Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada saat stelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia berupaya untuk
memperbaharui tata Hukum Agraria yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan
negara baru, yaitu dengan menciptakan kesejahteraan rakyat dengan menetapkan UUPA
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). UUPA tidak
hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai perombakan Hukum Agraria. Sesuai
dengan namanya:Peraturan Dasar Pokok-pokok Agaria, UUPA juga memuat lain-lain
pokok persoalan agraria serta penyelesaiannya. Penyelesaian persoalan-persoalan
tersebut pada waktu terbentuknya UUPA merupakan Program Revolusi di Bidang
Agraria, yang disebut Agrarian Reform Indonesia.
Landreform muncul dikarenakan tidak ada keadilan social dalam masyarakat
pertanian karena adanya pembedaan atau kesenjangan antara tuan-tuan tanah dengan
petani yang menuntut keadilan social untuk mencapai tanahnya sendiri untuk
mendapatkan kemerdekaaan ekonomi dan politik untuk melepas ketergantungan dari
para tuan tanah. Landreform pertama kali muncul di Negara-negara Eropa terutama di
Negara Perancis yang bersamaan dengan Revolusi Perancis.
Bagian yang cukup penting dari UUPA antara lain ialah yang bersangkutan
dengan ketentuan-ketentuan landreform, seperti ketentuan mengenai luas maksimum-
minimum hak atas tanah dan pembagian tanah kepada petani tak bertanah. Oleh Noer
Fauzi menyatakan bahwa semenjak tanggal 24 September 1960, rakyat petani
mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan
pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya demi kemakmuran. Landreform
meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-
hubungan yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah.
Berkenaan dengan kenyataan objektif bahwa UUPA mengandung ketentuan-
ketentuan pokok tentang Landreform tersebut maka A.P.Parlindungan menyatakan
UUPA sebagai induk dari ketentuan Landreform Indonesia. Mulai dari menimbang
hingga Pasal 19 dan Ketentuan-ketentuan Konversi Hak atas Tanah. Dengan membaca
2

Konsiderans maupun Penjelasan dari UUPA dan Pasal 1 hingga Pasal 19 UUPA, serta
Ketentuan Konversi akan jelas tentang penetapan Landreform Indonesia.
Sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia dan tujuan akan mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, maka UUPA Pemerintah
mengeluarkan UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
sebagai pelaksanaan pasal 17 UUPA. Undang-undang ini dikenal sebagai Undang-
undang Landreform. Dengan diberlakukannya UU Landreform ini diharapkan dapat
mendukung terwujudnya segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Program
Landreform. Sehingga menciptakan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan
sejahtera, terutama kaum tani sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Pancasila.

1.2 Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah makalah ini, ialah:
1. Apa yang dimaksud dengan Landreform?
2. Apa tujuan Landreform Indonesia?
3. Apa program Landreform Indonesia?
4. Apa yang termasuk dalam ruang lingkup Landreform Indonesia?
5. Siapa yang menyelenggarakan Landreform Indonesia?
6. Bagaimana pelaksanaan program Landreform Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Mengetahui pengertian Landreform.
2. Mengetahui tujuan dari diselenggarakannya Landreform Indonesia.
3. Mengetahui program dari Landreform Indonesia.
4. Mengetahui ruang lingkup dari Landreform Indonesia.
5. Mengetahui siapa yang menyelenggarakan Landreform Indonesia.
6. Mengetahui pelaksanaan program Landreform Indonesia.




3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Landreform
Pengertian landreform menurut UUPA No.5 tahun 1960 maupun UU No 56
PRP/1960 adalah pengertian dalam arti luas sesuai dengan perumusan FAO. Landreform
dianggap meliputi suatu program tindakan yang saling berhubungan yang bertujuan
untuk menghilangkan penghalang-penghalang dibidang ekonomi, social yang timbul dari
kekurangan-kekurangan struktur pertanahan.
Dalam kegiatan pelaksanaan perombakan Hukum Agraria di negara kita di dalam
menuju masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila maupun UUPA, yang
pada hakikatnya memuat Agrarian Reform atau Panca Program yang terdiri dari:
1. Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional
dan pemberian jaminan kepastian hukum.
2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.
3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang
bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran
dan keadilan.
5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya seta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya
dukung dan kemampuannya.

