Anda di halaman 1dari 36

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM

PERSARAFAN : MENINGITIS TUBERKULOSIS DI RUANG


19 A PERAWATAN PENYAKIT SARAF WANITA PERJAN
RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia sejak tahun 1998 terjadi gejolak krisis multidimensi yang telah berdampak
banyak terhadap segi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk krisis ekonomi yang
mengakibatkan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan sandang dan pangan sangat rendah.
Hal ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap tingginya angka kejadian penyakit
diantaranya adalah tuberkulosis (TB). Apabila penyakit ini tidak diobati sampai tuntas akan
menimbulkan berbagai komplikasi, salah satu komplikasi dari infeksi TB ini yang paling
berbahaya apabila menyerang pada susunan saraf pusat atau yang biasa disebut meningitis
tuberkulosis.
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebro spinal,
dan spinal kolumna yang menyebabkan proses peradangan pada sistem saraf pusat (Suriadi,
2001 : 201) merupakan salah satu manifestasi dari penyakit TB yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosis yang menyerang sistem saraf pusat. Meningitis pun harus
diwaspadai insidensinya seiring dengan meningkatnya angka penderita tuberkulosis. Karena
diperkirakan sekitar 1 sampai 10% dari seluruh kejadian infeksi tuberkulosis mengenai
susunan saraf pusat (SSP), baik berupa tuberkuloma pada parenkim otak maupun sebagai
meningitis (Arvanitaksis, 1998). Sedangkan menurut Lindsay (1997 : 474) angka kejadian
meningitis adalah 10% dari jumlah penderita.
Data yang diperoleh dari Rekam Medik Ruang 19 A Perawatan Penyakit Saraf Wanita
Perjan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
TABEL 1
Profil Penyakit Di Ruang 19 A Perawatan Penyakit Saraf Wanita Perjan RS.Dr. Hasan
Sadikin Bandung Periode Januari Juli 2005

No Penyakit
Angka
kejadian
%
Angka
kematian
%
1 Stroke 176 57,32 38 21,59
2 SOL 46 14,98 4 8,69
3 Meningitis 23 7,49 9 39,13
4 Myelo radikulopati 21 6,84 0 0
5 Radikulopati 17 5,53 0 0
6 Epilepsi 16 5,21 2 12,5
7 Tetanus 3 0,97 3 100
8 Ensepalopati 2 0,65 0 0
9 Ensepalitis 2 0,65 2 100
10 Miastenia Gravis 1 0,32 1 100
Jumlah 307 100%
Sumber : Rekam Medik Ruang 19 A Perawatan Penyakit Saraf Wanita Perjan RumahSakit
Dr. Hasan Sadikin Bandung

Menurut tabel diatas penyakit meningitis berada pada urutan ke 3 setelah stroke dan SOL
(space occupying lession). Dengan jumlah penderita 23 orang (7,49%) yang menderita
meningitis. Walaupun persentasinya tidak sebanyak stroke 57,32% namun persentase
kematiannya cukup tinggi yaitu mencapai 39,13% (Medical Record Ruang 19A RSHS.
Bandung).
Selain itu penyakit meningitis dapat menimbulkan gangguan yang kompleks terhadap
sistem tubuh yang lain, misalnya pada sistem pernafasan, kardivaskuler, pencernaan,
perkemihan dan muskuloskeletal, yang dapat pula menimbulkan komplikasi akut dan resiko
kematian. Disamping dampak terhadap sistem tubuh meningitis pun dapat merubah pola
hidup seseorang karena tidak jarang kasus meningitis meninggalkan gejala sisa berupa
kecacatan seperti : ketulian, gangguan penglihatan, dan kelumpuhan.
Berdasarkan angka kejadian dan dampak penyakit meningitis tuberkulosis sebagai
konsekuensi dari meningkatnya angka penderita TB dan kompleknya masalah yang
ditimbulkan akibat infeksi meningitis tuberkulosis, serta dampaknya terhadap kehidupan baik
fisik, sosial, dan ekonomi klien, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan asuhan
keperawatan pada klien dengan meningitis tuberkulosis, untuk dijadikan sebagai bahan
penulisan karya tulis ilmiah dengan judul ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
NY. A DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN : MENINGITIS
TUBERKULOSIS DI RUANG 19 A PERAWATAN PENYAKIT SARAF WANITA
PERJAN RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Memperoleh pengalaman secara nyata dan mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara
langsung dan komprehensif meliputi aspek bio-psiko-sosio-spiritual pada klien dengan
gangguan sistem persarafan : meningitis tuberkulosis melalui pendekatan proses
keperawatan.
1. Tujuan Khusus
Secara khusus penyusunan karya tulis ilmiah ini bertujuan agar penulis dapat :
1. Melakukan pengkajian pada klien dengan gangguan sistem persarafan akibat
meningitis tuberkulosis.
2. Membuat perencanaan pada klien dengan gangguan sistem persarafan akibat
meningitis tuberkulosis.
3. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan
akibat meningitis tuberkulosis.
4. Menilai keberhasilan atau evaluasi dari hasil asuhan keperawatan yang telah
diberikan.
5. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
persarafan : meningitis tuberkulosis.

C. METODE PENULISAN DAN
TEKNIK PENGUMPULAN DATA
1. Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode deskriptif analitik
dalam bentuk studi kasus melalui pendekatan proses keperawatan.
1. Tehnik Pengumpulan Data
Sedangkan tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Wawancara.
Menggunakan komunikasi lisan meliputi auto anamnesa yang didapat langsung dari klien
atau allo anamnesa yang didapat dari keluarga klien.

1. Observasi.
Dilakukan dengan melihat kondisi klien secara fisik, mengamati klien baik dari sikap secara
psikologis.
1. Pemeriksaan Fisik.
Dilakukan secara head to toe meliputi teknik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
1. Studi Dokumentasi.
Dengan melihat hasil laboratorium dan terapi, serta melihat catatan perkembangan kesehatan
klien selama dirawat di rumah sakit yang terlampir dalam status klien.
1. Studi Kepustakaan.
Dengan melihat konsep dan teori yang berhubungan dengan asuhan keperawatan klien
dengan meningitis tuberkulosis.

D. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah meningitis
tuberkulosis, tujuan, metode dan sistematika penulisan
BAB II


: Tinjauan Teori, terdiri dari konsep dasar penyakit yang berisi
pengertian, anatomi dan fisiologi selaput otak , etiologi,
manifestasi klinik, patofisiologi, klasifikasi meningitis, dampak
terhadap sistem tubuh lain, pemeriksaan penunjang, dan
penatalaksanaan medik. konsep dasar proses keperawatan
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi.
BAB III

: Tinjauan Kasus dan Pembahasan, terdiri dari asuhan keperawatan
pada Ny. A dengan Gangguan Sistem Persarafan : Meningitis
Tuberkulosis di Ruang 19A Perawatan Penyakit Saraf Wanita
Perjan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, meliputi
pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Selain itu
juga berisi tentang pembahasan masalah dan kesenjangan yang
dihadapi selama melakukan asuhan keperawatan serta alternatif
pemecahan masalah.
BAB IV : Kesimpulan dan Rekomendasi, berisi uraian-uraian kesimpulan
dari penerapan langkah-langkah proses keperawatan yang terdiri
dari pengkajian hingga evaluasi

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
a. Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis adalah infeksi pada meningen yang disebabkan oleh basil tahan
asam Mycobacterium tuberculosis (Gilroy, 2000).
Suriadi (2001: 201) mengatakan meningitis tuberkulosis adalah peradangan pada selaput
meningen, cairan serebrospinal dan spinal kolumna yang menyebabkan proses infeksi pada
sistem saraf pusat.
Menurut Arief Mansyur, dkk (2000 : 11) meningitis tuberkulosis adalah penyebaran
tuberkulosis primer dengan fokus infeksi ditempat lain.
Sedangkan pengertian meningitis tuberkulosis menurut Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (Perdossi, 1996 : 181) adalah komplikasi infeksi primer dengan atau tanpa
penyebaran milier.
Dari keempat pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa meningitis tuberkulosis adalah
penyakit infeksi yang mengenai selaput otak, parenkim otak dan pembuluh darah otak,
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan merupakan infeksi sekunder sebagai akibat
penyebaran infeksi tuberkulosis ditempat lain umumnya paru-paru.
b. Tuberkulosis (TB)
TB adalah penyakit infeksi menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Tuberculosis, kuman tersebut biasanya masuk kedalam tubuh manusia
melalui udara (pernafasan) kedalam paru-paru, kemudian kuman tersebut menyebar dari
paru-paru ke organ tubuh yang lain melalui penyebaran darah, kelenjar limfe, saluran
pernafasan, penyebaran langsung ke organ tubuh lain (Price,S.A., alih bahasa Nugraha.P,
1995 : 753)

2. Anatomi Fisiologi
a. Meningen
Meningen adalah ketiga lapisan jaringan ikat non neural yang menyelubungi otak dan
medulaspinalis, berindak sebagai peredam syok atau syok absosber dan berisikan cairan
serebrospinalis. Cairan serebospinalis ditemukan pada sistem ventrikel dan rongga sub
arakhnoid. Ketiga lapisan meningen terdiri dari :
1) Duramater atau Dura (pakimenings)
Duramater merupakan lapisan terluar meningen, berupa membran yang padat, kuat dan
tidak lentur. Berlapis dua sekitar otak dan berlapis satu sekitar medulla spinalis. Lapisan luar
bertindak sebagai periosteum dan terikat kuat pada tulang. Lapisan dalam terdapat dalam
rongga subdural. Lapisan dalam duramater terpisah dari lapisan luar tempat terbentuknya
sinus dura.
2) Arakhnoid
Arakhnoid adalah lapisan tengah dari meningen yang avaskular, rapuh, tipis dan
transparan. Seperti halnya dengan duramater, menyebrangi sulki dan hanya menuju kedalam
fisura-fisura utama saja. Dari membran arakhnoid banyak trabekula halus menjurus kearah
pia sehingga memberi gambaran sebagai sarang laba-laba.
Lapisan luar arakhnoid terdiri dari sel yang menyerupai endotel disebut sebagai
meningotelial atau sel arakhnoid. Inti sel-sel tersebut tersusun dalam lapisan tunggal, ganda
atau multipel menghadap kearah rongga sub dural. Lapisan dalam arakhnoid dan trabekula
ditutup oleh sel mesotelial yang dapat memberikan respon terhadap berbagai rangsangan dan
dapat membentuk fagosit.
Granulasi arakhnoid adalah proyeksi pia-arakhnoid yang masuk kedalam sinus sagitalis
superior. Granulasi ini disebut juga badan pacchioni, masing-masing terdiri dari sejumlah
villi arakhnoid yang berfungsi sebagai katup satu arah yang melewatkan bahan-bahan dari
cairan serebrospinal masuk kedalam sinus-sinus.

3) Piamater atau Pia (Leptomenings)
Piamater adalah lapisan meningen terdalam yang melekat erat dengan jaringan otak dan
medulla spinalis, yang mengikuti setiap kontur (sulki dan fisura) sambil membawa pembuluh
darah kecil yang memberi makanan pada jaringan saraf dibawahnya.
Membran pia-glial dibentuk oleh eritrosit end feet yang berakhir di pia. Piamater
nampaknya berperan sebagai barrier atau penghalang masuknya benda-benda dan organisme
yang dapat merusak.






Gambar 1. Anatomi meningen otak
Sumber : Van de Graff, Kent. M. (1984)


1. Rongga Sub Arakhnoid
Rongga sub arakhnoid merupakan rongga leptomeningeal yang terisi cairan
serebrospinal. Semua pembuluh darah, saraf otak serta medulla spinalis melewati cairan
tersebut, sehingga bilamana terjadi infeksi pada rongga ini, maka pembuluh darah dan saraf
dapat terkena proses peradangan. Arteritis dan flebitis dapat menyebabkan iskemi atau
nekrosis jaringan otak.
Rongga sub arakhnoid tidak berhubungan dengan rongga sub dural, karena itu
leptomeningitis tidak menyebar kedalam rongga sub dural kecuali pada meningitis oleh
haemofilus influenza.
1. Sisterna Rongga Sub Araknoid
Rongga sub arakhnoid yang mengelilingi otak dan medulla spinalis memiliki variasi-variasi
setempat. Pada dasar otak dan sekitar batang otak, pia dan arakhnoid memisah dan
membentuk beberapa rongga besar yang disebut sisterna sub araknoid.
Tiga sisterna pada aspek ventral batang otak :
Sisterna khiasmatika yang berada didaerah khiasma optika.
Sisterna interpendunkularis yang berada di fosa interpedunkularis dari mesensefalon.
Sisterna pontin yang berada pada pertemuan pons dengan medula atau Pons
medullary junction.
Dua sisterna di aspek posterior batang otak :
Sisterna serebromedularis (sisterna magna) yang merupakan salah satu sisterna
terbesar, sisterna ini berada diantara pleksus khoroid medulla dan serebelum.
Foramina ventrikel IV membuka kedalam sisterna ini.
Sisterna superior (sisterna ambiens) sisterna ini mengelilingi permukaan superior dan
lateral mesensefalon didalam sisterna ini ditemukan vena serebri magna, arteri serebri
posterior dan serebeli superior
1. Sistem Ventrikel
Sistem ventrikel merupakan suatu seri rongga-rongga di dalam otak yang saling
berhubungan, dilapisi ependima dan berisi cairan serebrospinal yang dihasilkan dari darah
oleh pleksus khoroid.
Rongga-rongga dalam sistem ini terdiri dari sepasang venterikel lateralis (kiri dan kanan),
ventrikel III dan ventrikel IV. Kedua rongga ini dihubungkan oleh aquaduktus silvii.
Kedua ventrikel lateralis berada di dalam hemisfer serebri dan masing-masing dihubungkan
dengan ventrikel III melalui foramen interventrikularis dari monro. Setiap ventrikel lateralis
terdiri dari 4 bagian yaitu :
Kornu anterior
Sela media
Kornu inferior atau temporal
Kornu posterior
Ventrikel ventrikel III adalah suatu rongga ventrikel tipis di garis tengah, diantara pasangan
ventrikel lateralis. Ventrikel IV berhubungan dengan rongga sub arakhnoid melalui kedua
foramina dari luscka dan foramina magendi. Kedua foramen dari luscka terletak dalam sudut
pons dan medulla. Foramen magendi terletak sebelah belakang medulla dan menghadap
sisterna magna.
Setiap ventrikel mempunyai pleksus khoroid, yang paling besar adalah pleksus khoroid
ventrikel lateralis.
1. Pleksus Khoroid dan Cairan Serebrospinal
1) Pleksus khoroid
Pleksus khoroid merupakan anyaman kaya dari pembuluh-pembuluh darah piamater
yang menjorok kesetiap rongga ventrikel, membentuk filter semi permeabel antara darah
arteri dan cairan serebrospinal. Setiap pleksus khoroid diliputi oleh satu lapisan epitel
ependima.
Tela khoroidea dari ventrikel lateralis adalah suatu membran tipis seperti jaring laba-laba
yang melalui foramen interventrikularis, berhubungan langsung dengan pleksus khoroid
ventrikel III. Tela ini dibentuk oleh invaginasi ependima oleh lipatan-lipatan vaskular.
2) Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal adalah filtrat darah yang jernih tidak berbau dan hampir bebas
protein. Cairan serebrospinal dibentuk di ventrikel-ventrikel dan beredar didalam rongga sub
arakhnoid.
Fungsi cairan serebrospinal adalah menunjang dan membantali susunan saraf pusat terhadap
trauma.
1. Peredaran Darah Otak
1) Peredaran darah arterial
Suplai peredaran darah arterial kestruktur-strukur intra kranial pada dasarnya berasal dari
cabang-cabang kedua arteri karotis interna dan kedua arteri vertebralis.
a) Arteri karotis interna
Arteri karotis interna keluar dari percabangan karotis komunis leher. Pembuluh darah ini
naik menuju basis kranii, membelah sebagai suatu pembuluh bentuk sigmoid di dalam sinus
kavernosus.
Arteri karotis interna hanya memberi cabang di rongga tengkorak, terdiri dari :
(1) Arteri optalmika
Arteri ini mempunyai cabang penting yaitu arteri sentralis retinae yang berjalan ditengah-
tengah nervus optikus dan berakhir diretina.
(2) Arteri khoroidalis anterior
Arteri khoroidalis anterior mengikuti traktus optikus sampai pada ketinggian korpus
genikulatum lateralis dan kemudian menjadi bagian dari pleksus khoroid ventrikel lateralis.
Pembuluh darah ini juga memberi cabang-cabang ke pedunkulus serebri, kapsula interna,
nukleus kaudatus, hipokampus dan traktus optikus.
(3) Arteri serebri anterior dan media
Kedua arteri ini merupakan cabang terminal dari arteri karotis interna. Arteri serebri anterior
memberi suplai darah pada lobus frontalis. Didalam fisura longitudinalis serebri dapat
ditemukan arteri komunikans anterior. Cabang-cabang arteri serebri anterior berjalan menuju
sisi medial lobus frontalis dan parietalis, substansia perforata anterior, septum pellusidum dan
sebagian dari korpus kalosum. Arteri striata medialis memberi darah pada nukleus kaudatus,
putamen dan bagian anterior kapsula interna.Arteri serebri media memberi cabang-cabang
kesisi lateral lobus temporal dan parietal.
Arteri striata lateralis memperdarahi ganglia basalis dan kapsula interna. Arteri komunikans
posterior bersatu dengan ramus serebri posterior arteri basilaris. Dalam perjalanannya
memberi cabang ke kapsula interna dan talamus
b) Arteri vertebralis
Arteri vertebralis adalah cabang-cabang dari arteri sub klavia. Cabang-cabangnya adalah
arteri spinalis anterior dan posterior serta arteriae serebelaris inferior posterior.
Arteri basilaris dibentuk oleh kedua gabungan arteri vetrebralis, berjalan pada aspek ventral
pons. Cabang-cabangnya meliputi arteriae pontin, sereberalis inferior anterior, labirintin,
serebralis superior dan sereberalis posterior.
Arteri terakhir memperdarahi sisi medial dan inferior lobus oksipitalis dan temporalis serta
cabang-cabang khoroidal posterior ke pleksus khoroid ventrikel III dan ventrikel lateralis.
c) Sirkulus willisi
Sirkulus willisi dibentuk oleh arteri-arteri komunikan anterior dan posterior serta bagian
proksimal arteri-arteri serebri anterior, media dan posterior.
Fungsi sirkulus willisi memungkinkan suplai darah yang adekuat ke otak bilamana timbul
oklusi arteri karotis atau vertebralis. Banyak arteri keluar dari lingkaran ini, masuk ke
substansia otak dan arteri-arteri ini sangat penting oleh karena selain berkaliber kecil
sehingga mudah tersumbat, juga merupakan end artery tanpa peredaran kolateral dan
memperdarahi daerah-daerah vital.
2) Peredaran darah vena
Peredaran darah vena tidak berperan besar dalam meningitis tuberkulosis. Terdiri dari vena
serebral internal dan eksternal. Tempat berakhirnya vena-vena otak ini di sinus-sinus
duramater.

3. Etiologi
Penyakit meningitis tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis humanus,
sedangkan menurut peneliti yang lain dalam literatur yang berbeda meningitis Tuberkulosis
disebabkan oleh dua micobacterium yaitu Mycobacterium tubeculosis dan Mycobacterium
bovis yang biasanya menyebabkan infeksi pada sapi dan jarang pada manusia. (Lindsay, 1997
:473).
Mycobacterium tuberculosis merupakan basil yang berbentuk batang, berukuran 0,2-0,6mm x
1,0-10mm, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Mycobacterium tuberculosis bersifat
obligat aerob, hal ini menerangkan predileksinya pada jaringan yang oksigenasinya tinggi
seperti apeks paru, ginjal dan otak. Mycobacterium tidak tampak dengan pewarnaan gram
tetapi tampak dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Basil ini bersifat tahan asam, artinya tahan
terhadap pewarnaan carbolfuchsin yang menggunakan campuran asam klorida-etanol. Sifat
tahan asam ini disebabkan karena kadar lipid yang tinggi pada dinding selnya. Lipid pada
dinding sel basil Mycobacterium tuberculosis meliputi hampir 60% dari dinding selnya, dan
merupakan hidrokarbon rantai panjang yang disebut asam mikolat. Mycobacterium
tuberculosa tumbuh lambat dengan double time dalam 18-24 jam, maka secara klinis
kulturnya memerlukan waktu 8 minggu sebelum dinyatakan negatif.

4. Manifestasi Klinik
Meningitis tuberkulosis umumnya memiliki onset yang perlahan. Terdapat riwayat
kontak dengan penderita tuberkulosis, biasanya memiliki TB aktif atau riwayat batuk lama,
berkeringat malam dan penurunan berat badan beberapa hari sampai beberapa bulan sebelum
gejala infeksi susunan saraf pusat muncul.
Gejala meningitis tuberkulosis sangat bervariasi, gejala awal biasanya mirip dengan
infeksi umum lainnya yaitu berupa kelemahan umum (malaise), demam yang tidak
terlalu0020tinggi, nyeri kepala yang hilang timbul dan muntah. Setelah gejala awal
berlangsung selama sekitar 2 minggu timbul gejala nyeri kepala yang persisten dan nyeri
tengkuk yang berhubungan dengan rangsang meningeal, timbul tanda-tanda peningkatan
tekanan intra kranial dan defisit neurulogik fokal (parese pada nervus kranial dan
hemiparese). Inflamasi arteri pada basis kranii disertai penyempitan dan pembentukan
trombus pada lumennya menimbulkan iskemik dan infark serebri dengan berbagai defisit
neurologi sebagai akibatnya. Saraf kranial II, III, IV, VI, VII dan VIII sering mengalami
kompresi oleh eksudat yang kental. Pada stadium lanjut terjadi gerakan involunter, hemiplegi,
kesadaran yang semakin menurun dan terjadi hidrosefalus.
Ensefalopati tuberkulosis secara klinis memberikan sindrom berupa kejang, stupor atau
koma, gerakan involunter, paralise, deserebrasi atau rigiditas dengan atau tanpa tanda klinis
meningitis atau kelainan cairan serebrospinalis.

5. Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis pada umumnya sebagai penyebaran infeksi tuberkulosis primer
ditempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru-paru. Tuberkulosis secara primer
merupakan penyakit pada manusia. Reservoir infeksi utamanya adalah manusia, dan penyakit
ini ditularkan dari orang ke orang terutama melalui partikel droplet yang dikeluarkan oleh
penderita tuberkulosis paru pada saat batuk. Partikel-partikel yang mengandung
Mycobacterium tuberculosis ini dapat bertahan lama di udara atau pada debu rumah dan
terhirup masuk kedalam paru-paru orang sehat. Pintu masuk infeksi ini adalah saluran nafas
sehingga infeksi pertama biasanya terjadi pada paru-paru. Transmisi melalui saluran cerna
dan kulit jarang terjadi.
Droplet yang terinfeksi mencapai alveoli dan berkembang biak dalam ruang alveoli,
makrofag alveoli maupun makrofag yang berasal dari sirkulasi. Sejumlah kuman menyebar
terutama ke kelenjar getah bening hilus. Lesi primer pada paru-paru berupa lesi eksudatif
parenkimal dan kelenjar limfenya disebut kompleks Ghon. Pada fase awal kuman dari
kelenjar getah bening masuk kedalam aliran darah sehingga terjadi penyebaran hematogen.
Dalam waktu 2-4 minggu setelah terinfeksi, terbentuklah respon imunitas selular terhadap
infeksi tersebut. Limfosit-T distimulasi oleh antigen basil ini untuk membentuk limfokin,
yang kemudian mengaktivasi sel fagosit mononuklear dalam aliran darah. Dalam makrofag
yang diaktivasi ini organisme dapat mati, tetapi sebaliknya banyak juga makrofag yang mati.
Kemudian terbentuklah tuberkel terdiri dari makrofag, limfosit dan sel-sel lain mengelilingi
jaringan nekrotik dan perkijuan sebagai pusatnya.
Setelah infeksi pertama dapat terjadi dua kemungkinan, pada orang yang sehat lesi akan
sembuh spontan dengan meninggalkan kalsifikasi dan jaringan fibrotik. Pada orang dengan
daya tahan tubuh yang rendah, penyebaran hematogen akan menyebabkan infeksi umum
yang fatal, yang disebut sebagai tuberkulosis millier diseminata. Pada keadaan dimana respon
host masih cukup efektif tetapi kurang efisien akan timbul fokus perkijuan yang besar dan
mengalami enkapsulasi fibrosa tetapi menyimpan basil yang dorman. Klien dengan infeksi
laten memiliki resiko 10% untuk berkembang menjadi tuberkulosis aktif. Reaktivasi dari
fokus perkijuan akan terjadi bila daya tahan tubuh host menurun, maka akan terjadi
pembesaran tuberkel, pusat perkijuan akan melunak dan mengalami pencairan, basil
mengalami proliferasi, lesi akan pecah lalu melepaskan organisme dan produk-produk
antigen ke jaringan disekitarnya. Apabila hal-hal yang dijelaskan di atas terjadi pada susunan
saraf pusat maka akan terjadi infeksi yang disebut meningitis tuberkulosis.
Fokus tuberkel yang berlokasi dipermukaan otak yang berdekatan dengan ruang sub
arakhnoid dan terletak sub ependimal disebut sebagai Focus Rich. Reaktivasi dan ruptur
dari fokus rich akan menyebabkan pelepasan basil Tuberkulosis dan antigennya kedalam
ruang sub arakhnoid atau sistem ventrikel, sehingga terjadi meningitis tuberkulosis.




Patofisiologi Meningitis Tuberkulosis
Inhalasi kuman TB

Paru-paru

Penyebaran limfohematogen

TB paru primer Dorman di otak Organ lain

Pembentukan tuberkel-tuberkel kecil berwarna putih
pada permukaan otak, selaput otak, sumsum tulang belakang

Tuberkel melunak dan pecah

Kuman masuk ke ruang sub arakhnoid dan ventrikulus

Terjadi peradangan difus pada pia, arakhnoid, LCS, ruang sub arakhnoid dan ventrikulus

Penyebaran sel-sel leukosit PMN ke dalam ruang sub arakhnoid


Terbentuk eksudat

Beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dalam minggu ke-2





Eksudat yang terbentuk terdiri dari 2 lapisan :
lapisan luar mengandung fibrin dan leukosit PMN
lapisan dalam mengandung makrofag

Proses radang terjadi juga pada pembuluh darah di korteks

Trombosis, infark otak, oedema otak, degenerasi neuron-neuron

Tombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrinopurulen. Kelainan nervus kranial II,
III, IV, VI, VII, VIII


Organisasi di ruang sub arakhnoid superfisial yang dapat menghambat aliran dan absorpsi
LCS


Hidrosefalus komunikan

Bagan 1
Patofisiologi
6. Klasifikasi
Menurut Smeltzer. S.C and Brenda. G. Bare (2001 : 2175) klasifikasi meningitis dibagi
menjadi 3 tipe utama yaitu meningitis asepsis, sepsis dan tuberkulosis.
1. Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau menyebabkan iritasi
meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis, limfoma, leukemia, atau darah
di ruang sub arakhnoid.




2. Meningitis sepsis menunjukan meningitis yang disebabkan oleh organisme bakteri
seperti meningokokus,stafilokokus, atau basilus influenza.
3. Meningitis tuberkulosis disebabkan oleh bakteri mikobakterium tuberkulosis.
Sedangkan menurut Arief Mansyur (2000 : 11) berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak, meningitis dibagi dalam 2 golongan yaitu :
1. Meningitis serosa adalah radang selaput otak, arakhnoid, dan piamater yang disertai
cairan otak yang jernih penyebab tersering adalah Mycobacterium tuberculosis,
penyebab lain adalah virus, toxoplasma dan ricketsia.
2. Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan piamater yang meliputi
otak dan medulaspinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae
(pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus haemoliticus,
Staphylococcus coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa.
Klasifikasi atas dasar gejala klinik yang dapat meramalkan prognosis penyakit menurut
Medical Research Council of Great Britain sebagai berikut :
Stadium I : Klien menunjukan sedikit atau tanpa gejala klinis
meningitis, tanpa parese, dalam keadaan umum yang baik dan
kesadaran yang penuh.
Stadium II : Klien dengan keadaan diantara stadium I dan III
Stadium III : Klien tampak sakit berat, kesadaran stupor atau koma dan
terdapat parese yang berat (hemiplegi atau paraplegi).

7. Dampak Meningitis Terhadap Sistem Tubuh Lain
a. Sistem Pernafasan
Penderita meningitis dapat mengalami kerusakan saraf pengatur pernafasan sehingga kontrol
sistem pernafasan tidak adekuat. Pola nafas berubah sehingga pengambilan oksigen dari
atmosfir dapat berkurang, yang berakhir dengan kondisi hipoksia. Kerusakan vaskular pada
jaringan susunan saraf pusat akan menghambat proses transportasi oksigen sehingga otak
kekurangan oksigen yang berdampak terjadinya kematian sel-sel jaringan otak, distres
pernafasan terjadi akibat penekanan pusat pernafasan di medulla oblongata oleh peningkatan
tekanan intrakranial.
b. Sistem Kardiovaskular
Proses peradangan pada meningen menyebabkan perubahan pada jaringan selaput otak
sehingga menghambat sirkulasi darah. Gangguan pola nafas menyebabkan kadar oksigen
darah berkurang sehingga perfusi jaringan menurun yang ditandai dengan adanya sianosis
pada beberapa bagian tubuh tekanan darah meningkat atau menurun dan frekuensi nadi
meningkat.
c. Sistem Pencernaan
Terjadi oedema serebral mengakibatkan kompensasi tubuh untuk menangani dengan
mengeluarkan steroid adrenal melalui perangsangan dari hipotalamus. Hal ini berpengaruh
terhadap peningkatan sekresi asam lambung yang menyebabkan hiper asiditas yang akan
menimbulkan mual, muntah dan nafsu makan berkurang. Pada kondisi yang kronis keadaan
ini akan menimbulkan iskemi mukosa lambung dan kerusakan barier mukosa sehingga
terjadilah perdarahan lambung (stress ulcer) maka pada kondisi tersebut asupan nutrisi klien
tidak adekuat yang menimbulkan klien kurang nutrisi.
d. Sistem Perkemihan
Pada sistem urinaria terjadi retensi urine dan inkontinensia urine. Pada kondisi lebih lanjut
akan terjadi albuminuria karena proses katabolisme terutama jika dalam kondisi kekurangan
kalori protein (KKP).


e. Sistem Persarafan
Proses peradangan meningen dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial, dimana
akan terjadi kerusakan saraf pusat pengontrol kesadaran yang dapat menimbulkan penurunan
kesadaran dan terjadi penekanan pada saraf pusat pernafasan yang dapat mengakibatkan pola
nafas tidak efektif. Pada saraf kranial yaitu nervus vagus yang mengakibatkan penurunan
reflek menelan, nervus optikus yang dapat mengganggu fungsi visual, kerusakan nervus III,
IV, VI yang dapat mengganggu pergerakan bola mata, kerusakan nervus VIII yang dapat
mengganggu fungsi pendengaran. Pada proses peradangan akan menimbulkan respon nyeri
yang akan merangsang korteks sesebri dan dalam keadaan lanjut dapat menimbulkan iritasi
meningen yang ditandai dengan adanya kaku kuduk, kernig positif, brudzinski I dan II, serta
laseque positif.
f. Sistem muskuloskeletal
Proses inflamasi pada susunan saraf menimbulkan berbagai hambatan dalam
perangsangan neuromuskuler sehingga dapat timbul kelemahan otot-otot dan terjadi paralise.
Hal ini memungkinkan klien tidak dapat melakukan aktifitas gerak tubuhnya secara optimal
bahkan terjadinya kontraktur dapat memperberat kondisi.
g. Sistem Integumen
Peningkatan metabolisme mengakibatkan peningkatan suhu tubuh sehingga timbul
demam, yang dapat meningkatkan kebutuhan cairan, selain itu klien dengan meningitis
seringkali terjadi penurunan kesadaran sehingga klien harus berbaring lama di tempat tidur
dan dapat terjadi gangguan integritas kulit sebagai dampak dari berbaring yang lama.

8. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada meningitis tuberkulosis meliputi pemeriksaan Rontgent thorax,
CT-scan, MRI.
Pada klien dengan meningitis tuberkulosis umumnya didapatkan gambaran tuberkulosis paru
primer pada pemeriksaan rontgent thoraks, kadang-kadang disertai dengan penyebaran milier
dan kalsifikasi. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan dan MRI dapat terlihat adanya
hidrosefalus, inflamasi meningen dan tuberkoloma. Gambaran rontgent thoraks yang normal
tidak menyingkirkan diagnosa meningitis tuberkulosis.
1. Tes Tuberkulin
Tuberkulin hanya mendeteksi reaksi hipersensitifitas lambat, tidak menandakan adanya
infeksi aktif sehingga penggunaannya untuk mendiagnosis infeksi aktif dan meningitis
tuberkulosis masih kurang sensitif. Namun pemeriksaan tuberkulin yang positif pada anak
memiliki nilai diagnostik, sementara pada orang dewasa hanya menandakan adanya riwayat
kontak dengan antigen tuberkulosis, dan dapat memberikan arah untuk pemeriksaan
selanjutnya.
1. Cairan Serebrospinal
Pemeriksaan cairan serebrospinal merupakan diagnostik yang efektif untuk mendiagnosis
meningitis tuberkulosis. Gambaran cairan serebrospinal yang karakteristik pada meningitis
tuberculosis adalah:
1) Cairan jernih sedikit kekuningan atau xantocrom.
2) Pleositosis yang moderat biasanya antara 100-400 sel/mm
3
dengan predominan limfosit.
3) Kadar glukosa yang rendah 30-45 mg/dL atau kurang dari 50% nilai glukosa darah.
4) Peningkatan kadar protein.
1. Bakteriologi
Identifikasi basil tuberkulosis pada cairan serebrospinal memiliki akurasi yang sangat tinggi
hingga 100% dalam mendiagnosis meningitis tuberkulosis. Untuk mendiagnosis basil
tersebut dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan apus langsung BTA dengan metode Ziehl-
Neelsen dan dengan cara kultur pada cairan serebrospinal.
1. Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan ini untuk mengukur sifat tertentu dari mycobacterium atau respon tubuh
penderita terhadap mycobacterium. Yang tergolong pemeriksaan biokimia antara lain:
1) Bromide Partition Test (BPT)
2) Adenosine Deaminase Activity (ADA)
3) Tuberculostearic Acid
1. Tes Immunologis
Yang mendeteksi antigen atau antibody mikobakterial dalam cairan serebrospinal, metoda
yang sering digunakan dalam tes imunologis antara lain:
1) ELISA (enzym linked immuno sorbent assay)
2) Polymerase Chain Reaction (PCR)

9. Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan meningitis tuberkulosis terdiri dari:
1. Perawatan umum
Perawatan penderita meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguh-
sungguh, antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan nutrisi, posisi klien,
perawatan kandung kemih, dan defekasi serta perawatan umum lainnya sesuai dengan kondisi
klien.
1. Kemoterapeutik dengan obat anti tuberkulosis
Tujuan pengobatan terhadap penderita tuberkulosis adalah menyembuhkan penderita dari
penyakit tuberkulosis yang dideritanya, mencegah kematian akibat tuberkulosis, mencegah
terjadinya relaps, mencegah penularan dan sekaligus mencegah terjadinya resistensi terhadap
obat anti tuberkulosis (OAT) yang diberikan.
Prinsip pengobatan meningitis tuberkulosis tidak banyak berbeda dengan terapi bentuk
tuberkulosis yang lain. Syarat terpenting adalah bahwa pilihan OAT harus dapat menembus
sawar darah otak dalam konsentrasi yang cukup untuk mengeliminir basil intra dan
ekstraselular. Beberapa obat yang biasa digunakan untuk meningitis tuberkulosis adalah :
1) Isoniazida (INH) diberikan dengan dosis 400 mg / hari.
2) Rifampisin, diberikan dengan dosis 450-600 mg / hari.
3) Pyrazinamid, diberikan dengan dosis 1500 mg / hari.
4) Ethambutol, diberikan dengan dosis 25 mg / kg BB / hari sampai dengan 1500 mg /
hari.
5) Streptomisin, diberikan intra muskular selama 3 bulan dengan dosis 30-50 mg / kg BB /
hari.
6) Kortikosteroid, biasanya digunakan dexametason secara intra vena dengan dosis 10 mg
setiap 4-6 jam, pemberian dexametason ini terutama jika terdapat oedema otak, apabila
keadaan membaik maka dosis dapat diturunkan secara bertahap.
Efek samping OAT
(a) Isoniazid (H)
Efek samping berat yaitu terjadi hepatitis dan terjadi pada kira-kira 0,5% dari kasus. Bila
terjadi maka pengobatan dihentikan, dan setelah pemeriksaan faal hati kembali normal
pengobatan dapat dilaksanakan kembali
Efek samping ringan berupa
(1) Tanda-tanda keracunan saraf tepi, kesemutan, anastesia dan nyeri otot
(2) Kelainan yang menyerupai syndroma pellagra
(3) Kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal
(b) Rifampisin (R)
Efeksamping berat jarang terjadi seperti : sesak nafas yang kadang-kadang disertai kollaps
atau syok, anemia hemolitik, purpura dan gagal ginjal
Efek samping ringan seperti : gatal-gatal, kemerahan, demam, nyeri tulang, nyeri perut, mual
muntah dan kadang-kadang diare.
(c) Pyrazinamid (Z)
Efek samping utama adalah hepatitis, dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang serangan
penyakit gout.
(d) Ethambutol (E)
Dapat menyebabkan gangguan penglihatan, berkurangnya ketajaman penglihatan, kabur dan
buta warna merah dan hijau.



Konsep Asuhan Keperawatan Meningitis
Dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien yang mengalami gangguan sistem
persarafan, perawat dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis, karena tidak jarang
kliennya mengalami penurunan kesadaran, sehingga perawat bekerja sepihak. Walaupun
kondisinya demikian perawat tetap harus menggunakan metoda pendekatan pemecahan
masalah (problem solving) melalui proses keperawatan.
Proses keperawatan yaitu serangkaian perbuatan atau tindakan untuk menetapkan,
merencanakan dan melaksanakan pelayanan keperawatan dalam rangka membantu klien
untuk mencapai dan memelihara kesehatan secara optimal.tindakan keperawatan tersebut
dilaksanakan secara komprehensif yang saling berkesinambungan dan berkaitan satu sama
lain dari mulai pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. 1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan dimana pada tahap ini
perawat melakukan pengumpulan data yang diperoleh dari hasil wawancara, pemeriksaan
fisik, laporan teman sejawat, catatan keperawatan atau tim kesehatan lainnya. Data yang
diperoleh kemudian dianalisa untuk mendapatkan diagnosa keperawatan yang merupakan
masalah klien. Tahap pengkajian ini terdiri dari :
a. Pengumpulan data
1) Identitas
a) Identitas klien
Identitas klien yang berhubungan dengan penyakit meningitis adalah:
- Umur : meningitis adalah penyakit sistem persarafan yang dapat terjadi pada semua umur,
dewasa maupun anak.
- Pendidikan : Pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi terhadap pengetahuan klien
tentang penyakit meningitis
- Pekerjaan : Ekonomi yang rendah akan berpengaruh karena dapat menyebabkan gizi yang
kurang sehingga daya tahan tubuh klien rendah dan mudah jatuh sakit.
b) Identitas penanggung jawab meliputi:
Nama, umur, pendidikan, pekerjaan, alamat dan hubungan dengan klien.
2) Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Pada umumnya klien dengan meningitis keluhan yang paling utama adalah adanya nyeri
kepala atau penurunan kesadaran yang disertai kejang.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Pengkajian meliputi keluhan pada saat datang ke rumah sakit dan keluhan pada saat
pengkajian, dikembangkan dengan menggunakan analisa PQRST.


P: Provokatif/paliatif
Apakah yang meyebabkan keluhan dan memperingan serta memberatkan keluhan. Nyeri
kepala pada penyakit meningitis biasanya disebabkan oleh adanya iritasi meningen. Nyeri di
rasakan bertambah bila beraktivitas dan berkurang jika beristirahat.
Q : Quantity / Quality
Seberapa berat keluhan dan bagaimana rasanya serta berapa sering keluhan itu muncul. Nyeri
kepala dirasakan menetap dan sangat berat.
R: Region / Radasi
Lokasi keluhan dirasakan dan juga arah penyebaran keluhan sejauh mana.
S : Scale
Intensitas keluhan dinyatakan dengan keluhan ringan, sedang dan berat. Nyeri kepala pada
klien meningitis sangat berat (skala : 5), dikarenakan adanya iritasi meningen yang disertai
kaku kuduk.
T : Timing
Kapan keluhan dirasakan, seberapa sering, apakah berulang-ulang, dimana hal ini
menentukan waktu dan durasi. Keluhan nyeri dirasakan menetap/terus menerus karena iritasi
meningen.

c) Riwayat kesehatan dahulu
Kaji kebiasaan klien : merokok, minum-minuman beralkohol, riwayat batuk lama / infeksi
saluran nafas kronis, batuk berdahak atau tanpa dahak (dahak berdarah / tidak). Riwayat
kontak dengan penderita TBC. Apakah klien punya riwayat trauma kepala atau tulang
belakang. Riwayat infeksi lain seperti Otitis media dan mastoiditis.
d) Riwayat kesehatan keluarga.
Kaji riwayat keluarga apakah ada keluarga klien yang menderita penyakit yang sama
dengan klien, riwayat demam disertai kejang. Adanya penyakit menular seperti TBC.
3) Pemeriksaan fisik
a) Sistem pernafasan
Gejala yang ditemukan biasanya didapatkan pernafasan cepat dan dangkal, penggunaan otot-
otot pernafasan tambahan, adanya pernafasan cuping hidung, retraksi dada positif, adanya
batuk berdahak, ronkhipositif.
b) Sistem Kardiovaskuler
Suara jantung lemah, adanya peningkatan tekanan darah atau penurunan tekanan darah dan
peningkatan frekuensi denyut nadi. Pada kasus lebih lanjut akral menjadi dingin, terjadi
sianosis dan capillary refil time (CRT) lebih dari 3 detik.

c) Sistem Percernaan
Pada sistem pencernaan ditemukan keluhan mual dan muntah serta anoreksia bahkan
ditemukan adanya kerusakan nervus kranial pada nervus vagus yang mengakibatkan
penurunan reflek menelan. Pada kondisi ini akan menimbulkan hipersekresi HCl iskemia
mukosa lambung dan kerusakan barrier mukosa erosi hemoragik lambung (perdarahan
lambung) sehingga terjadi penurunan berat badan dan jatuh pada kondisi kurang kalori
protein (KKP).
d) Sistem Perkemihan
Pada sistem urinaria dapat terjadi retensi urine dan inkontinensia urine. Pada kondisi lebih
lanjut akan terjadi albuminuria karena proses katabolisme terutama jika dalam kondisi KKP.
e) Sistem Muskuloskeletal
Pengkajian pada sistem muskuloskeletal perlu diarahkan pada kerusakan motorik, kelemahan
tubuh, massa otot, dan perlu di kaji rentang gerak dari ekstremitas.
f) Sistem Integumen
Penting mengkaji adanya peningkatan suhu tubuh sebagai dampak infeksi sistemik, selain itu
klien dengan meningitis seringkali terjadi penurunan kesadaran sehingga klien harus
berbaring lama di tempat tidur dan dapat terjadi gangguan integritas kulit sebagai dampak
dari berbaring yang lama.
g) Sistem persarafan
Gangguan yang muncul pada klien meningitis yang berkaitan dengan sistem persarafan
sangat kompleks. Pada penyakit meningitis terjadi peradangan selaput otak dan parenkim
otak yang merupakan pusat sistem persarafan. Gangguan yang muncul tersebut antara lain:
kerusakan saraf pengontrol kesadaran yang dapat mengakibatkan penurunan kesadaran, pola
nafas tidak efektif akibat peningkatan tekanan intrakranial yang menekan pusat pernafasan
dan kerusakan pada saraf kranial yaitu nervus vagus yang mengakibatkan penurunan reflek
menelan, nervus kranial lain yang umum terkena adalah nervus I, III, IV, VI, VIII. Pada
penyakit meningitis terdapat tanda yang khas yaitu tanda-tanda iritasi meningen: kaku kuduk
positif, brudzinski I, II positif, kernig dan laseque positif. Selain itu gejala awal yang sering
terjadi pada meningitis adalah sakit kepala dan demam yamg diakibatkan dari iritasi
meningen, juga didapat adanya manifestasi perubahan perilaku yang umum terjadi, yaitu
letargik, tidak responsif dan koma. Kejang sekunder dapat terjadi juga akibat area fokal
kortikal yang peka. Alasan yang tidak diketahui, klien meningitis juga mengalami foto
fobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.


4) Pola aktivitas sehari-hari
a) Nutrisi
Biasanya klien kehilangan nafsu makan, mual, muntah, anoreksia dan bila pasien mengalami
penurunan kesadaran, reflek menelan terjadi penurunan, sehingga klien harus dipasang naso
gastric tube (NGT).
b) Eliminasi
Pada umumnya klien dengan penurunan kesadaran akan terjadi inkontinensia urine sehingga
harus dipasang dower kateter.
c) Istirahat tidur
Istirahat tidur terganggu akibat adanya sesak nafas, nyeri kepala hebat akibat peningkatan
tekanan intra kranial. Hal ini merupakan mecanoreceptor terhadap reticular activating system
( RAS ) sebagai pusat tidur jaga.
d) Personal hygiene
Bisa mengalami gangguan pemenuhan ADL termasuk personal hygiene akibat kelemahan
otot terutama pada klien dengan penurunan kesadaran.
5) Data psikologis
Pada umumnya klien merasa takut akan penyakitnya, cemas karena perawatan lama di rumah
sakit dan perasaan tidak bebas di rumah sakit akibat hospitalisasi.
Konsep diri klien: persepsi klien terhadap tubuhnya dapat berubah akibat perubahan bentuk
dan fungsi tubuh, klien merasa tidak berharga, rendah diri dan kehilangan peran.
Ideal diri klien banyak yang tidak tercapai. Sebagian besar penyakit meningitis dapat
membatasi kehidupan klien sehari-hari.
6) Data sosial
Perlu dikaji tentang tidak tanggapnya terhadap aktifitas disekitarnya baik ketika di rumah
atau di rumah sakit. Klien biasanya menjadi tidak peduli dan lebih banyak diam akan
lingkungan sekitarnya.
7) Data spiritual
Pengkajian ditujukan terhadap harapan kesembuhan, kepercayaan dan penerimaan
mengenai keadaan sakit serta keyakinan yang dianut oleh klien ataupun keluarga klien.
8) Data Penunjang
a) Laboratorium
(1) Pemeriksaan darah leukosit meningkat bila terjadi infeksi.
(2) Analisis cairan serebrospinalis melalui lumbal fungsi.
Karakteristik cerebro spinalis fluid (CSF) pada meningitis tuberkulosis adalah :
(a) Warna CSF jernih
(b) Jumlah sel eritrosit dan leukosit meningkat.

(c) Biokimia:
- Kalium meningkat
- Klorida menurun
- Glukosa menurun
- Protein meningkat
b) Radiologi dengan thorak foto melihat kemungkinan adanya penyakit saluran nafas
sebagai infeksi primer.
c) Foto tulang wajah untuk melihat adanya skelet dan rongga sinus yang mengalami
sinusitis.
d) Scanning / CT Scan untuk menemukan adanya patologi otak dan medulaspinalis.

b. Analisa Data
Analisa data adalah kemampuan mengaitkan dan menggabungkan data tersebut dengan
konsep teori dan prinsip yang relevan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan
masalah kesehatan dan keperawatan klien. Merupakan suatu proses berpikir yang meliputi
kegiatan pengelompokkan data dan menginterpretasikan kelompok data dan membandingkan
dengan standar yang normal serta menentukan masalah atau penyimpangan yang merupakan
suatu kesimpulan.

c. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan meningitis adalah:
Menurut Doenges, 1993 : 311-319
1) Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan proses invasi kuman patogen.
2) Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
oedema serebral.
3) Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan penurunan kesadaran
4) Nyeri berhubungan dengan adanya proses infeksi pada susunan saraf pusat.
5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
6) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan sistem saraf.
7) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
8) Kurang pengetahuan tentang penyebab infeksi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
Menurut Tucker (1993:522-524).
9) Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.
10) Gangguan keseimbangan suhu tubuh, hypertermia berhubungan dengan proses
inflamasi.
11) Resiko terjadinya gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
lama.

1. 2. Perencanaan
Perencanaan adalah proses penentuan tujuan merumuskan intervensi dan rasional secara
sistematis dan spesifik disesuaikan dengan kondisi, situasi dan lingkungan klien.
1. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan proses invasi kuman patogen
secara hematogen.
Tujuan : Penyebaran infeksi tidak terjadi.
Kriteria :
- Suhu tubuh normal 36-37C
- Klien ditempatkan di ruang isolasi
No. Intervensi Rasional

1 2 3
1. Berikan tindakan isolasi
sebagai tindakan pencegahan
Pada fase awal meningitis
meningokokus atau infeksi
ensepalitis lainnya, isolasi
mungkin diperlukan sampai
organismenya diketahui/dosis
antibiotik yang cocok telah
diberikan untuk menurunkan
resiko penyebaran pada orang
lain.

2. Pertahankan teknik aseptik dan
teknik cuci tangan yang tepat
baik klien atau pengujung
maupun staf. Pantau dan batasi
pengunjung/staf sesuai kebutuhan.
Menurunkan resiko klien
terkena infeksi sekunder.
Mengontrol penyebaran
sumber infeksi, mencegah
pemajanan pada individu
terinfeksi (misalnya: individu
yang mengalami infeksi
saluran pemafasan atas).

3. Pantau suhu secara teratur. Catat
munculnya tanda-tanda klinis dari
proses infeksi.

Terapi obat biasanya akan
diberikan terus selama kurang
dari 5 hari setelah suhu turun
(kembali normal) dan tanda-
tanda klinisnya jelas.
Timbulnya tanda klinis yang
terus menerus merupakan
indikasi perkembangan dari
meningokosemia akut yang
dapat
bertahan sampai berminggu-
minggu/berbulan-bulan atau
terjadi
penyebaran patogen secara
hematogen/sepsis.
4. Teliti adanya keluhan dari dada,
berkembangnya nadi yang tidak
teratur/disritmia atau demam yang
terus menerus.
Infeksi sekunder
seperti
miokarditis/perikarditis dapat
berkembang dan memerlukan
1 2 3
intervensi
lanjut.

5. Auskultasi suara nafas. Pantau
kecepatan pernafasan dan usaha
pernafasan.

Adanya rorchi/mengi, takhipne
dan peningkatan kerja
pernafasan mungkin
mencerminkan adanya
akumulasi sekret dengan resiko
terjadinya infeksi pernafasan.

6. Ubah posisi klien dengan teratur
dan anjurkan untuk melakukan
nafas dalam.

Mobilisasi sekret dan
meningkatkan kelancaran
sekret yang akan menurunkan
resiko terjadinya komplikasi
terhadap pernafasan.

7. Catat karakteristik urine, seperti
warna, kejernihan dan bau

Urine statis, dehidrasi dan
kelemahan umum
meningkatkan resiko terhadap
infeksi kandung
kemih/ginjal/awitan sepsis.

8. Kolaborasi
Berikan terapi antibiotik IV sesuai
indikasi: penisilin G, Ampisilin,
Kloramfenikol, Gentamisin,
Amfoterisin B.
Obat yang dipilih tergantung
pada tipe infeksi dan
sensitifitas individu. Catalan:
Obat intratekal mungkin
diindikasikan untuk basilus
Gram-negatif, jamur, amuba.


1. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
oedema serebral.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan perfusi serebral
Kriteria :
- Tingkat kesadaran membaik
- Tanda-tanda vital stabil
- Tidak adanya nyeri kepala
- Tidak adanya tanda peningkatan TIK


No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Tentukan faktor-faktor yang
berhubungan dengan keadaan
tertentu atau yang menyebabkan
koma / penurunan perfusi jaringan
otak dan potensial peningkatan
TIK
Menentukan pilihan intervensi.
Penurunan tanda/gejala neurologis atau
kegagalan dalam pemulihannya setelah
serangan awal menunjukan klien itu
perlu dipindahkan ke perawatan intensif
untuk mementau tekanan TIK atau
pembedahan.

2. Pantau status neurologis secara
teratur dan bandingkan dengan
nilai standar (misalnya: GCS)
Mengkaji adanya kecenderungan pada
tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan, lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.

3. Pantau tanda-tanda vital meliputi
TD, Nadi, Respirasi
Peningkatan tekanan darah sistemik
yang diikuti oleh penurunan tekanan
darah diastolik merupakan tanda
adanya peningkatan TIK nafas yang
tidak teratur dapat menunjukan lokasi
gangguan serebral dan tanda adanya
peningkatan serebral.

4. Bantu klien untuk menghindari
manuver valsava, seperti batuk,
mengejan.

Aktivitas ini akan meningkatkan
tekanan intra thoraks yang akan
meningkatkan TIK

5 Perhatikan adanya gelisah yang
meningkat, peningkatan keluhan
dan tingkah laku yang tidak
sesuai.

Petunjuk non verbal ini menunjukan
adanya peningkatan TIK atau adanya
nyeri kepala.

6 Kaji adanya peningkatan rigiditas,
regangan, peka rangsang,
serangan kejang.
Merupakan indikasi dari iritasi
meningeal yang dapat terjadi
sehubungan dengan kerusakan dari
duramater atau perkembangan infeksi.

7 Tinggikan kepala klien 15-45
derajat sesuai indikasi yang dapat
ditoleransi.
Meningkatkan aliran balik vena dari
kepala sehingga akan mengurangi
kongesti dan oedema atau resiko
peningkatan TIK.

8 Kolaborasi untuk pemberian obat
sesuai indikasi seperti
dexametason
Menurunkan inflamasi yang selanjutnya
menurunkan oedema jaringan.


1. Resiko tinggi terhadap injuri / trauma berhubungan dengan adanya kejang akibat
iritasi korteks serebral.
Tujuan : Trauma / injuri tidak terjadi.
Kriteria : Tidak mengalami kejang / kejang dapat diatasi.

No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Monitor adanya kejang/ kedutan
pada tangan, kaki dan mulut atau
otot wajah yang lain.
Monitor adanya kejang/ kedutan
pada tangan, kaki dan mulut atau
otot wajah yang lain. Monitor
adanya kejang/ kedutan pada
tangan, kaki dan mulut atau otot
wajah yang lain.
2. Berikan keamanan pada klien
dengan memberi bantalan pada
penghalang tempat tidur,
pertahankan
penghalang
tempat tidur tetap terpasang
dan pasang jalan nafas buatan
plastik atau gulungan lunak
dan alat penghisap.

Melindungi klien jika terjadi
kejang. Catatan: Memasukan
jalan nafas buatan/ gulungan
lunak hanya jika rahangnya
relaksasi, jangan dipaksa,
memasukan ketika giginya
mengatup karena dapat merusak
jaringan lunak.

3. Kolaborasi dengan medik untuk
pemberian obat sesuai indikasi,
seperti Fenitoin (dilantin),
diazepam (valium),
Merupakan indikasi untuk
penanganan dan pencegahan
kejang. Catatan: Fenobarbital
dapat menyebabkan depresi
pernafasan dan sedatif serta
fenobarbital (luminal)

menutupi tanda/ gejala dari
peningkatan TIK.


1. Nyeri berhubungan dengan adanya proses infeksi pada susunan saraf pusat.
Tujuan : Nyeri hilang
Kriteria :
- Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
- Menunjukan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.
No. Intervensi Rasional

1 2 3
1. Berikan lingkungan yang tenang,
ruangan agak gelap sesuai indikasi
Menurunkan reaksi terhadap
stimulasi dari luar atau
sensitivitas pada cahaya dan
meningkatkan
istirahat/relaksasi.

2. Letakan kantung es pada kepala,
pakaian dingin di atas mata.
Meningkatkan vasokontriksi,
menumpulkan persepsi sensori
yang selanjutnya akan
menurunkan nyeri.

3. Dukung untuk menemukan posisi
yang nyaman, seperti kepala agak
tinggi sedikit.
Menurunkan iritasi meningeal,
resultan ketidak nyamanan lebih
lanjut.
1. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan keterbatasan gerak akibat kelemahan
atau kerusakan neuromuskular.
Tujuan : Mobilisasi fisik terpenuhi.
Kriteria : Klien mampu melakukan mobilisasi.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Periksa kembali
kemampuan dan keadaan
secara fungsional pada
kerusakan yang terjadi.

Mengidentifikasi
kemungkinan kerusakan secara
fungsional dan mempengaruhi dan
pilihan intervensi yang akan
dilakukan.

2. Kaji derajat imobilisasi klien
dengan menggunakan
skala ketergantungan
Klien mampu mandiri (nilai 0) atau
memerlukan bantuan/ peralatan yang
minimal (nilai 1); memerlukan
bantuan sedang dengan pengawasan /
diajarkan (nilai 2); memerlukan
bantuan / peralatan yang terus
menerus dan alat khusus (nilai 3);
atau tergantung secara total pada
pemberian asuhan (nilai 4).
seseorang da lam semua kategori
sama-sama mempunyai resiko
kecelakaan namun kategori dengan
nilai 2-4 mempunyai resiko terbesar
untuk terjadinya bahaya tersebut
sehubungan dengan imobilisasi.

3. Berikan atau bantu untuk
melakukan latihan rentang
gerak/ROM.

Mempertahankan mobilisasi dan
fungsi sendi / posisi normal
ekstremitas dan menurunkan
terjadinya vena yang statis
4. Berikan perawatan kulit
dengan cermat, masase
dengan pelembab dan ganti
linen / pakaian yang basah
dan pertahankan linen
tersebut tetap bersih dan
bebas dari kerutan.

Meningkatkan sirkulasi dan
elastisitas kulit dan menurunkan
resiko terjadinya ekskoriasi kulit




1. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan sistem saraf.
Tujuan : Tidak terjadi perubahan sensori
Kriteria :
- Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Evaluasi secara teratur perubahan
orientasi, kemampuan berbicara,
alam perasaan/afektif, sensorik
dan proses pikir.
Fungsi serebral bagian atas
biasanya terpengaruh lebih dulu
oleh adanya gangguan sirkulasi,
oksigenasi.
2. Kaji kesadaran sensorik seperti
respon sentuhan, panas/dingin,
tajam/tumpul, dan kesadaran
terhadap gerakan dan letak tubuh,
perhatikan adanya masalah
penglihatan atau sensasi yang lain.
Informasi penting untuk
keamanan klien. Semua sistem
sensorik dapat terpengaruh
dengan adanya perubahan yang
melibatkan peningkatkan atau
penurunkan sensitifitas atau
kehilangan sensasi/kemampuan
untuk menerima dan berespon
secara sesuai dengan stimulus.

3. Berikan stimulasi yang
bermanfaat secara verbal,
penciuman, taktil, pendengaran .
Membantu klien untuk
memisahkan pada realitas dari
perubahan persepsi, gangguan
fungsi kognitif dan atau
penurunan penglihatan dapat
menjadi potensi timbulnya
disorientasi dan ansietas.

4. Berikan kesempatan yang lebih
banyak untuk berkomunokasi dan
melakukan aktifitas.
Menurunkan frustrasi yang
berhubungan dengan perubahan
kemampuan atau pola respon
yang menunjang.


1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Tujuan : pola nafas efektif
Kriteria :
- Frekuensi nafas normal 16 20 x /mt
- Irama nafas reguler.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Kaji dan pantau frekuensi pola dan
irama nafas
Perubahan pola nafas tidak
efektif merupakan tanda berat
adanya peningkatan tekanan
intrakranial yang menekan
medulla oblongata

2. Pertahankan jalan nafas efektif
dengan melakukan pembersihan
jalan nafas seperti pengisapan
lendir dan oral hygiene.

Lendir yang berlebihan akan
menumpuk dan menimbulkan
obstruksi jalan nafas.

3. Berikan O
2
sesuai order dan
monitor efektifitas pemberian
oksigen tersebut.
Untuk memenuhi
kebutuhan oksigen dalam darah
dan jaringan.

4. Pertahankan kepatenan jalan nafas
dengan leher dan posisi netral.
Posisi leher yang ekstensi /
menekuk mengakibatkan jalan
nafas terhambat.


1. Gangguan keseimbangan suhu tubuh hipertermia berhubungan dengan proses
inflamasi
Tujuan : Keseimbangan suhu tubuh terpenuhi.
Kriteria : Suhu tubuh 36 37 C, keringat berkurang, klien tidak merasakan panas badan.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Berikan kompres dingin pada
daerah yang banyak pembuluh
darah sampai suhu badan
kembali normal.

Kompres dingin dapat
menimbulkan proses
konduksi dimana terjadi
perpindahan panas dari satu
objek ke objek lain dengan
kontak fisik antara kedua objek
tersebut.
2. Anjurkan pada klien untuk
mengenakan pakaian tipis dan
menyerap keringat.

Dengan pakaian tipis
memudahkan penyerapan
keringat dan memberi rasa
nyaman.
3. Observasi tanda-tanda vital
suhu, tensi, respirasi, dan nadi.
Untuk mengetahui lebih lanjut
tindakan yang akan dilakukan.
4. Kolaborasi pemberian terapi
antipiretik.

Antipiretik berfungsi
menghambat panas pada
hipotalamus.

1. Resiko terjadinya gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama.
Tujuan : Ganguan integritas kulit tidak terjadi
Kriteria : Tidak tampak tanda-tanda gangguan integritas kulit seperti : kemerahan dan lecet
pada kulit.
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Atur dan rubah posisi tidur
klien setiap 2 jam.
Dapat mengurangi tekanan yang
terus menerus yang menimbulkan
sirkulasi yang optimal pada
daerah penekanan.

2. Berikan bantalan pada area tubuh
yang menonjol dan berada pada
permukaan tempat tidur.
Dengan diberikan bantalan pada
daerah penekanan akan
mengurangi tekanan efek
sirkulasi yang tidak lancar.

3. Lakukan masase pada daerah
penekanan seperti bokong, siku
dan turn it setiap hari.

Tindakan masase sebagi stimulus
terhadap vasodilatasi bagi
vaskuler yang mengalami
kontriksi pada permukaan
sehingga akan membantu
melancarkan sirkulasi pada
daerah tersebut.

4. Observasi tanda dekubitus seperti
lecet, kemerahan pada siku,
tumit, bokong dan daerah
punggung setiap hari

Bila ditemukan tanda-tanda
dekubitus segera ambil tindakan
untuk mengantisipasi terjadinya
kerusakan jaringan kulit yang
berlebihan.


1. Gangguan rasa aman: cemas klien atau keluarga berhubungan dengan kurangnya
informasi tentang proses penyakit dan perawatan klien dirumah.
Tujuan : cemas dapat diatasi
Kriteria :
- Klien atau keluarga mengakui dan mendiskusikan rasa takut.
- Klien atau keluarga tampak rileks (tidak memperlihatkan kecemasan seperti gelisah)
No. Intervensi Rasional
1 2 3
1. Kaji status mental dan tingkat
ansietas dari klien/keluarga. Catat
tanda-tanda verbal atau non
verbal.
Gangguan tingkat kesadaran
dapat mempengaruhi ekspresi
rasa takut tapi tidak menyangkal
keberadaannya. Derajat ansietas
akan dipengaruhi bagaimana
informasi tersebut diterima oleh
individu.

2. Berikan penjelasan hubungan
antara proses penyakit dan
gejalanya.
Meningkatkan pemahaman,
mengurangi rasa takut karena
ketidaktahuan dan dapat
membantu menurunkan ansietas.

3. Jelaskan dan persiapkan untuk
tindakan prosedur sebelum
dilakukan.

Dapat meringankan ansietas
terutama ketika pemeriksaan
tersebut melibatkan otak.

4. Libatkan klien/keluarga dalam
perawatan,
perencanaan
kehidupan sehari-hari,
membuat keputusan sebanyak
mungkin.

Meningkatkan perasaan kontrol
terhadap diri dan meningkatkan
kemandirian.

1. Perubahan nutrisi:kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan reflek
menelan (disfagia) atau adanya rasa rnual,muntah dan anoreksia.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria :
- Disfagia dapat diatasi
- Tidak terjadi aspirasi.
- Mual, muntah dan anoreksia tidak ada.
No. Intervensi Rasional

1 2 3
1. Timbang berat badan
seminggu sekali.

Untuk mengetahui efektivitas
therapi.
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
membantu perencanaan makanan.

Ahli gizi adalah spesialis nutrisi
yang dapat membantu kebutuhan
nutrisi klien dan langsung
mempersiapkan kebutuhan nurisi
kliennya.

3. Jika masukan makanan hanya
sedikit, BB terus menerus turun
selama 5 hari, status
menunjukkan kekurangan
nutrisi kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian nutrisi
parenteral total (NPT).

NPT mensuplai protein dan
kalori,asam lemak dan vitamin
dapat diberikan IV bersama-sama
larutan NPT, protein, Karbohidrat
dan lemak penting untuk fungsi
dan perkembangan sel.

4. Bila terjadi disfagia kolaborasi
dengan dokter untuk pemasangan
NGT.

Dengan NGT dapat menghindari
terjadinya aspirasi karena
kelemahan reflek menelan.
5. Kolaborasi pemberian obat
H
2
reseptor antagonis sesuai
advis.

H
2
reseptor antagonis dapat
menghambat produksi HCl atau
menetralisir asam lambung.


1. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan : dehidrasi berhubungan
dengan kehilangan cairan, penurunan masukan oral dan peningkatan suhu tubuh.
Tujuan : Kekurangan volume cairan tubuh tidak terjadi.
Kriteria :
- Membran mukosa lembab.
- Turgor kulit baik.
- Pengisian kapiler cepat.
No. Intervensi Rasional

1 2 3
1. Kaji perubahan tanda vital.

Peningkatan suhu /
demam meningkatkan laju
dan kehilangan cairan tubuh
melalui evaporasi.

2. Kaji turgor kulit, kelembaban
membran mukosa.

Indikator langsung keadekuatan
volume cairan, meskipun
membran mukosa mulut
mungkin kering karena nafas
melalui mulut dan oksigen
tambahan.

3. Catat / lapor keluhan mual atau
muntah.

Adanya gejala menurunkan
masukan oral.

4. Pantau intake dan output Berikan informasi tentang
keadekuatan volume cairan dan
kebutuhan pengganti.
5. Tekankan cairan sedikitnya
2500 ml/hari sesuai kondisi

Pemenuhan kebutuhan dasar
cairan.
6. Berikan obat sesuai indikasi,
misalnya antipiretik,
antiemetik.
Berguna untuk menurunkan
kehilangan
cairan.

Anda mungkin juga menyukai