Salah satu lembaga penting dalam negara dengan sistem demokrasi adalah media yang terbuka, bebas, dan beragam. Peran media dalam mendukung publik di antaranya adalah dengan memperluas ruang debat, mengukur informasi dan ide-ide sebagai dasar pendapat publik, menghubungkan rakyat dengan pemerintah, serta memperluas kebebasan dan keberagaman publikasi. Sayangnya, kenyataan yang terjadi berbeda dengan sistem yang ditetapkan. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan terhadap media. Ketidakpuasan terhadap media inilah yang kemudian melahirkan perspektif teoritis yang berbeda tentang peran media. Pertama, Teori Media Emansipatoris. Teori ini merupakan cabang Teori Kritis yang melahirkan media skala kecil (grass-roots communication) yang independen, sebagai bentuk perlawanan dari dominasi media-media massa mainstream. Teori ini memiliki dua tujuan utama, yaitu untuk menyuarakan secara langsung suara oposisi secara vertikal dari tempat yang bawah (subordinate) pada struktur kekuasaan dan aturan/perilaku; dan untuk membangun dukungan, solidaritas dan jaringan lateral melawan kebijakan tertentu yang sering digunakan untuk membangkitkan suatu gerakan sosial yang baru (new social movement). Kedua, Teori Komunitarian dan Media. Komunitarian menekankan kembali ikatan sosial yang menghubungkan antar masyarakat. Media dan khalayak saling berbagi karakter, khususnya berbagi identitas sosial dan tempat(komunitas). Selain itu, teori ini juga lebih menekankan pada etika media yang sangat penting yaitu berdialog dengan publik/masyarakat. Menurut Teori Komunitarian, media memiliki peran/tugas yang lebih besar di masyarakat yaitu transformasi masyarakat. Revitalisasi masyarakat terbentuk oleh norma-norma komunitas/kelompok masyarakat yang menjadi arah tujuan media. Berita menjadi agen transformasi komunitas.
Model Teori Normatif
Ada empat model yang ditawarkan oleh Teori Normatif Media. Pertama, Model Pasar atau Pluralis-Liberalis. Model ini mengindentifikasi kebebasan pers melalui kebebasan memiliki dan menjalankan usaha penerbitan media/pers tanpa campur tangan dari negara. Ruang publik disuguhkan oleh ide kebebasan berekspresi media/pers (free marketplace of idea). Kedua, Model Kepentingan Umum atau Tanggung Jawab Sosial. Hak kebebasan media/pers dibarengi dengan kewajiban terhadap masyarakat luas sehingga kebebasan media/pers harus melibatkan tujuan-tujuan sosial. Tanggung jawab media mempertahankan standar/mutu yang tinggi melalui swa-regulasi (self-regulation) tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Ketiga, Model Profesional. Model ini memfokuskan media sebagai sarana dalam melayani kebutuhan masyarakat akan informasi/saran/pendapat serta wadah untuk mengekspresikan keberagaman ide dan cara pandang. Otonomi institusi dan profesional jurnalisme dapat menjaga atau mengawasi jalannya kekuasaan. Keempat, Model Media Alternatif. Dalam model ini terdapat pembagian nilai, khususnya penekanan pada skala kecil dan organisasi akar rumput, partisipasi, komunitas, dan tujuan bersama. Selain itu, model ini juga menekankan pada hak-hak sub budaya beserta nilai partikularistiknya dan mengembangkan pemahaman intersubjektif dan kesadaran nyata masyarakat/komunitas.
Media Massa, Masyarakat Sipil dan Ruang Publik The Structural Transformation of Public Sphere menjadi sebuah trigger penting mengenai konsep ruang publik khususnya dalam hubungannya dengan media massa (Habermas, 1962 dikutip dalam McQuail, 2010: 179). Menurut Habermas yang juga seorang tokoh Mazhab Frankfut, ruang publik muncul untuk mencari sebuah kondisi ideal akan adanya sebuah ruang yang menjadi mediasi antara masyarakat dan negara di mana publik mengatur dan mengorganisirnya sendiri sebagai pemilik opini publik (Calhoun, 1993: 112-113). Habermas menjelaskan secara definitf bahwa ruang publik merupakan sebuah wilayah sosial yang bebas dari adanya sensor dan dominasi. ...semua warga masyarakat pada prinsipnya boleh memasuki ruang tersebut. Mereka sebetulnya adalah pribadi-pribadi, bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan pejabat atau politikus, tetapi percakapan mereka membentuk suatu opini publik, sebab bukan soal-soal pribadi mereka yang dipercakapkan, melainkan soal-soal kepentingan umum, yang dibicarakan tanpa paksaan. Dalam situasi ini individu-individu berlaku sebagai publik, sebab mereka memiliki jaminan untuk berkumpul dan berserikat dan menyatakan serta menyampaikan di depan umum pendapat-pendapat yang mereka miliki secara bebas dan tanpa tekanan (Holub, 1995: 101-102).
Namun, konsep ruang publik yang pertama kali ditulis oleh Habermas dalam karyanya The Structural Transformation of Public Sphere (1962) hanya mengarah pada ruang publik borjuis (elitis) sehingga tidak dapat mengakomodir kelas akar rumput (grass root), selain alasan tersebut, konstelasi politik dan hukum yang selalu dinamis membuat karya awalnya memiliki keterbatasan waktu. Kemudian, pada tahun 1992 Between Facts and Norms lahir, yang kemudian melahirkan konsep ruang publik dalam kerangka demokrasi deliberatif (Prasetyo, 2012; 170). Kemudian, konsep ruang publik dalam kerangka demokrasi deliberatif memberikan ruang terbuka bagi masyarakat sipil (civil society) atau para individu warga negara (citizen) untuk melakukan diskusi dan saling kontrol komunikasi secara lebih terbuka dan partisipatif. Konsepsi demokrasi deliberatif menghendaki akan pentingnya proses pemberian suatu alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau lewat diskursus publik 1 . Selain itu, konsep penting lainnya yang muncul sebagi respon dan kritik akan idealnya sebuah ruang publik
1 Baca Demokrasi Deliberatif: Model untuk Indonesia Pasca-Soeharto?, F. Budi Hardiman, dalam Basis, no. 11-12, Nov-Des 2004, hl. 18