Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN
Kenaikan harga minyak di pasar dunia telah menimbulkan dampak
negatif bagi perekonomian pada banyak negara termasuk Indonesia.
Sekalipun Indonesia merupakan negara yang mempunyai sumber minyak
bumi yang cukup berlimpah namun sebagai anggota OPEC menimbulkan
konsekuensi terhadap Pemerintah untuk menaikkan harga jual minyak ke luar
negeri maupun dalam negeri. Kenaikan harga minyak ini kemudian telah
menyebabkan efek domino kenaikan harga-harga terhadap berbagai aspek
komoditi dalam negeri yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar
minyak dan transportasi.
Kenaikan harga bahan bakar minyak, transportasi dan barang-barang
kebutuhan pokok dirasakan dampaknya oleh semua lapisan masyarakat
tetapi tentunya yang paling berat merasakannya adalah kelompok
masyarakat ekonomi lemah. Kenaikan harga berbagai kebutuhan yang tidak
diantisipasi dengan upaya peningkatan kemampuan daya beli telah
menyebabkan masyarakat miskin terancam keberlangsungan hidupnya.
Tekanan berat yang paling dirasakan oleh masyarakat miskin utamanya
adalah pada tingginya harga bahan bakar untuk kebutuhan memasak sehari-
hari, biaya transportasi (ke sekolah, ke kantor) dan harga barang-barang
kebutuhan pokok yang semakin mahal.
Dalam rangka menanggulangi dampak kenaikan harga bahan bahar
minyak yang dirasakan memberatkan masyarakat miskin maka Pemerintah
telah menetapkan kebijakan untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai
(BLT) Plus. Bantuan ini terdiri dari uang tunai sebesar Rp. 100.000,- (Seratus
Ribu Rupiah) serta bahan kebutuhan pokok berupa gula pasir (putih) dan
minyak goreng yang diberikan setiap bulan kepada 19,1 juta keluarga sangat
miskin hasil verifikasi data oleh Badan Pusat Statistik.
Kebijakan dan penyaluran bantuan yang direncanakan Pemerintah
akan dilaksanakan setelah penetapan dan pengumuman kenaikan harga
bahan bakar minyak ini menimbulkan reaks
i pro dan kontra dari berbagai
lapisan masyarakat. Banyak pihak yang meminta agar Pemerintah tidak
meluncurkan bantuan tersebut tetapi menunda penetapan kenaikan harga
bahan bakar minyak. Pihak lain menyatakan bahwa sebaiknya Pemerintah
memberikan bantuan dalam bentuk program-program padat karya. Tidak
sedikit pula pihak yang menyatakan bahwa bantuan langsung tunai (BLT)
plus merupakan upaya suap politik yang dilakukan oleh Pemerintah yang
sedang berkuasa untuk meredam gejolak sosial masyarakat sekaligus
menyiapkan jalan menuju suksesi pada tahun 2009. Pemerintah dalam
menghadapi berbagai reaksi tersebut nampaknya telah membulatkan niat
untuk tetap menaikkan harga bahan bakar minyak dan menyalurkan bantuan
langsung tunai (BLT) plus. Berbagai persiapan telah dilakukan untuk
pencairan dana dan penyalurannya kepada masyarakat sebagaimana telah
disampaikan oleh Menteri Sosial dan para Menteri terkait kepada publik
melalui media masa dan berbagai forum. Pada kesempatan ini, penyusun
mencoba menganalisis kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT)
Plus tersebut dari berbagai sudut pandang, baik dari Pemerintah maupun
berbagai kalangan masyarakat.

II. LATAR BELAKANG PENETAPAN KEBIJAKAN PENYALURAN BANTUAN
BLT PLUS DAN PERMASALAHANNYA
A. KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK
Indonesia merupakan negara penghasil minyak bumi yang cukup
potensial sehingga dapat diekspor keluar negeri dan merupakan salah
satu penghasil devisa terpenting bagi negara pada masa orde baru.
Beberapa tahun terakhir ini minyak bumi tidak lagi dapat diandalkan
sebagai penunjang utama perekonomian negara karena :
1. Sumber daya alam minyak bumi merupakan salah satu sumber daya
alam yang tidak dapat diperbaharui atau diremajakan. Eksploitasi
terus menerus terhadap sumber daya alam minyak bumi menyebabkan
sumber tersebut akan habis pada suatu masa tertentu.
2. Pada masa orde baru Pemerintah sangat mengandalkan sektor
sumber daya alam minyak bumi sebagai tiang utama perekonomian
negara sehingga kurang memperhitungkan cadangan sumber daya
alam tersebut untuk masa-masa yang akan datang.
3. Pemerintah cenderung terlambat untuk menyadari dan menetapkan
kebijakan penghematan minyak bumi sebagai sumber energi (bahan
bakar atau pembangkit listrik).
4. Kebijakan Pemerintah dalam menetapkan pemberian subsidi bahan
bakar untuk masyarakat, utamanya dunia usaha pada masa orde baru
kurang didasari perhitungan dan analisis ekonomi yang cermat
sehingga ketika terjadi krisis moneter dan kenaikan harga minyak di
pasar dunia menyebabkan Pemerintah merasa terbeban dengan
jumlah subsidi yang harus disediakan.