Keseluruhan yang tersebut di atas dikatakan juga Landreform dalam arti luas.
Landreform dalam arti luas juga disebut Land Use Planning atau Perencanaan Tata Guna
Tanah. Sedangkan Landreform dalam arti sempit hanya mencakup program yang ke-4,
yaitu perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan
hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah. Program ke-4 ini lazim disebut
Program Landreform. Menurut Boedi Harsono, Landreform dalam arti sempit
merupakan serangkaian tindakan di dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Itulah
sebabnya mengapa ada sebutan Landreform dalam arti luas dan Landreform dalam
arti sempit, seperti yang dikatakan oleh Effendi Perangin.
4

2.2 Tujuan Landreform Indonesia
Dewan Pertimbangan Agung menyatakan tujuan landreform adalah agar
masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara dan khususnya taraf hidup tani
meninggi dan taraf hidup seluruh rakyat jelata meningkat. Selain itu bertujuan untuk
memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia terutama
kaum tani.
Sesuai dengan pidato Menteri Agraria, Sadjarwo tanggal 12 September 1960
yang mengantar Rancangan Undang-undang di muka sidang pleno DPR-GR,
mengatakan bahwa tujuan dari diselenggarakannya Landreform di Indonesia, yaitu:
1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang
berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula dengan
merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner guna merealisir
keadilan sosial.
2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai
objek spekulasi dan objek pemerasan.
3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara
Indonesia, baik laki-laki maupun wanita yang bersifat sosial. Suatu pengakuan dan
perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat,
bersifat perseorangan dan turun-temurun tetapi yang berfungsi sosial.
4. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan
tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas
maksimum dan minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga, bisa seorang
laki-laki ataupun wanita. Dengan demikian, mengikis pula sistem liberalisme dan
kapitalisme atas tanah serta memberikan perlindungan terhadap golongan yang
ekonomi lemah.
5. Untuk mempertinggi produksi dan mendorong terselenggaranya pertanian yang
intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong-royong
lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil dibarengi dengan
sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani.
Menurut Menteri Sajdarwo, Landreform akan dibarengi dengan pembukaan
tanah-tanah baru dan disinkronisir dengan perkembangan industri serta transmigrasi.


5

Jadi jelaslah bahwa tujuan Landreform di Indonesia adalah meningkatkan
penghasilan dan taraf hidup petani terutama petani kecil dan petani penggarap tanah
sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju
masyarakat yang adil dan mekmur berdasarkan Pancasila.

2.3 Program Landreform Indonesia
Sesuai dengan tujuan tersebut di atas dan mengingat situasi dan kondisi agraria di
Indonesia pada waktu itu, maka Program Landreform meliputi:
a. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah.
b. Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut absentee atau guntai.
c. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang
terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas Swapraja dan tanah-tanah negara.
d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan.
e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
f. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan
tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

2.4 Ruang Lingkup Landreform Indonesia
2.4.1 Pembatasan Luas Maksimum Penguasaan Tanah
Pokok-pokok ketentuan mengenai hal-hal tersebut diatur dalam pasal 7 dan
pasal 17 UUPA No. 5 Tahun 1960. Apa yang diatur dalam pasal 7 diatur lebih
lanjut dalam pasal 17. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas,
merugikan kepentingan umum karena terbatasnya persediaan tanah pertanian
khususnya di daerah-daerah yang padat penduduknya. Hal itu menyebabkan
menjadi sempitnya, kalau tidak dapat dikatakan hilangnya sama sekali
kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri. Menurut taksiran
60% dari jumlah petani adalah petani tak bertanah. Mereka itu menjadi buruh tani
atau penggarap tanah kepunyaan orang lain (penyewa, pembagi hasil).
Yang dilarang oleh pasal 7 itu bukan hanya pemilikan tanah yang melampaui
batas, tetapi penguasaan tanah. Penguasaan itu selain dengan Hak Milik dapat
dilakukan juga dengan Hak Gadai, sewa (jual tahunan), usaha bagi hasil dan lain-
lainnya. Sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 17 UUPA No. 5 Tahun 1960,
6

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perppu) No. 56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai
diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1961. Perppu tersebut kemudian ditetapkan
menjadi Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960. UU No. 56/Prp/1960 terkenal
sebagai Undang-undang Landreform.

