Anda di halaman 1dari 5

Hipersensitivitas segera (tipe 1)

Reaksi Hipersensitivitas segera (tipe 1) adalah mereka yang berinteraksi dengan antigen IgE lalu
terikat ke tiang jaringan sel mast atau basofil.
IgE tertanam dalam membran sel mast, mengekspos antigen mengikat molekul ke lingkungan
mikro sel. Paparan antigen spesifik mempunyai jembatan dua molekul IgE yang berdekatan dan
itu adalah efek dari menjembatani ini yang memicu sel mast untuk melepaskan mediator-nya.
Ada dua kelompok mediator: preformed mediator dan baru disintesis.

Mediator preformed termasuk histamin, enzim lisosom, kemokin, dan heparin. Karena mereka
preformed, reaksi hipersensitivitas segera (tipe 1) yang cepat: efek klinis dimulai dalam 5-10
menit dan puncaknya sekitar 30 menit. Hal ini juga digambarkan oleh skin prick test: jika antigen
yang tertusuk atau tergores ke kulit individu alergi yang 'wheal dan flare' reaksi cepat muncul.
Tanggapan IgE biasanya ditujukan terhadap antigen yang masuk pada permukaan epitel, yaitu
antigen terhirup atau tertelan.

Penyakit alergi yang umum: sekitar 15-20% dari populasi memiliki beberapa bentuk alergi.
Pasien tersebut sering atopik: atopi mendefinisikan kecenderungan diwariskan untuk kelebihan
produksi antibodi IgE terhadap antigen lingkungan. Sekitar 80% dari individu atopik memiliki
riwayat keluarga penyakit alergi. Beberapa gen predisposisi kecenderungan familial ini tetapi
faktor lingkungan harus dilibatkan karena hanya ada 50% kecocokan pada kembar monozigot.
Kelainan typical Atopik termasuk rhinitis Alergi, asma, dan atopic eksim. Namun, reaksi yang
mengancam jiwa terjadi jika antigen masuk kedalam sirkulasi sistemik atau jika pasien
mempunyai kadar antibody IgE yang tinggi dalam sirkulasi. Umumnya degranulasi dari IgE
yang peka terhadap sel mast dan basofil dapat terjadi, hipotensi secara tiba-tiba, bronkokonstriksi
dan kolaps yang berat, kondisi ini disebut juga anafilaksis. Kebanyakan kasus dari racun dari
lebah dan tawon, antibiotic (Misalnya penisilin), kacang dan latex. Serupa dengan reaksi yang
tidak di mediasi oleh Antibodi IgE disebut juga Anafilaktoid: mediator sel mast bertanggung
jawab tetapi rangsangan yang dihasilkan untuk mereka berbeda. Substansi yang menginduksi
reaksi anafilaktoid yang bertindak langsung adalah sel mast, mereka termasuk agen induksi
anestesi dan media kontras radiologi.

Kondisi Kompleks Alergi seperti asma atau eksim tidak dapat di jelaskan semata-mata pada
pembentukan mediator IgE. Limfosit T berperan besar dalam pengaktifan dan atau perekrutan
dari antibody IgE yang dihasilkan Sel B, Sel mast dan Eosinofil adalah selular yang terlibat
dalam inflamasi alergi. Dua yang paling utama bagian dari Sel T Helper (Th) yang diidentifikasi
oleh profil mereka dari sekresi sitokin: Sel Th1 memproduksi interleukin (IL)-2, interferon
Gamma dan Tumor Nekrosis Factor; Th2 memproduksi dari sitokin termasuk IL-4, IL-5, IL-10,
IL-13, GM-CSF. Sel T sensitive ditemukan dalam biopsy Bronchial dan Bronchoalveolar lavage
fluid dari seseorang yang alergi ditemukan bagian Th2. Ketika subjek atopic terekspos antigen
yang bersangkutan, pengenalan imunologi dapat terjadi keduanya via Sel T Receptor dan IgE
melalui Sel mast sebagai garis besar diatas.

Setelah lapisan napas menjadi inflamasi akan menjadi rentan untuk iritasi, seperti pendingin
saluran napas, asap rokok, partikel diesel atau sulfur dioksid. Demikian, Bronchial
Hiperesponsivness adalah cirri dari asma. Banyak kerusakan inflamasi diinduksi oleh eosinofil
yang mana berisi MBP (Major Basic Protein) mampu merusak sel epitel pada saluran napas.
Kerusakan sel epitel oleh MBP, Sitokin dan mediator mengekspos sensor akhir saraf di bawah
membrane dan lanjut meningkatkan iritabilitas saraf pencetus.

Antibodi terhadap sel-terikat antigen (tipe 2)

Reaksi Hipersensitivitas Tipe 2 dicetuskan oleh reaksi antigen-antibodi adalah factor yang
menentukan yang mana dari bagian membrane sel. Konsekuensi dari reaksi apakah tergantung
atau tidak komplemen atau aksesoris sel yang terlibat dan apakah metabolism dari sel ikut
terpengaruh. Antibody IgM atau IgG yang khas terlibat.

Banyak contoh dari reaksi hipersensitivitas tipe 2 melibatkan obat atau metabolism mereka yang
mana terikat dengan permukaan dari sel darah atau platelet dari tingginya imunogenik epitop.
Antibodi dibentuk untuk melawan obat atau metabolismenya secara tidak sengaja
menghancurkan sel biasa disebut bystander lysis menghasilkan anemia hemolitik dan
trombositipenia purpura. Mekanisme yang sama akan bertanggung jawab untuk kelainan
autoimun tertentu dimana target antigen intrinsik (yaitu dirinya sendiri) antigen ekstrinsik.
Dibawah keadan ini, auto-antibodi dapat juga dapat menyebabkan penyakit oleh pengikatan
fungsional dari self-antigen, seperti reseptor untuk hormone atau neurotransmitter. Jadi meniru
atau memblok aksi dari hormone tanpa menyebabkam inflamasi atau kerusakan jaringan.

Hipersensitivitas Imun Kompleks (Tipe 3)

Reaksi tipe 3 hasil dari deposisi atau formasi pada imun kompleks dalam jaringan. Lokalisasi
dari imun kompleks tergantung pada besarnya, electrostatic charge, dan antigen alami. Jika
mereka berakumulasi di jaringan yang besar, mereka akan mengaktifkan komplemen dan
aksesoris sel dan menghasilkan kerusakan jaringan.

Contoh klasik adalah arthus reaction, model eksperimen dimana antigen disuntikan ke kulit
dari hewan dimana hasil sebelumnya sensitive. Reaksi dari preformed antibody dengan antigen
ini menghasilkan konsentrasi yang tinggi pada local imun kompleks; sehingga menyebabkan
aktifasi komplemen dan atraksi neutrofil dan menghasilkan inflamasi local 6-24 jam setelah
injeksi.

Serum akut penyakit one shot adalah contoh lainnya; pada kondisi ini, urtikaria, arthralgia dan
glomerulonefritis terjadi 10 hari setelah terpapar antigen. Waktu ini adalah antibody IgG,
diproduksi untuk berperan pada stimulasi antigen, bereaksi dengan antigen yang tersisa pada
sirkulasi, imun kompleks larut. Sebagai kompleks yang bentuknya merusak, konsentrasi antigen
cepat menurun, proses berkelanjutan hanya antigen sirkulasi yang panjang akan bertahan dan
biasanya merusak diri sendiri (self-limiting).

Seperti reaksi yang umum ketika antiserum pada hewan diinjeksi kepada manusia untuk
menetralkan racun bakteri (mis anti racun tetanus). Immunoglobulin serum hewan yang
meningkatkan imunogenik dan dihasilkan antibody IgG untuk berperan pada serum asing, maka
serum penyakit. Reaksi ini sekarang langka karena serum hewan tidak dapat digunakan dalam
jangka panjang

Post Steptococal Glomerulunefritis akut disebabkan oleh mekanisme yang serupa. Terjadi 10-12
hari setelah infeksi strepococal pada tenggorokan atau kulit dan menghasilkan deposisi dari imun
kompleks IgG dan C3 dalam bagian bawah glomerular membrane. Antigen streptococcal jarang
ditemukan pada kompleks tetapi fragmen antigen dari nefrogenik strain tertentu pada
streptococci mengikat bagian bawah gromerular membrane, jadi antibody local terbentuk.

Imun kompleks neftitis kronik menyumbang sebagian besar kasus glomerulonefritis pada
manusia. Ketika dibandingkan dengan one shot model, formasi imun kompleks kronik dan
deposisi akan terjadi jika:
- Pajanan antigen yang persisten
- Host membuat respon imun yang abnormal
- Factor local, seperti fungsi komplemen yang cacat, menghasilkan kompleks deposisi

Pajanan antigen yang paling mungkin terjadi jika antigen mikro organisme yang mungkin
bereplikasi dari respon host, obat medis yang di resepkan, atau sebuah auto-antigen.

Hipersensitivitas Tipe Lambat (Tipe 4)

Reaksi Tipe 4 di mediasi oleh Limfosit T yang mana bereaksi dengan antigen dan mengeluarkan
Interleukin-2, Interferon Gama dan sitokin lainnya. Sel T telah sensitive oleh paparan pertama,
tantangan kedua yang diikuti oleh Reaksi hipersensitivitas tipe lambat, respon inflamasi local
yang mana membutuhkan 2-3 hari untuk membangun klinis. Secara histologist reaksi ini terdiri
dari infiltrasi Limfosit T, makrofag, dan sesekali eosinofil. Secara eksperimental, DTH dapat di
transfer oleh limfosit T, tetapi tidak oleh serum, yaitu antibody tidak terlibat.

Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin. Jika dalam jumlah kecil purified protein
derivate (PPD) dari tubercle bacilli di injeksi intradermal (mantoux) menjadi non imun
individual, keadaan ini tidak berefek. Namun, pada seseorang dengan sel mediasi imun terhadap
tubercle basilli, sebagai hasilnya lebih baik sebelum terkena infeksi tuberculosis atau imunisasi
dengan BCG, akan timbul area yang kemerahan dan perkembangan indurasi setelah 24-48 jam.
Reaksi pada dermis menjadi diinfiltrasi oleh limfosit dan makrofag disekitar pembuluh darah
kecil, dengan edema dan pembuluh darah melebar.

DTH normalnya akan dihasilkan dari sel mediasi respon imun terhadap infeksi virus, jamur dan
bakteri terentu, terutama mycobacterium tuberculosis dan mycobacterium leprae. Jika makrofag
tidak mampu menghancurkan organism yang tertelan, mereka mungkin menjalani perbedaan
menjadi epiteloid sel atau multinucleate giant cell. Kumpulan sel tersebut membentuk
granuloma. Kerusakan jaringan local adalah efek samping yang tidak diinginkan dari sebaliknya
respon imun protektif. Jika respon DTH tidak ada atau tidak bekerja namun Limfost T tetap
berkumpul untuk menyerang mikro organime dan pasien dengan penyakit yang agresif , seperti
tuberculosis miliar akut .

Dermatitis kontak iritan dan anti gen lain yang juga termasuk dalam reaksi tipe IV . Agen agen
tersebut adalah agen yang memiliki molekul relative kecil (<1kD) dan tidak imunogenik
terhadap jenis mereka sendiri , bahkan mereka bereaksi tinggi pada molekul yang berikatan
secara kovalen terhadap kulit atau jaringan tisu yang mengandung protein. Ikatan kimia itu di
kenal sebagai hapten dan protein host yang bergabung dengan pembawanya. Potensi dari
kepekaan antigen itu sangat luas Dua Fase dari pathogenesis sadalah pengenalan, dimana fase
induksi akan memperkenalkan antigen ke kulit yaitu sel langerhan terhadap hapten pembawa
protein complex dan memperkenalkanya kembali kepada limfosit T yang berkumpul dengan
antigen MHC kelas II. Induksi dari sel T biasanya terlihat setelah satu bulan dari paparan antigen
terkecil . Paparan kembali terhadan antigen yang relevan memunculkan fase elication sehingga
menyebabkan sel T pindah ke kulit dan bertemu dengan protein complex yang diperlihatkan oleh
sel langerhans pada lapisan epidermis yang mengakibatkan lepasnya cytokinin dan inflamasi
kulit.

Diagnosa dari penyebab dapat di lakukan dengan cara percobaan patch. Agen penyebab di
letakan pada kulit dan dinilai reaksinya 48jam sesudahnya.

Anda mungkin juga menyukai