5. Belum ditemukan titik-titik sumber daya alam minyak bumi yang baru di
wilayah Indonesia.
6. Beberapa titik sumber daya alam minyak bumi baru sudah ditemukan
membutuhkan biaya besar dan tenaga ahli untuk mengekplorasinya
sedangkan kemampuan Indonesia sangat terbatas untuk
melakukannya. Melibatkan investor asing dalam upaya eksplorasi
tersebut akan menambah beban hutang negara karena biaya yang
harus dikeluarkan akan lebih besar dari hasil atau keuntungan yang
didapat.
Sesungguhnya minyak bumi yang tersedia di Indonesia dapat
mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri namun pada 10 tahun terakhir
ini sering terjadi kelangkaan bahan bakar minyak dan bahkan terjadi
kenaikan harga yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan oleh :
1. Indonesia merupakan anggota OPEC, di mana organisasi ini telah
menetapkan harga beli dan jual minyak bumi di pasaran dunia.
Standart harga jual tersebut tidak saja berlaku untuk harga ekspor dan
impor tetapi juga termasuk untuk harga jual dalam negeri masing-
masing negara anggotanya.
2. Sekalipun tidak lagi diandalkan menjadi komoditi eksport utama tetapi
minyak bumi masih tetap merupakan sektor yang menunjang
perekonomian negara. Oleh karena itu Indonesia masih harus tetap
mengeksport minyak bumi ke pasaran dunia.
3. Banyaknya spekulan di bidang perekonomian, pihak-pihak yang
sengaja menimbun bahan bakar minyak untuk meningkatkan harga
jual dan persaingan bisnis yang tidak sehat.
4. Kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi yang cenderung
mendahulukan kepentingan pemilik modal dan investor asing.
B. KEMISKINAN DAN BEBAN MASYARAKAT AKIBAT KENAIKAN
HARGA BAHAN BAKAR MINYAK
Krisis multi dimensional yang berawal pada tahun 1997, disusul
dengan carut marutnya perekonomian Indonesia pasca runtuhnya rezim
orde baru telah menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia jatuh
dalam lingkaran kemiskinan. Kelompok-kelompok masyarakat ekonomi
lemah bahkan terpuruk di bawah garis kemiskinan yang kronis. Penduduk
miskin yang semula berjumlah 34,91 juta (BPS, 1999) meningkat menjadi
47,97 juta. Situasi dan kondisi perekonomian Indonesia belum pulih ketika
tahun 2001 harga minyak bumi di pasaran dunia mulai mengalami
kenaikan secara bertahap. Pada saat itu Pemerintah mulai mengurangi
subsidi bahan bakar minyak untuk masyarakat dan memberikan
kompensasi dalam bentuk Program Penanggulangan Dampak
Pengurangan Subsidi BBM (PPDPBBM) pada 11 sektor termasuk bidang
Kesejahteraan Sosial. Berbagai program di bidang perekonomian,
kesejahteraan sosial dan berbagai bidang lainnya termasuk Program
Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi BBM ini dipandang cukup
membantu dalam menstabilkan kondisi perekonomian masyarakat. Hal ini
terbukti dari jumlah penduduk miskin yang semula 47,97 juta turun
menjadi 38,40 juta (BPS, 2002).
Pada tahun 2005, harga minyak bumi di pasar dunia kembali
mengalami kenaikan. Hal ini membawa konsekuensi bagi Pemerintah
Indonesia untuk menyetarakan harga jual minyak di pasaran dunia dan
dalam negeri. Kenaikan harga bahan bakar di dalam negeri lebih
disebabkan kepada kebijakan Pemerintah yang lagi-lagi mengurangi
subsidi untuk penyediaan bahan bakar bagi masyarakat. Potensi gejolak
sosial yang terjadi pada saat itu dapat dikendalikan dengan kebijakan dan
kompensasi yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat, yaitu
bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp. 100.000,-bulan (Seratus Ribu
Rupiah per bulan) kepada 19,1 juta keluarga miskin selama 1 tahun.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penetapan data penerima
bantuan BLT dan proses penyalurannya justru menimbulkan berbagai
konflik di antara Pemerintah dan Masyarakat maupun di antara
Masyarakat itu sendiri walaupun dalam skala yang relatif kecil.
Pada pertengahan tahun 2007 dan memasuki tahun 2008, harga
minyak di pasaran dunia kembali melambung hingga mencapai US $ 130
per barrel. Pemerintah kembali dihadapkan pada situasi dan kondisi yang
dilematis. Pengurangan dan bahkan pengurangan subsidi bahan bakar
minyak untuk masyarakat dipandang sebagai satu-satunya jalan untuk
mengurangi beban negara dan menghemat devisa. Di sisi lain,
pengurangan subsidi tersebut akan menyebabkan kenaikan harga bahan
bakar dalam negeri yang kemudian berdampak terhadap kenaikan biaya
transportasi, harga bahan-bahan kebutuhan pokok dan berbagai komoditi
lainnya.
Masyarakat miskin (rumah tangga) adalah kelompok yang paling
merasakan beban berat akibat kenaikan bahan bakar minyak.
Meningkatnya biaya untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak
diimbangi dengan peningkatan pendapatan atau kemampuan daya beli
menyebabkan masyarakat semakin terpuruk dalam kondisi yang miskin
dan menjerat. Kerentanan terhadap gejolak ekonomi dan rendahnya
kemampuan daya beli masyarakat merupakan permasalahan yang sudah
terjadi sejak lama di Indonesia dan semakin berlarut-larut dengan adanya
kenaikan harga BBM. Ini terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :
1. Masyarakat kurang disiapkan sejak awal untuk menggunakan energi
secara hemat dan tidak diarahkan untuk menggunakan sumber energi
alternatif.
2. Subsidi terhadap bahan bakar minyak yang disediakan oleh
Pemerintah selama ini cenderung menyebabkan masyarakat menjadi
ketergantungan dan tidak menyadari bahwa pengurangan atau
penghentian subsidi tersebut akan menyebabkan peningkatan harga
yang sangat signifikan.
3. Kebijakan Pemerintah di bidang perekonomian yang selalu berpihak
pada kelompok pemilik modal dan lemahnya kinerja jajaran birokrasi
dalam mengawasi kompetisi dunia usaha sehingga seringkali kenaikan
harga-harga bahan kebutuhan pokok di pasar dalam negeri meningkat
secara signifikan dan tidak seimbang terhadap kenaikan bahan bakar
minyak yang terjadi. Hal ini menyebabkan (life cost) yang harus
ditanggung oleh masyarakat menjadi semakin tinggi.
4. Kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin
juga terbukti dari minimnya alokasi anggaran untuk program-program
peningkatan kesejahteraan rakyat/kesejahteraan sosial.
5. Sarana dan prasarana pelayanan publik yang sangat terbatas dan tidak
diimbangi dengan pemeliharaan yang memadai sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat (misalnya sarana transportasi
umum).
6. Terbatasnya pelayanan-pelayanan sosial dasar (kesehatan,
pendidikan, perumahan dll) yang disediakan oleh Pemerintah.
Penyelenggaraan pelayanan sosial dasar ini bahkan cenderung
diserahkan kepada pihak swasta sehingga biayanya relatif mahal dan
seringkali menimbulkan kompetisi yang tidak sehat di antara pelaku
bisnis.
C. PENETAPAN KEBIJAKAN PEMBERIAN BANTUAN TUNAI LANGSUNG
(BLT) PLUS
Pemerintah menyadari bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak
telah menimbulkan dampak yang sangat siginifikan terhadap masyarakat,
utamanya keluarga-keluarga miskin. Oleh karena itu, berdasarkan hasil
analisis dan evaluasi terhadap kebijakan pemberian bantuan langsung
tunai (BLT) tahun 2006 dan untuk meringankan beban masyarakat akibat
kenaikan bahan bakar pada tahun 2008 ini Pemerintah kembali
menetapkan kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) Plus.
Penetapan jumlah sasaran, jumlah bantuan per bulan, jenis
bantuan, mekanisme dan prosedur penyaluran BLT Plus pada tahun 2008
dilakukan atas dasar pertimbangan sebagai berikut :
1. Bahan bakar minyak tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok
dalam rumah tangga. Kenaikan harga bahan bakar tersebut akan
berpengaruh langsung dalam pemenuhan kebutuhan kesinambungan
kehidupan dalam setiap rumah tangga dalam masyarakat, utamanya
rumah tangga miskin dan sangat miskin.
2. Selain minyak tanah, kebutuhan masyarakat yang juga sama
pentingnya adalah transportasi yang sangat erat kaitannya dengan
bahan bakar minyak (premium, pertamax, solar, dll), baik masyarakat
yang memiliki kendaraan pribadi maupun pengguna kendaraan umum.
Kenaikan harga bahan bakar minyak akan menimbulkan kenaikan
biaya transportasi.
3. Bantuan langsung tunai (BLT) Plus yang diberikan merupakan salah
satu jenis bantuan yang bertujuan untuk mencukupkan biaya yang
harus dikeluarkan oleh masyarakat miskin untuk kebutuhan pembelian
bahan bakar dan sifatnya emergency (mendesak).
4. Pemberian bantuan berupa minyak goreng dan gula pasir merupakan
bantuan tambahan yang juga mendesak karena hampir semua jenis
bahan kebutuhan pokok juga mengalami kenaikan harga.
5. Bantuan langsung tunai (BLT) Plus bukan merupakan satu-satunya
jenis bantuan yang bertujuan untuk menstabilkan perekonomian rumah
tangga miskin dan masyarakat Indonesia secara umum. Bantuan ini
merupakan bantuan antara yang bertujuan untuk menjadi
pertolongan pertama bagi kondisi perekonomian rumah tangga miskin
yang terpuruk akibat kenaikan harga-harga di hampir semua jenis
kebutuhan hidup.