Ada 3 hal yang diatur dalam UU No. 56 tersebut:
1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.
2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah
itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil serta soal pengembalian.
3. Penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
Dengan demikian maka sungguhpun pasal 17 menunjuk pada semua macam
tanah, UU No. 56 tersebut baru mengatur soal tanah pertanian saja. Maksimal
luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya akan diatur
sendiri dengan suatu Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang
dimaksudkan itu hingga kini belum ada.

2.4.2 Redistribusi tanah
Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 jo No. 41 Tahun 1964. Kedua PP
ini memuat peraturan tentang tanah yang akan dibagikan (diredistribusikan).
Ternyata tanah yang dibagikan itu tidak terbatas pada tanah kelebihan dari batas
maksimal yang diambil oleh Pemerintah, tetapi juga tanah yang diambil oleh
Pemerintah karena pemiliknya absentee, tanah swapraja dan bekas swapraja, serta
tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan lebih lanjut
oleh Menteri Agraria, misalnya tanah-tanah bekas perkebunan besar, tanah-tanah
bekas tanah partikelir. Kedua PP dimaksud di atas memuat pula peraturan tentang
pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik, pembagian tanah dan syarat-
syaratnya. Selain dari redistribusi, kedua PP itu memuat pula:
a) Pembentukan Yayasan Dana Landreform
b) Perlunya dibentuknya Koperasi Pertanian
c) Larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee
7

Mengenai a, b dan c sebenarnya bukan pelaksanaan dari pasal 7 dan 17 UUPA
tetapi aturan lebih lanjut dan azas yang dicantumkan dalam pasal 10 UUPA
(tanah harus diusahakan secara aktif oleh pemiliknya).

2.4.3 Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee
Azas tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya yang
dimuat dalam pasal 10 ayat 2 UUPA diatur pelaksanaannya dalam pasal 3 PP No.
224/1960 dan pasal 1 PP No. 41/1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e). Pemilikan
tanah pertanian secara absentee atau di dalam bahasa Sunda: guntai, yaitu
pemilikan tanah yang letaknya di luar daerah tempat tinggal yang empunya.
Perubahan tersebut pada pokoknya melarang pemilikan tanah pertanian oleh
orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya. Larangan
itu tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang
berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak
antara tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan Panitia
Landreform Daerah Tingkat II masih memungkinkannya untuk mengerjakan
tanah tersebut secara efisien.

Adakah pengecualian dari larangan absentee itu? Ada. Dikecualikan dari
larangan absentee ialah:
Mereka yang menjalankan tugas negara
Mereka yang sedang menunaikan kewajiban agama
Mereka yang mempunyai alasan khusus yang dapat diterima oleh Menteri
agraria

Bagi pegawai negeri dan pejabat militer serta yang dipersamakan dengan
mereka, yang sedang menjalankan tugas negara, pengecualian tersebut terbatas
pada pemilikan tanah pertanian secara absentee seluas 2/5 dari luas maksimum
yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan. Di daerah yang sangat padat,
misalnya batas itu adalah 2/5 x 5 ha = 2 ha. Di dalam pengecualian itu termasuk
pula pemilikan oleh istri dan anak yang masih menjadi tanggungannya. Tetapi
sewaktu-waktu seorang pegawai negeri itu yang dipersamakan dengan mereka itu
berhenti dari menjalankan tugas negara, misalnya pensiun, maka ia wajib
8

memenuhi ketentuan tersebut di atas di dalam waktu 1 tahun terhitung sejak ia
mengakhiri tugasnya. Jangka waktu itu dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria
jika ada alasan yang wajar.
Apakah tanah absentee itu boleh dialihkan/dihibahkan kepada pegawai negeri
yang tidak bertempat tinggal di kecamatan tempat tanah yang bersangkutan?
Tidak boleh, karena kemungkinan bagi seorang pegawai negeri (termasuk istri
dan anaknya) untuk memiliki tanah pertanian secara absentee itu pada azasnya
hanya terbatas pada pemilikan tanah yang sudah ada pada tanggal 24 September
1961. Dalam pasal 3d dalam PP No. 41 Tahun 1964 bahkan ditegaskan bahwa
semua bentuk pemindahan hak atas tanah pertanian yang mengakibatkan
penerima hak memiliki tanah secara absentee dilarang.
Tetapi biarpun demikian, mengingat ketentuan dalam UUPA para pegawai
negeri boleh memperoleh dan mempunyai tanah pertanian guna persediaan hari
tuanya. Menteri Agraria tidak berkeberatan untuk mengikut tafsiran bahwa
sebagai pengecualian dan dalam batas-batas tertentu pula pemberian hibah
kepada pegawai negeri yang absentee dapat juga dimungkinkan, tetapi (jumlah)
tanah pertanian yang dimilikinya secara absentee tetap tidak boleh melebihi 2/5
luas maksimum untuk daerah yang bersangkutan.

