Sipil Rudi2 PDF
Sipil Rudi2 PDF
= l p c Q
u s
( 8)
Dimana alpha ( ) adalah faktor lekatan (adhesi) antara tiang dengan tanah yang
diperoleh secara empiris dan c
u
adalah nilai kekuatan geser undrained tanah
lempung, p adalah perimeter tiang dan l adalah panjang tiang yang ditinjau.
Didalam literatur geoteknik terdapat banyak rekomendasi nilai alpha ( ) yang
biasanya selalu dihubugkan dengan nilai kekuatan geser undrained tanah. Antara
lain kurva yang dikeluarkan oleh American Petrolium I nstitute ( API , 1984)
sebagaimana disajikan pada Gambar 3.2. Gambar 3.3. menunjukkan nilai yang
diberikan oleh B.M. Das (Das, 1990). Banyak para ahli yang melakukan penyelidikan
untuk menentukan nilai alpha ( ) antara lain Simons dan Menzies, 1977 yang
merekomendasikan nilai ( ) sebesar 0,45 untuk lempung london yang over
consolidated. Pada umumnya nilai ( ) ini bervariasi antara 0,30 hingga 1,50 yang
tergantung kepada keadaan tanah dan jenis tiang yang dipakai.
2002 digitized by USU digital library 12
Gambar 3.2. Nilai ( ), rekomendasi dari API (1984)
Gambar 3.3. Nilai , Rekomendasi dari Das (1990)
3.3.2. Metoda Lambda ()
Methoda Lambda diperkenalkan oleh Vijayvergiya dan Focht (1972). Methoda
ini mengasumsikan bahwa perpindahan tanah akibat pemancangan tiang
menghasilkan tekanan lateral passip pada setiap kedalaman tanah. Rata-rata
tahanan geser dapat dituliskan sebagai berikut :
) 2 (
'
u v
c f + = ( 9)
Dimana adalah koefisient lekatan, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3.4
2002 digitized by USU digital library 13
Gambar 3.4. Koefisient lekatan terhadap kedalaman tiang
3.3.3. Metoda Betha ( )
Metoda Betha ( ) dikembangkan oleh Burland (1973, 1993) dengan
menggunakan asumsi sebagai berikut :
Permukaan tiang, paling tidak pada skala kecil (mikroskopik) adalah kasar
Pada bidang kontak antara tiang dengan tanah, tanah hingga derajat tertentu
selalu dalam keadaan terganggu, sehingga menghilangkan kohesi (cohesion
intercept) yang diturunkan dari lingkaran Mohr hingga nol.
Tegangan vertikal efektif yang bekerja pada permukaan tiang setelah tegangan
air pori yang timbul akibat pemancangan tiang terdisipasi, sehingga setidaknya
kondisi tanah adalah at rest (Ko) sebelum tiang dipasang.
Pada umumnya tiang dipasang sebelum beban bekerja dan biasanya beban
pembebanan akan terjadi dalam proses yang lambat sehingga tegangan air pori
yang timbul saat pemancangan tiang sudah hampir terdisipasi seluruhnya,
sehingga akan cukup realistik bila pada saat beban bekerja penuh, dianggap
tanah dalam keadaan drained dan bukan undrained.
Dalam metoda Betha ( ) ini besar gaya gesekan dihitung dengan
menggunakan rumusan sebagai berikut :
Untuk tanah lempung yang terkonsolidasi normal (Normally Consolidated)
'
*
v
f =
( 10)
Untuk tanah lempung yang sudah terkonsolidasi (Over Consolidated)
OCR K
r
) sin 1 ( =
( 11)
Dimana nilai () ini sebesar 0,30 0,10, OCR adalah rasio konsolidasi (Over
consolidated) dan
'
v
adalah
tegangan vertikal efektif yang bekerja pada tanah dan adalah sudut gesekan
antara tiang dengan tanah.
Nilai K pada rumusan ini bergantung kepada cara pelaksanaan tiang. Sebelum
tiang dilaksanakan, koefisient tekanan tanah sama dengan koefisient koefisient
tekanan tanah dalam keadaan diam, yaitu K
o
. Untuk jenis tiang pancang yang
mendesak tanah (displacement pile), pada saat tiang dipancang, nilai K akan lebih
2002 digitized by USU digital library 14
besar dari K
o
, sedangkan untuk tiang bor nilai K akan lebih kecil dari K
o
. Dengan
kata lain untuk tiang pancang K
o
merupakan batas bawah, sedangkan untuk tian bor
Ko merupakan batas atas dari kapasitas tiang. Nilai K
o
ini biasanya dihitung dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut :
sin 1 =
o
K
( 13)
dimana adalah sudut gesek dalam tanah.
Nilai ini tergantung kepada kekasaran material tiang yang digunakan dan
biasanya dihubungkan dengan sudut gesek dalam tanah () sebagai patokan dapat
dipergunakan nilai sebagai berikut :
Untuk tiang baja, = 20
0
Untuk tiang beton = 0,75
Untuk tiang kayu, = 2/3
3.4. Perkiran Daya Dukung Dengan Menggunakan Data Uji Lapangan
Yang dimaksud dengan perkiraan daya dukung dengan menggunakan data uji
lapangan disini adalah perkiraan dengan langsung menggunakan data-data uji
tersebut dengan tanpa terlebih dahulu mengkorelasikannya dengan parameter-
parameter laboraturium seperti yang dibahas diatas. Uji lapangan yang banyak
digunakan untuk memperkirakan daya dukung suatu tiang pancang antara lain
adalah : Standard Penetration Test (SPT), Sondir (Cone Penetration Test) dan
Pressuremeter test (PMT). Untuk kita di Indonesia uji Pressuremeter belum begitu
meluas penggunaannya. Karena itu pada tulisan ini hanya akan dibahas mengenai
perkiraan daya dukung dengan menggunakan data SPT dan Sondir saja.