6. Penetapan jumlah sasaran penerima bantuan sebanyak 19,1 KK rumah
tangga sangat miskin merupakan suatu hal yang sangat mendesak
mengingat bahwa penetapan kenaikan harga bahan bakar minyak
tidak dapat ditunda. Data ini kemudian akan diverifikasi kembali pada
saat proses persiapan dan pelaksanaan penyaluran bantuan.

III. ANALISIS BERDASARKAN PENDAPAT DAN SUDUT PANDANG BERBAGAI
PIHAK
A. Pemerintah
Dari berbagai pernyataan yang dikeluarkan Pemerintah mengenai
kondisi perekonomian negara akibat kenaikan harga bahan bakar minyak dan
rencana untuk memberikan bantuan langsung tunai (BLT) Plus kepada 19,1
juta KK Sangat Miskin, Penyusun menganalisis beberapa aspek penting yang
berkenaan dengan penetapan kebijakan tersebut, yaitu :
1. Dampak Negatif Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak
Indonesia bukan merupakan satu-satunya negara yang terkena dampak
negatif akibat kenaikan harga bahan bakar minyak di pasaran dunia.
Sebagai contoh, negara Malaysia bahkan akan menaikkan harga jual
minyak dalam negeri sampai dengan 40% dari harga sebelumnya.
Kenaikan harga minyak tersebut secara langsung berpengaruh terhadap
perekonomian negara, di mana Pemerintah harus menyediakan subsidi
bagi masyarakat untuk menyetarakan harga jual minyak dalam negeri.
Hal ini akan menyebabkan inflasi yang cukup hebat dan selanjutnya akan
membuat perekonomian negara terpuruk dalam kondisi yang lebih parah.
Subsidi yang harus disediakan oleh Pemerintah sebesar 35 trilyun rupiah
untuk menyetarakan harga jual bahan bakar minyak dalam negeri akan
juga menyebabkan tertundanya pengalokasian anggaran pembangunan di
berbagai sektor. Pemerintah dihadapkan pada situasi dan kondisi yang
sangat dilematis antara kemungkinan situasi terpuruknya perekonomian
negara apabila tetap menyediakan subsidi untuk penyediaan bahan bakar
minyak dengan kemungkinan situasi terjadinya gejolak sosial masyarakat
akibat tingginya harga-harga bahan kebutuhan pokok. Anggaran yang
harus disediakan Pemerintah untuk pemberian BLT Plus bagi 19,1 juta KK
Miskin hanya sekitar 14 trilyun rupiah. Ini berarti Negara bisa menghemat
sekitar 21 trilyun rupiah dari jumlah subsidi yang seharusnya disediakan
untuk menyetarakan harga jual BBM dalam negeri.
2. Bantuan Langsung Tunai (BLT) Plus sebagai Bantuan yang bersifat
Darurat (Emeregency)
Memulihkan dan menstabilkan kemampuan daya beli masyarakat
terhadap gejolak perekonomian dalam negeri maupun luar negeri
memerlukan upaya yang sangat komprehensif dan membutuhkan waktu
yang cukup lama. Sementara itu kebutuhan masyarakat terhadap bahan-
bahan pokok termasuk bahan bakar minyak dalam segala bentuk tidak
dapat ditunda. Pemerintah memperhitungkan bahwa kenaikan harga
bahan bakar minyak akan menyebabkan banyak kebutuhan pokok
masyarakat menjadi tidak terpenuhi, tertunda dan bahkan berdampak
secara akumulasi terhadap kehidupan bangsa dan negara. Oleh karena
itu, bantuan langsung tunai (BLT) Plus dipandang dapat menyelamatkan
kondisi masyarakat miskin yang terancam gagal dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Secara konseptual, bantuan langsung tunai (BLT)
Plus bersifat sebagai bantuan darurat. Bantuan ini hampir sama seperti
bantuan tanggap darurat yang diberikan kepada korban bencana alam
atau korban bencana sosial, yaitu bantuan yang diberikan untuk
penanggulangan pertama terhadap kondisi kehidupan masyarakat yang
mengalami kehilangan atau musibah. Selanjutnya akan dirumuskan dan
ditetapkan lagi program-program, kegiatan dan jenis bantuan yang
bertujuan untuk memulihkan kondisi kehidupan masyarakat tersebut.
Bantuan dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 100.000,-/bulan (Seratus
Ribu Rupiah per bulan) bertujuan untuk menambahkan sejumlah biaya
yang tidak mampu disediakan oleh masyarakat untuk membeli bahan
bakar minyak. Sebagai contoh : kemampuan ekonomi masyarakat miskin
untuk membeli bahan bakar minyak (minyak tanah) adalah sebesar Rp.
2.000,-/liter. Dengan kenaikan harga BBM yang menyebabkan minyak
tanah menjadi Rp. 2.500,-/liter menyebabkan masyarakat mengalami
defisit atau ketidakmampuan ekonomi sebesar Rp. 500/liter. Oleh karena
itu uang tunai dalam BLT Plus tersebut dimaksudkan untuk menutupi atau
memberikan dukungan sebesar Rp. 500,-/liter untuk pembelian minyak
tanah bagi masyarakat miskin.
3. Bantuan Langsung Tunai (BLT) Plus sebagai Bantuan Antara pada
Masa Transisi
Selain sifatnya yang merupakan bantuan darurat, BLT Plus juga
merupakan bantuan antara pada masa transisi, yaitu bantuan yang
bertujuan untuk menjaga kestabilan kondisi ekonomi dan sosial
masyarakat pada saat kondisi perekonomian negara sedang mengalami
perubahan atau pembenahan. BLT Plus bukan merupakan satu-satunya
jenis bantuan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah
perekonomian masyarakat dan negara. Penyusunan rencana program
dan pemberian bantuan untuk memulihkan dan meningkatkan kondisi
tersebut membutuhkan proses, baik dalam persiapan maupun dalam
pelaksanaannya.
4. Bantuan Langsung Tunai (BLT) Plus sebagai Upaya meredam Gejolak
Sosial Masyarakat
Pemerintah tidak pernah secara langsung dan terang-terangan mengakui
atau menyatakan bahwa BLT Plus sekaligus merupakan upaya untuk
meredam gejolak sosial masyarakat yang mungkin akan timbul dengan
ditetapkannya kenaikan harga bahan bakar minyak. Pemerintah selalu
mengemukakan upaya mencegah keterpurukan ekonomi masyarakat
sebagai dasar penetapan BLT Plus. Sesungguhnya Pemerintah telah
memperhitungkan biaya sosial (social cost) yang sangat tinggi yang harus
ditanggung apabila terjadi gejolak sosial masyarakat yang frustasi akibat
kenaikan harga BBM dan harga-harga berbagai jenis kebutuhan pokok.
Oleh karena itu Pemerintah harus segera menetapkan kebijakan
pemberian bantuan yang diharapkan dapat mengurangi kemarahan
masyarakat sambil menyusun strategi perekonomian negara.
B. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
Pada prinsipnya Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui kebijakan
pemberian bantuan langsung tunai (BLT) Plus yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Hal ini terbukti dari disetujuinya alokasi APBN untuk kebutuhan
pemberian bantuan tersebut. Namun sebagai lembaga yang mewakili
kepentingan rakyat dan sekaligus menyuarakan kebutuhan rakyat, DPR RI
merasa perlu untuk mengajukan beberapa keberatan dan pertimbangan
terhadap penetapan kenaikan harga BBM dan penyaluran BLT Plus.
Analisis terhadap berbagai keberatan dan pertimbangan yang
disampaikan oleh DPR RI tersebut adalah sebagai berikut :
1. Konteks Kewajiban dan Tanggung jawab Pemerintah terhadap
Masyarakat
Sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 dan konteks Negara
maka DPR memandang bahwa sebenarnya Pemerintah wajib dan
bertanggung jawab untuk mencari alternatif solusi yang terbaik untuk
melakukan stabilisasi ekonomi negara dengan tidak mengorbankan atau
merugikan warga negara. Beberapa Pimpinan, Anggota maupun Fraksi-
fraksi DPR berulangkali meminta agar Pemerintah menunda kenaikan
harga BBM dan memberikan bantuan yang lebih bermanfaat bagi rakyat
miskin.
2. Bantuan Langsung Tunai (BLT) Plus dipandang sebagai Bantuan
Konsumtif dan bersifat Habis Pakai
Beberapa unsur DPR menilai bahwa BLT Plus merupakan jenis bantuan
konsumtif dan habis pakai. Bantuan ini dipandang tidak akan memberikan
daya ungkit terhadap kemampuan ekonomi masyarakat miskin dan
bahkan cenderung akan membuat masyarakat menjadi ketergantungan.
DPR juga menilai bahwa pemberian bantuan perlu diujicobakan terlebih
dahulu sebelum ditetapkan kebijakannya untuk seluruh daerah di
Indonesia.
3. Bantuan Langsung Tunai (BLT) Plus sebagai Upaya Suap Politik
Banyak pihak di DPR menilai bahwa BLT Plus merupakan upaya suap
politik yang diberikan Pemerintah untuk meredam gejolak sosial
masyarakat. DPR memandang bahwa Pemerintah yang sedang berkuasa
saat ini memberikan bantuan tersebut untuk mengamankan tampuk
kekuasaannya sendiri. Lebih jauh, bahkan ada pihak-pihak yang
menyatakan bahwa BLT Plus merupakan money politic yang diberikan
oleh Pemerintah untuk mengamankan dan menyiapkan langkah menuju
Suksesi Tahun 2009.
C. Kelompok Pemilik Modal dan Dunia Usaha
Dari berbagai unsur yang ada dalam Masyarakat maka Kelompok
Pemilik Modal dan Dunia Usaha adalah kelompok yang tidak atau kurang
memberikan respon terhadap kebijakan pemberian BLT Plus. Hal ini
disebabkan oleh :
1. Bantuan Langsung Tunai (BLT) Plus dipandang sebagai salah satu
Upaya untuk Stabilitasi Ekonomi Negara
Kelompok Pemilik Modal dan Dunia Usaha menilai bahwa apabila
kenaikan harga BBM tidak diimbangi dengan pemberian bantuan bagi
masyarakat maka stabilisasi ekonomi masyarakat maupun negara akan
sangat terguncang. Hal ini akan berpengaruh terhadap kepentingan dan
keuntungan kelompok pemilik modal maupun dunia usaha itu sendiri.
Lemahnya daya beli masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap laju
dan kesinambungan usaha kelompok pemilik modal.
2. Bantuan Langsung Tunai (BLT) Plus sebagai Salah Satu Langkah
Pengamanan terhadap Kelompok Pemilik Modal dan Dunia Usaha
Apabila terjadi gejolak sosial masyarakat yang marah terhadap kenaikan
harga BBM dan bahan-bahan kebutuhan pokok maka salah satu pihak
yang paling rentan dan was-was adalah Kelompok Pemilik Modal dan
Dunia Usaha. Berbagai pengalaman pada kejadian kerusuhan sosial dan
politik menunjukkan bahwa masyarakat yang marah akan menjarah dan
melakukan perusakan terhadap aset-aset Pemerintah maupun kekayaan
Kelompok Pemilik Modal. Apabila BLT Plus dapat meredam gejolak sosial
masyarakat maka kelompok pemilik modal untuk sementara waktu akan
aman dalam melanjutkan roda usahanya.
D. Kelompok Akademisi dan Pakar Ekonomi
Kelompok Akademisi dan Pakar Ekonomi cenderung terbagi dalam
dua arah dalam memandang kebijakan pemberian BLT Plus. Sebagian besar
kelompok akademisi dan pakar ekonomi setuju dengan ditetapkannya
kebijakan pemberian BLT Plus sedangkan sebagian lainnya tidak setuju.
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh banyak pihak dalam
kelompok ini, dapat dianalisis pertimbangannya sebagai berikut :
1. Pihak yang Pro dengan Kebijakan Pemerintah
Pihak-pihak dalam Kelompok Akademisi dan Pakar Ekonomi yang Pro
terhadap kebijakan BLT Plus memandang bahwa kenaikan harga BBM
merupakan suatu proses ekonomi yang tidak bisa dihindari. Hal ini terjadi
karena Indonesia merupakan suatu negara yang menjadi bagian dan
anggota dunia Internasional. Setiap proses ekonomi yang terjadi dalam
dunia Internasional akan mempengaruhi hampir semua negara.
Pemberian BLT Plus tidak dinyatakan sebagai upaya untuk meningkatkan
kemampuan daya beli masyarakat tetapi lebih dipandang sebagai upaya
untuk menyelamatkan masyarakat dari ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhannya sehari-hari.
2. Pihak yang Kontra dengan Kebijakan Pemerintah
Pihak-pihak dalam Kelompok Akademisi dan Pakar Ekonomi yang Kontra
terhadap kebijakan BLT Plus lebih memandang kepada proses penetapan
kebijakan BLT Plus yang kurang didasari pada perhitungan dan analisis
yang akurat. Pihak-pihak ini mempertanyakan dasar perhitungan
Pemerintah terhadap penetapan angka atau nilai bantuan sebesar Rp.
100.000,-/bulan/KK. Angka ini dinilai tidak signifikan terhadap kenaikan
harga-harga selama 2 3 tahun terakhir karena pada Tahun 2005 dan
2006 Pemerintah sudah pernah meluncurkan bantuan langsung tunai
untuk kasus ekonomi yang sama dan nilai nominal bantuan saat itu pun
sama dengan yang akan diberikan pada Tahun 2008 ini. Selain itu, pihak-
pihak ini mempertanyakan akurasi dan validitas jumlah calon penerima
bantuan sebanyak 19,1 juta KK sangat miskin yang ditetapkan
Pemerintah. Mereka menilai bahwa penetapan jumlah penerima bantuan
ini tidak didasari dengan upaya verifikasi data yang matang serta
dikhawatirkan akan terjadi lagi kasus-kasus yang merugikan masyarakat
seperti yang pernah terjadi pada tahun 2005 dan 2006.
E. Kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Sosial
Kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Sosial lebih
banyak menyoroti kebijakan Pemerintah dalam hal kenaikan harga BBM.
Kelompok ini tidak kurang memberikan respon terhadap penetapan bantuan
langsung tunai (BLT) Plus. Hal ini dapat dilihat dari berbagai advokasi dan
gerakan/aksi sosial yang dilakukan bersama unsur-unsur perguruan tinggi
yang lebih banyak diarahkan untuk menentang kebijakan Pemerintah dalam
hal perekonomian dan meminta agar Pemerintah menunda kenaikan harga
BBM.
F. Masyarakat
Masyarakat merupakan pihak yang paling dirugikan dan menanggung
beban berat dengan ditetapkannya kenaikan harga BBM. Dalam penetapan
kebijakan pemberian BLT Plus, masyarakat juga berada pada posisi sebagai
obyek kebijakan Pemerintah. Hal ini terbukti dari proses penetapan kebijakan
yang tidak didahului dengan jajak pendapat atau mengakomodir aspirasi
masyarakat. Kebijakan dan pelaksanaan pemberian bantuan langsung tunai
pada periode 2005 dan 2006 sampai saat ini belum diaudit dan dievaluasi
pelaksanaannya, oleh karena itu sesungguhnya Pemerintah belum
mendapatkan umpan balik terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.
Pada posisinya sebagai obyek dan penerima bantuan maka reaksi
masyarakat cenderung apatis dalam proses penetapan kebijakan dan
persiapan penyaluran bantuan. Beberapa aspek yang layak untuk dianalisis
dari sikap dan posisi masyarakat dalam penetapan kebijakan BLT Plus
adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat masih belum dibiasakan untuk ikut berperan aktif dalam
perencanaan pembangunan
Proses perencanaan pembangunan di Indonesia berangsur-angsur
menerapkan pola Jaring Asmara (Menjaring Aspirasi Masyarakat), yang
dikenal sebagai tahapan Musyarawah Pembangunan (Musbang) mulai
dari tingkat Dusun sampai dengan tingkat Nasional. Pada kenyataannya,
dalam proses perencanaan tersebut masyarakat belum disiapkan untuk
menjadi pihak yang aktif berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasinya.
Pelaksanaan tahapan Musyarawah Pembangunan sampai dengan saat ini
cenderung hanya mengulang proses perencanaan pada orde-orde
sebelum orde reformasi. Oleh karena itu, kebijakan BLT Plus sama sekali
tidak menunjukkan adanya kontribusi partisipasi masyarakat dalam proses
penetapannya.
2. Masyarakat dihadapkan pada Upaya Pemecahan Masalah yang tidak
ada Alternatif Pilihannya
Dengan mengatasnamakan kondisi tanggap darurat di bidang
perekonomian, masyarakat dihadapkan pada hanya satu pilihan untuk
menerima kebijakan BLT Plus sebagai satu-satunya alternatif untuk
mengatasi kondisi tersebut. Sebagian besar masyarakat yang masih
mampu untuk mengimbangi laju kenaikan harga BBM dan harga bahan-
bahan kebutuhan pokok cenderung tidak memberikan reaksi atas
penetapan kebijakan BLT Plus. Sementara itu, kelompok masyarakat
miskin dan sangat miskin merasakan bahwa sekecil apapun bantuan yang
disediakan oleh Pemerintah maka hal tersebut sudah sangat membantu
untuk menyelamatkan keberlangsungan hidup mereka.
3. Masyarakat kurang disiapkan dan dilatih dengan Pola Pemberdayaan
Menanggapi penetapan kebijakan BLT Plus, banyak pihak dalam unsur
masyarakat yang berulangkali meminta agar Pemerintah memberikan
bantuan dengan pola Pemberdayaan, Padat Karya ataupun Modal
Usaha. Pendapat-pendapat tersebut kurang mendapat respon dan
dukungan dari masyarakat miskin dan sangat miskin umumnya. Hal ini
terjadi karena masyarakat masih sangat kurang disiapkan dan dilatih
dengan pola pemberdayaan. Masyarakat cenderung dibiasakan dengan
pola bantuan insidentil, konsumtif dan habis pakai. Berbagai jenis
bantuan yang disediakan untuk masyarakat sampai dengan saat ini
hampir selalu bersifat caritas dan emeregency. Bantuan seperti itu tidak
mempunyai nilai pembelajaran bagi masyarakat sehingga masyarakat
selalu berada dalam posisi yang rentan terhadap berbagai jenis krisis dan
gejolak ekonomi.
4. Masyarakat memiliki Ketahanan Sosial yang cukup kuat
Mencermati kondisi perekonomian dan sosial Indonesia semenjak
terjadinya krisis multidimensional pada Tahun 1997 sampai dengan
gejolak perekonomian akibat kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan
2008, patut diakui bahwa bangsa Indonesia memiliki ketahanan sosial
yang cukup kuat. Hal ini terbukti dari minimnya aksi sosial dan kerusuhan
sosial akibat kondisi ekonomi rakyat yang terkena imbas krisis ekonomi
negara. Dengan ketahanan sosial masyarakat yang cukup kuat tersebut
maka kebijakan BLT Plus merupakan salah satu cara untuk memagari
ketahanan masyarakat agar tidak sampai terjatuh ke dalam krisis
kepercayaan yang lebih parah terhadap Pemerintah. BLT Plus mungkin
tidak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap upaya ketahanan
ekonomi masyarakat tetapi sekurang-kurangnya bantuan tersebut dapat
menjadi salah satu upaya untuk menjaga stabilitas sosial dan politik
negara.

IV. ANALISIS KRITIS PENYUSUN
Dengan mencermati latar belakang penetapan kebijakan BLT Plus,
pandangan berbagai pihak dan analisis terhadap berbagai pernyataan banyak
pihak maka penyusun mencoba memberikan analisis kritis terhadap kebijakan
BLT Plus sebagai berikut :
A. BLT Plus sebagai Upaya dan Bantuan Tanggap Darurat di bidang
Ekonomi dan Sosial
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami
kondisi bencana ekonomi dalam negeri. Kenaikan harga BBM telah
menyebabkan masyarakat kehilangan kemampuan daya beli. Hal ini akan
sangat berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat untuk bertahan
hidup. Oleh karena itu penyusun memandang bahwa BLT Plus
merupakan bantuan tanggap darurat di bidang ekonomi dan sosial.
Dengan adanya BLT Plus, penyusun menilai bahwa sekurang-kurangnya
untuk satu tahun ke depan masyarakat miskin masih akan mampu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Namun apabila dalam satu
tahun ini Pemerintah tidak segera menetapkan kebijakan baru terkait
dengan program-program pemberdayaan dan peningkatan kemampuan
ekonomi maupun sosial masyarakat maka tenggang waktu pemberian
BLT Plus harus diperpanjang dan kemudian hanya akan menjadi bantuan
konsumtif yang menggerogoti perekonomian negara.
B. Penetapan Kebijakan BLT Plus yang kurang didasari dengan
Transpanrasi Perekonomian Negara
Pemerintah cenderung selalu menyatakan bahwa penghentian
subsidi BBM bagi masyarakat dan dunia usaha merupakan satu-satunya
alternatif untuk menyelamatkan perekonomian negara. Untuk
menyelamatkan kondisi perekonomian masyarakat akibat kenaikan harga
BBM kemudian Pemerintah memberikan BLT Plus. Perhitungan ekonomi
yang ditonjolkan oleh Pemerintah lebih kepada selisih biaya atau devisa
negara yang dapat dihemat dengan menghentikan subsidi BBM dan
mengalihkannya kepada BLT Plus. Penyusun menilai bahwa dalam hal ini
Pemerintah masih kurang transparan dalam hal perekonomian. Dengan
cara pandang yang sedikit lebih kritis bahkan Penyusun menilai bahwa
Pemerintah tidak mendahulukan pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat
tetapi lebih kepada penyelamatan devisa negara yang peruntukkannya
cenderung tidak pernah dievaluasi secara terbuka. Berbagai kebijakan
Pemerintah di bidang ekonomi selalu mendahulukan kepentingan pemilik
modal dan dunia usaha. Oleh karena itu menurut penyusun, penetapan
kebijakan BLT Plus lebih bertujuan untuk mengalihkan perhatian dan
kemungkinan tuntutan masyarakat terhadap tanggung jawab dan
kewajiban Pemerintah di bidang ekonomi.
C. BLT Plus sebagai salah satu upaya untuk menjaga Stabilisasi
Ekonomi
Ketidakmampuan dan melemahnya daya beli masyarakat akan
berakibat terhadap stabilisasi ekonomi. Oleh karena itu penyusun
memandang bahwa sejumlah anggaran yang disediakan oleh Pemerintah
dalam BLT Plus tidak semata-mata untuk menyelamatkan perekonomian
dan keberlangsungan kehidupan masyarakat tetapi juga untuk menjaga
stabilitas ekonomi pemilik modal dan dunia usaha. Ketidakmampuan
ekonomi masyarakat akan berpengaruh langsung terhadap permintaan
terhadap pasar, produksi, distribusi dan konsumsi. Masyarakat mungkin
akan mampu untuk melakukan penghematan dalam berbagai aspek
kebutuhan kehidupannya tetapi hal ini akan sangat berpengaruh terhadap
kelompok pemilik modal dan dunia usaha, yaitu permintaan pasar yang
akan menurun dengan sangat tajam sehingga mempengaruhi perputaran
ekonomi.
D. BLT Plus sebagai salah satu upaya untuk menjaga Stabilitasi Sosial
dan Politik
Penyusun menilai bahwa Pemerintah pada saat ini tidak
mempunyai alternatif lain untuk menekan laju inflasi dan menghemat
devisa berkaitan dengan naiknya harga BBM di dunia Internasional.
Kenaikan harga BBM tersebut kemudian telah menyebabkan terjadinya
bencana ekonomi dalam negeri dan akan menjadi potensi terjadinya
bencana sosial. Oleh karena itu, Pemerintah menetapkan kebijakan BLT
Plus sebagai upaya meredam gejolak sosial masyarakat yang berpotensi
terhadap kemungkinan terjadinya kerusuhan sosial dan bencana sosial
yang lebih parah.
E. BLT Plus sebagai Jaring Pengaman Sosial Nasional
Penyusun memandang bahwa BLT Plus menggunakan konsep
Jaring Pengaman Sosial Nasional (National Social Security). Konsep
bantuan ini semestinya tidak hanya diterapkan pada kondisi tanggap
darurat pada kejadian bencana ekonomi karena kemudian menuai reaksi
dari berbagai kalangan. Seandainya pola bantuan Jaring Pengaman
Sosial ini diberlakukan secara konsisten sesuai kebutuhan dan
berkesinambungan dalam setiap periode Pemerintahan maka penetapan
BLT Plus akan lebih mudah dilaksanakan dan hasilnya mungkin akan
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap stabilisasi perekonomian,
sosial dan politik negara maupun masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai