Artinya :
Berkata Puang Ri Maggalatung, kejujuran dan kepandaian, itulah yang paling baik
ditanamkan pada diri kita, itulah juga yang tak bercerai dengan Dewata Tunggal. Yang
disebut pandai ialah kemampuan untuk melihat akhir(akibat) perbuatan. Dan dikerjakannya
adalah yang baik, bilamana dapat mendatangkan keburukan, janganlah lakukan. Bilamana
tidak baik, jaganlah hendaknya engkau kerjakan, karena kembali juga nanti keburukannya
kepadamu.
BAB I
Suku Bugis dan Makassar merupakan suku-bangsa utama yang mendiami Sulawesi
Selatan, disamping suku-bangsa utama lainnya seperti toraja dan Man-dar.
Suku Bugis mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba, Sinjai, bone, Wajo,
Sidenreng-Rappang (sidrap), Pinrang, Polewali-Mamasa (Polmas)), Enrekang, Luwu, Pare-
pare, Barru, Pangkajene-Kepulauan (Pangkep) dan Maros. Dua Daerah Tingkat II yang
disebutkan terakhir (Pangkep dan Maros) merupakan daerah peralihan suku Bugis dan
Makassar, Sedangkan Enrekang peralihan Bugis dengan Toraja sering dikenal sebagai orang-
orang Duri atau Massenrempulu’.
Suku Makassar mendiami Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa, Takalar, Jeneponto,
Bantaeng dan selayar walaupun mempunyai dialek tersendiri.
Berdasarkan rumpun bahasa Daerahnya, maka di Sulawesi Selatan ini ada enam rumpun
bahasa, seperti : Bahasa Makassar, Bahasa Bugis, Bahasa Mandar, Bahasa Luwu, Bahasa
Toraja, dan Bahasa Massenrempulu’.
Rumpun bahasa Makassar meliputi daerah Gowa, Takalar, Jeneponto(Tauratea),
Bantaeng, Selayar, Kajang (Bulukumba), Manipi ( Kecamatan Sinjai Barat Kabupaten
Sinjai).
Rumpun bahasa Bugis meliputi daerah Sinjai, Bone, Wajo, Pinrang, Sidenreng-Rappang
(sidrap), Bulukumba, Pare-Pare, juga di sebagian daerah Pangkajene-Kepulauan (Pangkep),
Maros, Mandar, Enrekang, Barru dan palopo (Luwu).
Rumpun bahasa Mandar meliputi daerah Polmas, Majene dan di sebagian daerah
Pinrang.
Rumpun bahasa Luwu meliputi daerah Luwu dimana sub-sub lokalnya punya bahasa
sendiri-sendiri. Di daerah ini ada dua belas bahasa, seperti bahasa Bugis, bahasa Barru,
bahasa Siko, bahasa Lubung, bahasa Wotu, bahasa Pajatabu, bahasa Mangkutana, bahasa
Saroako, bahasa Paraso, bahasa Siwa, bahasa Toraja dan bahasa Pamuna. Bahasa Bugis
digunakan oleh masyarakat dalam kota palopo ( ibu kota kabupaten Luwu) dan daerah pesisir
pantai Wotu. Sub-sub lokal bahasa dan karakteristik budaya di daerah ini menandai adanya
Sembilan anak-suku.
Rumpun bahasa Toraja meliputi daerah Toraja, terutama Makale dan Rantepao, juga di
sebagian wilayah sub lokal Masamba (di daerah Luwu, sekitar enam puluh kilometre utara
palopo).
Rumpun bahasa Massenrempulu’ meliputi daerah Massenrempulu’ , terutama Enrekang
dan daerah-daerah sekitarnya yang diliputi gunung-gunung: Maspul (Massenrempulu’), yakni
di sebagian wilayah Kabupaten Pinrang, Polewali-Mamasa (Polmas) dan Toraja.
Ditinjau dari segi penyebaran bahasa dan jumlah area masyarakat pemakainya, jelas di
sini suku Bugis-Makassar merupakan suku-bangsa utama dan terbanyak mendiami daerah
kontinental Sulawesi selatan ini. Urutan di bawahnya : Toraja menyusul Mandar.
Bertolak dari pemaparan di atas, penulis mencoba menggali perbendaharaan “ SIRIK”
sebagai study Antrophologi Budaya Di Sulawesi selatan. Berikut ini penulis
menggungkapkan aspek-aspek “SIRIK” itu sendiri.
Dengan mengkaji unsur-unsur yang bertali temali dengan permasalahan “SIRIK”
tersebut, misalnya aspek-aspek “PACCE” (Makassar) , atau “PESSE” (Bugis), tentu saja
dalam penggalian nilai-nilai “SIRIK” ini kita akan bersentuhan pula dengan aspek-aspek
sejarah kehadiran suku-suku bangsa tersebut, secara selintang pandang. Dan sedikit
banyaknya bersentuhan pula dengan aspek falsafah hidup sikap mental masyarakatnya yang
melatar-belakangi permasalahan “SIRIK” yang kita coba gali ala kadarnya melalui Risalah
Study Antrophologi ini.
Catatan : Oleh lembaga Bahasa Nasional Cabang III Ujung Pandang, telah diusahakan
langkah-langkah pemetaan bahasa-bahasa yang terdapat atau yang dipergunakan
suku-suku yang kini mendiami Sulawesi selatan secara turun temurun itu.
BAB II
SIRIK sebagai aspek kebudayaan atau aspek antrophologi budaya Bugis-Makassar, guna
mengkajinya dan menghayatinya secara mendasar dibutuhkan pengenalan-pengenalan pada
pengertian-pengertian kebudayaan itu terlebih dahulu7. Yakni pengertian tentang apakah
kebudayaan itu?.
Kebudayaan Indonesia mengalami pengaruh-pengaruh (akulturasi) kebudayaan Hindu,
kebudayaan Islam. Karenanya maka pengetahuan dasar perihal kebudayaan perlu dihayati,
sebelum mengkaji masalah-masalah SIRIK tersebut.
Istilah kebudayaan dalam bahasa Indonesia yang biasa dipakai oleh umum dalam
pembicaraan sehari-hari mengandung pengertian mengenai bangunan-bangunan indah, candi-
candi, tarian-tarian, seni-suara, seni-rupa dan sebagainya. Tetapi Istilah tersebut yang berasal
dari bahasa Sansekerta berarti akal, jadi dengan kebudayaan dapat diartikan segala sesuatu
yang bersangkutan dengan akal.
Dalam lingkungan antrophologi, definisi kebudayaan dirumuskan, sebagai berikut:
“ Kebudayaan ialah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur
oleh tata-kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun
dalam kehiduoan masyarakat”.
Dalam Istilah Sansekerta: budaya ialah bentuk jamak dari budhi berarti akal. Istilah
kebudayaan sama defenisinya dengan istilah Inggris : Culture. Tapi,Inggris: Civilzation
(Indonesia, Peradaban) merupakan bagian-bagian dari kebudayaan yang halus dan indah
serta maju, seperti kesenian,ilmu,dan sebagainya. Istilah peradaban berasal dari bahasa Arab:
Adab.1)
Dari definisi kebudayaan tersebut , kita dapat mengganggap: tujuh unsur kebudayaan
ada pada seua bangsa di dunia,yaitu:
1. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabtan,sistem hukum dan sebagainya.
2. Mata pencaharian dan sistem ekonomi.
3. Perlengkapan dan peralatan hidup manusia (pakaian,perumahan,alat-alat produksi
dan sebagainya.
4. Religi.
5. Ilmu
6. Bahasa
7. Seni.
Sumber-Sumber Sejarah
Orang-orang Tiongkok (Cina) masuk ke Sulawesi Selatan, sebelum agama Islam masuk
daerah ini. Jadi diperkirakan sekitar abad ke XVI.
Oleh karena sering ditemui istilah-istilah Hindu,India (Hindie), Hindia Muka dan
Hindia Belakang agaknya perlu diberi penjelasan sepintaslalu negeri-negeri manakah yang
dimaksud dengan istilah-istilah itu.
Negeri-negeri di sebeleh Timur Indus disebut India (Hindia) oleh orang Eropa. Oleh
kerene itulah ada India (Hindia) muka atau depan kerena paling depan dilihat dari Eropa .
Sekarang ini India Muka terbagi atas tiga Negara,yaitu India Serikat dengan ibu-
kotanya New dehli,Pakistan dengan ibu-kotanya Karachi,dan Bangladesh dengan ibu-kotanya
Dacca.
Dengan istilah India (hHindia Belakang dimaksud negeri-negeri disebelah Timur India
(Hindia) muka,negeri-negeri siam,Burma,Laos,Kamboja dan Vietnam masuk Hindia
belakang. Hindia Muka adalah negeri asal agama Hindu dan Budha. Dalam Risalah kita
dengan agama Hindia di Indonesia dimaksud juga meliputi agama Hindu Budha.
Penduduk Hindia Muka disebut orang India. Ini perlu dikemukakan,karena ia
mempunyai pengaruh tali temali dengan perkembanga Budaya Suku Bugis_Makassar
tersebut dalam perkembangannya.
BAB III
Diuraikan dalam buku Lontara( catatan yang ditulis diatas daun lontar) yang kemudian
diwariskan kepada generasi ke lain generasi dalam lingkungan masyarakat suku Bugis-
Makassar, bahwa watak atau falsafah hidup orang-orang Bugis-Makassar itu, tergambar
sebagai berikut:
1. Jangan dipermalukan dia, sebab dia akan pi-lih lebih baik mati darp pada
dipermalukan (“Aja mupakasiriwi, materi-tu”).
2. Jangan kecewakan dia, sebab apabila dikecewakan pasti meninggalkan anda (“Aja
mullebbaiwi, nabokoiko-tu”).
Hal ini ada kaitannya dengan prinsip falsafah orang-orang Bugis-Makassar, antara lain:
“Iamua narisappa warangparangE, nasaba rialai pallawasirik. Narekko sirik Ba’na Lao,
sungenatu naranreng”(artinya : sesungguhnya harta banda sengaja dicari dan disediakan
untukmenutup malu. Jika kita dipermalukan, maka harta tak ada ginanya lagi, tetapi yang
akan bicara ialah manyat nyata). Hal ini diperjelas lagi oleh seorang wanita Bugis bila ia
dikecewakan suaminya: “Tinulu melle kuranang banteng patilla pinceng nabetaE Lebbu”
(artinya : kecintaanku yang tulus ikhlas kepadamu, bagaikan banteng yang kuat kokoh,
namun ia dapat dirobohkan oleh rasa kecewa yang timbul) . seperti juga ungkapan peribahasa
Bugis: “ Sengeremmu pada bulu, lebba mutaroE, ruttungeng manenggi” ( artinya: kesan
kenanganmu menjulang tinggi laksana gunung, namun rata juga karena kecewa yang timbul).
Jadi, proses kepribadian yang menjiwai orang Bugis-Makassar, yakni: jangan
dipermalukan, karena ia lebih baik mati dari pada dipermalukan; kedua, jangan sampai ia
dihina; ketiga, apabila sudah dikecewakan maka ia pasti meninggalkan anda. Dengan cirri-
ciri pegangan hidup seperti: “ Harta benda diusahakan memperolehnya, tetapi kalau perlu
disediakan untuk menutup malu. Kalau sudah dipermalukan, harta tak ada gunanya lagi dan
untuk itu ia bersedia mati”.
Pada waktu itu (pada zamannya) ada tiga raja besar di Sulawesi selatan ini, yakni:
TellumpoccoE (Luwu, bergelar peyung atau pajung); Makassar a9Gowa) bergelar Somba dan
Bone bergelar Mangkau.
Demikian juga rumah adat Bugis-Makassar terdiri atas (serba tiga): Kolong rumah
(tempat penenun, menyimpan kayu bakar, dan lain-lain) . living space (“Watampola”) dan
bagian loteng untuk menyimpan barang-barang persediaan padi dan lain-lain yang disebut
“Rakkeyang” atau Rangkiang” (Mel.). Adapun ruangan terbagi lagi : Tempat tunggu tamu-
tamu desebut “Lontang Risaliweng”, bagian tengah terdiri dari ruangan-ruangan tidur untuk
orang tua disebut Lontang Ritengnga. Ruangan belakang berdekatan dengan kamar orang tua,
ruangan khusus untuk anak gadis disebut Lontang Rilaleng. Disamping ruangan tidur ada
ruangan terbuka dari depan menuju ke dapur disebut “Tamping”. Anak-anak laki-laki yang
sudah menginjak masa dewasa biasanya tidur di luar rumah atau ditempat lain.
Sebagaimana fungsi angka tiga ( yang punya arti keramat), empat dan delapan juga
punya arti. Demikian, maka tiang-tiang (“Alliri”) rumah adat Bugis-Makassar bentuknya
bersegi empat atau bersegi delapan.
Tiang bersegi empat berdiri di tengah-tengah disebut “Posi Bola” ( soko guru). Dengan
tiang soko-guru ini menjadi pertanda (perlambang) bahwa laki-laki hendaklah bersegi empat
(melebihi tiga) . atau laki-laki yang serba bias atau “WoroanE sulapa eppa” . untuk dapat
menjelajahi delapan penjuru angin. Segi delapan menggambarkan delapan penjuru angin atau
semesta, melambangkan bahwa lelaki orang Bugis-Makassar harus berani bertarung melawan
tantangan hidup. Harus berani melawan tantangan dalam bentuk apapun guna kelangsungan
hidupnya dan masyarakatnya.
Rumah-rumah sekarang bukan lagi merupakan rumah adat oleh karena tiang-tiangnya
biasa saja, pada umumnya bersegi empat.
Dibekali dengan falsafah inilah, nenek moyang Bugis-Makassar berhasil dan menjadi
berjiwa pelaut yang berlayar ke segala penjuru . falsafah ini pula yang dijadikan ajimat untuk
berani bertarung demi kehormatannya. Termasuk manifestasi pengertian : masalah SIRIK
yang dalam istilah Bugis disebut “sirik naranreng” (artinya : tegakkan kehormatan, bila perlu
nyawa dipertaruhkan ).
Falsafah “duai temmalaiseng, tellui temmasarang”, berarti: Tuhan, Nabi Muhammad,
manusia sebagai hamba Allah yang tidak terpisahkan antara satu dan yang lainnya. Begitu
juga badaniah dan batiniah tidak terpisahkan.
Hikmah yang dapat kita ambil dari keseluruhan isi yang terurai tersebut diatas, ialah
kekuatan batin atau prinsip hidup yang dapat diresapi atau ditarik dari hikmah pengertian
“duai temmalaiseng, tellui temmasarang” tersebut.
BAB IV
SUMBER “SIRIK”
Manakala kita ingin mendalami pengertian SIRIK dengan segenap masalahnya antara
lain dapat diketahui dari buku LA TOA. Buku ini berisi pesan-pesan dan nasehat-nasehat
yang merupakan kumpulan petuah untuk dijadikan suri teladan.
Buku LA TOA artinya YANG TUA. Tetapi, arti sebenarnya ialah PETUAH-
PETUAH,berisis sekitar seribu jenis petuah-petuah. Hamper semua isi LA TOA ini erat
hubungannya dengan peranan SIRIK dalam pola hidup atau adat istiadat Bugis-Makassar
(merupakan falsafah hidup).
Misalnya:
- SIRIK sebagai harga diri atau kehormatan
- MAPPAKASIRI’(artinya: dinodai kehormatannya)
- RITAROANG SIRIK (artinya: ditegakkan kehormatannya).
- PASSAMPO SIRIK (artinya: penutup malu)
- TOMASIRI’NA (artinya : keluarga pihak yang dinodai kehormatannya).
- dan SIRIK sebagai perwujudan sikap tegas demi kehormatan tersebut.
SIRIK dapat juga diartikan sebagai pernyataan sikap serakah (Bugis-Makassar atau
MANGOWA)dan SIRIK sebagai prinsip hidup (pendirian) di daerah Bugis-Makassar. SIRIK
NARANRENG dipertarukan demi kehormatan,SIRIK-SIRIK (malu-malu),PALALOI
SIRIKNU (tentang yang melawan),PASSIRIKKIA(bela kehormatan saya),
NAPAKASIRIKKA (saya dipermalukan ),TAU DE’ SIRIKNA (orang tak ada malutak ada
harga diri).
Bahkan berbagai petuah-petuah yany kesemuanya tergambarkan pada buku LA TOA
sebagai buku yang bernilai sastera disusun oleh pujangga Bugis pada zamannya. Karena
dapatdisimpulkan bahwa SILARIANG (minggat) adalah sekedar salah satu aspek daripada
SIRIK tersebut . yang erat hubungannya dengan harga diri dalm arti yang luas (aspek-aspak
identitas keagungan pribadi bangsa pemiliknya).
Jadi SIRIK mengandung pula penilaian kehormatan atau “pride kebanggaan”. Identitas
suku bangsa dalm kerangka ke NASIONAL-an yang Bhineka Tunggal Ika. Manifestasi dari
pada prinsip-prinsip penghayatan Pancasila.
Ungkapan – unkapan sikap orang-orang Bugis yang termanifestasikan lewat kata-
kata: TARO ADA’ TARO GAU(satunya kata dan perbuatan). Yakni, setiap tekat atau cita-
cita ataupun janji yang telah diucapkannya, pasti dipenuhionya (dibuktikannya) dalam
perbuatan nyata. Sejalan pula dengan prinsip ABATTIRENGRIPOLIPUKKU (asal usul
leluhur senantiasa dijunjung tinggi, segalanya kuabadikan demi keagungan leluhurku). Atau
dengan terjemahan bebas:segalanya(jiwa-ragaku) kuabadikan demi untuk ibu pertiwi/bangsa
dan negaraku.
Guna mengetahui lebih mendalam perihal SIRIK dan Aspek-aspeknya pada umumnya
digali melalui LONTARA yang ditulis dengan menggunakan AKSARA LONTARA (tulisan
aksara suku Bugis-Makassar).
Dari buku LONTARA inilah sedikit demi sedikit dapatlah digali nilai-nilai budaya dan
kisah sejarah tentang kebudayaan Bugis-Makassar dan segala falsafah-falsafah hidup serta
sikap mentalnya. Ialah karena Melalui buku-buku LONTARA itu telah diungkapkannya asal
mula kerajaan di Sulawesi Selatan . buku LONTARA pada umumnya telah diangkut oleh
Pemerintah Belanda ke negerinya. Sebagai contoh riwayat asal mula kerajaan Luwu (yang
dianggap sebagai sumber raja-raja orang Bugis ),diketemukan dalam buku LONTARA
“LAGALIGO”.
Adapun kisah berdirinya kerajaan Luwu,diriwayatkan pada buku kesusteraan yang
berbentuk “epos”. Dikisahkan sebagai berasal dari kayangan berjudul berjudul
“LAGALIGO”. Terdiri dari dua puluh tiga jilid,dengan satu juta suku kata dan merukan buku
sastera jenis “epos” yang terpanjang di dunia pada zaman itu.
Kini buku LAGALIGO ada di perpustakaan Negeri Belanda di Leiden. Pada waktu
Belanda berkuasa , semua buku-buku termaksud buku Lontara diangkat ke negeri Belanda
sebagai pelengkap kekayaan perpustakaannya .
LAGALIGO ialah puteraSawerigading dengan perkawinannya dengan WECUDAI.
Sawerigading yang menurut Legenda dikisahkan sebagai berasal dari Kayangan
(TOMANURUNG putera Batara Guru) menurut istilah Bugis.
Yang kemudian menjadi asal usul secara turun-temurun raja-raja Luwu di Sulawesi
Selatan.
Semasa hidupnya LAGALIGO terkanal sebagai pujanggayang tak ada bandingannya di
kawasan Nusantara pada waktu jayanya. Salah satu ciri khas buku LAGALIGO untuk
membuktikan asli tidaknya ialah huruf”H” tidak ada pada buku asli LLAGALIGO tersebut.
Apabila ada huruf “H” jelas buku itu palsu. Buku LAGALIGO terdiri dari 23 jilid. Tidak ada
huruf “H” didalamnya.
Buku Lagaligo ini tidak ada lagi di Sulawesi Selatan (?). Jelas diangklat Pemerintah
Belanda ke negerinya seperti halnya buku-buku Lontara lainnya. Yang ada di sini tinggal
keeping-keping cerita yang dikisahkan turun-temurun, oleh manusia seseorang ke manusia
yang lainnya. Atau merupakan fragmenta-fragmenta tentang Lagaligo yang ditulis dalam
aksara Bugis-Makassar (Lontara). Dengan versi-versi penulisnya(yang mengyutipnya).
Guna melengkapi bahan pengkajian perihal aksara lontara ini, ada baiknya kita
mempelajari tulisan Drs. Hamzah Daeng Mangemba ( dosen Fakultas Sastera dan tokoh
Budayawan yang berbobot di Sulawesi Selatan) dalam tulisannya pada majallah INTIM edisi
Sulawesi Selatan ( halaman 285-286) sebagai berikut:
Lontarak , selain berarti tulisan, juga berarti kitab (pustaka), manuskrip yang terdapat di
Sulawesi Selatan.
Kata Lontarak berasal dari kata lontar, semacam pohon yang banyak tumbuh di
Sulawesi Selatan. Daun lontar dijadikan tempat menulisa riwayat-riwayat, catatan-
catatan, kejadian-kejadian, silsilah-silsilah, petuah-petuah, lalu digulung dan disimpan
seperti kitab sekarang ini. Tulisan yang dipakai penulis pada daun lontar disebut
“Lontarak”.
Tulisan Lontarak diciptakan oleh syahbandar Kerajaan Gowa yang bernama Daeng
Pamatte dalam abad XVI dan banyak mendapat pengaruh dari pola bunyi dan aksara
Sansekerta. Daeng Pamatte adalah syahbandara yang pertama dari kerajaan Gowa
dibawah pemerintah raja Gowa IX Karaeng Tumapakrisik Kallonna. Dalam tahun 1538
aksara Lontarak yang dikarangnya itu terdiri atas 18 huruf dan disebut juga tulisan
huruf Makassar yang tua ini masih dipakai hingga akhir abad XVII.
Bentuk tulisan huruf Makassar yang lazim dipakai sekarang ini adalah bentuk
penyederhanaan dan modermisasi dari bentuk huruf Makassar yang tua. Diciptakan dari
suatu dasar yang bersifat filosofie cultural dari segi empat belah ketupat, yang berarti:
jika seorang mencari ilmu pengetahuan, maka haruslah dicari dari empat penjuru angin.
Kalau gagal, kembalilah mencarinya dalam diri sendiri.
Raja Gowa XIV I Mangerani Daeng Manrabia bersama Mangkubumi kerajaan Gowa
yaitu raja Tallo yang bernama I Mallingkaeng Daeng Manyonri memeluk agama Islam
pada tanggal 22 september 1605. Raja Gowa digelar Sultan Alauddin Sedangkan
Mangkubuminya digelar Sultan Abdullah Awalul Islam, karena Sultan Abdullah yang
mula-mula mengucapkan kalimat Syahadat.
Dengan dipeluknya agama Islam oleh raja Gowa, maka mulai teraasa akan adanya
pengaruh bahasa Arah terhadap bahasa Makassar. Kata-kata Arab mulai masuk
kedalam perbendaharaan kata-kata Makasaar sebagai pengaruh dari agama Islam.
Tidaklah mengherankan apabila aksara Makassar yang lazim disebut aksara Lontarak
itu berubah jumlahnya dari 18 huruf menjadi 19 huruf, disesuaikan dengan kebutuhan
para pemakainya. Huruf yang diciptakan itu ialah huruf “ Ha” yang berasal dari huruf
Arab yang disesuaikan dengan pola pembentukan huruf Makassar yang umum itu.
Dengan sendirinya perbendaharaan kata-kata Makassar yang berasal dari bahasa Arab
yang berbunyi ha semakin bertambah, seperti hurupuk, Halima, aherak, dan sebagainya.
Dan dari keterangan yang diatas itu, teranglah kepada kita bahwa tulisa huruf Makassar
yang lazim dipakai sekarang ini, yang disederhanakan bentuknya itu dilaksanakan pada
waktu agama Islam masuk ke dalam lingkungan kerajaan Gowa, yaitu pada permulaan
abad XVII, dan bahwa kata-kata Makassar yang didalamnya terdapat tanda “ha” dan
sebagainya, seperti hi, hu, he dan ho adalah bukan kata-kata Makassar asli.
Selain bentuk-bentuk huruf Makassar yang sudah umum, oleh Dr. B.F. Mathes telah
ditemui salah satu tulisan Makassar semacam tulisan angka ( Cijferchrift), berdasarkan
tulisan angka huruf Arab yang diberikan ucapan abjad ka-ga-nga.
Jadi, orang Makassar mempunyai tiga macam bentuk huruf yaitu: tulisan huruf
Makassar yang tertua, tulisan huruf yang umum, dan tulisan huruf angka.
Bagi orang bugis yang mempunyai huruf yang bentuknya sama dan serupa dengan
huruf Makassar. Cuma jumlahnya yang berbeda berhubungan oleh karena orang Bugis
melengkapi aksaranya dengan huruf, yaitu: Ngka, Nmpa, Ngra, dan Ngea. Selanjutnya
huruf Bugis mempunyai tanda bunyi untuk e pepet.
Sekarang timbullah pertanyaan: Yang mana diantara kedua tulisan itu yang lebih tua,
BUgis atau Makassar?.
Dari salah seorang guru Makassar yang tua, yang sangat mengetahui ilmu Makassar
dan Bugis menyatakan kepada Dr. B.F. Mathes bahwa justru menyatakan adanya
bentuk-bentuk huruf Makassar yang tua, dia telah mempunyai kesimpulan bahwa
tulisan huruf Makassar adalah yang tertua.
Kesimpulannya itu diperolehnya karena ternyata bahwa belum pernah didapati sesuatu
tulisan dalam Tulisan Bugis, dalam mana terdapat bentuk tua dari tulisan huruf ( latter
schrift). Jadi tulisan huruf Makasaar berangkali adalah tulisan dari zaman dahulu, dari
mana melalui penyederhanaan dan penyamarataan lambat laun terwujud(terjelma)
tulisan huruf yang sekarang ini digunakan. Tulisan inilah yang diambil alih
(overgenomen) oleh orang bugis yang kemudian yang telah ditambahkan beberapa
tanda-tanda hurufnya sendiri.
BAB V
“PASENG” DAN LIMA PENGANGAN ORANG BUGIS MAKASSAR SEBAGAI
“SENDI SIRIK”
Dalam budaya orang Bugis Makassar, ada disebut “PASENG” yakni amanat, pesan-
pesan yang dituangkan oleh orang tua (leluhur) kepada genersasi-generasi penerus. Atau
dapat katagorikan sebagai jenis wasiat. Tersebutlah bahwa dalam buku “PASEANG” yakni
sejenis sastera Bugis,tercantum limapesanan. Yaitu lima bentuk petuah yang duharapkan
menjadi pegangan generasi . yakni9 masing-masing:
1. Ada Tongeng (berkata dengan benar)
2. Lempuk (kejujuran)
3. Getting (berpegangan teguh pada prinsip keyakinan pendirian0
4. Sipakatau (hormat menghormati sesame manusia )
5. Mappesona Ri Dewata SeuwaE (pasrah pada kekuasaan TTuhan Yang Maha Esa).
Pada hakekatnya, sikap mental atau pandangan hidup orang Bugis-Makassar pada
umumnya, sama atau sejalan dan tali temali dengan sikap mental orang-orang Makassar,
karena berdasarkan kisah awal mula kelahiran kedua suku ini ( Bugis-Makassar), adalah satu
jua adanya. Yakni, berawal usul dri satu sumber rumpun (leluhur).
