Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Stratigrafi adalah gambaran kondisi suatu jalur daerah yang akan diukur
penampang stratigrafinya, biasanya dipilih terlebih dahulu setelah pemetaan
geologi di lapangan telah berjalan. Jalur penampang stratigrafi yang akan di ukur
tersebut dapat meliputi satu satuan batuan atau lebih, dan sebaliknya pengukuran
dapat pula dilakukan hanya pada sebagian dari suatu batuan, atau bahkan hanya
beberapa perlapisan saja.
I.2. Maksud dan Tujuan Praktikum
Adapun praktikum Stratigrafi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu
syarat kurikulum semester 3 di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi
Mineral, Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta.
Tujuan dari praktikum Stratigrafi ini adalah :
Agar mahasiswa dapat mengeti lebih dalam tentang ilmu Stratigrafi
Agar mahasiswa dapat mengetahui bentuk Stratigrafi di lapangan
Untuk mempraktekkan dan mendalami materi di kuliah Stratigrafi.
I.3. Waktu dan Tempat Praktikum
Waktu praktikum : Senin, pukul 15.15 17.00
Lokasi praktikm : Laboratorium IST AKPRIND (kampus 2)


BAB II
DASAR TEORI

II.1. Pengertian dan Klasifikasi Stratigrafi
Stratigrafi tersusun dari 2 kata, yaitu strati berasal dari kata stratus
yang berarti perlapisan dan kata grafi yang berasal dari kata
graphic/graphos yang berarti gambar atau lukisan. Dalam arti sempit
Stratigrafi adalah ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan. Dalam arti luas Stratigrafi
adalah ilmu yang mempelajari tentang, aturan, hubungan dan pembentukan
(genesa) macam-macam batuan di alam dalam ruang dan waktu.
Ilmu stratigrafi muncul pertama kali di Britania Raya pada abad ke-19.
Perintisnya adalah William Smith. Ketika itu dia mengamati beberapa perlapisan
batuan yang tersingkap yang memiliki urutan perlapisan yang sama (superposisi).
Dari hasil pengamatannya, kemudian ditarik kesimpulan bahwalapisan batuan
yang tebawah merupakan lapisan yang tertua, dengan beberapa pengecualian.
Karena banyak lapisan batuan merupakan kesinambungan yang utuh ke tempat
yang berbeda-beda maka dapat dibuat perbandingan antara satu tempat ke tempat
yang lainnya pada suatu wilayah yang sangat luas. Berdasakan hasil pengamatan
ini maka kemudian William Smith membuat suatu system yang berlaku umum
untuk periode-periode geologi tertentu walaupun pada waktu itu belum ada
penamaan waktunya. Berawal dari hasil pengamatan William Smith dan
kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang susunan, hubungan dan
genesa batuan yang kemudian dikenal dengan Stratigrafi.

II.2. Prinsio Dasar Stratigrafi
Dalam pembahasan mengenai Stratigrafi tidak lepas dari hukum-hukum
yang berlaku dan mengatur tentang strata atau perlapisan batuan yang
dikemukakan oleh beberapa ahli seperti Nicolas Steno, James Hutton, William
Smith, Selley, Abble Giraud dan Soulavie.
II.2.1. Hukum Steno (1669)
Nicolas Steno mengemukakan 3 hukum dasar mengenai perlapisan batuan
yaitu :
a. Hukum Superposisi (Superposition Law)
Dalam suatu urutan suatu perlapisan batuan maka lapisan paling bawah relatif
lebih tua umurnya daripada lapisan yang berada diatasnya selama belum
mengalami deformasi.

Gambar 1. Hukum superposisi oleh steno (sumber :
http://bumipunbercerita.blogspot.com/2011/10/hukum-hukum-geologi.html)



b. Hukum Kejadian Horizontal (Law of Origin Horizontality)
Lapisan sedimen pada mulanya diendapkan dalam keadaan mendatar
(horizontal) sedangkan akumulasi pengendapannya secara vertikal. Jadi
apabila sekarang dijumpai batuan sedimen dengan kedudukan lapisannya
miring, berarti batuan tersebut telah mengalami proses tektonik (endogen)
maupun perlapukan (eksogen).