3.4.1. Daya Dukung Pondasi Tiang Dengan Menggunakan Data SPT.
Rumusan yang digunakan untuk memperkirakan daya dukung pondasi tiang
dengan menggunakan data SPT adalah sebagai berikut :
s p a ult
nNA A mN ton Q + = ) (
( 14)
dimana m adalah koefisient perlawanan ujung tiang, n adalah koefisient gesekan, N
adalah nilai SPT (pukulan/30 Cm = blows/ft.). Untuk nilai N SPT ini biasanya
dianjurkan untuk dikoreksi menjadi sebagai berikut:
Untuk N pada Ujung Tiang.
40 ) ( 5 , 0
2 1
+ = N N N
a
. ( 15)
2002 digitized by USU digital library 15
Dengan N
1
adalah nilai N pada ujung tiang, N
2
adalah nilai N dari ujung tiang
hingga 4 B diatas ujung tiang, B adalah lebar tiang
Untuk jenis tanah pasir yang sangat halus (fine sand) atau tanah pasir
kelanauan ( Silty Sanfd) yang terletak dibawah muka air tanah (jenuh air)
dimana nilai N cenderung lebih tinggi karena permeabilitas tanah yang kecil
maka di koreksi menjadi sebagai berikut :
15 ); 15 ( 5 , 0 15
'
> + = N N N
( 16)
dimana Nadalah Nilai N SPT di lapangan.
Terdapat beberapa pakar yang merekomendasikan besarnya koefisient-
koefisient m dan n diantaranya diperlihatkan pada Tabel 3.1. berikut :
Tabel 3.1. Nilai m dan n
Jenis tanah Jenis Tiang m n Batasan
1. Meyerhof (1976)
Pasiran 40 0,2
Lempungan. - 0,5
2. Okahara (1992).
Pasiran Tiang Pancang 40 0,2 10 t/m
2
Cor Ditempat 12 0,5 20 t/m
2
Inner digging - 0,1 5 t/m
2
Lempungan. Tiang Pancang - 1,0 15 t/m
2
Cor Ditempat - 1,0 15 t/m
2
Inner digging - 0,5 10 t/m
2
3. Takahashi
Pasiran Tiang Pancang 30 0,2
3.4.2. Daya dukung hasil Pondasi Hasil Sondir
Uji sondir telah lama populer di Indonesia karena relatif mudah pemakaiannya,
ekonomis dan dapat memberikan profil tanah secara kontinu meskipun masih dalam
taraf kualitatif. Uji ini memberikan perlawanan ujung q
c
dan gesekan selimut f
s
. Nilai
perlawanan ujung dengan gesekan selimut ini dapat memberikan indikasi jenis tanah
dana beberapa parameter tanah seperti konsistensi tanah lempung, kuat geser,
kepadatan relatif dan sifat kemampatan tanah meskipun hanya didasarkan pada
korelasi empiris. Parameter-parameter tersebut amat bermanfaat untuk perancangan
pondasi.
Penggunaan uji sondir untuk menganalis daya dukung tiang telah cukup lama
dilakukan mengingat dalam sejarah perkembangannya memang alat uji ini
dimaksudkan sebagai model mini dari suatu pondasi tiang. Demikian pula berbagai
metoda analisis telah mengalami perkembangan sesuai dengan pengalaman melalui
usaha-usaha empiris maupun elaborasi analitis.
Studi Terdahulu.
2002 digitized by USU digital library 16
Sejak penggunaan data sondir untuk menentukan daya dukung tiang
dikembangkan mula-mula di Belanda dan Belgia, di Indonesia juga telah menjadi
semacam kesepakatan untuk melakukan aplikasi uji sondir ini khususnya untuk
keperluan design pondasi tiang. Horvitz et al. (1981) telah melakukan studi dalam
skala penuh pada beberapa pondasi tiang kayu dan tiang bor yang diuji hingga
mencapai keruntuhan (failure) dan menyatakan bahwa terdapat korelasi yang amat
baik antara hasil perhitungan analitis dengan beban keruntuhan (ultimate) dan
pondasi tiang. Perhitungan analitis yang dimaksud adalah metoda yang diusulkan
oleh Svhmertmann dan Notingham (1975).
