Uji antibakteri hasil preparatif dari
KLT terhadap bakteri Escherichia coli
didapatkan hasil yang mendekati kurkumin
standar. Hasil uji antibakteri menunjukkan
zona hambat yang baik pada pengamatan
waktu inkubsai hingga 24 jam. Zona
hambat yang baik terlihat pada preparatif 1
dan preparatif 2.
Purifikasi dengan KLT
Analisis KLT menggunakan
campuran kloroform-metanol (9:1). Fase
gerak tersebut dipilih karena kemampuan
metanol untuk meningkatkan polaritas
kloroform sehingga terbentuk suatu sistem
eluen yang dapat memisahkan komponen
dalam ekstrak berdasarkan nilai retardation
factor (Rf) dalam ekstrak dengan baik
(Khopkar, 1990).
Nilai Rf suatu komponen ditentukan
juga oleh fase diam. Fase diam yang
digunakan pada analisis KLT ini adalah
silika gel F
254
. Silika gel adalah senyawa
yang polar dan angka 254 adalah panjang
gelombang sinar UV yang dapat diserapnya
(Khopkar, 1990).
Gambar 7. Fraksi Hasil Pemisahan dengan
Kromatografi Kolom
Ekstrak etanol kunyit yang pada
awal diuji telah menunjukkan
efektivitasnya terhadap pertumbuhan
bakteri Pseudomonas aeruginosa, Bacillus
subtilis, Escherichia coli, dan Salmonella
typhosa kemudian dimasukkan ke dalam
kromatogafi kolom sehingga terbentuk
beberapa fraksi. Hasil fraksinasi tersebut
dianalisis dengan kromatografi lapis tipis
sehingga membentuk beberapa noda warna
pada setiap fraksinya. Pada kromatografi
kolom didapatkan 7 fraksi hasil pemisahan
dengan fase gerak etanol-air (70:30) dan
pada kromatografi lapis tipis, fraksi yang
menunjukkan penampakan noda yang
mendekati kurkumin standar terlihat pada
Gambar 6.
Komponen kurkuminoid diketahui
mempunyai berbagai aktivitas hayati dalam
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 116-125
Gambar 8. Pola KLT Preparatif
Pada fraksinasi pertama didapatkan
7 fraksi hasil pemisahan dengan
kromatografi kolom yang kemudian
diujikan daya hambatnya terhadap bakteri
Pseudomonas aeruginosa, Bacillus subtilis,
Escherichia coli, dan Salmonella typhosa.
Hasil uji daya hambat dan kromatografi
kolom memiliki kesamaan yaitu fraksi yang
memiliki daya hambat dan profil
penampakan noda yang mendekati
kurkumin standar adalah fraksi 2 dan fraksi
3.
sehingga diperoleh hasil preparatif seperti
terlihat pada Gambar 7. Hasil preparatif
kemudian dikerok dan dilarutkan kembali
dengan etanol untuk selanjutnya dianalisis
dengan KCKTserta uji daya hambatnya
terhadap bakteri Escherichia coli dan
Salmonella typhosa.
Pada Tabel 12 terlihat bahwa
sampel dan kurkumin standar memiliki
waktu retensi yang hampir sama. Waktu
retensi yang sama dapat menunjukkan
senyawa yang sama. Hasil KCKT (Gambar
9) diperoleh waktu retensi puncak
kromatogram yang sama dengan kurkumin
standar (Gambar 8).
Dari kedua fraksi tersebut dianalisis
kembali dengan kromatografi lapis tipis
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
125
126
127
Penuaan kulit karena faktor ekstrinsik
terjadi akibat adanya faktor luar seperti,
sinar matahari, merokok, konsumsi alkohol
yang berlebihan, kekurangan nutrisi dan
proses penuaan kulit yang disebabkan
penuaan dini. Kelainan yang terjadi pada
penuaan dini berupa kulit kering dan kasar,
kulit berkerut, munculnya noda hitam pada
kulit, kulit kusam dan tidak bercahaya. Hal
ini terjadi karena adanya radikal bebas
(Hermani, 2005).
Banyak upaya yang dilakukan untuk
mencegah penuaan dini pada kulit yang
disebabkan oleh radikal bebas, diantaranya
dengan mengunakan teh hijau. Orang tua
zaman dahulu sering menganjurkan kita
mencuci muka dengan air teh yang telah
didiamkan selama 1 malam ( teh wayu),
karena peresapan air teh melalui pori-pori
wajah diyakini bisa membuat kulit muka
selalu terlihat kencang dan bersinar,
sehingga memberikan kesan awet muda, hal
ini terjadi karena teh hijau mengandung
senyawa polifenol berupa katekin. Aktivitas
antioksidan katekin dapat mengurangi
kerusakan sel sehingga proses penuaan
menjadi lambat (Syah, 2006). Gel adalah
sediaan suatu sistem setengah padat yang
terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik
dari partikel anorganik yang kecil atau
makromolekul organik yang besar dan
saling diresapi cairan (Ansel, 1989). Gel
digunakan untuk sediaan kosmetik dan
perawatan kulit. Pada penelitian ini, akan
dibuat bentuk sediaan gel yang merupakan
suatu sediaan semi padat yang jernih dan
tembus cahaya yang mengandung ekstrak
teh hijau dalam keadaan terlarut. Adanya
penambahan ekstrak teh hijau pada
penelitian pembuatan gel ini, diharapkan
dapat menghasilkan sediaan gel sebagai
antioksidan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Farmasi Universitas Pakuan,
dan di Pusat Lembaga Penelitian Biologi
LIPI Cibinong-Bogor. Penelitian ini
dilangsungkan selama 3 bulan dari bulan
Juli sampai bulan September 2009.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan meliputi :
simplisia kering teh hijau dari perkerbunan
Gunung Mas PT Nusantara VIII,
Karboksimetilselulosa (CMC), Propilen
glikol, Metil Paraben, Propil Paraben,
Natrium metabilsulfit, air suling, vitamin C,
DPPH(1,1-difenil-2-pikrilhidrazil),
methanol pro analisis.
Alat yang digunakan antara lain:
viscometer Brookfileld, ayakan mesh 40, pH
meter digital, timbangan digital, moisture
balance AND Mx-50, tangas listrik, mortar,
mixer, maserator, rotary evaporator, oven, tanur
pengaduk, spektofotometri UV-VIS, pipet
Evendof, alat inkubasi suhu 37
0
C, serta alat-
alat gelas kimia.
Metode Penelitian
Pembuatan Serbuk Simplisia
Daun teh hijau kering digiling dengan
glinder stainless steel sehingga menjadi
serbuk dan diayak menggunakan mesh
40.
Penetapan Kadar Air Simplisia
Penetapan kadar air dilakukan
menggunakan alat Moisture Balance
AND MX-50.
Penetapan Kadar Abu Total dilakukan
secara gravimetri
Pembuatan Ekstrak Teh Hijau
Maserasi dengan etanol 70%. 1,5
kg serbuk kering dimasukkan ke dalam
maserator dan ditambahkan 15 L etanol
70% dengan cara bertahap. Tahap pertama
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 126-136
10 L pelarut, lalu setelah disaring
ditambahkan sisa pelarut 5 L. Perendaman
dilakukan selama 5 hari dan , setiap 6 jam
sesekali diaduk selama 15 menit. Maserat
dikumpulkan dan dilakukan pemekatan
dengan rotary evaporator .
Pemeriksaan Katekin Pada Ekstrak Teh
Hijau
Sampel ekstrak sebanyak 50 mg
dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml,
larutkan dan encerkan dengan etil asetat
(larutan C). Larutan C dipanaskan dengan
penagas air selama air selama 5 menit
kemudiaan saring. Dibuang 15 ml filtrasi
hasil penyaringan pertama dan diteruskan
penyaringan. Pipet 2 ml larutan C ke dalam
erlenmeyer bertutup 100 ml dan tambahkan
50 ml pelarut etil asetat (larutan D). Larutan
D dipanaskan di atas penagas air selama 5
menit. Larutan D siap untuk pengukuran.
Pengukuran Larutan :
Menggunakan alat Spektrofotometer Ultra
Violet, dengan mengukur absorban larutan
standar dan sample ekstrak pada panjang
gelombang 279 nm.
Perhitungan :
a. Pembuatan larutan 1 mM DPPH
Timbang seksama kurang lebih 39, 5
mg DPPH (BM 394,32) dan larutkan
dalam 100 ml methanol pro
analisis, lalu ditempatkan dalam botol
gelap (untuk setiap pengujian
larutan harus dibuat baru).
b. Persiapan larutan DPPH tanpa
penghambatan(0% penghambatan
sebagai larutan blangko).
Pipet 1 ml larutan DPPH 1mM ke
dalam tabung reaksi yang telah
dikalibrasi 5,0 ml lalu tambahkan
metanol pro analisis hingga 5,0 ml
homogenkan.
c. Persiapan Larutan Uji
Timbang seksama lebih kurang 100
mg sample ekstrak teh hijau dan
larutkan dalam metanol proanalisis
hingga 100 ml sehingga diperoleh
larutan dengan konsentrasi 1000
g/ml (sebagai larutan induk). Pipet 25
l, 50 l, 125 l, 250 l dan 1 ml
larutan induk kedalam setiap tabung
yang telah dikalibrasi. 5 ml untuk
128
%katekin =
Keterangan :
Et
Ws
100
Ec W
mendapatkan konsentrasi 5 g/ml, 10
g/ml, 25g/ml, 50 g/ml, dan
100g/ml.
d. Persiapan larutan pembanding
Et adalah absorban sampel
Ec adalah absorban standar
Ws adalah berat katekin standar (mg)
W adalah berat sampel ekstrak (mg)
Uji Aktivitas Antioksidan
Ekstrak teh hijau dan sediaan gel
dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan
mengunakan DPPH. Sampel pada uji
aktivitas antioksidan (DPPH) adalah ekstrak
teh hijau dan vitamin C sebagai larutan
pembanding.
Timbang seksama lebih kurang 10
mg vitamin C dan larutkan dalam
metanol pro analisis hingga 10 ml dan
diperoleh larutan dengan konsentrasi
1000 g/ml (sebagai larutan induk).
Pipet 25 l, 50 l, 125 l dan 250 l
larutan induk kedalam setiap tabung
yang telah dikalibrasi 5,0ml untuk
mendapatkan konsentrasi 5 g/ml, 10
g/ml, 25 g/ml, dan 50 g/ml.
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
129
e. Uji aktivitas
Kedalam setiap tabung larutan uji
dan larutan pembanding ditambahkan 1
ml larutan DPPH 1mM dan methanol
pro analisis hingga 5,0 ml. Tutup mulut
tabung dengan alumunium foil dan
homogenkan. Larutan DPPH tanpa
penghambatan (larutan blangko).
Larutan uji dan larutan kontrol positif.
Segera diinkubasi 30 menit pada
37
0
C. Kemudian ukur serapannya pada
panjang gelombang 515 nm.
f. Analisis Data
Persen inhibisi/hambatan dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
Hambatan (inhibisi) =
serapanblangkoserapansampelx100%
SerapanBlanko
Dihitung nilai IC
50
dengan
memasukkan nilai dari konsentrasi
larutan uji sebagai sumbu x dan
persen hambatan terhadap DPPH sebagi
sumbu y ke dalam persamaan
garis regresi.
Pembuatan Basis Gel adalah sebagai
berikut :
1) 13,2 gram CMC dikembangkan dalam
aquadest hangat suhu 70
0
C sebanyak
150 gram, diaduk selama 2 jam sampai
mengembang dalam gelas piala.
2) Metil paraben dan propil parapen
dilarutkan dalam air hangat sampai larut
3) 0,33 gram Natrium metabisulfit dan 3,3
gram TEA dilarutkan dalam 16,5 gram
propilen glikol
4) Tuang ke dalam piala yang berisi CMC
yang sudah mengembang (langkah no 2
dan 3) sehingga terbentuk basis gel.
Pembuatan sediaan Gel Ekstrak Teh
hijau
Proses pembuatan sediaan gel
ekstrak teh hijau untuk formula I, II, dan III
adalah sebagai berikut :
Ditimbang 95 gram basis gel dan
ditambahkan 5 gram ekstrak teh hijau
(formula I)
Ditimbang 90 gram basis gel dan
ditambahkan 10 gram ekstrak teh hijau
(formula II)
Ditimbang 85 gram basis gel dan
ditambahkan 15 gram ekstrak teh hijau
(formula III)
Diaduk dengan mixser selama 5 menit
dengan kecepatan 20 rpm.
Evaluasi Sediaan Gel
Evaluasi sediaan gel meliputi : uji
stabilitas sediaan gel, uji aktivitas
antioksidan sediaan gel dan uji daya terima
Uji Stabilitas
Pengujian dilakukan selama 8
minggu dan dilakukan pada tempat dengan
suhu yang berbeda, yaitu pada suhu kamar
yang berkisar antara 25-30
0
C dan pada
suhu 45
0
C (stabilitas dipercepat),
kelembaban 65-85%. Parameter pengujian
yang dilakukan meliputi, uji organoleptik,
pH dan viskositas.
Uji Penerimaan Panelis
Pengujian ini dilakukan terhadap 20
panelis yang diminta menilai aroma, warna,
kekentalan sediaan, dan efek samping yang
tidak diinginkan (rasa lengket, alergi/
kemerahan seperti gatal-gatal dan rasa
panas) pada saat pemakaian pada sediaan
uji. Pengujiaan mengunakan 7 skala
hedonik yaitu : (1) sangat tidak suka, (2)
tidak suka, (3) agak tidak suka, (4) netral,
(5) agak suka, (6)suka, (7) sangat suka.
Prosedur pengujian hedonik adalah sebagai
berikut :
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 126-136
130
1. Dipilih 20 orang panelis, dimana 10
orang panelis berusia 17-30 tahun dan
10 orang berusia > 30 tahun.
2. Masing-masing panelis diberi sampel
gel semua formula dengan 2 ulangan
secara rahasia.
3. Panelis diminta untuk menilai sifat
organoleptik masing-masing sampel,
sesuai dengan kesukaannya yang
meliputi aroma, warna, kekentalan dan
efek samping dari sediaan tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Ekstrak Teh Hijau
Ekstrak teh hijau didapat dengan
cara maserasi, sebanyak 1,5 kg simplisia
kering teh hijau dimaserasi dengan 15 L
Etanol 70% direndam selama 5 hari
berturut-turut, tahap pertama 10 L pelarut,
lalu setelah disaring ditambahkan sisa
pelarut 5 L. Direndam selama 5 hari, setiap
6 jam sesekali diaduk selama 15 menit.
Maserat dikumpulkan dan dilakukan
pemekatan dengan Rotary evaporator
dengan suhu 40
0
C dengan tekanan 175
atm, sehingga didapat ekstrak setengah
kental sebanyak 3 L, lalu diuapkan
kandungan etanol yang tersisa dengan
penagas air, sehingga didapat hasil ekstrak
kental sebanyak 529,20 gram.
Karakteristik Ekstrak Teh Hijau
Setelah menjadi ekstrak kental,
maka ekstrak tersebut diuji kadar airnya
dengan alat Moisture Balance dan dihitung
Rendemennya hasil yang didapat sebagai
berikut :
Susut pengeringan 2,57%
Rendemen 35,28 %
Penetapan kadar katekin ekstrak teh
hijau
Penetapan kadar katekin ekstrak teh
hijau dilakukan dengan menggunakan
Spektrofotometri UV-VIS, yaitu dengan
membandingkan spektrum yang dihasilkan
oleh baku pembanding katekin dengan
katekin pada ekstrak teh hijau. Absorban
kadar katekin ekstrak kental teh hijau
Senyawa Absorban
(300nm)
Absorban
(279 nm)
Standar 0.003 0.219
Sampel 0.015 0.193
Analisis pengaruh penabahan ekstrak
teh hijau terhadap suatu sediaan
Analisis penambahan ekstrak teh
hijau pada formulasi sediaan gel bertujuan
untuk melihat pengaruh penambahan
ekstrak teh hijau yang terbaik pada 3
formula sebagai antioksidan. Ekstrak teh
hijau untuk pemakaian kosmetik antara lain
sebagai antioksidan bedasarkan kandungan
polifenol (katekin) yang diduga mampu
meningkatkan perlindungan kulit dari
serangan radikal bebas yang dapat
menyebabkan penuaan dini dan kulit
keriput. Analisis yang dilakukan meliputi
uji aktivitas antioksidan ekstrak teh hijau,
sediaan gel, stabilitas sediaan (pH,
Viskositas, organoleptik) dan uji
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
penerimaan panelis. Sediaan gel yang
digunakan dapat dilihat pada Gambar 2
kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari ekstrak
daun teh hijau
131
120
100
h
a
m
b
a
t
a
n
(
%
)
h
a
m
b
a
t
a
n
(
%
)
80
60
40
20
0
0 50 100 150
konsentrasi l arutan uj i
y =0,5285x +47,477
R
2
=0,9777
hambatan
Linear (hambatan)
Gambar 2. Formula I, II, dan III gel
ekstrak teh hijau
Pengukuran Daya Antioksidan Ekstrak
Daun Teh Hijau Dan Sediaan Gel
Ekstrak Daun Teh Hijau
DPPH merupakan radikal sintetik
yang larut dalam pelarut polar seperti
metanol dan etanol. DPPH merupakan
radikal stabil yang dapat diukur intesitasnya
pada panjang gelombang 515 nm. Dari nilai
absorbansi sampel dan kontrol bisa
diketahui daya antioksidannya. Hasil
pengukuran daya antioksidan ekstrak daun
teh hijau dan sediaan gel ekstrak daun teh
hijau dengan menggunakan metode DPPH.
Dari hasil penentuan hambatan (%)
Gambar 3 . Kurva hasil uji aktivitas
antioksidan dari ekstrak daun teh hijau
Nilai IC
50
didapat dari memasukan
nilai dari konsentrasi larutan uji sebagai
sumbu x dan persen hambatan terhadap
DPPH sebagai sumbu y ke dalam
persamaan garis regresi. Dari gambar 3
kurva yang diperoleh persamaan garis
untuk ekstrak teh hijau yaitu y = 0,5285 x +
47,477. Jika dimasukan persamaan y = bx
+a dimana y = 50, a =47,88, b = 0,5285 dan
x = 4,75. maka nilai IC
50
yang didapat pada
ekstrak teh hijau ini sebesar 4,773 g/ml.
Bahwa ekstrak teh hijau ini mempunyai
aktifitas antioksidan yang kuat karena
mempunyai nilai IC
50
kurang dari 200
g/ml (Blois, 1958).
kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari sediaan gel
formula 1
untuk ekstrak daun teh hijau maupun
sediaan gel dapat ditentukan nilai IC
50
bedasarkan grafik konsentrasi ekstrak
(g/ml) sebagai sumbu x terhadap
hambatan sebagai sumbu y. IC
50
merupakan konsentrasi ekstrak yang
120
100
80
60
40
20
0
0 100 200 300 400
konsentrasi larutan uji
y =0,2881x +20,738
R
2
=0,6739
Series1
Linear (Series1)
radikal sebanyak 50% dibandingkan kontrol
melalui suatu persamaan garis regresi
linear.
Gambar 4. Kurva hasil uji aktivitas
antioksidan dari sediaan gel formula 1
Dari gambar kurva 3 diperoleh persamaan
garis untuk formula gel 1 yaitu y = 0,2881 x
+ 20,738. Jika dimasukan persamaan y = bx
+a dimana y = 50, a =20,738 dan b =
0,2881, maka x = 101,56. Jadi nilai IC
50
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 126-136
yang didapat dari gel formula 1 sebesar
101,56 g/ml. Nilai ini jika dibandingkan
dengan ekstrak nilainya sangat jauh
perbandingannya, kemungkinan basis gel
ini berpengaruh terhadap aktivitas
antioksidan, sehingga pada saat diuji
menghasilkan nilai yang besar. Tetapi
sediaan gel ini formula 1 ini masih
mempunyai aktivitas yang kuat karena
132
h
a
m
b
a
t
a
n
(
%
)
h
a
m
b
a
t
a
n
(
%
)
mempunyai nilai IC
50
kurang dari 200
120
100
80
60
40
20
0
kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari sediaan gel formula 3
y =0,1997x +45,756
R
2
= 0,5849
hambatan
Linear (hambatan)
0 50 100 150 200 250 300 350
konsentrasi l arutan uj i
g/ml (Blois, 1958).
Gambar 6. Kurva hasil uji aktivitas anti
kurva hasil uji aktivitas antioksidan dari sediaan gel
formula 2
120
h
a
m
b
a
ta
n
(%
)
100
80
60
40
20
0
0 100 200 300 400
konsentrasi l arutan uj i
y =0,2066x +
41,734
R
2
= 0,6093
hambatan
Linear (hambatan)
Dari gambar 6. diperoleh persamaan garis
sebesar untuk formula gel 3 yaitu y =
persamaan y = bx +a dimana y = 50, a =
45,756 dan b = 0,1997, maka x = 21,25.
3 sebesar 21,25 g/ml. Hal ini terjadi
perbedaan nilai IC
50
antara gel formula I, II,
Gambar 5. Kurva hasil uji aktivitas
antioksidan dari sediaan gel formula 2
Dari gambar 5 diperoleh persamaan
garis sebesar untuk formula gel 2 yaitu y =
0,2066 x + 41,734. Jika dimasukan
persamaan y = bx +a dimana y = 50, a =
41,734 dan b = 0,2066, maka x = 40,00.
Jadi nilai IC
50
yang didapat dari gel formula
2 sebesar 40,00 g/ml. Hal ini, jika
dibandingkan dengan formula I, nilai IC
50
lebih baik, karena disini terjadi perbedaan
dan III hal ini dikarenakan penambahan
jumlah ekstrak teh hijau yang berbeda pada
tiap formula yaitu 5,10, dan 15 gram. Dan
jika dibandingkan pada saat pengujian
ekstrak dan formula gel terjadi nilai IC
50
yang jauh antara ekstrak dan formula gel.
Kemungkinan, basis gel ini ikut
mempengaruhi aktivitas antioksidan, tetapi
ketiga sediaan gel ini masih mempunyai
aktivitas yang kuat karena mempunyai nilai
IC
50
kurang dari 200 g/ml (Blois, 1958).
penambahan jumlah ekstrak yang
digunakan yaitu sebesar 10 gram ekstrak
kental teh hijau. Tetapi sediaan gel ini
formula 1 dan 2 ini masih mempunyai
aktivitas yang kuat karena mempunyai nilai
120
100
80
60
40
20
0
0 20 40 60
ki nsentrasi l arutan uj i
y =
1,3188x +42,718
hambatan
Linear (hambatan)
IC
50
kurang dari 200 g/ml (Blois, 1958).
Gambar 7. Kurva hasil uji aktivitas
antioksidan vitamin C dengan metode
DPPH
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
Dari gambar 7. diperoleh persamaan
garis sebesar untuk vitamin C yaitu y =
1,3188 x + 42,719. Jika dimasukan
persamaan y = bx +a dimana y = 50, a =
42,718 dan b =1,3188, maka x = 5,5. Jadi
nilai IC
50
yang didapat dari vitamin C
sebesar 5,5 g/ml.
Hasil pengujian daya antioksidan
pada tabel 6 dan 7 memperlihatkan nilai
IC
50
ekstrak teh hijau dengan IC
50
vitamin C
selisih perbedaanya sangat sedikit yaitu
ekstrak teh hijau 4,773 g/ml dan vitamin C
5,5 g/ml dengan metode DPPH. Uji
daya antioksidan dengan metode DPPH
merupakan salah satu cara untuk mengukur
aktivitas suatu senyawa uji (ekstrak teh
hijau dan sediaan gel) sebagai antioksidan
dapat dilakukan dengan berbagai macam
metode.
133
sangat tinggi atau sangat rendah dapat
meningkatkan daya absorbsi kulit sehingga
menyebabakan kulit teriritasi.
Sesuai anjuran pakar kosmetik Dr.
Retno iswari tranggono, SpKK bahwa pH
untuk sediaan kosmetik sebaiknya di buat
antara 4,5 sampai dengan 7,5 dan umumnya
kulit lebih toleran terhadap kondisi basa
dari pada kondisi asam.
Uji Penerimaan Panelis (organoleptik
oleh panelis)
Persentase Penilaian Positif Terhadap Tiga Jenis Formula
134
100%
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Formula ke III menujukan nilai
aktifitas antioksidan yang baik
dibandingkan formula I dan II, tetapi
ketiganya memasuki nilai batas
antioksidan yaitu dibawah 200 g/ml
yang bersifat aktif menangkap radikal
bebas.
Aroma ke tiga jenis formula disukai
oleh panelis, aroma formula I memiliki
persentase di atas 90% menunjukkan
hampir semua panelis menyukai aroma
formula I. Kriteria kekentalan ke tiga
jenis formula berada diantara 40%-70%
menunjukkan tidak cenderung pada
P
90%
e
80%
r
70%
s
e
60%
n
50%
t
40%
a
30%
s 20%
e 10%
0%
K
Formula I Formula II Formula III
Jeni s Formul a
Warna Arom
a
Kekentalan
Efek Sam
ping
salah satu penilaian suka atau tidak
suka. Pada kriteria efek samping,
panelis tidak merasakan adanya efek
samping atau bisa dikatakan netral
terhadap efek samping.
Gambar 8. Persentase Penilaian positif
terhadap tiga jenis formula.
Berdasarkan Gambar 14
ditunjukkan bahwa kriteria aroma,
kekentalan dan efek samping memiliki
persentase positif yang tinggi. Dapat
dijelaskan bahwa aroma ke tiga jenis
formula disukai oleh panelis, aroma
formula I memiliki persentase di atas 90%
menunjukkan hampir semua panelis
menyukai aroma formula I. Kriteria
kekentalan ke tiga jenis formula berada
diantara 40%-70% menunjukkan tidak
cenderung pada salah satu penilaian suka
atau tidak suka. Pada kriteria efek samping,
panelis tidak merasakan adanya efek
samping atau bisa dikatakan netral terhadap
efek samping.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk mendapatkan sediaan
dengan warna yang lebih menarik
pada sediaan gel ekstrak teh hijau.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengukur antioksidan sediaan gel
pada konsentrasi dibawah 100
g/ml, sehingga kemungkinan
menghasilkan kurva yang linear.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan
untuk mengetahui aktifitas
antioksidan pada akhir sediaan
stabilitas ke 3 fomula tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah AW. Taklukan Penyakit dengan
teh hijau. Jakarta : Agromedia
Pustaka; 2006. hal 1, 12-3,
32-47
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
135
Ansel H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan
Faramsi. Edisi ke 4. Universitas
Indonesia. Press.
Ansel, H., Loyd V. Allen, Jr dan Nicholas
G. Poporich. 1999. Seventh Edition
Pharmaceutical Dosage Forms and
Drugs Delivery systems. United
States of America. Hal 25-
,378,283, 384.
Aryani, A. 2009. Pengujian stabilitas
sediaan HAND AND BODY
LOTION ekstrak teh hijau
(Camellia sinensis (L). Kunteze Var.
Assamica) dalam tiga jenis basis
yang berbeda. Universitas Pakuan.
Bogor.
Anonimous. 2008. // www. Gogle.com.
Diakses 30 Januari 2009
Banker GS, Rhods CT. Moderen
Pharmaceutics, second edition. New
York, Marcel Dekker Inc 1990, hal
319-320.
Barry, B. W. 1983.Dermatological
Formulation Percutaneus
Absorption. Marcel Dekker. Inc
New York; Hal 300.
Blois, M. S. 1958. Antioxidant
determinations by the use of a stable
free radical, Nature 181.
Cheppy, S. 2007. Warta Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri,
Volume 13 Nomor 3. Balittro.
Cornor, K. A. 1975. A textbook of
Pharmacetical Analisis, second
edition.
A Wiley Insterscience Publication,
New York. Hal 181-213.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia
Edisi III. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 1985. Formularium Kosmetik
Indonesia. Depkes RI. Jakarta. Hal
34- 36.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia
Edisi IV. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2004. Monografi Ekstrak
Tumbuhan Obat Indonesia. Vol I.
Direktorat Jendral Pengawasan
Obat dan Makanan. Jakarata.
Setiawan, D. 1998. Proses Penuaan Dini.
Penerbit : KANSISUS, Yogyakarta.
Djoko, H. 1991. Menghadapi Tantangan
dalam Bidang Obat Tradisional.
Makalah dalam rangka Reuni IV
Fakultas Farmasi GAMA
Yogyakarta.
George, G. 1982. Harrys Cosmeticology.
Seventh edition. Edited by JB.
Wilkinson RJ. Moc.
Graciella, C. 2007. Formulasi emulgel
ekstrak teh hijau (Camellia sinensis
(L). O. K) sebagai antioksidan.
Universitas Pancasila. Jakarta.
Hermani, RM. Tanaman Berkhasiat
antioksidan. Jakarta : Penebar
Swadaya; 2005. Hal. 8-9.
Hudson BJF. 1990. Food Antioxidant.
Elsevier applied Science London
and New York; hal 20-1.
Lachman, L.,Lieberman, H. A dan Kanig,
J.L. 1994. Teori dan Praktek
Farmasi Industri. Vol II. Edisi
III. Terjemahan Siti Suyatmi.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Mitusi T. New Cosmetic Science.
Amsterdam. Elsevier : 197. hal 38-
45.
Sera, 2003. Pengaruh Penambahan
Pengawet Terhadap Kekentalan
sediaan Gel dari Daun Lidah
Buaya (Aloe vera Linn). Skripsi
Fakultas Farmasi. Universitas
Pancasila. Jakarta.
Setyamidjaja, D. 2000. Teh Budidaya dan
Pengolahan Pasca Panen. Penerbit
KANSISUS, Yogyakarta.
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 126-136
136
Soraya, N. 2007. Cantik Dengan Teh Hijau.
Penebar Plus+. Jakarta.
Steenis, V. 1997. Flora Untuk Sekolah
Indonesia. Edisi VII. PT Pradnya.
Jakarta.
Syah, A. N. 2006. Taklukan Penyakit
Dengan Teh Hijau. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Takaya, Y., Y. Kondo, Y furukawa and M.
Niwa, 2003, Antioxydant
constituents of Radist Sprout
(kaiware-daikan), Pephanus Satius
L, J. Agric. Food Chem, 51, 8061-
8066.
Tranggano R. Jerawat pada kaula muda
pencegahan dan penangulangan
symposium Jerawat, Pubertas,
dan Perkawinan. Jabote ; Pusat
dokumentasi dan informasi
ilmiah. PDCl lipi. Hal 1-3.
Puspitasari, N.I. 2007. Pengaruh
penambahan tepung aloe Vera
dengan konsentrasi yang
berbeda dalam formulasi Hand and
Body Lotion.
Warsitaatmaja, SM, Menoldi SL.
Peremajaan Kulit. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2003. Hal 1-9.
Wijayakusuma, H. A.S. wirian, I. Yaputra,
S. Dalimartha dan B. Wibowo.
1988. Tanaman Berkasiat Obat di
Indonesia. Pustaka Kartini. Jakarta.
Hal 64- 65.
Wilkinson JB, Moore RJ. 1982 Harrys
cosmeticology. 7
th
edition. London;
George Godwin; hal 623-4.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan
Gizi. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. Hal: 127-128, 131
Windono T, Soedirman S. 2001. Uji
Peredam Radikal Bebas Terhadap
1,1-diphenyl-2- picrylhydrazil
(DPPH) dari ekstrak kulit buah dan
biji angur (Vitis Nitfe)
Probolinggo biru dan Bali.
Atrocarpus; hal 1(1); 34-43.
Yen G.C, chen HY. 1995. Antioxidant
activity of various tea extract in
relation to their
antimutagenicty. Journal of
argicurural and food chemistry. Hal
43, (1), 27-32.
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
137
CAMPURAN PROPOLIS DAN GARAM KELAPA SEBAGAI
BAHAN ANTIBAKTERI PLAK GIGI
MIXED PROPOLIS AND COCONUT SALT AS A DENTAL PLAQUE
ANTIBACTERIAL AGENT
Akhmad Endang Zainal Hasan, I Made Artika, Henry Adiprabowo
Departemen Biokimia, Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK
Karies gigi merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi di kalangan
masyarakat Indonesia. Faktor yang paling banyak menyebabkan karies gigi adalah plak gigi.
Bakteri yang dominan dalam plak gigi adalah Streptococcus mutans. Salah satu bahan
antibakteri kariogenik yang biasa dipakai dalam pasta gigi saat ini adalah fluor. Penggunaan
pasta gigi berfluor dapat menimbulkan fluorosis yaitu pelemahan email gigi bila dipakai
dalam konsentrasi yang berlebihan. Propolis dan garam kelapa merupakan bahan alami
yang berpotensi sebagai antibakteri pengganti fluor. Penelitian bertujuan untuk menguji
aktivitas antibakteri dari campuran propolis dan garam kelapa dan membandingkan
keefektifannya dengan antibakteri NaF yang terdapat dalam pasta gigi komersial. Uji
aktivitas antibakteri S. mutans dilakukan dengan metode hitungan cawan yaitu
penghitungan jumlah bakteri yang tumbuh di media contoh dalam cawan petri. Propolis
kasar diekstrak dengan alkohol dan didapatkan rendemen sebesar 8.52%. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa campuran propolis 6.25% dan garam kelapa 1 M mempunyai
kemampuan paling besar sebagai antibakteri dan dapat menghambat S. mutans lebih baik
daripada NaF 0.3%. Keefektifan propolis-garam terhadap NaF 0.3% sebesar 203.88%.
Kata kunci : propolis, garam kelapa, antibakteri, antikaries gigi, Streptococcus mutans,
ABSTRACT
Dental caries is a common health problem for Indonesian people. In many cases,
plaque is a major cause of dental caries. Predominant bacteria that cause plaque is
Streptococcus mutans. Nowadays, fluor is a common antibacterial substance in toothpaste.
However, excessive amount of fluor may cause fluorosis characterized by demineralization of
enamel. Therefore, it is important to find another substance to substitute fluor as an
antibacterial agent. The propolis and coconut salt are natural substances having good
potential as antibacteria for fuor replecer. propolis and coconut salt. The aim of the present
study was to determine the antibacterial activity of propolis and coconut salt mixture and
compare its effectiveness with the commercial toothpaste antibacterial substance, NaF.
Antibacterial activity test against S. mutans was conducted by using the plate count method
that is by measuring the amount of bacteria growing in the medium on petri dish. Crude
propolis was extracted using ethanol and resulted in yield of 8.52%. The result of the present
study indicated that a mixture of 6.25% propolis and 1 M coconut salt show best antibacterial
activity and can inhibit S. mutans better than 0.3% NaF. The effectiveness of the coconut salt-
propolis mixture as antibacterial agent was 203.88% of that NaF 0.3%.
Kata kunci: Cryptocarpa Massoy, toksisitas, antibakteri, antioksidan dan analisis
kromatografi.
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 137-145
138
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan gigi di
Indonesia merupakan masalah kesehatan
yang penting. Gangguan kesehatan gigi
yang sering kali terjadi adalah karies gigi
dan penyakit yang terdapat pada jaringan
pendukung gigi. Penelitian epidemiologis
yang dilakukan oleh Direktorat Kesehatan
Gigi RI pada tahun 1982 menemukan 70%
penduduk Indonesia menderita penyakit
gigi berlubang (Rusiawati 1991). Gigi
berlubang berawal dari plak gigi.
Bakteri yang dominan dalam
pembentukkan plak gigi adalah
Streptococcus mutans (Libeirio et al.
2011). Bakteri tersebut memiliki
kemampuan untuk menyintesis sukrosa,
glukosa, atau karbohidrat lain menjadi
polisakarida ekstraselular dan asam
(Panjaitan 2000). Sukrosa akan didegradasi
oleh S. mutans menjadi glukosa dan
fruktosa yang selanjutnya akan diubah
secara fermentasi menjadi polisakarida
(dekstran dan fruktan) dan asam dengan
bantuan dekstransukrase dan fruktanase
yang dihasilkan oleh bakteri tersebut.
Asam yang terbentuk dari hasil fermentasi
ini akan membantu proses pemasakan plak
(Day 2003). Hal ini terjadi karena S.
mutans dapat melakukan fermentasi
heterolaktik yang memproduksi asam
organik seperti format, asetat dan etanol
(Roeslan 1996). Asam yang dihasilkan
tersebut mengakibatkan turunnya pH
permukaan gigi dan mengakibatkan proses
pemasakan plak. Plak gigi yang tidak
segera dibersihkan akan menyebabkan
karies gigi.
Salah satu cara yang paling umum
dilakukan dalam menghambat
pembentukan plak adalah menggosok gigi
dengan menggunakan pasta gigi. Pasta gigi
mengandung antibakteri yaitu fluor dalam
bentuk natrium fluorida (NaF), stanium
fluorida dan natrium monofluorofosfat.
Penggunaan pasta gigi berfluor tersebut
menimbulkan suatu dilema. Hal ini
disebabkan dapat timbul efek samping
berupa fluorosis atau pelemahan email gigi
terutama bila dipakai dalam konsentrasi
yang berlebih. Fluorosis email gigi dapat
menimbulkan lubang-lubang dangkal pada
permukaan gigi. Pada lubang tersebut
kemudian timbul plak gigi dan terjadi
karies gigi. Oleh karena itu diperlukan
upaya mencari bahan alternatif pengganti
fluor sebagai antibakteri dalam pasta gigi.
Menurut Fatoni (2009), Tukan
(2009) dan Hasan et al. (2006) propolis
dari lebah madu Trigona spp telah terbukti
berpotensi sebagai antimikroba baik
terhadap bakteri Gram positif maupun
Gram negatif. Libeirio et al. (2011)
menemukan bahwa propolis asal Melipona
sp dapat menghambat pertumbuhan bakteri
penyebab plak gigi. Demikian pula hasil
penelitian Hasan et al. (2011) menemukan
bahwa propolis Trigona spp mampu
menghambat pertumbuhan bakteri S
mutans sebagai bakteri penyebab caries
gigi.
Penggunaan garam sebagai
antibakteri secara tradisional telah sering
dilakukan oleh masyarakat di Indonesia.
Proses pengawetan ikan dengan
menambahkan garam secara berlebih
berfungsi sebagai pengawet ikan.
Penggunaan garam sebagai antibakteri
pada mulut merupakan kebiasaan
masyarakat dengan cara berkumur air
garam untuk mengatasi radang gusi atau
sakit gigi. Menurut Wolinsky dan Lott
(1986) sodium klorida (NaCl) atau garam
dapat menghambat pertumbuhan bakteri
penyebab plak gigi. Garam yang berasal
dari Pantai Kusamba, Bali dan disebut
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
139
garam kelapa merupakan garam yang
bersih dan terbebas dari bahan pengotor
walaupun tanpa proses pemurnian. Garam
ini disenangi orang Jepang (Arics 2006).
Campuran propolis dan garam
(kelapa) sebagai bahan untuk mengatasi
plak gigi belum dilakukan. Oleh karena itu
penelitian ini bertujuan menguji aktivitas
antibakteri dari campuran propolis dan
garam kelapa terhadap bakteri S mutans
penyebab plak gigi.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
150 gram propolis kasar Trigona spp yang
berasal dari Pandeglang Banten, garam
kelapa dari pantai Kusamba Bali,
Streptococcus mutans, NaCl, media padat
pepton yeast glucose (PYG), etanol, dan
NaF. Alat yang digunakan adalah laminar
air flow cabinet, inkubator, autoklaf,
quebec colony counter dan rotavapor.
Metode
Ekstrak Propolis
Propolis yang digunakan
merupakan hasil ekstraksi sarang lebah
Trigona spp menggunakan metode
Matienzo dan Lamorena (2004) dan Hasan
et al. (2007) dengan modifikasi.
Uji Aktivitas Antibakteri Metode
Hitungan Cawan
Uji aktivitas antibakteri dilakukan
dengan menggunakan metode hitungan
cawan (cawan tuang/pour plate) (Fardiaz
1989). Kontrol positif yang digunakan NaF
0.3% dan kontrol negatifnya akuades.
Contoh bahan yang digunakan adalah
propolis dengan konsentrasi 6.25% v/v,
sesuai dengan nilai KHTM-nya (Hasan et
al. 2011) dan 3.13% v/v, garam kelapa
(dengan kosentrasi 2 mM, 10 mM, 100
mM dan 1 M), dan campuran garam kelapa
dan propolis dengan konsentrasi propolis
6.25% dan garam kelapa 1 M.
Sebanyak satu ose biakan bakteri
S.mutans masukkan dalam 10 mL PYG
cair lalu diinkubasi pada suhu 37
o
C selama
24 jam. Sebanyak 1% inokulum (30 L)
bakteri dari biakan bakteri S. mutans yang
sudah diinkubasi selama 24 jam
dimasukkan ke dalam 3 mL PYG cair
steril yang mengandung contoh dengan
konsentrasi tertentu lalu diinkubasi selama
24 jam pada suhu 37
o
C. Setelah 24 jam
masing-masing biakan bakteri dari
berbagai contoh tersebut dilakukan
pengenceran seri sampai 1 x 10
-4
dengan
menggunakan larutan NaCl 0.9%.
Sebanyak 100 L biakan bakteri hasil
pengenceran tersebut dipipet ke dalam
cawan petri lalu dituangkan media PYG
padat pada suhu sekitar 47-50
o
C, dan
dibiarkan sampai memadat, kemudian
diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 24 jam.
Bakteri yang tumbuh berupa koloni-koloni
dihitung dengan menggunakan quebec
colony counter.
Analisis Statistik
Analisis statistik yang digunakan
adalah rancangan percobaan dua faktor
dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Model rancangannya : Y
ijk
= +
i
+
j
+
()
ij
+
ijk
, dengan Y
ijk
= nilai pengamatan
pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j,
dan ulangan ke k, = komponen aditif dari
rataan,
i
= pengaruh utama peubah A,
j
= pengaruh utama peubah B, ()
ij
=
komponen interaksi peubah A dan peubah
B, dan
ijk
= galat atau pengaruh acak yang
menyebar normal (0,
2
)
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 137-145
Rancangan ini digunakan pada uji
antibakteri metode hitungan cawan. Data
yang diperoleh dianalisis dengan Anova
(Analysis of variance) pada tingkat
kepercayaan 95% dan taraf 0.05. Uji
lanjut yang digunakan adalah uji Duncan,
semua data dianalisis dengan program
SPSS 15.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Propolis dalam Menghambat
Pertumbuhan Bakteri
Tiap bakteri memiliki sensitivitas
terhadap antibakteri yang berbeda. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ekstrak
propolis, garam kelapa dan campuran
keduanya memiliki potensi antibakteri S.
mutans terlihat dari sedikitnya jumlah
koloni bakteri yang terbentuk. Gambar 2
menunjukkan jumlah sel bakteri per mL
yang dapat hidup setelah ditambahkan
contoh. Aktivitas antibakteri berbanding
terbalik dengan jumlah sel bakteri/mL,
makin kecil jumlah sel bakteri/mL yang
tumbuh maka menunjukkan aktivitas
antibakteri contoh yang makin besar.
Biakan bakteri yang ditambahkan akuades
sebagai kontrol negatif dapat ditumbuhi
bakteri paling banyak, karena tidak ada
senyawa yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri di dalam akuades.
400
140
J
u
m
l
a
h
s
e
l
/
m
L
300
200
100
0
Akuades NaF 0,3% Propolis
3,13%
Perl akuan
Propolis
6,25%
Gambar 2. Hubungan propolis, akuades dan NaF 0.3% terhadap jumlah sel
pada penentuan aktivitas antibakteri.
Biakan bakteri yang mengandung
NaF 0.3% sebagai kontrol positif,
ditumbuhi bakteri paling sedikit
dibandingkan akuades dan propolis. Hal ini
disebabkan NaF 0.3% sebagai kontrol
positif mampu menghambat pertumbuhan
bakteri. Hal ini didukung oleh Hoffmans
(1977), dalam Panjaitan (2000)
menyatakan bahwa pemakaian fluor untuk
mencegah karies gigi telah dilakukan sejak
lama, fluor sebagai bahan aplikasi topikal
telah terbukti menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dan pembentukan asam
oleh mikroorganisme plak gigi. Keuntunga
lain dalam pemakaian NaF adalah stabil
dalam wadah plastik, baunya tidak terlalu
enak tetapi diterima, tidak menimbulkan
iritasi dan tidak meninggalkan warna pada
gigi (Tinanoff et al. 1984).
Aktivitas antibakteri NaF 0.3%
sangat besar dibandingkan akuades,
propolis 3.13% dan propolis 6.25%.
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
141
Propolis 6.25% mempunyai aktivitas
antibakteri lebih besar dibanding propolis
3.13% karena konsentrasi propolis yang
dikandung di dalam media biakan bakteri
lebih besar. Makin besar konsentrasi
propolis maka aktivitas antibakterinya
makin besar karena senyawa aktif untuk
menghambat bakteri yang dikandungnya
makin banyak. Hal ini menunjukkan
propolis memiliki aktivitas antibakteri
sesuai dengan Draper's Super Bee Apiaries
(2007) yang menyebutkan propolis
melawan bakteri berbahaya dan bersifat
antibakteri karena memiliki senyawa-
senyawa aktif yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri seperti flavonoid.
Namun berdasarkan analisis statistika
antara propolis 3.13% dan propolis 6.25%
tidak berbeda secara nyata dalam
menghambat pertumbuhan bakteri.
Berdasarkan analisis statistik
terdapat penurunan jumlah sel/mL secara
nyata oleh NaF 0.3% pada tingkat
kepercayaan 95%. Hal ini menandakan
bahwa NaF 0.3% masih sebagai antibakteri
yang paling baik dibandingkan akuades,
propolis 3.13%, dan propolis 6.25%.
Walaupun NaF 0.3% paling baik dalam
menghambat pertumbuhan bakteri, namun
konsentrasi ini terlalu tinggi di dalam pasta
gigi. Menurut Badan Standardisasi
Nasional (2003), pada pasta gigi kadar
fluor yang disyaratkan adalah sebesar 800-
1500 ppm yang setara dengan 0.08-0.15%.
Namun banyak dijumpai bahwa pasta gigi
mengandung komponen fluor (NaF)
sebesar 0.2-0.3% (Hartono 1988).
Efektifitas antibakteri propolis 6.25%
terhadap NaF 0.3% sebesar 35.89% tetapi
masih lebih tinggi bila dibandingkan
dengan akuades. Berdasarkan analisis
statistika pengaruh propolis 6.25% di
dalam biakan bakteri dibandingkan dengan
akuades dalam menghambat pertumbuhan
bakteri berbeda secara nyata (p<0.05).
Potensi Garam dalam Menghambat
Pertumbuhan Bakteri
Gambar 3 menunjukkan
perbandingan aktivitas antibakteri oleh
garam kelapa berbagai konsentrasi,
akuades, dan NaF 0.3%. Diantara
konsentrasi garam kelapa, diperoleh bahwa
konsentrasi garam 1 M di dalam biakan
bakteri memiliki aktivitas antibakteri
paling bagus karena lebih baik dalam
menghambat pertumbuhan bakteri. Cara
kerja dari garam ini adalah terjadinya
tekanan osmosa antara cairan sel dan
larutan garam. Larutan garam merupakan
larutan hipertonis akan menarik cairan sel
sehingga mengganggu kelangsungan
kehidupan bakteri (Prijantojo 1996). Makin
besar konsentrasi garam maka makin besar
dalam menghambat bakteri karena tekanan
osmosisnya makin besar yang menyebab
kan cairan sel bakteri akan tertarik keluar
sel sehingga bakteri mengkerut dan mati.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
makin besar konsentrasi garam kelapa
maka jumlah sel bakteri makin turun.
Larutan garam kelapa dalam
konsentrasi rendah sudah mampu
menghambat pertumbuhan bakteri. Garam
kelapa 2 mM di dalam biakan bakteri
sudah memperlihatkan aktivitas antibakteri
bila dibandingkan dengan akuades.
Menurut Day (2003), konsentrasi NaCl 2
mM mampu menghambat aktivitas
dekstransukrase S. mutans. Jika
dekstransukrase atau fruktansukrase
dihambat maka produksi dekstran atau
fruktan oleh bakteri juga terhambat
sehingga mempengaruhi pertumbuhan
bakteri. Penelitian Wolinsky dan Lott
(1986) menunjukkan bahwa konsentrasi
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 137-145
0.5 M larutan sodium klorida, sodium
bikarbonat (NaHCO
3
), dan magnesium
sulfat (MgSO
4
) dapat menghambat
pertumbuhan bakteri treponema sampai
periode 96 jam. Larutan garam anorganik
juga dapat mempengaruhi pergerakan
bakteri. Pada konsentrasi 0.5 M sodium
klorida tidak ada pergerakan bakteri sama
sekali. Larutan sodium klorida dan sodium
bikarbonat dengan konsentrasi 0.5 M
efektif untuk menghambat pertumbuhan
serta pergerakan dari bakteri secara in
vitro. Hambatan pertumbuhan dan
pergerakan bakteri ditentukan oleh
konsentrasi larutan bukan oleh jenis
garamnya. Oleh karena itu pada pemakaian
larutan garam anorganik untuk tujuan
terapi perlu ditentukan besarnya
konsentrasi dan lama pemakaian sehingga
pertumbuhan bakteri dapat dihambat
(Wolinsky & Lott 1986). Keyes dan Rams
(1983) sangat mendukung pemakaian
larutan garam untuk membatasi
pembentukan koloni dari bakteri.
Penelitian Rams et al (1984) membuktikan
bahwa sodium bikarbonat (0.74 M),
sodium klorida (5.3 M), dan magnesium
sulfat (2.6 M) dapat mempengaruhi
toksisitas bakteri.
Aktivitas antibakteri oleh garam
kelapa seperti terlihat pada Gambar 3,
belum mampu menandingi kemampuan
NaF 0.3% dalam menghambat
pertumbuhan bakteri. Berdasarkan analisis
statistik, media biakan bakteri yang
mengandung NaF 0.3% menunjukkan
penurunan jumlah S. mutans secara nyata
(p<0.05). Diantara konsentrasi garam
kelapa, berdasarkan analisis statistika tidak
menunjukkan penurunan jumlah sel bakteri
secara nyata kecuali pada konsentrasi 2
mM dan 1 M yang berbeda secara nyata
(p<0.05). Efektifitas antibakteri garam
kelapa 1 M terhadap NaF 0.3% sebesar
26.99% tetapi lebih besar aktivitas
antibakterinya dibandingkan akuades.
Berdasarkan analisis statistika garam
kelapa 1 M secara nyata menurunkan
jumlah bakteri dibandingkan dengan
akuades (p<0.05).
J
u
m
l
a
h
s
e
l
/
m
L
(
x
1
0
0
0
0
0
)
350
300
250
200
150
100
50
0
Akuades NaF 0,3% G 2 m M G 10 m M G 100 m M G 1 M
Pe rlakuan
Gambar 3. Hubungan berbagai konsentrasi garam kelapa (G), akuades dan NaF 0.3%
terhadap jumlah sel pada penentuan aktivitas antibakteri.
142
180
143
J
u
m
l
a
h
s
e
l
/
m
L
(
x
1
0
0
0
0
0
)
160
140
120
100
80
2 mM
10 mM
0 mM
100 mM
1 M
0 mM
10 mM
2 mM
60
40
20
0
100 mM
1 M
Propolis 3,13%
Propolis 6,25%
Pe rlakuan
Gambar 4. Hubungan berbagai perbandingan konsentrasi campuran propolis (P) dan
garam kelapa (G) terhadap jumlah sel pada penentuan aktivitas antibakteri.
Potensi Campuran Propolis dan Garam
Kelapa dalam Menghambat
Pertumbuhan Bakteri
Gambar 4 menunjukkan
perbandingan konsentrasi campuran
propolis dan garam kelapa dalam
menghambat pertumbuhan bakteri. Secara
umum, peningkatan konsentrasi propolis
dan garam kelapa akan meningkatkan
potensi antibakteri. Hal ini ditunjukkan
oleh propolis sebelum dicampurkan garam
kelapa masih memiliki aktivitas antibakteri
yang relatif kecil, namun setelah
ditambahkan garam kelapa yang semakin
besar konsentrasinya maka aktivitas
antibakterinya meningkat ditandai turunnya
jumlah sel bakteri per mL.
Campuran propolis 6.25% dan garam
kelapa 1 M memiliki aktivitas antibakteri
terbesar dibanding campuran lainnya. Hal
ini disebabkan oleh konsentrasi kedua
bahan tersebut paling tinggi sehingga
aktivitas antibakterinya maksimum.
Campuran propolis 6.25% dan garam
kelapa 1 M memiliki aktivitas antibakteri
yang lebih tinggi dibandingkan NaF 0.3%.
Hal ini menunjukkan bahwa campuran
propolis 6.25% dan garam kelapa 1 M
lebih efektif daripada NaF 0.3% sehingga
berpotensi digunakan sebagai pengganti
fluor di dalam pasta gigi. Keefektifan
campuran garam kelapa 1 M dan propolis
6.25% terhadap NaF 0.3% sebesar
203.88%. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan campuran garam kelapa 1 M
dan propolis 6.25% dua kali lipat lebih
besar dibandingkan kemampuan NaF 0.3%
dalam menghambat pertumbuhan bakteri.
Hal ini menunjukkan bahwa propolis
bersinergi dengan garam dalam
menghambat pertumbuhan bakteri
penyebab plak gigi. Kesinergisan propolis
ini sesuai dengan pernyataan Fearnly
(2005). Tapi berdasarkan analisis
statistika, jumlah bakteri pada perlakuan
NaF 0.3% dan campuran propolis 6.25%
dan garam kelapa 1 M tidak berbeda nyata.
Walaupun demikian, mengingat pengaruh
jelek dari NaF atau fluor lain yang
berlebih, maka disarankan untuk
mengganti dengan campuran garam dan
propolis.
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 137-145
144
KESIMPULAN
Campuran propolis 6.25% dan garam
kelapa 1 M berpotensi sebagai antibakteri
S.mutans dan dapat menggantikan NaF.
Efektifitas campuran propolis 6,25% dan
garam kelapa 1 M dibandingkan NaF 0,3%
sebesar 203,88%.
DAFTAR PUSTAKA
Arixs. 2006. Garam kelapa disenangi
Jepang. http://www.wisatanet.com/
templete/index.php?wil=4&id=00000
0000000581. [23 Januari 2006]. Badan
Standardisasi Nasional. 2003.
Penerapan SNI pasta gigi. J Warta
Standardisasi 29: 1.
Day F. 2003. Pengaruh glukosa, fruktosa,
sukrosa, sorbitol, dan aspartam
terhadap pertumbuhan Streptococcus
mutans dan produksi dekstran
[skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.
Drapers Super Bee Apiaries. 2007. Bee
propolis.
http://www.draperbee.com/info/
propolis.htm. [27 April 2007].
Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan.
Bogor: PAU Pangan dan Gizi,
Institut Pertanian Bogor.
Fearnly J. 2005. Bee Propolis:
Natural Healing from The
Hive. London: Souvenir ltd.
Hasan AEZ, IM Artika, Popi AK, M
Lasmayanti. 2011. Propolis sebagai
alternatif bahan antikaries gigi.
Chemistry Progress. 4(1), 45-53.
Hasan AEZ, IM Artika, Kasno, AD
Anggraini. 2006. Uji Aktivitas
Antibakteri Propolis Lebah Madu
Trigona spp. Di dalam : Arifin B, T
Wukirsari, S Gunawan, WT
Wahyuni. Seminar Nasional HKI;
Bogor, 12 September 2006.
Departemen Kimia, FMIPA IPB dan
Himpunan Kimia Indonesia. 204-
215.
Hartono SWA. 1988. Macam-macam
bahan untuk perawatan gigi yang
sensitif. J Medika 7: 618-621.
Keyes PH, Rams TE. 1983. A rationale for
the management of periodontal
diseases, rapid identification of
microbial therapeutic targets with
phase-contrast microscopy. J Am
Dent Assos. 106: 803-812.
Liberio SA, ALA Pereira, RP Dutra, S
Reis, MJAM Araujo, et al. 2011.
Antimic-robial activity against oral
pathogens and immunomodulatory
effects and toxicity of geopropolis
produced by the stingless bee
Melipona fasciculate Smith. BMC
Complementary and Alternative
Medicine. 11(108): 1-10.
Matienzo AC, Lamorena M. 2004.
Extraction and initial characterization
of propolis from stingless bees
(Trigona biroi Friese). Di dalam:
Proceeding of the 7
th
Asian
Apicultural Association Conference
and 10
th
BEENET Symposium and
Technofora; Los Banos, 23-27
Februari 2004. Los Banos: Univ
Philippines: 321-329.
Panjaitan M. 2000. Hambatan natrium
fluorida dan varnish fluorida
terhadap pembentukan asam susu
oleh mikroorganisme plak gigi. J
Cermin Dunia Kedokteran 126: 40-
44.
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
145
Prijantojo. 1996. Pengaruh klinis pasta
sodium khlorida dan sodium
bikarbonat terhadap radang gingiva. J
Cermin Dunia Kedokteran 108: 58-
61.
Rams TE, Keyes PH, Jenson AB. 1984.
Morphological effects of inorganic
salts chloramine T and citric-acid
subgingival plaque bacteria.
Quintessence Int 8: 835.
Roeslan BO. 1996. Karakteristik
Streptococcus mutans penyebab
karies gigi. Majalah Ilmiah
Kedokteran Gigi Usakti 10: 112-123.
Rusiawati Y. 1991. Diet yang dapat
merusak gigi pada anak-anak. J
Cermin Dunia Kedokteran 73: 45-47.
Tinanoff N, B Klock, DA Camosci, MA
Manwll. 1984. Microbiologic effect
of SnF
2
and NaF mouthrinses in
subject with high caries activity:
result after one year. J Dent Res 68:
907-911.
Wolinsky LE, Lott F. 1986. Effect of the
inorganic salts sodium chloride,
sodium bicarbonate and magnesium
sulfate upon the growth and motility
of Tripo-nema vincentii. J
Periodontol. 57(3):172-17
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 146-152
146
UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN LIDAH MERTUA
(Sansevieria trifasciata Prain) TERHADAP KHAMIR Candida albicans
Oom Komala
1)
, Ike Yulia
2)
dan Rita Pebrianti
3)
1)
Program Studi Biologi,
2,3)
Program Studi Farmasi,
FMIPA Universitas Pakuan, Bogor
ABSTRAK
Lidah mertua (Sansevieria trifasciata Prain) merupakan tanaman yang berasal dari
Afrika dan dikenal sebagai antimikroba, serta berkhasiat obat. Tujuan dari penelitian ini
ialah mengetahui kandungan antimikroba ekstrak daun lidah mertua dengan menentukan
lebar daerah hambat (LDH) terhadap khamir Candida albicans menggunakan metode difusi
kertas cakram. Pengujian LDH dilakukan terhadap konsentrasi ekstrak daun lidah mertua
60%, 70% , 80%, 90%, serta ketokonazol 14 ppm sebagai kontrol positif dan karboksi metil
selulosa (CMC) 0,5% sebagai kontrol negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak
daun lidah mertua pada konsentrasi 90% membentuk zona hambat terhadap C. albicans
yang paling luas tetapi tidak jernih. Hasil analisis mutu ekstrak diketahui bahwa kadar abu
ekstrak daun lidah mertua yang tidak larut dalam asam ialah 0,23% dan yang larut dalam
air ialah 5,04%. Sedangkan hasil penetapan kadar sari ekstrak daun lidah mertua yang larut
dalam air ialah 38,76% dan yang larut dalam etanol ialah 12,53%. Hasil fitokimia diketahui
ekstrak daun lidah mertua mengandung saponin, flavonoid, steroid, dan triterpenoid, yang
berfungsi dapat menghambat C. albicans.
Kata kunci : daun lidah mertua (Sansevieria trifasciata Prain), Candida albicans, efektivitas,
antikhamir
ABSTRACT
Sansevieria trifasciata Prain is original plant from tropical Africans continent and
known as an anti-microbial agent, and medicinal plants. The purpose of this study was to
know the anti-microbial compound that contained in the leaves extract of S. trifasciata and to
determine the inhibitor width area against the Candida albicans yeast by using diffusion
method. Inhibitor width area tests carried out on leaves extract concentration of S. trifasciata
Prain i.e 60%, 70 %, 80%, 90%, ketokonazol 14 ppm as a positive control, and Carboxy
Methyl Cellulose (CMC) 0,5% as a negative control. The result showed that leaves extract of
the S. trifasciata could inhibit the growth of C. albicans partially. The concentration 90%
formed the partial highess inhibition zone. The result analysis of quality showed that ash
measurement leaf extract non soluble acid is 0.23% and waterbase soluble is 5.04%. Pollen
extract concentration measurement waterbase is 38.76%, ethanol base is 12.53%.
Phytochemical analysis shown saponins, flavonoids, steroids, triterpenoids compound as anti-
Candida albicans.
Keyword : Sansevieria trifasciata Prain, Candida albicans, the effectivenes test, anti-yeast
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan
zaman, pemakaian obat tradisional di
Indonesia mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Saat ini obat-obatan
tradisional menjadi salah satu alternatif
pengobatan, di samping obat-obat sintetik
yang sudah banyak beredar di pasaran.
Hal ini disebabkan obat tradisional relatif
lebih murah, selain itu lebih aman
digunakan. Demikian pula beberapa
jenis obat tradisional tidak kalah jika
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
147
dibandingkan dengan obat-obat sintetik.
Menyadari pentingnya obat tradisional
untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat, maka tanaman sebagai bahan
baku obat tradisional perlu dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Kecenderungan kembali
ke alam (Back to nature) sangat
menguntungkan bagi negara kita karena
begitu banyaknya tumbuhan obat yang
kita miliki, salah satunya adalah dari
tanaman lidah mertua keluarga Liliaceae
yang menambah khazanah kekayaan
tanaman obat.
Sansevieria trifasciata yang dikenal
masyarakat sebagai tanaman lidah mertua
merupakan salah satu tanaman berkhasiat
obat di Indonesia. Secara tradisional
tanaman yang berasal dari Benua Afrika
tropis ini sering dipakai sebagai
antimikroba dan antibiotik (Yoshihiro,
1997). Khasiat tanaman lidah mertua
dalam menyembuhkan berbagai macam
penyakit juga diduga berhubungan
dengan kandungan senyawa kimia yang
dikandungnya antara lain daun dan
rimpang lidah mertua mengandung
saponin dan kardenolin, di samping itu
daunnya juga mengandung flavonoid,
tanin dan polifenol (Depkes RI, 1997).
Senyawa yang diduga memiliki aktivitas
antimikroba pada daun lidah mertua
adalah tanin, flavonoid dan saponin.
Tanin dan flavonoid merupakan turunan
polifenol. Mekanisme kerja turunan fenol
adalah dengan mendenaturasi dan
mengkoagulasi protein sel mikroba
(Siswandono dan Soekardjo, 1995).
Aktifitas antimikroba dari saponin
disebabkan sifatnya yang memiliki gugus
polar (gula) dan non polar (terpenoid)
sehingga dapat menurunkan tegangan
permukaan dinding sel mikroba dan
mengganggu permeabilitas sel bakteri
(Jawetz dkk., 1996).
Candida albicans selalu ditemukan
di dalam saluran pencernaan manusia dan
hewan, sehingga kandidiasis selalu
dianggap sebagai penyakit endogen.
Kandidiasis pada manusia lebih banyak
diderita oleh anak-anak dalam bentuk
sariawan rongga mulut, wanita pada alat
kelaminnya dalam bentuk keputihan dan
menyerang kuku. Obat sintetik untuk
penyakit yang disebabkan oleh C.
albicans relatif cukup mahal, banyak
yang resistensi dan tidak dapat
menghambat khamir yang bersifat
sistemik, sehingga perlu diteliti senyawa
antikhamir yang berasal dari bahan alam,
seperti tanaman lidah mertua (Nasution,
2005).
Tanaman Sansevieria tergolong
dalam tanaman obat karena kandungan
kimia dari daun, buah dan akar telah
teruji positif efek farmakologisnya
(Depkes RI, 1997). Dalam penelitian ini
akan dilakukan pengujian aktivitas
ekstrak etanol daun lidah mertua terhadap
khamir C. albicans sehingga diharapkan
nantinya ekstrak daun lidah mertua
menjadi pengobatan alternatif serangan
khamir Candida albicans.
BAHAN DAN METODE
Simplisia daun lidah mertua segar
varietas Laurentii (N.E.Br) De Wild,
yang tepi daunnya berwarna kuning emas
dengan ujung daun runcing dibersihkan
dari kotoran dengan menggunakan air
bersih yang mengalir. Simplisia dirajang
kemudian dikeringkan di dalam oven
pada suhu 45C selama dua hari atau
sampai kering. Setelah kering ditumbuk
menjadi serbuk halus dengan
menggunakan grinder dan diayak dengan
pengayak no. 20, kemudian ditimbang,
dan disimpan dalam wadah bersih dan
tertutup rapat. Kadar air ditetapkan
dengan alat Moisture Balance AND MX-
50. Persyaratan kadar air daun yaitu
5% (DepKes RI, 1985).
Serbuk daun lidah mertua diekstrak
dengan cara maserasi menggunakan
pelarut etanol 70%. dengan perbandingan
1:10. Sebanyak 1 Kg serbuk dimasukkan
kedalam maserator, lalu direndam dengan
10 L etanol 70% (v/v). Kemudian diaduk
dan direndam selama 24 jam lalu disaring
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 146-152
148
dengan kain batis. Maserat di enap
tuangkan, residu dimaserasi kembali
dengan jenis dan jumlah pelarut yang
sama sebanyak 2 kali pengulangan. Hasil
saringan atau filtrat etanol dicampur dan
diuapkan menggunakan rotavapor sampai
tidak keluar lagi pelarutnya. Ekstrak
kental dipekatkan di atas waterbath dan
dikemas dalam botol berwarna coklat.
Setelah diperoleh ekstrak kental
daun lidah mertua dilakukan hasil analisis
mutu ekstrak yang meliputi penentuan
kadar abu yang tidak larut dalam asam,
kadar abu yang larut dalam air, kadar sari
yang larut dalam air dan kadar sari yang
larut dalam etanol (Depkes RI, 1985).
Identifikasi kandungan zat pada
ekstrak daun lidah mertua dilakukan
dengan uji fitokimia yang meliputi uji
flavonoid (DepKes RI, 1995), uji tanin
(pereaksi besi aluminium klorida dan
gelatin), uji saponin (DepKes RI, 1977),
uji alkaloid (menggunakan pereaksi
Mayer dan Bouchaedat), uji steroid, uji
triterpenoid (Uji Lieberman-Buchard),
dan uji glikosida (Uji Lieberman-
Buchard).
Untuk menguji efektivitas ekstrak
kental daun lidah mertua terhadap isolat
khamir C. albicans menggunakan metode
difusi kertas cakram (Sadiah, 2004).
Media potato dextrose ditanami khamir
C. albicans 1 ml konsentrasi
pengenceran 10
-6
. Untuk ekstrak daun S.
trifasciata yang duji pada konsentrasi
30%, 40% , 50%, 60% dan 70 % (pada
uji pendahuluan) dan 60%, 70%, 80%
dan 90% (pada uji lanjut). Cakram kertas
dibuat dari kertas saring Whatman
diameter 6 mm, dicelupkan ke dalam
sediaan uji ( 1 jam), dikeringkan 37C
( 1 jam). Selanjutnya kertas cakram
direndam dalam larutan selama 24 jam
pada suhu 37C kemudian keringkan
(Komala dkk., 2012). Larutan kontrol
positif digunakan ketokonazol 14 ppm,
untuk kontrol negatif digunakan karboksi
metil selulosa (CMC) 0,5%. Setelah
khamir tersebar secara merata
menggunakan lidi kapas steril,
selanjutnya diletakkan kertas cakram
yang mengandung ekstrak uji,
ketakonazol, dan air. Biakan uji
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37
o
C
dan diukur lebar daerah hambat (LDH)
masing-masing cakram uji terhadap
pertumbuhan khamir C. Albicans
(Sadiah, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Karakteristik Simplisia
Serbuk daun lidah mertua yang
diperoleh adalah sebesar 1,5 Kg dari 15
Kg daun lidah mertua basah. Berdasarkan
hasil analisis kadar air simplisia daun
lidah mertua adalah 8,045%. Hal ini
menunjukkan bahwa kadar air serbuk
daun lidah mertua tidak memenuhi
persyaratan kadar air daun yaitu 5%
(Depkes RI, 1985). Kadar air yang tinggi
mengakibatkan bakteri dan kapang
mudah untuk berkembang biak
(Wijayakusuma dkk., 1992), Sehingga
simplisia harus segera diekstraksi.
Ekstrak Kental Daun Lidah Mertua
Hasil maserasi dari 900 g serbuk
diperoleh ekstrak kental sebanyak 73,6
gram. Nilai rendemen sebesar 8,18%.
Nilai tersebut menunjukkan bahwa
ekstrak yang dihasilkan tidak terlalu
banyak karena daun lidah mertua
mengandung kadar air dan serat yang
sangat tinggi.
Hasil Penetapan Kadar Abu dan
Kadar Sari Ekstrak
Hasil penetapan kadar abu daun
lidah mertua ialah 13,53%. Nilai kadar
abu pada serbuk daun lidah mertua
termasuk tinggi karena kemungkinan
mengandung senyawa anorganik dan
mineral yang sangat tinggi yang
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
149
disebabkan oleh pemanasan yang tidak
sempurna (Depkes RI, 1995).
Berdasarkan penelitian diketahui
bahwa kadar abu ekstrak daun lidah
mertua yang tidak larut dalam asam ialah
0,23% dan kadar abu ekstrak daun lidah
mertua yang larut dalam air ialah 5,04%.
Kadar abu yang tidak larut dalam asam
adalah bagian abu yang tidak bisa
dilarutkan dalam asam keras, bagian yang
tidak larut itu disebut silikat atau pasir.
Hasil yang ditunjukkan sebanyak 0,23%
yang tidak larut atau diduga mengandung
silikat. Kadar abu yang larut dalam air
adalah bagian abu yang dapat larut dalam
air, Hasil yang ditunjukkan sebesar
5,04% adalah oksida-oksida yang dapat
larut dalam air (Depkes RI, 1995).
Hasil penetapan kadar sari ekstrak
daun lidah mertua yang larut dalam air
ialah 38,76% dan kadar sari daun lidah
mertua yang larut dalam etanol ialah
12,53%. Hal ini menunjukkan bahwa
senyawa yang terdapat dalam ekstrak
daun lidah mertua bersifat polar dan
dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan
mikrob.
Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun
Lidah Mertua
Ekstrak daun lidah mertua
mengandung senyawa saponin, flavonoid,
steroid dan triterpenoid yang ditunjukkan
dengan hasil positif. Hasil ini sesuai
dengan peneliti Yoshihiro et al. (1997),
bahwa Sansevieria mengandung saponin
dan steroid. Demikian pula menurut
Sastradipraja (1997), kandungan lidah
mertua antara lain polifenol dan saponin.
Flavonoid adalah suatu kelompok
senyawa fenol yang terbanyak terdapat di
alam. Aktifitas biologis senyawa
flavonoid terhadap khamir C. albicans
dilakukan dengan merusak dinding sel
dan senyawa tersebut dapat masuk ke
dalam inti sel khamir. Menurut Sadiah
(2004) bahwa senyawa flavonoid
memiliki aktivitas yang tinggi terhadap
khamir C. albicans. Golongan flavonoid
ini diduga senyawa turunan 5,4-
dihidroksi flavon.
Senyawa steroid merupakan suatu
golongan senyawa triterpenoid yang
mengandung inti siklopentana
perhidrofenantren yaitu dari tiga cincin
sikloheksana dan satu cincin
siklopentana. Triterpenoid adalah
senyawa yang kerangka karbonnya
berasal dari enam satuan isoprena dan
secara biosintesis diturunkan dari
hidrokarbon C-30 asiklik, yaitu skualena,
senyawa ini tidak berwarna, berbentuk
kristal, bertitik leleh tinggi dan bersifat
optis aktif. Kemampuan senyawa steroid
dan triterpenoid sebagai antikhamir
Candida albicans sangat dipengaruhi
oleh keaktifan biologis senyawa tersebut.
Keaktifan biologis dari senyawa ini
disebabkan oleh adanya gugus karbon.
Adanya gugus karbon ini apabila
mengalami kontak dengan khamir C.
albicans akan bereaksi dengan senyawa-
senyawa asam yang menyusun dinding
sel bakteri/jamur (Robinson, 1991).
Senyawa saponin mempunyai
sifat seperti sabun yang merupakan
senyawa surfactan agent yang kuat,
sehingga dapat menurunkan tegangan
permukaan sel (Robinson, 1991).
Diabsorpsinya saponin pada permukaan
sel akan mengakibatkan kerusakan
dengan naiknya permeabilitas atau
kebocoran membran sel, sehingga bahan-
bahan essensial yang dibutuhkan oleh
bakteri/jamur untuk kehidupannya hilang
dan dapat menyebabkan kematian sel
bakteri/jamur (Robinson, 1991).
Hasil Uji Pendahuluan Terhadap C.
albicans
Berdasarkan hasil uji pendahuluan
(Tabel 1), ekstrak daun lidah mertua
mampu membentuk lebar daerah hambat
yang besar pada konsentrasi 70%.
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 146-152
Tabel 1. Rata-rata LDH (mm) Ekstrak
Daun Lidah Mertua Terhadap
Candida albicans
ulangan
LDH (mm)
Ekstrak Daun Lidah Mertua
Ketonazol 14 ppm
30% 40% 50% 60% 70%
Rata
rata
11 1 12,6
0,58
14,3
0,58
17,6
0,58
22,3
8
261
150
Pada setiap konsentrasi ekstrak
daun lidah mertua membentuk zona
parsial (tidak absolut) atau tidak
mematikan khamir 100% karena masih
ada pertumbuhan pada daerah hambat
yang terbentuk. Kontrol positif
ketokonazol 14 ppm membentuk lebar
daerah hambat yang paling besar dalam
menghambat pertumbuhan Candida
albicans.
Gambar 1. Lebar Daerah Hambat
Ekstrak Daun Lidah Mertua
pada Uji Pendahuluan Terhadap
Khamir Candida albicans
dengan konsentrasi 30% sampai
70%
Hasil Uji Antikhamir Ekstrak Etanol
Daun Lidah Mertua
Berdasarkan hasil dari uji
pendahuluan (Gambar 1) maka dilakukan
uji lanjut dengan variasi konsentrasi 60%,
70%, 80%, dan 90% untuk mengetahui
konsentrasi yang paling baik dalam
menghambat pertumbuhan khamir C.
albicans.
Pada uji lanjut hasilnya (Tabel 2,
Gambar 2) menunjukkan adanya aktivitas
antikhamir dari ekstrak daun lidah mertua
pada konsentrasi 90% dengan lebar
daerah hambat yang paling besar.
Menurut Gholib (2009) senyawa alkaloid,
saponin, flavonoid dan steroid dari
ekstrak tumbuhan daun senggani
(Melastomma malabathricum L.)
berkhasiat antijamur C.albicans.
Diketahui juga bahwa C. albicans lebih
tahan dibanding kapang T.
mentagrophytes.
Pada ekstrak daun lidah mertua
juga mengandung senyawa saponin,
flavonoid, steroid dan triterpenoid, yang
menunjukkan khasiat sebagai antikhamir
tersebut.
Gambar 2. Lebar Daerah Hambat
Ekstrak Daun Lidah
Mertua pada Uji Lanjut
Terhadap Khamir Candida
albicans
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
Tabel 2. Rata-rata LDH (mm) Ekstrak
Daun Lidah Mertua Pada Uji
Lanjut
Ulangan LDH (mm)
Ekstrak Daun Lidah Mertua
Kontrol
Positif
Kontrol
Negatif
60% 70% 80% 90%
1 9 13 15 23 30 0
2 8 12 14 20 28 0
3 8 11 13 20 28 0
Rata-
rata
8,3 12 14 21 28,6 0
151
L
e
b
a
r
D
a
e
r
a
h
H
a
m
b
a
t
(
m
m
)
Rata-rata LDH pada Tabel 2 lebih
kecil dari pada Tabel 1, kemungkinan
bakteri pada Tabel 2 lebih subur sehingga
daya hambat baik ekstrak maupun
ketokenazol lebih kecil. Berdasarkan
sidik ragam Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dan Tabel ANOVA menunjukkan
bahwa konsentrasi 90% daun lidah
mertua memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap khamir C. aldicans.
Pada konsentrasi 90% menunjukkan nilai
LDH 21 mm, sedangkan untuk nilai LDH
terendah ditunjukkan oleh ekstrak daun
lidah mertua pada konsentrasi 60%
dengan nilai LDH yaitu 8,33 mm. Dari
hasil yang didapatkan maka nilai LDH
dari ekstrak daun lidah mertua pada
konsentrasi 90% lebih rendah dari nilai
LDH kontrol positif yang memiliki nilai
LDH 28,67 mm. Hal ini dapat terjadi
karena dosis (konsentrasi) ekstrak daun
lidah mertua yang dipakai pada penelitian
ini masih relatif rendah ialah 90 g
dilarutkan dalam 100 ml untuk
konsentrasi 90%, sehingga harus di
tingkatkan dosis nya agar dapat
memberikan efek yang lebih baik bila
dibandingkan dengan kontrol positif,
selain itu untuk meningkatkan
kemampuannya dalam menghambat
pertumbuhan khamir C. albicans. Akan
tetapi dalam menaikkan dosis
(konsentrasi) ekstrak daun lidah mertua
perlu kita perhatikan pula efek toksisitas
dari daun lidah mertua, yang perlu
dilakukan penelitian. Ketokonazol dipilih
sebagai kontrol positif pada penelitian ini
karena memiliki aktivitas antimikotik
terhadap ragi dermatofit. Bekerja dengan
menghambat sitokrom P450 jamur,
dengan mengganggu sintesis ergosterol
yang merupakan komponen penting dari
membran sel jamur. Sebagai turunan
Imidazol (Alcamo,1991), Ketokonazol
mempu-nyai aktivitas anti jamur baik
sistemik maupun nonsistemik. Efektif
terhadap Candida, Cocciodes immitis,
Cryptococcus neoformans, H.
Capsulatum, B. Dermatitidis, Aspergillus
dan sporothrix spp.
35
30
25
20
15
10
L
5
0
60% 70% 80% 90%Kontrol +
Perlakuan
Gambar 3. Grafik hubungan antara
konsentrasi ekstrak dengan
LDH pada Candida albicans
Dari grafik pengukuran LDH
terlihat bahwa makin besar konsentrasi
ekstrak daun lidah mertua semakin luas
lebar daerah hambat (LDH) yang
dihasilkan dan bersifat parsial (Gambar
3).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Ekstrak daun lidah mertua
(Sansevieria trifasciata Prain) dapat
menghambat pertumbuhan Candida
albicans tetapi tidak jernih.
Konsentrasi ekstrak daun lidah
mertua 90% membentuk zona hambat
yang paling luas. Semakin tinggi
konsentrasi ekstrak maka semakin
besar aktivitas hambatannya.
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 146-152
152
2. Ekstrak daun lidah mertua
berdasarkan uji fitokimia
menunjukkan adanya senyawa
saponin, flavonoid, steroid, dan
triterpenoid yang bersifat sebagai anti
Candida albicans.
Saran
Perlu dilakukan uji toksisitas dari
ekstrak daun lidah mertua serta dibuat
formulanya untuk mencegah atau
mengurangi penyakit yang disebabkan
oleh khamir Candida albicans.
DAFTAR PUSTAKA
Alcamo, I.E. 1991. Fundamental of Mic
robiology. Third edition. The
Benjamin/Cumminompany,
Publishing Company, Inc.777-
782.
Departemen Kesehatan RI. 1997.
Inventaris Tanaman Obat
Indonesia (IV). Badan Penelitian
Dan Pengembangan Kesehatan.
Jakarta.
. 1995. Materia
Medika Indonesia (V).
Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat Dan Makanan. Jakarta.
Depkes RI. 1985. Cara Pembuatan
Simplisia. Departemen
Kesehatan RI. Jakarta.
Gholib, Djaenudin. 2009. Uji Daya
Hambat Daun Senggani
(Melastoma malabathricum L.)
Terhadap Trichophyton
mentagrophytees Dan Candida
albicans. Berita Biologi. 9(5) :
523-527.
Jawetz., E., Joseph. M., dan Edward. A.
1996. Mikrobiologi Kedokteran,
Edisi 20. Alih bahasa : dr. Edi
Nugroho dan dr. R. F. Maulany.
EGC, Jakarta.
Komala, O., Bina L.S., Nina S. 2012. Uji
Efektivitas Ekstrak Etanol Buah
Pare (Momordica charantia L)
sebagai antibakteri Salmonella
typhi. Fitofarmaka, Vol 2 No. 1
:101-106.
Nasution. 2005. Medical Mycology
Message From Dermatologie.
Los Altos. California.
Sadiah, Siti. 2004. Pemeriksaan
Flavonoid Dan Asam Fenolat
Ekstrak Etanol Dan Fraksi Herba
Samboloto (Andrographis
paniculata Ness, Acanthaceae)
Serta Uji Aktivitas Antibakteri Dan
Antifungi. Ekologia. Vol 4 No 2
:47-51.
Sastradipraja, S. 1997. Tanaman Hias,
Bogor : Lembaga Biologi
Nasional LIPI.
Siswandono dan Soekardjo. B. 1995.
Kimia Medisinal. Airlangga
Press.
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
153
OPTIMASI KONDISI UNTUK RENDEMEN HASIL EKSTRAKSI KULIT
MANGGIS (Garcinia mangostana L.)
Optimization of Conditions for Yield Extraction of
Mangosteen Pericarp (Garcinia mangostana L.)
Akhmad Endang Zainal Hasan
1,2*
, Husain Nashrianto
1
, Rani Novia Juhaeni
1
1
Departemen Farmasi, Universitas Pakuan, Jalan Raya Pakuan, Bogor, Jawa Barat
2
Departemen Biokimia, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Jawa
Barat
ABSTRACT
The aim of this study is to determine the levels of yield extract of mangosteen
pericarp extracted using Response Surface Methodology (RSM) Central Composite Design
(CCD) with various concentrations of ethanol (in the range of 45 to 96 %) and duration of
microwave heating (in the range 5.8 to 34.1
o
C) or Microwave Assisted Extraction (MAE). The
yield extract was calculated as percentage to the weight of origin. The results showed that
optimum extraction conditions for yield extract were at ethanol concentration of 70% and
heating time of 31.5 minutes which resulted in yield extract of 19.45%. More over, under
these conditions resulted yield of 19.83%. The yield extract equation of mangosteen
2
pericarp is Y = -73,7883 + 0,5293 X
1
+ 2,4230 X
2
0,0084X
1
2
0,00173 X
2
heating time and X
2
is ethanol concentration in water as solvent.
Key words : Optimization, Mangosteen, RSM CCD, MAE, yield
, where X
1
is
PENDAHULUAN
Upaya untuk mencari kondisi
optimum dari suatu penelitian
menggunakan RSM pertama kali
dikemukakan oleh Box dan Wilson pada
tahun 1951 (Harvey 2000). Dalam
rancangan ini digunakan sistem peubah
secara beragam. Peubah dan taraf yang
digunakan dalam RSM merupakan
komponen yang efektif dalam menentukan
kondisi optimum tersebut. Dalam
prosesnya RSM ini akan menghasilkan
model matematika akurat menggambarkan
proses secara keseluruhan (Harvey 2000).
Menurut Lee (2002) metode ini telah
berhasil digunakan dalam rangka
mengoptimalkan standar formulasi yang
akan digunakan dan sistem operasi yang
akan dilakukan. RSM menawarkan
keuntungan yang lebih baik dan
memberikan pengurangan yang nyata
dalam jumlah perlakuan, sehingga
menghemat waktu dan bahan yang
digunakan. Oleh karena itu langkah awal
dalam penerapan RSM adalah menemukan
pendekatan yang cocok untuk hubungan
fungsional yang benar antara respon dan
peubah secara tunggal. Pada sebuah model
regresi biasanya digunakan untuk melihat
respon sebagai persamaan matematika dari
peubah terus menerus dan estimasi
parameter model terbaik yang disampaikan
(Montgomery, 1997). RSM CCD adalah
salah satu pendekatan yang digunakan
untuk membangun model orde kedua
respon, karena kemampuan RSM CCD
yang dapat dijalankan secara berurutan.
Pada bagian pertama memperkirakan
pengaruh linear dan interaksi dua peubah,
sedangkan bagian kedua memperkirakan
pengaruh kelengkungan. Jika data dari
bagian pertama menunjukkan tidak adanya
pengaruh kelengkungan yang nyata maka
bagian kedua tidak diperlukan lagi
(Montgomery, 1997).
MAE adalah metode ekstraksi yang
relatif baru. Metode ekstraksi ini
menggunakan energi gelombang mikro
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 : 153-159
154
untuk memanaskan suatu pelarut yang
kontak dengan ekstrak. Pemanasan cepat
dan seragam terhadap ekstrak dan pelarut
menjadikan teknik ekstraksi ini secara
nyata lebih efisien dibandingkan metode
tradisional dan akan mengurangi biaya
operasional (Hemwimon et al. 2007,
Thostenson dan Chou 1999, Trusheva et al.
2009). Pada metode ini terdapat
pengaturan temperatur yang akurat,
sehingga dapat mempertahankan suhu yang
ditentukan (Thostenson dan Chou, 1999).
Menurut Amstrong (1999), ekstraksi
dengan bantuan gelombang mikro
merupakan proses ekstraksi yang
memanfaatkan energi yang ditimbulkan
oleh gelombang mikro dengan frekuensi
2450 MHz.
Manggis (Garcinia mangostana L.)
merupakan tanaman tropis yang dapat
dimanfaatkan untuk tujuan pengobatan,
sehingga dapat dikembangkan sebagai
kandidat obat. Menurut Hyene (1987), kulit
manggis dapat dimanfaatkan sebagai
peluruh haid, obat sariawan, penurun
panas, pengelat (astringen) dan obat
disentri. Menurut Geissman (1962),
senyawa flavonoid memperlihatkan
aktivitas sebagai antifungi, diuretik,
antihistamin, antihipertensi, insektisida,
bakterisida dan antivirus. Menurut
Suksamrarn et al. (2003), manfaat kulit
manggis tersebut disebabkan oleh
kandungan flavonoid epikatekin, antosianin
serta senyawa turunan xanton, diantaranya
yaitu -mangostin, -mangostin, -
mangostin, mangostanol dan gartanin.
Umumnya flavonoid tidak dapat larut
dalam air, sehingga diperlukan pelarut
organik lain yang dapat melarutkan
flavonoid dalam proses ekstraksi. Menurut
Xu et al. (2005), untuk mencari kondisi
optimum dalam ekstraksi flavonoid suatu
bahan dapat menggunakan empat peubah,
yaitu konsentrasi pelarut, tempertur, nisbah
bahan baku-pelarut dan waktu ekstraksi.
Penggunaan pelarut organik menjadi salah
satu pilihan yang dapat dipertimbangkan
dalam upaya mengurangi besarnya biaya
ekstraksi.
Tujuan penelitian ini adalah
menentukan kondisi optimum dari
konsentrasi etanol dan waktu pemanasan
gelombang mikro untuk rendemen hasil
ekstraksi kulit manggis.
BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain
microwave (frekuensi 2450 KHz dengan
daya 800 Watt), rotary evaporator, dan
shaker orbital. Bahan yang digunakan
antara lain: kulit manggis asal Leuwiliang,
Bogor, Jawa Barat, etanol dalam air
sebagai pelarut.
Metode
Pembuatan Serbuk Simplisia Kulit
Manggis
Kulit manggis dibersihkan, kemudian
dicuci dan ditiriskan, lalu dirajang dengan
ukuran 0,5 cm lalu dikeringkan. Setelah itu
dibersihkan kembali dari kotoran,
diserbukkan dan diayak dengan 40 mesh.
Serbuk simplisia kulit buah manggis
disimpan dalam wadah tertutup.
Penetapan Kadar Air
Pemeriksaan kadar air simplisia
dilakukan dengan menggunakan Moisture
Balance dengan dua kali ulangan. Setiap 1
g sampel dimasukkan ke dalam alat yang
telah disiapkan, pada suhu 105
0
C selama
10 menit. Kemudian dicatat kadar yang
tertera pada Moisture Balance. Kadar air
simplisia tidak boleh lebih dari 5%
(DepKes RI, 1994).
Penetapan Kadar Abu
Serbuk simplisia ditimbang
sebanyak 2 g lalu dimasukkan ke dalam
krus platini yang telah dipijarkan dan
ditera, ratakan, lalu dipijarkan kembali
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
hingga menjadi arang dan habis, kemudian
didinginkan dan dilakukan penimbangan
krus (BSN, 2005).
Ekstraksi Kulit Manggis
Ekstraksi dilakukan menggunakan
metode Jang et al. (2009) yang
dimodifikasi. Serbuk simplisia sebanyak 30
g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan
ditambahkan 600 mLl etanol dengan
konsentrasi sesuai perlakuan. Kemudian
diekstraksi dengan cara maserasi dan
pengadukan. Setelah 18 jam, serbuk
simplisia dipanaskan dengan menggunakan
bantuan gelombang mikro (KRIS
MICROWAVE OVEN) sesuai waktu
perlakuan. Setelah itu ekstrak disaring dan
filtratnya dikeringkan hingga membentuk
serbuk. Rendemen diperoleh dengan
menghitung persen bobot ekstrak terhadap
bobot simplisia.
Rancangan percobaan
Penentuan optimasi dilakukan dengan
metode Response Surface pada dua peubah
(Tabel 1). Peubah perlakuan adalah waktu
pemanasan dengan gelombang mikro dan
konsentrasi pelarut etanol. Parameter uji
untuk optimasi ekstraksi kulit manggis
adalah rendemen hasil ekstraksi.
Tabel 1. Pola rancangan dalam batasan dan taraf dari dua peubah
Peubah (X)
- -1 0 +1 +
Waktu pemanasan gelombang
mikro, menit
5,8 10 20 30 34,1
Konsentrasi pelarut etanol, % 45 52 70 88
96
Batasan dan Taraf
155
ii,
ij
: koefisien dari peubah bebas (X), X
adalah peubah bebas dengan tanpa sandi
(waktu = X
1
taraf 10, 20 dan 30 menit;
pelarut etanol = X
2
taraf 52, 70 dan 88 %),
dan adalah galat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Simplisia kulit manggis yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan
hasil pengecilan ukuran kulit manggis yang
5% dan standar kadar air ekstrak kental
berkisar antara 10% - 15%. Kadar abu
simplisia rata-rata sebesar 2,3%. Hasil
pengukuran kadar abu tersebut kurang dari
4%, maka simplisia tersebut telah
memenuhi standar kadar abu sesuai dalam
SNI 01-7084-2005 (BSN, 2005). Hasil
penetapan kadar air dan kadar abu
menunjukkan nilai yang diperbolehkan
dalam ketentuan yang ditetapkan dalam
aturan yang ada, sehingga daya tahan
penyimpanan simplisia relatif aman.
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 153-159
156
Hasil ekstraksi kulit manggis dengan
peubah waktu pemanasan gelombang
mikro dan konsentrasi pelarut etanol
disajikan pada Tabel 2. Hasil pengolahan
sidik ragam dan analisis RSM dapat dilihat
pada Tabel 3 dan Gambar 1.
Hasil analisis data rendemen hasil
ekstraksi pengaruh waktu pemanasan
gelombang mikro dan konsentrasi pelarut
etanol menggunakan RSMCCD, diperoleh
persamaan sebagai berikut : Y = -73,7883
+ 0,5293 X
1
+ 2,4230 X
2
0,0084 X
1
1
0,00173 X
2
2
. Persamaan tersebut
menunjukkan bahwa waktu pemanasan
(X
1
) dan konsentrasi pelarut etanol (X
2
)
berpengaruh secara nyata terhadap
rendemen. Hal ini terlihat dari nilai
koefisien nilai X
1
dan X
2
lebih besar dari
nilai koefisien lainnya.
Hasil sidik ragam yang diperoleh
dari P value pada X
1
(waktu pemanasan)
menghasilkan (0,0024) < P value (0,05),
dengan demikian waktu pemanasan sangat
berpengaruh pada hasil rendemen. Pada P
value pada X
2
(konsentrasi pelarut)
menghasilkan (0,000) < P value (0,05),
dengan demikian bahwa konsentrasi
pelarut sangat berpengaruh pada hasil
rendemen. Hasil pengujian untuk ketidak
cocokan model dapat dilihat pada nilai P
value lack-of-fit > 0,05, yang berarti
kecocokkan model respon diterima. Hasil
penelitian ini diperoleh yaitu P value
(0,286) > P value (0,05). Artinya bahwa
analisis RSMCCD tersebut adalah valid,
artinya mampu memprediksikan respon
dari data.
Tabel 2. Hasil rendemen ekstrak kulit manggis pengaruh waktu pemanasan
gelombang mikro dan konsentrasi pelarut etanol
No. Lama pemanasan (menit) Konsentrasi etanol, % Rendemen (%)
1 10 88 10,48
2 30 88 13,29
3 10 52 10,00
4 30 52 11,94
5 5,8 70 13,38
6 34,1 70 20,93
7 20 45 8,54
8 20 96 6,71
9 20 70 17,21
10 20 70 19,82
11 20 70 18,42
12 20 70 17,56
13 20 70 18,72
Tabel 3. Hasil sidik ragam rendemen hasil ekstraksi kulit manggis
Sumber Derajat
bebas
Estimasi Standar
Error
Kuadrat
Tengah
Nilai F Nilai P
Regresi 4 249,279 249,279 62,320 41,66 0,000
*Linier 2 29,811 217,328 108,664 72,65 0,000
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
*Kuadratik 2 219,468 219,468 109,734 73,36 0,000
Sisa Kesalahan 8 11,966 11,966 1,496
*Lack-of-fit 4 7,740 7,740 1,935 1,83 0,286
*Kesalahan murni 4 4,226 4,226 1,057
Total 12 261,246
R
2
=95,4 %
Gambar 1. Respon permukaan rendemen hasil ekstraksi kulit manggis akibat
pengaruh waktu pemanasan gelombang mikro dan konsentrasi pelarut
etanol
Hasil perhitungan statistik
menunjukkan bahwa R
2
= 93,1%, nilai ini
menunjukkan bahwa besarnya pengaruh
faktor lamanya waktu pemanasan dan
konsentrasi etanol sedangkan 6,9%
merupakan pengaruh dari faktor-faktor di
luar perlakuan yang diamati dalam
penelitian ini. Analisis RSM ini sesuai
dengan yang dijelaskan oleh Box dan
Wilson (1951), RSM merupakan cara
yang efektif untuk mencari kondisi
optimum dengan melihat sistem respon
ketika taraf dari faktor-faktor yang
terlibat berubah (Harvey, 2000). Selain
itu, RSM akan menghasilkan model
matematika yang akurat dalam
menggambarkan proses secara
keseluruhan.
Berdasarkan Gambar tersebut,
bahwa makin tinggi konsentrasi dan
makin lama waktu ekstraksi akan makin
tinggi hasil rendemen. Namun pada
konsentrasi 88%-96% mengalami
penurunan disebabkan perbedaan
kepolaran dalam menarik suatu senyawa
glikosida flavonoid yang bersifat polar
dan berakibat penurunan pada hasil
rendemen. Hal ini seperti prinsip like
dissolves like bahwa senyawa yang
bersifat polar akan mudah larut dalam
pelarut polar, sedangkan senyawa
nonpolar akan mudah larut dalam pelarut
nonpolar. Perbedaan rendemen ini
disebabkan antara lain karena perbedaan
kemampuan masing-masing cairan
penyari dalam proses ektraksi yaitu
konsentrasi etanol disertai dengan
lamanya waktu ekstraksi untuk
memperoleh zat aktif yang terkandung
dalam simplisia tersebut dan kelarutan zat
aktif dalam cairan penyari yang berbeda.
Dalam Gambar tersebut ditunjukkan
bahwa persamaan RSM ini mempunyai
nilai maksimum pada waktu pemanasan
30 menit dengan konsentrasi etanol 70%.
Terlihat bahwa nilai rendemen ekstraksi
157
158
menunjukkan terjadi penurunan pada
konsentrasi etanol lebih besar dari 70%.
Dengan menggunakan D-optimally
(Saputera 2008) diperoleh hasil optimasi
rendemen sebesar 19,45% pada waktu
31,5 menit dengan konsentrasi etanol
70%. Dengan etanol 70% ternyata sangat
efektif dalam menghasilkan jumlah bahan
aktif dengan skala kecil pengotor yang
turut ke dalam cairan ekstrak (Harborne
1987).
Pada proses pembuatan ekstrak
optimum dilakukan seperti pembuatan
ekstrak sebelumnya. Hasil yang
diperoleh adalah rendemen ekstrak
sebesar 19,83%. Nilai bias antara hasil
verifikasi sebesar 1,9 % atau rendemen
yang diperoleh lebih banyak
dibandingkan dengan hasil proyeksi dari
model persamaan. Pada kondisi optimum
ini kadar total flavonoid sebesar 11,42%
(Hasan et al. 2013)
KESIMPULAN
Rendemen optimum hasil ekstraksi
kulit manggis diproyeksikan sebesar
19,45% dicapai pada konsentrasi pelarut
etanol 70% dengan waktu pemanasan
gelombang mikro 31,5 menit pada model
persamaan Y = -73,7883 + 0,5293 X
1
+
2
Optimum Conditions. J Royal
Stat Soc B, 13:145.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. SNI
01-7084-2005. Jakarta
DepKes RI. 1994. Lampiran Keputusan
Menteri Kesehatan RI No.
661/IMENKES/SK/VII/ 1994
tentang Persyaratan Obat
Tradisional. Jakarta
Geissman, T. A.1962. The Chemistry of
Flavonoid Compounds. Pergamon
Press, Inc : New York. 541 hlm.
Hasan AEZ, H Nashrianto, RN Juhaeni.
2013. Optimization of Extraction of
Flavonoids from the Mangosteen
(Garcinia mangostana L.). EJFA.
Akan Terbit.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia:
Penentuan Cara Modern
Menganalisis Tumbuhan
(Padmawinata K, penerjemah).
ITB: Bandung:84-94.
Harvey D. 2000. Modern Analytical
Chemistry. New York: McGraw
Hill.
Hemwimon S. P Pavasant, Shotipruk A.
2,4230 X
2
0,0084X
1
2
0,00173 X
2
.
Hasil verifikasi kondisi optimum
diperoleh rendemen sebesar 19,83%.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, AD. 1999. Microwave-
Assisted Extraction for The
Isolation of Trace Systemic
Fungicides From Woody Plant
Material. [Doctor dissertation].
Virginia Polytechnic Institute and
state University.
Box GEP, Wilson KB. 1951. On the
Experimental Attainment of
2007. Microwave yang dibantu
ekstraksi anthraquinones
antisoksidan dari akar Miranda
citrifolia. Pemisahan Technol
Pemurnian, 54:44-50.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna
Indonesia. Jilid 3. Departemen
Kehutanan: Jakarta.
Jang MJ, SR Sheu, CC Wang, YL Yeh,
KH Sung. 2009. Optimization
analysis of the experimental
parameters on the extraction
process of propolis. Proceedings
of the International Multi
Conference of Engineers and
Fitofarmaka, Vol. 2, No.2, Desember 2012 ISSN : 2087-9164
159
Computer Scientists. II, IMECS. Hongkong. 1295-1299.
Lee, H. J. 2002. Designing of an
electrolysis desalination plant.
Desalination.142:267-286.
Montgomery, D. C. 1997. Response
Surface Methods and Other
Wiley & Sons, New York, USA:427510.
Saputera. 2008. Karakterisasi Biji
Kamandrah (Croton tiglium L.) dan
Pengembangan Teknologi Proses
Ekstrak Terstandar sebagai Bahan
Laksatif. [disertasi]. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Suksamrarn, S., N.Suwannapoch, P.
Ratananukul, N. Aroonlerk, and A.
propolis: a preliminary study.
Chem Center, 1(13): 1-4.
Thostenson E.T dan T.W. Chou. 1999.
Microwave pengolahaan:
fundamental dan aplikasi . J
Komposit: Bagian A. 30:1055-1071.
Trusheva B, D Trunkova, V Bankova.
2006. Preliminary communication,
Different extraction methods of
biologically active components from
Approaches to Process
Optimization. In: Design and
analysis of experiments. 4
th
ed. John
Suksamrarn. 2003. Antimycrobacterial
activity of prenylated xanthones
from the fruits of Garcinia
mangostana. Chem Pharm Bull.
51(7):857-859.
Wijayakusuma H., S. Dalimartha., dan A.
S. Wirian., 1992. Tanaman
Berkhasiat Obat di Indonesia.
Pustaka Kartini, Jakarta. Hlm 112-
113.
Xu Y, Zhang R, Fu H. 2005. Studies on the
optimal process to extract
flavonoids from red-raspberry
fruits. J Nat Sci 3:43-46.
Yoshihiro. 1997. Pregnan glycosides from
Sansevieria Trifasciata.
Phytochemistry 44:107-111.