Pentingnya Pengembangan Islamic Studies melalui Paradigma
Fenomenologi Agama Oleh Benny Ridwan
Prolog Kesadaran bangsa-bangsa akan pluralisme agama telah berlangsung sejak lama. Pada mulanya, studi tentang agama lebih bersifat apriori dan metafisik dengan mengolah konsep ketuhanan dan rumusan agama. Bahkan sering agama dilecehkan sebagai warisan budaya yang belum kritis, khayalan manusia yang terasing, sublimasi keinginan manusia yang tidak sampai, dan sebagainya. Kenyataan berikutnya perkembangan agama-agama tersebut pada akhirnya menimbulkan penyelidikan tentang agama yang semakin tajam dan sekaligus membeberkan keunikan-keunikan perkembangan setiap agama. Agama ternyata mempunyai objek kajian yang hidup dan berkembang secara khas. Untuk itulah kemudian Fenomenologi Agama muncul, tumbuh dan berkembang sebagai sebuah disiplin yang dapat menjelaskan perkembangan agama-agama itu sendiri. Dengan berbagai sudut pandang, secara objektif dan sistematis, serta memperkenalkan pemahaman hakikat historisitas 1 kesejarahan agama. Perhatian yang kritis terhadap studi agama kemudian muncul dari para pemikir untuk selanjutnya mengembangkan disiplin ini terpisah dari ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, satu diantara mereka dan juga yang pertama menggunakan term fenomenologi dalam kajian agama adalah Pierre Danil Chantepie de la Saussaye. 2 Selanjutnya Fenomenologi agama sebagai sebuah disiplin menjadi berkembang dan memunculkan para Fenomenolog seperti Gerardus Van der Leeuw dan William Brede Kristensen. Meskipun disinyalir perdebatan diantara mereka belum berakhir. 3 Hal terpenting dalam perdebatan tersebut adalah seputar bangunan epsitemologis dalam studi agama. Apakah studi agama lebih bernuansa objektifitas dan atau subjektifitas. Karena menyangkut
1 Term Historisitas ini merujuk pada pandangan M. Amin Abdullah : Origin, Change dan Development. Merujuk pada presentasi kuliah umum Program Pascasarjana dan Program Doktor UIN Sunan Kalijaga oleh M. Amin Abdullah tanggal 4 September 2008.
2 James L. Cox, A Guide to the Phenomenology of Religion. Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates. London and New York: Continuum, 2006, hlm. 1
3 Ibid, hlm 5-6 2 objektifitas dan subjektifitas, maka terma-terma pengalaman (experience) dan kesadaran (conciousness), nilai dan makna, sakral dan profan menjadi penting untuk kita perhatikan dalam studi agama. Nah kehadiran Fenomenologi agama adalah dalam rangka menempuh dan mencapai terma- terma itu sehingga diharapkan studi agama menjadi lebih objektif. Dalam diskursus keagamaan kontemporer dijelaskan bahwa agama ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces) dan bukan lagi seperti orang dahulu memahaminya, yakni semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya. Selain ciri dan sifat konvensionalnya yang memang mengasumsikan bahwa persoalan keagamaan hanyalah semata-mata persolan ketuhanan, agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi belaka. 4
Dari studi historis empiris terhadap fenomena keagamaan diperoleh masukan bahwa agama sesungguhnya juga sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri. Campur aduk dan berkait kelindannya agama dengan berbagai kepentingan sosial kemasyarakatan pada level historis- empiris merupakan salah satu persoalan keagamaan kontemporer yang
4 Bandingkan dengan Durkheim yang menyebutkkan bahwa definisi agama menurutnya adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan dan praktek- praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Durkheim juga menyebutkan bahwa agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis. Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, (1912, English translation by Joseph Swain: 1915) The Free Press, 1965. ISBN 0-02-908010-X, new translation by Karen E. Fields 1995, ISBN 0-02-907937-3, hlm. 62
3 paling rumit untuk dipecahkan. 5 Hampir semua agama mempunyai institusi dan organisasi pendukung yang memperkuat, menyebarluaskan ajaran agama yang diembannya. Institusi dan organisasi sosial keagamaan tersebut ada yang bergerak dalam wilayah sosial budaya, sosial kemasyarakatan, pendidikan, politik, hukum, ekonomi, jurnalistik, pertahanan keamanan, paguyuban dan lain sebagainya. Jika memang demikian halnya, maka sangat sulit menjumpai sebuah agama tanpa terkait dengan kepentingan kelembagaan, kekuasaan, interest tertentu betapapun tingginya nilai transendental dan sosial yang dikandung oleh kepentingan tersebut.