Perhitungan daya dukung aksial pondasi tiang berdasarkan data uji sondir
sering disebut ekstrapolasi dengan atau tanpa koreksi. Hal ini adalah karena
komponen-komponen yang terukur dari sondir (tahanan ujung dan gesekan selimut)
merupakan representasi dari komponen daya dukung tiang. Perbedaan utama antara
alat sondir dan pondasi tiang terletak pada ukurannya, bentuk ujung, sifat
permukaan dan mekanisme keruntuhannya. Dalam tulisan ini dikemukakan beberapa
metoda yaitu metoda langsung (direct cone method), mehode Schmertmann &
Nottingham (1975), metoda Lambda Cone (metode Tumai & Fakhroo, 1981), metode
Cone M dan metoda Tomlinson
Metoda Langsung (Direct Cone)
Metoda ini diantaranya dikemukakan oleh Meyerhof (1956) yang menyatakan bahwa
tahanan ujung tiang mendekati tahanan ujung konus sondir dengan rentang 2/3 q
c
hingga 1,5 q
c
dan Meyerhof menganjurkan untuk keperluan praktis agar digunakan
c p
q q =
( 17)
Selanjutnya tahanan selimut pada tiang dapat diambil langsung dari gesekan
total (jumlah hambatan lekat =JHL) dikalikan dengan keliling tiang, sehingga
formula untuk metoda langsung dapat dituliskan :
kll JHL A q Q
p p ult
* + =
( 18)
Rumusan ini diambil di Indonesia dengan mengambil angka keamanan 3 (tiga)
untuk tahanan ujung dan angka keamanan 5 (lima) untuk gesekannya. Sehingga
daya dukung ijin pondasi dapat dinyatakan dalam :
5
*
3
kll JHL
A q
Q
p p
ult
+ =
( 19)
Dalam tulisan ini hanya dibahas daya dukung ultimate tiang sehingga angka
keamanan tidak disertakan. Schmertmann dan Nottingham (1975) menganjurkan
perhitungan daya dukung ujung pondasi ting menurut cara Begemann, yaitu diambil
dari nilai rata-rata perlawanan ujung sondir 8 D diatas ujung tiang dan 0,7D sampai
dengan 4,9D dibawah ujung tiang. Rumusan tersebut dihitung sebagai berikut :
p
c c
p
A
q q
q *
2
2 1
+
=
( 20)
2002 digitized by USU digital library 17
Dimana q
p
adalah daya dukung ujung tiang, q
c1
adalah nilai q
c
rata-rata 0,7D-4D
dibawah ujung tiang, q
c2
adala nilai qc rata-rata 8 D diatas ujung tiang dan A
p
adalah
proyeksi penampang tiang.
Bila zona tanah lembek dibawah tiang masih terjadi pada kedalaman 4D 10D,
maka perlu dilakukan reduksi terhadap nilai rata-rata tersebut. Pada umumnya nilai
perlawanan ujung diambil tidak lebih dari 150 Kg/Cm
2
untuk tanah pasir dan tidak
melebih 100 Kg/Cm
2
untuk tanah kelanauan. Untuk mendapatkan daya dukung
selimut tiang maka digunakan formula :
+ =
= =
D
z
L
D z
s s s s sc s
A f A f
D
z
K q
8
0 8
*
8
( 21)
Dimana K
sc
adalah faktor koreksi f
s
dengan harga K
c
untuk tanah lempung dan K
s
untuk tanah pasir, z adalah kedalaman dimana f
s
diambil, D adalah diameter tiang,
A
s
adalah luas bidang kontak tiap interval kedalaman f
s
, L adalah total tiang
terbenam.
Untuk tanah kohesif, gesekan selimut dihitung dengan menggunakan formula :
D adalah diameter tiang.
BAB IV
KENDALA PERHITUNGAN DAYA DUKUNG AKSIAL
PONDASI DALAM
4.1. Pendahululan
Penelitian dan pengalaman menunjukkan bahwa pada tanah lempung umumnya
perlawanaan (daya dukung) gesekan pondasi dalam akan bekerja penuh pada
penurunan yang kecil, yaitu pada saat penurunan mencapai kurang lebih 0,5 % dari
diameter tiang (lebar) badan tiang atau 5 mm sampai dengan 10 mm. Sebaliknya
diperlukan penurunan yang lebih besar agar kapasitas ujung tiang dapat bekerja
dengan penuh, yaitu antara 10 % hingga 20 % dari diameter (lebar) ujung tiang.
Berdasarkan penelitian terlihat bahwa untuk beban kerja P
k
tertentu, beban yang
dipikul oleh ujung (dasar) pondasi umumnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan
beban yang dipikul oleh gesekan sepanjang badan tiang. Karenanya kesalahan
dalam memperkirakan kapasitas ujung tiang tidaklah sepenting kesalahan dalam
memperkirakan kapsitas gesekan sepanjang tiang.
4.2. Kekeliruan memperkirakan Nilai Daya Dukung Ujung Tiang
Bila kita tinjau persamaan ( 2) , maka faktor terpenting dalam memperkirakan
besarnya daya dukung ujung tiang disini terletak kepada tingkat ketelitian nilai c
u
yang didapat dari hasil pengujian laboraturium ataupun juga nilai c
u
dari uji kipas
2002 digitized by USU digital library 18
geser (Vane Shear Test). Disamping itu nilai daya dukung juga ditentukan oleh
koefisient daya dukung (N
c
). Di Jepang dipergunakan nilai sebesar 8 (delapan). Di
Bangkok ada yang merekomendasikan nilai ini sebesar 10 (sepuluh). Namun
demikian sebagaimana disebutkan diatas, kesalahan disini pada umumnya tidak
akan berpengaruh besar dalam menentukan kapasitas tiang. Karena ada kenyataan
bahwa pada beban kerja daya dukung ujung tiang yang bekerja tidaklah besar.
