Anda di halaman 1dari 4

Perspektif Class Action Pada Kasus Korupsi Sebagai Suatu Peekembangan

Hukum Di Indonesia

Oleh:
ALDIAN HARIKHMAN, SH

Class Action atau Gugatan Perwakilan Kelompok merupakan fenomena yang


menarik dalam perkembangan hukum di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, praktisi
hukum maupun penegak hukum di Indonesia, termasuk hakim memiliki pemahaman
yang tidak sama tentang aspek teknis dari penerapan prosedur ini (Class Action).
Aturan hukum positif Indonesia baru mengakui Class Action setelah
diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Meski masih terbatas pada masalah-masalah lingkungan hidup, namun Undang-
undang ini menjadi tonggak bagi pengakuan Class Action di Indonesia. Selain itu,
pada tahun 1999 eksistensi Class Action kembali diakui dengan diundangkannya UU
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 18 Tahun 1999 tentang
Jasa Kontruksi dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Mengenai prosedur
acara Class Action diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action).
Dalam terminologi hukum, Class Action didefenisikan sebagai prosedur
pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok
mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang
yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum
antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya1. Pada dasarnya Class Action
merupakan bagian dari mekanisme penyelesaian sengketa perdata melalui jalur
pengadilan (In Court Settlement) oleh sekelompok orang dengan memberi kuasa
kepada satu atau lebih orang (yang berasal dari anggota kelompoknya) untuk
mewakili mengajukan gugatan ke pengadilan2.
Di Indonesia pemahaman konsep ini (Class Action) masih terbilang baru.
Namun disisi lain terdapat keinginan yang sangat besar dari masyarakat untuk
menggunakan prosedur ini dalam kasus-kasus publik. Kebutuhan tentang reformasi
serta pengetahuan tentang Class Action yang bersifat praktis oleh karenanya kini

1 Emerson (Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW). Class Action Kasus Korupsi.
Jakarta. 2009. Hlm 1.

2 Hayatullah Khumaini (Layer JK Farza Law Firm). Posisi Kasus Dalam Class Action. Aceh.
2009. Hlm 6.
dirasakan sangat tinggi3. Beranjak dari hal tersebut bagaimana dengan halnya pada
kasus korupsi yang merupakan bukan perkara perdata?
Baik dalam UU No. 28 Tahun 1999 maupun UU No. 31 tahun 1999, meski
bersifat limitatif telah memberikan peluang terlibatnya peran serta masyarakat atau
partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Kedua
Undang-undang anti KKN tersebut tidak secara rinci menerangkan upaya apa saja
yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan sama sekali tidak mengatur tentang
keterlibatan masyarakat atau organisasi masyarakat/LSM untuk mengajukan Class
Action dalam kasus korupsi.
Pada beberapa kasus korupsi seperti dalam perkara Jamsostek, Kasus Bulog,
kasus penyalahgunaan dana JPS sangat potensial untuk diajukan melalui Class Action.
Setidaknya ada empat alasan yang dapat memperkuat argumen bahwa Class Action
dalam kasus korupsi dapat digunakan4. Pertama, Korupsi merupakan kejahatan yang
luar biasa (Extra Ordinary Crime) sehingga penangulangannya pun harus
menggunakan cara-cara yang luar biasa pula. pencegahan dan pemberantasan korupsi
dengan pendekatan yang “konvensional” terbukti tidak berhasil dan mengecewakan.
Penerapan Class Action terhadap kasus-kasus korupsi merupakan salah satu cara yang
luar biasa dan khusus dalam penanggulangan korupsi. Kedua, beberapa kasus korupsi
memenuhi syarat-syarat diajukannya gugatan Class Action. Dalam pasal 2 PERMA
No. 1 Tahun 2002 menyebutkan suatu gugatan dapat diajukan dengan
mempergunakan cara Class Action apabila jumlah anggota kelompok sedemikan
banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-
diri dalam satu gugatan, terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar
hukum yang digunakan yang bersifat subtansial serta adanya kesamaan jenis tuntutan
diantara wakil kelompok dengan anggota kelompok. Ketiga, gugatan dengan cara
Class Action telah diterima dalam aturan hukum di Indonesia. Saat ini di Indonesia
telah memiliki 4 (empat) aturan hukum yang mengatur mengenai gugatan Class
Action. Keempat, sebagai wujud peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan
dan pemberantasan korupsi dengan berbagai cara atau tindakan pencegahan lainnya.
Pengajuan Class Action untuk kasus korupsi juga tidak bertentangan dengan asas atau
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3 ICEL (Indonesia Center For Environmental Law). Pedoman Penggunaan Class Action.
2003. http//www.icel.or.id. diakses tanggal 9 September 2009.

4 Emerson. Op.Cit,. Hlm 2-3.

2
Class Action untuk kasus korupsi sebelumnya pernah dilakukan pada tahun
2000 oleh Ali Sugondo dkk melawan 18 Anggota DPRD Jawa Timur (Perkara No.
593/Pdt.G/2000/PN.SBY). Ali Sugondo dkk mengatasnamakan 34 juta wajib pajak
warga Jawa Timur menggugat 18 orang anggota Komisi B DPRD yang melakukan
perjalanan studi banding ke Singapura dan Thailand dengan menggunakan dana dari
APBD Jawa Timur. Penggugat menilai, sebagai wajib pajak masyarakat merasa
dirugikan karena kepergian mereka menggunakan dana APBD yang diambil dari
pajak. Dalam persidangan, hakim mempertanyakan apakah benar 34 juta orang
tersebut dirugikan secara langsung atas kepergian anggota DPRD tersebut dan apakah
34 juta warga Jawa Timur semuanya adalah wajib pajak. Pada akhirnya Class Action
tersebut ditolak oleh majelis hakim dengan alasan penggugat bukan merupakan pihak
yang dirugikan5.
Meski tidak ada alasan untuk tidak mengajukan Class Action kasus korupsi,
namun tidak berarti semua kasus korupsi dapat diajukan Class Action. Karena jika
tanpa perhitungan atau asal mengajukan gugatan Class Action tanpa adanya
perhitungan dikhawatirkan gugatan tidak akan diterima oleh hakim. Ada beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam mengajukan Class Action kasus korupsi6. Pertama,
anggota kelompok (Class Members) dan wakil kelompok (Class Representatif) harus
jelas7. Kedua, harus ada kerugian yang nyata dialami oleh anggota kelompok dan
wakil kelompok. Oleh karena itu untuk mengajukan Class Action kasus korupsi segala
sesuatunya perlu diperhitungkan dan dipersiapkan secara matang. Undang-undang
mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang tidak mengatur mengenai
Class Action, namun hal ini jangan ditafsirkan sebagai penutupan upaya Class Action
untuk kasus korupsi. Tidak ada aturan hukum yang melarang penggunaan Class
Action untuk kasus korupsi. Pengajuan Class Action untuk kasus korupsi diharapkan
menjadi suatu terobosan baru dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.

5 Emerson. Op.Cit,. Hlm 3

6 Emerson. Ibid,. Hlm 3.

7 Anggota kelompok (Class Members) adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak
yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila
class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat
pasif. Wakil kelompok (Class Representatif) adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian
yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Untuk
menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota kelompok.
Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari wakil kelompok sebagai
penggugat aktif. Lihat Emerson Yuntho (Hukum Dan Monitoring Peradilan ICW). Panduan Tentang
Class Action, Legal Standing, Pra Peradilan Dan Judicial Review. http://antikorupsi.org/indo

3
4

Anda mungkin juga menyukai