Permasalahan (Kegelisahan akademik) Apakah pendekatan mainstream yang selama ini diusung oleh psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, sejarah agama, theologi dan sebagainya, tidak dapat menjelaskan wajah agama menjadi lebih objektif, atau justru mereduksi makna agama karena sudah tunduk pada pendekatan- pendekatan psikologi, sosiologi, sejarah, teologi ataupun antropologi, sehingga akhirnya wajah agama menjadi terpecah belah. Apakah gejala, fakta atau peristiwa keagamaan dapat dipahami secara objektif. Apakah penafsiran terhadap gejala, fakta atau peristiwa keagamaan yang telah dipahami secara objektif tadi tidak mereduksi makna / peristiwa keagamaan bagi pemeluknya. Dan apakah penafsiran terhadap gejala, fakta atau peristiwa keagamaan yang telah dipahami secara objektif tadi tidak menciptakan reaksi dari pemeluknya untuk menyerang dan membantah penafsiran kita. Lantas adakah pendekatan yang lebih koherensif dalam melihat fenomena keagamaan yang berhubungan dengan ranah-ranah kehidupan manusia lainnya seperti ekonomi, politik, hukum, seni, budaya dan sebagainya. Jika pendekatan Fenomenologi agama dipandang sebagai pendekatan mutakhir dalam kajian agama, apa kontribusinya dalam melihat wajah agama sehingga menjadi lebih objektif?
Kerangka Teori/ Konsep
5 Baca lebih lanjut dalam Amin Abdullah, Kata Pengantar, dalam buku Mircea Aliade, dkk, Metodologi Studi Agama, Ahmad Norma Permata (ed), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 1-5 4 Edmund Husserl pendiri aliran filsafat fenomenologi memandang bahwa Fenomenologi sebagai sebuah disiplin filsafat yang ketat bertujuan membatasi dan melengkapi penjelasan psikologis murni mengenai proses kejiwaan. Lebih jauh pendekatan Fenomenologis ini digunakan untuk menjelaskan berbagai bidang pemikiran mulai seni, hukum dan lain-lain termasuk agama. Tujuannya adalah memahami pemikiran, perilaku dan memahami lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika ataupun psikologi. Dengan demikian telah tersedia perangkat penting yang sangat diperlukan dalam pendekatan terhadap agama yang melengkapi metode historis, psikologis atau sosiologi murni. Filsafat Edmund Husserl meskipun tidak secara langsung membahas studi agama, tetapi dua konsep yang mendasari karyanya menjadi suatu titik tolak metodologis yang bernilai bagi studi Fenomenologi yakni: epoche; terdiri dari pengendalian atau kecurigaan dalam mengambil keputusan. Ini menunjukkan tentang tidak adanya prasangka yang akan mempengaruhi hasil pemahaman. Metode ini menjadi penting untuk memahami agama dari sudut pandang orang yang beriman. Kita bisa masuk ke wilayah pengalaman dari pelaku keagamaan untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Pemahaman yang sangat mendalam (verstehen) ini menjadi penting untuk melihat peristiwa keagamaan secara objektif. Selanjutnya konsep Edmund Husserl tentang eidetik: yang memberi kemampuan melihat esensi fenomena secara objektif bahkan juga membahas persoalan subjektifitas persepsi dan refleksi. Eidetik mengandaikan adanya kemampuan mencapai pemahaman intuitif tentang fenomena yang juga dapat dipertahankan sebagai pengetahuan objektif. 6
Sementara itu, Van der Leeuw mengatakan bahwa Fenomenologi secara konstan (keadaan tetap) harus tetap memperhatikan sejarah. Fenomenologi menurutnya adalah interpretasi; namun hermeneutika Fenomenologis menjadi seni murni dan fantasi, begitu ia dipisahkan dari
6 Baca lebih lanjut dalam, James L. Cox, 2006, hlm 209-212, namun konsep-konsep inilah yang kemudian menjadi perdebatan yang cukup panjang dalam kajian Fenomenologi agama, sehingga perdebatan ini membawa Fenomenologi agama menjadi dan berada pada pusat studi keagamaan kontemporer dan Fenomenologi agama juga sangat menentukan arah masa depan studi yang akademis tentang agama. 5 hermeneutika filologis-arkeologis. 7 Berbeda dengan pendekatan dari Van der Leeuw, Fenomenologi Agama menurut Joachim Wach, melihat agama sebagai respon manusia terhadap penampakkan Nan-Ilahi yang terjadi dalam sebuah pengalaman keagamaan. 8 Pandangan Wach ini bila kita analisis, dapat kita lihat dua hal penting dalam melihat agama. Pertama, penampakkan Nan-Ilahi dalam sebuah pengalaman keagamaan. Kedua, respon manusia terhadap fenemena pertama tersebut. Manusia tidak pernah dan tidak akan pernah mungkin mengetahui keberadaan-Nya dan memberikan serta melakukan respon terhadap keberadaan Nan-Ilahi, Tuhan. Manusia hanya dan hanya melakukan respon terhadap Tuhan sejauh Ia menampakkan diri-Nya kepada manusia. Tuhan (The Sacred, Nan-Ilahi, Ulitimate Reality, Infinite Reality) merupakan wujud yang tak terperikan, tak terkatakan. Dan bahkan untuk mengatakan- Nya demikian (sebagai realitas yang tak terperikan, tak terkatakan) pun bukan kesimpulan yang bisa dikatakan benar. Karena, ia mengatasi kata-kata dan imajinasi, konseptualisasi yang mampu manusia perikan. Sementara itu menurut Max Scheler metode Fenomenologi mencoba membiarkan fenomena keagamaan mengungkapkan diri mereka dan tidak memaksakan mereka ke dalam suatu kerangka yang telah disiapkan sebelumnya. Usaha tersebut dimaksudkan untuk sebisa mungkin mempertahankan sifat-sifat asli dari fenomena yang ada. Lain halnya menurut Dhavamony, metode fenomenologi agama yaitu suatu cara memahami agama yang ada dengan sikap apresiatif tanpa semangat penaklukan atau pengkafiran. Metode ini menghindari sikap eksternal, menganggap agama orang lain pasti salah dan hanya agamanyalah yang benar, tetapi melalui pendekatan untuk menjadi pemerhati dan pendengar sehingga dapat memahami dan menghargai keberagamaan orang lain tanpa meninggalkan keimanannya sendiri. Dengan kata lain, untuk memperkuat keyakinan terhadap kebenaran agamanya, tidak dengan cara
7 Rafaele Pettazoni, Wujud Suprim: Struktur Fenomenologis dan Perkembangan Historis, dalam Mircea Aliade, dkk, Metodologi Studi Agama, Ahmad Norma Permata (ed), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 163-170.
8 Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 2-20 6 mencari kesalahan agama lain, tetapi memahami pemahaman orang lain justru untuk memperkuat keyakinan agama sendiri. 9
Metode ini menggunakan perbandingan sebagai sarana interpretasi yang utama untuk memahami arti dari ekspresi-ekspresi religius, seperti qurban, ritus-ritus persembahan dan lain-lain. Metode ini mencoba menyelidiki karakteristik yang dominan dari agama dalam konteks historis- kultural, memberi arti serta menjelaskan makna internal dari tindakan- tindakan itu. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bentuk luar dari ungkapan manusia yang mempunyai pola atau konfigurasi kehidupan yang teratur, yang dapat dilukiskan kerangkanya. Metode ini mencoba menemukan struktur yang mendasari fakta sejarah dan memahami makna yang lebih dalam, sebagaimana dimanifestasikan melalui struktur tersebut dengan hukum-hukum dan pengertian-pengertian yang khas. Hal ini bermaksud memberikan suatu pandangan menyeluruh dari ide-ide dan motif-motif yang berkepentingan sangat menentukan dalam sejarah. 10
Metode fenomenologi selain untuk menemukan struktur-struktur yang sama dalam setiap agama, juga mengarah pada suatu pemahaman tentang transendental unity of religious (kesatuan transenden dalam agama) memberikan implikasi pada sikap ko-eksistensi (bereksistensi secara bersama-sama) juga pro-eksistensi (mengakui eksistensi agama-agama). Metode demikian memang tidak mudah untuk dilakukan karena sudah menyentuh persoalan keyakinan yang sifatnya vertikal, subjektif dan menyangkut keimanan. Biasanya dialog dan kerjasama akan lebih mudah apabila dalam kawasan etis karena kawasan ini menyangkut hubungan yang horisontal dan bersifat rasional dan terbuka. Fenomenologi agama menggunakan metode ilmiah sebagaimana telah dipaparkan di atas, kalau dia mempelajari fenomena religius. Tugas studinya meliputi fakta religius yang bersifat subjektif seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan maksud-maksud dari seseorang, yang diungkapkan dalam tindakan-tindakan luar. Pemahaman ungkapan-ungkapan yang
9 Mariasusai Dhavamony, Phenomenology of Religion, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Driyarkara, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm 31