Dikisahkan dalam buku Lontara, bahwa di Sulawesi selatan ini tempo dulu, ada tiga
buah krajaan besar (seperti diuraikan terdahulu pada tulisan ini). Masing-masing kerajaan
Luwu yang mengusai daerah sampai ke Sulawesi Tengah, kerajaan Gowa, dan kerajaan
Bone.
Raja luwu mencanangkan policy perintahnya dengan mengutamakan “rasa
kekeluargaan” (menghendaki agar yang mengusai daerah Sulawesi selatan sebagai raja-raja
ialah keturunannya).
Raja Gowa menjalankan policy perintahannya berdasarkan pengembangan syiar Agama
Islam, dan
Raja bone mencanangkan policy perintahannya brdasarkan policy pengusaha (perluasan
daerah).
Secara umum dapat digambarkan bahwa pandangan orang-orang Bugis atau Makassar
terhadap sirik dan masalah-masalah penyelesaian Sirik itu, hakekatnya sama saja. Begitu pula
dengan masalah-masalah adat-istiadat sebagai warisan leluhur mereka yang satu itu
(bersumber dari satu rumpun asal usul).
Bagi orang-orang suku Makassar yang pada umumnya berwatak keras dan konsekwen
dijiwai oleh manifestasi sikap-sikap yang berpolakan semboyan:
a. Eja tomi na-doang (arti harfiah: Merah baru disebut udang; dalam arti positif,
namun dalam arti negative ada juga istilah “pabbamban-gang na-tolo” yang
artinya semacam siakp membabi buta karena pancingan emosi yang keliwatan
sehingga sukar menjaga keseimbangan pada dirinya, biasanya terjadi atau
dilakukan dalam hal-hal yang sangat memalukan atau Ni-pakasiriki).
b. Ku-alleangnga tallanga na-towalia (arti harfiah: Lebih kupilih tenggelam
daripada kembali ke pangkalan; lebih baik mati berkalangan tanah daripada
hidup menanggung malu; juga biasa diartikan sekali layar terkembang pantang
biduk surut ke pantai, demi mencapai sasaran yang hendak dicapai. Ibaratnya,
dalam mengarungi lautan sekalipun badai mengamuk harus tetap melayarkan
bahtera dan jika harus menanggung risikonya misalnya tenggelam ditengah di
tengah laut, memangnya yang bersangkutan sudahlah mempersiapkan diri untuk
itu).
c. Punna tena sirik-nu pa’niaki pace-nu (jika anda kehilangan harga diri atau
kehormatan, pertahankanlah rasa kemanusiaan dan kesetiakawananmu (setia-
kawan, solidaritas), tunjukkan kesetiaan (loyalitas) untuk itu.
Dengan sikap “ eja tompi na-doang” ( merah baru disebut udang) memanifestasikan
watak yang keras (konsekwen pada pendiririan atau sikap). Yakni bertindak (berbuat) terlebih
dahulu, resiko itu soal belakang. Menggambarkan bahwa emosi lebih menonjol (dominan)
ketimbang rasionya bersifat resessif (resessif, kebalikan dominan).
Atau dengan perkataan lain, dapat dikemukakan bahwasanya emosi seringkali
mengusai rasio. Hal ini erat kaitannya dengan masalah sendi-sendi Sirik tersebut.
Yakni, manakala rasa ketersinggungan kehormatan (identitas terganggu), maka hal
tersebut berarti Sirik. Yakni nilai Sirik bagi orang-orang suku Bugis-Makassar dinilai sesuatu
yang perlu dimuliakan.
Sirik adalah kebanggaan atau keagungan harga diri (pride). Bagi orang-orang suku
Bugis-Makassar diwariskan amanah oleh leluhurnya untuk menjunjung tinggi adat-
istiadatnya yang didalamnya terpatri pula sendi-sendi sirik tersebut.
Manakala harga diri tersebut disinggung yang karenanya melahirkan aspek-aspek sirik,
maka diwajibkan bagi yang tertimpa Sirik itu untuk Melakukan aksi-aksi tantangan. Dapat
berupa aksi (perlawanan) seseorang atau aksi (perlawanan) kelompok masing-masing.
Terserah pada mutu nilai Sirik yang timbul sebagai ekses-ekses kasus yang lahir karenanya.
Bagi pihak-pihak yang terkena Sirik tetyapi membungkem 1001 bahasa (tanpa aksi-aksi
perlawanan) dijuluki sebagai: tau tena Sirikna (tak punya rasa malu atau tak punya harga
diri). Atau dalam bahasa Bugis diungkapkan sebagai tau kurang Sirik (orang yang tak ada
harga diri).
Dengan demikian, dapatlah dibayangkan betapa besar pengaruh nilai-nilai Sirik itu,
bagi sikap mental orang-orang Bugis-Makassar pada umumnya.
Dalam hal-hal mencapai tujuan, orang-orang Makassar berpegang semboyan
Kualleangnga tallanga na-towalia (sekali layar terkembang pantangbiduk surut ke pantai),
semboyan ini memanifestasiakan bahwa orang-orang Bugis-Makssar itu tabah menghadapi
tantangan-tantangan hidup. Tabah menghadapi segala jenis cobaan-cobaan yang dating
bertubi-tubi menimpa. Hal ini erat pula hubungannya dengan perjuangan-perjuangan hidup
orang-orang Bugis-Makassar sebagai pelaut-pelaut.
Sebagaimana sejarah mmengajarkan,bahwa oaring-oarang Bugis-Makassar adalah
pelaut-pelaut yang ulung yang berlayar mengarungi selaty Malaka sampai kepulauan
Madagaskar. Yang kemudian melahirkan ammana Gappa yang terkenal sebagai penyusun
ilmu pelayaran (ahli pelayaran) oranmg-orang Bugis pada zamannya.
Sedangkan yang menyangkut sikap Punna tena Siriknu, pa’niaki paccenu
memanifestasikan bahwa orang-orang Makassar itu mempunyai sifat setia kawan yang sukar
dikhianati umpamanya bila terjadi sesuatu persengketaan, maka biasanya kelompok (keluarga
yang merasa dipermalukan ) atau ni-pakasirikki berkata : Punna tena siriknu pa’niaki
paccenu9kalua tak ada harga dirimu tunjukkkanlah kesetiakawananmu).
Sekaligus memanifestasikan pula, bahwa orang-orang Makassar itu memaliki sifat-sifat
tahu membalas budi,yakni berbudi luhur.
Manakala pernah ditolong seseorang maka menjadi kewajibannya pula guna membalas
pertolongan tersebut sebagai pembayaran terhadap hutang budinya.
Dapatlah kirannya ditarik kesimpulan,bahwa orang-orang suku Bugis-Makassar itu
memiliki sifat-sifat:
hha. Berwatak keras (kosekwen pada sikap pendirian).
hhb. Tabah menghadapi tentangan-tantangan perjuangan hidup dan tawakkal
menerima permasalahan yang timbul.
hhc. Setia-kawan (solider),dan penuh kesiapan (loyalitas) untuk itu.
Namun terhadap permasalahan Sirik,orang Makassar dan Bugis tak pernah mengenal
kompromi. Seperti kata orang Makassar, Bawaku-ji akkaraeng badikku tena nakkareang
(hanya mulut yang mengucapkan tuan,member penghormatan,tetapi kerisku tak tak kenal
siap-kau, yakni na-pelakkanga Sirik-ku(menyinggung kehormatanku,membuat aku
kehilangan malu/harga diri dan martabat),maka badikku tidak mengenal tuan(senjata tidak
akan memilih merek,tidak pilih bulu).
Sebab,bagi orang-orang Makassar masalah Sirik (harga diri) adalah masalah
prinsip,masalah to be or not to be masalah kehormatan yang tak dapat ditawar-tawar.
Masalah nilai adat leluhur yang harus diagungkan,tidak dapat dinodai.
Pada zaman dahulu, masalah-masalah Sirik yang timbul penyelesaiannya harus dibayar
dengan gelimpangan mayat. Yakni harus dibayar dengan pertumpahan daruh. Yakni,
menumpahkan darah yang mappakasirik (yang mempermalukan) itu sebagai tebusannya,
cepat atau lambat ..... kapan-kapan saja darah yang memperlukan (mappasirik) pasti akan
ditumpahkan oleh yang dipermalukan (nipakasirik) atau oleh keluarga yang dipermalukan
(tumasirikna).
Untuk lebih jelasnya dikemukakan contoh-contoh sebagai berikut:
a. Pada suatu senja di stasiun bemo Ujung Pandang, seorang anak muda ditempeleng
seorang supirt bemo ditengah orang banyak, karena sesuatu hal. Anak muda yang
ditempeleng itu tidak berdaya untuk memberikan perlawanan ; namun karena ditempeleng
bagi orang-orang Bugis-Makassar dinilai sebagai aspek Sirik yang harus ditebus, maka lima
bulan kemudian sopir bemo yang pernah menempeleng anak muda tersebut didepan
(nipakasirik-dipermalukan), dikabarkan tewas di ujung bidik ank muda itu.
Ketika seteleh lima bulan kemudian, sopir bemo itu singgah makan di salah satu
warung di Segeri(kabupaten Pangkep). Dimana secara kebetulan, berpapasan dengan anak
muda yang pernah ditempelengnya di depan umum. Maka terjadilah peristiwa penebusan
Sirik itu dengan aliran darah pihak sopir bemo yang teleh mappakasirik
(aksimempermalukan) itu. Dengan perkataan lain telah terjadi si-pasirik(aksi memalukan/aksi
menodai kehormatan ) yang betapapun juga, lambat laun atau cepat,harus harus diselesaikan
melalui aliran darah ...
b. Dikisahkan bahwa dalm pertemuan suatu pesta rakyak di lapangan Karebosi Ujung
Pandang ada seorang gadis yang menonton acara keseniaan dalam rangka pesta rakyat
tersebut. Ia berdiri di tengah-tengah orang banyak (massa). Secara tidak sengaja,seorang
jejaka lain menyenggol anak gadis tersebut ... peristiwa ini tidak terlihat oleh keluarga gadis
tersebut. Tiba-tiba tak lama kemudian berselang beberapa hari, jejaka yang pernah
menyenggol anak gadis itu ketika pesta rakyat (di tengah-tengah massa) itu, dikabarkan luka
parah karena ditiakm oleh keluarga sang gadis (to-masirik-na).
Senggolan pada gadis dinilai orang-orang Bugis-Makassar sebagai masalah Sirik. Dan
harus ditebus dengan darah yang menyenggol anak gadis tersebut ...(silelaki
mappakasirik/mempermalukan).
c. Dikisahkan,bahwa di Kabupaten Jeneponto sebuah bus mini (busumum) sedang lewat
di jalan raya. Seorang lelaki tiba-tiba muncul di tepi jalan raya dan menahan oto tersebut
dengan harapan bahwa keluarganya dua orang wanita dapat diberi tempat dalam bus min itu.
Tetapi apalacur, karena bus mini itu ternyata penuh sesak penumpang,maka penumpang dari
Jeneponto itu... sangat menyesal tidak dapat dilayani oleh sang sopir bus mini itu.
Kenyataannya ...sang sopir berselang beberapa hari kemudian dikeroyok berdarah ... dengan
alasan mappakasirik. Terjadilah penebusan sirik lewat darah pula.
(Catatan: Nilai Sirik dalam kasus ini tampak mengalami arose dan nilainya hambar).
Apakah kasus ini termaksud katagori Sirik? Disinilah nilai Sirik tersebut mengalami erosi
atau hambar dalam perkembangannya.
d. Dikisahkan , bahwa ada seorang karyawan bawahan member hormat kepada seorang
pejabat atasan. Entah oleh faktor apa,rupanya sang pewjabat itu menghiraukan penghormatan
bawahannya itu, melihat keadaan ini, seorang anak berteriak kemudian lari,lalu
nerkata:Takess...takess...(kecele....kecele...).
Karyawan tersebut lalu melempari batu atasannya itu dengan alasan pakassirik
(mempermalukan) . sang pejabat itu benjol luka-luka. Terjadilah aliran darah,karena aspek
Sirik tersebut.
Catatan: apakah kasus ini termaksud katagori Sirik yang dinegatifkan atau
ndiselewengkan nilainya?. Di sinilah letak problematikanya. Bahwa Sirik tersebut
bmengalami erosi atau kabar nilainya yang anggun (bergeser dari nilai luhurnya).
e. Dikisahkan, seorang wanita penjual jagung melaporkan pada kakaknya bahwa ia
dicumbu rayu oleh seorang jejaka pembeli yang setiap malam dating kepadanya merayu
...menggoda...? . akibatnya sang pemuda tersebut beberapa hari kemudian dihadang oleh
tomasirik-na (keluarga gadis penjual jagung), dan mati seketika itu juga ...diujung badik.
Terjadilah ekses aliran darah alasan Sirik,yakni,mengdengar alasan Sirik.yakni mengganggu
(merayu) gadis...
Adalah pantangan bagi orang-orang Bugis-Makassar untuk dirayu anak gadisnya...
(pantangan bercinta-cintaan ). Karena yang demikian ini,bercumbu rayu antara gadis dan
jejaka adalah dinilai sebagai Sirik. Kalau ingin mencintai (mempersunting) seorang gadis
Bugis-makassar,silahkan langsung pada orang tuanya...karena bercumbu-cumbuan
dinilai sebagai aspeksirik tersebut.
Dan lain-lain contoh peristiwa sebagai gambaran bahwa Sirik itu pada umumnya
penebusannya (penyelesaiannya) adalah aliran darah ...
Betapa mahal nilai dan arti Sirik itu bagi orang-orang suku Bugis-Makassar secara garis
beszar telah diuraikan di atas, sebagaiman tujuan penulisan ini adalah sekedar sketsa perihal
sikap mental suku Bugis-Makassar tersebut.
Yang secara garis besar dapat disimpulkan pada uraian –uraian berikt ini, perihal analisa
unsur-unsur positif dan negative dari sikap mental dan sekaligus peranan Sirik itu dalam
perwujudan yang melembaga,bagi masyarakat lingkungannya.
BAB VII
HIKMAH-HIKMAH YANG DI WARISKAN LONTARA
KEPADA GENERASI PELANJUT
Tellui riala sappo’...... (tiga hal yang kita jadikan prinsip / pendirian, dalam hidup ini)
TauE ri Dewata...........(Taqwa dxan patut?takut pada illahi)
Siri’E riwatakkaleta...(Malu pada diri sendiri)
Siri’E ri padatta tau....(Malu kepada sesama manusia hamba Allah).
Pada permulaan abad ke XV orang-orang tua telah berpesan: Aja’ nasalaio acca sibawa
isseng madeceng (janganlah engkau tinggalkan kecakapan dan ilmu pengetahuan).
Salah satu lontara Gowa menyatakan: Nakana karaeng, apa pamanjengana butta
lampoa? Nakana tuniaalleanga kananna, limai .... uru-urunna punna tea nipakainga karaeng
ma’gauka .... makarruanna, punna taena tumangasseng ilalang pa’rasangan lompo ....
makatalluna, punna mangallr soso’ gallarang ma’bicarayya .... maka apanna,punna majai gau’
ilalang pa’rasangang malompo .... maka-limanna, punna tanakamaseanga atanna karaeng ma’
gauka (bertanya raja, apa sebab musabab keruntuhan suatu Negara besar? Menjawablah
orang yang senantiasa di indahkan ucapanya,ada lima hal ... prtama, kalau raja yang
memerimtah tak mau di peringati... kedua, kalau tak ada orang pandai dalam negeri... ketiga,
kalau para hakim menerima sogok... keempat, bila terlampau banyak kejadian-kejadian dalam
suatu negera besar... kelima, jika rakyat jelata tidak di sayangi oleh raja yan berkuasa).
Demikian tinggi nilai-nilai budaya yang tercantum dalam lontara, yang menurut hemat
saya perlu di baca oleh generasi muda Indonesia.
Guna lebih menghayati betapa luhur pesan-pesan yang tertuang pada lontara itu, kita
ungkapakan sebagi berikut:
- Narekko mueloriwi atinna padammu rupatau ab- breangtoi atimmu (jika anda ingin
merebut simpati hati orang lain sesamamu, berikanlah simpatimu kepada orang lain
itu).
- Akka’i padammu rupatu natanrereko (hargai sesamamu manusia, agar ia dapat
mendukungmu pula).
- Tellu tempedding riatepperi, anutemanessa, kareba, kapang ati (ada tiga hal yang
tak boleh langsung di percaya, yakni berita yang belum terbuktu, kabar selentingan
(issue) dan perkiraan-perkiraan (dugaan-dugaan hati sendiri, prasangka).
Sementara itu, Arumpone (raja bone) berdialog dengan La mellong (Kajao Laliddo) yang
tertuang dalam Lontara Bugis sebagai berikut:
Terjemahannya :
Empat hal yang merusak kampong (daerah) : (a) Ke-erakahan, menghilangkan rasa
malu, (b) Kekerasan, melenyapkanperasaan kasih mengasihi di dalam kampong, (c)
Kecurangan, memutuskan hubungan kekeluargaan sekeluarga, (d) Tega hati, menjauhkan
perbuatan benar di dalam kampung. Kalau ke-serakaran di jadikan modal, kesulitan
akibatnya. Kalau kejujuran di jadikan modal, kehidupan akibatnya panjang umur. Dan kalau
sikap kewajaran (kepantasan) di jadikan modal, kecemerlanagan di iringi kebaikan dan di
akhiri keselamatan.
Dengan menghayati aspek-aspek yang tersirat atau tersimpul pada bait-bait Lontara
tersebut di atas yakni yang di nilai dengan kalimat : “Eppa’i solangi wanuaE ( empat hal yang
merusak kampung atau daerah ataupun Negara) ialah Ngowae napadde’i siri’E (keserakahan,
menghilangkan rasa malu) dan seterusnya akan lebih memperjelas bagi kita bahwasanya bagi
orang-orang Bugis-Makassar masalah Sirik dan Pacce adalah masalah prinsip.
Masalah penentu atau kepentingan langkah-langkah selanjutnya baik harga diri pribadi
maupun lingkungan masyarakat (daerah). (catatan: di kaji dari buku SILASA, kumpulan
pesan-pesan dalam Lontara A.HASAN MAHMUD (Edisi 1976).
Sementara To accaE (cerdik pandai) di Luwu, menilai sirik itu terbagi atas dua faktor
pokok: (1). Apabila ia telah duduk di bagian atas (Tribune) tempat yang menurut
penilaiannya sesuai dengan funsinya dalam masyarakat, tiba-tiba ia di minta berdiri dari
tempat tersebut untuk pindah ke tempat yang lain... (bahagian bawah). (2). Apabila telah di
bri hidangan perjamuan sedang jamuan ( hidangan makanan) tersebut belum di makan, lalu di
angkat ( di pindahkan) untuk menjamu orang lain.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan aspek ketersinggungan pribadi. Dan oleh
karenanya orang-orang Bugis-Luwu, menilainya sebagai sirik yang esensil-prinsipil. Maka
akan lebih yakinlah kita, bahwa sendi-sendi sirik itu bertali-temali dengan masalah “Harga
diri” itulah.
Faktor harga diri yng esensil bagi setiap insane yang berbudaya di manapun di dunia
ini,yakni masalah aspek identitas bangsa bersangkutan masing-masing.
Tatkala seorang pemuda bangsawan Soppeng akan dilantik untuk menjadi pemangku
kerajaann,datanglah ia ke Luwu guna meminta nasehat pada To accana Luwu (orang-orang
Cendekiawan Luwu). Terjadilah dialog,sebagai berikut:
pemuda bangsawan Soppeng: saya akan diangkat jadi Raja di Soppeng,bagaimana
cara saya,Sedangkan saya masih muda usia dan pemikiran?
To accana Luwu : Janganlah terlalu manis pada rakyat yang diperintah,sebab
manakala terlalu manis pasti akan ditelan. Jangan terlalu pahit(kejam) pada rakyat,sebab
pasti akan dimuntahkan (ditolak atau tidak ditaati oleh rakyat).
Tiga macam bentuk aksara lontarak. Yang pertama ialah bentuk kuno (het oude
Makassarsche letterschrift),yang kedua ialah aksara angka,sedang yang ketiga ialah
bentuk akasara lontarak Bugis-Makassar yang diciptakan oleh Daeng Pamatte
Syahbandar kerajaan Gowa dalam abad XVI.
BAB VIII
SIRIK
Srik merupakan adat kebiasaan yang hidup danmelambangdalam kehidupan
masyarakat Sulawesi Selatan sejakdahulu kala hingga dewasa ini. Sirik mempunyai nilai-nilai
positif dalam hidup bermasyarakat,namun tak dapat disangkal bahwa sirik juga mempunyai
aspek-aspek negative terutama dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan. Oleh karena itu,
penelitian terhadap Sirik dirasakan penting sekali. Nilai-nilai positif yang terkandung
didalamnya perlu diungkapkan dan dikembangkan dan yang negative perlu ditanggulangi.
Jawaban atas pertanyaan ini dapat diberikan baik menurut arti kata masyarakat dalam
bentuk suatu batasan (defenisi). Tetapi jawaban menurut arti kata suatu batasan,tidak akan
dapat memuaskan.
Jawaban menurut arti kata mungkin tepat secara harfiah tetapi tidak cukup mewakili
makna sebenarnya. Sedangkan jiwanya dirumuskan dalam suatu batasan,inipun akan terbatas
pada aspek tertentu saja yang mewakili sesuai pendekatan objek tersebut. Justeru disinilah
letak kesulitannya,karena Sirik merupakan suatu hal yang bersifat abstrak dan melembaga
didalam masyarakat serta mencakup berbagai aspek dalam kehidupan. Mattulada ( Prof.Dr.
Mattulada, sekarang Rektor Universitas Tadulako di Palu Sulawesi Tengah) memandangnya
sebagai suatu konsep yang mengintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari “
Pangngadereeng” atau Pangngadakkang (keseluruhan norma dan aturan-aturan adat). Shelly
Errington mengatakan tidak mungkin dapat dimengerti susunan masyarakat Bugis Makassar
tanpa kita mengerti susunan atau bentuk masyarakat itu berdasarkan kepada sirik dan darah.
Keduanya adalah kye simbolis yang juga sekaligus gagasan dan nilai yang erat hubungannya
dan tak mungkin dapat dipisahkan. Keluasan dan keabstrakan sirik ini disini hanya dibatasi
pada aspek hukumnya dengan disana sini menyingggung aspek-aspek lain yang ada
hubungannya, lagi pula sebagai suatu yang abstrak sifatnya maka yang diamati adalah akibat-
akibatnya juka dilihat dari segi hukum “ misalnya bidang hukum pidana in kasus KUHP yang
berlaku sekarang” merupakan suatu perbuatan melawan hukum .
Walaupun dari hari ke hari mengalami perubahan, tetapi menurut Mattulada masih
mempunyai arti essensi untuk dipahami karena terdapatnya anggapan bahwa sirik itu bagi
orang-orang Bugis Makassar masih tetap merupakan suatu yang lekat pada martabat
kehadirannya sebagai manusia pribadi sebagai earga persekutuan. Mereka menghayati
sebagai panggilan yang mendalam dari pribadinya, untuk mempertahanka nilai suatu yang
dihormati, dihargai, dan dimilikinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai, dan dimilikinya
mempunyai arti yang essensi baik bagi dirinya maupun bagi persekutuannya. Di daerah
Jeneponto, dua belas responden mencatat mengenai pacce ( Makassar) atau pesse (Bugis0
secara harfiah, ini berarti pedis atau pedih. Dari catatan responden tersebut dapat disimpulkan
bahwa pacce dan pesse adalah suatu perasaan yang menyayat hati, pilu bagaikan tersayat
sembilu apabila sesame warga masyarakat ditimba kemalangan (musibah). Perasaan yang
demikian ini merupakan suatu pendorong kearah solidaritas dalam berbagai bentuk terhadap
mereka yang dulunya ditimpa kemalangan itu. Karena kemalangan itu menurut catatan
responden dapat berupa ditempeleng di muka umum, diperkosa, kelaparan dan sebagainya,
maka dapat disimpulkan bahwa sirik atau pacce atau pesse tersebut adalah sama tetapi yang
terakhir ini lebih rendah tingkatannya. Namun demikian, antara keduanya sangat erat
hubungannya dan tak dapat dipisahkan, seperti jelas dalam ungkapan-ungkapan berikut:
Unna tena sirita pacceta seng ammantang (Makssar) rekuade sirita ungga messa
peseta (Bugis), yang artinya: jika tak ada sirik niscaya masih ada pesse/paccenya.
Dari daerah soppeng, seorang responden mengemukakan penggolongan berikut ini:
istilah sirik sebaliknya dibahas dalam dua bagian, yaitu:
1. Sirik yang berasal dari pribadi yang merasakannya/ bukan kehendaknya
(penyebabnya dari luar), jadi sirik ripakkasirik.
2. Sirik yang berasal dari pribadi yang itu sendiri ( penyebabnya di dalam) disebut
sirik masirik.
Sirik sukar sekali dinilai oleh orang yang tidak bersangkutan (abstrak). Banyak sekali
hal yang mengenai sirik yang tak dapat dituturkan dan banyak diantaranya tak dapat diterima
tasio, akan tetapi tak dapat dikesampingkan kerena benar-benar pengaruhnya untuk
menimbulkan peristiwa pidana berdarah, antara lain: kentut tiba-tiba(nakelo ettu) di maka
umum.
Pernah seorang laki-laki nakelo ettu dimuka umum yang secara refleks kemudian
menghunus kerisnya. Hadirin sependapat bahwa itu sirik, sehingga tiada seorangpun
menegadah, semua tunduk terpaku sebelum silaki-laki itu belum meninggalkan tempat. Oleh
karena malunya, maka setibanya dirumah ia selalu berteriak :saying sekali tiada seorangpun
yang menegadah, kalau ada akan ku tikam mati.oleh karena menahan malu, maka
diperintahkan istrinya untuk menumbuk lada sebanyak-banyaknya kemudian dipulaskan ke
jalan kentutnya sebagai ganjaran dan ia lalu meninggl dunia.
Contoh kedua, seorang wanita dipegang bajunya(baju bodoh) yang sementara melekat
di badannya oleh seorang laki-laki yang bukan muhrimnya.
Contoh ketiga, apabila terjadi pertengkaran ringan tetapi seseorang diantaranya
meludah(mammiccu kepeang) dihadapan lawan tengkarkan termasuk pula persoalan sirik.
Pendapat, perasaan sirik dipakasirik tidak akan lenyap di dalam perasaan seseorang
yang didalam tubuhnya mengalir darah ugi-mengkasara’(Bugis Makassar, team) sampe akhir
zaman.
Usul. Kiranya sirik ripakasirik dibagi untuk diberi tingkatan menurut macam dan
kejadiannya.
Pendirian, sirik ripakasirik harus dijunjung tinggi. Menurut alasan basyah, sirik dapat
digolongkan atas tiga pengertian, yaitu:
1. Sirik itu sama artinya dengan malu, isin(jw), shame(inggris).
2. Sirik merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan,
mengusir dan sebagainya terhadap barang siapa yang menyinggung perasaan
mereka. Hal ini merupakan kewajiban dulu (adat), kewajiban yang mempunyai
sanksi adat, yaitu hukuman menurut norma-norma adat, jika itu dilaksanakan.
3. Sirik itu sebagai daya pendorong bervariasi kearah sumber pembangkitan tenaga
untuk membanting tulang bekerja mati-matian untuk suatu pekerjaan atau usaha.
Dari hasil penelitian lapang dengan membandingkannya dengan hasil-hasil penelitian
kepustakaan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Sirik yang merupakan suatu bagian integral dari pada adat istiadat (termasuk
hukum adat) di Sulawesi Selatan tidak dapat dilepaskan dengan sistem nilai yang
terdapat dalam masyarakat.
2. Sirik mengandung segi yang positif disamping segi-seginya negatif. Segi-segi yang
negative adalah akibat atau ekses yang bersumber dari sirik tersebut terutama jika
dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dewasa ini, seperti
misalnya: kitab undang-undang hukum pidana dan undang-undang perkawinan.
3. Sirik yang ada hubungannya stratifikasi masyarakat berdasarkan darah
kebangsawanan yang sekarang tidak terlalu dirasakan lagi. Menyebabkan beberapa
sanksi-sanksi adat tertentu sudah tidak merupakan hal yang hidup dalam
masyarakat. Demikian pula sanksi-sanksi yang bertentangan dengan sila peri
kemanusiaan dari pancasila.
4. Sirik yang bermotof kesusilaan masih merupakan hal yang sangat peka, sehingga
perlu menjadi bahan pertambangan dalam suatu putusan pengadilan atau para
fungsionaris lainnya dalam menetapkan kebijaksanaannya.
5. Pendidikan, komunikasi yang baik dan beraturan serta cara-cara yang dapat
merubah sistem nilai dalam masyarakat merupakan suatu proses yang diperlukan
menuju kearah pengurangan ekses negatif dalam sirik tersebut.
BAB IX
SYAIR YANG MELAHIRKAN EKSES SIRIK DAN PACCE
KUSORONA BISEANGKU
KUCAMPANA SOMBALAKKU
TAMMAMMELAKKA
PUNNA TEAI LABUANG
Artinya:
Kudayung sampanku laju
Kukembangkan layar
Pantang berbelok kearah lain
Kecuali arah pantai berlabu
Syair tersebut diatas melambang orang-orang Bugis Makassar yang pantang menyerah
menghadapi tantangan-tantangan betapapun wujudnya,karena masyarakat menyerah
menghadapi tantangan dinilai oleh orang Bugis Makasaar sebagai sirik, contoh syair lain :
Pada umumnya, bila orang Makassar telah bersyair seperti tersebut diatas, lazimnya
disusul dengan rasa pacce (rasa pedih yang mendalam, kerena disinggu kehormatannya).
Logikanya, ia mengandung aspek-aspek sirik dan penyelesaiannya otomatis :
darah ..... sebagai tebus ketersingggungan (pacce) tersebut.
Jadi, pacce sebagai aspek yang hakiki dari pada sirik itu, bukan berarti kesetiaan
kawanan dalam membelah kehormatan (sirik), melainkan ia mengandung makna : kepedihan
yang tiada taranya, karena martabat harkat diri tersinggung.
Ia tersayat-sayat menjangkau jauh kedalam lubuk hati. Itulah hakekat dasar yang
disebut pacce. Sebagai perwujudan lanjut (inti sari) dari pada sirik tersebut.
BAB X
SIFAT-SIFAT LANGIT SIRIK
Drs isak ngelyaratan Dosen Fakultas Sastra Hasanuddin telah menyempatkan diri
mengkaji masalah sirik tersebut dan membuat sebuah sketsa ringkas, perihal hakekat yang
terkandung dalam sifat sirik tersebut.
Ia mengemukakan sebagai berikut: dibentuklah tanah, lalu kedalam onggokan
bentukan tanah itu dihenbuslah nafas. Terciptalah manusia pertama adam. Nafas itulah
penentu hakekat kemanusiaan adam tanpa nafas itu adam bukanlah manisia, melainkan
sekedar tumpukan tanah kering anorganik.
Tanah adalah milik bumi. Nafas adalah milik langit. Karena sifat bumi itulah manusia
bisa mati, namun dia juga melampaui sifat-sifat bumi. Dari dalam lubuk sukmanya dia
mendengar bisikan nafas langit yang menyanggukkan dia untuk bias mengalami sesuatu
kelanjutan dari suasana hidup dewata dibalik bumi.
Nafas dalam kisah ini dapat dianalogikan dengan sirik yang dimuat dalam kebudayaan
tradisional di Sulawesi Selatan. Tanpa sirik bukanlah manusia. Sirik adalah penentu hakekat
diri seseorang sebagai manusia. Kehilangan sirik samalah kehilangan dignitas, ketiadaan
atma, kehabisan sumanga’ ketiadaan sifat-sifat langit.
Kelebihan manusia-manusia utama yang disebut para tomanurung di Sulawesi selatan
terletak justru karena keutamaan-keutamaan atau keadihan yang dimiliki dan dicontohkannya
dalam hidup. Mereka membela anggota masyarakat, kesatria, bersih hati, jujur, berbelas
kasihan, bertanggung jawab, contoh terdepan kebaikan dan kebenaran. Segenap kehormatan
masyarakat dipundakkan di bahunya.
Seorang tumanurung menjadi petaruh sirik segenap pengenut dan pengikutnya. Dia
mau mengorbankan apa saja demi tegaknya sirik warganya.dan para warga rela memberi apa
saja demi san hero yang melambangkan sirik bersama.
Sebagian besar, dapatlah dilihat kebersamaan sirik itu di luwu yang disebut massed
sirik. Luwu merupakan asal dan gudang budaya sub kultur di Sulawesi Selatan. Luwu
merupakan pula buminya sawerigading dan budaya galigo. Atribut langit yang dipunyai
tumanurung menjadi persyaratan yang harus dimiliki oleh sang raja serta warga kerajaan.
Kita dapat belajar dari sejarah bahwa kerajaan luwu tempo dulu telah menjadi sumber
kekuatan yang telah melambangkan budaya galigo. Yaitu massedi sirik. Budaya ini terasa
pengaruhnya secara peta bumi dihampir seluruh Sulawesi selatan dan secara geopolitik
meluaskan pengaruhnya jauh melebihi batas-batas kerajaannya.
Sirik inilah yang menjadi anutan utama, nilai suprema yang bersifat sentral. Dialah
yang mengikat raja, mengikat warga, menjiwai mekanisme politik, kekuasaan dan perilaku
segenap warga, utamanya sang raja.sirik melahirkan rasa keterikatan geneologis, juga
kesatuan dalam ikatan sosiokultural dan politik. Dia menjadi dasar pikiran dasar moral serta
kenyakinan religis warga kerajan. Kesatuan atau kebersamaan sirik bukan sekedar suatu
konsep hampa, melainkan diisi oleh contoh hidup sang raja bersama para pemimpin dan
warga yang dipimpinnya. Kekuasaan bukanlah tujuan utama melainkan hanyalah alat untuk
menegakkan dan memperteguh sirik dalam kehidupan masyarakat. Kesatuan dan
keesksistensian antara warga ditandai oleh sifat-sifat langit yang dipraktekkan oleh raja dan
rakyatnya.
Kejujuran, sifat berani dan terbuka untuk menyatakan yang benar, menjunjung tinggi
kebersihan pikiran dan tingkah laku tetap pendirian, mengutamakan kepentinganmu dan
percaya diri antara lain mengutamakan amalan yang membuktikan adanya sirik itu.
Rakyat mencintai sang raja yang penuh dengan sifat yang sirik dan amal sirik. Mereka
menghormati namun dalam kontes budaya yang luhur bahwa bukan ansich yang bertulang
dan berdaging itu dipuja dan diabdi. Yang dipujanya adalah sirik yang diusung dan di
pikulnya adalah sirik dan sumanganya sendiri, yang ditaati adalah sifat-sifat langit yang
begiti nyata dalam sikap hidup rajanya. Dan mereka akan menegur raja dengan segera, bila
cenderung bila tidak mempedulikan massed siriknya.
Bahkan raja diturunkan dari kerajaan bila sudah tak mampu memikul dan member
contoh hidup yang diwajibkan sirik.
Rajalah yang bangun pagi pertama, tidur malam yang paling terakhir,setelah berdoa
dan menyerahksn seluruh kerajaan dan rakyat pada sang khalik, Mahadewata. Rajalah yang
paling depan membela Sirik rakyatnya dan tak di biarkan sehelai rambut pun bagi rakyat
yang di cintainya di cabut oleh kekuatan apapun yang bertentangang dengan Sirik. Tidaklah
heran bila rakyat mengganggu rajanya sebagai angin, banjir, ataupun jarum. Angin, banjir,
dan jarum melambangkan Sirik bersama. Kemana Sirik itu, begitulah ... kesan mereka. Raja
bukanlah angin, bukanlah banjir dan jarum yang harus di ikut-ikuti, bila dia sudah kehilangan
Sumanga’ Sirik dalam sukma dan tingkah laku lahirnya.
Sifat-sifat langit yang Nampak dalam makna budaya ini menyebabkan masseddi Sirik
tidaklah sama dengan demokrasi dan monarchi di Barat. Demokrassi dan Monarchi barat
yang berderivasi dari budaya imperiumromanus cenderung untuk menstabilkan kekuasaan
yang hendak menjamin hak demos serta hak sang monark. Oleh karena itu tidak sering
bonum commune di nomor duakan, lalu power atau kekuasaan menempati politik posisi
paling atas. Corak politik adalah politik kekuasaan, dan bukanlah politik yang secara Sirik
harus menjamin ruang gerak luas bagi nafas langit.
Justru Masseddi Sirik menomor-satukan dignitas dan ,artabat luhur manusia, dan
kekuasaan harus tunduk padanya. Kekuasaan sewaktu-waktu bias di cabut, namun Sirik
mustahil, karena dialah hakekat yang menyebabkan seseorang itu manusia dan bukan sesuatu
yang lain.
Bagi penganut budaya Galigo, yaitu Sirik apapun bias di korbankan dan di berikan,
kecuali Sirik itu sendiri. Bahkan ia rela mati demi tetap memiliki nafas langit ini di balik
maut. Dia bia kehilangan harta dan kedudukan, kehilangan kuasa, bahkan kehilangan
kesempatan hidup di bumi sekalipun , asal dia tetap memperoleh sumanga’, atma dan sirik
yang di pertahankannya. Dia yakin bakal memiliki ruang dan keempatan mahaluas untuk
turut menapasi nafas langit di balik bumi tanah ini.
Kita beruntung masih menganut paham Sirik. Namun kadarnya entahlah. Kitapun
bahagia bahwa Agama dan Pancasila justru memperkuat kebenaran nilai budaya Galigo
tersebut.
BAB XI
I. Pengantar
1. Identifikasi
Ekses-ekses yang merupakan fakto-faktor yang tidak mendukung etik
Sirik dalam maknanya yang esensial,adalah antara lain:
- Pembunuhan penganiayaan,perusakan yang didorong oleh emosi
tak terkendali.
- Pemborosan dan keenggangan untuk Melakukan pekerjaan kasar
meronorng hakekat sirik untuk tegaknya hakekat dan martabat
manusia.
- Penampilan perilaku kebiasaan masa lalu yang bersendi kepada
struktur masyarakat feudal,melawan hakekat Sirik yang
menjunjung tinggi asas kesamaan manusia sebagi makhluk Tuhan
Yang Maha Esa.
2. Inventarisasi
III. Saran-Saran
Supaya dipikirkan kemungkinan terbentuknya badan pembina adat istiadat
Sirik yang berfungsi antara lain:
- Membina segi positif Sirik dan mencegah perkembangan negative
Melalui musyawarah.
Catatan: Kesimpulan Sirik tersebut,dikutip sebagian,karena nialinya yang
agung dan patut disebarluaskan bagi kepentingan masyarakat.
BAB XII
ANALISA- ANALISA: ASPEK WAWASAN NASIONAL DAN
KAITANNYA DENGAN “SIRIK”
Ini berarti, bahwa suku Bugis-Makassar tidak boleh kenal menyerah atau pengecut
dalam menegakkan prinsip-prinsip sendi-sendi kehormatan Bangsa atau kebenaran
dan keadilan. Dalam arti yang lebih luas, setiap orang Bugis-Makassar diwajibkan
untuk menegakkan prinsip-prinsip: Loyalitas pada hukum yang berlaku dan atau
pantang berkompromi dengan kebahtilan, bagaimanapun bentuknya dan
mnifestasinya. Pantang surut, sebelum cita-cita perjuangan dicapai. Harus tegas
keyakinan. Tidak boleh terombang-ambing dalam sikap pendirian. Yang diistilahkan
dengan semboyn: orang bugis-Makassar: Toddo puli (Memaku pendirian).
Jelaslah kiranya, bahwa jika dianalisa secara mendasar aspek-aspek Sirik ini perlu
digali guna diarahkan dalam kerangka-kepentingan keagungan faktor-faktor yang menjiwai
Wawasan Nasional Bangsa. Yakni kepentingan-kepentingan ke Bhinneka Tunggal Ika itu
dalam pengalaman pancasiola dan UUD 1945 demi pencapaian sasaran : Masyarakat adil,
makmur dan sejahtera. Sirik sebagai harga diri, perlu menjiwai masyarakat dalam lingkungan
pertahanan kepentingan-kepentingan sendi-sendi wawasan Nusantara tersebut.
ASPEK KHUSUS
Jika data-data pokok prihal sikap mental suku Bugis Makassar tersebut diatas, dikaji
secara mendasar dan kompleks sebagai sesuatu yang dijadikan pola hidup tradisional
membudaya oleh sekelompok masyarakat yang merupakan penduduk mayoritas di Sulawesi
Selatan yakni masyarakat Bugis-Makassar itu, dapatlah ditarik penganalisaan aspek-aspek
secara khusus, bahwasanya suku Bugis-Makassar itu memiliki sendi-sendi kebudayaan yang
luhur.
Ia merupakan salah satu suku Bangsa di kawasan Nusantara ini yang kaya dengan
nilai-nilai budaya adat-istiadat tradisional. Dengan berpolakan sikap mental sebagai
perwujudan dari pada pola budaya tradisional itu.
Sebagai auatu suku Bangsa yang berbudaya luhur, maka pada hakekatnya suku
Bugis-Makassar itu dapat dibina mentalnya dengan mudah, yakni dengan Melalui usaha-
usaha pendekatan (approach), sejalan dengan hasil analisa bahwa suku Bugis-Makassar itu
memiliki cirri-ciri khas sikap mental yang antara lain:
1. Mudah tersinggung
2. Kadang-kadang lebih menonjolkan sifat emosi dari pada rationya.
3. Setia kawan (loyalitas tinggi).
4. Memiliki watak keperwiraan, kesatria, kepahlawanan.
5. Teguh pada pendirian (setia pada keyakinan sikap)
6. Dapat dipercayakan sesuatu amanah(tanggung jawab)
7. Berbudi luhur, lemah lembut dan berpandangan demi tegaknya identitasnya (cita-
cita leluhur) Melalui proses adat-istiadat dan aspek-aspek ya. Dalam kerangka
junjungan pada martabat leluhurnya tersebut.
8. Dan lain-lain faktor yang merupakan pembuktian autentik-kulturil bahwasanya
suku Bugis Makassar itu sejak dahulu kala yakni zaman sebelum Islam masuk di
Sulawesi selatan ini memeng telah berbudaya luhur. Yang karenanya, mudah
diajak berkomunikasi dan pendekatan-pendekatan (approach) untuk kepentingan
pembangunan Nasional Bangsa.
Jika dikaji mendalam, dapatlah disimpulkan, bahwa pola sikap mental suku Bugis-
Makassar ini ialah berpusat pada:
Rasa harga dirinya yakni kehormatannya. Yang apabila rasa harga diri atau kehormatan ini
disinggung maka berarti seluruh pola hidup mental seseorang suku Bugis-Makassar itu
tersinggung karenanya. Perwatakannya yang halus lemah-lembut, menjadi watak yang keras
yang tak mengenal kompromi kecuali darah ..... penyelesaiannya.
Yang dalam hal ini berarti dinodai. Atau NIPAKASIRIK-RIPAKASIRIK. Karenanya
berarti timbul aspek-aspek sirik.
Jelaslah bahwa sirik bertali-temali dengan jasmaniah rahaniah atau insaniah setiap
orang Bugis Makassar itu.
Sirik adalah jiwa raganya Bugis Makassar itu. Terbuktu bahwa apabila mereka
NIPAKASIRIK-RIPAKASIRIK, maka ditebusnya dengan darah atau nyawa yang
mampakasirik(mempermalukan yang menyinggung kehormatan tersebut). Karenanya pula
dapatlah ungkapan-ungkapan kebudayan bahwa sirik berarti sebagian besar dari tulang,
danging dan darah orang Bugis Makassar. Ia merupakan inti hati nuraninya yang menghakiki
yang dimuliakan dan dibanggakan, tak boleh disinggung.
Ia merupakan sesuatu yang sangat halus berselubung di lubuk hati. Itulah sebabnya
maka apabila orang Bugis Makassar mencap seseorang itu kurang sirik atau tau tena
sirikna(tidak ada malu atau tidak ada harga dirinya), maka yang bersangkutan itu, tidak lain
dari pada bagaikan boneka belaka.
Diakui oleh para antropoloog barat, bahwa sikap sirik bagi suku Bugis MAksaar
adalah sesuatu yang sangat peka atau sensitif karena ia mengandung unsur-unsur tali-temali
dengan perasaan kejiwaan rasa kehormatan yang bersangkutan.
Mana kala seorang Bugis Makassar merasa tersinggung dan dikaitkannya masalah
sirik, maka bukan saja di pribadinya yang tersinggung, tetapi ia justru merasa bahwa segenap
keluarga dan leluhurnya turt pula ternoda kerenanya.
Satu-satunya alternatif tebusannya ialah : aliran darah nyawa. Dengan demikian ia
mengandung nilai-nilai:
1. Kelaki-lakian
2. Kekesatriaan
3. Patriotism
4. Kewibawaan
Pendahuluan
Sirik dapt dipandang sebagai salah satu konsep cultural yang memberikan impact
aplikasi terhadap segenap tingkah laku nyata. Tingkah laku itu diamati sebagai pernyataan
atau perwujuda kebudayaan. Perwujudan dan kebudayaan, bukan lain kenyataan-kenyataan
yang lahir dari permanusian alam, untuk manfaat sebesar-besarnya umat manusia.
Suatu konsep cultural,memantapkan diri dalam suatu sistem budaya. Sistem
kebudayaan itu sendiri adalah rangkaian sejumlah konsep awbstrak yang bersemayam dalm
pikiran warga terbanyak suatu persekutuan hidup.
Dalam arti Sirik apabila mengamati pernyataan-prnyataannya atau lebih konkrit
mengamati kejadiannya berupa tindakan-tindakan,perbuatan,atau tingkah laku yang katanya
dimotivasi oleh Sirik, maka akan timbul kesan bagi para pengamat,bahwa Sirik itu pada
bagian terbesar unsurnya dibangun oleh perasaan,oleh sentimentality (perasaan halus),oleh
emosi dan sejenisnya. Dan penafsir yang berpijak kepada melihat kejadian-kejadian itulah,
timbul penafsiran atas Sirik itu misalnya: 1. Malu-malu,2. Hina,/aib,3. Dengki/iri hati,4 harga
diri/kehoormatan,dan 5. Kesusilaan (lihat Referensi,hal.1-5).
Cara melihat seperti itu tentu saj atidak salah, hanya saja kurang lengkap.,terutama
apabila hendak mengamatinya dari sudut konfigurasi kebudayaan . konfigurasi
kebudayaan,akan melihatnya dari totalitas atau keutuhan budinya manusia yang terwujud
dalam tindakan –tindakan berpola.
Jadi tidakmelihatnya dari sudut kejadian yang berpisah,sesuatu itulah hendaknya
dilihat dalm rangkaian suatu sistem yang berhubung-hubungan dengan sekalian sub-sistem
yang mendukungnya.
Demikian pula hendaknya Sirik itu dilihat dalam suatu sistem budaya orang Bugis-
Makassar, agar dapat memahaminya secara lebih kompak.
Karena judul tulisan ini memberikan tekanan kepada Sirik dan pembinaan
kebudayaan, maka satu kejelasan perlu disepakati lebih dahulu,tentang pembinaan kebudayan
itu sendiri. Pembinaan kebudayaan yang dimaksud di sini,adalah pemantapan erah
pertumbuhan kebudayaan yang mempunyai dimensi lebih luas mendukung ketahanan
Nasional Bangsa Indonesia dalam membangun dirinya sebagai bangsa yang kuat dan besra
dalam pergaulan antar bangsa.
Pembinaan kebudayaan dengan demikian bukanlah sekedar membangun tembok-
tembok yang mempersempit ruang gerak berpikir dan berinovasi tentang eksistensi Bangsa
Indonesia agar dapat menjadi bangsa yang besar, lagi terhormat dalam pergaulan antar-
bangsa,melainkan terbangunnya suatu kebudayaan bangsa Indonesia yang di dalamnya
terbangun dan terpelihara harkat dan martabat manusia orang seorang makhluk Allah yang
antara sesamanya makhluk manusia mempunyai kedudukan yang sederajat.
Dari sudut inilah relevansi konsep Sirik orang Bugi- Makassar dibicarakan karena
diperkirakan dapat dijadikan daya dorong yang kuat dan berguna bagi perkembangan
kebudayaan di Indonesia,setidak-tidaknya bagi orang Indonesia yang hidup dalam
masasyarakat dan kebudayaan Bugis-Makassar.
Apa yang mendorong seseorang warga masyarakat Bugis-Makassar untuk pada suatu
ketika dalam hidupnya berbuat sesuatu yang amat nekad, memilih menyerahkan milik
hidupnya yang terakhir, yaitu NYAWA, acapkali dikembalikan kepada konsep yang mereka
namakan sirik. Ia dapat atau rela mengorbankan apa saja untuk tegaknya sirik. Katakanlah itu
satu kesadaran tentang nilai MARTABAT yang didukung oleh tiap-tiap orang dalam tradisi
kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Katakanlah itu satu kesadaran kolektif yang amat
peka, dibebaskan kepada tiap-tiap orang anggota persekutuan hidup untuk membangunnya
untuk mempertahankan dan menegakkannya.
Ada berbagai ungkapan dalam kepustakaan Lon-tara Bugis-Makassar yang
menunjukkan bahwa sirik bukanlah suatu sikap yang semata-mata berpangkal dari keluapan
emosi. Dalam persekutuan hidup, desa, wanua ataupun tanah, niscaya terdapat pemimpin dari
persekutuan itu. Tiap-tiap pemimpin menurut jenjangnya masing-masing, menjadi orang
pertama tempat sirik itu harus terpelihara, dikembangkan dan dibela. Tiap-tiap orang anggota
persekutuan yang dipimpinnya, merasa diri bersatu dengan pemimpinnya karena sirik yang
dimilikinya bersama. Antara pemimpin dengan yang dipimpin terikat oleh satu kesadaran
martabat diri yang menimbulkan sikap pesse(Bugis) = Pacce ( Makassar) yang dapat disebut
solidaritas yang kuat.
Masing-masing orang yang ditentukan dan mengetahui hak-hak dan kewajiban-
kewajiban masing-masing yang mendapat sandaran dari sirik dan pacce. Itulah yang
melarutkan tiap-tiap orang pribadi mendukung sirik melebur diri untuk kepentingan bersama.
Pacce atau pesse itulah yang mendorong dalam kenyataan adanya perbuatan tolong-
menolong, adanya tindakan saling membantu, adanya pembalasan dendam, adanya tuntut
bela dan segala kenyataan lain yang mirip pada solidaritas yang mendapatkan hidupnya dari
konsep sirik. Pemimpin kaum terhina berarti sirik atau martabat negeri terhina, tiap-tiap
orang terhina siriknya. Maka pesse atau paccepun muncul menjadi pendorong untuk
menuntut bela.
Anak negeri terhina, berarti sirik (Martabat) negeri ternoda. Pemimpin kehinaan,
maka pesse atau pacce mendorong sang pemimpin untuk bertindak. Apabila antara pemimpin
dan yang dipimpin sudah tidak terdapat sirik bersama yang masing-masing mengetahui hak
dan kewajiban untuk memikulnya, maka pesse atau pacce itupun tidaklah akan menjadi motif
untuk perbuatan dan tindakan masing-masing. Dalam pesse atau pacce itulah melarut tiap-
tiap pribadi didalam kesatuan antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Sirik menjadi sumber dari panggilan pesse atau pacce itu. Karena siriklah yang
menimbulkan kewajiban masing-masing untuk saling memelihara batas, sehingga tidak saling
cegat-mencegat daulat-mendaulat.
Di sini terletak aspek kesadaran atau pikiran yang member batas-batas rasional dari
sirik itu. Bahwa masing-masing orang sepadan dengan siriknya, milik pribadi dan
kepunyaannya, dibatasi oleh kesadaran adanya pesse atau pacce, menimbulkan kewajiban
untuk bekerja sama, bantu membantu, bersetia kawan dalam lapangan-lapangan pekerjaan
yang menyangkut sirik yang bersama-sama mereka miliki, dan penghinaan atas seseorang,
berarti penghinaan atas semua. Lapangan-lapangan kehidupan yang menempati posisi
demikian , disitulah perbuatan atau tindakan solidaritas berlangsung dengan intensifnya
solidaritas seseorang terhadap kaumnya, merupakan totalitas yang pada oleh dorongan sirik.
Konfigurasi kebudayaan yang demikian, sesuai dengan tabiatnya menonjolkan
kedepan nilai-nilai kekuasaan, solidaritas, seni dan religi, sebagai nilai yang amat tinggi.
Nilai-nilai dari lapangan itu memotori sekalian sikap yang tidak cepat berkembang, dalam
gambaran kemasyarakatannya, di sana terdapat persekutuan yang komunalistik. Persekutuan
berada di atas kepentingan individu. Penonjolan prestasi pribadi dipandang perbuatan yang
tercelah. Orang mempergunakan juga pikirannya, tetapi pikiran itu haruslah sesuai dengan
kepentingan perskutuan, kepentingan kommun. Penajaman pertanyaan sirik berupa tindakan-
tindakan yang dianggap melanggar ketertiban atau perbuatan-perbuatan a sosial yang orang
tafsirkan sebagai perbuatan atas nama sirik sangat erat pertaliannya dengan proses degenerasi
pangngadereng di satu pihak dengan proses perobahan sosial yang menyerap nilai-nilai baru.
Dalam kegoncangan nilai-nilai dan rontoknya hamper segenap aspek kebudayaan
pangngadereng terjadilah berbagai ragam isolasi sosial yang mencoba hendak
menyelamatkan sisa peradaban yang masih dipunyai. Sesuatu kaum mengurung diri terhadap
kaum yang lain. Stereo-type sesuatu kaum atau golongan kerabat tertentu, terhadap kaum
atau golongan lain dipertajam dengan batas-batas yang sekeras mungkin. Sirik menjadi
symbol kaum yang semakin menyempit dan semakin sempurnalah kelunturan maka sirik
yang pernah menjadi daya dorong bagi pola tingkah laku yang bermakna positif bagi
kehidupan kebudayaan pangngadereng orang Bugis-Makassar.
Kejadian-kejadian berupa kasus-kasus nyata yang member makna betapa negatifnya
sirik itu, memanifestasikan diri. Hal demikian itu pun tak salah, karena seseorang akan
memberikan makna kepada sesuatu konsep, menurut kenyataan yang ia jumpai dan kenyataan
itu orang menyebutnya sebagai konsep itu sendiri. Orang pada umumnya melihat apa adanya.
Orang tak mudah dipaksa untuk memikirkan bagaimana mestinya. Sirik sebagai inti
kebudayaan pangngadereng, telah mencair maknanya, bersama dengan tidak berperanannya
secara utuh anasir pangngadereng itu sendiri. Satu struktur sosial yang dihidupi oleh fungsi
pangngadereng sudah lama redup, dengan demikian, inti hidupnya pun masih terasa oleh
sebahagian orang yang masih hidup, dicoba dengan berbagai dalih dan perbuatan untuk
memberinya makna dan pembenaran. Makna yang diberikan itu adakalanya baik dan positif
tetapi seringkali juga buruk dan amat negative.
Memang, sesuatu yang disebut inti, atau sesuatu apalagi kalau ethos itu, ethos
kebudayan, akan bertahan lama hidupnya, walaupun ia tidak fungsional lagi, karena tak ada
struktur yang medukungnya. Akan tetapi karena ethos itu dapat bertransformasi kedalam
suatu struktur baru yang menjelma dalam perubahan-perubahan, maka adalah tidak mustahil
kalau ethos itu dapat berfungsi kembali, karena dapat mengambil tempatnya yang tepat dalam
struktur baru itu. Demikian pula adanya dengan sirik sebagai ethos kebudayaan
pangngadereng. Walaupun struktur pangngadereng yang mendukungnya tidak utuh lagi
mendukung fungsi-fungsi sosial, namun satu struktur baru yang lahir dari perobahan-
perobahan, belum lagi dapat memantapkan sesuatu ethos baru yang dapat menggantikan
ethos sirik yang masih bergentayangan dalam kehidupan orang Bugis Makassar, sampai
zaman Mutakhir inipun. Karena itu, sirik masih dipersoalkan sebagai sesuatu yang dipandang
masih potensial untuk kebudayaan yang sedang dalam pembinaannya, seperti kebudayaan
nasional Bangsa Indonesia,
Suatu kebijaksanaan pembinaan kebudayaan, mencoba mengaitkan masa sialm
dengan jalan mentransformasikan nilai-nilai zaman lalu itu ke masa kini,agar memperolehnya
akar pertumbuhan yang membumi, artinya berpijak kepada realitasnya sendiri menuju masa
depan dengan keperibadian yang kuat.
Barangkali ethos sirik dapat menemukan tempatnya dalam bertransformasi ke struktur
masa kini, kita coba melihatnya pada bagian berikut.
Penutup
Kita sudah menjelajahi sekadarnya proses kehidupan dan kehadiran sesuatu konsep
yang disebut sirik. Sirik sebagai inti dan ethos pangngadereng, telah memindahkan poros
penekanannya kepada etik indiidu yang otonom. Pada seginya yang positif, asal saja ia
diberikan struktur yang sesuai dengan daya hidupnya, ia dapat menjadi potensi dorong yang
kuat untuk mendinamisasikan sesuatu pertumbuhan kebudayaan.
Suatu struktur yang sesuai dengan tabiat etik otonom individu sirik adalah yang
mempunyai akar yang membumi pada peradaban yang tidak asing baginya. Satu orientasi
nilai yang berpijak pada kebudayaan sendiri perlu dikembangkan dengan teratur melalui
pendidikan penelitian yang tidak boleh dikerjakan secara acak-acakan.
Pada hemat kita, sirik pada orang Bugis-Makassar, kalau itu benar masih potensial
untuk dapat menemukan re-orientasi dan transformasi ke dalam interpretasi yang dapat
menekapi Ethos kebudayaan Nasional Pancasila, yang segenap unsur-unsurnya merupakan
darah-daging pibadi sirik, maka sirik itu niscaya dapat menjadi daya dorong yang kuat bagi
pembinaan kebudayaan Indonesia.
Apalagi orang Bugis-Makassar, dapat meresapi dan menghayati Pancasila sebagai
sirik dalam jelmaan etik sosial yang heteronom maka etik individu otonom yang disebut sirik
itu akan menemukan tanah subur bagi pertumbuhannya.
BAB XIV
PANDANGAN ISLAM TERHADAP SIRIK
Buya HAMKA (almarhun) pernah bermukim di Sulawesi Selatan pada tahun 1931
sampai tahun 1934. Sekitar tiga tahun sebelum Buya HAMKA berpulang ke Rahmatullah,
beliau berkenan memberikan ceramah perihal pandangan islam terhadap sirik yang
disampaikan didepan peserta seminar SIRIK di Ujung Pandang. Penulis merasa berbahagia
sekali, karena sempat dengan mata dan telinga sendiri mendengar langsung uraian Buya
HAMKA tersebut.karena ketika itu penulis bertugas mangcover jalannya seminar SIRIK
tersebut, sebagai seorang journalist. Betapa mengagumkan Buya HAMKA dalam gaya dan
penampilan serta materi-materi uraiannya dalam mengupas aspek-aspek SIRIK tersebut,
ditinjau dari sisi pandangan islam. Melihat materi-materi buah pikiran almarhum Buya
HAMKA tersebut, sebagai seorang tokoh yang pernah bertahun-tahun hidup ditengah-tengah
penduduk Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan ), bumi dimana lembaga SIRIK tersebut
tumbuh sebagai lembaga masyarakat, maka penulis merasa perlu mengabdikan dan
menyebarluaskan atau mengamalkan uraian Buya HAMKA tersebut, guna dieariskan kepada
generasi pelanjut dalam kerangka penggalian Antropologi Budaya Bangsa. Pendapat Buya
HAMKA tersebut antara lain sebagai berikut:
Pada tahun 1931 saya telah mulai masuk kedalam negeri Makassar, Bugis, Mandar,
Toraja. Usai saya ketika itu baru 23 tahun, masih seorang anak muda. Pada waktu itu
belumlah saya mengerti bagaimana sirik yang ada pada jiwa keempat suku bangsa itu. Yang
mula saya rasakan adalah kehormatan yang tinggi kepada Guru terutama Guru Agama. Guru
Agama disebut: Anre Gurutta atau Gurunta. Bila saya duduk berhadapan dengan murid-
murid, mereka akan duduk dengan tafakkur dan merasa tidak akan bercakap sedikitpun jua
kalau tidak saya ajak. Perkataan saya yang kelusr akan didengarkan dengan penuh hormat,
sekali-kali tidak ada yang akan dibantahkan. Semua perkataan saya disambut dengan ucapan :
“saya! Saya”.
Demikianlah pula saya lihat apabila mereka berhadapan dengan Karaeng, Maradia,
dan dengan pemimpin-pemimpin mereka. Mereka akan bersikap hormat. Dan hormat mereka
kepada Ulama, sama dengan hormat mereka kepada Raja dan orang-orang besar.
Setelah berbulan-bulan saya tinggal di Makassar mulailah saya mendengar tentang
adanya adat yang dinamai sirik itu. Mulanya saya bertanya dalam hati, apa kepada orang-
orang yang lemah berlaku hormat, kepada Karaeng dan Ulama akan terhadap kekerasan
budi?
Pada tiap-tiap pinggang pada masa itu saya didapati ada badik. Hamper semua orang
memakai badik, bercelana pendek, berlenso panjang, diatasnya memakai baju jas. Lalu saya
mendapat keterangan beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar dan kebiasaan-
kebiasaan pada orang Bugis-Makassar terutama dari almarhum Engku Abdul Wahid Gelar
Kari Mudo, yang dibuang Belanda ke Makassar dari Minangkabau pada tahun 1909. Umur
saya pada waktu itu baru satu tahun. Beliau dibuang karena berontak kepada Belanda di
Kamang Bukittinggi. Nasehat beliau ialah “jangan mengangkat kaki dimuka orang –orang
Aceh; jangan menyentak badik dimuka orang Bugis; jangan dipegang kepada orang Minang
dengan tangan kiri”. Dan kata Engku Kari Mudo : “ orang Makassar menamai SIRIK, orang
Minang menamai PANTANG.
Ketika kongres Muhammadiyah ke-21 pada tahun 1932, guru Salmun seorang anak
Makassar mengajarkan lagu sambutan kongres dalam bahasa Makassar yang masih saya ingat
ialah baitnya yang pertama:
Seterusnya diucapkanlah sambungan nyanyian itu dalam bahasa Makassar yang penuh
sastera, yang saya ingat Cuma artinya yaitu:
Pada kongres itu pula, saya melihat Almarhum Haji Abdullah pemimpin besar
Muhammadiyah di daerah ini naik podium dan berpidato di dalam bahasa Bugis,
menerangkan bahwa mati didalam mempertahankan Agama Allah adalah mati yang paling
mulia dan bercita-cita supaya Agama Islam tegak di negeri ini adalah hidup yang berarti.
Walaupun hidup beratus tahun, kalau tidak mempunyai cita-cita, samalah artinya dengan mati
walaupun badan masih hidup.
Dari keterangan yang diberikan oleh almarhum Engku Abdul Wahid gelar Kari
MUDO yang dibuang Belanda ke Makassar dan dari mendengar nyanyian pembukaan
kongres oleg Guru Salmun dan mendengarkan isi pidato Almarhum Haji Abdullah yang
sangat hebat dalam kongres Muhammadiyah ke 21,dan membaca buku Tahfatun Nafis
karangan Raja Haji Ali di Riau keturunan Bugsi, mulailah saya mengerti apa yang dimaksud
dengan SIRIK di Bugis dan Makassar, di Mandar dan Toraja. Yaitu bahwa orang Bugis dan
Makassar, Mandar dan Toraja, adalah orang yang menjaga Maru-ah-nya : Memelihara harga
diri baik didalam sikap hormatnya kepada orang lain ataupun didalam kerendahan hati dan
tawadhu’. Dia bersedia memuliakan orang tetapi dia jangan dihinakan, dia mau memikul
yang berat, menjinjing yang ringan tetapi sia jangan dianggap rendah. Tidak ada yang lebih
berharga dari pada dirinya sebagai manusia. Disinilah timbul pepatah: Ma tam papuang
timukku, temmatangpapuang gajakku ( Mulutku bias berkata tuan, tetapi kerisku tidak). Atau
orang Makassar berucap : Bawaku ji akkaraeng, badikku tena nakkaraeng ( Hanya mulutku
yang bertuan, tetapi badikku tak mengenal tuan).
Sebab itu apabila keempat-empat suku bangsa ini menyisipkan badik pada
pinggangnya bukan berarti bahwa dia akan menikam orang lain melainkan dia akan menjaga
siriknya, menjaga kehormatan dirinya. Apalagi kehormatan itu yang diganggu oleh orang
lain. Itu sebabnya maka menjadi sirik atau pantang menyentak badik tidak akan ditikamkan.
Tadi saya katakana bahwa tabiat-tabiat seperti ini bukanlah terdapat pada suku Bugis
dan Makassar, Mandar dan Toraja saja tetapi terdapat pada tiap-tiap suku bangsa di seluruj
Indonesia . bahkan terdapat juga pada bangsa-bangsa lain tahu akan harga diri. Cuma timbul
kesalahan, karena tidak ada pendidikan dan pemeliharaan yang baik. Saya katakana ada pada
segala bangsa, sebab tiap bangsa-bangsa mempunyai sirik. Pada bangsa Belanda pun ada
sirik. Kita mengenal apa yang mereka sebut Beleideging atau penghinaan, merusakkan nama
baik, seseorang yang merasa nama baiknya dirusak dizaman dahulu itu, baik meminta Duel
dengan orang yang dianggapnya merusak namanya itu, baik dengan mati pistol atau dengan
pedang.
Dan dia rela menerima mati atau kalah dari musuhnya dalam Duel tersebut sebab
dengan demikian dia telah membela harga dirinya.
Dipandang dari segi Agama Islam Sirik atau menjaga harga diri itu sama artinya
dengan menjaga syarat. Menjaga harga diri dipandang dari segi ilmu akhlak adalah suatu
kewajiban moral yang paling tinggi sehingga ada syair arab:
Artinya :
“jika tidak engkau pelihara hak dirimu, engkau ringankan dia, orang lainpun akan
lebih meringankan sebab itu hormatilah dirimu dan jika suatu negeri sempit buat dia,
pilih tempat lain yang lebih lapang...”
Kalau orang yang memakai sirik Islam ini bertemu dengan perbuatan orang lain yang
akan merendahkan martabatnya jadi hina dia pasti membalas disinilah pepatah yang terkenal
Annaar lalaar. Artinya biar bertikam dari pada memikul malu.
Tetapi sirik yang demikian itu menurut Islam harus dipelihara pada segala seginya.
Pertama meneguhkan Iman dan Tawakkal kepada Allah sebab Iman dan Tawakkal itu
menimbulkan Nuur atau cahaya pada diri seseorang Mukmin sehingga walaupun dia tidak
bercakap sepatah juapun, cahaya Imannya telah memancar dari matanya sehingga
menimbulkan pengaruh kepada Alam yang berada disekelilingnya. Sehingga orang yang
tadinya berniat jahat kepada orang yang beriman, baru melihat matanya sebentar saja orang
yang berniat jahat itu tidak dapat menentang lama, mesti tunduk.
Orang yang teguh Imannya itu, mempunyai akhlakul karimah:
Budi pekerti yang mulia. Menurut Imam Ghazali: sirik yang sejati ialah yang
menengah atau Al Ausath.
Dia mempunyai perangai saja’ah, artinya berani karena yakin berada dipihak yang
benar. Dia tidak perlu bersuara keras memaki-maki,menyentak bidik,mengancam orang
dengan bendil,untuk mempertahankan kebenarannya.biarpun dia akan mati dibunuh, namun
yang mati hanyalah dirinya tetapi kebenaran itu tidak akan mati.
Parangai Saaja’ah itu adalah pertentangan antar dua perangkai yang tercelak. Pertama
jubun (pengecut) tidak ada keberanian buat menyebut yang benar . kedua Tahawawur (berani
babi).
Jubun ialah orang yang sudah yakin bahwa dia dipihak yang benar tapi dia takut
menyebut kebenaran itu. Tidak mempunyai keberanian moral sampai dideritanya saja segala
macam kehinaan dan macam penghinaan.
Tahawwur ialah orang yang telah tahu bahwa dia sudah salah tapi dia bertahan mati-
matian menyatakan bahwa dia pihak yang benar, dan tidak mau mendengar
pertambanganorang lain yang benar hanya dia saja, orang lain salah semua.
Ajaran akhlak dlam islam terutama dalam ilmu Tasawwuf menganjurkan manusia
menyelidiki diman kekurangan dan apa kesalahannya.
Menurut pendapat saya sebagai Bangsa Indonesia yang merdeka kita masih
mempunyai Sirik,mempunyai harga diri. Sirik menurut Agama Islam ialah kebesaran
pribadi,kemerdekaan sebagai bangsa,tidak ada tempat bertawakkal melainkan Allah,tidak ada
yang kuat dan tidak ada yang kuasa didunia ini kalau tidak dengan izin Allah.
Ada dua hal yang utama yang dipertahankan tiap-tiap suku bangsa Indonesia untuk
dua hal itulah seluruh sirik digunakan. Pertama menjaga kaum wanita,kedua menjaga
kehormatan Agama.
Seluruh suku bangsa Indonesia menurut yang saya ketahuio dalam perjalanan dan
pengalaman,pengembaraan saya di Aceh,di tanah-tanah Melayu, di Minangkabau,di
Palembang dan Lampung, di Ban-jar di Kalimantan, di Jawa, di Sunda,di Madura,di
Maluku,di Bugis dan Makassar,di Mandar dan Toraja,dan lain-lain,umumnya mempunyai
Sirik, tentang menjaga kehormatan perempuan atau MAKKUNRAI.
Wanita kita hormati dan kita muliakan,sebab itu wanita sekali-kali tidak boleh
diprbuat main-main. Kelau kita senang kepada perempuan,kita boleh meminang berdasarkan
adat-istiadat yang berlaku. Kalau terjadi persesuaian keluarga kedua belah pihak, lancarlah
urusan dan terjadilah perkawinan yang berbahagia,menurunkan anak dan keturunan. Kalau
tidak dicarilah yang lain.
Tetapi jalan yang salah, bermain mata, dengan sendirinya menimbulkan Sirik. Sebab
itu mestilah hati-hati benar dalam permainan yang sekarang dinamai orang bercinta-cintaan.
Sebab kalau ada sikap yang salah dan sumbang menurut pandangan mata,atau menurut
anggapan orang sekampun, seumpama orang pemuda berjalan berulang-ulang dimuka gadis,
padahal tidak ada kaum keluarganya yang karib ditempat itu, teranglah pemuda tersebut
menghadapi bahaya,mungkin dia dipukuli bahkan mungkin juga dibunuh. Sebab dia telah
mencoreng malu dikening keluarga anak gadis itu.
Apatah lagi kalau terjadi Silariang,lari pemuda dan pemudi serta pergi kawin ditempat
lain. Atau terjadi perzinahan yangmenyebabkan bunting yangperempuan. Siperempuan wajib
memberitahukan kepada pihak keluarga pemuda pemuda yang man yang telah merusak
kehormatannya. Ada diantara anak perempuan itu yang setia akan janjinya dan tidak suka
memberitahukan,maka dia pula yang kadang-kadang mati dibunuh oleh keluarganya.
Dalam hal-hal seperti ini terjadilah Sirik yang amat hebet, yang musti dibayar. Kalau
seorang pemuda yang menggangu kekampung seorang anak perempuan,atau kalau seorang
pemuda melarikan gadis dikampung anu dan kawin ditempat lain; kalau seorang gadis tidak
mau mengakui siapayang menyebabkan dia jadi bunting maka seluruh kampung,atau
publicke opini dikampung itun menyalahkan yang tertua,atau yang dianggap bertanggung
jawab dalam keluarga itu, mengapa maka dia tidak mau menjaga siriknya. Disinilah timbul
pepatah : Narekko de sirikmu, inreng-inrekko ceddek sirik. (jika harga dirimu tidak ada
pinjamlah agak sedikit harga diri orang lain). Dan sesuai pula dengan syair Arab : “Menirulah
kepada orang lain, walaupun engkau tidak serupa dengan orang itu. Karena sehingga meniru
orang besar, itupun suda suatu kemenangan”. Disinilah terjadi pembunuhan! Disinilah terjadi
campur tangan pemerintah. Disinilah terjadi pertentangan latar belakang dari dua hukum
yaitu hukum sirik dan hukum undang-undang. Kalau sekiranya segala kemelut atau
kekacauan tadi kita bawa kedalam hukum sirik, tidak ada obatnya melainkan nyawa.
Sehingga orang yang menzinahi anak perempuannya bias dihukum di Mandar atau ditempat
yang memakai sirik dengan digantungkan keduanya dengan batu besar dan dicampakkan
kedalam laut. Tetapi dalam hukum pidana yang dipakai penjajah terhadap zina, adalah
hukumbulanan, atau denda ringgitan ! Dan tidak ada hukuman sama sekali kalaukeduanya
suka sama suka. Hukum zina hanya berlaku kalau menzinai isteri orang lain dan suaminya
mengadu. Kalau tidak ada pengaduan, tidak ada hukuman.
Oleh sebab kerasnya penjagaan dan sirik terhadap perempuan ini, maka ketika saya
masuk ke Makassar pada tahun 1931 sampai 1934, saya lihat tiap-tiap pagi dan tiap-tiap sore
anak-anak perempuan beratus-ratus banyak pergi bekerja di gudang-gudang hasil hutan
didekat pelabuhan(Kade), berjalan berbondong-bondong, dengan memakai pakaian sarung
yang menutupi seluruh tubuhnya, sehingga mukanyapun tidak kelihatan. Dan orang-orang
yang bertemu detengah jalan tidak ada pula yang berani melihat lama kepada perempuan
yang akan pergi bekerja tadi. Dan saya lihat pula diwaktu itubendi dan dokaryang dikendarai
oleh perempuan-perempuan terhormat ditutup seluruhnya dengan kain, sehingga perempuan-
perempuan yang ada didalampun tidak kelihatan.
Tentu sekarang tidak akan kita lihat lagi hal yang demikian. Karena kian lama struktur
masyarakat kita berubah, orang menuju kepada kemajuan secara Barat, Modernisasi dan
Westernisasi. Pakaian perempuan yang diselubungi dengan kain sarung warna-warni itu tidak
ada lagi ; kian lama kian habis, dan hanya tinggal dalam sejarah.
Bahkan diseluruh Indonesia dating zaman transisi, semuanya ditiru, semuanya
diteladan, modern atau tidak modern. Sekolah tinggi atau sekolah rendah . orang berpacu
memakai pakaian Barat bukan hanya di Bugis dan Makassar, Mandar dan Toraja saja, bahkan
diseluruh Indonesia . sang penudapun berani mendekati, karena ada alamat memang mau
didekati, sebagai pantun:
“Barang siapa terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka diapun mati syahid.
Dan barang siapa yang terbunuh karena mempertahankan darahnya, maka diapun mati
syahid, dan barang siapa yang terbunuh karena mempertahankan Agamanya maka
diapun mati syahid, dan barang siapa terbunuh karena mempertahankan keluarganya,
maka diapun mati syahid(Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tarmidzi dan Ibnu
Majah. Berkata at-Tarmidzi: Hadist Hasan Shahih)”
Teranglah dengan hadist ini Agama mengakui sirik, tapi lebih jelas lagi bahwa Agama
mengakui dan memberikan tuntunan yang positif terhadap sirik sehingga oleh karena niatnya
yang ikhlas, kematian seseorang tidak akan sia-sia. Didalam hadist terkandung bertahan,
melawan bukan menyerah begitu saja. Sehingga kalau dia mati tertembak karena sedang lari
ketakutan, dia bukan mati syahid, melainkan mati pengecut.
Hadist inilah yang menjawab pertanyaan saya kalau hal ini terjadi pada diri saya.
Tegasnya saya wajib melawan ! kalau saya ditembak, saya mati syahid. Dan kalau saya lari,
saya ditembak juga, tetapi saya masuk neraka.
Untuk menghindarkan hal ini saya memakai pepatah Minang : saya tidak mencari
musuh . tapi kalau bertemu pantang dielakkan !.
Yang kedua, yang sangat dipertahankan pula dan bertali berkelindang dengan sirik
ialah mempertahankan dan membela Agama. Suku bangsa pemeluk Agama Islam diseluruh
Indonesia merasa dirinya terhina, kalau dia dikatakan kafir ! Walaupun dia tidak pernah
mengerjakan sembahyang, tetapi mereka itu merasakan bangga seka mempertahankan islam.
Sebabnya ialah karena sejak Agama Islam masuk ke negeri kita ini, terutama pada akhir abad
ke XVI dan awal abad ke XVII di Bugis Makassar, Agama itu telah menjadi pendorong
keberanian dan kebesaran dan kemegahan bangsa. Sultan Hasanuddin tidak akan selantang
itu berkata pada General Speelman, tatkala Belanda mulai memasukkan pengaruhnya dan
membendung perniagaan Makassar ke negeri lain : Apakah tuan sangka bahwa lautan seluas
itu hanya ditentukan buat bangsa Belanda saja, dan tidak berhak kami yang berdiam
disekelilingnya mengambil faedah dari lautan itu ?.
Tiap-tiap bangsa yang baru tegak dengan kemerdekaannya pastilah mempunyai
ideology yang teguh. Sebagaimana kita bangsa Indonesia sekarang, menegakkan
kemerdekaan Indonesia dengan berdasarkan pancasila, yang dasarnya pertama Ketuhanan
Yang Maha Esa maka nenek moyang kita yang dahulupun, menegakkan kemerdekaan
mereka dengan berdasarkan Islam !. sebagaiman bangsa penjajah, baik portugis, Inggeris,
atau Spanyol ataupun Belanda, pada hakekatnya ialah karena Mission Saore Kristen, hendak
menjadikan kita dari bangsa yang mereka anggap biadab jadi bangsa biadab. Mereka
menyakinkan diri sendiri dengan tekad bahwa menjajah ialah tugas suci. Oleh sebab itu
dapatlah kita tegaskan bahwa siriknya Raja-Raja dan Sultan-Sultan di jaman lampau ialah
atas ajaran Islam, sebagaimana Sultan Awwalul Islam;
(Nabi kita SAW telah mengkasarkan dirinya, atau telah menyatakan dirinya di Ujung
Pandang).
Maka pada hakekatnya sirik orang Makassar dan Bugis telah berpalun jadi satu
dengan Agama Islam, terutama karena adanya ajaran malu.
Dri segi agama islam sebagaimana yang saya terangkan diatas tadi, sirik itu memang
dan positif. Kalau saudara H.Daeng Mangemba mengatakan bahwa salah satu dari arti sirik
itu adalah rasa malu, maka arti ini sesuai dengan hadist Nabi :
“Malu itu termasuk Iman, tegasnya orang yang tidak bermalu adalah orang yang tidak
beriman”.
Dan sebuah hadist lain : “ apabila engkau tidak ada malu, berbuatlah sesuka
hatimu”.
Kedua hadist itu diriwayatkan oleh Bukhari.
Dan sebuah hadist lagi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah “ “Tiap-tiap Agama
mempunyai badi dan Akhlak. Dan sesungguhnya akhlak Islam ialah Malu”.
Didalam bacaan kitab bersanji yang terkenal ada ditulis oleh Nabi Muhammad SAW
itu sangat malu dan Tawadhu (rendah hati).
Bergantung pada pokok ini, ialah malu, timbullah empat perangai yang terpuji
Mahmudha: (1) sabar: Artinya sanggup menahan hati, dapat mengendalikan diri deketika
marah. Lawan dari sabar itu ialah marah. Marah itu membawa sombong, dengki, benci,
permusuhan yang menghina orang lain. (2) Iffah: Artinya dapat menahan hawa nafsu, ketika
hendak didorongkan . (3) Syaja’ah: artinya berani karena keyakinan dan karena benar dan
sanggup mempertahankan keyakinan itu dimana saja. (4) Adil: artinya pertengahan.
Lawan dari empat perkara diatas ialah : bodoh, zhalim, Zhalim itu artinya meletakkan
sesuatu tidak pada etmpatnya. Dan syahwat, artinya : rakus, tamak, menerima mau banyak,
member tidak mau. Dan Ghadhab artinya marah, marah itu bias jadi aktif, karena sombong,
karena dengki dan karena benci. Orang seperti ini kalua berkuasa mau menindas, tak peduli.
Kalau dia dikuasai orang, mau menjilat, mengambil muka, kehilangan harga diri. Kepada
orang yang kuat sangat pengecutnya, kepada orang yang lemah sangat menindasnya.
Maka didalam keterangan-keterangan yang kita berikan ini dipandang dari segi Islam,
sirik adalah semata-mata akibat dari pada orang yang beriman, sebab orang yang beriman itu
pastilah mempunyai akhlak yang tinggi.
Sebagai kenang-kenangan dari pada pembicaraan tentang sirik ini akan kita temukan
dua ceritera pengalaman kita sendiri.
-1-
Pada akhir tahun 1933 pernah terjadi empat guru Muhammadiyah jalan Diponegoro
Makassar, yang oertama saya sendiri, H. Abdul Malik berasal Minagkabau Sumatera Barat
dan dua orang guru lagi berasal dari datan jawa dan nomor empat bernama Hambali berasal
dari Bonthain Makassar. Kira-kira pukul sebelas tengah hari, sedang kami asyik mengajar,
tiba-tiba datanglah pengurus Muhammadiyah tuan Mansyur Yaman (Arab peranakan
Madura). Dia dating dengan tergopoh-gopoh dan mendengar bersikap sebagai orang
memerintah menyuruh kami menyediakan perhitungan uang sekolah yang telah diterima dari
murid-murid karena menurut keterangan beliau adalah seorang dari pengurus sekolahan
bahwa guru-guru tidak menyetorkan uang sekolah pad pengurus menurut mestinya. Karena
kedatangan itu dengan sikap yang tidak wajar, timbullah pertengkaran dengan kami keempat
guru yang beliau temui. Saya memberikan keterangan bahwa uang yang tidak lancar,
pemasukannya sehingga kami guru-guru tidak menerima gaji menurut sepatutnya.
Saudara Hambali ia berasal dari Bonthai itu sangat tersinggung atas sikap tuan
Mansyur Yamani yang datang dengan kurang usul periksa. Tapi tuan Mansyur tidak lekas
sadar akan kesalahannya. Masih saya teringat sepatah perkataan dari saudara Hambali.
Tuduhan tuan Mansyur kepada kita terlalu berat ini sirik tuan !, katanya. Dan air matanya
berlinang. Tuan Mansyur menjawab: “ saudara-saudara boleh menampar muka saya dengan
terompa saudara-saudara, tetapi pengurus lain tidak berani mengatakan ini pada saudara-
saudara”, sesudah mengatakan diapun pergi. Dan kami ditinggalkan dalam perasaan dalam
perasaan yang sangat terharu dan termenung. Saya melihat sendiri wajah Hambali yang
sangat sedih, air matanya berlinang dan berkata “ kalau tidak ada kekuatan iman kepada
Allah, saya sudah boleh Melakukan pembalasan yang pantas kepada tuan Mansyur”. Sudah
itu kamipun pulang ke rumah masing-masing. Di waktu magrib kami perkumpul kembali di
rumah sekolah itu sembahyang berjamaah. Sehabis magrib tuan Mansyur mengatakan bahwa
kita akan mengadakan rapat kilat untuk melanjutkan pembicaraan siang tadi.
Sehabis sembahyang isya pengurus-pengurus Muhammadiyah diantaranya A.Abudlah
Konsul Muhammadiyah Makassar, H. Yahya, H. Akhmad, Dg. Minggu, Dg Manja,
Djamaluddin Dg. Malala, yang semuanya itu sekarang Allah Hirham, turut hadir mendengar
persalah tuan Mansyur Yamani tentang kejadian siang tadinya. Tiba-tiba sebelum rapat
diteruskan dating seorang anak member tahu bahwa saudara Hambali telah meninggal baru
kira-kira lima menit yang telah lalu. Maka semua kamipun pergilah melihat jenazah beliau di
rumahnya. Dadanya masih panas karena baru saja meninggal dunia, seorang saudara
perempuannya baru saja kembali dari sekolah siang tadi ia menangis, kami semuanya
termengung menyaksikan kejadian ini dan saya teringat kembali akan perkataannya tadi
siang; “ini sirik tuan !”.
Dari sangat kerasnya menahan hati sampai jiwanya melayang, sesudah kejadian itu
tuan Mansyur mengulang kata-katanya kepada saya : “ kalau perbuatan saya ini salah, saya
bersedia tuan tampar muka saya dengan terompa tuan-tuan , saya akan
menyerah”.perkataannya itu saya tidak balas saya Cuma tersenyum saja.
Tuan Mansyur ya mani maklum bahwa senyuman saya adalah senyum setengah mati.
Satu setengah bulan kemudian itu saya mengirim surat kepada pengurus
Muhammadiyah berhubung karena kesehatan anak, saya memutuskan buat pulang kembali ke
kampung saya di Meninjau, Sumatera Barat . yaitu pada januari 1934.
Dengan air mata berlinang tuan Mansyur Yamani melepas ke kapal dan masih saya
senyum.
Dan kira-kira enam bulan dibelakang H.Abdullah berkirim surat minta dating
kembali.saya menjawab : “ terima kasih”.
-11-
Cerita yang kedua ini baru saja kejadian di Jakarta. Seorang yang pekerjanya menjadi
tukang patri yang bernama Idris berasal dari sebuah negeri Minangkabau.
Seorang kapten TNI berasal dari jawa tengah mengupahkan sesuatu barang kepada
tukang patri itu menurut penjanjian yang telah ditentukan bahwa setelah tiba waktunya untuk
menyerahkan barang-barang itu kembali, si kapten belum juga datang menjemput barang-
barangnya sehingga telah lama janji terlampaui. Pada suatu hari diapun dating padahal sudah
terlalu lama dari janji yaitu sudah beberapa bulan berlalu. Lalu si tukang patri tadi
mengeluarkan barang-barang kapten tetapi ada sikap dari si kapten itu yang tidak
menyenangkan hatinya. Dan ditunjukkan macam-macam celanya maka menjawablah si
tukang patri sambil mengeluarkan surat perjanjian itu. Dia berkata bahwa apa saja yang
dikehendaki telah dipenuhi oleh si tukang patri itu. Hanya si kaptenlah yang tidak menepati
janji. Mendengar jawab yang demikian rupanya si kapten salah terima dan dia berkata: “
jangan menjawab begitu kasar kepada saya engkau tahu bahwa saya adalah kapten TNI. Saya
banyak keperluan lain dari pada menjaga janji pada engkau, siapa engkau.”.
Dengan sangat tenang tuakng patri menjawab “ mangapa bapak tanyakan lagi pada
saya, sedang dari dulu bapak sudah tahu bahwa saya tukang patri. Hidup saya Cuma makan
upah, kalau cocok harga menjadi, kalau tidak tidak apa. Tetapi meskipun saya tukang patri,
saya manusia bapak. Saya tahu harga diri, kalau bapak berjalan lurus berkata benar. Saya
sengan kepada bapak, baik bapak kapten atau tukang patri sebagai saya”.
Dengan sangat marahnya si kapten telah mengangkat tangan hendak memukul si
tukang patri. Untung saja dia membawa pistol. Tangan tangan si tukang patri mangankat
tangan si kapten yang hendak memukulnya itu dan memutarnya kebawah. Dan untunh pula
ditempat itu banyak orang-orang lain yang dapat memisahkan mereka. Tetapi si tukang patri
masih sempat bercakap sekali lagi “ karena saudara kapten tidak membawa senjata, biar saya
yang beri senjata dan beramuk kita di sini. Saya menerima halal, bukan menjual diri”.
Maka didalam pertimbangan saya, baik kematian saudara Hambali dengan tiba-tiba
atau sikap saudara Idris mengangkat tangan si kapten adalah dari kesadaran harga diri. Yang
disebut oleh orang-orang Bugis Makassar, Mandar dan Toraja sirik yang disebut oleh orang
arab syaraf. Yang disebut oleh nabi Muhammad SAW “AL-Hayaan Minal Imaani”. (malu itu
adalah bagian dari iman).
Maka terhadap masalah sirik yang menjadi problema di Bugis Makassar, Mandar dan
Toraja sekarang ini dan pada suku-suku bangsa Indonesia pada umumnya, terutama pada
kaum muslim bukanlah menghapuskan sirik melainkan mempertahankannya menurut budi
bahasa yang tinggi dan luhur. Menurut hukum mental dan moral. Mental menurut penilaian
masyarakat , moral menurut penilaian hidup beragama, sehingga seluruh bangsa Indonesia
dalam jabatan apa saja harusnya mempunyai sitik yang sejati. Kalau sirik yang sejati tidak
ada niscaya kita akan dijajah orang kembali, bukan saja penjajahan dari bangsa asing bahkan
dari golongan yang kuat kepada yang lemah, dari pada golongan yang merasa dirinya
berkuasa kepada golongan yang tidak mempunyai kuasa apa-apa dari keadilan sejati dan
kebenaran sejati.
Maka kalau tidak berani lagi mempertahankam keadilan dan kebenaran berartilah
bahwa diri telah punah, dan punahlah kemerdekaan.
Sebagai penutup terkenglah saya ucapan Kyai H.Mas Mansyur dalam kongres
Muhammadiyah di Makassar ke XXI tahun 1932: “ saya kagumi keberanian orang Bugis dan
Makassar menghadapi maut, sehingga dari karena bertengkar pasal uang sepuluh sen mereka
bias berbunh-bunuhan. Saya pujikan keberanian menghadapi mati itu. Tetapi alangkah
baiknya kalau dia pergunakan untuk cita-cita yang lebih tinggi. Misalnya untuk kemuliaan
tanah air dan bangsa kita dan ketinggian agama kita. Sehingga sepadanlah harga kematian
dengan harga yang dipertahankan”.
BAB XV
SISI LAIN PANDANGAN PERIHAL “SIRIK”
Pada dasarnya sirik itu, tiada lain suatu kehormatan, suatu nilai-nilai harga diri yang
begitu mendasar, yang begitu dijunjung tinggi oleh pemiliknya, seperti teruraikan terdahulu
maka lahirlah ungkapan-ungkapan, misalnya ungkapan-ungkapan dalam bahasa Makassar:
Mannassana Sirika ji tojeng(bahwa sesungguhnya, harag diri sesorang ditentukan oleh
kemampunnya menjunjung tinggi nilai-nilai siriknya). Atau sirik tadji nakitau yang artinya:
hanya memiliki sirik maka dapat disebut manusia.
Sedangkan ungkapan dalam bahasa Bugis adalah sirik emitu tariaseng tau narekko dei
sirikta, Tania nik tau rupa gaung mani assenna yang artinya: hanya dengan sirik kita dapat
disebut manusia, jikalau kita tak ada sirik bukan lagi manusia kita hanya bernama orang-
orangan.
Lebih ektrim lagi sebuah ungkapan dalam bahas Bugis yaitu : Naiya tau deE Sirikna,
de lainna olo olok”, artinya : kalau manusia tidak ada sirik tidak berbeda dengan binatang.
Dari ungkapan pengertian tersebut berarti sirik bagi masyarakat Sulawesi Selatan
adalah yang melekat pada diri manusia, merupakan lambing dari keutuhan manusiawinya,
mencakup segala kewajiban serta hak-haknya selaku manusia baik secara pribadi maupun
sebagai anggota masyarakat.
Dari pengertian inilah mungkin setelah bersntuhan dengan dunia luar dan dengan
dunianya denga setiap pribadi yang sangat ditentukan oleh keseluruhan jiwanya dan juga
tingkat kecerdasan dan nilai kesusilaan yang dimilikinya sangat erta hubungannya dengan
harda diri dan martabatnya sebagai manusia.
Akibat mempertahankan harga dirinyalah sehingga banyak ornag yang
mengidentikkan bila siriknya terlanggar, maka bagi orang yang bersangkutan hanya ada dua
pilihan yaitu ia akan mati atau hidu. Akibatnya terjadilah penganiyaan bahkan pembunuhan.
Itukah arti sirik? Kalau kita amati kejadian suatu tindak pidana penganiyaan yang oleh
pelakunya dinyatakan sebagai akibat maka cenderung sirik itu terbangunb karena perasaan,
sentimental oleh emosi dan sejenisnya.
Dari segi hukum yang berlaku di Indonesia, akibat perbuatan tindak pidana
pembunuhan tersebut bukan mengangkat martabat manusia justru sebaliknya.
Namun dalam berbagai ungkapan maupun dalam lontara Bugis Makassar
menunjukkan sirik bukan semata-mata dar5i luapan emosi. Ia lebih banyak berkadar
ketersinggungan nilai-nilai kehormatan pribadi atau keluarga atau lingkungan.
Soal Perasaan
Hasil Penelitian
Seorang antropolog wanita bangsa Amerika dari Universitas California di tahun 1975
sampai dengan 1976 mengadakan penelitian di Luwu. Ia mengungkapkan : tidak ada moral
yang lebih penting buat orang Sulawesi Selatan dari pada mempunyai sirik sehingga
seseorang yang kurang siriknya maka dianggap kurang juga kemanusiaannya. Menurut
Erington, orang-orang Bugis-Makassar terkenal dimana-mana, karena dengan mudah mereka
berkelahi kalau merasa dipermalukan, yaitu dipermalukan dengan cara yang tidak sesuai
dengan derajatnya. Namun disisi lain, Erington mengemukakan pula, sirik tidak bersifat
menentang saja, tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci.
Menurutnya pendapatnya, sirik itu tidak dapat diterjemahkan dengan harga diri saja,
tetapi termsuk pula malu. Bagi orang yang tidak beragama, suk mencuri, bersifat tidak suci
atau kurang sopan dan dikategorikan kewpda orang yang tak memiliki unsur harga diri dan
malu, dalam bahasa makassarnya disebut jurang Sirik, kata Erington. Sebagai contoh, katnya,
nampak jelas dalam cara orang Sulawesi selatan mendidik dan membesarkan anaknya.
Dianggap sama sekali tidak baik memukul anak, terutama menempelengnya.
Sebab menurut pendapat mereka, kata Erington, klau sejak kecil sudah terbisa
ditempeleng orang maka saat di dewasa, ia tidak akan merasa tersinggung lagi kalau orng lain
menghinanya.
Maslah kedua, nanti anak itu kurang sirik-nya atau perasaan halusnya, karena sejak
kecil dipaksakan dengan kekerasan Melakukan kewajibannya dan akhirnya kurang sirik.
Erington menambahkan Sirik jelas ada hubungannya dengan susunan masyarakat
yang makin bertingkat, makin bangsawan seseorang mka makin banyak Sirik-nya yang harus
dijaga. Dan mereka bersatu Sirik, tolong menolong bukan hanya dalam dukun tetapi juga
dalam suka.
Nah, dengan uraian tersebut diatas, pada sisi lain dapat ditarik suatu kesimpulan,
bahwa Sirik tidaklah identik dengan pembunuhan dan kekerasan atau dasar luapan emosional,
atau luapan rasa dendam yang tak terkendali. Tetapi ia lebih banyak bertahan pada sikap
harga diri yang merupakan subkultur budaya orang-orang Bugis-Makassar. Ia merupakan
warisan leluhur dalam kerangka warisan yang bertali temali dengan nilai-nilai Sirik tersebut
sebagai harga diri.
Menurut Prof.Dr.Mattulada, tragedy bnerdarah karena Sirik hanyalah salah satu
tindakan, tetapi bukan arti dan hakekat Sirik. Dalam hal ini Sirik adalah kultur, budaya nenek
moyang kita karena sirik, meninggalkan Tanah Bugis dan tak akan kembali kalau belum
tercapai cita-citanya. Maksudnya tak akan kembali sebelum menjadi orang yang
berpengetahuan atau orang yang berharta.
BAB XVI
KEPRIBADIAN MANUSIA BUGIS
Pada dasarnya, masyarakat Bugis itu dibina mentalnya lewat pappaseng (pesan-pesan)
yang merupakan pola dasr pegangan hidup. Tersebutlah, bahwa ada lima pappaseng (lima
pesan pegangan hidup) orang Bugis tersebut.
Mengkaji pola hidup tersebut, maka tidak heran jika pancasila, memang digali dari
nilai-nilai luhur budaya yang hidupo dalam masyarakat suku-suku bangsa di Republik ini,
secara Bhinneka Tunggal Ika.
Kajaolaliddo (1507-1586). Nama lengkapnya, La Mellong To Suwalle Ta Tongeng
MaccaE Kajaolaliddo (La Mellong Si Arif Bijaksana dan Pintar Kajaolaliddo), seorang
pemikir intelektual yang arif, Negrawan dari Bone.
Ketika La Mellong bertugas sebagai pemndidik anak-anak raja dan bangsawan, mak
tema pendidikan moral yang diberikannya meliputi lima hal utama, yaitu : 1) kejujuran
disertai taqwa (Lempuk-E na-sibawang tya’), 2) Kebenaran kata-kata (satunya kata dengan
perbuatan) disertai keteguhan pada prinsip (Sirik nasibawangi getting), 4) Keberanian disertai
kasih saying (Awariningeng nasibawangi nyamekki-ninnawa), 5) Mappesona Ri Dewata
SeuaE (Pasrah pada kekuasan Tuhan Yang Maha Esa). Lima prinsip utama inilah yang
menjadi tema pendidikan moral yang diberikan Kajaolaliddo, yang secara dominan
menguasai pemikiran-pemikirannya mengenai hukum, kemasyarakatan, malahan juga dalam
pembinaan kpribadian individu.
Dari lima tema tersebut, Kajaolaliddo memilih lagi tiga tema utama yang paling
sering dikemukakannya, yaitu kejujuran, kecerdasan dan keberanian. Dalam catatan-catatan
lontara, Kajaolaliddo disebutkan sebagai manusia yang tidak pernah berbohong, tegas, dan
jujur dalam setiap tindakannya, sederhana dan rendah hati, berni menghadapi musuh dan
tangkas dalam diplomasi.
Kejujuran
Kebenaran
Warani na cirinna (kebenaran disertai kasih saying). Dalam ajaran Kajaolaliddo,
keberanian dianggap penting tetapi harus disertai dengan perasaan kasih saying yang besar
terhadap sesame manusia.
Hanya dengan keberanian, maka prinsip lempuk, ada tongeng dan getting bias
ditegakkan dalam kehidupan sebagai individu dan warga masyarakat. Tetapi keberanian pun
harus selalu bertolak dari ketiga prinsip tersebut. Disebutkan bahwa bila jalan itu yang kulalui
(maksudnya: tiga prinsip tersebut), maka tak ada lagi yang perlu aku takuti.
Keberanian yang bertolak dari tiga prinsip tersebut, dengan sendirinya akan disertai
pula oleh rasa kasih saying terhadap sesame manusia. Kajaolaliddo menganggap bahwa kasih
saying terhadap sesame manusia, yang merupakan bagian dari prinsip sipakatau( saling
menghargai sesame manusia) haruslah menjiwai keberanian, karena tanpa kasih saying itu,
keberanian akan membawa kebinatangan (olok-olok). Keberanian utama adalah keberanian
untuk melawan binatang yang ada pada diri sendiri.
Akkaleng na nyameng melawan binatang yang ada pada diri sendiri. Kecerdasan dan
kepandaian dinilai sangat penting oleh Kajaolaliddo, yang disertai pula oleh nyameng
ininnawa. Istilah terakhir ini bermakna kernyamanan dan ketemtraman hati yang terpencar
keluar dalam setiap penampilan. Juga bermakna ketenangan dan keteduhan hati, hingga
memungkinkan orang berfikir dengan jernih. Akal tanpa disertai ketentraman dan ketyeduhan
hati, tak akan melahirkan pikiran yang jernih, tak dapat melahirkan kecerdasan. Kajaolaliddo
menjadikan akkaleng dan nyameng ininnawa sebagai pasangan yang menyatu.
Dari lima prinsip tersebut, Kajaolaliddo selalu menekan pada tiga hal, yaitu kejujuran,
kecerdasan, dan keberanian. Sistem ide Kajaolaliddo, dengan nilai-nilai tersebut diatas
sebagai nilai utamanya dijadikan didikan dasar/utama kepada setiap individu, khususnya
keluarga bangsawan. Namun, Kajaolaliddo tidak berhenti pada sistem gagasan itu. Ia
lebihlanjut mengatakan bahwa nilai-nilai itu harus diaktualisasikan dalam pola-pola tindakan
dan perbuatan dalam kehidupan bermsyarakat dan bernegara.
Tak ada nilai-nilai itu, tanpa persaksian, sedang persaksian nilai-nilai itu adalah pada
seruan, dan persaksian seruan adalah perbuatan. Seruan(obi) bermakna ganda, yaitu seruan
kedalam diri sendiri dan seruan keluar diri. Seruan untuk dan Berdasar pada penghayatan
nilai-nilai itu. Seruan itu, harus diaktualkan pada perbuatan. Karena itu harus Nampak pada
sistem sosial dan sistem kenegaraan.
Kajaolaliddo memperoleh peluang untuk melaksanakan ajaran-ajarannya.
Kedudukannya sebagai lise’Saoraja (penghuni istana), penasehat Raja dan kerajaan, pendidik
anak-anak dan keluarga istana Raja Bone, memungkinkan La Mellong yang hanya turunan
Matowa (semacam Lurah) ini, mengajarkan dan mengamalkan ajaran lempuk, ada tongeng
dan getting serta harga diri.
Kedudukannya sebagai Lasykar ketika terjadi penyerbuan oleh Lasykar Gowa,
memungkinkan ia memperlihatkan keberanian dan rasa kasih sayangnya serta cimtanya pada
perdamaian.
Kedudukannya sebagai duta keliling Kerajaan Bone, membuktikan kecerdasan,
kecakapan serta kterampilannya didalam diplomasi, dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai
ajarannya. Ia menjalin persahabatan antara Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu serta beberapa
kerajaan kecil lainnya, Kajaolaliddo pun memperhatikan pandangan futuristiknya dengan
membuat ramalan (perkiraan) jangka pendek dan perkiraan jangka panjang mengenai sikap
dan tindakan yang akan diambil oleh Kerajaan Gowa yang kalah (Raja Gowa I Tajibarani Dg
Marompa gugur dalam perang) dan terpaksa menandatangani perjanjian di Caleppa.
Ternyata ramalan Kajaolaliddo tidak meleset, karena Raja Gowa XII, I Manggorai Dg
Mammeta Karaeng Bontolangkasa Melakukan serangan ke Bone, 10 tahunsetelah perjanjian
itu. Kedudukannya sebagai pemimpin Lasykar dan penasehat Raja Bone, memungkinkan
Kajaolaliddo memperlihatkan kecakapannya menyusun strategi politik.
Kajaolaliddo, adalah salah seorang diantara sedikit tomacca (intelektual) Bugis masa
lalu, yang berhasil mempraktekan ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran kemudian terhimpun
dalamn lontarak Latoa, yang menjadi buku pelajaran wajib bagi setiap turunan
bangsawan/raja diseluruh daerah Sulawesi Selatan.
Catatan : bahan-bahan hasil kajian Drs.M.Anwar Ibrahim, sarjana Sastra lepasan Universitas
Hasanuddin dan Sekretaris Dewan Kesenian Makassar.
BAB XVII
ASPEK-ASPEK KEBUDAYAAN
TERHADAP SISTIM KEMIMPINAN DIPEDESAAN
(TANAH BUGIS-MAKASSAR)
Maksudnya :
“Takkan kami tolak apa yang engkau sukai.
Takkan kami sukai apa yang engkau tolak.
Engkau adalah arus, sedang kami adalah batang kayu. Lembah
tempat engkau berpijak, bukit yang kami pagari. Sabdamu kami junjung,
titahmu kami patuhi”.
1. To malebbi artinya orang yang mulia, ini teru tama dilihat dari keturunanya (bangsawan
atau bukan).
2. To Acca artinya orang pandai.
3. To Warani artinya orang berani.
4. To Sugi artinya orang kaya.
Disamping itu juga dapat dilihat bahwa sejak masuknya Islam di Sulawesi Selatan
(Bugis-Makassar) yaitu kira0kira tahun 1908/1909, maka nilai-nilai Islam-pun mulai berbaur
dengan nilai-nilai Adat untuk dijadikan pedoman hidup bermasyarakat. Ini dibuktukan
dengan Ikrar raja seperti tersebut diatas, setelah masuknya Islam disempurnakan dengan
menambah nilai-nilai Islam sehingga berbunyi:
ASPEK-ASPEK SIRIK
MENURUT PENDANGAN DAN PENGALAMAN PENELITIAN
Prof. Mr.Dr.A.Zainal Abidin Farid
Prof. Mr.Dr.A.Zainal Abidin Farid, sebagai ahli budaya Bugis dan merupakan
bangsawan Bugis yang pernah mengalami sendiri pola budaya asli Bugis pada zaman
jayanya, merupakan seorang tokoh di Sulawesi Selatan tang berminat keras mempelajari dan
mengungkap masalah-masalah budaya Bugis-Makassar guna diwariskan pada generasi
penerus Bangsa, mengemukakan pandangannya mengenai SIRIK dan PESSE ATAU PACCE
SEBAGAI BERIKUT:
Pada tahun 1977 saya menanyakan tentang arti dan fungsi SIRIK dan sebab-sebab
orang-orang Bugis yang merantau ke Malaysia,yaitu johor. Mereka pada umumnya tidak bias
meneruskannya, tetapi sekedar memberikan contoh saja, paham mereka tak jauh beda dengan
responden-responden di Sulawesi Selatan. Ada beberapa orang yang menyatakan bahwa
sesungguhnya orang yang mappakasirik tak perlu membunuh tapi cukup menempeleng
penghina didepan umum, sebab tindakan itu lebih berat dari pada pembunuhan. Mereka juga
mengakui bahwa mereka meninggalkan Sulawesi Selatan karena sirik, yaitu menderita,
miskin, dan beberapa orang yang orang tuanya atau neneknya yang berasal dari wajo’
menyatakan bahwa mereka yang merantau karena ingin hidup yang lebih baik....., karena
mereka mennganggap diri mereka tinggal di negeri orang, maka mereka sangat menghemat
uang dan hartanya, sebab adalah sirik hidup merana di negeri orang, seorang turunan orang
Bugis dan nenek moyangnya merantau pada abad XVIImasih merasa bangga disebut orang
Bugis, karena orang Bugis terkenal berani, kuat bekerja, percaya diri, serta bersemangat
tinggi untuk memperbaiki ehidupan. Seorang Bugis lain ketika saya Tanya, hanya menjawab
dalam pantun terkenal”.
Dekgaga pasak ri lipukmu, balanca ri kampong mu, mulanco mabela? (Apa tak ada
pasar dinegerimu, tak ada belanja di kampungmu sehingga merantau jauh?).
Engka pasak ri lipukmu, balanca ri kampongku, ininnawamu kusappak ( Ada pasar
dinegeriku, ada belanja dikampungku, namun aku mencari hati nurani).
Pada bulan Januari tahun ini, saya mengunjungi lagi kampung Benut, Pontian, Johor
dan memperoleh keterangan tentang petualangan seorang Bugis yang telah berhasil
mengangkat dirinya dari lumpur kesengsaran menjadi salah seorang Bugis yang berhasil.
Ia berangkat dari kampung Cilireng (Wajo) ketika berumur 25 tahun menuju
Kalimantan Barat dengan bekal seadanya. Dari sana ia bersama tiga orang temannya ke
Singapura. Disana, seorang kawannya ditangkap polisi, dan ia kehabisan uang sehingga 3
hari 3 malam tak pernah makan.
Sekalipun ia berhasil dari kampung yang terkenal sebagai pemberani dan orang-orang
nakal, ia menahan diri untuk Melakukan kejahatan, sebab ia sirik keluarga erta sempuginya
(sesame Bugis) akan tercemar.
Dengan pakaian yang melekat dibadannya ia ikut sebagai penumpang gelap kereta api
yang menuju ke Benut, Malaya. Setibanya, ia melamar untuk bekerja diperkebunan kelapa
milik orang Bugis dan dipekerjakan sebagai pemanjat pohon kelapa, suatu pekerjaan yang tak
pernah dilakukan di Cilireng. Sesungguhnya ia berasal dari keluarga baik-baik dan berada.
Kalau bukan karena sirik dan pesse ia tak akan berhasil mengerjakan pekerjaan itu. Berkat
ketekunannya ia kemudian dipromosikan menjadi mandor, sehingga ia telah memenuhi pesan
orang –orang tua dikampung:
“kalau engkau merantau jaganlah engkau menjadi anak buah, jadilah Punggawa
sekalipun punggawa kecil saja”.
Pada waktu pecahnya perang Dunia ke II ia memberanikan diri untuk berdagang di
Singapura dengan resiko bahaya perang. Dikala itu tak seorangpun berani Melakukan
pekerjaan demikian. Ia berusaha sekuat tenaga tanpa mengenal takut dan lelah dan pantang
mundur sehingga memenuhi semboyang perantau Bugis pura babarak sompekku, pura
tangkisik gulikku. Ulebbirengngi telling na tualie (layarku sudah berkembang, kemudian
telah kupancangkan, lebih baik tenggelam daripada balik langkah). Yang mendorongnya
ialah apa yang dinamakan wawang asugirenna to wajo’E (ilmu untuk menjadi orang kaya
bagi orang wajo’). Ia menghayati dan mengamalkan pesan orang tua –tua di negeri asal yang
berbunyi : Resopa natinuluk, natemmengngingngi, malomo neleteipammase Dewata
Seua(jerih payah dan kerajinan serta ketidak borosan, mudah dititi oleh kemurahan Tuhan
Yang Maha Esa), pesan mana diberikan oleh La Tadamparek Puang ri Maggalatung (+ 1491-
1521).
Sekalipun ia tidak mempunyai latar belakang pendidikan, namunia pandai
menggunakan kesempatan, jadi menghargai waktu yang biasanya tidak dimiliki oleh
masyarakat tradisonil.
Memang ada ungkapan turun-temirun yang sesuai hal itu:
1. “Matuk pa baja pae, pura pae, temmappapura jama-jamang” (sebentar, besok, nanti, tak
akan menyelesaikan pekerjaan).
2. “Onroko memmatu-matu napole marekkae nala makkaluk” ( Tinggallah bermalas-malas,
lalu dating yang bergegas maka ialah yang melingkar”.
3. “Ajak mumaelok ribetta makkalluk ri cappakna letengnge” ( jangan engkau mau didahului
menginjakkan kaki di ujung titian).
Seorang yang suka mencuri atau yang tidak beragama atau yang bersifat tidak suci
atau yang tidak sopan santun semua kurang siriknya.
Sejarawan Amerika yang berhasil menemukan konsep kebudayaan SIRIK, PESSE
DAN WERE orang–orang Sulawesi Selatan ialah Dr.L.A.Andaya (1979: 366-369) yang
menyatakan antara lain:
Dalam istilah sirik terkandung dua makna yang saling bertentangan. Dia dapat berarti
aib(malu) atau juga bias berarti harga diri.
Suatu keadaan siri’ terjadi bilamana seseorang merasa status dan prestise sosialnya
dalam masyarakat diserang di muka umum. Bias juga timbul perasaan aib jika seorang
dituduh, difitnah telah Melakukan perbuatan tercela, pada hal tidak.
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan rasa keadilan itu bias muncul secara mendadak.
Orang Bugis-Makassar akan bereaksi keras bilamana mereka percaya bahwa mereka itu
berada pada pihak yang benar, tetapi dipersalahkan.
Mereka akan merasa derajatnya direndahkan bilamana telah merasa aib, maka dia oleh
masyarakat dituntut untuk menghilangkan ketidakadilan dan menghilangkan harga dirinya.
Masyarakat menuntut supaya orang yang disebut malu, wajib mengambil tindakan terhadap
orang yang menghinanya. Karena menurut masyarakat, lebih baik mati dalam
mempertahankan harga diri daripada hidup penuh aib.
Seseorang yang dipandang mati siriknya, karena tidak berbuat apa-apa untuk
mengembalikansiriknya, dinilai oleh masyarakat orang yang tidak berguna. Kedua aspek sirik
rasa aib dan malu harus dijaga untuk seimbang.
PACCE
Pacce,bilamana bukan sirik yang menyebabkan orang Makassar bersatu, maka pacce,
inilah yang mempersatukan kami. Adapun orang Bugis, bilamana tidak ada siriknya, masih
ada pacce.
Pacce dan sirik adalah konsep dwitunggal yang mendefinisikan orang Bugis dan
Makassar.
Sedang pacce itu bagi orang Makassar, menimbulkan rasa kebersamaan yaitu
perasaan iba melihat penderitaan-penderitaan orang. Turut merasakan penderitaan sesame
manusia, bagi orang Bugis dan Makassar diwajibkan. Itulah yang menimbulkan solidaritas
antara individu dan anggota masyarakat lainnya.
Were, mengajarkan bagi orang Bugis dan Makassar bahwa nasib seseorang tidak
menjadi baik, bila tidak berusaha untuk memperbaiki. Dalam hal ini, jangan menyandarkan
diri pada rahmat Allah, tetapi upayakan dahulu memperbaiki nasib itu.
Dr.L.A.Andaya lah yang menemukan tiga konsep kebudayaan orang-orang Bugis-
Makassar (sebenarnya juga orang Mandar dan Toraja) yang terdiri atas tiga unsur essensial :
SIRIK, PESSE dan WERE, yang menurut dugaan saya dapat ditingkatkan menjadi
kebudayaan Nasional dan bukan saja bermanfaat tetapi merupakan condition sine qua non
dalam memajukan dan mensukseskan Pembangunan Nasional dan Daerah.
Didalam uraian Andaya-lah dapat disimpulkan bahwa ada dua macam sirik, yaitu rasa
aib disebabkan oleh serangan orang lain, rasa malu yang disebabkan oleh nasib buruk yang
menimpa seseorang. (Baca :ZAINAL ABIDIN).
BAB XX
PUISI I LA GALIGO
Termasuk karya Sastra Dunia Yang Paling Besar
Homerus, pujangga lama Yunani, adalah penulis dua buah ciptaan berupa epic-
raksasa yaitu Ilias dan Odysee.
Amat besar kemungkinan bahwa Homerus hanya merupakan tenaga penyusus
daripada karangan-karangan tersebut karena sebelum zamannya, kedua cerita itu sudah
menjadi kisah-kisah yang dilisankan oleh para penyanyi, sebagaimana halnya cerita Sinrilik
bagi daerah Sulawesi Selatan. Penyanyi yang menyampaikan cerita-cerita diluar kepala itu
disebut rhapsodi. Dan para rhapsodi ini banyak jasanya bagi perkembangan epos-rakyat.
Tetapi namun demikian, bangsa Yunanimengakui bahwa Homerus-lah yang diberi hak
sebagai pencipta kedua epikitu.
Dari kedua buah karangan itu tadi, maka Ilias lah yang tertuadan memiliki keaslian.
Sebahagian besar dari karangan itu menceritakan tentang pengepungan Troya dan
kemarahan daripada Akhilles.
Mahabrata, merupakan buku kecil Hindu, salah satu dari dua epic besar dan India
Purba ( yang lainnya : Ramayana).
Mahabrata ( perjuangan besar) adalah epic terpanjang dunia delapan kali lebih
panjang dari gabungan karangan Homeru Ilias dan Odyssee. Pengarangnya ialah vyasa.
Cerita utamanya berkisar pada pertarungan antara golongan Kaurawa, yang merupakan
personifikasi dari yang buruk, dengan golongan pandawa, yang memiliki yang baik. Terdapat
100.000 kuplet (bait).
Diantara bagian-bagian dari Mahabrata terdapat cerita-cerita Nala dan Damayanti,
Savitri dan Bhagavadgita (lagu Ketuhanan).
Sebagaimana tadi telah diterangkan bahwa disamping Mahabrata, India punya cerita
epik besar lainnya yang bernama Ramayana yang dikarang oleh Valmiki. Ramayana
dianggap lebih tua dari Mahabrata, tetapi isinya lebih pendek, hanya terdiri dari 24.000
kuplet.
La Galigo adalah putera Sawerigading dari isterinya yang bernama We Cudai,
Sedangkan Sawerigading sendiri ialah keturunan raja yang berkuasa di Luwu(palopo).
La Galigo tidak diberikan kekuasaan oleh Dewata untuk memerintah, tetapi
dianugerahi suatu kepandaian yang luar biasa yaitu kepandaian menciptakan suatu rangkaian
besar puisi yang diberi nama I La Galigo.
Puisi I La Galigo memuat peraturan-peraturan dan upacara-upacara yang merupakan
pokok adat dengan segala cabang-cabangnya dan ranting-rantingnya yang harus berlaku
dibawah kekuasaan turunan-turunan Baginda Sawerigading.
BAB XXI
TIGA UJUNG BEKAL ORANG BUGIS-MAKASSAR
MERANTAU DAN UNGKAPAN-UNGKAPANNYA
1. Punna tena SIRIKNU pa’niaki PACCENU : jika tidak punya harga diri(kehormatan) maka
milikilah rasa solidaritas (ini ungkapan Makassar).
2. Abbattireng ripolipungku= kunjunjung tinggi lembaga asal usulku/leluhurku (ungkapan
Bugis).
3. Padaidi na Padaelo = kita sama kita dan mau sama mau (ungkapan Bugis).
4. Sirikaji na kitau atau Ma’nassana sirikaji tojeng (artinya karena kita memiliki harga diri
atau kehormatan maka kita disebut manusia- ungkapan Makassar).
5. Taro ada, taro gau: satunya kata dan perbuatan (Bugis).
6. Pada lao, tappada upe : sama-sama berjuang,namun takdir suratan tangan atau ridha Allah
jualah penentu sukses. Karena itu dalam perjuangan diperlukan doa kepada Tuhan Yang
Maha Esa (Bugis).
7. Resopi temmangingngi, naletei pammase dewata seuwaE : hanya mereka yang berjuang
tanpa kenal leleh dan tidak bosan memperoleh ridha Allah untuk sukses mencapai cita-cita
perjuangan (Bugis).
8. Kualleangi tallanga na toalia : kupilih lebih baik tenggelam daripada surut kembali, tanpa
hasil perjuangan. (Makassar).
9. Malilu sipakaingE, mali siparappe : Khilaf saling memperingati, hanyut saling
menyelamatkan (Bugis).
10. Tettong Mabbulo Sibatang : Berdiri tegak, ber-satu padu mensukseskan perjuangan
pembangunan ( berdiri bagaikan sebatang bambu yang bulat tegak-ungkapan Bugis).
11. Appaentengko sirik : Tegakkan kehormatan, jun-jung tinggi hakekat harga diri
(Makassar).
12. Ngowa kekelaE, sapu ripale pa’gangkanna : Naf-su keserakahan biasanya berakhir
dengan kehampaan-mencapai hasil nihil (Bugis).
13. Mareso mappalaong mapparekki riwaramparang ( rajin dan tekun bekerja, hemat dalam
pengeluaran)-(Bugis).
14. Sirui menre, tessirui’no (tarik menarik ke atas, tolong-menolong, membina keakraban
dan tidak cakar-cakaran)-(Bugis).
15. Pantang kada ripomate, mesa kada dipotuwo( pertentangan kata, kita mati. Bersatu kata
kita hidup). (Luwu’-Toraja).
16. Malilu sipakainge’, rebba sipatokkong, mali siparappe. (jika keliru, ingat mengingatkan;
jika jatuh bangun membangunkan ; jika hanyut, tadah menadahkan, -Bugis).
17. Warani na cirinna : Keberanian disertai kasih saying. (Bugis).
18. Mabbulo sipeppa : Bersatu padu sebulat bamboo (Bugis).
19. Natangnga’i olona munrinna : Memperhatikan sebab dan akibatnya (Bugis).
20. Pangadereng : sistem budaya (Bugis).
21. Rapang-rapang tau : bagaikan manusia boneka(Bugis).
22. Sirik na getting : Menjunjung tinggi harga diri dan pendirian/prinsip. (Bugis).
23. Matuk pa baja pae, temmapura jama-jamang : sebentar, besok, nanti, tak akan
menyelesaikan pekerjaan (Bugis).
24. Onroko mammatu-matu napole marakkae nala makkaluk : Tinggallah bermalas-malas
lalu dating yang bergegas maka ialah yang melingkar/ yang berhasil.(Bugis).
25. Aja mumaelok ribetta makkaluk ri cappakna letengnge : jangan engkau mau didahului
menginjakkan kaki di ujung titian (Bugis).
26. Sipakatau : saling harga menghargai, hormat menghormati, saling memanusiakan.
(Bugis).
27. Akkaleng na nyameng ininnawa : menggunakan akal sehat dan hati yang tulus rama.
(Bugis).
28. Rupai ada : membuktikan ucapannya. (Bugis).
29. Mappesona ri dewata seuwaE : Tawakkal pada kebesaran Allah SWT. (Bugis).
30. Adatongeng na tike : Berkata benar dengan berhati/ waspada . (Bugis).
31. Tellabu essoE ri tengngana bitaraE :Tidak akan tenggelam matahari ditengah langit jika
bukan di ufuk Barat (segala sesuatu terjadi, karena kodrat kehendak Tuhan Yang Maha
Esa).
32. Iami woroane maperengnge : Yang disebut laki-laki ialah yang memiliki daya tahan-
kekuatan mental. (Bugis).
33. Materi ri gollai, mate ri santangi : Mati karena SIRIK, mati secara manis dan gurih
(mendapat santan dan gula).(Bugis).
Dan lain-lain ungkapan pedoman hidup suku Bugis-Makassar yang dapat diangkat
menjadi milik Nasional (Khasanah Kebudayaan Nasional kita yang Bhinneka Tunggal Ika
tersebut).
BAB XXII
SKETSA PERIHAL ASAL USUL PENAMAAN
“MAKASSAR” YANG KINI BERNAMA UJUNG PANDANG
Berbicara perihal SIRIK yang erat kaitannya dengan suku Mangkasara (Makassar),
ada baiknya dikisahkan sedikit asal usul penamaan “Makassar” tersebut.
Jika kita tinjau dari sudut sejarah zaman Mojopahit serta membuka lembaran yang
berupa syair yang bernama NEGARAKERTAGAMA karangan pujangga Prapanca maka
nyata kepada kita bahwa nama Makassar itu sudah lama dikenal oleh orang-orang Hindu,
sebelum bangsa Asing Portugis dan Belanda menjejakkan kakinya di Bumi Sulawesi ini, jadi
bukan ciptaan Belanda atau siapapun. Adapun syair bahasa KAWI yang merdu itu, bunyinya
begini :
“muwah tangi gurun sanusa mengaram ri Lombok Mira Iawan tikangi saksakadi
nikayun kahaivaan kaboh muwah tanahi Bantayan pramuka Bantayan Ion Luwuk
tokong Udamakatrayadhi nikanang sanasapupul.
hhIkang sakasanusanusa Makassar Butun Banggawi Kuni Ggali yao mwangi (ng)
selaja sumba solot Muar muwah tikangi wandan Amdwan sthawa Ewanin ri seran I
Timur makadi ningangekanusatutur”.
Jika kita selidiki syair Hindu itu, nyata bahwa negeri-negeri Bantayang (BantaEng),
Luwuk, Udamakatraya (Talaud), MAKASSAR, BUTUN, BANGGAI, SALAYAR (silayar),
sumba, solot (solor). Muar (Kei) Wanda (Banda), Ambwan (Ambon), seram dan timor pada
zaman purba mendapat pengaruh Hindu. Ketika Hindu Modjopahit mengenal daerah
MANGKASARA, kerajaan Gowa pada waktu itu belumlah berdiri. Tanah Gowa pada waktu
itu baru berupa saru Republik yang dikepalai oleh seorang ketua yang bergelar
(PACCALLA). Ia dibantu oleh Sembilan orang anggota yang bergelar KASIANG
SALAPANG.
Daerah yang disebut MANGKASARA oleh orang-orang Hindu dalam syair
NEGARAKERTAGAMA itu, ialah tanah-tanha yang terdapat pada ujung Selatan Jazirah
Sulawesi antara sungai Jeneberang dan Daerah BantaEng, yaitu Jeneponto, Takalar,
Topojawa, Laikang, Cikoang dan Bangkala. Sampai sekarang yanah-tanah itu disebut
MANGKASARA (Parasanganan Mangkasaraka).
Kalau tukang perahu membawa barang-barang atau buah-buahan ke Maros, ditanya
oleh temannya : Dari mana engkau bawa Buah-buhan itu ? . jawabnya : BATTU RATEARI
MANGKASARA artinya, saya datang dari negerinya orang Mangkasar. Maksud dengan
perkatan ini ialah, salah satu dari negeri yang telah saya katakana tadi. Orang-orang
dipegunungan JENEPONTO, kalau hendak ke kota Jeneponto, mereka biasa berkata juga :
“LANAUNGA RI MANGKASARA” , artinya saya hendak pergi kepada orang-orang
Mangkasar. Orang-orang dipegunungan Gowa kalau hendak kearah Limbung sampai ke
dekat laut, berkata juga, NAUNGA’RI MANGKASARA.
Waktu kerajaanGOwa melihat, bahwa kedudukannya mulai terancam dari laut,
terutama dari pihak penjajah, maka pemerintah Gowa mengambil keputusan untuk membuat
banteng pertahanan pada semua ujung disepanjang pantai mulai dari TALLO, UJUNG
TANAH, UJUNG PANDANG, BAROBOSO, MARISO, SOMBA OPU, GARASSI
PANAKKUKANG, BAROMBONG DAN GALESONG. Melihat bentuk-bentuk dari
benteng-benteng itu mungkin mereka mendapat petunjuk dari ahli-ahli bangunan Barat.
Tidak Perlu
Sampai sekarang, beberapa variasi dari beberapa gagasan yang berbeda itu masih
tetap melatar-belakangi hampir semua pembahasan masalah pengembangan Kebudayaan
Nasional Indonesi. Padahal pertentangan paham itu sebenarnya tidak perlu, kalau disadari,
bahwa kedua gagasan itu masing-masing hanya merupakan pemecahan soal bagi dua fungsi
dari kebudayaan nasional Indonesia yang sama pentingnya.
Menurut teorinya,suatu kebudayaan Nasional memiliki dua fungsi, yaitu;(10
memperkuat rasa identitas Nasional warga suatu bangsa atau Negara;dan (2)memperkuat
rasa solidaritas Nasional semua warga dari semua bangsa dan negara.
Kalau diperhatikandengan seksama,gagasan para cendikiawangolongan pertama
merupaka pemecahan soal bagi fungsy ke-1 dari kebudayaan Nasional Indonesia,sedangkan
gagasan para cendikiawan golongan ke-2 merupakan pemecahan soal fungsinya yang kedua.
Oleh karena itu,kedua gagasan itu sama benarnya,tak perlu dipertentangkan,memang bersifat
komplementer,dan saling memperkuat.
Menurut teori yang dikembangkan ahli psikologi E.H.Erikson rasa, solidaritas
diri itu antara lain dapat dikuatkan,apabila individu yang bersangkutan dapat mengacu ke
suatu karya yang nik yang dapat dibanggakan. Karena itu,identita Nasional dapat dikuatkan
dengan hasil-hasil karya yang unik dan agung, yang dapt dibanggakan sebagai hasil karya
bangsanya. Kalau misalnya candi Borobudur yang dalam kaitan ini merupakan unsur
kebudayaan Nasional Indonesia,maka karya yang unik dan agung itu (yang dianggap
agung,lepas dari latar belakangnya) dapat memenuhi kebutuhan akan perasaan bangga dari
sebagian besar warga bangsa (tidak termaksud tentu oknum-oknum yang membomnya),dan
dapat memperkuat identitas mereka sebagai warga bangsa dan Negara indonesia.
Sebaiknya,rasa solidaritas dengan orang-orang se Negara tidak mengacu ke karya
Nasional yang dapat dibanggakan,tetapi ke toleransi dan pengertian. Oleh sebab itu unsur-
unsur kebudayaan yang dapat memperkuat rasa solidaritas ini, adalah unsur-unsur yang dapat
memenuhi fungsi kedua dari suatu kebudayaan Nasional tersebut di atas.
Contoh dari unsur-unsur seperti itu adalah bahasa Nasional kesusasteraan masa
kini dalam bahasa Nasional seni drama masa kini, seni film, sistem hukum Nasional, dan
sejumlah unsur lain. Berbeda dengan Candi Borobudur atau arsitektur tradisional, yang
merupakan hasil karya yang indah dan dapat menimbulkan kebanggaan tanpa perlu ada
pengertian mengenai makna bangunan itu, unsur-unsur tersebut dapat mengintensifkan
komunikasi antar suku bangsa yang berbeda-beda kebudayaannya, atau harus dapat dipahami
maknanya, sehingga dapat menumbuhkan toleransi dan kemudian rasa solidaritas. Karena
sebagian besar unsur-unsur itu merupakan unsur kebudayaan masa kini yang baru dan harus
diciptakan secara terus-menerus, maka unsur-unsur seperti itulah yang agaknya dimaksudkan
oleh Sultan Takdir Ali Sjahbana sebagai unsur-unsur yang dapat memberi isi kepada
kebudayaan Nasional Indonesia.
Kemudian, apabila seorang putera Indonesia yang giat dalam sains dan teknologi
mendapatkan satu penemuan baru dan karena itu memenangkan hadiah Nobel, misalnya,
maka ada suatu unsur sains dan teknologi yang tidak hanya dapat memberi mamfaat kepada
semua warga bangsa Indonesia yang beraneka ragam latar belakang kebudayaan suku
bangsanya, tapi sekaligus dapat menciptakan kebanggaan atas sebuah hasil karya agung, yang
bersifat Nasional dan memperkuat rasa identitas Nasional.
Unsur -unsur yang mengisi
Dalam upaya pangembangan dua strategi kebudayaan Nasional itu, tentu perlu
diketahui secara konkret, unsur-unsur bagian mana yang merupakan isi dari kebudayaan
Nasional itu. Tabel dibawah ini memuat aftar dari unsur-unsur bagian tersebut, yang terbagi
dalam dua golongan yaitu, golongan unsur-unsur kebudayaan yang dapat memenuhi fungsi 1
dan golongan yang dapat memenuhi fungsi 2 dari kebudayaan Nasional. Unsur-unsur tersebut
tersusun atas empat golongan yaitu bahasa, kesenian, teknologi dan organisasi sosial.
Tabel
Unsur-unsur Bagian yang Mengisi Kebudayaan
Nasional Indonesia
Kelompok unsur Unsur-unsur bagian yang Unsur-unsur bagian yang
menguatkan identitas menguatkan solidaritas
Nasional nasional
Bahasa Kesenian Bahasa daerah Kesusteraan Bahasa Nasional kesusteraan
tradisional dalam bahasa masa kini dalam bahasa
daerah Nasional seni film
Seni suara dan tari seni suara dan tari masa kini
tradisional Seni rupa masa kini
Seni rupa tradisional
Seni textil
Teknologi Seni rias
Arsitektur tradisional
Obat-obatan
tradisional(usaha)
Organisasi
sosial Hukum Nasional Sistem pengelolaan gaya
Indonesia.
Pada tabel ini juga nampak, bahwa sesuai dengan apa yang ikatakan oleh Menteri
DIKBUD Fuad Hasan dalam seminar Budaya di fakultas Sastra U.I. Tanggal 24 Pebruari
1987, kelompok unsur dan kesenian mempunyai perasaan yang paling penting sebagai isi
kebudayaan Nasional Indonesia. Dalam kaitan itu, saya menambahkan beberapa unsur lagi
termasuk kelompok unsur teknologi san organisasi sosial.
Tabel itu juga menunjukkan, bahwa unsur-unsur bagian yang dapat memenuhi
fungsi 1 dari kebudayaan Nasional,sebagian besar adalah unsur-unsur kebudayaan
daerah,kebudayaan tradisional,atau unsur-unsur kebudayan warisan nenek moyang. Memang
untuk sementara para cendikiawan,para ahli sains dan teknologi dan para seniman masih
sibuk dengan perjuangan hidup yang sulit di Negara berkembang,dan belum mampu menjalin
hidup seluruh warganya itu,sehingga mereka belum sempat menghasilkan karya-karya agung.
Hal ini mungkin dapat berubah dalam waktu tiga-empat dasarwarsa lagi, apabila Negara
Indonesia sudah menjadi lebih makmur, dan kalau perangsang-perangsang yang mendorong
putere-putera Indonesia untuk bekerja, menghasilkan karya-karya agung yang dapat
menimbulkan kebanggaan bagi seluruh bangsa.
Tabel itu juga menunjukkan bahwa tidak semua unsur bagian dari kebudayaan
Nasional Indonesia termasuk unsur-unsur yang harus dikembangkan dengan biaya dan
anggaran Departemen dan Kebudayaan untuk membangun kebudayaan karena menurut
penjelasan Menteri Fuad Hasan pada seminar budaya tersebut, biaya dan anggaran itu
memang tidak ada.
Kita memang melihat tidak ada unsur-unsur yang dapat dikembangkan dengan
pembiayaan yang dapat diambil dari luar anggaran untuk pembangunan budaya tadi,
misalnya dari anggaran untuk pendidikan bahasa, anggaran untuk pengembangan seni film
dari Departemen Penerangan , anggaran untuk pengembangan hukum Nasional dari
Departemen Kehakiman, anggaran untuk pengembangan sistem pengelolaan gaya Indonesia
yang khas yang harus berbeda dengan gaya manajemen dalam perusahaan-perusahaan di
Eropa atau Amerika, yang dijiwai oleh sikap lugas dan berazas guna. Penelitian,
pengembangan dan pendidikan suatu gaya manajemen yang khas Indonesia, yang lebih
banyak ijiwai oleh hubungan pribadi, dapat dibiayai oleh swasta dan sebagainya.
Walaupun demikian, upaya pengembangan kebudayaan Nasional indonesia tidak
hanya menyangkut pengembangan dari unsur-unsur bagiannya saja, tetapi juga dari watak
umumnya, ideologinya, etiknya, dan sistem nilai budayanya.
Baca : (Koentjaraningrat, guru besar antropologi pada Fakultas Sastra U.I Jakarta Kompas).
BAB XXIV
SIRIK DAN PESSE DIUNGKAPKAN
DARI MATERI LONTARAK “LATOA”
Prof.DR.Mttulada ( Rektor universitas Tadulako) dan ahli Budaya,menguraikan
perihal SIRIK dan PESSE (PACCE) dengan mendasarkan pada Lontarak LATOA.
Sebagaimana study ,atar belakang pengertian SIRIK dan PACCE, maka pemyusunan buku
ini menyajikan sebahagian dari tulisan Prof.DR.Mattulada yang berjudul :LATOA, SUMSER
INFORMASI BUDAYA DI SULSEL.
Latoa adalah nama salah satu enis Lontara dalam kepustakaan berbahasa Bugis di
Sulawesi Selatan.
Penulisan atau pencatatan Latoa sebagai Lontara, diduga berlangsung pada zaman Raja Bobe
(Arumpone) ke-7 yang bernama La Tenrirawe Bongkannge (1560-1578) bertakhta di Tana
Bone. Baginda mempunyai seorang cendekia penasehat, bernama La Tenrirawe Bongkange
(1560-1578) bertahta di Tana Bone. Baginda mempunyai seorang cendikia penasehat,
bernama La Mellong adalah seorang anak Matoa di sebuah desa yang bernama Laliddo(ng),
dalam wanua (negeri) Cina, di tana Bone. La Mellong inilah pada masa tuanya terkenal
dengan sebutan Kajaolaliddo, yang berarti orang bijaksana dari Laliddo, atau orang tua
(berasal) dari Laliddo.
Menurut anggapan umum dikalangan orang Bugis(terutama didaerah Bone) Latoa
berisi pembicaraan antara Kajao Laliddo dengan Arumpone. Anggapan umum itu tidaklah
seluruhnya benar, karena itu pula tidaklah seluruhnya salah. Menurut batasan yang lebih
terurai,dapat dikatakan bahwa Latoa adalah lontara dalam kepustakaan orang Bugis,berisi
kumpulan ucapan-ucapan atau petuah-petuah dari Raja-raja dan orang-orang bijaksana orang
Bugis-Makassar dari zaman dahulu (termaksud zaman Kajao-Laliddo), mengenai bebagai
masalah, terutama yang berkenan dengan kewajiban-kewajiban raja terhadap rakyat dan
tuntutan bagi peguasa terutama dalam menjalankan pemerintah dan melaksanakan peradilan.
Menurut Metthes, Latoa pada orang bugis, dapat dipersamakan dengan Rapang pada
orang Makassar,seperti yang termuat dalam NCHr, pada halaman 456s/d 460 dan halaman.
GARIS BESAR ISI LATOA
Latoa, sebagai salah satu diantara sekian banyak (Lontara) atau manuscrip orang
Bugis-Makassar,memiliki arti khusus, karena kepeminpinan masyarakat dan kekuasaan.
Latoa telah berperan sebagai pedoman bagi raja dalam memerintah, dan telah menjadi
penuntun bagi Rakyat untuk menentukan sikap terhadap sesuatu kekuasaan yang hendak
diikuti atau tak sudi ditaatinya.
Sebagai Rapang (pedoman,tuntutan atau guidlines) Latoa mengandung kalimat-
kalimat hikma; pikiran-pikiran,petunjuk-petunjuk, malahan dokrin-dokrin dari Raja-Raja dan
orang-orang Bugis-Makassar dan lain-lain,pada masa lalu, kira-kira meliputi abad ke-14
sampai abad ke-17.
C.H. Salam Basyah S.H. dibantu oleh Drs. Sappena Mustaring menulis dalam bukunya
berjudul : SIFAT KEWAJIBAN SUKU BUGIS DAN MAKASSAR, antara lain :
Saya tidak akan menguraikan satu persatu pengertian tersebut, karena sudah banyak
pemrasaran melakukannya. Akan tetapi yang terang ialah, tidak orang yang senang
dibikin malu. Dalam sejarah dunia banyak peperangan terjadi, disebabkan karena satu
pihak merasa dibikin malu oleh pihak lawannya. Dalam ceritera Minangkabau tentang
kisah SABAI NAN ALUIH Datuk Rajo Nan Panjang menentang Datuk Rajo Berbanding
untuk berperang tanding, karena malu lamarannya ditolak untuk mempersunting sigadis
SABAI menjadi isterinya yang kesekian.
Walaupun sirik itu dapat diartikan dapat malu, akan tetapi malunya itu tidaklah sama
drngan verlegen zijn menurut istilah Belanda, atau shame menurut Inggeris yang
pengertiannya malah sebaliknya, yaitu menyebabkan seseorang tidak hendak berbuat, karena
dianggap tidak sepantasnya untuk berbuat itu.
Malu pada sirik ialah suatu perasaan tersinggung yang ditimbulkan oleh perbuatan
orang lain yang menyebabkan orang yang perasaannya tersinggung itu merasa dirinya
dijatuhkan....orang yang demikian mempunyai rasa terdorong harus Melakukan sesuatu untuk
mengembalikan keseimbangan daripada rasa perasaan tersinggung itu.
Sirik selalu membangkitkan semangat, mendorong orang yamng menderita Sirik itu
untuk Melakukan kerja keras, memeras keringat, mendorong suksesnya segala usaha dan
sebagainya, demikian C.H. Salam Basyah S.H , orang yang menderita Sirik harus
melenyapkan orang yang menimbulkannya. Pepatah adatnya ialah “Sungek naranreng nyawa
na kira-kira” yang artinya “Jiwa yangdisapa, nyawa yang dikira-kira”.
Sebab bagi yang menderita Sirik itu leuzenya ialah : lebih baik mati berdarah daripada
mati menderita Sirik (“Lebbi mui mate maddarae na mate, masirikE”).
Menghina orang dimuka umum adalah perbuatan yang menimbulkan Sirik. Orang
yang dihina mungkin orang yang terkena sirik itu sendiri, akan tetapi dapat pula atasannya
atau seseorang yang akrab dengannya.
Seorang laki-laki orang Bugis-Makassar adalah to masirik dari seorang gadis atau istri
orang itu, Demikian menurut Prof. Mr. Dr. R. Soepomo yang disitir oleh C.H. Salam Basyah
S.H.. dalam bukunya “sifat kejiwaan Suku Bugis-Makassar”. Jangankan mengganggu atau
memperkosa, memasuki sajakamar seorang gadis atau isteri orang adalah perbuatan yang
menimbulkan sirik. Yang terkena sirik kecuali saudara dari si gadis atausuami dari si isteri,
juga adalah seluruh keluarga, hal mana dapat menimbulkan dendam yang tidak
berkesudahan.
Hal yang ketiga ialah kalu orang Bugis-Makassar ditantang untuk berkelahi, ia kan
terkena sirik ia akan melawan sampai tetesan darahnya yang penghabisan.
Hal lain yang dapat menimbulkan sirik ialah, kalau bagian kepala seseorang dipukul
atau seseorang Bugis-Makassar merasa dilebihi kwpandaiannya, kalau kepala seseorang kena
pukul, maka ia diwajibkan oleh seluruh keluarga untuk membunuh orang yang telah
memukulnya itu. Dan kalau ia tidak berana, maka keluarganya akan membunuhnya sendiri.
Tentang melebihi kepandaian ialah sebagai mana yang dikatakan oleh Prof. Chabot yang
disitir oleh Prof. Andi Zainal Abidin Farid, S.H. diatas.
Kalau kita renungkan sejenak, maka orang yang terkena sirik itu Melakukan
perbuatan yang mengandung arti membalas atas perbuatan orang lain yng membuat ia malu.
Kalau hanya sekedar membalas itu, didalam sejarah perbuatan membalas dengan yang
setimpal dalam dunia hukum sudah lama ditinggalkan orang.
Talio dizaman Betavier, yaitu gelijik om gelijik adalah sudah lama liwat dizaman
yang lampau, yang tidak dilakukan lagi sekarang ini, walaupun orang-orang Betavier tetap
ada berupa orang-orang Belanda.
Vergeldinngstheorrie dalam ajaran hukum pidana adalah teori klasik yag dikenal
hanya berlaku sampai abad ke XVIII dan sesudah itu tidak diikuti lagi. Malah dizaman Ultra
modern sekarang ialah banyak Negara yang membuang jauh hukuman mati dengan alasan-
alasan yang dapat dibenarkan, pendapat mana dianut oleh kebanyakan guru-guru besar kita di
Indonesia, antara lain : Roeslan Saleh, S.H. dalam bukunya Masalah Hukuman Mati, 7
September 1958, hal. 37 yang disitir oleh E. Utrecht S.H. dalam bukunya Hukum pidana II.
Alasannya ialah hukuman mati yang telah terlanjur dilaksanakan tidak dapat diperbaiki
kembali, kalau kemudian ternyata bahwa terhukum tidak bersalah. Hal ini sehubungan
dengan suatu perkara pidana yang saya hadapi sendiri dalam tingkat banding pada Pengadilan
Tinggi Ujung Pandang, dimana dalam suatu kasus seseorang mempunyai dua orang ipar,
yang mana salah satu diantaranya disetubuhi menyebabkan hanil adiknya terbungsu, lalu
dibunuh. Kemudian ternyata yang menyebabkan hamil itu adalah iparnya yang lainnya yang
telah melarikan diri dan tidak pernah pulang kembali.
Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Setiap penghukuman haruslah melewati
Pengadilan. Membalas sendiri suatu perbuatan yang merugikan peseorangan adalah
perbuatan yang disebut menjdi hakim sendiri.hal yang demikian tidak dinarkan oleh Negara
kita sebagai Negara Hukum. Dalam peradilan sehari-hari, khususnya didaerah Sulawesi
Selatan perbuatan pidana yang ditimbulkan dengan sirik dihukum dengan pertimbangan hal
yang meringankan, sesuai dengan adat yang berlaku. Akan tetapi apakah pertambangan yang
meringankan itu terdapat diseluruh Nusantara kita masih dipertanyakan. Belum tentu
Pengadilan-pengadilan yang terdapat diluar daerah sulawesi selatan selalu mengingat, bahwa
Bugis-Makassar mengenal lembaga adat sirik yang harus diperhatikandalam menjalnkan
hukuman. Dan saya yakin, bahwa ada bagian-bagian dari Negara kita yang meletakkan
kepentingan nyawa diatas segala kepentingan-kepentingan untuk dilindungi. Hal-hal yang
demikian dapat menimbulkan tidak adanya kesatun dalam member putusan tentang sirik
tersebut. Dan alangkah menciutnya pikiran kita, kalau leerstoel dalam dunia Internasional
menyebut, bahwa disalah satu bagian di Indonesia dizaman Ultra modern sekarang yang
menimpa diri dengan membunuh orang yang menimbulkan onrecht itu.
Kalau kita pelajari sejenak buku kecil tentang “Fungsi dan perkembangan Hukum
Dalam Pembangunan Nasional” yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Hukum dan
Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Pajajaran sebagai uraian dari Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H.L.L.M. pada suatu seminar Hukum Nasional, antara lain mengatakan :
Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan akan
ketertiban ini syarat poko (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang
teratur. Lepas daripaa segala kerinduan akan hal-hal lain yang juga menjadi tujuan
dari pada hukum, ketertiban sebagai tujuan utama hukum merupakan suatu fakta
objektif yang berlaku bagi segala masyarakat dalam segala bentuknya. Mengingat
bahwa kita tidak mungkin gambarkan hidupnya manusia tanpa atau diluar masyarakat.
Maka manusia dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Pemeo Rumawi ibi societies ibi ius menggambarkan keadaan ini diusahakan adanya
kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat yang teratur, tetapi
merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat
sekarang.
Dalam hubungan hukum dengan kekuasaan diuraikan antara lain :
1. Mengingat bahwa hukum itu Memerlukan paksaan bagi penataan ketentuan-
ketentuannya, maka dapat dikatakan bahwa hukum Memerlukan kekuasaan bagi
penegaknya. Tanpa kekuasaan hukum itu tak lain akan merupakan kaidah sosial yang
berisikan anjuran belaka. Sebaliknya hukum berbeda kaidah sosial lainnya yang juga
mengenal bentuk-bentuk paksaa, dalam hal bahwa kekuasaan itu sendiri diatur, baik
mengenai cara, maupun ruang gerak atau pelaksanaannya oleh hukum. Kita mengenal
Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan sebagai pemaksaan atau penegak hukum Negara yang
masing-masing ditentukan batas-batas wewenangnya. Hubungan hukum dan kekuasaan
dalam msyarakat dengan demikian dapat kita simpulkan sebagai berikut : Hukum
Memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri
ditentukan batas-batasnya oleh Hukum.
2. Dalam membandingkan nilai-nilai hukum dengan nilai-nilai sosial budaya
lainnyadikatakan bahwa yang baik adalah hukum yang hidup (living law) dalam
masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan penerimaan daripada nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat itu. Nilai-nilai itu tidak lepas dari sikap (attitude) dan
sifat-sifat dimiliki orang-orang yang menjadi anggota masyarakat yang sedang
membangun itu. Tanpa perobahan sikap-sikap dan sifat kearah yang diperlukan oleh
suatu kehidupan yang modern, maka segala pembangunan dalam arti benda fisik akan
sedikit sekali artinya. Jadi, hakekat daripada masalah pembangunan Nasional adalah
masalah pembaharuan cara berpikir yang berobah, maka pengenalan (induction)
lembaga-lembaga modern dalam kehidupan tidak berhasil. Apabila kita sudah sepakati
prinsip, bahwa demi pembangunan pembaharuan sikap, sifat atau nilai-nilai adalah
perlu, persoalannya adalah nilai-nilai manakah dari keadaan masyarakat yang ada
hendak ditinggalkan dan diganti dengan nilai-nilai baru dan yang diperkirakan lebih
sesuai dengan nilai kehidupan dunia dewasa ini, dan nilai-nilai lama manakah yang bias
dan patut dipertahankan. Pada beberapa puluh tahun yang lalu dizaman Hindia Belanda
telah dilakukan tindakan dibidang Hukum (pidana), yaitu larangan praktek
pemanggalan kepala di pedalaman Kalimantan yang pada waktu itu masih merupakan
praktek yang lazim menurut adat setempat. Masyarakat Indonesia yang sedang
membangun dalam definisi kita berarti masyarakat sedang cepat; hukum tidak cukup
memiliki fungsi hanya sebagai alat untuk memilihara ketertiban. Pandangan yang kolot
tentang hukumyang menitik-beratkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis
dan menekankan sifat konservatif daripada hukum, mengganggap bahwa tidak dapat
memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan. Ucapan bahwa
dengan ahli hukum orang tak dapat membuat revolusi menggambarkan anggapan
demikian. Anggapan itu tidak benar dan dibantah oleh pengalaman antara lain di
Amerika Serikat. Di Negeri ini terutama setelah dilaksanakannya New Deal mulai
tahun tiga puluhan kita telah menyaksikan dipergunakannya hukum sebagai alat untuk
mewujudkan perobahan-perobahan di bidang sosial. Di Negri inilah timbul istilah Law
is tool of social Engineing (R. Pound). Dengan dasar pikiran sebagaimanaterurai diatas,
marilah kita adakan pembaharuan dan pembangunan dibidang hukum Negara Republik
Indonesia yang kita cintai, sesuai yang termaktub dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara.
3. Memupuk kesadaran hukum dalam msyarakat dan membina sikap para Pengusaha dan
para Pejabat Pemerintah kea rah penmgakuan hukum, keadilan serta perlindungan
terhadap martabat manusia dan kepastian hukum sesuai dengan undang-undang Dasar
1945.
Catatan :
Diuraikan oleh B. Bastian Tafal S.H. pada Seminar Sirik di Sulawesi Selatan,
sebagai sumbangan pikiran.
BAB XXVI
MASALAH SIRIK DI MANDAR
A.PENDAHULUAN
Dimana saja terdapat kelompok manusia dalam suatu ruang lingkup masyarakat yang
merasa diri seketurunan, senasib dan sepenanggungan yang dibatasi oleh Satu Suku, pasti
mempunyai kelainan-kelainan khusus yang tidak sama dengan suku lain, baik tabiat dan tata
gaul, tutur kata, sifat, adat istiadat maupun kebiasaan-kebiasaan yang tidak terlalu prinsipil
yang dapat jadi pertanda sebagai cirri khas dari keadaan sekelompok manusia/masyarakat
dari tiap-tiap Suku.
Demikian halnya masyarakat Mandar yang lazim disebut Suku Mandar, juga
mempunyai cirri khas tersendiri, ditinjau dari segala aspek kehidupan dalam masyarakat
Mandar itu sendiri, sebagai lembaga yang paling dikenal bahwa ia masyarakat Mandar.
(Mandar adalah salh satu suku di Sulawesi Selatan).
Salah satu diantara banyak cirri khas dari masyarakat Mandar ini yang ingin
dipersoalkan berikut ini ialah masalah sirik, sebagai pusaka turun-temurun yang tidak pernah
terlepas dari sifat dan perangi suku Mandar, yang diterima secara estafet sejak dari nenek
moyang suku Mandar sampai sekarang, masih diwarisi oleh orang-orang Mandar.
Namun tak dapat disangkal, bahwa diantara sekian banyak macam dan ragam sirik
sebagian yang tidak terlalu prinsipil telah banyak aus dan mengalami perubahan disana-sini,
yang mungkin hal ini semua terjadi, mengalami perubahan disana-sini, yang mungkin hal ini
semua terjadi, akibat dari perkembangan kemajuan teknik cara berpikir, tingkat
perkembangan sosial yang kian maju, bersama arusnya teknologi modern plus Venetrasi
kebudayaan asing yang sedikit-sedikit secara tidak disadari lolos menyusup secara diam-diam
keseluruh pelosok Tanah Air, dimana suku Mandar tak ketinggalan mendapat bagian.
Tetapi terhadap hal-hal yang pokok dan prinsipil, Sirik di Mandar masih tumbuh
dalam jiwa setiap pribadi suku Mandar, yang ditandai dengan lahirnya kenyataan-kenyataan
ditengah-tengah masyarakat sebagai manipestasi dari Sirik apabila faktor penyebab timbul
dan bangkitnya Sirik itu dijumpai oleh pribadi-pribadi suku Mandar, baik didaerah Mandar
sendiri, maupun diluar daerah Mandar atau dirantau orang.
Adapun hal-hal yang banyak mengalami perubahan dari Sirik ini banyak-banyak
terdapat pada tata-muda-mudi, seperti : Kalau dulunya gadis-gadis Mandar malu melayani
sendiri seorang pemuda yang bertamu kerumahnya, sekarang sudah hal biasa bagi mereka.
Kalau dulunya gadis-gadis Mandar malu berbicara dijalan dengan seorang pemuda, malu
jalan sejajar (berdekatan) apalagi gandengan tangan, sekarang satu demi satu telah
bermunculan ditengah-tengah masyarakat pergaulan muda-mudi suku Mandar. Bagi yang
serasi diri takut ketinggalan dari pergaulan modern dan khawatir dicap sebagai
pemuda/pemudi yang tidak up to date dalam pergaulan yang banyak lagi perubahan-
perubahan yang tidak terlalu dianggap penting tapi akibatnya mengandung resiko yang berat,
yang tidak sempat disebutkan disini.
Yang akan kita bicarakan berikut ini, adalah : Sirik ditinjau dari segi-segi hidup yang
paling pokok dan penting saja.
Sebelum kita membicarakan pokok penting yang menyebabkan timbulnya Sirik,
terlebih dahulu kita membagi Sirik itu dalam 3 (tiga) golongan, ditinjau dari segi akibatnya,
yakni :
1. Sirik yang menimbulkan akibat kriminil.
2. Sirik yang berakibat hanya merugikan pribadi atau kelompok manusia.
3. Sirik yang berakibat menata kehidupan manusia sebaik-baiknya di dalam hidup
berkelompok atau bermasyarakat.
Untuk mengawali uraian secara terperinci dan terurai tentang Sirik ini, ada baiknya kita
lebih dahulu mengenal apa itu Siri?
“SIRIK ialah suatu perasaan mempertahankan harga diri yang banyak kali memaksa
manusia ber-tindak/ berbuat secara irrational, dan ada kalanya rationil”.
II. Sirik yang berakibat merugikan diri npribadi atau kelompok manusia.
1. Apabila kedatangan tamu.
2. Bersaing dalam soal-soal materi dalam berbagai aspek/sosial.
III. Sirik yang berakibat menata kehidupan manusia sebaik-baiknya didalam hidup
berkelompok atau bermasyarakat :
1. Menempatkan diri dalam masyarakat, baik didaerah sendiri maupun dirantau orang
sesuai dengan norma-norma hidup yang berakhlak dan berbudi baik.
2. Menempatkan diri sebagai hamba Allah yang taqwa dan beriman, memegang teguh
aqidah kemanusiaan menuju akhlaqul karimah.
Sirik yang timbul dikalangan muda-muda dengan sebab seperti ini, jarang sekali bias
diperbaiki/ didamaikan oleh siapapun, bahkan mencipta dendam yang membawa dalam
dada sang pemuda yang kehilangan tunangan/kekasih.
3. Anak/ sanak keluarga permpuan (gadis/janda) dibawah lari laki-laki untuk dikawini
(kawin lari).
Masalah kawin lari di Mandar, adalah suatu problem yang banyak kali membuat
latar-belakang kriminil, walau tak dapat diingkari, banyak juga yang dapat diselesaikan
dengan baik oleh orang-orang tua cq punghulu-penghulu Agama.
Perbuatan semacam itupun adalah Sirik bagi suku Mandar, yang sering
berkesudahan dengan kisah keris, apabila yang dilarikan itu ditemukan oleh keluarga
wanita sebelum sempat menemukan penghulu Agama ditempat mana saja. Tapi apabila
yang silariang itu sudah ditangan Pemerintah atau penghulu Agama maka keluarga
wanita tidak boleh lagi mengganggu baik laki-laki maupun wanita (anaknya) sendiri,
dan keduanya (yang baku lari) tidak boleh dikenakan hukum resmi tradisi.
Suatu masalah sirik yang sukar dihindari bagi suku Mandar apabila daerah atau
sukunya dihina orang baik peristiwa ini ditemukan di daerah Mandar sendiri. Lebih-
lebih kalau ditemukan dirantau orang. Untuk menebus penghinaan terhadap suku dan
Daerahnya, erring terjadi peristiwa yang menurut istilah umum, main-main jadi
sungguhan karena penghinaan daerah, suku, yang mulanya mereka hanya main-main
atau kelakar saja, tapi bagi orang Mandar sendiri penghinaan terhadap daerah dan suku
ini sama sekali tidak bias jadi bahan kelakar atau permainan, yang pada akhirnya
pertentangan yang lahir karena Sirik tak dapat dihindari dan dikendalikan.
6.Sahabat, sanak family/teman biasa ditempeleng/ dipukul orang sementara jalan bersam-
sama atau berkumpul dimana saja.
Catatan:
I. PENDAHULUAN
1. Budaya Bugis Makassar dapat didekati dengan,mamhami watak asli dari kultur,
bahwa watak dari kultur tidak pernah diam berhenti sekalipun hanya untuk
menunjukkan bahwa ia tetap ada. Ia harus berobah-robah, ia harus mencari jalan
baru untuk menyatakan dirinya. Kebudayaan dengan demikian tidak akan pernah
berhenti, sementara hidup membaharui dirinya dalam generasi-generasi yang
kemudian dengan tak jemuh-jemuhnya mencari jalan baru.
Bangsa indinesia yang didalamnya terdapat suku Bugis Makassar, dimasa lampau
juga memiliki pemikir-pemikir yang genius pada zamannya, yang sanggup merumuskan
ide-ide dan citra-citra yang merupakan semen pengikat anggota-anggotanya dalam suatu
bangunan masyarakatnya.
Dari ide-ide dan citra hidup yang dimaksud diantaranya tidak sedikit dapat
dikategorikan sebagai nilai luhur, sebagai pedoman dan tata kelakuan bagi kehidupan
orang.
3. Kalau nilai tersebut cenderung mengalami pergeseran pengertian dari pengertian
aslinya, hal ini tidak mengherankan, sama halnya dengan ideologi, sekali diterima
oleh masyarakat ia akan memulai hidupnya sendiri terlepas dari penciptanya dan
semakin lama hidup, maka pemikirannya yang orisional akan mengalami
perobahan. Ambillah contoh : Liberalisme, yang telah auh bergeser dari pemikiran
Adam Smitt atau Benyamin Constan.
Kalau toh Adam Smitt atau Benyamin Constan masih dihormati maka karya-
kayanya dilengkapi dengan kutipan-kutipan, yang bila mana ditinggalkan diluar konsep,
memungkinkan pemikiran, interpretasi tanpa mempedulikan keasliannya.
4. Nilai-nilai luhur yang saya maksud, dapat ditemukan dalam himpunan amanat-
amanat dari orang-orang bijaksana dan raja-raja zaman dahulu, diantaranya ada
dalam bentuk syair-syair klasik. Syair-syair Bugis tersebut digunakan oleh
masyarakat baik dalam melagukan/menyanyikan untuk berbagai kepentingan
seperti menidurkan anak, mendidik dan sebagainya. Dalam upacara-upacara adat
seperti perkawinan, mensyukuu hasil-hasil panen dan lain-lain, syair-syair ini
dinyanyikan dan diucapkan untuk menambah semaraknya upacara bahkan kadang-
kadang biasanya diadakan pertandingan balas-membalas syair antara orang tua-tau.
Diantara amanah itu, seringkali engandung sikap keterusterangan yang bersiat
natural.
5. Dari sekian banyak nilai luhur yang diwarisi oleh nilai luhur bugis makassar,
diantaranya dapat ditemukan dalam bentuk pappaseng(pesan) berisi amanah
kepada keluarga secara turun-temurun, amanat ini dituliskan dan dicatat dalam
lontara, karena untuk mengangkat kembaali nilai-nilai luhur budaya Bugis
Makassar, sumber yang paling lengkap adalah lontara. Perlu dicatat disini, bahwa
banyak sarjana barat telah mengakui nilai-nilai tinggi dari lontara.
Dalam usaha mencoba mengangkat kembali nilai-nilai luhur budaya Bugis Makassar,
saya akan mencoba mengemukakan beberapa pemikir Bugis-Makassar dan apa-apa yang
diungkapkan sebagai berikut:
6. To Riolo (orang terdahulu)
a. Adapun lidahmu, serupa juga dengan macan/harimau, apabila engkau tak mampu
kendalikan, digigit juga nanti kepalamu.
d. Berkata pula to riolo, semua perbuatan harusnya tertib, barulah baik, pertama
ketahuilah yang buruk, pahamilah yang baik, kedua; ketahuilah yang tidak
rampung, pahamilah yang rampung’ ketiga; ketahuilah yang benar, paamilah
yang tidak benar, keempat; ketahuilah yang culas, pahamilah yang jujur, itulah
yang disebut tertib
e. Berkata pula to riolo, nilah perbuatan yang tujuh macamnya, ingat sungguh-
sungguh, jangan hilangkan dari hatimu, apabila hendak berbuat sesuatu, pertama
lihat kesudahan perbuatan itu, pembalasannya Allah S.W.T, barulah
mengerjakannya, kedua ; takutlah (seganlah) kepada orang jujur, karena Allah
S.W.T menyertainya, ketiga; jangan meninggalkan (mengingkari) janji, keempat;
jangan takut mendengar berita, justeru dengarkanlah, jadikan pertimbangan berita
itu, serta kepada orang yang membawa berita, kelima; rajinlah diperingati,
keenam; janganlah hendaknya engkau memulai perbuatan yang sukar, jangan
pula memberitahukan kepada orang kata-kata (yang) tidak menyenangkan
hatinya, ketujuh; rajinlah meminta pertimbangan dari To Mabbicaramu, dan
barulah engkau berbuat, yang disebut oleh jori(garis ketentuan).
7. MatinroE Ri Tanana
a. Berkata pula MatinroE Ri Tanana, adalah empat macam perbuatan dalam batang
tubuh kita, pertama; angan-angan (pikiran), kedua; bicara, ketiga; sirik(harga
diri), keempat; perbuatan yang baik, adapun yang meniadakan angan-angan
(pikiran) itu,ialah apabila orang suka kemarahan, yang meniadakan bicara, ialah
perbuatan sewenang-wenang yang meniadakan sirik ialah kelobaan, yang
meniadakan perbuatan baik, ialah apabila kita menjelek-jelekkan sesama-
manusia.
b. Berkata pula MatinroE Ri Tanana, adapun yang baik itu, tertib dari kejujuran,
aapun yang jujur itu dikasihi Tuhan, dan disukai oleh orang(manusia) karena
apabila kita jujur, berbuat baik bagi semua manusia, apapu perbuatan yang baik
itu dikerjakan dan apabila tak memantul kebaikannya pada diri kita, (niscaya)
mementul kebaikannya kepada anak dan keturunan kita tak mungkin tidak
membawa kebaikan (dari) Tuhan kepad orang yang berbuat baik, serta
(kepada)orang yang jujur, (sebaliknya) adapun perbuatan sewenang-wenang dan
keculasan, apabila tak memantukl keburukannya kepada diri sendiri, maka
(terpantul) kepada anak keturunan keburukannya karena tak akan mungkin tidak
membawa keburukan perbuatan sewenang-wenang an keculasan itu.
8. ARUNG BILA
c. Berkata pula Arung Bila empat macam tandanya orang yang pengecut, pertama;
banyak perbuatan aniayanya( sewenang-wenang), kedua; banyak dustanya,
ketiga; ia loba, keempat; kurang siriknya.
Empat juga macamnya perbuatan laki-laki sehingga disebut bersifat perempuan, dan
tidak di golongkan kedalam laki-laki, pertama ia malas, kedua ia lemah, ketiga ; ia
dungu, keempat; ia bebal.
9. PETTA MATINROE RI LARIANGBANGI
a. Berkata pula petta MatinroE, jangan engkau menyukai orang apabila tak ada
perbuatan baiknya(kegunaannya), walaupun (ia itu)sanak keluargamu, walaupun
ata ri bolammu, walaupun rakyatmu, karena apabila engkau sukai orang
itu(padahal)tak ada perbuatan baiknya, maka akan berkata orang nanti, apakah
gerangan (sebab)kesukaannyaraja terhadapnya, padahal(kami tak melihat
apapun)perbuatan baiknya, (maka)akan berakibat saling iri-mengiri, artinya
Saling cemburu-mencemburui, apabila sudah saling cemburu-mencemburui
orang didalam kekuasaanmu, maka akan tak ada lagi nantinya orang rajin, yang
(akan)engkau suruh, mendapatlah engkau kesengsaraan hati, oleh karena itu
engkau (hai) raja, apabila ada perbuatan tersembuny, artinya perbuatan yang
dirahasiakan tempatnya ia berjasa, janganlah juga
diumumkan(dinampakkan)kasih sayangmu, karena hanya dengan begitulah
perbuatan itu maka baik.
b. Seperti juga engkau (hai) pakkatenni ade, pahamilah sungguh-sungguh apa yang
disebut ade, peliharalah, hormatilah, karena ade, itulah yang disebut manusia,
apabila engkau tak mengetahui yang disebut ade, maka jadilah manusia itu
disebut manusia, karena tak ada pangkalnya ade itu, kecuali kejujuran,
besarkanlah takutmu kepada Dewata, dan pertinggilah takumu kepada Dewata,
dan pertinggilah sirik, karena adapun orang yang disebut besar takutnya kepada
Dewata dan tinggi siriknya, itulah orang yang tak terpisah dengan kejujuran,
orang yang demkian itu.
a. Berkata To Ciung gelar orang pintar di Luwu, ada empat prinsip daripada
kejujuran:
4) Tidak menilai suatu kebaikan bila hanya ia sendiri yang merasakannya, ba-
rulah kebaikan itu dinilai apabila bersama orang banyak merasakannya.
b. Berkata orang pintar di Luwu, ada empat ciri kebaikan didalam rumah seorang
raja pintar yang memerintah, pertama; jujur, kedua; tegas,ketiga; tidak saling
membebankan pekerjaan dalam rumah, keempat; tidak didatangi barang-barang
atau harta diambil dengan cara kekerasan.
c. Berkata orang pintar di Luwu, delapan sisi yang harus dimiliki baru disebut
takut, pertama; bersatupadu didalam Negeri, kedua; saling bersikap jujur,
ketiga; berkata benar, keempat; saling membela, kelima; bersama dalam
keadaan susah , bersama dalam keadaan senang, keenam; yang dibawah tidak
anarkis terhadap atasannya, yang diatas tidak akan absolut terhadap
bawahannya, ketujuh; tidak segan-segan memberi pada sepantasnya, kedelapan;
saling mengakui kelemahan yang sebenarnya.
c. Yang dinamakan pemimpin, disebut orang yang menjadi orang tua terhadap
sesamanya orang tua, sebab ada tiga macam orang tua, pertama; orang tua
kehilangan akal, orang tua pikun, kedua; orang tua tanduk kerbau, semakin tua
semakin tertutup pikirannya, sudah beranak bercucu, tapi tak mengetahui adat
kebiasaan, ketiga; orang tua yang mengetahui anak cucunya dan menunjuki
jalan baik (benar), mengetuai sesamanya orang tua, diterima nasehatnya dan
diikuti tingkah lakunya.
b. Kata Puang Ri Maggalatung, ada empat sifat pemegang bicara itu dan hanya
satu yang mendatangkan kebaikan negeri yaitu jika amarahnya pada orang yang
dipergunakan memutus perkara, diingatnya pada waktu bersalah padanya, lalu
itulah yang dipukulkan, sedangkan pada hakekatnya orang dipihak benar lalu
dipersalahkannya, maka sifat apilah yang bergerak. Adapun api itu berbuat
besar dan tak memandang akibatnya. Kedua, bicara yang merusak negeri
kegembiraannya kepada seseorang yang dipakai memutus, sebab telah diberikan
kepadanya harta benda oleh orang yang dibicarakan, itulah mengambil sogokan,
maka sifat anginlah sifatnya. Adapun angin itu bertindak kuat, tetapi tidak jujur,
hanya ada yang dapat dijalani lalu disuruhnya menjalan, pernah dari Barat,
pernah dari Timur. Ketiga, pabbicara yang merusak negeri, ialah belas
kasihannya yang dipakai memutus perkara. Itulah pabbicara yang menjerat,
yang seharusnya dipersalahkan tetapi dibenarkannya. Sifat airlah yang bergerak.
Adapun air itu pintar dan teliti, tetapi tidak ada getangnya (tidak tegas), dimana
daratan rengah, dimana yang hina, kesalahan mengalir. Keempat,
dipertimbangkan kedua belah pihak akar bicara yang empat, diteliti semua
dimana ia dapat menahari dan memohon kepada Dewata Tunggal, agar dapat
menahari an memohon kepada Dewata Tunggal, agar tak dikiri tak dikanan, tak
didepan, tak dibelakang, tak diatas, tak dibawah, tak memandang kebawah, tak
memandang keatas. Tak ada yang hendak diambil selain daripada apa yang
menurut kata hatinya benar dan mencahari kebenarannya. Yang bersalah dicari
kesalahannya, dilihatnya ( ditemuinya) yang dua itu, maka diserahkannya
kebenaran kepada yang benar dan diberinya pula kesalahan ke-pada yang salah.
Berkata orang yang salah, kebenarannya itulah sifat tanah yang bergerak, jujur
dan kuat, memperhadapkan juga dan tidak diperhadapkan, mengumpulkan dan
tidak dikumpulkan, menengadahkan dan tidak ditengadahkan, itu peradilan yang
mendatangkan kebaikan negeri.
III. SIRIK
a. Berkata Arung Bila, bersikaplah (sebagai) manusia, agar menjadi baik bawaan
hatimu, karena berkata orang dahulu kala, enam macamnya perbuatan baik
makhluk manusia, sehingga disebut orang beruntung, dan adapun perbuatan
yang enam macamnya itu, semuanya bersumber dari bawaan hati yang baik,
pertama ; untung kejujuran , kedua; untung perkataan benar, ketiga; dinamakan
kemujuran yang stabil, keempat; disebut untung sirik, kelima; untung
kepandaian, keenam untung kebenaran, dan adapun keuntungan orang yang
stabil (tegas), banyak keturunanya, dan adapun keuntungan orang yang berkata
benar, diiba ratkan perahu yang dimuati, adapun keuntungan, dan adapun
keuntungan orang yang jujur (ialah) panjang usia, banyak keturunannya, dan
adapun keuntungan sirik itu, banyak sahabatnya, juga ditempati menyimpan
rahasia oleh raja, dan adapun untungnya orang pandai, akan menjadi kaya, dan
adapun keuntungan rang berani, ia akan menjadi perisai bagi negeri.
b. Berkata Arung Bila, sepuluh juga penutupnya pintu dilalui setan masuk, yang
pertama keinginan yang berlebih-lebihan saya tutuplah yang sirik, kedua dusta
saya tutuplah dengan takut kepada Allah S.W.T, etiga banyak kata-kata (bicara)
yang bukan memuji kepada Tuhan, saya tutuplah dengan diam, keempat;
kemiskinan (kesengsaraan) yang amat/sangat, saya tutuplah dengan kesabaran,
kelima; bergurau artinya main-main atau kegirangan yang berlebih-lebihan, saya
tutuplah dengan bersyukur kepada Allah SWT, keenam; panjang angan-angan
yang tak menentu, saya tutuplah dengan berkata sudah demikian (harusnya),
kedelapan; menduga (memfitnah) sesamaku manusia kepada keburukan, saya
tutuplah dengan penyerahan diri pada Tuhan, kesembilan; ketakburan, saya
tutuplah dengan merendahkan diri, kesepuluh; karena dipuji diri, saya tutuplah
dengan mengingat kepada Tuhan.
IV. PENUTUP
18. Namun sebenarnya dalam banyak hal. Modernisasi menunjang tetapi tidak
menggantikan tradisi; tingkah laku, kepercayaan serta berbagai ragam modern,
hanyalah ditambahkan pada hal-hal yang sama dari tradisi. Adalah keliru bila
menganggap bahwa tradisi dan modernitas adalah dua hal yang tidak bisa
berdampingan.
I. PENDAHULUAN
1. Bila menelaah pemikiran didunia Barat maka pertama-tama perhatian selalu tertuju
kenegeri Yunani Kuno karena disanalah dimulai pemikiran sedemikian itu secara
sadar. Kitab-kitab yang tertib pada masa kini yang berasal dari negeri Barat
mengenai pemikiran-pemikiran terutama pemikiran atau teori-teori politik sekurang-
kurangnya beberapa pendapat dari zaman itu masih tetap disinggung seperti dialog
Socrates, dialog Plato, logika Aristoteles.
2. Demikian halnya apabila menelah pemikiran-pemikiran Masyarakat Bugis dahulu,
kita dapat menemukan nama-nama tokoh pemikir Bugis dan pemikirannya, ada
dalam bentuk perejanjian Raja yang memerintah dan raja-raja pendampingannya
(Menteri-Menterinya), perjanjian Raja yang memerintah dengan wakil-wakil
rakyatnya, ada pula dalam bentuk Pappaseng (petuah dan nasehat ) serta dalam
bentuk percakapan-percakapan atau dialog-dialog.
3. Bahwa masyarakat Bugis dahulu kala memiliki ahli pemikir, diakui oleh pejabat
Belanda antara lain Controleur W.M. Remeeus dalam Memorie van Afgetreden
Controleur I Ste klasse van Wadjo dengan kalimat (terjemahan bebas) sebagai
berikut :
“ Bahwa tidak ada yang lebih baik kecuali mengakui masyarakat Bugis dahulu
mempunyai ahli-ahli pemikir”.
Pemikiran-pemikiran yang lahir daritokoh-tokoh ahli-ahli pemikir Bugis pada
dasarnya tidak banyak bedanya dengan pemikiran-pemikirn yang masih hangat
dibicarakan pada masa kini yakni bagaimana susunan masyarakat sebaiknya? Siapa
yang sebaiknya memerintah ? bagaimana kedudukan individu dalam masyarakat?
4. Kalau kita ingin mengemukakan seluruh tokoh-tokoh ahli pemikir Bugis, kita perlu
menjelajahi dua kurun zaman dalam lintasan sejarah masyarakat Bugis yaitu :
- kurun zaman yang I disebut zaman GALIGO
dinamakan demikian karena seluruh peristiwa sejarah dalam kurun zaman ini
tertuang dalam suatu karya sastera yang besar yang diberi nama LA
GALIGO. Adapun pemberian nama atas buku ini ada kecenderungan
mengabadikan nama LA GALIGO putera dari SAWERIGADING, tokoh
terpenting dalam kebudayaan Bugis dari Luwu yang mengawini WE CUDAI
DAENG RISOMPA PUNNABOLAE RI TANETE dari kerajaan Ugi/Cina
(tidak ada hibungan dengan Cina/Tiongkok), wilayah kerajaan ini kini
merupakan bahagian dari kerajaan Wajo yang diperkirakan lahir pada abad
XIII atau awal abad XIV, kini dikenal sebagai Daerah Tingkat II Wajo.
- Kurun zaman yang II disebut zaman LONTARAK
Dinamakan demikian, karena seluruh kejadian dan peristiwa yang menyangkut
kerajaan-kerajaan yang pernah ada ditanah Bugis diabadikan dalam buku yang
bernama LONTARA. Mengenai Lontara ini, menurut catatan bahwa zaman
pemerintahan ARUNG MATOA yang ke XXXIV LA MAPPAJUNG
PUANNA SALEWO (1961-1967) beliau bersama dengan ARUNG
BETTEMPOLA LA SANGAJI PUANNA LA SENGENG telah
mengumpulkan lontara-lontara dari kerajaan Luwu, Bone dan Gowa dan
menyuruh menguji keasliannya kepada ahli lontara di Wajo. Dari hasil
pengujian, maka isi dari lontara ATTORIOLONGNGE RI WAJO dinilai
autentik.
Buku-buku yang lain memuat nama-nama ahli-ahli pemikir Bugis dan
pemikirannya dikenal dengan nama judul antara lain LA TOA,
BUDISTIHARA, INDRA PATRA.
Tentang LA TOA, dapat dikemukakan, bahwa buku ini mulai disusun kurang
lebih tahun 1582 setelah berlangsungnya Musyawarah TellumpoccoE (Bone,
Wajo dan Soppeng), dikampung BUNNE TIMURUNG – Kerajaan Bone, yang
telah melahirkan perjanjian TellumpoccoE, dimana tiga tokoh penting ahli
pemikir Bugis ikut mengambil peranan sebagai penentu dalam musyawarah
tersebut. Ketiga tokoh penting tersebut adalah LA MELLONG TO
SUWALLE TAUTONGENG MACCAE RI LALIDDONG (terkenal
dengan gelar KAJAO LA LIDDO) dari Kerajaan Bone, LA paturuisi TO
MADDUALENG dari kerajaan Wajo dan TO PACALEPPANG dari kerajaan
Soppeng.
Buku LA TOA tersebut kemudianmengalami perobahan-perobahan dan
perbaikan-perbaikan sampai abad kew-XVIII, sampai pada bentuknya
sekarang, seluruhnya terdiri dari 265 alinea.
Tentang buku yang terkenal dengan nama BUDISTIHARA, judul sebenarnya
adalah PAU-PAU RI KODONGNA TANA WAJO KUWAETOPA PAU-
PAUNNA SULTANULINJILAI, diterbitkan di Ujung pandang pada tahun
1863, tebalnya 596 halaman.
Sedang mengenai INDRA PATRA tampaknya kini cenderung terlupakan,
namun dahulu dikalangan istana di kerajaan Bugis menjadi bacaan putera-
putera mahkota.
Catatan Penyusun
Maka lahirlah faktor-faktor antara lain yang disebut sebagai aspek sirik itu, yakni :
1. Peristiwa Silariang (Minggat).
2. Peristiwa Ditempeleng/ ditendang, karena hal ini menyinggung nilai-nilai
kehormatan.
3. Peristiwa Mengingkari Janji, karena mengingkari pada umumnya malahirkan rasa
ketersinggungan/menyentuh masalah-masalah aspek kehormatan secara mendasar.
Yang karenanya Memerlukan pengorbanan jiwa dan raga (jasmaniah).
4. Dan lain-lain sebagainya yang dapat menyentuh perasaan ketersinggungan
kehormatan harga diri maupun lingkungan (rumpun) pewaris-pewari budaya sirik
tersebut.
Nilai Positif
1. Bertolak dari hakekat Sirik, yakni masalah harga diri atau pride, maka Sirik sesungguhnya
merupakan hal yang sangat positif untuk dikembangkan bagi kepentingan kemajuan
masyarakat yang sudah berlembaga dengan tatanan nilai-nilai budaya ini.
2. Sirik pada pokoknya bersumber pada dasar dan nilai-nilai bentuk ikatan dalam masyarakat
mentaati hukum, peraturan, perjanjian, dan lain-lain bentuk ikatan dalam masyarakat
(community) sehingga dapat menjaga kelestarian hidup sesuatu kelompok masyarakat.
3. Dengan prinsip sirik, mendorong masyarakat untuk tidak tertinggal dalam bentuk
kemajuan apapu. Sebab motivasi terhadap rasa tidak ingin ketertinggalan adalh bersumber
pada sirik itu sendiri.
4. Sirik adalah merupakan harkat yang berlembaga dan hodup terus dihati masyarakat,
berarti ia positif.
5. Sirik dapat dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan kemajuan masyarakat disebabkan
oleh rasa solider yang tinggi terhadap nilai-nilai saja yang bersikap untuk kepentingan
kemajuan masyarakat.
6. Sirik oleh masyarakat Sulawesi Selatan telah dianggap sebagai suatu nilai budaya yang
harus dipegang teguh (terus). Sebab tanpa sirik, manusia ini dianggap sangat rendah nilai
kemanusiaanya (harkatnya).
7. Dengan memberikan bntuk dari segi basic Moral tentan sirik yang positif, maka sikap
budaya ini mendorong masyarakat untuk mendukung masalah Kamtibmas. Utamanya
dalam permasalahan pembinaan moral bangsa yang diarahkan pada nilai-nilai semangat
juang 1945 dan pengamalan Pancasila serta ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.
8. Sirik dengan kaitannya sebagai unsur kewiraan / kepatriotikan kepahlawanan / ketahanan,
dapat dijadikan unsur-unsur ketahanan. Yakni pantang menyerah kalah pada musuh atau
pada setiap bentuk tantangan yang timbul (menantang kebathilan), dalam kerangka
menegakkan yang haq. Yakni, pendirian (sikap) yang tak tergoyahkan, yang dalam istilah
Bugis-Makassar disebut : Toddopuli. Yakni, Memaku dalam sikap pendirian. Tidak
tergoyahkan dalam keyakinan.
Sisi Negatifnya
1. Sirik banyak diselewengkan oleh pribadi-pribadi pembawanya, menyimpang dari
harkatnya sebagai aspek kebudayaan yang nilainya luhur. Karena terkadang perbutan
yang negative dan sifatnya sangat sepele atau tidak prinsipil dikait-kaitkan dengan
Sirik yang bernilai positif (mengandung nilai kulturil yang agung).
2. Kadangkala nilai Sirik itu ditunggangi untuk kepentingan-kepentingan mencapai
sasaran-sasaran atau melindungi perbuatan-perbuatan yang negatif dari semantara
pelaku-pelaku khausu kejahatan tersebut (lihat contoh-contoh sirik pada halaman
terdahulu yang mengambarkan proses terjadinya erosi dalam penilain sirik terswebut
sebagai suatu yang bernilai tinggi.
Saran-saran / Pendapat-pendapat
1. Sirik perlu digali sebagi suatu aspek budaya bangsa kita sebagai sub kultur budaya
bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Guna dimanfaatkan sebagai ramuan-ramuan
pembinaan kebudayaan Nasional dan aspek-aspek pembangunan Nasional pda
umumnya yang Bhineka Tunggal Ika itu.
2. Seminar tentang sirik sangat positif artinya sebagai suatu pembahasan ilmiah dan
karya budaya. Utamanya karena sejalan dengan materi ketentuan-ketentuan GBHN
(Bidang Budaya) .
3. Sirik sebagai aspek budaya bangsa yang Bhineka Tunggal Ika ini perlu diangkat nilai-
nilai positifnya. Digali nilai-nilai mutiaranya, demi kepentingan identitas bangsa dalam
kerangka penghayatan dan pengamalan pancasila
4. Perlu ditempu langkah-langkah agar nilai-nilai sirik tersebut, terpisahkan dari nilai-
nilai emosional. Dengan kegiatan-kegiatan berupa merasionalkan masyarakat
bersangkutan Melalui sarana-sarana pendidikan. Hal ini memungkin kan dengan
berkembang pesatnya dunia pendidikan yang kini merata sampai ke pelosok-pelosok
desa dimana desa sebagai tempat pesemaian sirik itu masih merupakan sesuatu yang
berakar (melembaga).
5. SIRIK sebagai manifestrasi harga diri dan pegangan hidup untuk tidak berbuat yang
bercela atau a’moral,disamping merupakan tekat untuk memperkuat iman untuk
mencapai sukses yang dicita-citakan serta daya dorong untuk mengatasi hambatan
yang dihadapi perlu dilestarikan sebagai aspek budaya bangsa yang Bhineka Tunggal
Ika dan upaya mengamalkan nilai-nilai luhur falsafah pancasila. Dalam pengertian
bahwa kebudayaan Nasional kita, adalah puncak-puncak Air Republik ini. Karena
telah disepati bahwa: nilai harkat sesuatu bangsa diukur dari nilai harkat kebudayaan
masyarakat.
Lampiran:
Hasil Rumusan Tudang Sipulung Kebudayaan Majelis Pertimbangan Buidaya Daerah
Propensi Sulawesi Selatan tanggal 15-17 Juli 1989.
Malam tanggal 16 Juli 1989,pukul 20.00 kita baru saja mengkhiri rangkaian diskusi tentang
Nuansa Kebudayaan kita. Semua ini kita lakukan sebagai suatu ikhtiar mencari jalan ;
bagaimana memanfaatkan Budaya Tradisional dalam proses dan kreativitas Budaya
Kontemporer.
Berbagai permasalahan dibicarakan selama dua hari dalam sebuah symposium yang
kita sebut Tudang Sipulung Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan. Ada sepuluh buah
makalahyang dibicarakan selama dua hari ini. Seluruh ditulis dengan penuh kesungguhan,
mereka seakan-akan mengajak kesuatu wawasan kreativitas budaya kontemporer sementara
itu kita pun diperhadapkan pada realita bahwa sesungguhnya perjalanan kita kearah itu
tersendat atau mungkin meluncur tanpa arah. Jika hal itu dibiarka terus-menerus, dapat
dipastikan akan mengerdilkan kreativitas budaya kita.
Tudang Sipulung yang semiula direncanakan hanya dihadiri oleh 60 orang,ternyata
kemudian meningkat menjadi 83 orang. Tanggapan dari Sulawesi Selatan,sungguh sangat
mengembirakan. Semua ini seakan satu pertanda akan lahirnya suatu generasi budaya yang
berkualitas di Negeri ini.
Tujuh orang Nara Sumber yang penuh kebijakan dan pengetahuan yang luas tentang
manusia dan kebudayaan Sulawesi Selatan telah memberikan pula inspirasi yang tidak
kering-kering dalam Tudang Sipulung ini. Semua ini mendorong terciptanya iklim jerni.
Ketulusan dan kesungguhan semua peserta seminar selama dua hari Tudang Sipulung
memungkinkan lahirnya nberbagai butir-butir rumusan sebagai rancangan kebijakan dapat
diperoleh dari Tudang Sipulung ini :
1. Perlu adanya upaya menerjemahkan berbagai literature asing tentang Sulawesi selatan
ke bahasa Indonesia. Hal ini penting karena banyak informasi tentang Sulawesi selatan
yang harus diketahui dari persepsi penulis Asing. Dengan tetap bersikap kritis terhadap
hasil-hasil terjemahan itu.
2. Upaya penerbitan atau peningkatan kualitas dan kuantitas terhadap karya-karya terbitan
local sangat dibutuhkan. Berbagai jenis naskah-naskah local serta bermacam-macam isi
kandungannya perlu segera diterjemahkan dan diterbitkan.
3. Untuk meningkatkan kreativitas bidang kesenian dan kebudayaan diperlukan kerja
sama antara Pemerintah, seniman, budayawan, ilmuwan, dan masyarakat.
4. Professionalisasi pengelolahan kesenian, baik dalam penciptaan mupun dalam
pemasaran sangat perlu untuk mendorong perkembangan kesenian di Sulawesi Selatan.
5. Refungsionalisasi organisasi-organisasi kesenian ditunjukan kepada berperannya grup-
grup kesenian sebagai Sanggar-Sanggar dan Bengkel-Benmgkel kerja. Untuk memacu
prestasi kesenian dan sanggar-sanggar/bengkel-bengkel kerja tersebut, Dewan kese
nian Makassar hendaknya berperan dalam memberikan pemantauan, dorongan dan
evaluasi di bidang Seni kontemporer dan BKKNI di bidang Seni Tradisional.
6. Tudang Sipulang yang kita lakukan ini adalah upaya yang kita tempuh untuk
memantapkan sikap mental manusia Sulawesi Selatan pada inti budayanya yang paling
esensial, Sirik, sehingga terbangun perilaku yang dapat menjawab tantangan zaman.
7. Menciptakan iklim berkesenian yang baik untuk melahirkan seniman yang berkualitas.
Harus disadari bahwa yang terpenting dari seorang sniman adalah kualitas karya dan
kualitas pri-badinya, bukan statusnya dalam organisasi kesenian atau organisasi
kebudayaan. Karena itu perlu ditumbuhkan kemandirian untuk tampil sebagi pribadi
yang tangguh.
Sosok budaya tradisional Sulawesi Selatan ada-lah budaya yang telah Mapan, ia lahir
dari kearifan manusia yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Karena itu unsur budaya
yang diciptakannya bersifat adaptif dan selektif. Unsur-unsur itu-lah yang menjadi
ladang kreativitas yang harus kita garap di Sulawesi Selatan.
9. 0rganisasi-organisasi kebudayaan di Sulawesi Selatan tampaknya mandek dan kurang
berfungsi. Untuk refungsionalisasi organisasi-organisasi kebudayaan, pemerintah
Daerah Sulewesi Selatan perlu memberikan perhatian yang serius.
10. Untuk maksud butir tersebut diatas, diharapkan Majelis Pertimbangan Budaya
Daerah Propinsi Sulawesi Selatan dapat menjadi jembatan antara pemerintah Sulawesi
selatan dengan organisasi-organisasi kebudayaan. Sebaliknya Majelis Pertimbangan
Budaya Daerah kita jadikan lembaga konsultasi tentang hasil karya budaya/kesenian
dari berbagai sumber dengan tidak membedakan latar belakang.
11. kebudayaan di Sulawesi Selatan yang hendak dikembangkan adalah seluruh unsur
budaya, termaksud kesenian lama dan baru, bahkan kesenian yang dikembangkan oleh
seniman garda depan.
12. Majelis Pertimbangan Budaya Daerah Propinsi Sulawesi Selatan hendaknya berperan
semaksimal dan seobjektif mungkin dalam mengambil langkah-langkah penjernihan
budaya sulawesi selatan.
Makassar,16 juli 1989
Tim Perumus: