Anda di halaman 1dari 4

Waspadai International Crisis Group (ICG)

Siapa International Crisis Group (ICG)?


Hizbut-Tahrir.or.id - Bicara tentang terorisme atau Islam radikal di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari ICG. Apa itu ICG? Dengan melihat situs resmi mereka ditambah dengan situs
wikipedia dapat dipahami apa itu ICG. Secara ringkas, ICG singkatan dari International Crisis
Group (ICG) adalah sebuah organisasi nonpemerintah, nirlaba internasional yang misinya
mencegah dan menyelesaikan konflik berbahaya melalui analisis berdasar-medan dan
advokasi tingkat-tinggi.

Ketika sebuah negara dalam resiko perpecahan, atau kekerasan skala besar, ICG mengirim
beberapa tim analis politik ke dalam atau dekat daerah konflik. Organisasi ini menciptakan
laporan analisis dengan rekomendasi yang ditujukan kepada pemimpin-pemimpin dunia dan
organisasi-organisasi. Kelompok ini pun menerbitkan newsletter bulanan, CrisisWatch, yang
memberikan sekilas berita tentang kekerasan yang sedang terjadi di dunia.

Sebagai organisasi yang menghasilkan laporan dan analisis, grup ini bekerja dengan banyak
pemerintah, organisasi, dan media untuk menerbitkan dan menyebarkan laporan mereka,
yang juga tersedia dalam situs resmi mereka.

Kantor pusat Crisis Group terletak di Brusel, bergerak di benua Afrika, Asia, Eropa, Amerika
Latin dan Karibia, Timur Tengah dan Afrika Utara. Mereka memiliki kantor-kantor advokasi di
Washington, DC, New York City, London dan Moskwa, dan juga kantor setempat di Amman,
Belgrade, Beirut, Kairo, Dakar, Dushanbe, Islamabad, Jakarta, Kabul, Nairobi, Bishkek, Port-
au-Prince, Pretoria, Pristina, Quito, Seoul, Skopje dan Tbilisi. ICG juga memiliki analis yang
bekerja di lebih dari 40 negara dan wilayah dalam konflik di empat benua. ICG didanai melalui
sumbangan dari Pemerintahan Barat, fondasi lainnya, dan organisasi, perusahaan, dan
individual.

Jakarta dijadikan pusat ICG untuk Asia. ICG berada di Indonesia sejak 2000, menjelang
deklarasi war on terrorism Presiden Amerika Serikat (AS) pada September 2001. Dalam situs
resminya disebutkan bahwa Tim ICG di Jakarta mengeluarkan laporan-laporan dan
rekomendasi mengenai kebijakan tentang perkembangan politik di Indonesia, perkembangan
otonomi regional, perjuangan kaum separatis di Aceh dan Papua, kekerasan komunal dan
peranan radikal Islam dengan difokuskan pada jaringan Jemaah Islamiyah. ICG Jakarta telah
membuat laporan tentang Aceh, Papua, Maluku, Poso, reformasi, polisi, militer, desentralisasi
dan terorisme. ICG telah menyusun sejumlah laporan mengenai isu-isu politik yang peka,
termasuk masalah Aceh, Papua, Maluku, Poso, perombakan dalam tubuh Polri dan TNI, serta
masalah terorisme yang banyak dikutip media asing dan pemerintah AS.

Dalam perjalanannya, ICG di Asia Tenggara yang berpusat di Jakarta dikepalai oleh Sydney
Jones (Senior Advisor) dengan John Virgoe sebagai South East Asia Project Director
(Direktur Proyek Asia Tenggara). Sydney Jones pernah dua kali diminta angkat kaki dari
Indonesia. Pertama kali dia diminta hengkang dari Indonesia pada Juni 2004. Sydney Jones,
warga negara Amerika Serikat, pada awalnya dilarang masuk ke Indonesia antara lain karena
laporan-laporan yang dibuatnya tentang konflik di beberapa wilayah di Indonesia dianggap
bias dan kurang obyektif. Forum Koordinasi Intelijen menilai Sydney Jones bersama
beberapa orang Indonesia lainnya telah merugikan bangsa Indonesia karena menjual
informasi untuk mendapatkan uang, kata Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM
Hendropriyono (28 Mei 2004). Dia juga menyebutkan bahwa keberadaan Jones telah
merugikan bangsa Indonesia. ICG, bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang lain,
kata Kepala BIN tersebut telah menjual informasi negara untuk mendapatkan uang (29 Mei
2004).

Bahkan, puluhan orang dari berbagai elemen, mahasiswa, dan masyarakat umum menggelar
unjuk rasa (23 Juni 2004). Mereka meminta pemerintah mengusir Sidney Jones dan jaringan
LSM-nya yang telah mengobok-obok Indonesia dan memperdagangkan kebobrokan bangsa
ini demi keuntungan sesaat. Mereka berpihak pada separatis Aceh dan Papua. Kemudian, dia
tinggal lagi di Indonesia (Jakarta) sejak 22 Juli 2005. Namun, karena dianggap
membahayakan Indonesia, dia diusir kembali pada 24 November 2005. Menkum dan HAM
Hamid Awaludin turut mau buka suara tentang alasan pencekalan terhadap Sidney Jones. Dia
dianggap mengancam stabilitas keamanan dalam negeri. Pencekalan terhadap Sidney
dilakukan setelah lewat proses evaluasi di bawah Menko Polhukam dan turut melibatkan
unsur kepolisian, intelijen dan sebagainya. Keputusannya Sidney kembali dicekal dengan
alasan perhitungan keamanan, ungkap Hamid (28/11/2005). Namun, dunia menekan
Indonesia dan menuduh hal tersebut sebagai kemunduran bagi demokrasi dan hak hak asasi
manusia di Indonesia.

Akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memerintahkan agar larangan kegiatan
selama setahun bagi peneliti Amerika Sidney Jones di Indonesia, dicabut (29 November
2005). Setelah itu, Desember 2006, Sidney Jones banyak mempropagandakan AS dan
memfitnah Ustadz Abu Bakar Baasyir dalam laporannya tentang Jaringan Terorisme Ponpes
Ngruki. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) menuntut pemerintah untuk mengusirnya kembali
karena lebih merupakan corong AS daripada peneliti. Namun, pemerintah tidak
memenuhinya. Dia pun tetap bebas bergerak.

Jadi, apa yang dilakukan selama ini oleh ICG mencerminkan visi dan misinya. Lembaga ini
lebih mendukung upaya separatis di Aceh dan Papua, serta memojokkan umat Islam dengan
isu terorisme.

Tudingan ICG
Pada 12 Desember 2002 ICG mengeluarkan laporan tentang terorisme Indonesia bertajuk
Backgrounder: How The Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates (Jaringan Teroris
Indonesia: Cara Kerja Jamaah Islamiyah). Hal ini menjadikan Indonesia terpojok meski fakta
tak pernah membuktikan hal tersebut. Dalam laporan tersebut ICG mengatakan dari 14 ribu
pesantren di Indonesia, ada 8900 pesantren yang berbahaya. Sungguh satu tuduhan yang
justru berbahaya. Setelah itu, penelitian yang didanai AS menyimpulkan bahwa kitab kuning di
pesantren merupakan biang kekerasan dan berikutnya pemerintah AS langsung mengusulkan
agar Indonesia segera merubah kurikulum pendidikan agama, khususnya di pesantren.

ICG terus melaporkan. Pada Agustus 2003 menurunkan laporan bertajuk Jemaah Islamiyah in
South East Asia: Damaged But Still Dangerous (Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara: Hancur
Tetapi Masih berbahaya). Lagi-lagi, ICG menuduh ada beberapa jaringan pesantren yang bisa
dikategorikan teroris dan Jamaah Islamiyah. Setelah itu beberapa orang diciduk polisi. Hal ini
menggambarkan betapa laporan ICG bukan sekedar laporan penelitian, tapi ada the invisible
hand yang menggerakkannya. Tidak aneh bila banyak kalangan memandang ICG
kepanjangan CIA secara halus untuk menekan pemerintahan Indonesia. Caranya, dengan
membuat penelitian dan laporan hingga terkesan ilmiah. Kecurigaan itu tidaklah berlebihan.
Apalagi diketahui ada hubungan antara ICG dengan pialang saham keturunan Yahudi,
George Soros. Pada tahun 2003. Soros pernah dianugrahi ICG Founders Award atas
kontribusinya membantu ICG. Kabarnya, laporan-laporan ICG ini memang dikirimkan kepada
parlemen AS untuk menjadi bahan pertimbangan.

Pada 16 Juni 2008, ICG mengeluarkan laporan Indonesia: Communal Tensions in Papua.
Disana ditulis, Konflik antara Muslim dengan Kristen di Papua dapat meningkat bila tidak
dikelola dengan baik. Kaum Kristen merasa diserang oleh migrasi kaum Muslim dari luar
Papua dan mereka merasa pemerintah mendukung aktivitas Islam untuk mengeksvansi
minoritas non-Muslim. Kaum Muslim pindahan itu memandang demokrasi dapat diarahkan
menjadi tirani mayoritas sehingga posisi mereka disana terancam. Padahal, Kristen Papua
hanya sekedar peduli terhadap penyerangan terhadap gereja-gereja di tempat manapun di
Indonesia dan khawatir terhadap apa yang mereka lihat sebagai islamisasi. Pada sisi lain,
Kristen Papua sedang menghadapi gerakan garis keras seperti Hizbut Tahrir. Seharusnya
pemerintah di tiap tingkatan nasional, provinsi dan kota/kabupaten tidak memberikan
dukungan kepada kelompok-kelompok keagamaan eksklusif. Dalam laporan tersebut terlihat
ada upaya halus adu domba Muslim dengan Kristen serta memprovokasi pemerintah untuk
menekan kelompok Islam.

Bahkan, bulan Juli 2008 mengeluarkan laporan tentang Surat Keputusan Bersama (SKB)
Ahmadiyah dan konflik Papua. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pergerakan
ICG selalu terkait dengan disintegrasi, konflik, Islam radikal dan terorisme. Direktur proyek
International Crisis Group untuk Asia Tenggara Sydney Jones meyakini, akan ada rencana
aksi teroris di Indonesia. Tak lain, maksud dan tujuannya adalah untuk merayakan peristiwa
berdarah, tragedi 11 September yang mengguncang negeri Paman Sam, Amerika Serikat
tahun 2001 lalu. Sidney dalam perbincangan khusus dengan Persda Network menjelaskan,
aksi ini sama sekali tidak terkait dengan rencana Indonesia yang akan menggelar pesta
demokrasi, Pemilu 2009. Sidney kemudian meyakini, Selamat Kastari yang kabur dari
Singapura beberapa waktu lalu, kini berada di Indonesia (Kompas, 5/7/2008).

Tidak berhenti sampai di situ. Pada 7 Juli 2008, ICG mengeluarkan laporan Indonesia:
Implications of the Ahmadiyah Decree. ICG menulis: Keluarnya SKB yang membatasi
aktivitas Ahmadiyah mendemontrasikan bagaimana kelompok-kelompok Islam garis keras,
yang memiliki dukungan politik kecil, telah mampu menggunakan teknik-teknik advokasi klasik
untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam pernyataan itu, Sydney Jones
mengatakan: Pemerintahan SBY telah membuat kekeliruan serius dengan mengundang
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 membantu membentuk kebijakan. Ini
membuka pintu bagi kelompok-kelompok garis keras, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
dan Forum Umat Islam (FUI), untuk menekan lebih besar intervensi negara dalam agama dan
melegislasi moralitas.

Laporan itu menulis bahwa diantara faktor paling penting adalah HTI yang bekerja bersama
dengan FUI menggerakkan massa memimpin demontrasi anti pornografi pornoaksi,
pelarangan Ahmadiyah, dan membatalkan kenaikan harga bahan bakar minyak(BBM). Dalam
aksinya, Front Pembela Islam (FPI) menjadi pihak keamanan dalam demontrasi FUI. Ini
membawa HTI (yang mengaku tidak melakukan kekerasan) pada suatu aliansi dengan
kelompok yang selama ini dikenal melakukan tindak kekerasan. ICG melanjutkan, Ada
dukungan yang tidak masuk akal (the unthinking support) yang diberikan pemerintahan SBY
terhadap institusi-institusi seperti MUI dan Bakorpakem, lembaga pengawas kepercayaan dan
keyakinan pada masa Soeharto. Untuk menekan pemerintah, ICG menegaskan: The result
was a decree which is a setback for both Indonesias image as a country that can stand up to
Islamic radicalism and President Yudhoyonos image as a strong leader, (Hasilnya adalah
SKB yang merupakan langkah mundur baik terhadap citra Indonesia sebagai sebuah negara
yang berhadapan dengan radikalisme Islam maupun terhadap citra Presiden Yudhoyono
sebagai seorang pemimpin kuat).

Waspadai ICG
Dilihat dari sejarahnya, terlihat bahwa ICG memberikan bahaya bagi Indonesia. Ada beberapa
tahap yang dilakukan ICG selama ini. Pertama, ICG lebih banyak memberikan informasi
tidak benar seputar Aceh dan Papua. Diakui atau tidak, mereka lebih pro kepada disintegrasi
di kedua wilayah tersebut. Wajar bila pimpinan puncaknya di Indonesia, Sydney Jones diusir
hingga dua kali. Kedua, ICG lebih mengangkat isu Jamaah Islamiyah. Tujuannya adalah
mengangkat isu terorisme di Indonesia. Muaranya, Indonesia turut dalam isu war on terrorism
ala Amerika. Ketiga, kini ICG banyak menyoriti gerakan-gerakan Islam yang ingin menjaga
negeri dan generasinya dari pornografi pornoaksi, aliran sesat Ahmadiyah, dan cengkeraman
liberalisasi dalam kasus BBM. Arahnya adalah mencap negatif kelompok-kelompok Islam
tersebut sebagai Islam radikal. Padahal, sejarah mencatat bahwa salah satu faktor penting
pengokoh Indonesia adalah ajaran Islam beserta umatnya.

Pada sisi lain, dilihat dari pernyataan-pernyataan terakhir ICG berupaya untuk: (1) mencap
negatif kelompok-kelompok Islam yang menentang Ahmadiyah dan pornografi pornoaksi,
termasuk MUI, sebagai garis keras; (2) mengopinikan bahwa dukungan politik bagi kelompok-
kelompok Islam kecil; (3) secara khusus menempatkan HTI sebagai kelompok yang berperan
penting dalam mempengaruhi politik di Indonesia. Namun, ICG mencoba berupaya untuk
melekatkan dekat dengan kekerasan pada HTI; (4) memprovokasi pemerintah Indonesia
dengan menyebutnya sebagai telah membuat kekeliruan serius. Ingat, pada tahun 2005
setidaknya ada dua peristiwa terjadi, yakni rekomendasi Badan Koordinasi Pengawas
Kepercayaan dan Keyakinan Masyarakat (Bakorpakem) yang melarang Ahmadiyah dan
tuntutan umat Islam agar Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi-Pornoaksi disahkan;
(5) menekan pemerintah dengan menggunakan politik citra. Berdasarkan hal diatas ada
beberapa pelajaran, antara lain: Lembaga asing sekalipun berlabel lembaga penelitian lebih
banyak berbuat untuk kepentingan asing bukan untuk kepentingan Indonesia. Hal serupa
terjadi pada kasus Namru-2 yang menggunakan label penelitian kesehatan padahal
hakikatnya intelijen angkatan laut AS. Lembaga seperti ICG perlu diwaspadai karena lebih
banyak menginteli kelompok Islam dan memberikan informasi yang tidak akurat, lalu menekan
pemerintah Indonesia untuk bersikap keras kepada kelompok Islam.

Negara asing tetap ingin melemahkan Indonesia dengan menghentikan kebangkitan Islam.
Salah satu caranya adalah dengan isu kekerasan dan terorisme.

Lajnah Siyasiyah
Hizbut Tahrir Indonesia
13/7/2008

Anda mungkin juga menyukai