Anda di halaman 1dari 3

Penghancuran Atas Nama Pembangunan

Hendra Try Ardianto*



Judul Buku: Korporasi dan Politik Perampasan Tanah
Penulis: Laksmi A. Savitri
Penerbit: INSIST PRESS 2013
Tebal: xiv+110 halaman


Pada tahun 70-an, telah muncul banyak kritik atas teori-teori pembangunan yang melulu mengejar
pertumbuhan ekonomi. Atas nama pertumbuhan ekonomi, banyak negara menggenjot
pembangunan dengan menarik investasi berskala besar. Lalu lintas investasi dari negara kaya ke
negara miskin hadir bersama mimpi-mimpi tentang kemajuan. Tapi apa yang terjadi? Tidak ada
kemajuan signifikan jika tidak mau dikatakan tetap atau bahkan semakin miskin. Sebaliknya, di
negara-negara tempat investasi tersebut berlangsung, kerusakan ekologi terjadi dimana-mana, juga
kehancuran lingkungan sosial-kultural masyarakat setempat.

Krisis stok pengetahuan tentang pembangunan ini merespon beberapa ilmuan untuk merumuskan
kembali teori-teori pembangunan. Hingga pada 1987, sebuah komisi yang bernama Brundtland
menggelar pertemuan di Tokyo guna membahas arah pembangunan dunia. Gerak langkah
pembangunan global yang dianggap mengancam kelansungan hidup manusia dan bumi menjadi titik
pijak yang ingin dipecahkan. Brundtland Commision kemudian menyodorkan teoritisasi baru bagi
paradigma pembangunan global, yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development).

Gagasan pembangunan berkelanjutan ini secara sederhana merupakan rumusan sustainability +
development = sustainable development. Rumusan ini kemudian didefinisikan sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhannya. Logika pembangunan yang memiliki hasrat untuk menaklukan segala
kebutuhan manusia, harus berjalan selaras dengan logika keberlanjutan generasi mendatang.
Singkatnya, gagasan pembangunan berkelanjutan merupakan perkawinan dua cara berfikir
kontradiktif, yaitu pengejaran kepuasan dan kelangsungan/kelestarian lingkungan.

Teori pembangunan berkelanjutan ini kemudian mendapat tempat istimewa di banyak negara.
Berbagai negara berbondong-bondong membuat paket kebijakan yang berasosiasi dengan istilah-
istilah ramah lingkungan, seperti green policy, ecological policy, sustainable society, enviromental act,
enviromental protection, dan sebagainya. Tidak kalah dengan negara, korporasi juga mengadopsi
konsepsi serupa; dengan mengusung corporate enviromental responsibility sebagai bentuk
pertanggungjawaban mereka terhadap lingkungan dan masyarakat. Dengan demikian, menurut alur
berfikir ini, segenap manusia di berbagai belahan dunia sedang berusaha terus maju dengan mimpi-
mimpi kemajuan sekaligus berusaha menyelamatkan kelangsungan hidup di bumi.

MIFEE: Mimpi Kemajuan ataukah Nightmare

Persis seperti imaji pembangunan berkelanjutan, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)
adalah megaproyek ambisius yang disajikan dalam mimpi-mimpi kemajuan dan kemaslahatan.
Setidaknya menurut Presiden SBY, Memberi makan Indonesia, kemudian memberi makan dunia.
Megaproyek memberi makan dunia ini merupakan proyek pembukaan rutusan ribu hingga jutaan
hektar lahan pertanian di Merauke. Proyek MIFEE yang melibatkan 46 perusahaan nantinya akan
memproduksi berbagai bahan makanan dan sumber energi nabati dalam jumlah yang sangat besar.
Saking besarnya, Indonesia akan mensuplai kebutuhan global atas pangan dan energi, begitu kira-kira
gambarannya.

MIFEE dihadirkan layaknya mimpi indah bagi orang-orang Papua. Pertama, mimpi tentang keluar
dari keterbelakangan. Sekolah yang biasanya ditinggal gurunya, puskesmas pembantu yang tidak ada
bidannya, akan berubah dengan hadirnya pembangunan. Anak-anak akan kembali sekolah, mama-
mama akan dibantu bidan saat melahirkan, dan siapa yang sakit akan ada dokter yang menangani.
Bayangannya, megaproyek MIFEE akan menjawab segala persoalan yang selama diabaikan oleh
pemerintah-pemerintah sebelumnya.

Mimpi kedua adalah mimpi akan hidup yang lebih baik; tidak lagi bergelut dalam perburuan di
tengah hutan. Kehadiran investor akan membuka peluang kerja bagi orang Papua. Jutaan hektar
lahan tentu membutuhkan tenaga untuk mengolahnya, itulah peluang yang bisa digunakan orang
Papua. Mereka akan mendapatkan uang pengganti lahan, gaji tetap, dan kemudian bisa
membelanjakan dengan mudah apa yang menjadi kebutuhannya. Mereka tidak perlu lagi berhari-hari
masuk ke hutan untuk sekedar memenuhi kebutuhan makan. MIFEE akan membawa peradapan
baru, segala fasilitas modern (TV, handphone, bahkan internet), dan kehidupan orang kota layaknya
di televisi.

Sayangnya, itu hanya mimpi indah, yang tidak berwujud dalam kehidupan nyata. Buku Korporasi dan
Politik Perampasan Tanah mendiskripsikan bagaimana MIFEE merupakan mimpi buruk (nightmare)
bagi orang-orang Marind; salah satu suku asli di Merauke. Proyek pembukaan lahan ini ibarat tiq anim
(wabah besar) yang pernah terjadi di awal abad ke-20, yakni wabah flu Spanyol yang menewaskan
dua puluhan ribu nyawa orang Marind (pengantar, h.xii). Mengapa orang Marind? Karena merekalah
yang selama ini tinggal di wilayah yang sekarang jadi lahan pertanian proyek MIFEE. Mereka
terpaksa menjual tanah dengan harga yang murah, tapi tidak ada kepastian bagaimana mereka akan
melanjutkan kehidupannya.

Bagi mereka yang beruntung, tapi sebenarnya buntung, akan terserap sebagai buruh di perusahaan.
Mereka masih bisa bekerja dengan gaji tetep. Sedangkan yang tidak terserap, nasibnya tidak menentu.
Itulah mengapa di ibukota Merauke muncul jenis pekerjaan baru yang sebelumnya tidak pernah ada:
Pengemis. Meski bekerja sebagai buruh yang mendapat gaji, dampak MIFEE sebenarnya semakin
memiskinkan kondisi kehidupan orang Marind. Sebelum ada megaproyek itu, mereka bisa
menghasilkan uang sekitar 6 juta per bulan dari menjual daging hasil perburuan, dan hanya
membutuhkan 600 ribuan sebagai pengeluaran karena sagu ubi pisang sudah mereka dapatkan dari
hutan. Sedangkan pasca-MIFEE, gaji buruh sebesar 50 ribu per hari atau 1 juta per bulan yang
mereka dapatkan harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sebesar 825 ribu rupiah
bahkan sekringkali lebih(tabel, h.73).

Lebih dari Sekedar Perampasan

Saat membaca buku Laksmi A. Savitri ini, sejenak ingatan berpindah pada sebuah film yang keluar
tahun 2011 lalu: Warriors of the Rainbow: Seediq Bale. Dalam film tersebut, diakhir abad ke-19, Jepang
melakukan invasi ke Taiwan yang merupakan wilayah jajahan Dinasti Han, China. Wilayah Taiwan
saat itu dihuni oleh orang-orang Seediq yang tersebar hampir diseluruh Taiwan. Jepang membawa
rombongan tentara dan menduduki wilayah Taiwan dengan merampas tanah-tanah orang Seediq.
Selama masa pendudukan Jepang, orang Seediq benar-benar tercerabut dari akarnya. Mereka
kehilangan tempat perburuan akibat hutan kian gundul, hewan perburuan musnah bersama
pepohonan, dan budaya lokal yang telah mereka pegang berabad-abad juga ikut menghilang. Secara
mudah, penonton akan melihat bagaimana kehancuran sebuah peradaban dari suatu entitas kultural:
masyarakat Seediq.

Persis cerita film tersebut, rasanya ada kekhawatiran sendiri jika orang-orang Marind akan bernasib
sama dengan orang-orang Seediq. Awalnya, tanah-tanah mereka akan dirampas atas nama
pembangunan. Kepala-kepala suku ditundukkan hingga tidak bisa menolak proyek MIFEE. Dalam
jangka panjang, mereka akan hilang dari cacatan sejarah yang selama ini menjadi kekayaan Indonesia,
yakni keragaman suku-budaya. Jika demikian, ini bukan sekedar perampasan tanah (land grabbing)
sebagaimana judul buku ini, namun lebih keji dari itu: penghancuran entitas budaya masyarakat.

Jadi, gagasan pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan negara-negara kaya jelas tidak berlaku
di Indonesia. Atau sebenarnya, gagasan itu hanyalah topeng bagi negara kaya agar tetap bisa
menanamkan investasinya di negara miskin atas nama mengarahkan negara miskin mengikuti
kaidah pembangunan berkelanjutan. Sebuah motif klasik dalam sejarah kolonialisme. Mengapa
begitu? Sebab, investasi negara kayalah yang tidak jarang menjadi momok kehancuran lingkungan di
negeri ini. Mungkin tidak hanya MIFEE yang menjadi instrumen penghancuran, di wilayah Papua
Barat juga sedang berlansung pembukaan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran oleh
investor asing. Dengan sinis kita bisa mereka-reka, apa yang sedang terjadi di Bumi Cendrawasih itu.

Saatnya kita berefleksi. Ketika belajar teori-teori politik kontemporer, maka akan banyak
menemukan beragam istilah yang bisa dijadikan guide untuk mendeskripsikan apa yang sedang terjadi
di Indonesia saat ini. Jika dulu sebelum 1998, banyak buku menjelaskan adanya the Authoritarian State.
Lalu pasca-1999, analisis relasi negara, swasta dan masyarakat di Indonesia telah menghasilkan
beberapa penjelasan, mulai dari istilah Shadow State, Failed State, bahkan Predatory State. Rasanya, hal
itu masih kurang. Bercermin dari relasi megaproyek MIFEE dan orang-orang Marind, tampaknya
bisa disuguhkan satu penjelasan lagi: Genoside State. Semoga istilah terakhir itu sebuah pengandaian
yang keliru!.

*Penulis, mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM, sedang menyusun tesis tentang
politik lingkungan dan pertambangan.

Anda mungkin juga menyukai