Gambar 2. Hukum kejadian horizontal (sumber :
http://bumipunbercerita.blogspot.com/2011/10/hukum-hukum-geologi.html)

c. Hukum Kemenerusan Lateral (Lateral Continousity Law)
Lapisan yang diendapkan pada suatu cekungan akan terendapkan terus-
menerus secara lateral dan akan membaji pada tepian pengendapan pada masa
cekungan itu terbentuk.

Gambar 3. Hukum kemenerusan lateral (sumber :
http://bumipunbercerita.blogspot.com/2011/10/hukum-hukum-geologi.html)
II.2.2. Hukum Uniformitarianisme oleh James Hutton (1785)
Proses-proses yang terjadi pada masa lampau mengikuti hukum yang
berlaku para proses-proses yang terjadi sekarang atau dengan kata lain masa kini
adalah kunci dari masa lampau (the present is the key to the past), jadi proses-
proses geologi yang terlihat sekarang ini dipergunakan sebagai dasar pembahasan
proses geologi masa lampau.

Gambar 4. Continental Drift adalah salah satu penerapan dari hukum uniformitarianisme (sumber
: http://bumipunbercerita.blogspot.com/2011/10/hukum-hukum-geologi.html)
II.2.3. Hukum Hubungan Potong Menyilang oleh AWR Potter & H.
Robinson
Hukum hubungan potong menyilang (cross cutting relationship)
menyatakan bahwa apabila satuan batuan yang menerobos/memotong satuan
batuan lain, maka satuan batuan yang menerobos/memotong tersebut berumur
lebih muda daripada batuan yang dipotongnya.

Gambar 5. Hukum hubungan potong menyilang oleh AWR Potter & H Robinson (sumber :
http://bumipunbercerita.blogspot.com/2011/10/hukum-hukum-geologi.html)

II.2.4. Hukum Suksesi Fauna oleh De Soulovie (1777)
Dalam urut-urutan batuan sedimen sekelompok lapisan dapat mengandung
kumpulan fosil tertentu dengan sekelompok lapisan di atas maupun dibawahnya.

Gambar 6. Hukum suksesi fauna oleh De Soulovie (sumber :
http://bumipunbercerita.blogspot.com/2011/10/hukum-hukum-geologi.html)

II.2.5. Prinsip Kumpulan Fosil oleh William Smith (1816)
Urutan lapisan sedimen dapat dilacak (secara lateral) dengan mengenali
kumpulan fosilnya yang didiagnostik jika kriteria litologinya tidak menentu.


II.2.6. Hukum Katastrofa oleh George Cuvier (1769 1832)
Dalam suatu urutan stratigrafi, lapisan batuan yang lebuh muda
mengandung fosil yang mirip dengan makhluk yang hidup sekarang dibandingkan
dengan lapisan batuan yang umurnya lebih tua.




II.3. Unsur-Unsur Stratigrafi
Unsur-unsur stratigrafi meliputi tentang elemen unsur batuan, elemen
perlapisan yang mencakup kontak dan hubungan stratigrafi serta elemen struktur
sedimen.

II.3.1. Elemen Perlapisan
Elemen perlapisan mencakup kontak dan hubungan stratigrafi seperti
keselarasan dan ketidakselarasan serta hubungan membaji. Keselarasan adalah
dalam satu bidang lapisan batuan memiliki jenis batuan yang sama dalam
lingkungan yang sama pula dan terendapkan dalam waktu yang sama.
Ketidakselarasan adalah perlapisan yang memiliki perbedaaan waktu atau
jeda yang lama sehingga memiliki proses pengendapan yang berbeda pula.
Ketidakselarasan terbagi menjadi 4, yaitu ; angular unconformity, non-conformity,
disconformity, paraconformity.
a. Angular unconformity adalah ketidakselarasan yang membentuk sudut antar
bidang perlapisannya akibat adanya perbedaan jeda pengendapan dan adanya
proses tektonik.

Gambar 7. Ketidakselarasan angular unconformity ( sumber :
http://www.indiana.edu/~geol105b/images/gaia_chapter_6/unconformity1.gif )

b. Non-conformity adalah ketidakselarasan yang memiliki perbedaan litologi
akibat dari hasil intrusi batuan beku.

Gambar 8. Ketidakselarasan non-conformity (sumber :
http://www.indiana.edu/~geol105b/images/gaia_chapter_6/unconformities.htm)

c. Disconformity adalah ketidakselarasan yang terdapat bidang erosi pada kontak
perlapisannyadan juga tanah purba atau paleosoil karena adanya proses
eksogen pada lapisan dibawahnya.

Gambar 9. Ketidakselarasan disconformity (sumber :
http://www.indiana.edu/~geol105b/images/gaia_chapter_6/unconformities.htm)

d. Paraconformity adalah ketidakselarasan pada lapisan litologi yang sama
namun memiliki umur yang berbeda sehingga fosil yang terkandung pada
setiap lapisan berbeda.

Gambar 10. Ketidakselarasan paraconformity litologi sama namun memiliki jeda pengendapan
yang lama (sumber :
http://www.indiana.edu/~geol105b/images/gaia_chapter_6/unconformities.htm)

Selain keselarasan dan ketidakselarasan elemen perlapisan juga mencakup
tentang pembajian yang terbaagi menjadi 3 yaitu ; membaji (wedging), melensa
(lenses) dan menjari (interfingering).
a. Membaji (Wedging) adalah perlapisan batuan sedimen yang menipis ke satu
arah.
b. Melensa (lenses) adalah pembajian yang terjadi di dua arah.
c. Menjari (Interfingering) adalah pembajian yang berulang-ulang antar dua
satuan batuan yang umurnya sama.

II.4. Hubungan Stratigrafi dengan Sedimentologi
Dalam mempelajari stratigrafi kita akan selalu membahas tentang
perlapisan batuan yang mana perlapisan batuan ini terdapat pada batuan sedimen,
jadi dalam mempelajari stratigrafi kita juga harus mempelajari unsur-unsur
sedimentologi untuk mengetahui proses sedimen yang terjadi.

II.4.1. Mekanisme Transportasi Sedimen
Faktor-faktor yang mengontrol terbentuknya sedimen adalah iklim,
topografi, vegetasi dan juga susunan yang ada dari batuan. Sedangkan faktor yang
mengontrol pengangkutan sedimen adalah air, angin, dan juga gaya grafitasi.
Sedimen dapat terangkut baik oleh air, angin, dan bahkan salju.
Mekanisme pengangkutan sedimen oleh air dan angin sangatlah berbeda.
Pertama, karena berat jenis angin relatif lebih kecil dari air maka angin sangat
susah mengangkut sedimen yang ukurannya sangat besar. Besar maksimum dari
ukuran sedimen yang mampu terangkut oleh angin umumnya sebesar ukuran
pasir. Kedua, karena sistem yang ada pada angin bukanlah sistem yang terbatasi
(confined) seperti layaknya channel atau sungai maka sedimen cenderung tersebar
di daerah yang sangat luas bahkan sampai menuju atmosfer.
Sedimen-sedimen yang ada terangkut sampai di suatu tempat yang disebut
cekungan. Di tempat tersebut sedimen sangat besar kemungkinan terendapkan
karena daerah tersebut relatif lebih rendah dari daerah sekitarnya dan karena
bentuknya yang cekung ditambah akibat gaya grafitasi dari sedimen tersebut maka
susah sekali sedimen tersebut akan bergerak melewati cekungan tersebut.
Dengan semakin banyaknya sedimen yang diendapkan, maka cekungan
akan mengalami penurunan dan membuat cekungan tersebut semakin dalam
sehingga semakin banyak sedimen yang terendapkan. Penurunan cekungan sendiri
banyak disebabkan oleh penambahan berat dari sedimen yang ada dan kadang
dipengaruhi juga struktur yang terjadi di sekitar cekungan seperti adanya
patahan.
Sedimen dapat diangkut dengan tiga cara:
a. Suspension, ini umumnya terjadi pada sedimen-sedimen yang sangat kecil
ukurannya (seperti lempung) sehingga mampu diangkut oleh aliran air atau
angin yang ada.
b. Bed load, ini terjadi pada sedimen yang relatif lebih besar (seperti pasir,
kerikil, kerakal, bongkah) sehingga gaya yang ada pada aliran yang bergerak
dapat berfungsi memindahkan pertikel-partikel yang besar di dasar.
Pergerakan dari butiran pasir dimulai pada saat kekuatan gaya aliran melebihi
kekuatan inertia butiran pasir tersebut pada saat diam. Gerakan-gerakan
sedimen tersebut bisa menggelundung, menggeser, atau bahkan bisa
mendorong sedimen yang satu dengan lainnya.
c. Saltation ,yang dalam bahasa latin artinya meloncat umumnya terjadi pada
sedimen berukuran pasir dimana aliran fluida yang ada mampu menghisap dan
mengangkut sedimen pasir sampai akhirnya karena gaya grafitasi yang ada
mampu mengembalikan sedimen pasir tersebut ke dasar.

Gambar 11. Proses transportasi material sedimen (sumber :
http://www.sln.org.uk/geography/schools/blythebridge/GCSERevisionRiversDB.htm)

Ada tiga jenis arus yang mengangkut material-material sedimen, antara lain :
a. Arus traksi atau arus pekat, yaitu arus yang memiliki energi yang sangat besar
sehingga dapat mengangkut material yang banyak dengan ukuran yang besar
sampai kecil.
b. Arus suspensi, yaitu arus dengan energi yang kecil dan hanya dapat
mengangkut material yang kecil seukuran lempung.
c. Arus turbidit, yaitu arus dengan arah energi dari segala arah, biasanya
menyebebkan terbentuknya struktur cross bedding.
Pada saat kekuatan untuk mengangkut sedimen tidak cukup besar dalam
membawa sedimen-sedimen yang ada maka sedimen tersebut akan jatuh atau
mungkin tertahan akibat gaya grafitasi yang ada. Setelah itu proses sedimentasi
dapat berlangsung sehingga mampu mengubah sedimen-sedimen tersebut menjadi
suatu batuan sedimen.

II.4.2. Struktur Sedimen
Struktur sedimen merupakan pengertian yang sangat luas, meliputi
kelainan dari perlapisan normal termasuk kelainan kofigurasi perlapisan dan/atau
juga modifikasi dari perlapisan yang disebabkan proses baik selama pengendapan
berlangsung maupun setelah pengendapan berhenti. Studi Struktur paling baik
dilakukan di lapangan (Pettijhon, 1975 ). Menurut Selley, 1970, struktur sedimen
yang terbentuk dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu : struktur sedimen Pre-
Depositional, struktur sedimen Syn-Depositional dan struktur sedimen Post-
Depositional.

II.4.2.1. Struktur Sedimen Pre-Depositional
Struktur sebelum endapan boleh ditemui di atas lapisan, sebelum lapisan
atau endapan yang muda atau baru di endapkan. Ia adalah struktur hasil hakisan
seperti terusan (channel), scour marks, flutes, grooves, tool marking dan
sebagainya. Struktur ini sangat penting kerena ia juga boleh memberikan arah
aliran arus. Struktur ini berkaitan dengan struktur yang dibawahnya, dan ditemui
diatas permukaan antar lapisan. Contoh: Grooves, Flutes, Scour Mark dan Tool
Markings
a. Groove Cast merupakan bentukan parit memanjang pada lapisan batupasir
karena pengisian gerusan memanjang memotong pada batulempung.

Gambar 12. Struktur sedimen groove cast (sumber :
http://fahriadhari.blogspot.com/2013/04/struktur-sedimen-menurut-sellay-1970.html)

b. Flute Cast merupakan bentukan sole mark yang menyerupai cekungan
memanjang yang melebar ujungnya membentuk jilatan api.

Gambar 13. Struktur sedimen flute cast (sumber :
http://fahriadhari.blogspot.com/2013/04/struktur-sedimen-menurut-sellay-1970.html)

c. Scours Mark merupakan cetakan gerusan yang memotong bidang perlapisan
dan laminasi dengan ukuran kecil.

Gambar 14. Struktur sedimen scours mark (sumber :
http://fahriadhari.blogspot.com/2013/04/struktur-sedimen-menurut-sellay-1970.html)

d. Tool Markings merupakan tanda yang dihasilkan oleh pemotongan atau bekas
tindakan dari air atau pun udara yang mengalir di atas dasar sungai atau badan
sungai.

Gambar 15. Struktur sedimen tool markings (sumber :
http://fahriadhari.blogspot.com/2013/04/struktur-sedimen-menurut-sellay-1970.html)

II.4.2.2. Struktur Sedimen Syn-Depositional
Ini merupakan struktur yang terdapat didalam lapisan dan terbentuk
sesama sedimen yang terendap. Struktur yang terbentuk semasa proses endapan
sedang berlaku termasuk lapisan mendatar (flat bedding), lapisan silang, laminasi,
dan laminasi silang yang mikro (micro-crosslamination), iaitu kesan riak. Contoh:
Cross Bedding, Graded Bedding, Lamination.
a. Cross Bedding, merupakan perlapisan silang ini mirip dengan perlapisan
hanya saja antara lapisan satu dengan yang lain membentuk sudut yang jelas.
Hal ini dipengaruhi karena perpindahan dune atau gelembur akibat
pertambahan material.

Gambar 16. Struktur sedimen cross bedding (sumber :
http://fahriadhari.blogspot.com/2013/04/struktur-sedimen-menurut-sellay-1970.html)

b. Graded Bedding, merupakan perlapisan gradasi ini memiliki cira adanya
perubahan ukuran butir secara gradasi.


Gambar 17. Struktur sedimen graded bedding (sumber :
http://fahriadhari.blogspot.com/2013/04/struktur-sedimen-menurut-sellay-1970.html)

c. Lamination, Struktur ini hampir sama dengan perlapisan namun yang
membedakannya adalah jarak perlapisan yang kurang dari 1 cm. Biasanya
struktur ini diakibatkan oleh proses diagenesis sediment yang cepat dengan
media pengendapan yang tenang.

Gambar 18. Struktur sedimen lamination (sumber :
http://fahriadhari.blogspot.com/2013/04/struktur-sedimen-menurut-sellay-1970.html)

II.4.2.3. Struktur Sedimen Post-Depositional
Terbentuk setelah terjadi pengendapan sedimen, yang umumnya
berhubungan dengan proses deformasi Contoh: Slump, Load Cast dan Flame
Structure
a. Slump terbentuk karena ada luncuran pada lapisan batuan namun berupa
bidang lengkung.

Gambar 19. Struktur sedimen slump (sumber : http://fahriadhari.blogspot.com/2013/04/struktur-
sedimen-menurut-sellay-1970.html)

b. Load Cast struktur ini terbentuk karena adanya pembebanan material suatu
lapisan terhadap lapisan lainnya sehingga membentuk lengkungan ke bawah.

Gambar 20. Struktur sedimen load cast (sumber :
http://fahriadhari.blogspot.com/2013/04/struktur-sedimen-menurut-sellay-1970.html)

c. Flame Structure merupakan bentukan seperti api yang di akibatkan lapisan di
atasnya lebih berat dan lapisan yang di bawahnya tertarik ke atas.

Gambar 21. Struktur sedimen flame structure (sumber :
http://fahriadhari.blogspot.com/2013/04/struktur-sedimen-menurut-sellay-1970.html)

II.4.3. Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan adalah tempat mengendapnya material sedimen
beserta kondisi fisik, kimia, dan biologi yang mencirikan terjadinya mekanisme
pengendapan tertentu (Gould, 1972). Interpretasi lingkungan pengendapan dapat
ditentukan dari struktur sedimen yang terbentuk.
Struktur sedimen tersebut digunakan secara meluas dalam memecahkan
beberapa macam masalah geologi, karena struktur ini terbentuk pada tempat dan
waktu pengendapan, sehingga struktur ini merupakan kriteria yang sangat berguna
untuk interpretasi lingkungan pengendapan. Terjadinya struktur-struktur sedimen
tersebut disebabkan oleh mekanisme pengendapan dan kondisi serta lingkungan
pengendapan tertentu.
Lingkungan pengendapan merupakan keseluruhan dari kondisi fisik, kimia
dan biologi pada tempat dimana material sedimen terakumulasi. (Krumbein dan
Sloss, 1963) Jadi, lingkungan pengendapan merupakan suatu lingkungan tempat
terkumpulnya material sedimen yang dipengaruhi oleh aspek fisik, kimia dan
biologi yang dapat mempengaruhi karakteristik sedimen yang dihasilkannya.
Secara umum dikenal 3 lingkungan pengendapan, lingkungan darat
transisi, dan laut. Beberapa contoh lingkungan darat misalnya endapan sungai dan
endapan danau, ditransport oleh air, juga dikenal dengan endapan gurun dan
glestsyer yang diendapkan oleh angin yang dinamakan eolian. Endapan transisi
merupakan endapan yang terdapat di daerah antara darat dan laut seperti
delta,lagoon, dan litorial. Sedangkan yang termasuk endapan laut adalah endapan-
endapan neritik, batial, dan abisal. Contoh Lingkungan Pengendapan Pantai :
Proses Fisik : ombak dan akifitas gelombang laut, Proses Kimia : pelarutan dan
pengendapan dan Proses Biologi : Burrowing. Ketiga proses tersebut berasosiasi
dan membentuk karakteristik pasir pantai, sebagai material sedimen yang meliputi
geometri, tekstur sedimen, struktur dan mineralogi.

II.4.3.1. Klasifikasi Lingkungan Pengendapan
Klasifikasi lingkungan pengendapan dapat dibedakan menjadi:
a. kontinetal, antara lain gurun atau eolian, fluvial termasuk braided river dan
point bar river, dan limnic
b. peralihan, termasuk delta. lobate, esturine, litoral (pantai, laguna, dan barrier
islands, offshore bar, tidal flat.
c. marine, meliputi neritis atau laut dangkal, deep neiritis, batial, abisal.


BAB III
PENAMPANG STRATIGRAFI (MEASURED SECTI ON)

III.1. Tinjauan Singkat Penampang Stratigrafi (Measured Section)
Penggambaran penampang stratigrafi (measured section) merupakan
penggambaran kolom litologi dan deskripsinya. Kolom litologi yang dihasilkan
sangat tergantung pada tujuanpekerjaan pengukuran jalur itu sendiri. Bila kolom
stratigrafi tersebut bdibuat sebagai kelengkapan informasi pekerjaan geologi,
maka biasanya menggunakan skala 1 : 100 hingga 1 : 500. Pemilihan skala
tergantung pula pada panjang pendeknya jalur pengukuran.
Hal yang sangat penting dalam pendeskripsian untuk analisis
perkembangan sedimentasi antara lain struktur batuan, tekstur, ukuran butir,
hubungan vertikal, kemas, masm dan komposisi litologi, warna segar dan warna
lapuk serta kandungan fosilnya.

III.2. Maksud dan Tujuan Pengukuran Penampang Stratigrafi
Tujuan dari pengukuran penampang stratigrafi adalah :
1. Untuk membantu geologist mengetahui ketebalan suatu singkapan.
2. Untuk mengetahui jenis formasi singkapan
3. Untuk mengetahui urutan pembentukan batuan dan umur batuan
4. Untuk mengetahui lingkungan pengendapan





III.3. Metode Pengambilan Data Stratigrafi
Ada dua metode dalam pengambilan data stratigrafi di lapangan yaitu ;
metode rentang tali dan metode Jacob staff.
III.3.1. Metode Rentang Tali
Metode rentang tali adalah metode yang dilakukan untuk mengukur
ketebalan sebenarnya suatu bidang perlapisan dengan cara merentangkan tali yang
sudah diberi tanda atau grid setiap 10 cm atau 1 meter, kemudian direntangkan
pada singkapan batuan dan sebelumnya diukur dip dan slope bidang singkapan
tersebut.
Selanjutnya dalam pengolahan data lapangan menggunakan metode
matematis dengan rumus. Metode ini lebih akurat dibandingkan dengan Metode
Jacob Staff. Ada beberapa rumus yang digunakan dalam pengukuran
menggunakan metode rentang tali, yaitu :

Pengukuran pada daerah datar (slope = 0
o
)

Gambar 22. Pengukuran pada slope yang datar (sumber :
http://www.scribd.com/doc/60986156/penampang-stratigrafi)

T = Sin dip x LS


Dip dan slope berlawanan arah

Gambar 23. Pengukuran pada daerah dengan slope dan dip berlawanan arah (sumber :
http://www.scribd.com/doc/60986156/penampang-stratigrafi)

T = Sin ( slope + dip) x LS

Dip dan slope searah

Gambar 24. Pengukuran pada daerah dengan slope dan dip searah (sumber :
http://www.scribd.com/doc/60986156/penampang-stratigrafi)

Slope > dip : T = Sin ( slope - dip) x LS
Slope < dip : T = Sin ( dip - slope) x LS
Dip/lapisan relative datar : T = Sin slope x LS

III.3.2. Metode Jacob Staff
Prosedur pengukuran dengan menggunakan metode Jacob Staff adalah
sebagai berikut :
1. Mempersiapkan alat-alat yang diperlukan, yaitu : kompas, palu, clipboard,
Jacob staff dan alat tulis.
2. Mengidentifikasikan lokasi dengan cara membuat deskripsi lokasi
3. Mengidentifikasi litologi dengan cara mendeskripsikan batuan
4. Ukur stikr/dip bidang perlapisan menggunakan kompas dan catat hasil
pengukuran tersebut
5. Tancapkan Jacob staff, kemudian miringkan tongkat tersebut sesuai dengan
arah dan kemiringan bidang perlapisan dengan melihat busur derajat yang ada
di kepala Jacob staff
6. Hitung ketebalan perlapisan dengan menggunakan grid pada bagian bawah
busur derajat, setiap grid berukuran 10 cm
7. Catat dan simpan hasil pengukuran.












Gambar 25.
Gambar 25. Cara penerapan metode Jacob Staff (sumber : anonim, 2013)
BAB IV
PRAKTIKUM LAPANGAN STRATIGRAFI

IV.1. Lokasi, Waktu dan Kesampaian Daerah
Lokasi : Jl. Wonosari, Desa Piyungan, Kab. Gunung Kidul
Hari/Tanggal : Minggu / 17 11 - 2013
Waktu : Jam 09.30 WIB
Kesampaian daerah :

IV.2. Geologi Regional Daerah Fieldtrip
IV.3. Deskripsi Data Lapangan
Pada praktikum hari Minggu tanggal 17 November 2013 kemarin
menempuh 2 Lokasi Pengamatan atau 2 LP, pada LP 1 diterapkan metode
pengukuran Jacob staff dan pada LP 2 diterapkan metode pengukuran rentang tali.

IV.3.1. Lokasi Pengamatan 1 (Metode Jacob Staff)
Hari/Tanggal : Minggu / 17 11 2013
Jam : 09.30 WIB
Cuaca : Berawan
Vegetasi : Sedang ( Pohon Jati )
Morfologi : Perbukitan
Litologi : Batuan Sedimen
Slope : 58
o
Strike & Dip : N 61
o
E / 6
o

Anda mungkin juga menyukai