Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS TENTANG SYARAT-SYARAT NIKAH

(WALI)

A. Imam Syafii
Menurut imam Syafii, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah,
yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan
tidak sah. Bersamaan dengan ini, Imam Syafii juga berpendapat wali dilarang
mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang
wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan imam Syafii
adalah :
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan
cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik
bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
(Q.S. Al-Baqarah : 232)
Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang
lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita
yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil
laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri
dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka
atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang
takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara
kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Q.S.An-Nisa : 25)
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S. An-Nisa : 34)
Menurut Imam Syafii bapak lebih berhak menentukan perkawinan
anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang
menyatakan janda lebih berhak kepada dirinya. Sehingga menurut Syafii
izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar pilihan. Adapun
perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan.
Hal ini didasarkan pada kasus al-khansaa.

B. Imam Maliki
Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari
keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi tidak dijelaskan secara
tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya.
Meskipun demikian imam malik tidak membolehkan wanita menikahkan
diri-sendiri, baik gadis maupun janda.
Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik
membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu
ada persetujuan secara tegas sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau
janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami, maka jika bapak
sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak
memilki hak ijbar.

C. I mam Hambali
Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada
dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad
nikah. Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum
yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya
butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang umum harus
didahulukan dari dalil khusus.
Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan
gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan
syarat sekufu. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada
dalam perkawinan.

D. Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah, Zufar, Asy Sya`bi dan Az-Zuhri berpendapat
bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang
calon suaminya sebanding (kufu`), maka pernikahannya boleh.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf malahan mengatakan bahwa wabita yang
baligh lagi berakal boleh menikahkan dirinya dan anak perempuannya yang
masih belum dewasa (kecil) dan dapat pula sebagai wakil dari orang lain.
Tetapi sekiranya wanita itu ingin kawin dengan seorang laki-laki yang tidak
kufu, maka wali dapat menghalanginya.
Para wali juga dapat menghalangi pernikahan, bila maharnya lebih
kecil (rendah) dari mahar yang biasanya berlaku (dipandang tidak wajar).
Sekiranya wanita itu tidak mempunyai wali (dalam kedudukannya
sebagai ahli waris) dan yang ada hanya wali hakim saja umpamanya, maka
wali itu tidak ada hak untuk menghalangi wanita itu menikah dengan laki-laki
yang tidak kufu dan maharnya lebih kecil (rendah) sekalipun, karena
wewenang berada di tangan wanita itu sepenuhnya. Kendatipun tidak kufu
kufu dan maharnya kecil, tidak ada yang menanggung malu dari keluarganya
(walinya).
Sebagai landasan yang dikemukakan oleh golongan Hanafiyah adalah
firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 230, yaitu:
Suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu
tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian
jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-
hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Q.S.
Al-Baqarah : 230)
Kemudian juga firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 234
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat. (Q.S. Al-Baqarah : 234)
Menurut golongan ini, ayat pertama dan kedua ditujukan (khitab)
kepada suami, buka kepada wali (pendapat jumhur). Sedangkan ayat ketiga
jelas, bahwa wewenang itu berada pada diri wanita itu. Para wali tidak
dipersalahkan (berdosa). Bila si wanita itu bertindak atas namanya sendiri.
Menurut golongan Hanafiyah, keberadaann wali dalam suatu perkawinan
hukumnya sunat. Setelah melihat kedua pendapat yang berbeda, maka Abu
Tsaur (salah seorang fakih golongan Syafi`iyah) mengemukakan pendapatnya,
bahwa suatu perkawinan dilangsungkan sesudah disetujui bersama oleh wanita
dan walinya.

E. Jumhur Ulama
Salah satu rukun nikah adalah wali. Karena wali termasuk rukun, maka
nikah tidak sah tanpa ada wali. Demikian pendapat Jumhur Ulama. Hal ini
berarti ada juga pendapat yang memandang sah suatu perkawinan tanpa ada
wali. Dasar yang dipergunakan oleh Jumhur Ulama yang berpendapat bahwa
perkawinan tidak sah tanpa adanya wali yaitu firman Allah dalam Surah al-
Baqarah ayat 232.
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan
cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik
bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
(Q.S. Al-Baqarah : 232)
Apabila seorang wanita ditalak oleh suaminya, maka setelah habis
iddah-nya, si wanita itu bolah lagi kawin dengan bekas suaminya (ada
ketentuannya sesudah talak tiga/talak baa`in), atau laki-laki lain. Para wali
tidak boleh menghalangi atau melarang bila ada kesepakatan antara kedua
calon mempelai.
Ayat di atas menunjukkan, bahwa kedudukan dan keberadaan wali itu
memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh diabaikan. Apabila telah
mendapatkan izin dari wali, namun oleh beberapa sebab, (tempat tinggal jauh,
dalam tahanan dan sebagainya), wali itu tidak dapat secara langsung
menikahkannya, maka hakimlah yang menjadi walinya.
Demikian juga si wanita tidak boleh mewakilkan kepada seseorang
untuk menikahkan dirinya, karena dia tidak mempunyai wewenang untuk itu.
Menurut Al-Hakim, Hadis istri Rasulullah seperti Aisyah, Ummu Salamah,
Zainab mencapai tiga puluh Hadis mengemukakan tentang wali dalam
pengertian yang sama, walaupun redaksinya berbeda. Oleh Ibnu Mundzir
ditegaskan lagi, bahwa dia tidak melihat salah seorang sahabatpun
menyalahinya. Di antara sahabat yang berpegang kepada Hadis (tidak sah
nikah tanpa wali), adalah Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin
Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Mas`ud dan Aisyah.
Dari kalangan Tabi`in, yaitu di antaranya; Sa`iid bin Musayyah, Hasan
Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha`I, Umar bin Abd. Aziz. Selain ulama-
ulama tersebut, kita lihat pula; Sofyan As-Tsaury, Auzaai`y, Abdullah ibn
Mubarak, Syafi`I, Ibnu Syubramah, Ahmad, Ishak, Ibnu Hazm, Ibnu Abi
Laila, At-Thavary dan Abu Tsaur, yang sejalan dengan pendapat mereka
dengan para sahabat yang telah disbutkan di atas.

ANALISIS TENTANG DZAWIL ARHAM

Dalam masalah kewarisan Dzawi al-arham ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama sejak masa sahabat, tabiin, para ahli fikih, dan para ulama
setelahnya. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Dzawi al-Arham bisa
mendapatkan warisan, namun di antara mereka ada juga yang mengatakan bahwa
mereka tidak bisa mendapatkan warisan.
Di kalangan sahabat yang mengatakan bahwa Dzawi al-Arham bisa
mendapatkan warisan adalah Ali ibn Abi Thalib, Ibn Masud, Ibn Abbas, Muadz
ibn Jabal, Abu al-Darda, dan Abu Ubaidah ibn al-Jarah. Sedangkan di kalangan
Tabiin adalah Syuraih, Ibn Sirin, Atha, dan Mujahid. Sedangkan di antara mereka
yang mengatakan bahwa Dzawi al-Arham tidak dapat mewarisi di kalangan
sahabat adalah Zaid ibn Tsabit, Ibn Abbas, Said ibn Musayyab, dan Said ibn
Jubair.
Fuqaha yang mengatakan bahwa Dzawi al-Arham bisa mendapatkan
warisan adalah Abu Hanifah, Imam Ahmad dan para ulama Syafii dan Maliki
belakangan. Sedangkan Fuqaha yang mengatakan bahwa Dzawi al-Arham tidak
bisa mendapatkan warisan adalah Sufyan al-Tsauri, ulama madzhab Syafii dan
Maliki awal.
DASAR HUKUM
Dasar hukum yang digunakan oleh para ulama yang mengatakan tidak
adanya kewarisan Dzawi al-Arham adalah bahwa 1) Allah SWT hanya mengatur
kewarisan Dzawi al-Furudl dan Ashabah. Allah tidak mengatur sama sekali
kewarisan Dzawi al-Arham ini, padahal Allah SWT telah berfirman: (
) Tidaklah mungkin kalau Allah lupa akan sesuatu (Maryam: 64). Dengan
1demikian, menambahkan Dzawi al-Arham sebagai ahli waris merupakan
penciptaan syariat (tasyr) yang merupakan hak prerogatif Allah dan Rasul-Nya
dan 2) Rasulullah saw pernah ditanya mengenai kewarisan bibi dari ayah dan bibi
dari ibu, kemudian Rasulullah menjawab: (
) Jibril datang kepadaku dan memberitahukan bahwa tidak ada bagian
warisan untuk bibi dari ayah dan bibi dari ibu
Sementara dasar hukum yang digunakan oleh orang yang menyatakan
bahwa Dzawi al-Arham bisa mendapatkan warisan adalah 1) Firman Allah yang
menyatakan: ( ) Dan Ulu al-Arham yang satu
dengan yang lain ada yang lebih utama dalam kitab Allah (al-Anfal: 75). Ayat ini
menunjukkan bahwa di antara kerabat Dzawi al-Arham secara umum ada yang
lebih utama di antara mereka. Oleh karena itu, ketika tidak ada sifat khusus ahli
waris Dzawi al-Furudl atau Ashabah, maka Dzawi al-Arham berhak maju sebagai
ahli waris, karena dia juga masih kerabat Dzu Rahm.
2) Rasulullah saw pernah bersabda: (
) Allah dan Rasul adalah tuan orang yang tidak memiliki tuan dan
paman dari ibu adalah ahli waris bagi orang yang tidak memiliki ahli waris dan
Rasulullah juga pernah bersabda: ( ) Paman
dari ibu adalah ahli waris bagi orang yang tidak memiliki ahli waris, dia mewarisi
dan membayara denda baginya ketika dia berbuat pidana.
Di kalangan para ulama madzhab, para ulama Maliki belakangan
berpendapat bahwa dzawi al-arham dapat mewarisi apabila tidak ada ahli waris
dzawi al-furudl maupun ashabah dan ketika tidak ada imam yang adil. Para ulama
Syafiiyah belakangan berpendapat bahwa apabila Baitul Mal belum terbentuk,
maka dzawi al-arham dapat mewarisi ketika tidak ada ahli waris dzawi al-furudl
dan ashabah.
Para ulama sepakat bahwa apabila ada ahli waris dzawi al-furudl yang
tidak menghabiskan harta, maka sisa harta diradd kan kepada ahli waris dzawi al-
furudl. Ahli waris dzawi al-arham baru bisa mendapatkan warisan apabila tidak
ada ahli waris dzawi al-furudl dan ashabah. Atau ada ahli waris dzawi al-furudl
namun tidak dapat mendapatkan radd seperti suami atau isteri.
Bagi para ulama yang berpendapat bahwa dzawi al-arham dapat menerima
warisan, mereka sepakat apabila ahli waris dzawi al-arham tersebut hanya
seorang, maka ahli waris tersebut menghabiskan harta warisan yang ada, namun
ketika ahli waris dzawi al-arham tersebut banyak, maka para ulama berbeda
pendapat mengenai cara kewarisannya dalam tiga madzhab; madzhab ahl al-
qarabah, madzhab ahli al-rahm, dan madzhab ahli al-tanzil.
Madzhab Ahl al-Qarabah
Madzhab ini berpendapat bahwa ahli waris dzawi al-arham memiliki
kekuatan kekerabatan yang berbeda antara satu sama lain sebagaimana yang
terjadi pada ahli waris ashabah. Ketentuan dalam madzhab ini adalah ahli waris
dzawi al-arham yang lebih dekat dengan si mayit akan menyingkirkan ahli waris
dzawi al-arham yang lebih jauh. Pendapat ini dianut oleh Madzhab Hanafi,
Madzahab Hanbali, dan Madzhab Syafii
Dzawi al-Arham menurut madzhab ini ada empat kelompok; kelompok
bunuwwah, ubuwwah, ukhuwwah, dan umumah. Menurut Abu Hanifah urutan
dzawi al-arham yang mendapatkan warisan adalah: ubuwwah, bunuwwah,
ukhuwwah, dan umumah. Sementara menurut riwayat dari Abu Yusuf urutannya
adalah:
1. Bunuwwah, yaitu anak keturunan mayit dari jalur perempuan seperti cucu dari
anak perempuan dan seterusnya ke bawah dan cicit dari cucu perempuan dari
anak laki-laki.
2. Ubuwwah, yaitu orang-orang yang menurunkan mayit seperti kakek dari ibu
dan seterusnya ke atas, buyut laki-laki dari kakek dari ibu dan nenek yang
termasuk dzawi al-arham dan seterusnya ke atas.
3. Ukhuwwah, yaitu orang yang dihubungkan dengan kedua orang tua mayit.
Mereka adalah anak dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah baik
laki-laki atau perempuan, baik saudara perempuan sekandung, seayah,
maupun seibu; dan anak perempuan dari saudara laki-laki, baik saudara laki-
laki sekandung, seayah, maupun seibu.
4. Umumah, yaitu orang yang dihubungkan dengan kakek dan nenek si mayit
seperti bibi secara keseluruhan, paman seibu sebagaimana urutan ahli waris
ashabah.
Madzhab Ahl al-Tanzil
Madzhab Ahl al-Tanzil adalah memperlakukan ahli waris dzawi al-arham
seperti ahli waris dzawi al-furudl yang menghubungkannya dengan si mayit.
Seperti memperlakukan cucu dari anak perempuan atau cicit dari cucu perempuan
dari anak laki-laki dengan ibu mereka masing masing, yaitu anak perempuan dan
cucu perempuan dari anak laki-laki. Pendapat ini dianut oleh Imam Syafii dan
Imam Ahmad.
Madzhab Ahl al-Rahm
Madzhab Ahl al-Rahm adalah madzhab yang mempersamakan dzawi al-
arham secara keseluruhan. Madzhab ini tidak membeda-bedakan antara keempat
kelompok; bunuwwah, ubuwwah, ukhuwwah, dan umumah. Ketika dalam
pembagian warisan, keempat kelompok dzawi al-arham ini ada semua, maka
masing-masing memiliki bagian yang sama. Pendapat ini dianut oleh Hasan ibn
Maisir dan Nuh ibn Dzarah, di antara imam madzhab tidak ada yang memegang
pendapat ini.

ANALISIS TENTANG PEWARIS HUMALA

Anda mungkin juga menyukai