Cervus timorensis Rusa ini berukuran sedang yaitu panjang tubuh 98 sampai 111 cm dengan berat
badan 45 sampai 50 kg, yang jantan mempunyai ranggah bercabang tiga.
Satwa ini tubuhnya tertutup mantel rambut berwarna coklat kemerahan, dibagian tertentu seperti leher, kaki bawah dan pantat berwama agak cerah. Telinga sepasang berukuran besar menghadap ke depan. ekor pendek, jika diperhatikan dengan cermat dibagian leher bawah setiap individu ; rusa mempunyai guratan pada rambut yang berbeda satu sama lainnya. Rambut-rambut ini tidak pernah mulus, bahkan sering nampak belang- belang. Rusa jawa menyukai hidup berkelompok, di dalam kelompok Ini terdapat beberapa rusa jantan, rusa betina dan anak-anak. Kelompok rusa dipimpin oleh rusa betina yang paling tua, yang berperan memberikan informasi kepada kelompoknya seperti jika ada bahaya, supaya dapat menghindar. Jika dalam keadaan terpaksa karena ancaman maka rusa jantan yang paling kuat yang akan menghadapinya. Perkawinan dilakukan oleh rusa jantan, dominan terhadap betina-betina anggota kelompoknya. Musim kawin pada bulan Juni sampai Juli, lama bunting 8 bulan, anak yang dilahirkan biasanya 1 ekor dan diasuh induknya hanya beberapa bulan http://merbabu.com/fauna/rusa.php 19 okt 2013 10.01
Rusa timor RUSA TIMOR (Cervus timorensis) Sub spesies : Rusa Jawa (Cervus timorensis russa)
Rusa Timor jantan dewasa di Penangkaran Kulon Progo
A. Biologi Rusa Jawa
1. Klasifikasi Rusa Jawa (Cervus timorensis russa) diklasifilasikan oleh Schroder (Nugroho, 1992) sebagai berikut : Phyllum : Vertebrata Sub phyllum : Chordata Class : Mammalia Ordo : Artiodactyla Familia : Cervidae Genus : Cervus Species : Cervus timorensis (Blainville, 1822) Sub species : Cervus timorensis russa (Mul.&Schl., 1844) (Ind = Rusa Jawa)
2. Deskripsi Morfologi
Jenis Cervus timorensis, menurut Dradjat (2002a), memiliki bulu coklat dengan warna bagian bawah perut dan ekor berwarna putih. Hewan jantan relatif lebih besar dibandingkan dengan betinanya. Tinggi badannya antara 91-102 cm dengan berat badan 103-155 kg, lebih kecil bila dibandingkan dengan Sambar (Cervus unicolor). Rusa jantan mempunyai tanduk yang bercabang. Tanduk akan tumbuh pertama kali pada anak jantan umur 8 bulan. Setelah dewasa, ranggah menjadi sempurna yang ditandai dengan terdapatnya 3 ujung runcing.
3. Penyebaran
Cervus timorensis tersebar alami hampir di seluruh kepulauan Indonesia kecuali di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya. Namun kemudian dimasukkan ke pulau-pulau tersebut yaitu pada tahun 1680 (Kalimantan), tahun 1855 (Pulau Aru), tahun 1913 dan 1920 (Kalimantan) (Anonim, 1978). Oleh karena rusa mampu beradaptasi dengan baik, maka dapat berkembang biak di tempat barunya tersebut. Veevers-Carter (1979) mengemukakan bahwa Cervus timorensis tidak ditemukan secara endemik di luar Indonesia, namun telah dimasukkan dalam jumlah yang besar ke New Zaeland, Australia, dan W. Indian Ocean Is. Menurut Semiadi (2002), dominasi rusa tropik Indonesia adalah Cervus timorensis, dengan sebaran yang sangat luas dari bagian barat hingga timur Indonesia. Whitehead (Schroder dalam Nugroho, 1992; Semiadi, 2002) membagi jenis Cervus timorensis menjadi 8 sub species berdasarkan daerah persebarannya, yaitu: Cervus timorensis russa (Mul.&Schl., 1844) di P. Jawa Cervus timorensis florensis (Heude, 1896) di P. Lombok dan P. Flores Cervus timorensis timorensis (Martens, 1936) di P. Timor, P. Rate, P. Semau, P. Kambing, P. Alor, dan P. Pantai Cervus timorensis djonga (Bemmel, 1949) di P. Muna dan P. Buton Cervus timorensis molucensis (Q.&G.,1896) di Kep. Maluku, P. Halmahera, P. Banda, dan P. Seram Cervus timorensis macassaricus (Heude, 1896) di P. Sulawesi Cervus timorensis renschi (Sody, 1933) Cervus timorensis laronesietes (Bemmel, 1949)
4. Aktivitas Rusa memiliki aktivitas pergerakan dan penjelajahan yang terpengaruh oleh 2 aspek, yaitu rutinitas harian yang berkaitan dengan mencari makanan, air, dan tempat istirahat yang sesuai, dan aspek musiman yang berkaitan dengan iklim setempat (Trippensee, 1948). Selanjutnya Trippensee (1948) menjelaskan bahwa pada suatu saat rusa dapat bergerak aktif dengan menempuh perjalanan yang sangat jauh, namun pada kondisi iklim yang buruk rusa akan bergerak sangat terbatas. Jenis Cervus timorensis merupakan hewan yang dapat aktif di siang hari (diurnal) maupun di malam hari (nokturnal), tergantung pada kondisi lingkungannya (Anonim, 1978). Dilaporkan oleh Garsetiasih (1996) bahwa aktivitas puncak Cervus timorensis di Taman Wisata Alam Pulau Menipo Nusa Tenggara Timur adalah pada pagi hari pukul 06.00-09.00 dan pada sore hari pukul 16.00-18.00. Aktivitas tersebut meliputi istirahat, makan, dan bergerak.
B. Home Range
Menurut Dasmann (1981), ukuran home range rusa berbeda-beda tergantung ketersediaan makanan, penutupan (cover), air, dan hal-hal penting lain. Trippensee (1948) melaporkan bahwa di Wisconsin Tengah (salah satu negara bagian Amerika Serikat), yang memiliki 2 tipe hutan, yaitu semak-semak cemara (pine thickets) dan campuran (pine and oaks), memiliki daerah rata-rata pemusatan rusa (deer concentration) 380 acres (0,15 ha) dengan home range 50-2.600 acres (0,02- 1,05 ha). Sementara itu di Inggris, home range Rusa Roe di hutan adalah 5-15 ha, Rusa Fallow jantan 50-250 ha, dan Rusa Fallow betina 50-90 ha (Hinge dalam Putman, 1988).
C. Habitat
Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Oleh karena itu, habitat suatu jenis satwa liar belum tentu sesuai untuk jenis lain (Alikodra, 1990). Habitat suatu jenis satwa liar mengandung suatu sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik. Sistem tersebut dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya (Alikodra, 1990). Shaw (Nugroho, 1992) menjelaskan bahwa komponen habitat yang mengendalikan kehidupan satwa liar terbagi dalam 4 hal sebagai berikut: 1. Pakan (food) Pakan merupakan komponen habitat yang paling nyata. Ketersediaan pakan berhubungan erat dengan perubahan musim terutama di daerah temperate dan kutub. Tiap jenis satwa mempunyai kesukaan untuk memilih pakannya. Kesukaan pakan ini berhubungan dengan palatabilitas dan selera. 2. Pelindung (cover) Pelindung diartikan sebagai segala tempat dalam habitat yang mampu memberikan perlindungan dari cuaca, predator atau kondisi yang lebih baik dan menguntungkan. 3. Air (water) Air dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh satwa. Kebutuhan satwa akan air bervariasi, ada yang tergantung air dan ada yang tidak. Ketersediaan air akan mengubah kondisi habitat sehingga langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan satwa. 4. Ruang (space) Individu-individu satwa membutuhkan variasi ruang untuk mendapatkan cukup pakan, pelindung, air, dan tempat untuk kawin. Besarnya ruang tergantung ukuran populasi. Ukuran populasi tergantung besarnya satwa, jenis pakan, produktivitas, dan keragaman habitat.
Rusa Jawa memiliki tipe habitat berupa hutan dataran terbuka, padang rumput, dan savana dengan ketinggian hingga 2.600 dpl (Anonim, 1978). Menurut Dradjat (2002a), selain padang rumput, rusa juga membutuhkan semak-semak untuk berlindung, pepohonan untuk berteduh, dan adanya persediaan air untuk mencukupi kebutuhan minum. Rusa juga memanfaatkan kawasan dengan kerapatan tumbuhan yang relatif tinggi seperti di sekitar sungai atau anak sungai (Djuwantoko, 2003). Pada kondisi tertentu, rusa dapat hidup di daerah yang dihuni manusia, seperti rusa liar yang hidup di perkebunan kelapa di Maluku (Dradjat, 2002a).
D. Pakan
Rusa termasuk hewan pemamah biak (ruminant) yang makanannya adalah daun-daunan (vagetable materials) dan berbagai macam buah-buahan yang dapat dimakan (Trippensee, 1948). Sebagaimana hewan pemamah biak lainnya, rusa makan rumput di padang rumput (grazing), makan daun-daunan semak di hutan (browsing), dan makan jamur yang tumbuh di bawah pohon (Dradjat, 2002a). Rusa makan dari bagian tumbuhan mulai dari pucuk kemudian daun muda, daun tua, dan batang muda. Sulisetyawan (1996) melaporkan bahwa jenis dan bagian tumbuhan yang dimakan rusa di Taman Nasional Wasur Irian Jaya seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan pakan Rusa Jawa dan bagian-bagian yang dimakan di Taman Nasional Wasur Irian Jaya.
No Nama spesies Familia Bag. yg. Dimakan Habitat 1. Melodorum latifolium Annonaceae Buah Hutan monsoon 2. Dillenia allata Dilleniaceae Daun muda Hutan terbuka 3. Flagellaria indica Flagellariaceae Daun muda Hutan monsoon 4. Andropogon contortus Gramineae Daun Padang rumput 5. Chrysopogon aciculatus Gramineae Daun Padang rumput 6. Eragrositis brownii Gramineae Daun Padang rumput 7. Hymenachne amplexicaulis Gramineae Daun Padang rumput 8. Imperata cylindrica Gramineae Daun Padang rumput 9. Pseudoraphis spinescens Gramineae Daun Padang rumput 10. Phragmites karka Gramineae Kuncup Padang rumput 11. Paspalum conjugatum Gramineae Daun Padang rumput 12. Acacia auriculiformis Leguminosae Kuncup Hutan terbuka 13. Ficus benjamina Moraceae Buah Hutan monsoon 14. Nymphaea indica Nymphacaceae Kuncup Kali dan rawa 15. Nymphaea violacea Nymphacaceae Kuncup Kali dan rawa 16. Nauclea orientalis Rubiaceae Kuncup Hutan terbuka 17. Corypha elata Rubiaceae Daun muda Hutan terbuka 18. Equisetum sp. Equisetaceae - Padang rumput 19. Cyperus rotundus Cyperaceae - Padang rumput 20. Rotthoelia sp. Gramineae - Padang rumput 21. Sporablus sp. Gramineae - Padang rumput 22. Themeda sp. Gramineae - Padang rumput 23. Oldenlandia diffusa Rubiaceae - Hutan terbuka
Sumber: Sulisetyawan (1996)
Terdapat 23 jenis tumbuhan yang dimakan rusa, terdiri atas 12 familia. Jenis-jenis tumbuhan dari Familia Gramineae terlihat mendominasi daftar tumbuhan yang dimakan rusa. Bagian-bagian tumbuhan yang dimakan antara lain pucuk, daun, kuncup, dan buah. Rusa Jawa memakan berbagai jenis tumbuhan tersebut pada empat tipe habitat yang ada, antara lain: hutan monsoon, hutan terbuka, padang rumput, serta kali dan rawa. Di Taman Nasional Baluran Jawa Timur, Rusa Jawa memakan beberapa jenis tumbuhan, antara lain: Dichantium caricosum, Heteropogon contortus, Oplismenus burmanii, Roettboellia exaltata, Themeda trianda, Schlerachne punctata, Cyperus rotundus, Grewia eriocarpa, Schleichera oleosa, Thespesia lampas, Flacourtia indica (Anonim, 1993). Selain makan, rusa membutuhkan minum dalam jumlah yang relatif banyak. Bila cuaca kering dan udara panas, rusa membutuhkan minum sampai 0,5 galon/hari/ekor (Dradjat, 2002). Pada kondisi itu pula rusa sering berkubang. Dradjat (2002) juga menjelaskan bahwa rusa juga pandai berenang sehingga sungai bukan merupakan penghalang bagi rusa. Menurut Djuwantoko (2003), rusa yang hidup di alam akan mendapatkan air dari sumber air permukaan, seperti air sungai, danau, waduk, parit, atau mata air. Kemungkinan lain, mereka akan mendapatkan air dari embun atau memakan pakan yang mengandung banyak air.
Range Description: The Javan Rusa is believed to be native only to Java and Bali in Indonesia (Corbet and Hill 1992; Heinsohn 2003; Grubb 2005). It has been introduced to many other islands of the Indo-Pacific region (Corbet and Hill 1992; Heinsohn 2003; Grubb 2005). Some introductions apparently took place in antiquity within present-day Indonesia, to the Lesser Sunda islands, Maluku (= Molucca) islands (including Buru and Seram), Sulawesi, and Timor. On Timor, the species inhabits both West Timor (part of Indonesia) and Timor Leste (G. Semiadi pers. comm. 2008, based on 1998 data). Those to Borneo (Kalimantan, Indonesia), New Guinea (where the species occurs in both West Papua, Indonesia, and Papua New Guinea), New Britain, the Aru Islands, Mauritius and Runion, Australia, New Zealand, New Caledonia and small islands in Indonesia and off the coast of Australia occurred from the 17th century onwards (Heinsohn 2003; Grubb 2005). Indonesian islands with introduced populations include: Alor, Ambon, Banda, Batjan, Buru, Butung, Flores, Halmahera, Komodo, Lembeh, Lombok, Mangole, Muna, Papua, Sanana, Saparua, Seram, Sulawesi, Sumba, Sumbawa, Taliabu, Ternate, Timor, and Wetar (Wiradteti pers. comm.). Like many large deer, the Javan Rusa is an able swimmer (Kitchener et al. 1990), hindering determination of its native range. The originally introduced population in Borneo is now probably extinct (Payne et al. 1985; G. Semiadi pers. comm. 2008), but in the 1990s soldiers returning from Timor brought some Javan Rusas to at least the Tanah Grgot and Penajam Paser Utara districts in East Kalimantan. Hybridization of Sambar R. unicolor (which occurs naturally in Borneo) with the introduced Javan Rusas has been confirmed from molecular and morphology in one captive herd (221 heads) belonging to the East Kalimantan Province's Animal Husbandry Office at Penajam Paser Utara district (G. Semiadi pers. comm. 2008).
Details of the introduced range and status are highly dispersed. R.J. Safford (pers. comm.) has provided the following for the Indian Ocean islands:
On Mauritius, Javan Rusa is abundant and is a major pest of native forest. Runion received several introductions from Mauritius; the current population is derived mainly from five batches introduced in 1954. Also seven (individual) red deer Cervus elaphuswere introduced from France; the final outcome with the latter (including any hybridization with Javan Rusa which may or may not have occurred) is unknown but nowadays 'deer' are not common on Runion, although they are still present in a few areas, and are a pest where they occur. Rodrigues holds no Javan Rusa, although there was a failed attempt to introduce them (Cheke and Hume 2008).
An introduction was probably attempted onto Anjouan, in the Comoros, in the 19th century, but Javan Rusa is long extinct there (Louette 2004).
On Madagascar, Javan Rusa was introduced near Prinet (Andasibe) around 1930, survived until at least 1955 but is now extinct, probably having disappeared in the 1960s (Goodman and Benstead 2003: 1172-1173).
The distribution map shows only native populations on Java and Bali, not introduced populations. Introduced populations are not counted as part of this assessment. Countries: Native: Indonesia (Bali, Irian Jaya - Introduced, Jawa, Kalimantan - Introduced, Lesser Sunda Is. - Introduced, Maluku - Introduced, Sulawesi - Introduced) Introduced: Australia; Mauritius; New Caledonia; New Zealand; Papua New Guinea; Runion; Timor-Leste
HABI TAT AND ECOLOGY [ TOP] Habitat and Ecology: This is essentially a tropical and subtropical grassland species (Medway 1977; Oka 1998) but is highly flexible, with successful populations in forests, mountains, shrublands and marshes (Whitehead 1993; Oka 1998; Rouys and Theuerkauf 2003; Keith and Pellow 2005). It is found from sea-level to 900 m asl (G. Semiadi pers. comm.; S. Hedges pers. comm. 2008). Some populations make seasonal movements; for example, on New Guinea numbers in the border area between West Papua and Papua New Guinea peak during the wet season, whereas in the dry season many move to the interior of Papua New Guinea (Semiadi 2006).
Where hunting or other disturbance is not a big problem, Javan Rusas are primarily diurnal, gathering in large groups in open areas at night. The rut tends to involve a lot of nocturnal activity, even in undisturbed/low hunting areas (Oka 1998; S. Hedges pers. comm. 2008, based on observations in East Java). In diet it is adaptable and will eat herbs, the leaves and bark of shrubs, and even seaweed (Kitchener ET AL. 1990; Oka 1998; Keith and Pellow 2005), although it seems to prefer certain types of grass (Kitchener ET AL. 1990, Oka 1998), including in its native range (S. Hedges pers. comm. 2008). In New Caledonia and Australia, it is a threat to native trees (de Garine-Wichatitsky ET AL. 2005; Keith and Pellow 2005). In the Torres Strait Islands, mating occurs during spring (September?October) and calves are born in autumn (April?May). In other parts of Australia, Javan Rusa seems to breed at any time of the year, with a mating peak from late June to August, and a calving peak from March to April (KitchenerET AL. 1990). In Indonesia it is said to breed all year around (Whitehead 1993), although a June?September increase in mating activity was found in Bali (Oka 1998), and in Java there is a peak of mating behaviour between July and September (S. Hedges pers. comm. 2008). Javan Rusa is more social than its congeners (Kitchener ET AL. 1990). Herds are segregated by sex, except during the mating season, and may comprise up to 25 individuals (Kitchener ET AL. 1990). Systems: Terrestrial CONSERVATI ON ACTI ONS [ TOP] Conservation Actions: Javan Rusa occurs in several high-profile protected areas in Java. It is fully protected by Indonesian law. However, urgent measures are now required within its native range to end poaching and to secure the protected areas in which it occurs. This will require the development of cooperative programmes and new partnerships with the local human communities.
Native to Indonesia, the rusa deer (Cervus timorensis russa) was introduced to New Caledonia and La Runion as well as to Mauritius, Australia and New Zealand. In New Caledonia the rusa deer is present in all parts of Grande-Terre, where it represents an important threat to the exceptional endemic flora of this archipelago. Rusa deer also represent an important resource for local people (hunting, farming). Occurs in: agricultural areas, coastland, natural forests, planted forests, range/grasslands, riparian zones, ruderal/disturbed, scrub/shrublands Geographical range Native range: Native to Indonesia Known introduced range: New Caledonia and La Runion (Moutou, 1983; Barrau et Devambez, 1957) Introduction pathways to new locations Acclimatisation societies: Hunting/fishing: Cervus timorensis russa were introduced for hunting purposes. (http://www.issg.org/database/species/ecology.asp?si=1120&fr=1&sts=sss&lang=EN 10 okt 2013 10.55)