10 Ibid., hlm 42 7 bersifat subjektif inilah yang membuat fakta menjadi suatu tindakan kebaktian, bukan sekedar gerakan-gerakan. Keadaan-keadaan ini kita anggap bersifat subjektif, dalam arti bahwa semua ini terjadi dalam subjek manusia. Pertama-tama agama adalah fenomena yang terjadi dalam subjek manusia serta terungkapkan dalam tanda dan symbol. Kita dapat mengulangi tindakan pemahaman dari fenomena religius, membandingkannya dengan tindakan- tindakan pemahaman dari pengamat-pengamat lain, dan menyimpulkan bahwa X adalah suatu tindakan kebaktian, bahwa Y adalah tindakan kurban, dan bahwa Z adalah kegiatan doa. Fakta ini mengandaikan perlunya objektivitas. Dengan kata lain fenomena religius adalah fenomena yang sungguh-sungguh objektif, meski fakta yang sebenarnya berdasarkan pada subjektivitas. Bagaimana kita tahu bahwa X adalah tarian ritual? Hal ini tidak kita simpulkan hanya dengan melihat gerakan-gerakan, namun kita menangkap tindakan-tindakan yang penuh arti. Kalau ada gerakan-gerakan seperti itu yang berasal dari suatu serangan penyakit ayan, kita tidak akan tertarik. Jadi jelaslah, dengan memahami kata-kata dan maksud-maksud para penarilah kita menyimpulkan ciri religiusitasnya. Namun, untuk melakukan hal ini, kita harus mengetahui bahasa, kebiasaan, dan watak orang-orang dan semua ini membutuhkan pemahaman. Andaikata merasa ragu, kita dapat menguji pemahaman tersebut, yakni membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis kita lewat tindakan pemahaman lebih lanjut. Kalau kita rasa telah memahami fakta, kita dapat menanyakannya pada pengamat yang lain; kita juga dapat minta penjelasan dan motivasi fakta tersebut dari para pelakunya sendiri. Mengkhususkan, menekankan dan mengartikulasikan unsur-unsur yang beragam dari suatu fenomena religius yang berulang-ulang (tari ritual) menjadi suatu sistem korelasi yang secara internal konsisten dan mengklasifikasikannya sebagai suatu upacara kesuburan, merupakan langkah-langkah dalam tindakan pemahaman. Formasi hipotesis sendiri adalah suatu pemahaman tentatif. Pembentukan hipotesis, seperti pengaturan kuburan yang menunjuk pada kepercayaan akan kebangkitan badan, tarian ritual yang mengungkapkan ketakutan akan daya adikodrati, adalah suatu keberanian dalam pemahaman tentative. Verifikasi atau falsifikasi tergantung pada bukti-bukti lebih lanjut dari sesuatu hal yang 8 semula menjadi dasar hipotesis. Fakta yang akan diselidiki haruslah sudah dimengerti sejak awal, namun kemajuan penyelidikan memperdalam dan mengoreksi pemahaman itu. Bahwa orang-orang tertentu bertingkah laku secara religius adalah suatu fakta. Pemahaman awal kita dari apa yang disebut tingkah laku religius berasal dari pengalaman pribadi atau dari pengalaman orang-orang lain. Kita membentuk hipotesis dan mengujinya berkenaan dengan suatu fakta tertentu dan mencoba melukiskan unsur-unsur karakteristik dari fakta religius ini.
Tugas Fenomenologi Agama Ada tiga tugas yang harus diemban oleh Fenomenologi agama: pertama, mencari hakikat keilahian (wesensontik des gottlichen) kedua, menyediakan teori tentang wahyu, dan ketiga mengkaji perilaku keagamaan. Semua itu dilakukan bukan sebagaimana teologi positif maupun filsafat agama. Oleh karena itu Scheler cenderung untuk menerima penjelasan mengenai The Holy dari Otto. 11 Sedangkan penemuan Otto terhadap numinous (yang menimbulkan rasa hormat) sebagai suatu kategori yang sui generis oleh Scheler dianggap sama dengan pendapatnya mengenai hakikat dan makna nilai-nilai moral. Sejarah dan psikologi tidak dapat melaksanakan tugas Fenomenologi ini. Deduksi maupun abstraksi juga tidak akan dapat mempertahankan esensi (eidos) dari fenomena yang ada. Selanjutnya kita melihat fakta religius bersifat subjektif, artinya merupakan keadaan mental dari manusia religius, dalam caranya melihat hal- hal atau menginterpretasikannya. Fakta ini dan kaitan-kaitannya sekaligus bersifat objektif, bukan karena sebagai tindakan budi yang berpikir, melainkan sebagai sesuatu yang kebenarannya dapat dibuktikan oleh para pengamat yang independent. Berkat konvergensi dari berbagai pemahaman,
11 Otto meletakkan yang suci sebagai suatu kategori a priori otonomi agama sebagai hal yang berbeda dari wilayah-wilayah kehidupan lainnya dan dia memberikan dasar epistemologis terhadap pengetahuan keagamaan, yang secara psikologis dapat dicapai melalui sensus numinus (pengalaman akan yang suci). Lebih lanjut Otto juga menyatakan bahwa eksistensi numen (yang suci) harus diterapkan sebagai suatu kategori sui generis (hanya dipahami dalam pengertian istilahnya sendiri), meskipun tidak sesuai dengan kriteri rasional, karena ia tetap tak terkatakan. Argument ini bergantung pada pernyataan bahwa pengetahuan datang berdasarkan keilmuan. Bandingkan dalam Djoko Sutopo, tt, Pendekatan Fenomenologis, Paper Mata Kuliah Metodologi Penelitian Agama, Program Doktor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008, hlm. 2-3 9 kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa suatu suku bangsa mempertahankan upacara-upacara pemulihan karena takut pada kemarahan para dewa. Kesimpulan ini dihubungkan pada evidensi lain yang lepas dari konvergensi tersebut. Ada kebutuhan untuk menyingkirkan jenis subjektifitas yang dapat melemahkan riset ilmiah. Objektifitas disini berarti membiarkan fakta berbicara untuk dirinya. Inilah prinsip epoche dalam fenomenologi agama. Artinya penilaian yang dikonsepkan sebelumnya harus ditunda sampai fenomena itu sendiri bicara untuk dirinya. Sebagai ilmuwan, seorang fenomenolog harus membedakan antara tugas, untuk menerangkan makna 12
fenomena religius sebagaimana diwajibkan kepadanya oleh ilmu, dan tanggung jawab, untuk menilai fenomena religius tersebut sebagai bagian dari suatu kepercayaan tertentu. Bukanlah tugas fenomenolog untuk menilai dasar di atas mana kepercayaan-kepercayaan religius itu dipertahankan atau menanyakan apakah penilaian-penilaian religius mempunyai validitas objektif. Hal ini merupakan wilayah filsafat atau teologi agama. Akan tetapi, fakta bahwa manusia religius merupakan memberikan penilaian-penilaian religius yang mempengaruhi tindakan-tindakan dan tingkah lakunya, bahwa mereka menerima norma-norma dan aturan-aturan dalam ungkapan keyakinan religius mereka, merupakan persoalan faktual. Artinya, seorang fenomenolog harus mempertanyakan hakikat yang sebenarnya, tanpa harus terlibat untuk merumuskan baik-buruknya religius atau moral dari kasus itu. Sementara itu prinsip dari visi eidetik dalam metodologi fenomenologi agama mengarah pada makna pencarian hakiki dari fenomena religius. Pemahaman makna fenomena religius diperoleh selalu dan hanya lewat pemahaman-ungkapan-ungkapan. Ungkapan-ungkapan ini meliputi kata-kata dan tanda-tanda apapun jenisnya dan tingkah laku yang ekspresif seperti tarian. Hanya melalui ekspresilah serta mengalaminya kembali, dengan empati atau wawasan imaginatif, kita memasuki pemikiran mereka. Kalau tidak demikian, hanya akan memberi kesan seolah kita memasuki
12 Makna tersebut selalu dan terus menerus dibangun dan dibangun kembali,diciptakan dan diciptakan kembali, dan juga dapat menyesuaikan diri begitu situasi yang mengelilingi masyarakat berubah. Makna tersebut tadi bagi masyarakat dapat menghasilkan sebuah pandangan dunia yang menghubungkan secara kokoh unsur-unsur pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience) dan perasaan (sense). Baca lebih lanjut pada M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 22-23. 10 pikiran orang lain lewat suatu proses misterius. Pemahaman adalah penangkapan beberapa isi mental yang diperlihatkan oleh ungkapan. Tindak pemahaman adalah proses kognitif yang pertama, dengan mana studi manusia harus bermula. Ini tidak berarti bahwa mereka tak dapat keliru atau mereka dapat dianalisis lebih lanjut. Dalam fenomenologi agama ada beberapa tipe pemahaman yang berbeda, dalam kompleksitas yang berbeda- beda pula levelnya, tetapi disatukan dalam tujuan mereka, yakni untuk menangkap makna yang lebih dalam dari suatu fenomena religius. Kesatuan tujuan dari tindakan-tindakan pemahaman ini adalah apa yang memberikan karakter yang khas pada setiap ilmu dan menghindari reduksi 13 . Memahami suatu syair tidaklah sama dengan, dan tidak tergantung pada, pemahaman proses-proses mental dari pengarangnya, meskipun beberapa ciri dari syair itu dapat dimengerti dengan lebih baik kalau seseorang mengetahuinya. Jadi, memahami suatu tindakan religius tidak sama dengan, dan tidak bergantung pada, pemahaman proses mental dari tindakan ini. Dengan kata lain, kita tak dapat mengurangi makna suatu fakta religius menjadi proses psikologis dari fakta yang sama itu, meski pengetahuan yang kemudian dapat membantu pengetahuan yang pertama.
Analisis Tinjauan Kritis Penafsiran dan pemahaman 14 suatu fenomena religius meliputi empati terhadap pengalaman, pemikiran, emosi, ide-ide dari orang lain dsb. Tindakan memahami ini tidak akan diperoleh lewat pengalaman reproduktif dari emosi dan pemikiran orang lain. Mengalami dengan cara imitatif atau reproduktif bukan merupakan kondisi untuk memahami pengalaman orang lain. Misalnya, orang dapat tetap bersikap tenang ketika dia menyampaikan bahwa orang lain sangat gembira ; atau seseorang dalam keadaan gembira
13 Reduksi berarti kembali pada dunia pengalaman. Pengalaman adalah tanah dari mana dapat bertumbuh segala makna dan kebenaran. K. Bertens, Maurice Merleau-Ponty dan Fenomenologi, dalam Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis, Gramedia, Jakarta, 1996, hlm.132.