2.4.4 Peraturan Kembali Gadai Tanah Pertanian dan Tanaman Keras
Pasal 7 UU No. 56/Prp/1960 memuat ketentuan-ketentuan tentang
pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan. Ketentuan-
ketentuan itu merupakan perubahan daripada peraturan gadai-menggadai tanah
menurut hukum adat. Dengan Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No.
Sk/10/Ka/1963 ketentuan pasal 7 tersebut ditegaskan berlaku juga terhadap gadai
tanaman keras, seperti pohon kelapa, pohon buah-buahan dan lain sebagainya,
baik yang digadaikan berikut atau tidak berikut tanahnya.
Gadai adalah hubungan hukum antara seorang dengan tanah kepunyaan orang
lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai itu belum
dikembalikan, maka tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai, selama itu
hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai
atau yang lazim disebut penebusan kembali tanahnya tergantung pada kemauan
dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan.

9

Gadai-menggadai menurut ketentuan hukum adat mengandung eksploitasi,
karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan
setiap tahunnya umumnya jauh lebih besar daripada apa yang diterima pemilik
tanah. Untuk menghilangkan unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan itu, pasal
53 UUPA menghendaki supaya gadai-menggadai diatur. Sepanjang yang
mengenai tanah pertanian hal itu diatur sekaligus dalam UU No. 56/Prp/1960,
karena mungkin ada hubungannya langsung dengan pelaksanaan ketentuan
mengenai luas maksimum.

2.4.5 Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
Sebagaimana diketahui, yang dimaksudkan dengan Perjanjian Bagi Hasil
menurut UU No. 2 Tahun 1960 adalah perjanjian yang diadakan antara pemilik
tanah dengan seseorang atau badan hukum yang disebut penggarap, berdasarkan
perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk
menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, yang hasilnya dibagi
antara kedua belah pihak menurut imbalan yang disetujui sebelumnya. UU No. 2
Tahun 1960 yang bertujuan untuk memperbaiki nasib para penggarap tanah milik
pihak lain, jika benar-benar dilaksanakan akan mempunyai efek yang sama
dengan penyelenggaraan redistribusi tanah kelebihan dan tanah absentee terhadap
penghasilan para petani penggarap. Mereka akan menerima bagian yang lebih
besar dari hasil tanahnya.

2.4.6 Penetapan Luas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian
Untuk mempertinggi taraf hidup petani, kepada mereka perlu diberikan tanah
garapan yang cukup luasnya. Oleh karena itu, maka pasal 17 UUPA selain luas
maksimum menghendaki juga pengaturan tentang luas minimumnya.
Berhubungan dengan itu dalam pasal 8 UU No. 56/Prp/1960 diperintahkan
kepada Pemerintah untuk mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani
sekeluarga memiliki tanah pertanian minimal 2 ha. Menurut penjelasannya, 2 ha
tanah pertanian itu bisa berupa sawah, tanah kering atau sawah dan tanah kering.
Ditetapkannya luas minimum tersebut tidak berarti bahwa orang-orang yang
mempunyai tanah kurang dari 2 ha akan diwajibkan untuk melepaskan tanahnya.
2 ha itu merupakan tujuan yang harus diusahakan tercapainya secara berangsur-
angsur (pasal 17 ayat 4 UUPA).
10

2.4.7 Larangan Pemecahan Pemilikan Tanah Pertanian
Sehubungan dengan apa yang diatur dalam pasal 8 UU No. 56/Prp/1960, maka
di dalam pasal 9 dijumpai ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk mencegah
pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang kurang
dari 2 ha, dengan mengadakan pembatasan terhadap pemindahan hak milik atas
tanah pertanian. Tanpa pembatasan-pembatasan itu, maka dikhawatirkan bukan
saja usaha untuk mencapai minimum tersebut tidak tercapai tetapi bahkan kita
akan tambah menjauh dari tujuan itu. Dalam pada itu pembagian warisan yang
justru merupakan sebab utama daripada pemecahan pemilikan terbatasi. Dalam
tanah pertanian, atas dasar pertimbangan keagamaan tidak dibatasi. Dalam pasal 9
ayat 4 hanya ditentukan, bahwa mengenai bagian warisan tanah pertanian yang
luasnya kurang dari 2 ha dengan Peraturan Pemerintah. Tetapi yang akan diatur
itu bukan soal pembagian warisan, tetapi bagian warisan yang kurang dari 2
ha. Warisan yang dibagi bisa lebih dari 2 ha.

2.5 Aparatur Penyelenggaraan Landreform Indonesia
Selain Departemen Agraria, aparatur landreform yang pernah ada dalam
penyelenggaraan Landreform adalah:
a. Panitia Landreform
Penyelenggaraan Landreform dianggap bukan hanya tugas Departemen Agraria saja,
melainkan menyangkut pula bidang berbagai instansi lain. Oleh karena itu perlu
adanya koordinasi yang diwujudkan dalam bentuk Panitia-panitia Landreform mulai
dari tingkat pusat sampai desa. Dengan Keputusan Presiden no. 26 Tahun 1988
urusan Landreform berada di bawah Direktorat Pengaturan Penguasaan Tanah pada
Deputi Bidang Pengaturan Penguasaan dan Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan
Nasional. Di tingkat daerah ditugaskan pada Kantor BPN Wilayah Propinsi (Bidang
Pengaturan Penguasaan Tanah) dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.
Sedangkan mengenai organisasi dan tata penyelenggaraan Landreform telah diatur
sebelumnya dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1980 jo Keputusan Mendagri
No. 37 Tahun 1981 yang mencabut Keppres No. 131 Tahun 1961 jo No. 263 Tahun
1964. Kegiatan pelaksanaan tugas Landreform menurut pengaturan lama itu
dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan para
Gubernur/Bupat/Walikota/Camat/Kepala Desa selaku kepala wilayah yang
11

didampingi Panitia Pertimbangan Landreform tingkat
Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kotamadya.

b. Yayasan dana Landreform
Untuk memperlancar pembiayaan Landreform dan mempermudah pemberian
fasilitas-fasilitas kredit, pasal 16 PP No. 224 Tahun 1961 mewajibkan dibentuknya
suatu yayasan yang berkedudukan sebagai badan hukum yang otonom dengan nama
Yayasan Dana Landreform (YDL). Yayasan ini kemudian dibentuk dengan Akta
Notaris R. Kardiman, Jakarta No. 110.

c. Pengadilan Landreform
Untuk menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dalam melaksanakan peraturan-
peraturan Landreform, yang dianggap perlu dilakukan secara cepat agar tidak
menghambat program diperlukan badan pengadilan tersendiri dengan susunan,
kekuatan dan acara yang khusus. Dengan UU No. 21 tahun 1964, dibentuklah
pengadilan Landreform. Tetapi kemudian dibubarkan dengan UU No. 7 Tahun 1970
karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

2.6 Pelaksanaan Program Landreform Indonesia
Sejak mulai diselenggarakannya Landreform pada permulaan tahun 1961 dan
lebih-lebih setelah terjadinya peristiwa G 30 S/PKI seringkali dikemukakan anggapan
bahwa Landreform yang diselenggarakan itu adalah gagasan PKI, jadi suatu konsepsi
komunis. Dengan telah dibubarkannya PKI dan dilarangnya ideologi komunis menurut
mereka itu, pelaksanaan Landreform tidak perlu dilanjutkan lagi. Bahkan tanah-tanah
yang telah diredistribusikan kepada rakyat tani penggarap menurut mereka harus
dikembalikan kepada pemiliknya semula. Tindakan-tindakan itu sudah tampak di
beberapa daerah. Mulai dari itu kegiatan panitia Landreform kurang terdengar dan
karenanya timbul kesan seolah-olah Landreform di Indonesia tidak diperlukan lagi.
Suatu anggapan yang tidak benar. Diakui bahwa sejak pemberontakan G 30 S/PKI
memang terasa adanya perasaan takut dan lain-lain dari masyarakat dan aparat
Pemerintah untuk mengucapkan kata Landreform apalagi melaksanakannya, karena kata
Landreform itu diidentikkan dengan komunis. Padahal Landreform adalah kebijakan
pertanahan yang dilaksanakan di hampir semua negara untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
12

Perkembangan lebih lanjut dari Landreform di Indonesia dalam pelaksanaannya
mengalami stagnasi, tersendat-sendat dan tidak tuntas, sehingga terkesan dianaktirikan
dalam kebijakan pembangunan. Perubahan zaman dengan adanya liberalisasi
perdagangan menempatkan tanah sebagai komoditi membuat masalah ketimpangan
penguasaan dan pemilikan tanah semakin kompleks, dimana rakyat terutama petani kecil
diposisikan sebagai korban arus kapitalisme global. Ketimpangan dalam pemilikan dan
penguasaan tanah semakin namapak jelas akibat dari tidak maratanya
pendistribusian/pembagian tanah. Hal ini dapat dilihat dari gejala tanah-tanah tersebut
terakumulasi di tangan orang atau badan hukum tertentu.
Mengenai hasil pelaksanaan Landreform di Indonesia, tidak ada data yang akurat
mengenai pendaftaran tanah (Land Cadastre), pemilikan tanah secara minimal dan
maksimal, jumlah orang yang tidak mempunyai tanah, buruh tani, dan lain sebagainya.
Selain itu juga tidak ada data yang tersedia untuk mengetahui sejauh mana program
redistribusi tanah mempengaruhi baik kesejahteraan sosial maupun peningkatan produksi
pertanian.


















13

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Landreform di Indonesia memberikan ganti rugi yang layak di Indonesia.
Di Indonesia tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah diredistribusikan kepada para
petani penggarap dengan Hak Milik yang dipungut uang pemasukan.
Landreform Indonesia bertujuan untuk memperluas pemilikan tanah para petani kecil,
petani penggarap dan buruh tani.
Dalam perkembangan pelaksanaan Landreform di Indonesia mengalami stagnasi,
tersendat-sendat dan tidak tuntas, dimana hambatan utama pelaksanaan Landreform
adalah lemahnya kemauan politik dari Pemerintah, yang lebih mengejar pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Kebijakan ini kurang memberikan keberpihakan pada masyarakat golongan ekonomi
lemah, termasuk petani yang memang membutuhkan tanah.
Fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan masih terjadinya penumpukan
tanah oleh pihak tertentu. Kelangkaan tanah menyebabkan tanah memiliki nilai
ekonomi yang sangat tinggi.

3.2 Saran
Apabila melihat uraian di atas, maka Undang-Undang Pokok Agararia sebagai
induk Landreform pada dasarnya hanya berisikan hal-hal yang pokok saja, pengaturan
secara khusus dapat dijumpai di dalam Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya
yang tentu saja dapat berubah atau disempurnakan dan keseluruhannya bergantung pada
situasi dan kondisi yang berkembang. Maka dengan perkembangan masyarakat pada saat
ini serta kebutuhan akan tanah yang meningkat, program Landreform harus dituntaskan
pelaksanaannya yang tentu harus didukung oleh kemauan politik Permerintah, oleh
karena itu kebijakan pertanahan perlu untuk diperbaharui sesuai konsep pembaharuan
agraria dan paradigma baru yang mendukung ekonomi kerakyatan, demokratis dan
partisipatif.
Agar dapat dicapai hasil sebagaimana yang diharapkan, maka usaha itu perlu
disertai tindakan-tindakan lainnya, misalnya pembukuan tanah, pembukaan tanah
pertanian baru, industrialisasi, transmigrasi, usaha untuk mempertinggi produktivitas,
14

ketersediaan yang cukup dan dapat diperoleh pada waktunya dengan mudah dan murah
serta tindakan-tindakan lainnya. Selain itu juga diperlukan adanya penegakan hukum
yang pasti dan kesadaran akan aturan yang berlaku dari masing-masing anggota
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai