- Pemahaman tentang realism sesungguhnya beraneka ragam, setiap pemikir realism memiliki
idea yang berbeda (Thucydides, Machiavelli, Hobbes, Morgenthau, Waltz, Mersheimer)
- Namun, untuk mempermudah pemahaman tentang perbedaan realism, perbedaan ini dikarakteristikkan sesuai dengan 2 periode sejarah: 1. Classical realism Berawal dari Thucydides (5 BC), 2. Neo-realisme atau structural realism. yang diprakarsai oleh Kenneth Waltz, dalam bukunya Theory of International Politics (1979).
1. Classical realism Pemahaman classical realism dimulai sejak Thucydides menjelaskan tentang power politics sebagai landasan perilaku natural manusia. Keinginan akan power dan dominasi merupakan hal yang fundamental dalam benak setiap manusia. Perilaku atau perbuatan negara sebagai institusi yang egois dan serakah dipahami sebagai representasi perilaku natural manusia yang mengatur negara. Karakteristik perilaku natural manusia inilah yang menjelaskan tentang politik internasional adalah segala hal berkaitan dengan penguasaan power politics. Menurut Hans J. Morgenthau, dengan adanya landasan inilah, hal-hal seperti competition, fear, and war, dapat dijelaskan di dalam politik internasional. Menurut Morgenthau, politik seperti masyarakat secara umum, adalah diatur dengan tujuan- tujuan hokum yang berasal dari perilaku natural, kebiasaan, atau hal yang fundamental bagi manusia. Point yang paling penting bagi Morgenthau, pertama, harus mengakui bahwa hukum itu exist, kedua, mendesain dan memproduksi kebijakan-kebijakan yang sesuai/konsisten dengan perilaku natural manusia. Bagi Thucydides dan Morgenthau, power-seeking behavior sesebuah negara berakar dari perilaku natural manusia sebagai makhluk yang selalu mencari kekuasaan. Karakteristik yang lain adalah berkenaan dengan power dan ethics. Classical realism pada dasarnya berkenaan dengan struggle for power(perjuangan demi kekuatan) yang terkadang violent (kasar, ganas, bengis). Sikap-sikap patriotic diperlukan oleh masyarakat/warga negara sebuah negara, untuk bertahan dari serangan pihak luar yang mendasari timbulnya prinsip- prinsip sovereignty (kedaulatan) pada abad ke 17. Perbedaan antara classical realism dan realism kontemporer , adalah mereka memberikan pemahaman tentang filosofi moral dan berusaha merekonstruksikan pemahaman tersebut dalam praktek dan kondisi sejarah. Dua pemikir realism yang berpendapat bahwa pemimpin negara dapat dibimbing dengan pertimbangan moral adalah Thucydides dan Machiavelli. Thucydides adalah seorang ahli sejarah tentang Peloponnesian War, yaitu perang antara dua kekuatan besar di kawasan Yunani kuno, Athena dan Sparta. Thucydides menjelaskan bahwa sumber konflik antara kedua city-state ini adalah peningkatan power Athena dan menciptakan fear pada Sparta (Security dilemma). Thucydides menegaskan bahwa national interest setiap negara adalah survival (keberlangsungan hidup), dan perubahan distribusi power (peningkatan power negara lain) adalah ancaman langsung bagi eksistensinya. Kutipan di dalam buku The Peloponnesian war, yang diambil dari Pericles, salah satu pemimpin Athena menyebutkan bahwa, Athena meningkatkan power-nya berdasarkan perilaku fundamental manusia: ambition, fear, self-interest. Berdasarkan pertanyaan, bagaimana seorang pemimpin negara mengambil kebijakan di dalam dunia yang kasar dan liar? Menurut Machiavelli, segala obligasi dan perjanjian dengan negara-negara lain harus dikesampingkan atau dibatalkan apabila security (keamanan) negaranya berada dalam ancaman. Contohnya, kebijakan Hitler menyerang Polandia pada tahun 1939, yang mendiskreditkan treaty of Versailles, yang menghukum Jerman setelah kekalahan pada perang dunia pertama yang berakibat buruk bagi kelangsungan ekonomi dan budaya bangsa Jerman. Hal ini sedikit banyak memiliki keterkaitan dengan pemahaman Machiavelli. Pemahaman yang lain adalah ekspansi atau penjajahan ke atas negara lain adalah legal sebagai proses mendapat security yang lebih besar. Beberapa pemikir classical realism yang lain seperti Butterfield, Carr, Morgenthau dan Wolfers, percaya bahwa kondisi anarki dapat di mitigasi oleh kepemimpinan yang bijak dan fokus dengan kepentingan national yang sesuai dengan world/international order. Mereka berfikir bahwa mengambil kebijakan yang hanya berdasarkan pada power dan self-interest tanpa adanya pertimbangan moral dan prinsip ethics dapat menyebabkan kerugian bagi negara. 2. Neo-realism/structural realism Menurut Neo-realist, perjuangan untuk mendapatkan kekuatan dan kekuasaan adalah dilandasi oleh kompetisi security dan konflik antar negara-negara yang berasal dari tidak adanya badan yang berdaulat di atas negara, dan distribusi power yang relative di dalam system internasional. Menurut Waltz, internasional system terdiri dari 3 element: - Organizing principle (prinsip pengaturan) Anarki, yang berkaitan dengan system politik internasional Hierarchy, dimana adanya negara yang kecil dan ada yang kuat - Differentiation of units (perbedaan antar unit) Dalam system internasional, negara yang berdaulat merupakan actor/unit utama (state actor). Namun, non-state actor juga memiliki peran dalam menjelaskan fenomena-fenomena internasional. - Distribution of capabilities (distribusi kemampuan) Menurut Waltz, Distribusi kemampuan (distribution of capabilities) antar actor merupakan hal yang fundamental dalam menjelaskan dan memahami fenomena-fenomena internasional.
Menurut neo-realist, distribusi power yang relative dalam system internasional adalah independent variable yang paling utama dalam menjelaskan lahirnya fenomena-fenomena internasional seperti perang dan damai, politik aliansi dan balance of power (perimbangan kekuatan). Neo-realist, tertarik untuk melihat hirarki negara-negara di dunia untuk dapat membedakan dan mempetakan negara-negara berkuasa di dunia, sehingga dapat menyediakan gambaran struktur system internasional. - Menurut Waltz, power adalah means, dan security (keamanan) adalah ends. Ia berpendapat bahwa, dalam situasi yang krusial, kepentingan negara yang terpenting bukanlah power, namun security (Waltz. Man, State and War, 1989). Jadi, negara seharusnya menjadi insitusi yang security maximizers, daripada power maximizers. Ia berpendapat bahwa, terlalu agresif dalam mengejar power dapat menyebabkan disfungsional karena dapat memicu counter-balancing (perimbangan kekuatan) dari negara lain. Faham Waltz juga dikenal sebagai defensive realism.
- Dinamika lain mengenai power dalam system internasional, dijelaskan oleh John Mersheimer dalam theorynya yang dikenal dengan offensive realism yang merupakan variasi lain di dalam neorealism. Element teori ini banyak memiliki persamaan dengan Defensive realism seperti yang dikemukakan oleh Waltz. Mersheimer, memiliki perbedaan dengan Waltz dalam menjelaskan behavior (perilaku) negara-negara. Yang paling fundamental adalah, offensive realism dan defensive realism memiliki perbedaan dalam pertanyaan seberapa besar power yang di inginkan oleh negara. Menurutnya, struktur system internasional memaksa negara-negara untuk memaksimalkan power politics mereka. Dalam system yang anarki, self-help (swadaya) adalah prinsip dasar dalam segala kebijakan yang diambil. Ia juga berpendapat, bukan hanya semua negara memiliki kemampuan militer, namun tidak tetutup kemungkinan bahwa di antara negara-negara tersebut memiliki niat untuk menyerang negara lain. Hematnya, semua negara secara continue selalu mencari kesempatan untuk mendapatkan power yang terkadang berasal dari negara lain.
Mersheimer beranggapan bahwa negara seharusnya mengakui bahwa jalan menuju perdamaian yang hakiki adalah dengan mencari dan mengumpulkan power daripada negara lain. Mersheimer sebenarnya mengimpikan akan adanya global hegemony dalam system international, tapi di lain hal ia juga merasa pesimistis akan hal tersebut. Oleh karena itu, ia berkesimpulan bahwa dunia akan selalu menjadi arena kompetisi para great power.