Tidak seperti pada tanah lempung, di tanah pasir (terutama untuk tiang
pancang), besarnya daya dukung ujung tiang cukup menentukan. Hal ini disebabkan
oleh kenyataan bahwa akibat pemancangan pasir akan memadat. Disini sangatlah
perlu untuk memperkirakan secara baik besarnya sudut geser dalam () tanah pasir
tersebut. Kesalahan yang kecil dalam memperkirakan besarnya sudut gesar dalam
() bisa mengakibatkan perkiraan daya dukung yang jauh berbeda. Sebab perkiraan
daya dukung ini sangat peka terhadap perubahan sudut geser dalam (). Padahal
penentuan nilainya sangat sulit. Pengambilan contoh tanah pasir yang relatif tidak
terganggu untuk diuji di laboraturium sangatlah sulit dan memerlukan teknik dan
ketelitian yang tinggi baik dalam pengambilan contoh, mempersiapkan contoh benda
uji maupun pengujian. Pada umumnya lembaga-lembaga penelitian tanah kita belum
melakukan hal-hal yang demikan disamping karena teknik yang belum kita kuasai,
juga karena dana/biaya pengujian tanah yang terlalu dibatasi dan terlalu murah.
Akibatnya nilai () ini biasanya dikorelasikan dengan nilai SPT yang mana pengujian
ini juga mempunyai beberapa kelemahan yang akan dibahas kemudian.
4.3. Kendala Perkiraan Daya Dukung Dari Data Uji Laboraturium
1. Metoda Alpha ( )
Sebagaimana terlihat pada persamaan ( 7) , dimana daya dukung gesekan
yang diperkirakan dengan menggunakan metoda Alpha ini sangat tergantung kepada
nilai c
u
dan koefisient alpha ( ). Penggunaan kekuatan geser tanah Undrained
yang didasarkan atas analisa tegangan total (total stress analysis) untuk
memperkirakan daya dukung gesekan tiang mempunyai beberapa kelemahan teoritis
yang mendasar yaitu :
Distorsi geser yang terjadi pada daerah yang relatif tipis sedikit diluar selimut
tiang. Pada saat beban bekerja, drainase dari dan kedaerah yang tipis ini akan
terjadi dalam wajtu yang relatif singkat.
Pelaksanaan pondasi tiang pancang tidak dapat dihindari akan menimbulkan
ganggunan disekitar tiang yang akan membuat hilangnya kohesi (inercept pada
lingkaran Mohr) tanah.
Dengan kata lain diragukan kebenaran bahwa kondisi tiang pada saat beban
bekerja penuh, tiang masih dalam kondisi Undrained. Disamping kelemahan yang
disebutkan diatas, beberapa kendala dalam menerapkan metoda ini cukup vital
antara lain :
Nilai kuat geser Undrained, c
u
bukan merupakan nilai yang unik. Nilai c
u
ini
antara lain dipengaruhi oleh efek orientasidari benda uji atau faktor anisotropy.
Tipe pengujian, artinya apakah dilakukan pengujian dengan menggunakan uji
geser langsung (direct shear test), uji triaksial kompresi, uji unconfined, atau uji
kipas geser dan lain-lain.
Kecepatan aplikasi benda uji (strain rate.
Faktor gangguan pada waktu dan pengambilan dan persiapan contoh tanah.
Ukuran contoh tanah yang diuji, tenggang waktu antara pengambilan contoh
tanah dan pengujian dilakukan.
Faktor-faktor ini akan dibahas secara singkat dibawah ini sampel
2002 digitized by USU digital library 19
Penelitian terhadap susunan partikel-partikel tanah lempung menunjukkan
bahwa pada saat sedimentasi dan saat beban bekerja, partikel-partikel lempung
cenderung berorientasi dalam arah horizontal. Kecenderungan partikel-partikel
berorientasi kearah horizontal pada saat sedimentasi menimbulkan anisotrpy
bawaan. Disamping faktor anisotropy bawaan tersebut juga bisa timbul faktor
anisotropy tegangan bila nilai K
o
tidak sama dengan satu. Ini terbukti dari kenyataan
bahwa tegangan geser yang diperlukan untuk mengakibatkan benda uji mengalami
keruntuhan akan berbeda bila benda uji diberikan tegangan utama major (major
principal stress) dalam arah vertikal dengan bila diberikan dalam arah horizontal.
Faktor anisotropy ini pada gilirannya menimbulkan kuat geser undrained yang
berbeda dan tergantung kepada arah beban benda uji dan orientasi contoh tanah.
Faktor anisotropy bawaan in pada umumnya tidak akan terlihat dalam uji di
Laboraturium, karena gangguan contoh tanah cenderung akan merusak struktur
tanah dan karenanya akan menutupi prilaku anisotropy.
Akibat pengaruh anisotropy ini, nilai kuat geser undrained yang didapat dari
berbagai jenis pengujian juga akan berbedabila arah tegangan utama dalam sistem
pengujia juga berbeda. Contohnya hasil kuat geser undrained dari uji triaksial
akan berbeda dengan hasil dari uji geser langsung (direct shear test). Disamping
akibat faktor anisotrpy, faktor kelemahan/keterbatasan akibat boundary effect
masing-masing alat uji juga mengakibatkan hasil yang berbeda.