14 Ranah inilah yang kemudian memicu pentingnya metode hermeneutika dalam kajian keagamaan. Perumusan kembali dari phenomenology klasik, yang masih berjuang dengan masalah yang asli seperti bagaimana jalan terbaik untuk menyertakan perspektif orang berkepercayaan ke dalam penafsiran yang ilmiah, untuk itu penting menambahkan suatu dimensi dialogis sebagai suatu tugas hermeneutik. Baca lebih lanjut dalam James L, Cox, 2006, hlm 235 11 bisa mengerti bahwa ada orang lain sedang sedih. Namun, orang haruslah lebih dahulu mengalami kesedihan untuk sungguh-sungguh memahami kesedihan orang lain. Pengalaman reproduktif tentu saja menghasilkan suatu pemahaman yang jauh lebih terang dan mendetail mengenai pengalaman orang lain. Empati memperlihatkan pemahaman terhadap tingkah laku orang lain berdasarkan pengalaman dan tingkah laku dirinya sendiri. Kalau orang tak pernah mengalami tindakan religius atau ritual tertentu, ia tak akan pernah dapat memahami makna tindakan religius ini dari dalam. Pada mulanya mungkin tampak bahwa si penanya harus berdiri di luar atau di atas objek pertanyaannya dan mengandaikan adanya fakta-fakta objektif dihadapan pemikirannya. Kalau kita membatasi kata ilmiah hanya untuk riset yang berdasarkan pengukuran-pengukuran fisik dan penjumlahan, studi mengenai fakta religius boleh dikatakan tidak ilmiah. Hanya ahli ilmu alam atau fisika yang bisa lolos dari kriteria tersebut. Tetapi pertanyaan yang muncul ialah, apakah kita akan membatasi kata ilmiah hanya untuk ilmu- ilmu fisik ini ? bila kita melakukannya, maka kita harus mengecualikan ilmu- ilmu manusiawi dari pertanyaan-pertanyaan ilmiah, yang tentu saja absurd. Kita tak dapat mengukur fakta-fakta mental dan menjumlahkannya karena merupakan fakta-fakta psikis dan spiritual. Pengalaman langsung dari kegiatan-kegiatan yang bisa kita peroleh hanyalah pengalaman internal kita, di mana kita sendiri adalah saksi langsung tanpa perantara. Lebih benar lagi dalam hal ini menyangkut fenomena religius, yang kita alami sesuai dengan iman kita sendiri. Orang-orang dari agama lain juga mengalami hal yang sama dalam kehidupan mental mereka sendiri. Namun, bukankah cara pendekatan iman religius orang lain seperti ini termasuk subjektivisme, karena membuktikan bahwa seseorang mulai menganalisis fenomena religius dari iman dan pengalamannya sendiri ? Oleh karenanya, ada beberapa orang yang berpikir bahwa satu-satunya cara untuk lepas dari tuduhan yang berat sebelah ini ialah dengan menyatakan adanya kesamaan fundamental dari semua agama secara a priori. Posisi seperti ini, sebagaimana kita lihat, tak dapat diterima karena pernyataan mereka bersifat a priori itu sendiri mengimplikasikan suatu penilaian, atau lebih tepat mengundang pertanyaan. Untuk menyatakan kesamaan fundamental dari 12 semua agama secara a priori, perlulah menetapkan suatu locus metafisik di atas semua agama, sebagaimana sebuah perspektif lebih tinggi dari agama- agama pribadi yang sebenarnya adalah abstrak dan khayal. Lagipula, tuntutan utama dari komparasi agama adalah epoche religius, yang tidak menuntut pelepasan keyakinan spontan agamanya sendiri yang belum dimurnikan oleh reduksi fenomenologis, melainkan hanya menaruhkan dalam tanda kurung cara mereka yang isendental. Lebih lanjut, tindak pemahaman fenomena agama ini bukanlah tindakan misterius, atau mistik, wawasan, yang didasarkan pada suatu kemampuan adikodrati untuk menembus pengalaman-pengalaman orang lain. Pengetahuan tentang kepercayaan keagamaan orang lain adalah tidak langsung. Kesimpulan mengenai keadaan religius dari orang-orang lain didasarkan pada pernyataan-pernyataan, tingkah laku, hasil kerja dan data lainnya yang dapat diamati. Pemahaman iman religius orang lain didasarkan pada pengamatan tingkah laku manusia religius dan dari hasil-hasil tindakannya. Transisi seperti ini dapat terjadi berkat adanya dua faktor : yang pertama, kita sendiri sudah sampai pada pengalaman, emosi, pikiran dan ide-ide religius sendiri yang lebih dalam, dalam berbagai situasi ; kedua, manusia religius secara psikologis terstruktur secara sama. Jadi, disini soalnya hanya penyimpulan lewat analogi. Marilah kita menerapkannya dalam skema berikut : A bertingkah laku menurut cara B; kalau saya bertingkah laku seperti itu, saya memperoleh suatu keadaan mental S; kesimpulannya A juga memiliki keadaan mental S. Harus kita katakan bahwa operasi pemahamannya jauh lebih kompleks daripada pemikiran yang kita buat. Bahwa keadaan mental kita, sebagaimana kita ketahui dari pengalaman kita sendiri, terproyeksikan ke pribadi lain berkat bantuan semua informasi yang dapat kita peroleh mengenai pribadi itu, adalah sangat penting. Dalam operasi pemahaman, kita bukan hanya menggunakan informasi mengenai tingkah laku dan/atau pengungkapan yang beragam dari keadaan mental orang lain, namun juga pengetahuan mengenai ciri-ciri psikologis mereka. Lebih jauh lagi, kesimpulan kita harus sesuai dengan gambaran yang kita miliki mengenai mentalitas orang yang dimaksud, sehingga setiap unsur dibenarkan dengan unsur lain. 13 Semakin besar koordinasi antara pengetahuan seseorang mengenai orang lain dan penggunaan kekayaan pengalaman pada umumnya, makin dalam pula pemahaman kita akan orang lain, karena kita hanya dapat menangkap keadaan mental orang lain sejauh dalam bentuk, tingkat, dan cara tertentu keadaan mental itu telah dimiliki dalam pengalamannya yang lebih mendalam. Setiap hal yang asing sama sekali bagi pengalaman kita yang lebih dalam akan berada diluar jangkauan pemahaman kita akan pikiran orang lain. Hal ini lebih berlaku berkenaan dengan tingkah laku religius orang lain. Disamping itu, perlu diingat bahwa berbagai keadaan mental senantiasa dialami dalam konteks tertentu, suatu konteks dari keadaan mental orang lain, kondisi-kondisi eksternal, dan tipe-tipe tingkah laku. Lewat imajinasi kita juga dapat menempatkan diri dalam posisi orang lain dan menciptakan dalam diri kira keadaan mental sedemikian, yang mendasari tingkah laku seperti yang dimiliki orang lain. Inilah yang oleh Amin Abdullah 15 disebutkan bahwa religious study is a study which is subjective-cum- objective or objective-cum- subjective in this character. Jadi, tatkala Studi agama dipertanyakan dan diperdebatkan basis epistemologi keilmuannya: apakah objektif atau subjektif, maka Fenomenologi memberikan jawaban yang tuntas, (subjective-cum- objective atau objective-cum- subjective). Karena menyangkut objektifitas dan subjektifitas, maka terma-terma pengalaman (experience) dan kesadaran (conciousness), nilai dan makna, sakral dan profan menjadi penting untuk kita perhatikan dalam studi agama. Nah kehadiran Fenomenologi agama adalah dalam rangka menempuh dan mencapai terma- terma itu sehingga diharapkan studi agama menjadi objektif. Berikut dapat kita lihat struktur bagan di bawah ini:
15 Amin Abdullah, Is Religion Objective or Subjective, Makalah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007, hlm.1-7 14
Tujuan keseluruhan tipe pemahaman tingkah laku orang beragama ini tepatnya untuk menangkap makna lebih dalam dan intensionalitas dari data religius orang lain yang merupakan ekspresi-ekspresi dari pengalaman religius dan imannya yang lebih dalam. Seperti kita lihat, Fenomenologi agama membahas aspek yang paling pokok dari kehidupan manusia sampai menjadi sadar sepenuh-penuhnya bahwa agama adalah sesuatu yang paling dalam dan paling luhur dalam wilayah eksistensi spiritual dan intelektual manusia, meskipun disadari batas-batasnya dalam tugas memasuki kedalaman pengalaman dari suatu jiwa religius.
Epilog Fenomenologi dan historisitas-kesejarahan (akhirnya) saling melengkapi. Fenomenologi tidak dapat bekerja tanpa etnologi, filologi dan disiplin-displin yang lain seperti antropologi, sosiologi, teologi dan psikologi.
Sociology Studies the social structure that comprise human behaviour
Psychology Examines the personality and adjustment of individuals in societies
Political Science Examines structure of power that legitimate decision making
Economic Looks at pattern of market and forces that influence investment
Religion Focuses on how communities relate to postulated non-falsifiable realities
15 Fenomenologi di sisi lain memberikan kepada disiplin-disiplin historisitas makna religiusitas yang tak tertangkap oleh disiplin-disiplin tersebut. Dengan demikian Fenomenologi keagamaan adalah pemahaman keagamaan (verstandniss) terhadap kesejarahan; ia adalah sejarah dalam dimensi keagamaanya. Fenomenologi keagamaan dan sejarah bukanlah dua buah ilmu, melainkan dua aspek yang saling melengkapi dari satu studi agama yang integral. Studi agama akan tetap berlaku sebagai disiplin yang akademis dan terpercaya, jika, studi agama diproses, serta dapat diterangkan tatkala ia (studi agama tersebut) berhubungan erat dengan dimensi sosial dan konteks budaya. Fenomenologi agama berhubungan dengan aspek pengalaman dari agama, Fenomenologi agama juga mengurai fenomena-fenomena religius yang konsisten dengan orientasi dari pemuja agama tersebut. Fenomenologi agama memandang agama sebagai hal yang terdiri dari komponen-komponen yang berbeda, dan mempelajari komponen itu sebagai tradisi religius. Komponen-komponen itu dipelajari sedemikian rupa sehingga mendapat suatu pemahaman yang objektif. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana dengan islamic studies. Islamic studies sebagai sebuah disiplin tidak dapat berdiri sendiri. Dia harus sering berdialog dengan ilmu-ilmu lain dalam rangka membawa pemahaman yang objektif tentang makna historisitas dan normatifitas Islam itu sendiri. Maka ide dasar tentang interkoneksitas keilmuan menjadi jelas. Akhir dari tulisan ini, penulis menyajikan beberapa bagan 16 dibawah ini untuk memberi gambaran singkat tentang bagaimana Islam sebagai sebuah agama yang dipelajari dan memunculkan disiplin islamic studies itu .
16 Bagan diproduksi ulang dan merujuk pada presentasi kuliah umum Program Pascasarjana dan Program Doktor UIN Sunan Kalijaga oleh M. Amin Abdullah tanggal 4 September 2008. 16
IPA dan IPS Islamic studies Metodologi dan Pendekatan Islam 18
Physical Sciences (Ilmu Fisika) Fisika Mekanika, Hidrodinamika, Teknik, Kelistrikan, Fisika Nuklir, Astronomi Astrofisika Kimia Kimia Anorganik Kimia Organik Metalurgi (Logam, Baja, dsb) Ecologi Kedokteran Statistik Ilmu Komputer Paleontologi Geologi Geofisika, Geokimia, Geografi, oceanografi
Social Sciences (Ilmu Pengetahuan Sosial) Sosiologi Pedesaan, perkotaan, industri, negara berkembangan Pendidikan Hukum, Perdata, pidana, TUN, Internasional, militer, kelautan, dsb Antropologi Arkeologi, Linguistik, etnologi, antropologi budaya, dst Politik, HI, AN Psikologi, anak, remaja Ekonomi Filsafat Sastra dan seni pertunjukan, patung, pahat, ukir, lukis Sejarah Manajemen, akuntansi Issu-issu kontemporer 1. Bioterorisme dan atau senjata biologis 2. Lingkungan, Polusi Gas Emisi Dan pemanasan global 3. Tanah dan persoalannya 4. Pembalakan liar / Illegal logging 5. Narkoba dan obat palsu 6. Perdagangan manusia / traficking 7. Mal praktek pada medis dan kedokteran 19 8. Kloning dan rekayasa genetika 9. Money laundry dan uang palsu 10. Gender dan HAM 11. Politik dan hubungan internasional
Daftar Pustaka
Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, (1912, English translation by Joseph Swain: 1915) The Free Press, 1965. ISBN 0-02- 908010-X, new translation by Karen E. Fields 1995, ISBN 0-02- 907937-3
Djoko Sutopo, Pendekatan Fenomenologis, Paper Mata Kuliah Metodologi Penelitian Agama, Program Doktor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tt
James L. Cox, A Guide to the Phenomenology of Religion. Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates. London and New York: Continuum. 2006
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, Rajawali, Jakarta, 1984
K. Bertens, Maurice Merleau-Ponty dan Fenomenologi, dalam Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
M. Amin Abdullah, Kata Pengantar, dalam buku Mircea Aliade, dkk, Metodologi Studi Agama, Ahmad Norma Permata (ed), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000 M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006), M. Amin Abdullah presentasi kuliah umum Program Pascasarjana dan Program Doktor UIN Sunan Kalijaga tanggal 4 September 2008.
Mariasusai Dhavamony, Phenomenology of Religion, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Driyarkara, Kanisius, Yogyakarta, 1995
Mircea Aliade, dkk, Metodologi Studi Agama, Ahmad Norma Permata (ed), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000
Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler, Kanisius, Yogyakarta
20 Rafaele Pettazoni, Wujud Suprim: Struktur Fenomenologis dan Perkembangan Historis, dalam Mircea Aliade, dkk, Metodologi Studi Agama, Ahmad Norma Permata (ed), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000