Anda di halaman 1dari 11

Infeksi Gonore

1. Definisi
Gonore adalah infeksi menular seksual pada epitel dan umunya bermanifestasi sebagai cervicitis,
uretritis, proctitis, dan conjungtivitis. Bila tidak diterapi, infeksi ini dapat menimbulkan komplikasi
lokal seperti endometritis, salpingitis, TOA, bartolinitis, peritonitis, dan perihepatitis pada pasien
wanita, periuretritis dan epididimitis pada pasien pria, dan oftalmia neonatorum pada neonatus.
Gonokokemia diseminata merupakan kejadian jarang yang bermanifestasi sebagai lesi kulit,
tenosinovitis, arthritis, dan pada kasus jarang endokarditis atau meningitis.
2. Mikrobiologi
Neisseria gonore adalah organism gram negative, nonmotil, non-spore forming yang tumbuh sendiri
dan berpasangan (dalam bentuk monokokus dan diplokokus). Neisseria gonore sebagai pathogen
yang eksklusif pada manusia memiliki 3 kopi genom per unit kokus. Poliploidi ini memungkinkan
variasi antige dan survival organism ini dalam tubuh host. Gonokokus seperti spesies neiserria
lainnya bersifat oksidase positif. Neisseria gonore dibedakan dari neiserria lainnya dari
kemampuannya hidup dalam media selektif dan menggunakan glukosa, namun tidak dapat
menggunakan sukrosa, maltose, atau laktosa.
3. Epidemiologi
Insiden gonore telah menurun secara signifikan di AS, namun masih terdapat 325.000 kasus baru di
tahun 2006. Gonore tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di dunia, yang merupakan
penyebab utama morbiditas di Negara berkembang dan dapat berperan dalam transmisi HIV.
Gonore terutama mengenai pasien muda, kulit berwarna, tidak menikah, penduduk kota dengan
tingkat pendidikan rendah. Jumlah kasus yang diilaporkan mungkin hanya mewakili setengah dari
jumlah kasus sebenarnya, hal ini disebabkan kurangnya pelaporan, diterapi sendri, dan terapi
nonspesifik tanpa diagnose yang ditegakkan secara laboratorium. Jumlah kasus gonore yang
dilaporkan di AS meningkat dari 250.000 pada awal 1960 menjadi 1,01 juta pada 1978. Puncak
insiden gonore terjadi pada 1975 dengan 468 kasus / 100.000 populasi di AS. Puncak insiden ini
dipengaruhi oleh interaksi beberapa variabel, termasuk peningkatan akurasi diagnosis, perubahan
pola penggunaan kontrasepsi dan perubahan perilaku seksual.
Insiden penyakit ini kemudian menurun menjadi 120 kasus per 100.000 pendudukk. Penurunan lebih
lanjut pada nsiden gonore di AS pada 2 dekase terakhir disebabkan meningkatkan penggunaan
kondom sebagai usaha kesehatan masyarakat untuk menurunkan transmisi HIV. Saat ini, attack rate
di AS paling tinggi pada usia 15-19 tahun dan wanita usia 20-24 tahun. Dilihat dari etnis, insidennya
tertinggi pada Afrika Amerika dan terendah pada Asia Pasifik.
Insiden gonore lebih tinggi pada Negara berkembang daripada Negara maju. Insiden infeksi menular
seksual di Negara berkembang sulit ditentukan secara tepat karena terbatasnya pendataan dan
criteria diagnosis yang bervariasi. Penelitian di Afrika telah menunjukkan bahwa infeksi menular
seksual nonulceratif seperti gonore merupakan factor transmisi HIV.
Gonore ditransmisikan dari pria ke wanita lebih efisien daripada arah sebaliknya. Tingkat tranamisi
pada wanita melalui hubungan seksual tanpa proteksi dengan pria terinfeksi sebesar 40-60%.
Gonore orofaring teradi pada 20% wanita yang melakukan felatio dengan partner yang terinfeksi.
Transmisi melalui cunnilingus jarang.
Pada berbagai populasi terdapat minoritas individu yang memiliki tingkat penularan terbesar. Faktor
instrumental lain dalam bertahannya gonore di populasi adalah banyak individu terinfeksi yang
asimtomatik atau hanya sedikit gejala yang dapat diabaikan. Pada pasien ini, tidak seperti individu
simtomatik, tidak membatasi aktivitas seksual sehingga teerus menularkan infeksi.
4. Pathogenesis
4.1 Protein membrane luar
Pili isolate Neisseria gonore membentuk koloni berfimbriae dalam medium agar. Ekspresi pili
mengalami perubahan secara cepat karena penyusunan kembali gen pili. Hal ini merupakan dasar
variasi antigen gonokokus. Strain yang berpili melekat pada permukaan sel mukosa lebih kuat dan
lebih virulen pada kultur organ dan inokulasi pada manusia daripada yang tidak berpili. Pada model
eksplan tuba falopi, pelekatan gonokokus pada sel epitel kolumnar tidak bersilia dimediasi oleh pili.
Hal ini mengawali fagositosis gonokokus dan transport melalui sel-sel ini ke spatium interseluler di
dekat membrane basal atau langsung ke jaringan subepitel CD46 (membrane kofaktor protein)
tampak pada sel epitel urogenital pria dan wanita dan telah ditentukan sebagai receptor pili C.
Subunit ini terletak pada ujung molekul pili dan memediasi pelekatan. Pili juga penting untuk
kompetensi genetic dan transformasi Neisseria gonore yang memungkinkan transfer horizontal
materi genetic antara galur gonokokus yang berbeda in vivo.
4.2 Opacity associated protein
Protein permukaan gonokokus lainnya yang penting untuk pelekatan pada sel epitel adalah Opacity
associated protein (Opa). Opa berperan dalam adhesi intergonokokus yang penting dalam
pembentukan koloni gonokokus pada medium agar dan pelekatannyapada berbagai sel eukariotik,
termasuk PMN, varian Opa tertentu merangsang invasi sel epitel dan efek ini berkaitan dengan
kemampuan Opa untuk mengikat CEACAM-1 yang diekspresikan limfosit T CD4 primer, menekan
aktivasi dan proliferasi limfosit. Fenomena ini dapat menjelaskan penurunan sementara limfosit CD4
pada infeksi gonokokus.
4.3 Porin
Porin adalah protein permukaan gonokokus yang paling banyak, meliputi >50% total protein
membrane luar organism tersebut. Molekul porin terdapat dalam bentuk primer yang menyedakan
saluran anion yang hidrofilik melalui membrane hidrofobik. Porin memiliki variasi antigen yang stabil
dan membentuk dasar serotyping gonokokus. Dua serotype utama yang telah diidentifikasi adalah
PorB1A strain yang berhubungan dengan infeksi gonokokus diseminata (DGI) dan PorB1B strain yang
hanya menyebabkan infeksi genital lokal. DGI strain secara umum resisten terhadap mekanisme
imun dan tidak merangsang respon inflamasi lokal, oleh karena itu tidak menimbulkan gejala pada
genitalia. Hal ini berhubungan dengan kemampuan strain Por B1A untuk berikatan dengan molekul
inhibitor komplemen, menyebabkan penurunan respon inflamasi. Porin dapat mengalami translokasi
ke membrane sitoplasma sel host, proses yang dapat menrangsang endositosis dan invasi gonokokus.
4.4 Protein membrane luar lain
Protein membrane luar lain termasuk H8, lipoprotein yang terdapat dalam konsentrasi tinggi pada
permukaan semua strain gonokokus dan merupakan target diagnose berdasarkan antibody.
Transferin binding protein (Tbp1 dan Tbp2) dan laktoferin binding protein diperlukan untuk
mengikat Fe dari transferin dan laktoferin in vivo. Transferin dan Fe merangsang pelekatan Neisseria
gonore dan daapt melindungi organism dari IgA mukosa.
4.5 Lipooligosakarida
LOS gonokokus terdiri dari lipid A dan oligosakarida inti yang tidak memliki rantai samping antigen
karbohidrat O yang dimiliki bakteri gram negative lainnya. LOS gonokokus memiliki aktivitas
endotoksik dan berperan dalam efek sitotoksik lokal pada model tuba falopi. Karbohidrat inti LOS
mengalami variasi besar dalam berbagai stadium pertumbuhan, variasi ini menunjukkan regulasi
genetic dan ekspresi gen glikotransferase yang menentukan struktur karbohidrat LOS. Perubahan
fenotip ini dapat memepengaruhi interaksi Neisseria gonore dengan elemen sistem imun humoral
(antibody dan komplemen) dan juga mempengaruhi pengikatan langsung organism pada fagosit
professional dan non professional.
4.6 Faktor host
Sebagai tambahan struktur gonokokus yang berinteraksi dengan sel epitel, faktor host penting dalam
memediasi masuknya gonokokus dalam sel nonfagosit. Aktivasifosfolipase C yang spesifik pada
fosfatidilkolin dan sphingomyelinase asam oleh Neisseria gonore yang menyebabkan pelepasan
DAG dan ceramide diperlukan untuk masuknya Neisseria gonore dalam sel epitel. Akumulasi
ceramide dalam sel menyebabkan apoptosis yang merusak integritas epitel dan memfasilitasi
masuknya gonokokus dalam jaringan subepitel. Pelepasan faktor kemotaksis sebagai hasil aktivasi
komplemen berhubungan dengan inflamasi, sseperti efek toksik LOS dalam merangsang pelepasan
sitokin inflamasi.
Pentingnya imunitas humoral dalam pertahanan host terhadap infeksi neiserria ditunjukkan oleh
predisposisi orang yang kekurangan komponen komplemen terminal (C5-C9) terhadap infeksi
gonokokus diseminata dan meningitis meningokokal rekuren. Porin gonokokus menginduksi respon
proliferasi sel T pada pasien dengan gonokokus urogenital. Peningkatan signifikan CD4 yang
menghasilkan IL4 spesifik porin dan limfosit CD8 tampak pada individu dengan gonokokus
mukosa.Respon TH2 spesifik porin dapat menembus permukaan mukosa dan berperan dalamm
proteksi imun terhadap penyakit. Sedikit data yang mengindikasikan dengan jelas bahwa imunitas
protektif diperoleh dari infeksi gonokokal sebelumnya, walaupun antibody bakterisidal dan
opsonofagositik terhadap porin dan LOS dapat memberikan proteksi parsial. Di sisi lain, wanita yang
terinfeksi dan membentuk antibody terhadap protein membrane luar Rmp dapat terinfeksi ulang
oleh Neisseria gonore karena antibody Rmp menghambat efek antibiotic bakterisidal terhadap
porin dan LOS.Rmp hanya memiliki sedikit variasi antigen sehingga antibody Rmp dapat
menghambat berbagai jenis antibiotic. Mekanisme penghambatannya belum seluruhnya diketahui,
namun antigen Rmp menghambat antibiotic porin dan LOS secara nonkompetitif melalaui kemiripan
struktur tersebut dengan membrane luar gonokokus.
4.7 Resistensi gonokokus pada antigen antimikroba
Neisseria gonore memiliki kemampuan untuk mempengaruhi struktur antigeniknya dan beradaptasi
pada perubahan microenvironment sehingga menjadi resisten pada berbagai antibody. Agen
pertama yang efektif terhadap gonore adalah sulfonamide yang diperkenalkan pada 1930 dan dalam
1 dekade menjadi tidak efektif. Penisilin kemudian digunakan sebagai pilihan terapi gonore. Pada
1965 42% isolate gonokokus mengalami resistens tingkat rendah terhadap penisilin G. Resistensi
karena produksi penisilinase timbul di kemudian ahri. Gonokokus mengalami resistensi terhadap
antibiotic karena mutasi kromosom dan akuisisi faktor R (plasmid). Terdapat 2 jenis kromosom. Tipe
1 yang spesifik obat adalah mutasi yang menyebabkan resisitensi tingkat tinggi. Tipe 2 melibatkan
mutasi beberapa lokus kromosom yang berkombinasi untuk menentukan level dan pola resistensi.
Strain dengan mutasi gen kromosom pertama kali diobservasi pada akhir 1900. Pada 2004, mutasi
kromosom menjadi penyebab resistensi penisilin, tetrasiklin, atau keduanya pada 12% strain yang
disurvei di AS.
Penicillinase-producing Neisseria gonore (PPNG)membawa plasmid dengan determinan pcr telah
tersebar di seluruh dunia pada awal 1980. Strain Neisseria gonore dengan resistensi tetrasiklin yang
dibawa plasmid (TRNG) dapat memobilisasi beberapa plasmid beta laktamase dengan PPNG dan
TRNG bersamaan dapat menghambat resistensi yang dimediasi kromosom. Penisilin, ampisilin, dan
tetrasiklin tidak dgunakan lagi untuk terapi gonore. Sefalosporin generasi 3 tetap efektif sebagai
terapi single dose pada gonore. Walaupun konsentrasi inhibitor minimal ceftriaxon untuk strain
tertentu mencapai 0,015-0,125 mg/L (lebih tinggi dari MIC strain yang rentan yaitu 0,0001-0,008
mg/L), kadar ini meningkat pesat di darah, uretra dan cervix bila regimen ceftriaxon dan cefixim yang
direkomendasikan rutin diberikan.
Regimen yang mengandung kuinolon juga direkomendasikan untuk terapi infeksi gonokokus.
Fluorokuinolon memiliki efek antiklamidia bila diberikan selama 7 hari. Namun Quinolon-resistant
Neisseria gonore (QRNG) timbul segera setelah agen ini digunakan untuk terapi gonore. QRNG
banyak terdapat di kepulauan Pasifik (termasuk Hawaii) dan Asia, di mana pada beberapa daerah
seluruh strain gonokokus resisten terhadap kuinolon. Sekarang QRNG banyak terdapat di Eropa dan
Timur Tengah. Perubahan DNA girase dan topoisomerase IV dianggap sebagai mekanisme resistensi
florokuinolon.
Resistensi terhadap spektinomicin yang dulu digunakan sebagai agen alternative juag telah
dilaporkan. Karena agen ini tidak berhubunagn dengan resistensi antibiotk lain, spektinomicin dapat
digunakan pada strain Neisseria gonore yang multiresisten. Namun demikian, wabah yang
ditimbulkan oleh strain yang resisten spektinomicin telah dilaporkan di Korea dan Inggris di mana
obat tersebut digunakan untuk terapi primer gonore.
5. Diagnosis
5.1 Manifestasi kllinis
Infeksi gonokokus pada pria
Uretritis akutmerupakan manifestasi klinis yang sering terjadi pada infeksi gonokokus pada pria.
Waktu inkubasi setelah terpapar kuman adalah antara 2 sampai dengan 7 hari, walau bagaimanapun
interval dapat lebih panjang dan kadang-kadanag pada beberapa orang tidak menunjukkan gejala
(asimptomatik). Stren Por1A, lebih cenderung menyebabkan manifestasi uretritis yang ringan dan
asimptomatiktend berbanding stren Por1B. Discharge uretra dan disuria, tanpa frekuensi atau
urgensi, merupakan tanda yang mencolok. Discharge awalnya sedikit dan tetapi akan menjadi
banyak dan purulenta dalam jangka waktu satu sampai dua hari. Walaubagaimanapun, adalah sulit
dalam menentukan penyebab uretrritis hanya berdasarkan manifestasi klinis saja. Kebanyakan kasus
di United States hari ini tidak hanya disebabkan oleh N. gonorrhoeae dan/ atau C. trachomatis.
Walaupun beberapa organism dapat menyebabkan kondisi tersebut diatas, kebanyakan kasus tidak
memiliki etiologic agen yang spesifik.
Kebanyakan penderita yang simptomatik yang akan mendapatkan perawatan akan berakhir dari
menjadi agen infeksiosa. Manakala yang selebihnya yaitu mereka yang asimptomatik, akan
menambahkan jumlah penderita gonokokus. Bersamaan dengan kuman yang terinkubasi dalam
tubuh pria yang asimptomatik, mereka sebenarnya merupakan sumber penyebaran infeksi. Dengan
adanya antibiotic, gejala uretritis dapat bertahan sampai 8 minggu.
Epididymitis dan gonococcal prostatitis saat ini menjadi komplikasi yang tidak sering lagi. Komplikasi
local yang lain yang tidak sering lagi antaranya adalah edema pada penis akibat dorsal lymphangitis
atau thrombophlebitis, submucous inflammatory soft infiltrasi dari urethral wall, periurethral
abscess atau fistulae, inflammasi atau abscess kelenjar Cowpers, dan seminal vesiculitis. Balanitis
dapat terjadi pada pria yang tidak melakukan sirkumsisi.
Infeksi gonokokus pada wanita
Gonokokus servitis dengan mucopurulent servisitis merupakan penyakit yang biasanya terjadi pada
wanita di Amerika dan hal ini dapat disebabkan oleh N. gonorrhoeae, C. trachomatis, dan organism
lainnya. Servisitis dapat coexist dengan candidal atau trichomonal vaginitis. N.
gonorrhoeae terutama menginfeksi os cervical dan dapat juga menginfeksi daerah peripheral dari
cervix dimana terdapatnya epithelium columnar dan epithelium stratified squamous.
Walaubagaimanapun mukosa vaginal yang dilapisi oleh epithelium stratified squamous tidak
terinfeksi oleh organism tersebut. Kelenjar Bartholins walau bagaimanapun dapat terinfeksi. Wanita
yang terinfeksi oleh N. gonorrhoeae biasanya akan menunjukkangejala walau bagaimanapun wanita
yang masih asimptomatik atau yang hanya memiliki gejala ringan akan memperlambat usaha
mencari terapi medikasi.
Gejala yang dapat terjadi antaranya adalah discharge yang sedikit dari vagina yang dapat disebabkan
dari servix yang terinflamasi (bukan vaginitis atau vaginosis) dan disuria (biasanya tanpa gangguan
urgensi dan frekuensi) yang terjadi pada gonococcal urethritis. Inkubasi period pada wanita jarang
dapat ditentukan dengan tepat. Namun gejala dapat terjadi dalam jangka waktu 10 hari setelah
terinfeksi dan menunjukkan gejala yang lebih hebat berbanding infeksi
chlamydialcervicitis.pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan mucopurulent discharge (mucopus) yang
keluar dari os cervical. Mucopurulent discharge akan di swab dan warna dari discharge tersebut akan
dibandingkan dengan menggunakan swab tersebut; mucus kuning atau hijau menunjukkan mucopus.
Walau bagaimanapun hanya 35% dari wanita dengan gonococcal cervicitis yang menghasilkan
discharge mucopurulent. Oleh karena pewarnaan Grams tidak sensitive untuk diagnose gonorrhea
pada wanita, specimen harus dihantar untuk dikukturkan. Edematous, ektopik servikal yang rapuh,
dan perdarahan endocervical yang disebabkan oleh gesekan yang sederhana biasanya dapat terjadi
pada infeksi chlamydial. Urethritis pada wanita akan memberikan gejala disuria internal, dimana hal
ini sering dikelirukan dengan cystitis.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pada gonococcal servitis adalah dyspareunia dan lower
abdominal pain akibat infeksi yang lebih dalam dan jauh. Pada keadaan tersebut harus difikirkan
akan terjadinya Pelvic Inflamatory Disease PID dan memulakan terapi sesuai diagnose yang baru
muncul ini. Infeksi ascending pada traktus genitalia yang diikuti oleh 20% dari kasu sgonococcal
cervicitis akan menyebabkan endometritis akut yang diikuti oleh perdarahan menstrual yang
abnormal, midline lower abdominal pain, tenderness, dan dyspareunia. Penyebaran pada tuba
fallopian dapat menyebabkan salpingitis akut, dimana dapat menyebabkan gejala nyeri goyang
portio cervix, tenderness dan massa adnexal yang abnormal pada pemeriksaan pelvic. Pada kondisi
ini, penderita dapat berada dalam keadaan febris, leukocytosis dan peningkatan laju endap darah,
atau C-reactive protein level. Co-infection dengan C. trachomatis dapat meningkatkan resiko
terjadinya PID, yang mengakibatkan endometritis and salpingitis. Tubal scarring dapat
mengakibatkan terjadinya infertility, dan peningkatan angka kejadian ectopic pregnancy.
Penggunaan terapi antibiotic untuk gonococcal salpingitis (terutama pada perkembangan massa
adnexal) dapat mencegah terjadinya tubal infertility pada hamper semua kasus kejadian. Kerosakan
bilateral tubal terjadi pada hamper 20% wanita dengan massa adnexal.
Terdapat juga wanita dengan tubal infertility tidak menunjukkan riwayat PID. Pada wanita dengan
silent salpingitis akan mengeluhkan abdominal atau pelvic discomfort (seperti dysmenorrhea atau
dyspareunia) yang akhirnya akan dikelirukan dengan diagnose lain (seperti endometriosis).
Penyebaran infeksi pada pelvis akan menyebabkan pelvic peritonitis yang ditunjukkan dengan gejala
tidak spesifik seperti mual dan muntah.
Manakala, penyebaran gonococcus atau Chlamydia melalui peritoneal cavity ke upper abdomen
dapat menyebabkan may perihepatitis (Fitz-HughCurtis syndrome).
Gonococcal vaginitis juga merupakan salah satu gejala pada infeksi gonococcus. Mukosa vaginal
pada wanita sehat dilapisi oleh epithelium stratified squamous dan biasanya tidak dapat terinfeksi
oleh N. gonorrhoeae. Walaubagaimanapun, gonococcal vaginitis dapat terjadi pada wanita dengan
kondisi anestrogenic (contohnya wanita prepubertal dan wanita postmenopausal), pada wanita
denganepithelium squamous epithelial yang menipis sampai mendekati lapisan basilar, akhirnya
dapat mengakibatkan infeksioleh N. gonorrhoeae.
Inflamasi hebat yang terjadi akan mengakibatkan pemeriksaan fisik (speculum dan bimanual)
menjadi sangat sulit kerana penderita merasakan sangat sakit. Mukosa vaginal menjadi kemerahan
dan edematous, dan didapatkan purulent discharge yang sangat banyak. Infeksi pada urethra dan
kelenjar Skenes serta Bartholins juga sering menyertai infeksi pada gonococcal vaginitis. Cervical
erosion atau abscesses dalam nabothian cysts juga bisa terjadi. Coexisting cervicitis dapat
menyebabkan pus dalam os cervical.
Gambaran klinis pada infeksi gonococcus yang uncomplicated biasanya hampir menyerupai infeksi
olehC. trachomatis. Walaupun infeksi oleh chlamydial menunjukan gejala yang lebih ringan, infeksi
oleh kedua kuma tersebut sering kali sulit dibedakann hanya jika berdasarkan manifestasi klinis saja.
Co-infection oleh N. gonorrhoeae dan C. trachomatis dapat dilihat pada lebih dari 40% kasus yang
didapat.
Anorectal Gonorrheamerupakantempat penyebaran infeksi N. Gonorrhoeae yang sering terjadi pada
wanita dan biasanya dalam kondisi asymptomatik, namun akhirnya akan menyebabkan terjadinya
acute proctitis yang bermanifestasi sebagai anorectal pain atau pruritus, tenesmus,
purulent rectal discharge, dan perdarahan rectal.
Pharyngeal Gonorrheamerupakan suatu manifestasi infeksi gonorhhea yang biasanya ringan dan
asymptomatic, manakala pada yang simptomatik biasanya disertai oleh cervical lymphadenitis. Cara
penularannya adalah melalui jalan oral-genital. Kebanyakan infeksi dapat membaik secara spontan,
dan transmisi dari oral-genital adalah sangat jarang. Pharyngeal infection biasanya terjadi
bersamaan dengan infeksi pada genital. Swab dari pharynx harus dilakukan dan dikulturkan langsung
pada media pilihan.
Ocular Gonorrhea pada Dewasapada dewasa biasanya berakibat dari autoinoculation dari infeksi
genital. Sama seperti infeksi pada genital, manifestasi dapat berupa berat, ringan maupun yang
asymptomatik. Variasi infeksi dapt bergantung pada kemampuan host dalam mengeliminasi kuman
tu sendiri. Infeksi dapat dilihat sebagai pembengkakan eyelid yang sangat nyata, hiperemia yang
berat, dan perulent discharge yang sangat profus. Konjungtiva yang turut terinfeksi sangat berat
akhirnya dapat menyebabkan kerosakan pada kornea dan limbus. Lytic enzymes dari cel PMN yang
terinfiltasi akan menyebabkan corneal ulceration namun jarang menyebabkan perforasi. Pewarnaan
Gram dan kultur dari purulent discharge harus dilakukan dalam menegakkan diagnosa tersebut.
Kultur genital juga harus tetap dilakukan.
5.2 Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis yang segera dapat dilakukan pada pria dengan infeksi gonococcal adalah dengan temuan
pewarnaan Gram`s yang dilakukan pada urethral exudates. Deteksi intraseluler diplococci gram-
negative biasanya sangat specific dan sensitive dalam mendiagnosis gonococcal urethritis pada pria
dengan gejala yang symptomatic. Namun demikian hanya 50% sensitive dalam mendiagnosis
gonococcal cervicitis pada wanita. Samples harus dambil dengan menggunakan swab Dacron atau
rayon. Bagian dari hasil swab diinokulasikan ke plate yang telah termodifikasi dengan Thayer-Martin
atau gonococcal selective medium yang lain untuk tujuan kultur. Adalah penting untuk untuk
mempercepatkan proses kultur kerana gonococci tidak toleransi dengan keadaan kering.
PMN sel sering terdeteksi pada pewarnaan gram dari endocervixon, dan peningkatan abnormal
sebanyak 30 PMN per lapang dalam lima 1000X oilimmersion (mikroscopik) menunjukkan adanya
inflammatory discharge. Walaubagaimanapun, hal ini tidak akurasi dalam menegakkan diagnosis
gonorrhea, dan harus tetap dilakukan kultur bacteria. Tahap sensitivitas dari kultur tunggal
endocervical dapat mencapai 80% hingga 90%.
Uji Nucleic acid probe dapat dilakukan dalam rangka menggantikan tehnik kultur dalam mendeteksi
kehadiran bakteri N. gonorrhoeae pada specimen urogenital. Namun demikian tehnik ini kurang
sensitive berbanding tehnik kultur konvensional.
6. Terapi
Pemberian Cephalosporins generasi ketiga yaitu cefixime 400 mg (peroral) dan ceftriaxone 125 mg
(intramuskular), keduanya sebagai single dose, menjadi terapi pilihan utama pada infeksi gonococcal
(urethra, cervix, rectum, atau pharynx) yang belum ada komplikasi. Antimicrobial tersebut
diperkirakan dapat memberikan efek membaik pada 95% dari kasus infeksi urogenita. (efficacy
terapi pada infeksi anorectal diperkirakan sama pada infeksi urogenital)
Oleh karena co-infection dengan C. trachomatis sering terjadi, terapi harus dikombinasikan juga
dengan terapi yang sesuai dengan agen tersebut (contohnya azithromycin atau doxycycline) yang
sangat efektif dalam melawan infeksi chlamydial. Pemberian terapi ganda tersebut diatakan sangat
efektif dalam rangka mengurangi kost diagnosis dimana memandangkan infeksi Chlamydia sering
menyertai infeksi gonococcal (10 hingga 30%). Infeksi gonococcal yang belum ada komplikasi pada
penderita dengan penicillin-allergic yang tidak dapat menerima terapi quinolones dapat diberikan
terapi spectinomycin.
Sekiranya gejala masih menetap, kultur terhadap kuman N. gonorrhoeaeharus dilakukan dan
sekiranya didapatkan kuman gonococcus yang lain, harus dilakukan uji sensitifitas antimikrobial. .
Gonococcal pharyngitis yang simptomatis lebih sulit diterapi berbanding infeksi pada genital.
Beberapa regimen yang telah digunakan berjaya 90% kasus kejadian. Penderita yang tidak toleransi
pada cephalosporin atau quinolones dapat diobati dengan menggunakan spectinomycin, tapi obat
ini menghasilkan hanya 52% kasus keberhasilan. Oleh itu, mereka yang diberikan terapi
spectinomycin harus dilakukan kultur pharynx setelah 3-5 hari pemberian terapi dalam rangkai
memonitor hasil keberhasilan. Infeksi Ocular gonococcal pada anak-anak dan dewasa dapat diterapi
dengan menggunakan single dose oleh ceftriaxone dan dapat dikombinasikan dengan irigasi salin
pada konjungtiva (keduanya harus diberikan secepatnya ) dan pasien harus dilakukan pemerikasaan
slit-lamp dalam rangka mengevaluasi kondisi mata.
7. Pencegahan
Jika kondom digunakan dengan benar, hal ini akan menghasilkan proteksi yang sangat efektif dalam
menghalang terjadinya transmisi gonorrhea serta infeksi lain dari dan ke perukaan mukosa. Apabila
sudah terdiagnosa dengan infeksi gonorrhea, semua pasangan seksual harus turut dievaluasi dan
diberikan terapi secara bersamaan. Pasien juga harus diberitahukan supaya tidak melakukan
aktivitas seksual selama terapi masih berlangsung dan gejala masih positif. Hal terpenting lain yang
harus dilakukan adalah memberikan edukasi kesehatan masyarakat, kaunseling individu, dan
modifikasi perilaku. Mereka yang sedang aktif seksual juga harus dilakukan skrining terhadap
penyakit menular seksual. Tidak ada vasin yang efektif terhadap gonorrhea pada saat ini akan tetapi
usaha untuk menguji kandidat vaksin Porin sedang berlangsung.





DAFTAR PUSTAKA
Fauci, et al. 2011. Harisons Principles of Internal Medicine, 18th Ed. McGraw-Hill : USA.
Martha, et al.2011. Urethritis. Medscape for iPhone.United Kingdom : eMedicine.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. IPD
FKUI Pusat. Jakarta.
Talhari, S., Benzaquen, A., Orsi, A.T. 1997. Diseases Presenting As Urethritis/Vaginitis: Gonorrhoea,
Chlamydia, Trichomoniasis, Candidiasis, Bacterial Vaginosis.

Anda mungkin juga menyukai