Penelitian juga menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengujian di dalam
alat uji semakin rendah nilai kuat geser undrained yang diperoleh. Jadi hasil
pengujian yang dilakukan dengan menggunakan alat yang sama bila dilakukan
dengan kecepatan yang berbeda (strain rate) akan memberikan hasil yang berbeda
pula.
Bila suatu contoh tanah yang terganggu (disturb) akibat proses pengambilan
contoh tanah, trasportasi, dan persiapan contoh uji kuat geser undrained
umumnya akan lebih kecil dari pada nilai c
u
yang ada di lapangan.
Besarnya contoh benda uji juga mempengaruhi nilai kuat geser undrained.
Tabel 4.1. dibawah ini memperlihatkan perbandingan nilai c
u
yang diperoleh dari uji
triaksial dengan menggunakan ukuran contoh uji yang berbeda (Simon & Menzies,
1977). Hal ini disebabkan oleh faktor struktur masa tanah. Untuk tanah lempung
yang kaku dan mempunyai rekahan (fissure) misalnya contoh tanah harus cukup
besar agar hasil uji cukup representatif.
Tabel 4.1. Perbandingan nilai c
u
dari uji triaksial dengan
menggunakan benda uji yang berbeda.
Ukuran Benda Jumlah Perbandingan Nilai Cu
Uji (mm) Uji Dengan Kadar Air 28 %
305x410 5 0,62
152x305 9 0,56
102x203 11 0,57
38x76 36 1,00
38x76 (blok) 12 1,41
38x76 (intak) 19 2,68
Tenggang waktu antara pengambilan contoh tanah dan pengujian dilakukan
juga dapat mempengaruhi nilai c
u
. Data menunjukkan bahwa nilai c
u
yang didapat
dari contoh blok tanah yan telah disimpan selama 150 hari hanya sekitar 75 % dari
nilai c
u
yang didapat dari contoh tanah yang sama yang diuji 5 hari setelah contoh
2002 digitized by USU digital library 20
tanah diambil. Ini dapat disebabkan oleh semakin besarnya rekahan (fissure) dari
contoh tanah tersebut. Disamping faktor nilai c
u
yang telah disebutkan diatas,
metoda ini juga mengalami kelemahan khususnya dalam penentuan nilai alpha ()
yang merupakan nilai yang sangat empris dan tentunya sangat tergantung dari cara
nilai c
u
diperoleh.
Kesulitan dalam menetapkan metoda alpha () ini juga terletak pada keadaan
tanah di kota Medan yang pada umumnya tidak merupakan jenis tanah lempung
murni, melainkan jenis tanah lempung kelanauan yang kadar lempungnya berkisar
sekitar 30 % sampai dengan 60 %. Jadi terdapat kemungkinan prilaku lempung kota
Medan akan berbeda.
1. Metoda Lamda ( )
Mengingat bahwa nilai cu (lihat pada persamaan 9) tetap diperlukan dalam
menetapkan metoda lamda () ini, maka kendala-kendala yang sama dalam
menentukan besarnya nilai c
u
tetap akan dijumpai pula dalam metoda Lamda () ini.
Besarnya tegangan vertikal efektif tanah tidaklah merupakan kendala yang
berarti. Hal ini disebabkan oleh kenyataan di lapangan bahwa penentuan berat isi
(unit weight) tanah dapat dilakukan dengan hasil yang relatif akurat bilamana
prosedur pengujian dilakukan dengan baik dan kadar air (w) contoh tanah dijaga
dengan baik. Sayangnya sering kali dijumpai bahwa setibanya sampel tanah di
laboraturium dan contoh tanah dikeluarkan dari dalam tabung contoh, tanah hanya
dibungkus dengan menggunakan plastik dan diletakkan dalam ruangan terbuka
yang tidak dijaga tempraturnya, sehingga penguapan terjadi. Faktor lain yang perlu
diperhatikan secara lebih teliti adalah faktor pengukuran letak muka aur tanah dan
fluktuasinya sehingga perhitungan besar tegangan vertikal efektif dapat dilakukan
dengan baik dan benar.
Yang lebih penting dari hal tersebut diatas adalah nilai koefisient lamda ()
yang umum kita pakai saat ini diturunkan dari pengamatan tiang-tiang yang
diaplikasikan di lepas pantai. Terdapat kemungkinan yang cukup besar bahwa
koefisient tersebut tidak sesuai untuk diaplikasikan pada tanah di Kota Medan.
2. Metode Betha ( )
Dibandingkan dengan kedua cara sebelumnya yang dapat dikatakan sangat
empiris, maka metode Betha () ini dikatakan lebih mempunyai dasar teori mekanika
tanah yang lebih baik. Secara singkat, disamping asumsi-asumsi yang telah
dijelaskan sebelumnya, hal ini dapat dijelaskan dari cara koefisient Betha () dicari :
tan
o
K = ( 23)
dengan mengambil nila ) sin 1 (
'
=
o
K dan
'
= , maka didapat
' '
tan ) sin 1 ( = ( 24)
Untuk jenis tanah lempung yang terkonsolidasi secara normal, nilai sudut geser
dalamnya () ini biasanya berkisar antara 20
0
-40
0
. Dengan nilai sudut geser dalam
() ini nilai betha hanya bervariasi antara 0,25 sampai dengan 0,30, suatu nilai
variasi yang kecil. Penelitian yang dilakukan oleh Burland (1973, 1993)
menunjukkan bahwa nilai betha () yang ada dilapangan hanyalah bervariasi antara
0,25 sampai dengan 0,40. dengan menggunakan nilai rata-rata 0,30. Bandingkan
metoda ini dengan metoda alpha yang nilainya bervariasi dari 0,25 sampai dengan
1,45.
2002 digitized by USU digital library 21
Kendala dalam menentukan nilai c
u
tentunya tidak dijumpai disini. Persoalan
yang ada adalah dalam penentuan berat isi tanah serta penentuan letak dan
fluktuasi muka air tanah yang relatif lebih mudah dilaksanakan.
4.4. Kendala Perkiraan Daya Dukung Dari Data Uji Lapangan
1. Standard Penetration Test (SPT)
Uji SPT merupakan uji lapangan yang hampir selalu di lakukan dalam setiap
proyek. Sayang sekali uji SPT yang memakai kata standard ini ternyata jauh dari
standard. Nilai N-SPT-nya yaitu jumlah pukulan/305 mm ternyata sukar untuk
direproduksi. Artinya bila dilakukan pengujian 2 (dua) kali pada lokasi yang
sama bisa didapat nilai N yang berbeda. Beberapa faktor yang sangat mempengaruhi
hal diatas adalah :
Efek tegangan vertikal efektif tanah (efektive overbuden pressure). Tanah dengan
tingkat kepadatan yang sama akan memberikan nilai N yang lebih kecil bila
terletak dekat dengan permukaan tanah.
Variasi dari tinggi jatuh palu pemukul (hammer) yang seharusnya 760 mm. Hal
ini terutama terjadi pada peralatan SPT yang menggunakan pemukul tidak
otomatis, yaitu peralatan yang menggunakan katrol dan tali yang langsung
diikatkan dengan pemukul dan tinggi jatuh 760 mm hanya ditentukan dengan
pandangan mata.
Berat palu pemukul yang tidak benar-benar 63,5 Kg.
Penetrasi sampler SPT yang tidak mencapai atau lebih dari 1 ft (305 mm)
Gesekan antara pengaruh pemukul dengan pemukulnya pada saat pemukul
dijatuhkan.
Pemakaian sampler SPT yang telah aus ataupun telah mengalami kerusakan.
Kegagalan untuk menempatkan sampler SPT pada tanah yang tidak terganggu
pada dasar lobang bor.
Dasar lobang bor yang kotor
Kegagalan mempertahankan muka air di dalam lobang bor, sehingga terjadi
kerusakan pada struktur tanah di dasar lobang bor.
Ketidak telitian para operator
Ukuran lubang bor yang terlalu besar
Sistem peralatan pemukul yang tidak sama.
Akibat faktor-faktor di atas energi efektif yang tiba didasar tanah yang diuji
akan berbeda-beda. Dalam usaha untuk menstandarisasi-kan uji SPT ini Skempton
(1986) menganjurkan agar pelaksanaan SPT dilakukan secara lebih terkontrol
diantaranya :
Menggunakan teknik pemboran pencucian (wash boring) dengan menggunakan
mata bor trikonus (tricone bit) dan pencucian dengan lumpur bentonit. Air atau
lumpur di dalam lubang bor agar dipertahankan sama dengan permukaan air
tanah.
Pengujian dilakukan di lubang bor yang berdiameter antara 65 mm hingga 150
mm sebaiknya tidak lebih dari 100 mm. Bila digunakan casing. Casing tidak
boleh dipasang hingga lebih bawah dari dasar lobang bor.
Penghitungan nilai N dilakukan dimulai dari 150 mm di dasar lobang bor dengan
assumsi 150 mm tersebut merupakan daerah yang sudah terganggu akibat
pemboran.
Disamping hal tersebut diatas Skempton (1986) juga menganjurkan untuk
mengkoreksni nilai N SPT terhadap energi efektifnya, tegangan vertikal efektif tanah,
ukuran lobang bor dan tipe sampel SPT sebagai berikut :
2002 digitized by USU digital library 22
ES N ER C N
m m n ES
/
) ( 1
=
( 25)
Dimana N
1(ES)
adalah nilai N SPT yang telah dikoreksi/dinormalisasi ke
tegangan vertikal efektif tanah sebesar 1,0 Kg/Cm
2
dan ke standard energi efektif
SPT tertentu. Misalkan energi efektif sebesar RS = 45 %, C
n
adalah faktor koreksi
SPT terhadap tegangan vertikal efektif tanah yang bisa di jumpai pada buku-buku
Mekanika Tanah, antara lain persamaan yang diusulkan oleh Limo & Whitman
(Committee on Earthquake Engineering, 1985) dibawah ini :
) / 10 (
'
v n
C =
( 26)
dengan
'
v
adalah tegangan vertikal efektif tanah dalam t/m
2
, E
rm
adalah energi
efektif uji SPT yang dilakukan yang nilainya dapat diambil dari Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Nisba Energi hasil Uji SPT (Seed dkk, 1984)
Negara Tipe Cara Menjatuhkan Energi Efektif
Asal Pemukul Pemukul Erm (%)
Jepang Donut Jatuh Bebas 78
Donut Tali dan Katrol 67
Dengan Sistem
Pelepas Khusus
Amerika Safety Tali & Katrol 60
Donut Tali & Katrol 45
Energi efektif pada Tabel 4.1. adalah untuk panjang stang SPT sepanjang 10 m atau
lebih (kedalaman uji-panjang stang-1m). Bergantung kepada tipe sampler SPT,
panjang stang (bila < 10 m) dan diameter lobang bor, E
rm
nilai perlu dikoreksi lebih
lanjut dengan mengalikannya dengan faktor koreksi yang diperlihatkan pada Tabel
4.2. Dari uraian diatas jelas bahwa untuk menggunakan persamaan ( 14) dan nilai m
dan n pada Tabel 3.1. perlu diketahui metoda SPT yang dipakai. Koefisien yang
diturunkan oleh Meyerhof berasal dari metoda uji SPT yang dilakukan di Amerika,
umumnya dengan menggunakan sistem tali dan katrol dan palu tipe donut.
Sedangkan di Jepang umumnya dilakukan SPT dengan metoda jatuh bebas. Untuk
kita di Indonesia terdapat kedua jenis SPT tersebut. Jadi agar nilai SPT bisa
dikonversikan ke nilai N ke standar energi tertentu, perlu dinyatakan metoda uji,
sampler dan ukuran lobang bor yang dipakai.
Tabel 4.2. Faktor Koreksi Hasil Uji SPT (Skempton, 1986)
2002 digitized by USU digital library 23
Faktor Koreksi
1. Panjang Stang SPT/Stang Bor
> 10 m 1,00
6m - 10 m 0,95
4m - 6 m 0,85
3m - 4 m 0,75
2. Sampler SPT standard (Standard Sampler) 1,00
Sampler SPT dengan linier
(US Sampler without Linier) 1,20
3. Lobang Bor Diameter :
65 mm - 115 mm 1,00
150 mm 1,05
200 mm 1,15
Items
Kesulitan kini terletak pada kecocokan koefisient-koefisient N yang sangat
empiris itu untuk aplikasi di Indonesia dan di Medan khususnya. Dengan
mengkonversikan nilai N-SPT lapangan ke tegangan efektif sebesar 1 Kg/Cm
2
dan
energi standard 45 %, N
1(45)
dan kemudian menggunakannya untuk perhitungan
kapasitas tiang dan kemudian membandingkannya dengan hasil pembebanan tiang
yang dilakukan hingga tiang mengalami keruntuhan, maka kita memperoleh
koefisient-koefisient sebagai berikut :
- Untuk tiang pancang beton
Tanah kohesif (CH/MH) m=30 n=0,6
Tanah pasiran (SM) m=40 n=0,2
- Untuk tiang bor
Tanah kohesif (CH/MH) m=10 n=0,3
Tanah pasiran (SM) m=13 n=0,1
2. Sondir
Dibandingkan dengan uji SPT, uji sondir memberikan hasil yang lebih utuh
dalam arti Continous dan lebih konsisten. Kendala dalam mengaplikasikan hasil
uji sondir dalam perencanaan pondasi dalam adalah bilamana dijumpai lapisan tanah
keras, misalnya cemented sand, sekalipun dengan menggunakan sondir 10 ton
biasanya tanah ini tidak dapat ditembus. Padahal sering sekali dijumpai lapisan
tanah keras tersebut hanya tipis saja. Untuk mengatasi hal tersebut diatas dapat
dilakukan kombinasi antara SPT dan Sondir. Saat dijumpai tanah yang sangat keras
maka dilakukan uji SPT selanjutnya dibawah lapisan tersebut dilakukan kembali uji
Sondir. Yang terbaik yang dapat dilakukan adalah dilakukan penyondiran dengan
menggunakan sondir yang berkapasitas 20 ton. Kendala lain yang akan dijumpai dari
hasil uji Sondir ini diantaranya efek skala, kecepatan pembebanan, perbedaan dalam
hal cara penetrasi (insertion method) dan posisi dari selimut sontir.
Efek skala terjadi akibat perbedaan ukuran antara pondasi tiang dengan alat
sondir. Ukuran pondasi tiang jauh lebih besar dibandingkan dengan sondir, sehingga
tidak merasakan adanya lapisan tipis yang mempunyai nilai q
c
yang besar (De Beer,
2002 digitized by USU digital library 24
1985, Raharjo, 1990). Akibatnya perlawanan ujung pada tiang rata-rata lebih kecil
daripada yang diberikan oleh sondir.
Pengaruh dalam hal perbedaan kecepatan pembebanan adalah akibat
kecepatan penetrasi. Pada sondir sekitar 2 Cm/det sedangkan pada tiang hanya
berkisar 2,0 mm-2,0 Cm/jam. Saat uji pembebanan, penetrasi pondasi tiang adalah
jauh lebih rendah, sedangkan sifat tanah, khususnya tanah lempung memiliki
semacam viskositas sehingga perlawanan pada pondasi tiang lebih rendah (Briaud,
Garland, 1985).
Perbedaan pada cara penetrasi sondir dan tiang pancang adalah karena pada
sondir penetrasi dilakukan dengan tusukan secara konstan, sedangkan pada pondasi
tiang pancang penetrasinya dilakukan dengan pukulan (secara dinamis). Hal ini
memberikan akibat yang berbeda karena tegangan horizontal yang ada pada cara
penusukan (push in) adalah lebih besar daripada yang dilakukan dengan
pemancangan (Makarim, Briaud, 1986) sehingga gesekannya lebih kecil pada
pondasi tiang pancang.
Lokasi selimut juga amat berpengaruh. Pada sondir, selimutnya berada
langsung dibelakang ujung konus sedangkan pada pondasi tiang kebanyakan
gesekannya berada jauh dibelakang ujungnya. Jelas bahwa tegangan horizontal
adalah maksimum didekat ujung dan menjadi minimum pada titik yang terjauh dari
ujungnya ( Beguelin, j ezequel, 1972, Alard, et al., 1986) . Akibatnya gesekan
selimut pada tiang menjadi lebih kecil dibandingkan pada sondir.
4.5. Pengurangan Kendala-Kendala
Dari uraian diatas, pada dasarnya kendala yang dihadapi dapat dibagi menjadi
dua bagian yaitu penentuan parameter-parameter tanah secara baik agar didapat
hasil yang representatif dan kecocokan koefisient-koefisient empiris yang digunakan.
Untuk mendapatkan parameter-parameter tanah yang representatif, tentunya
prosedur penyelidikan tanah perlu dilaksanakan dibawah pengawasan (minimal
petunjuk) seorang yang mengerti betul tentang prosedure pengujian tanah dari
mulai pemboran, pengambilan contoh tanah, penyimpanan sementara di lapangan,
transportasi ke laboraturium, penyimpanan di dalam laboraturium, pengeluaran
contoh tanah dari dalam tabung contoh, persiapan contoh uji hingga ke pelaksanaan
pengujian di laboraturium. Disamping itu perlu adanya seorang ahli di lapangan yang
bisa segera melihat perubahan-perubahan karakteristik tanah agar bisa menentukan
sampler macam apa yang perlu digunakan untuk suatu kondisi tertentu. Contoh
apakah perlu digunakan piston sampler atau thin wall sampler. Pengujian juga
sebaiknya dilakukan menurut standart tertentu, misalnya ASTM standart. Kiranya
perlu dimengerti betul apa dan mengapa standard itu dibuat demikian, agar bila
diperlukan perubahan yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan. Beberapa
contoh kelalaian/kegagalan dalam mengikuti standard tertentu, umumnya
laboraturium mekanika tanah kita tidak mempunyai ruangan penyimpanan contoh
tanha yang dijaga temperaturnya. Sering sekali contoh tanah tersebut mengalami
penguapan dan kehilangan kadar airnya yang pada gilirannya akan mempengaruhi
karakterisitik tanah tersebut. Contoh lain adalah dalam pelaksanaan SPT dengan
menggunakan sistem katrol dan tali disyaratkan (ASTM) agar panjang gulungan tali
dipemutar (drum) tali tidak lebih dari 2-3 putaran pada saat palu SPT menyentuh
bantalan (anvil) di stang bor SPT. Kenyataannya sering sekali dijumpai putaran tali
yang jauh melebih syarat tersebut. Hal ini mengakibatkan berkurangnya energi
efektif palu. Setelah usaha untuk mendapatkan parameter-parameter tanah, baik
2002 digitized by USU digital library 25
dengan uji di laboraturium mapun di lapangan dilakukan dengan baik. Maka usaha
kedua tentunya mencari apakah koefisient-koefisient dalam persamaan-persamaan
diatas dapat dipakai atau harus disesuaikan.
Ditinjau dari kendala-kendala yang dihadapi dan tingkat kesesuaian pengujian
serta biaya yang dibutuhkan, akan lebih mudah bila diusahakan mencari parameter
betha (). Mengingat pengujian sondir dan SPT biasanya lebih banyak dilakukan dan
terutama untuk tanah pasir dimana mencari nilai sudut geser dalam () sangat sulit.
Maka bilamana data uji pembebanan tiang cukup banyak, mencari koefisient-
koefisient yang lebih tepat menggunakan data SPT dan sondir akan lebih
bermanfaat.
2002 digitized by USU digital library 26
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa metoda-metoda untuk
memperkirakan kapasitas aksial pondasi dalam tidak bisa diaplikasikan begitu saja.
Dengan semakin banyaknya bangunan bertingkat tinggi di kota Medan, tentunya
sangat diperlukan metoda yang bisa memberikan perkiraan daya dukung yang lebih
mendekati kenyataan dan yang didasari atas dasar teori mekanika tanah dan
pengalaman setempat. Agar hal ini dapat dicapai disarankan kepada para pemberi
tugas, konsultan dan kontraktor untuk mengusahakan pemeriksaan tanah lebih
bermutu dan melaksanakan uji pembebanan hingga keruntuhan tercapai.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa para ahli pondasi umumnya sepakat bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku pondasi tiang dan kapasitasnya sangatlah
kompleks untuk dipelajari secara teoritis yang betul-betul mendasar. Pengertian para
ahli pondasi sampai saat ini lebih banyak dipengaruhi pendekatan empiris yang
didasarkan pada hasil pengujian pembebanan. Namun demikan faktor-faktor
kegagalan dapat timbul dari pendekatan yang terlalu teoritis serta kegagalan juga
dapat terjadi akibat pendekatan yang terlalu empiris yang mengabaikan dasar-dasar
teori yang telah terbukti kebenarannya. Seni dan kemampuan geoteknik justru
terletak kepada kemampuan untuk menggabungkan prinsip-prinsi mekanika tanah
dengan pengalaman dan perkiraan.