ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM
PERSARAFAN : MENINGITIS TUBERKULOSIS DI RUANG
19 A PERAWATAN PENYAKIT SARAF WANITA PERJAN RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Di Indonesia sejak tahun 1998 terjadi gejolak krisis multidimensi yang telah berdampak banyak terhadap segi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk krisis ekonomi yang mengakibatkan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan sandang dan pangan sangat rendah. Hal ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap tingginya angka kejadian penyakit diantaranya adalah tuberkulosis (TB). Apabila penyakit ini tidak diobati sampai tuntas akan menimbulkan berbagai komplikasi, salah satu komplikasi dari infeksi TB ini yang paling berbahaya apabila menyerang pada susunan saraf pusat atau yang biasa disebut meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebro spinal, dan spinal kolumna yang menyebabkan proses peradangan pada sistem saraf pusat (Suriadi, 2001 : 201) merupakan salah satu manifestasi dari penyakit TB yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang menyerang sistem saraf pusat. Meningitis pun harus diwaspadai insidensinya seiring dengan meningkatnya angka penderita tuberkulosis. Karena diperkirakan sekitar 1 sampai 10% dari seluruh kejadian infeksi tuberkulosis mengenai susunan saraf pusat (SSP), baik berupa tuberkuloma pada parenkim otak maupun sebagai meningitis (Arvanitaksis, 1998). Sedangkan menurut Lindsay (1997 : 474) angka kejadian meningitis adalah 10% dari jumlah penderita. Data yang diperoleh dari Rekam Medik Ruang 19 A Perawatan Penyakit Saraf Wanita Perjan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini. TABEL 1 Profil Penyakit Di Ruang 19 A Perawatan Penyakit Saraf Wanita Perjan RS.Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Januari Juli 2005
No Penyakit Angka kejadian % Angka kematian % 1 Stroke 176 57,32 38 21,59 2 SOL 46 14,98 4 8,69 3 Meningitis 23 7,49 9 39,13 4 Myelo radikulopati 21 6,84 0 0 5 Radikulopati 17 5,53 0 0 6 Epilepsi 16 5,21 2 12,5 7 Tetanus 3 0,97 3 100 8 Ensepalopati 2 0,65 0 0 9 Ensepalitis 2 0,65 2 100 10 Miastenia Gravis 1 0,32 1 100 Jumlah 307 100% Sumber : Rekam Medik Ruang 19 A Perawatan Penyakit Saraf Wanita Perjan RumahSakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
Menurut tabel diatas penyakit meningitis berada pada urutan ke 3 setelah stroke dan SOL (space occupying lession). Dengan jumlah penderita 23 orang (7,49%) yang menderita meningitis. Walaupun persentasinya tidak sebanyak stroke 57,32% namun persentase kematiannya cukup tinggi yaitu mencapai 39,13% (Medical Record Ruang 19A RSHS. Bandung). Selain itu penyakit meningitis dapat menimbulkan gangguan yang kompleks terhadap sistem tubuh yang lain, misalnya pada sistem pernafasan, kardivaskuler, pencernaan, perkemihan dan muskuloskeletal, yang dapat pula menimbulkan komplikasi akut dan resiko kematian. Disamping dampak terhadap sistem tubuh meningitis pun dapat merubah pola hidup seseorang karena tidak jarang kasus meningitis meninggalkan gejala sisa berupa kecacatan seperti : ketulian, gangguan penglihatan, dan kelumpuhan. Berdasarkan angka kejadian dan dampak penyakit meningitis tuberkulosis sebagai konsekuensi dari meningkatnya angka penderita TB dan kompleknya masalah yang ditimbulkan akibat infeksi meningitis tuberkulosis, serta dampaknya terhadap kehidupan baik fisik, sosial, dan ekonomi klien, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan meningitis tuberkulosis, untuk dijadikan sebagai bahan penulisan karya tulis ilmiah dengan judul ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN NY. A DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN : MENINGITIS TUBERKULOSIS DI RUANG 19 A PERAWATAN PENYAKIT SARAF WANITA PERJAN RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.
B. TUJUAN 1. Tujuan Umum Memperoleh pengalaman secara nyata dan mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara langsung dan komprehensif meliputi aspek bio-psiko-sosio-spiritual pada klien dengan gangguan sistem persarafan : meningitis tuberkulosis melalui pendekatan proses keperawatan. 1. Tujuan Khusus Secara khusus penyusunan karya tulis ilmiah ini bertujuan agar penulis dapat : 1. Melakukan pengkajian pada klien dengan gangguan sistem persarafan akibat meningitis tuberkulosis. 2. Membuat perencanaan pada klien dengan gangguan sistem persarafan akibat meningitis tuberkulosis. 3. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan akibat meningitis tuberkulosis. 4. Menilai keberhasilan atau evaluasi dari hasil asuhan keperawatan yang telah diberikan. 5. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan : meningitis tuberkulosis.
C. METODE PENULISAN DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA 1. Metode Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode deskriptif analitik dalam bentuk studi kasus melalui pendekatan proses keperawatan. 1. Tehnik Pengumpulan Data Sedangkan tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Wawancara. Menggunakan komunikasi lisan meliputi auto anamnesa yang didapat langsung dari klien atau allo anamnesa yang didapat dari keluarga klien.
1. Observasi. Dilakukan dengan melihat kondisi klien secara fisik, mengamati klien baik dari sikap secara psikologis. 1. Pemeriksaan Fisik. Dilakukan secara head to toe meliputi teknik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. 1. Studi Dokumentasi. Dengan melihat hasil laboratorium dan terapi, serta melihat catatan perkembangan kesehatan klien selama dirawat di rumah sakit yang terlampir dalam status klien. 1. Studi Kepustakaan. Dengan melihat konsep dan teori yang berhubungan dengan asuhan keperawatan klien dengan meningitis tuberkulosis.
D. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah meningitis tuberkulosis, tujuan, metode dan sistematika penulisan BAB II
: Tinjauan Teori, terdiri dari konsep dasar penyakit yang berisi pengertian, anatomi dan fisiologi selaput otak , etiologi, manifestasi klinik, patofisiologi, klasifikasi meningitis, dampak terhadap sistem tubuh lain, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan medik. konsep dasar proses keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. BAB III
: Tinjauan Kasus dan Pembahasan, terdiri dari asuhan keperawatan pada Ny. A dengan Gangguan Sistem Persarafan : Meningitis Tuberkulosis di Ruang 19A Perawatan Penyakit Saraf Wanita Perjan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, meliputi pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Selain itu juga berisi tentang pembahasan masalah dan kesenjangan yang dihadapi selama melakukan asuhan keperawatan serta alternatif pemecahan masalah. BAB IV : Kesimpulan dan Rekomendasi, berisi uraian-uraian kesimpulan dari penerapan langkah-langkah proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian hingga evaluasi
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Konsep Dasar Penyakit 1. Pengertian a. Meningitis Tuberkulosis Meningitis tuberkulosis adalah infeksi pada meningen yang disebabkan oleh basil tahan asam Mycobacterium tuberculosis (Gilroy, 2000). Suriadi (2001: 201) mengatakan meningitis tuberkulosis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal kolumna yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat. Menurut Arief Mansyur, dkk (2000 : 11) meningitis tuberkulosis adalah penyebaran tuberkulosis primer dengan fokus infeksi ditempat lain. Sedangkan pengertian meningitis tuberkulosis menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi, 1996 : 181) adalah komplikasi infeksi primer dengan atau tanpa penyebaran milier. Dari keempat pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa meningitis tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang mengenai selaput otak, parenkim otak dan pembuluh darah otak, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan merupakan infeksi sekunder sebagai akibat penyebaran infeksi tuberkulosis ditempat lain umumnya paru-paru. b. Tuberkulosis (TB) TB adalah penyakit infeksi menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis, kuman tersebut biasanya masuk kedalam tubuh manusia melalui udara (pernafasan) kedalam paru-paru, kemudian kuman tersebut menyebar dari paru-paru ke organ tubuh yang lain melalui penyebaran darah, kelenjar limfe, saluran pernafasan, penyebaran langsung ke organ tubuh lain (Price,S.A., alih bahasa Nugraha.P, 1995 : 753)
2. Anatomi Fisiologi a. Meningen Meningen adalah ketiga lapisan jaringan ikat non neural yang menyelubungi otak dan medulaspinalis, berindak sebagai peredam syok atau syok absosber dan berisikan cairan serebrospinalis. Cairan serebospinalis ditemukan pada sistem ventrikel dan rongga sub arakhnoid. Ketiga lapisan meningen terdiri dari : 1) Duramater atau Dura (pakimenings) Duramater merupakan lapisan terluar meningen, berupa membran yang padat, kuat dan tidak lentur. Berlapis dua sekitar otak dan berlapis satu sekitar medulla spinalis. Lapisan luar bertindak sebagai periosteum dan terikat kuat pada tulang. Lapisan dalam terdapat dalam rongga subdural. Lapisan dalam duramater terpisah dari lapisan luar tempat terbentuknya sinus dura. 2) Arakhnoid Arakhnoid adalah lapisan tengah dari meningen yang avaskular, rapuh, tipis dan transparan. Seperti halnya dengan duramater, menyebrangi sulki dan hanya menuju kedalam fisura-fisura utama saja. Dari membran arakhnoid banyak trabekula halus menjurus kearah pia sehingga memberi gambaran sebagai sarang laba-laba. Lapisan luar arakhnoid terdiri dari sel yang menyerupai endotel disebut sebagai meningotelial atau sel arakhnoid. Inti sel-sel tersebut tersusun dalam lapisan tunggal, ganda atau multipel menghadap kearah rongga sub dural. Lapisan dalam arakhnoid dan trabekula ditutup oleh sel mesotelial yang dapat memberikan respon terhadap berbagai rangsangan dan dapat membentuk fagosit. Granulasi arakhnoid adalah proyeksi pia-arakhnoid yang masuk kedalam sinus sagitalis superior. Granulasi ini disebut juga badan pacchioni, masing-masing terdiri dari sejumlah villi arakhnoid yang berfungsi sebagai katup satu arah yang melewatkan bahan-bahan dari cairan serebrospinal masuk kedalam sinus-sinus.
3) Piamater atau Pia (Leptomenings) Piamater adalah lapisan meningen terdalam yang melekat erat dengan jaringan otak dan medulla spinalis, yang mengikuti setiap kontur (sulki dan fisura) sambil membawa pembuluh darah kecil yang memberi makanan pada jaringan saraf dibawahnya. Membran pia-glial dibentuk oleh eritrosit end feet yang berakhir di pia. Piamater nampaknya berperan sebagai barrier atau penghalang masuknya benda-benda dan organisme yang dapat merusak.
Gambar 1. Anatomi meningen otak Sumber : Van de Graff, Kent. M. (1984)
1. Rongga Sub Arakhnoid Rongga sub arakhnoid merupakan rongga leptomeningeal yang terisi cairan serebrospinal. Semua pembuluh darah, saraf otak serta medulla spinalis melewati cairan tersebut, sehingga bilamana terjadi infeksi pada rongga ini, maka pembuluh darah dan saraf dapat terkena proses peradangan. Arteritis dan flebitis dapat menyebabkan iskemi atau nekrosis jaringan otak. Rongga sub arakhnoid tidak berhubungan dengan rongga sub dural, karena itu leptomeningitis tidak menyebar kedalam rongga sub dural kecuali pada meningitis oleh haemofilus influenza. 1. Sisterna Rongga Sub Araknoid Rongga sub arakhnoid yang mengelilingi otak dan medulla spinalis memiliki variasi-variasi setempat. Pada dasar otak dan sekitar batang otak, pia dan arakhnoid memisah dan membentuk beberapa rongga besar yang disebut sisterna sub araknoid. Tiga sisterna pada aspek ventral batang otak : Sisterna khiasmatika yang berada didaerah khiasma optika. Sisterna interpendunkularis yang berada di fosa interpedunkularis dari mesensefalon. Sisterna pontin yang berada pada pertemuan pons dengan medula atau Pons medullary junction. Dua sisterna di aspek posterior batang otak : Sisterna serebromedularis (sisterna magna) yang merupakan salah satu sisterna terbesar, sisterna ini berada diantara pleksus khoroid medulla dan serebelum. Foramina ventrikel IV membuka kedalam sisterna ini. Sisterna superior (sisterna ambiens) sisterna ini mengelilingi permukaan superior dan lateral mesensefalon didalam sisterna ini ditemukan vena serebri magna, arteri serebri posterior dan serebeli superior 1. Sistem Ventrikel Sistem ventrikel merupakan suatu seri rongga-rongga di dalam otak yang saling berhubungan, dilapisi ependima dan berisi cairan serebrospinal yang dihasilkan dari darah oleh pleksus khoroid. Rongga-rongga dalam sistem ini terdiri dari sepasang venterikel lateralis (kiri dan kanan), ventrikel III dan ventrikel IV. Kedua rongga ini dihubungkan oleh aquaduktus silvii. Kedua ventrikel lateralis berada di dalam hemisfer serebri dan masing-masing dihubungkan dengan ventrikel III melalui foramen interventrikularis dari monro. Setiap ventrikel lateralis terdiri dari 4 bagian yaitu : Kornu anterior Sela media Kornu inferior atau temporal Kornu posterior Ventrikel ventrikel III adalah suatu rongga ventrikel tipis di garis tengah, diantara pasangan ventrikel lateralis. Ventrikel IV berhubungan dengan rongga sub arakhnoid melalui kedua foramina dari luscka dan foramina magendi. Kedua foramen dari luscka terletak dalam sudut pons dan medulla. Foramen magendi terletak sebelah belakang medulla dan menghadap sisterna magna. Setiap ventrikel mempunyai pleksus khoroid, yang paling besar adalah pleksus khoroid ventrikel lateralis. 1. Pleksus Khoroid dan Cairan Serebrospinal 1) Pleksus khoroid Pleksus khoroid merupakan anyaman kaya dari pembuluh-pembuluh darah piamater yang menjorok kesetiap rongga ventrikel, membentuk filter semi permeabel antara darah arteri dan cairan serebrospinal. Setiap pleksus khoroid diliputi oleh satu lapisan epitel ependima. Tela khoroidea dari ventrikel lateralis adalah suatu membran tipis seperti jaring laba-laba yang melalui foramen interventrikularis, berhubungan langsung dengan pleksus khoroid ventrikel III. Tela ini dibentuk oleh invaginasi ependima oleh lipatan-lipatan vaskular. 2) Cairan serebrospinal Cairan serebrospinal adalah filtrat darah yang jernih tidak berbau dan hampir bebas protein. Cairan serebrospinal dibentuk di ventrikel-ventrikel dan beredar didalam rongga sub arakhnoid. Fungsi cairan serebrospinal adalah menunjang dan membantali susunan saraf pusat terhadap trauma. 1. Peredaran Darah Otak 1) Peredaran darah arterial Suplai peredaran darah arterial kestruktur-strukur intra kranial pada dasarnya berasal dari cabang-cabang kedua arteri karotis interna dan kedua arteri vertebralis. a) Arteri karotis interna Arteri karotis interna keluar dari percabangan karotis komunis leher. Pembuluh darah ini naik menuju basis kranii, membelah sebagai suatu pembuluh bentuk sigmoid di dalam sinus kavernosus. Arteri karotis interna hanya memberi cabang di rongga tengkorak, terdiri dari : (1) Arteri optalmika Arteri ini mempunyai cabang penting yaitu arteri sentralis retinae yang berjalan ditengah- tengah nervus optikus dan berakhir diretina. (2) Arteri khoroidalis anterior Arteri khoroidalis anterior mengikuti traktus optikus sampai pada ketinggian korpus genikulatum lateralis dan kemudian menjadi bagian dari pleksus khoroid ventrikel lateralis. Pembuluh darah ini juga memberi cabang-cabang ke pedunkulus serebri, kapsula interna, nukleus kaudatus, hipokampus dan traktus optikus. (3) Arteri serebri anterior dan media Kedua arteri ini merupakan cabang terminal dari arteri karotis interna. Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada lobus frontalis. Didalam fisura longitudinalis serebri dapat ditemukan arteri komunikans anterior. Cabang-cabang arteri serebri anterior berjalan menuju sisi medial lobus frontalis dan parietalis, substansia perforata anterior, septum pellusidum dan sebagian dari korpus kalosum. Arteri striata medialis memberi darah pada nukleus kaudatus, putamen dan bagian anterior kapsula interna.Arteri serebri media memberi cabang-cabang kesisi lateral lobus temporal dan parietal. Arteri striata lateralis memperdarahi ganglia basalis dan kapsula interna. Arteri komunikans posterior bersatu dengan ramus serebri posterior arteri basilaris. Dalam perjalanannya memberi cabang ke kapsula interna dan talamus b) Arteri vertebralis Arteri vertebralis adalah cabang-cabang dari arteri sub klavia. Cabang-cabangnya adalah arteri spinalis anterior dan posterior serta arteriae serebelaris inferior posterior. Arteri basilaris dibentuk oleh kedua gabungan arteri vetrebralis, berjalan pada aspek ventral pons. Cabang-cabangnya meliputi arteriae pontin, sereberalis inferior anterior, labirintin, serebralis superior dan sereberalis posterior. Arteri terakhir memperdarahi sisi medial dan inferior lobus oksipitalis dan temporalis serta cabang-cabang khoroidal posterior ke pleksus khoroid ventrikel III dan ventrikel lateralis. c) Sirkulus willisi Sirkulus willisi dibentuk oleh arteri-arteri komunikan anterior dan posterior serta bagian proksimal arteri-arteri serebri anterior, media dan posterior. Fungsi sirkulus willisi memungkinkan suplai darah yang adekuat ke otak bilamana timbul oklusi arteri karotis atau vertebralis. Banyak arteri keluar dari lingkaran ini, masuk ke substansia otak dan arteri-arteri ini sangat penting oleh karena selain berkaliber kecil sehingga mudah tersumbat, juga merupakan end artery tanpa peredaran kolateral dan memperdarahi daerah-daerah vital. 2) Peredaran darah vena Peredaran darah vena tidak berperan besar dalam meningitis tuberkulosis. Terdiri dari vena serebral internal dan eksternal. Tempat berakhirnya vena-vena otak ini di sinus-sinus duramater.
3. Etiologi Penyakit meningitis tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis humanus, sedangkan menurut peneliti yang lain dalam literatur yang berbeda meningitis Tuberkulosis disebabkan oleh dua micobacterium yaitu Mycobacterium tubeculosis dan Mycobacterium bovis yang biasanya menyebabkan infeksi pada sapi dan jarang pada manusia. (Lindsay, 1997 :473). Mycobacterium tuberculosis merupakan basil yang berbentuk batang, berukuran 0,2-0,6mm x 1,0-10mm, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Mycobacterium tuberculosis bersifat obligat aerob, hal ini menerangkan predileksinya pada jaringan yang oksigenasinya tinggi seperti apeks paru, ginjal dan otak. Mycobacterium tidak tampak dengan pewarnaan gram tetapi tampak dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Basil ini bersifat tahan asam, artinya tahan terhadap pewarnaan carbolfuchsin yang menggunakan campuran asam klorida-etanol. Sifat tahan asam ini disebabkan karena kadar lipid yang tinggi pada dinding selnya. Lipid pada dinding sel basil Mycobacterium tuberculosis meliputi hampir 60% dari dinding selnya, dan merupakan hidrokarbon rantai panjang yang disebut asam mikolat. Mycobacterium tuberculosa tumbuh lambat dengan double time dalam 18-24 jam, maka secara klinis kulturnya memerlukan waktu 8 minggu sebelum dinyatakan negatif.
4. Manifestasi Klinik Meningitis tuberkulosis umumnya memiliki onset yang perlahan. Terdapat riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis, biasanya memiliki TB aktif atau riwayat batuk lama, berkeringat malam dan penurunan berat badan beberapa hari sampai beberapa bulan sebelum gejala infeksi susunan saraf pusat muncul. Gejala meningitis tuberkulosis sangat bervariasi, gejala awal biasanya mirip dengan infeksi umum lainnya yaitu berupa kelemahan umum (malaise), demam yang tidak terlalu0020tinggi, nyeri kepala yang hilang timbul dan muntah. Setelah gejala awal berlangsung selama sekitar 2 minggu timbul gejala nyeri kepala yang persisten dan nyeri tengkuk yang berhubungan dengan rangsang meningeal, timbul tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial dan defisit neurulogik fokal (parese pada nervus kranial dan hemiparese). Inflamasi arteri pada basis kranii disertai penyempitan dan pembentukan trombus pada lumennya menimbulkan iskemik dan infark serebri dengan berbagai defisit neurologi sebagai akibatnya. Saraf kranial II, III, IV, VI, VII dan VIII sering mengalami kompresi oleh eksudat yang kental. Pada stadium lanjut terjadi gerakan involunter, hemiplegi, kesadaran yang semakin menurun dan terjadi hidrosefalus. Ensefalopati tuberkulosis secara klinis memberikan sindrom berupa kejang, stupor atau koma, gerakan involunter, paralise, deserebrasi atau rigiditas dengan atau tanpa tanda klinis meningitis atau kelainan cairan serebrospinalis.
5. Patofisiologi Meningitis tuberkulosis pada umumnya sebagai penyebaran infeksi tuberkulosis primer ditempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru-paru. Tuberkulosis secara primer merupakan penyakit pada manusia. Reservoir infeksi utamanya adalah manusia, dan penyakit ini ditularkan dari orang ke orang terutama melalui partikel droplet yang dikeluarkan oleh penderita tuberkulosis paru pada saat batuk. Partikel-partikel yang mengandung Mycobacterium tuberculosis ini dapat bertahan lama di udara atau pada debu rumah dan terhirup masuk kedalam paru-paru orang sehat. Pintu masuk infeksi ini adalah saluran nafas sehingga infeksi pertama biasanya terjadi pada paru-paru. Transmisi melalui saluran cerna dan kulit jarang terjadi. Droplet yang terinfeksi mencapai alveoli dan berkembang biak dalam ruang alveoli, makrofag alveoli maupun makrofag yang berasal dari sirkulasi. Sejumlah kuman menyebar terutama ke kelenjar getah bening hilus. Lesi primer pada paru-paru berupa lesi eksudatif parenkimal dan kelenjar limfenya disebut kompleks Ghon. Pada fase awal kuman dari kelenjar getah bening masuk kedalam aliran darah sehingga terjadi penyebaran hematogen. Dalam waktu 2-4 minggu setelah terinfeksi, terbentuklah respon imunitas selular terhadap infeksi tersebut. Limfosit-T distimulasi oleh antigen basil ini untuk membentuk limfokin, yang kemudian mengaktivasi sel fagosit mononuklear dalam aliran darah. Dalam makrofag yang diaktivasi ini organisme dapat mati, tetapi sebaliknya banyak juga makrofag yang mati. Kemudian terbentuklah tuberkel terdiri dari makrofag, limfosit dan sel-sel lain mengelilingi jaringan nekrotik dan perkijuan sebagai pusatnya. Setelah infeksi pertama dapat terjadi dua kemungkinan, pada orang yang sehat lesi akan sembuh spontan dengan meninggalkan kalsifikasi dan jaringan fibrotik. Pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah, penyebaran hematogen akan menyebabkan infeksi umum yang fatal, yang disebut sebagai tuberkulosis millier diseminata. Pada keadaan dimana respon host masih cukup efektif tetapi kurang efisien akan timbul fokus perkijuan yang besar dan mengalami enkapsulasi fibrosa tetapi menyimpan basil yang dorman. Klien dengan infeksi laten memiliki resiko 10% untuk berkembang menjadi tuberkulosis aktif. Reaktivasi dari fokus perkijuan akan terjadi bila daya tahan tubuh host menurun, maka akan terjadi pembesaran tuberkel, pusat perkijuan akan melunak dan mengalami pencairan, basil mengalami proliferasi, lesi akan pecah lalu melepaskan organisme dan produk-produk antigen ke jaringan disekitarnya. Apabila hal-hal yang dijelaskan di atas terjadi pada susunan saraf pusat maka akan terjadi infeksi yang disebut meningitis tuberkulosis. Fokus tuberkel yang berlokasi dipermukaan otak yang berdekatan dengan ruang sub arakhnoid dan terletak sub ependimal disebut sebagai Focus Rich. Reaktivasi dan ruptur dari fokus rich akan menyebabkan pelepasan basil Tuberkulosis dan antigennya kedalam ruang sub arakhnoid atau sistem ventrikel, sehingga terjadi meningitis tuberkulosis.
Tombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrinopurulen. Kelainan nervus kranial II, III, IV, VI, VII, VIII
Organisasi di ruang sub arakhnoid superfisial yang dapat menghambat aliran dan absorpsi LCS
Hidrosefalus komunikan
Bagan 1 Patofisiologi 6. Klasifikasi Menurut Smeltzer. S.C and Brenda. G. Bare (2001 : 2175) klasifikasi meningitis dibagi menjadi 3 tipe utama yaitu meningitis asepsis, sepsis dan tuberkulosis. 1. Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis, limfoma, leukemia, atau darah di ruang sub arakhnoid.
2. Meningitis sepsis menunjukan meningitis yang disebabkan oleh organisme bakteri seperti meningokokus,stafilokokus, atau basilus influenza. 3. Meningitis tuberkulosis disebabkan oleh bakteri mikobakterium tuberkulosis. Sedangkan menurut Arief Mansyur (2000 : 11) berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, meningitis dibagi dalam 2 golongan yaitu : 1. Meningitis serosa adalah radang selaput otak, arakhnoid, dan piamater yang disertai cairan otak yang jernih penyebab tersering adalah Mycobacterium tuberculosis, penyebab lain adalah virus, toxoplasma dan ricketsia. 2. Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan piamater yang meliputi otak dan medulaspinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus haemoliticus, Staphylococcus coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa. Klasifikasi atas dasar gejala klinik yang dapat meramalkan prognosis penyakit menurut Medical Research Council of Great Britain sebagai berikut : Stadium I : Klien menunjukan sedikit atau tanpa gejala klinis meningitis, tanpa parese, dalam keadaan umum yang baik dan kesadaran yang penuh. Stadium II : Klien dengan keadaan diantara stadium I dan III Stadium III : Klien tampak sakit berat, kesadaran stupor atau koma dan terdapat parese yang berat (hemiplegi atau paraplegi).
7. Dampak Meningitis Terhadap Sistem Tubuh Lain a. Sistem Pernafasan Penderita meningitis dapat mengalami kerusakan saraf pengatur pernafasan sehingga kontrol sistem pernafasan tidak adekuat. Pola nafas berubah sehingga pengambilan oksigen dari atmosfir dapat berkurang, yang berakhir dengan kondisi hipoksia. Kerusakan vaskular pada jaringan susunan saraf pusat akan menghambat proses transportasi oksigen sehingga otak kekurangan oksigen yang berdampak terjadinya kematian sel-sel jaringan otak, distres pernafasan terjadi akibat penekanan pusat pernafasan di medulla oblongata oleh peningkatan tekanan intrakranial. b. Sistem Kardiovaskular Proses peradangan pada meningen menyebabkan perubahan pada jaringan selaput otak sehingga menghambat sirkulasi darah. Gangguan pola nafas menyebabkan kadar oksigen darah berkurang sehingga perfusi jaringan menurun yang ditandai dengan adanya sianosis pada beberapa bagian tubuh tekanan darah meningkat atau menurun dan frekuensi nadi meningkat. c. Sistem Pencernaan Terjadi oedema serebral mengakibatkan kompensasi tubuh untuk menangani dengan mengeluarkan steroid adrenal melalui perangsangan dari hipotalamus. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan sekresi asam lambung yang menyebabkan hiper asiditas yang akan menimbulkan mual, muntah dan nafsu makan berkurang. Pada kondisi yang kronis keadaan ini akan menimbulkan iskemi mukosa lambung dan kerusakan barier mukosa sehingga terjadilah perdarahan lambung (stress ulcer) maka pada kondisi tersebut asupan nutrisi klien tidak adekuat yang menimbulkan klien kurang nutrisi. d. Sistem Perkemihan Pada sistem urinaria terjadi retensi urine dan inkontinensia urine. Pada kondisi lebih lanjut akan terjadi albuminuria karena proses katabolisme terutama jika dalam kondisi kekurangan kalori protein (KKP).
e. Sistem Persarafan Proses peradangan meningen dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial, dimana akan terjadi kerusakan saraf pusat pengontrol kesadaran yang dapat menimbulkan penurunan kesadaran dan terjadi penekanan pada saraf pusat pernafasan yang dapat mengakibatkan pola nafas tidak efektif. Pada saraf kranial yaitu nervus vagus yang mengakibatkan penurunan reflek menelan, nervus optikus yang dapat mengganggu fungsi visual, kerusakan nervus III, IV, VI yang dapat mengganggu pergerakan bola mata, kerusakan nervus VIII yang dapat mengganggu fungsi pendengaran. Pada proses peradangan akan menimbulkan respon nyeri yang akan merangsang korteks sesebri dan dalam keadaan lanjut dapat menimbulkan iritasi meningen yang ditandai dengan adanya kaku kuduk, kernig positif, brudzinski I dan II, serta laseque positif. f. Sistem muskuloskeletal Proses inflamasi pada susunan saraf menimbulkan berbagai hambatan dalam perangsangan neuromuskuler sehingga dapat timbul kelemahan otot-otot dan terjadi paralise. Hal ini memungkinkan klien tidak dapat melakukan aktifitas gerak tubuhnya secara optimal bahkan terjadinya kontraktur dapat memperberat kondisi. g. Sistem Integumen Peningkatan metabolisme mengakibatkan peningkatan suhu tubuh sehingga timbul demam, yang dapat meningkatkan kebutuhan cairan, selain itu klien dengan meningitis seringkali terjadi penurunan kesadaran sehingga klien harus berbaring lama di tempat tidur dan dapat terjadi gangguan integritas kulit sebagai dampak dari berbaring yang lama.
8. Pemeriksaan Penunjang 1. Radiologi Pemeriksaan radiologi pada meningitis tuberkulosis meliputi pemeriksaan Rontgent thorax, CT-scan, MRI. Pada klien dengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan gambaran tuberkulosis paru primer pada pemeriksaan rontgent thoraks, kadang-kadang disertai dengan penyebaran milier dan kalsifikasi. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan dan MRI dapat terlihat adanya hidrosefalus, inflamasi meningen dan tuberkoloma. Gambaran rontgent thoraks yang normal tidak menyingkirkan diagnosa meningitis tuberkulosis. 1. Tes Tuberkulin Tuberkulin hanya mendeteksi reaksi hipersensitifitas lambat, tidak menandakan adanya infeksi aktif sehingga penggunaannya untuk mendiagnosis infeksi aktif dan meningitis tuberkulosis masih kurang sensitif. Namun pemeriksaan tuberkulin yang positif pada anak memiliki nilai diagnostik, sementara pada orang dewasa hanya menandakan adanya riwayat kontak dengan antigen tuberkulosis, dan dapat memberikan arah untuk pemeriksaan selanjutnya. 1. Cairan Serebrospinal Pemeriksaan cairan serebrospinal merupakan diagnostik yang efektif untuk mendiagnosis meningitis tuberkulosis. Gambaran cairan serebrospinal yang karakteristik pada meningitis tuberculosis adalah: 1) Cairan jernih sedikit kekuningan atau xantocrom. 2) Pleositosis yang moderat biasanya antara 100-400 sel/mm 3 dengan predominan limfosit. 3) Kadar glukosa yang rendah 30-45 mg/dL atau kurang dari 50% nilai glukosa darah. 4) Peningkatan kadar protein. 1. Bakteriologi Identifikasi basil tuberkulosis pada cairan serebrospinal memiliki akurasi yang sangat tinggi hingga 100% dalam mendiagnosis meningitis tuberkulosis. Untuk mendiagnosis basil tersebut dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan apus langsung BTA dengan metode Ziehl- Neelsen dan dengan cara kultur pada cairan serebrospinal. 1. Pemeriksaan Biokimia Pemeriksaan ini untuk mengukur sifat tertentu dari mycobacterium atau respon tubuh penderita terhadap mycobacterium. Yang tergolong pemeriksaan biokimia antara lain: 1) Bromide Partition Test (BPT) 2) Adenosine Deaminase Activity (ADA) 3) Tuberculostearic Acid 1. Tes Immunologis Yang mendeteksi antigen atau antibody mikobakterial dalam cairan serebrospinal, metoda yang sering digunakan dalam tes imunologis antara lain: 1) ELISA (enzym linked immuno sorbent assay) 2) Polymerase Chain Reaction (PCR)
9. Penatalaksanaan Medik Penatalaksanaan meningitis tuberkulosis terdiri dari: 1. Perawatan umum Perawatan penderita meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguh- sungguh, antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan nutrisi, posisi klien, perawatan kandung kemih, dan defekasi serta perawatan umum lainnya sesuai dengan kondisi klien. 1. Kemoterapeutik dengan obat anti tuberkulosis Tujuan pengobatan terhadap penderita tuberkulosis adalah menyembuhkan penderita dari penyakit tuberkulosis yang dideritanya, mencegah kematian akibat tuberkulosis, mencegah terjadinya relaps, mencegah penularan dan sekaligus mencegah terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) yang diberikan. Prinsip pengobatan meningitis tuberkulosis tidak banyak berbeda dengan terapi bentuk tuberkulosis yang lain. Syarat terpenting adalah bahwa pilihan OAT harus dapat menembus sawar darah otak dalam konsentrasi yang cukup untuk mengeliminir basil intra dan ekstraselular. Beberapa obat yang biasa digunakan untuk meningitis tuberkulosis adalah : 1) Isoniazida (INH) diberikan dengan dosis 400 mg / hari. 2) Rifampisin, diberikan dengan dosis 450-600 mg / hari. 3) Pyrazinamid, diberikan dengan dosis 1500 mg / hari. 4) Ethambutol, diberikan dengan dosis 25 mg / kg BB / hari sampai dengan 1500 mg / hari. 5) Streptomisin, diberikan intra muskular selama 3 bulan dengan dosis 30-50 mg / kg BB / hari. 6) Kortikosteroid, biasanya digunakan dexametason secara intra vena dengan dosis 10 mg setiap 4-6 jam, pemberian dexametason ini terutama jika terdapat oedema otak, apabila keadaan membaik maka dosis dapat diturunkan secara bertahap. Efek samping OAT (a) Isoniazid (H) Efek samping berat yaitu terjadi hepatitis dan terjadi pada kira-kira 0,5% dari kasus. Bila terjadi maka pengobatan dihentikan, dan setelah pemeriksaan faal hati kembali normal pengobatan dapat dilaksanakan kembali Efek samping ringan berupa (1) Tanda-tanda keracunan saraf tepi, kesemutan, anastesia dan nyeri otot (2) Kelainan yang menyerupai syndroma pellagra (3) Kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal (b) Rifampisin (R) Efeksamping berat jarang terjadi seperti : sesak nafas yang kadang-kadang disertai kollaps atau syok, anemia hemolitik, purpura dan gagal ginjal Efek samping ringan seperti : gatal-gatal, kemerahan, demam, nyeri tulang, nyeri perut, mual muntah dan kadang-kadang diare. (c) Pyrazinamid (Z) Efek samping utama adalah hepatitis, dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang serangan penyakit gout. (d) Ethambutol (E) Dapat menyebabkan gangguan penglihatan, berkurangnya ketajaman penglihatan, kabur dan buta warna merah dan hijau.
Konsep Asuhan Keperawatan Meningitis Dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien yang mengalami gangguan sistem persarafan, perawat dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis, karena tidak jarang kliennya mengalami penurunan kesadaran, sehingga perawat bekerja sepihak. Walaupun kondisinya demikian perawat tetap harus menggunakan metoda pendekatan pemecahan masalah (problem solving) melalui proses keperawatan. Proses keperawatan yaitu serangkaian perbuatan atau tindakan untuk menetapkan, merencanakan dan melaksanakan pelayanan keperawatan dalam rangka membantu klien untuk mencapai dan memelihara kesehatan secara optimal.tindakan keperawatan tersebut dilaksanakan secara komprehensif yang saling berkesinambungan dan berkaitan satu sama lain dari mulai pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. 1. 1. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan dimana pada tahap ini perawat melakukan pengumpulan data yang diperoleh dari hasil wawancara, pemeriksaan fisik, laporan teman sejawat, catatan keperawatan atau tim kesehatan lainnya. Data yang diperoleh kemudian dianalisa untuk mendapatkan diagnosa keperawatan yang merupakan masalah klien. Tahap pengkajian ini terdiri dari : a. Pengumpulan data 1) Identitas a) Identitas klien Identitas klien yang berhubungan dengan penyakit meningitis adalah: - Umur : meningitis adalah penyakit sistem persarafan yang dapat terjadi pada semua umur, dewasa maupun anak. - Pendidikan : Pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi terhadap pengetahuan klien tentang penyakit meningitis - Pekerjaan : Ekonomi yang rendah akan berpengaruh karena dapat menyebabkan gizi yang kurang sehingga daya tahan tubuh klien rendah dan mudah jatuh sakit. b) Identitas penanggung jawab meliputi: Nama, umur, pendidikan, pekerjaan, alamat dan hubungan dengan klien. 2) Riwayat kesehatan a) Keluhan utama Pada umumnya klien dengan meningitis keluhan yang paling utama adalah adanya nyeri kepala atau penurunan kesadaran yang disertai kejang. b) Riwayat kesehatan sekarang Pengkajian meliputi keluhan pada saat datang ke rumah sakit dan keluhan pada saat pengkajian, dikembangkan dengan menggunakan analisa PQRST.
P: Provokatif/paliatif Apakah yang meyebabkan keluhan dan memperingan serta memberatkan keluhan. Nyeri kepala pada penyakit meningitis biasanya disebabkan oleh adanya iritasi meningen. Nyeri di rasakan bertambah bila beraktivitas dan berkurang jika beristirahat. Q : Quantity / Quality Seberapa berat keluhan dan bagaimana rasanya serta berapa sering keluhan itu muncul. Nyeri kepala dirasakan menetap dan sangat berat. R: Region / Radasi Lokasi keluhan dirasakan dan juga arah penyebaran keluhan sejauh mana. S : Scale Intensitas keluhan dinyatakan dengan keluhan ringan, sedang dan berat. Nyeri kepala pada klien meningitis sangat berat (skala : 5), dikarenakan adanya iritasi meningen yang disertai kaku kuduk. T : Timing Kapan keluhan dirasakan, seberapa sering, apakah berulang-ulang, dimana hal ini menentukan waktu dan durasi. Keluhan nyeri dirasakan menetap/terus menerus karena iritasi meningen.
c) Riwayat kesehatan dahulu Kaji kebiasaan klien : merokok, minum-minuman beralkohol, riwayat batuk lama / infeksi saluran nafas kronis, batuk berdahak atau tanpa dahak (dahak berdarah / tidak). Riwayat kontak dengan penderita TBC. Apakah klien punya riwayat trauma kepala atau tulang belakang. Riwayat infeksi lain seperti Otitis media dan mastoiditis. d) Riwayat kesehatan keluarga. Kaji riwayat keluarga apakah ada keluarga klien yang menderita penyakit yang sama dengan klien, riwayat demam disertai kejang. Adanya penyakit menular seperti TBC. 3) Pemeriksaan fisik a) Sistem pernafasan Gejala yang ditemukan biasanya didapatkan pernafasan cepat dan dangkal, penggunaan otot- otot pernafasan tambahan, adanya pernafasan cuping hidung, retraksi dada positif, adanya batuk berdahak, ronkhipositif. b) Sistem Kardiovaskuler Suara jantung lemah, adanya peningkatan tekanan darah atau penurunan tekanan darah dan peningkatan frekuensi denyut nadi. Pada kasus lebih lanjut akral menjadi dingin, terjadi sianosis dan capillary refil time (CRT) lebih dari 3 detik.
c) Sistem Percernaan Pada sistem pencernaan ditemukan keluhan mual dan muntah serta anoreksia bahkan ditemukan adanya kerusakan nervus kranial pada nervus vagus yang mengakibatkan penurunan reflek menelan. Pada kondisi ini akan menimbulkan hipersekresi HCl iskemia mukosa lambung dan kerusakan barrier mukosa erosi hemoragik lambung (perdarahan lambung) sehingga terjadi penurunan berat badan dan jatuh pada kondisi kurang kalori protein (KKP). d) Sistem Perkemihan Pada sistem urinaria dapat terjadi retensi urine dan inkontinensia urine. Pada kondisi lebih lanjut akan terjadi albuminuria karena proses katabolisme terutama jika dalam kondisi KKP. e) Sistem Muskuloskeletal Pengkajian pada sistem muskuloskeletal perlu diarahkan pada kerusakan motorik, kelemahan tubuh, massa otot, dan perlu di kaji rentang gerak dari ekstremitas. f) Sistem Integumen Penting mengkaji adanya peningkatan suhu tubuh sebagai dampak infeksi sistemik, selain itu klien dengan meningitis seringkali terjadi penurunan kesadaran sehingga klien harus berbaring lama di tempat tidur dan dapat terjadi gangguan integritas kulit sebagai dampak dari berbaring yang lama. g) Sistem persarafan Gangguan yang muncul pada klien meningitis yang berkaitan dengan sistem persarafan sangat kompleks. Pada penyakit meningitis terjadi peradangan selaput otak dan parenkim otak yang merupakan pusat sistem persarafan. Gangguan yang muncul tersebut antara lain: kerusakan saraf pengontrol kesadaran yang dapat mengakibatkan penurunan kesadaran, pola nafas tidak efektif akibat peningkatan tekanan intrakranial yang menekan pusat pernafasan dan kerusakan pada saraf kranial yaitu nervus vagus yang mengakibatkan penurunan reflek menelan, nervus kranial lain yang umum terkena adalah nervus I, III, IV, VI, VIII. Pada penyakit meningitis terdapat tanda yang khas yaitu tanda-tanda iritasi meningen: kaku kuduk positif, brudzinski I, II positif, kernig dan laseque positif. Selain itu gejala awal yang sering terjadi pada meningitis adalah sakit kepala dan demam yamg diakibatkan dari iritasi meningen, juga didapat adanya manifestasi perubahan perilaku yang umum terjadi, yaitu letargik, tidak responsif dan koma. Kejang sekunder dapat terjadi juga akibat area fokal kortikal yang peka. Alasan yang tidak diketahui, klien meningitis juga mengalami foto fobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.
4) Pola aktivitas sehari-hari a) Nutrisi Biasanya klien kehilangan nafsu makan, mual, muntah, anoreksia dan bila pasien mengalami penurunan kesadaran, reflek menelan terjadi penurunan, sehingga klien harus dipasang naso gastric tube (NGT). b) Eliminasi Pada umumnya klien dengan penurunan kesadaran akan terjadi inkontinensia urine sehingga harus dipasang dower kateter. c) Istirahat tidur Istirahat tidur terganggu akibat adanya sesak nafas, nyeri kepala hebat akibat peningkatan tekanan intra kranial. Hal ini merupakan mecanoreceptor terhadap reticular activating system ( RAS ) sebagai pusat tidur jaga. d) Personal hygiene Bisa mengalami gangguan pemenuhan ADL termasuk personal hygiene akibat kelemahan otot terutama pada klien dengan penurunan kesadaran. 5) Data psikologis Pada umumnya klien merasa takut akan penyakitnya, cemas karena perawatan lama di rumah sakit dan perasaan tidak bebas di rumah sakit akibat hospitalisasi. Konsep diri klien: persepsi klien terhadap tubuhnya dapat berubah akibat perubahan bentuk dan fungsi tubuh, klien merasa tidak berharga, rendah diri dan kehilangan peran. Ideal diri klien banyak yang tidak tercapai. Sebagian besar penyakit meningitis dapat membatasi kehidupan klien sehari-hari. 6) Data sosial Perlu dikaji tentang tidak tanggapnya terhadap aktifitas disekitarnya baik ketika di rumah atau di rumah sakit. Klien biasanya menjadi tidak peduli dan lebih banyak diam akan lingkungan sekitarnya. 7) Data spiritual Pengkajian ditujukan terhadap harapan kesembuhan, kepercayaan dan penerimaan mengenai keadaan sakit serta keyakinan yang dianut oleh klien ataupun keluarga klien. 8) Data Penunjang a) Laboratorium (1) Pemeriksaan darah leukosit meningkat bila terjadi infeksi. (2) Analisis cairan serebrospinalis melalui lumbal fungsi. Karakteristik cerebro spinalis fluid (CSF) pada meningitis tuberkulosis adalah : (a) Warna CSF jernih (b) Jumlah sel eritrosit dan leukosit meningkat.
(c) Biokimia: - Kalium meningkat - Klorida menurun - Glukosa menurun - Protein meningkat b) Radiologi dengan thorak foto melihat kemungkinan adanya penyakit saluran nafas sebagai infeksi primer. c) Foto tulang wajah untuk melihat adanya skelet dan rongga sinus yang mengalami sinusitis. d) Scanning / CT Scan untuk menemukan adanya patologi otak dan medulaspinalis.
b. Analisa Data Analisa data adalah kemampuan mengaitkan dan menggabungkan data tersebut dengan konsep teori dan prinsip yang relevan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan keperawatan klien. Merupakan suatu proses berpikir yang meliputi kegiatan pengelompokkan data dan menginterpretasikan kelompok data dan membandingkan dengan standar yang normal serta menentukan masalah atau penyimpangan yang merupakan suatu kesimpulan.
c. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan meningitis adalah: Menurut Doenges, 1993 : 311-319 1) Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan proses invasi kuman patogen. 2) Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oedema serebral. 3) Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan penurunan kesadaran 4) Nyeri berhubungan dengan adanya proses infeksi pada susunan saraf pusat. 5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler. 6) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan sistem saraf. 7) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan. 8) Kurang pengetahuan tentang penyebab infeksi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi. Menurut Tucker (1993:522-524). 9) Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran. 10) Gangguan keseimbangan suhu tubuh, hypertermia berhubungan dengan proses inflamasi. 11) Resiko terjadinya gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama.
1. 2. Perencanaan Perencanaan adalah proses penentuan tujuan merumuskan intervensi dan rasional secara sistematis dan spesifik disesuaikan dengan kondisi, situasi dan lingkungan klien. 1. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan proses invasi kuman patogen secara hematogen. Tujuan : Penyebaran infeksi tidak terjadi. Kriteria : - Suhu tubuh normal 36-37C - Klien ditempatkan di ruang isolasi No. Intervensi Rasional
1 2 3 1. Berikan tindakan isolasi sebagai tindakan pencegahan Pada fase awal meningitis meningokokus atau infeksi ensepalitis lainnya, isolasi mungkin diperlukan sampai organismenya diketahui/dosis antibiotik yang cocok telah diberikan untuk menurunkan resiko penyebaran pada orang lain.
2. Pertahankan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat baik klien atau pengujung maupun staf. Pantau dan batasi pengunjung/staf sesuai kebutuhan. Menurunkan resiko klien terkena infeksi sekunder. Mengontrol penyebaran sumber infeksi, mencegah pemajanan pada individu terinfeksi (misalnya: individu yang mengalami infeksi saluran pemafasan atas).
3. Pantau suhu secara teratur. Catat munculnya tanda-tanda klinis dari proses infeksi.
Terapi obat biasanya akan diberikan terus selama kurang dari 5 hari setelah suhu turun (kembali normal) dan tanda- tanda klinisnya jelas. Timbulnya tanda klinis yang terus menerus merupakan indikasi perkembangan dari meningokosemia akut yang dapat bertahan sampai berminggu- minggu/berbulan-bulan atau terjadi penyebaran patogen secara hematogen/sepsis. 4. Teliti adanya keluhan dari dada, berkembangnya nadi yang tidak teratur/disritmia atau demam yang terus menerus. Infeksi sekunder seperti miokarditis/perikarditis dapat berkembang dan memerlukan 1 2 3 intervensi lanjut.
5. Auskultasi suara nafas. Pantau kecepatan pernafasan dan usaha pernafasan.
Adanya rorchi/mengi, takhipne dan peningkatan kerja pernafasan mungkin mencerminkan adanya akumulasi sekret dengan resiko terjadinya infeksi pernafasan.
6. Ubah posisi klien dengan teratur dan anjurkan untuk melakukan nafas dalam.
Mobilisasi sekret dan meningkatkan kelancaran sekret yang akan menurunkan resiko terjadinya komplikasi terhadap pernafasan.
7. Catat karakteristik urine, seperti warna, kejernihan dan bau
Urine statis, dehidrasi dan kelemahan umum meningkatkan resiko terhadap infeksi kandung kemih/ginjal/awitan sepsis.
8. Kolaborasi Berikan terapi antibiotik IV sesuai indikasi: penisilin G, Ampisilin, Kloramfenikol, Gentamisin, Amfoterisin B. Obat yang dipilih tergantung pada tipe infeksi dan sensitifitas individu. Catalan: Obat intratekal mungkin diindikasikan untuk basilus Gram-negatif, jamur, amuba.
1. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oedema serebral. Tujuan : Tidak terjadi gangguan perfusi serebral Kriteria : - Tingkat kesadaran membaik - Tanda-tanda vital stabil - Tidak adanya nyeri kepala - Tidak adanya tanda peningkatan TIK
No. Intervensi Rasional 1 2 3 1. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan koma / penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK Menentukan pilihan intervensi. Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal menunjukan klien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk mementau tekanan TIK atau pembedahan.
2. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya: GCS) Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan, lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
3. Pantau tanda-tanda vital meliputi TD, Nadi, Respirasi Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan darah diastolik merupakan tanda adanya peningkatan TIK nafas yang tidak teratur dapat menunjukan lokasi gangguan serebral dan tanda adanya peningkatan serebral.
4. Bantu klien untuk menghindari manuver valsava, seperti batuk, mengejan.
Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intra thoraks yang akan meningkatkan TIK
5 Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan dan tingkah laku yang tidak sesuai.
Petunjuk non verbal ini menunjukan adanya peningkatan TIK atau adanya nyeri kepala.
6 Kaji adanya peningkatan rigiditas, regangan, peka rangsang, serangan kejang. Merupakan indikasi dari iritasi meningeal yang dapat terjadi sehubungan dengan kerusakan dari duramater atau perkembangan infeksi.
7 Tinggikan kepala klien 15-45 derajat sesuai indikasi yang dapat ditoleransi. Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko peningkatan TIK.
8 Kolaborasi untuk pemberian obat sesuai indikasi seperti dexametason Menurunkan inflamasi yang selanjutnya menurunkan oedema jaringan.
1. Resiko tinggi terhadap injuri / trauma berhubungan dengan adanya kejang akibat iritasi korteks serebral. Tujuan : Trauma / injuri tidak terjadi. Kriteria : Tidak mengalami kejang / kejang dapat diatasi.
No. Intervensi Rasional 1 2 3 1. Monitor adanya kejang/ kedutan pada tangan, kaki dan mulut atau otot wajah yang lain. Monitor adanya kejang/ kedutan pada tangan, kaki dan mulut atau otot wajah yang lain. Monitor adanya kejang/ kedutan pada tangan, kaki dan mulut atau otot wajah yang lain. 2. Berikan keamanan pada klien dengan memberi bantalan pada penghalang tempat tidur, pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas buatan plastik atau gulungan lunak dan alat penghisap.
Melindungi klien jika terjadi kejang. Catatan: Memasukan jalan nafas buatan/ gulungan lunak hanya jika rahangnya relaksasi, jangan dipaksa, memasukan ketika giginya mengatup karena dapat merusak jaringan lunak.
3. Kolaborasi dengan medik untuk pemberian obat sesuai indikasi, seperti Fenitoin (dilantin), diazepam (valium), Merupakan indikasi untuk penanganan dan pencegahan kejang. Catatan: Fenobarbital dapat menyebabkan depresi pernafasan dan sedatif serta fenobarbital (luminal)
menutupi tanda/ gejala dari peningkatan TIK.
1. Nyeri berhubungan dengan adanya proses infeksi pada susunan saraf pusat. Tujuan : Nyeri hilang Kriteria : - Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol - Menunjukan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat. No. Intervensi Rasional
1 2 3 1. Berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap sesuai indikasi Menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar atau sensitivitas pada cahaya dan meningkatkan istirahat/relaksasi.
2. Letakan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata. Meningkatkan vasokontriksi, menumpulkan persepsi sensori yang selanjutnya akan menurunkan nyeri.
3. Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman, seperti kepala agak tinggi sedikit. Menurunkan iritasi meningeal, resultan ketidak nyamanan lebih lanjut. 1. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan keterbatasan gerak akibat kelemahan atau kerusakan neuromuskular. Tujuan : Mobilisasi fisik terpenuhi. Kriteria : Klien mampu melakukan mobilisasi. No. Intervensi Rasional 1 2 3 1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi dan pilihan intervensi yang akan dilakukan.
2. Kaji derajat imobilisasi klien dengan menggunakan skala ketergantungan Klien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/ peralatan yang minimal (nilai 1); memerlukan bantuan sedang dengan pengawasan / diajarkan (nilai 2); memerlukan bantuan / peralatan yang terus menerus dan alat khusus (nilai 3); atau tergantung secara total pada pemberian asuhan (nilai 4). seseorang da lam semua kategori sama-sama mempunyai resiko kecelakaan namun kategori dengan nilai 2-4 mempunyai resiko terbesar untuk terjadinya bahaya tersebut sehubungan dengan imobilisasi.
3. Berikan atau bantu untuk melakukan latihan rentang gerak/ROM.
Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi / posisi normal ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis 4. Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab dan ganti linen / pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan bebas dari kerutan.
Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan resiko terjadinya ekskoriasi kulit
1. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan sistem saraf. Tujuan : Tidak terjadi perubahan sensori Kriteria : - Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi No. Intervensi Rasional 1 2 3 1. Evaluasi secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan/afektif, sensorik dan proses pikir. Fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. 2. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, tajam/tumpul, dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh, perhatikan adanya masalah penglihatan atau sensasi yang lain. Informasi penting untuk keamanan klien. Semua sistem sensorik dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatkan atau penurunkan sensitifitas atau kehilangan sensasi/kemampuan untuk menerima dan berespon secara sesuai dengan stimulus.
3. Berikan stimulasi yang bermanfaat secara verbal, penciuman, taktil, pendengaran . Membantu klien untuk memisahkan pada realitas dari perubahan persepsi, gangguan fungsi kognitif dan atau penurunan penglihatan dapat menjadi potensi timbulnya disorientasi dan ansietas.
4. Berikan kesempatan yang lebih banyak untuk berkomunokasi dan melakukan aktifitas. Menurunkan frustrasi yang berhubungan dengan perubahan kemampuan atau pola respon yang menunjang.
1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan kesadaran. Tujuan : pola nafas efektif Kriteria : - Frekuensi nafas normal 16 20 x /mt - Irama nafas reguler. No. Intervensi Rasional 1 2 3 1. Kaji dan pantau frekuensi pola dan irama nafas Perubahan pola nafas tidak efektif merupakan tanda berat adanya peningkatan tekanan intrakranial yang menekan medulla oblongata
2. Pertahankan jalan nafas efektif dengan melakukan pembersihan jalan nafas seperti pengisapan lendir dan oral hygiene.
Lendir yang berlebihan akan menumpuk dan menimbulkan obstruksi jalan nafas.
3. Berikan O 2 sesuai order dan monitor efektifitas pemberian oksigen tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam darah dan jaringan.
4. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan leher dan posisi netral. Posisi leher yang ekstensi / menekuk mengakibatkan jalan nafas terhambat.
1. Gangguan keseimbangan suhu tubuh hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi Tujuan : Keseimbangan suhu tubuh terpenuhi. Kriteria : Suhu tubuh 36 37 C, keringat berkurang, klien tidak merasakan panas badan. No. Intervensi Rasional 1 2 3 1. Berikan kompres dingin pada daerah yang banyak pembuluh darah sampai suhu badan kembali normal.
Kompres dingin dapat menimbulkan proses konduksi dimana terjadi perpindahan panas dari satu objek ke objek lain dengan kontak fisik antara kedua objek tersebut. 2. Anjurkan pada klien untuk mengenakan pakaian tipis dan menyerap keringat.
Dengan pakaian tipis memudahkan penyerapan keringat dan memberi rasa nyaman. 3. Observasi tanda-tanda vital suhu, tensi, respirasi, dan nadi. Untuk mengetahui lebih lanjut tindakan yang akan dilakukan. 4. Kolaborasi pemberian terapi antipiretik.
Antipiretik berfungsi menghambat panas pada hipotalamus.
1. Resiko terjadinya gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama. Tujuan : Ganguan integritas kulit tidak terjadi Kriteria : Tidak tampak tanda-tanda gangguan integritas kulit seperti : kemerahan dan lecet pada kulit. No. Intervensi Rasional 1 2 3 1. Atur dan rubah posisi tidur klien setiap 2 jam. Dapat mengurangi tekanan yang terus menerus yang menimbulkan sirkulasi yang optimal pada daerah penekanan.
2. Berikan bantalan pada area tubuh yang menonjol dan berada pada permukaan tempat tidur. Dengan diberikan bantalan pada daerah penekanan akan mengurangi tekanan efek sirkulasi yang tidak lancar.
3. Lakukan masase pada daerah penekanan seperti bokong, siku dan turn it setiap hari.
Tindakan masase sebagi stimulus terhadap vasodilatasi bagi vaskuler yang mengalami kontriksi pada permukaan sehingga akan membantu melancarkan sirkulasi pada daerah tersebut.
4. Observasi tanda dekubitus seperti lecet, kemerahan pada siku, tumit, bokong dan daerah punggung setiap hari
Bila ditemukan tanda-tanda dekubitus segera ambil tindakan untuk mengantisipasi terjadinya kerusakan jaringan kulit yang berlebihan.
1. Gangguan rasa aman: cemas klien atau keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan perawatan klien dirumah. Tujuan : cemas dapat diatasi Kriteria : - Klien atau keluarga mengakui dan mendiskusikan rasa takut. - Klien atau keluarga tampak rileks (tidak memperlihatkan kecemasan seperti gelisah) No. Intervensi Rasional 1 2 3 1. Kaji status mental dan tingkat ansietas dari klien/keluarga. Catat tanda-tanda verbal atau non verbal. Gangguan tingkat kesadaran dapat mempengaruhi ekspresi rasa takut tapi tidak menyangkal keberadaannya. Derajat ansietas akan dipengaruhi bagaimana informasi tersebut diterima oleh individu.
2. Berikan penjelasan hubungan antara proses penyakit dan gejalanya. Meningkatkan pemahaman, mengurangi rasa takut karena ketidaktahuan dan dapat membantu menurunkan ansietas.
3. Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum dilakukan.
Dapat meringankan ansietas terutama ketika pemeriksaan tersebut melibatkan otak.
4. Libatkan klien/keluarga dalam perawatan, perencanaan kehidupan sehari-hari, membuat keputusan sebanyak mungkin.
Meningkatkan perasaan kontrol terhadap diri dan meningkatkan kemandirian.
1. Perubahan nutrisi:kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan reflek menelan (disfagia) atau adanya rasa rnual,muntah dan anoreksia. Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi. Kriteria : - Disfagia dapat diatasi - Tidak terjadi aspirasi. - Mual, muntah dan anoreksia tidak ada. No. Intervensi Rasional
1 2 3 1. Timbang berat badan seminggu sekali.
Untuk mengetahui efektivitas therapi. 2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk membantu perencanaan makanan.
Ahli gizi adalah spesialis nutrisi yang dapat membantu kebutuhan nutrisi klien dan langsung mempersiapkan kebutuhan nurisi kliennya.
3. Jika masukan makanan hanya sedikit, BB terus menerus turun selama 5 hari, status menunjukkan kekurangan nutrisi kolaborasi dengan dokter untuk pemberian nutrisi parenteral total (NPT).
NPT mensuplai protein dan kalori,asam lemak dan vitamin dapat diberikan IV bersama-sama larutan NPT, protein, Karbohidrat dan lemak penting untuk fungsi dan perkembangan sel.
4. Bila terjadi disfagia kolaborasi dengan dokter untuk pemasangan NGT.
Dengan NGT dapat menghindari terjadinya aspirasi karena kelemahan reflek menelan. 5. Kolaborasi pemberian obat H 2 reseptor antagonis sesuai advis.
H 2 reseptor antagonis dapat menghambat produksi HCl atau menetralisir asam lambung.
1. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan : dehidrasi berhubungan dengan kehilangan cairan, penurunan masukan oral dan peningkatan suhu tubuh. Tujuan : Kekurangan volume cairan tubuh tidak terjadi. Kriteria : - Membran mukosa lembab. - Turgor kulit baik. - Pengisian kapiler cepat. No. Intervensi Rasional
1 2 3 1. Kaji perubahan tanda vital.
Peningkatan suhu / demam meningkatkan laju dan kehilangan cairan tubuh melalui evaporasi.
2. Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa.
Indikator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membran mukosa mulut mungkin kering karena nafas melalui mulut dan oksigen tambahan.
3. Catat / lapor keluhan mual atau muntah.
Adanya gejala menurunkan masukan oral.
4. Pantau intake dan output Berikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan pengganti. 5. Tekankan cairan sedikitnya 2500 ml/hari sesuai kondisi
Pemenuhan kebutuhan dasar cairan. 6. Berikan obat sesuai indikasi, misalnya antipiretik, antiemetik. Berguna untuk menurunkan kehilangan cairan.