabila sekarang didapatkan perdarahan adalah
tidak ada alas an untuk menunggu pelepasan plasenta secara spontan dan
manual plasenta harus dilakukan tanpa ditunda lagi. Jika tidak didapatkan
perdarahan, banyak yang menganjurkan dilakukan manual plasenta 30 menit
setelah bayi lahir. Apabila dalam pemeriksaan plasenta kesan tidak lengkap,
uterus terus di eksplorasi untuk mencari bagian-bagian kecil dari sisa plasenta.
c. Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan jalan lahir
yang dapat menyebabkan perdarahan dengan penerangan yang cukup. Luka
trauma ataupun episiotomy segera dijahit sesudah didapatkan.
TUGAS KELOMPOK
PERDARAHAN POSTPARTUM PRIMER
DISUSUN OLEH :
AFRINA SUHARTATI (S.13.1216)
ANGGA PUTRI SURYA DEWI (S.13.1217)
ENDAH MALASARI (S.13.1226)
NI PUTU EKA ASTI ASIH (S.13.1246)
AKADEMI KEBIDANAN SARI MULIA
TAHUN AJARAN 2013/2014