BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit alergi pada bayi paling sering dicetuskan oleh alergen makanan.
Seringkali manifestasi alergi makanan berhubungan dengan urutan makanan yang
dikenalkan sesuai umurnya. Meskipun semua makanan dapat menimbulkan reaksi
alergi, sejumlah makanan yang paling sering menimbulkan reaksi adalah susu,
telur, gandum, kacang tanah, kacang-kacangan, ikan dan kerang. Namun, alergen
penting yang banyak dilaporkan pada tahun pertama kehidupan adalah susu sapi.
Susu sapi adalah bahan dasar susu formula bayi yang mengandung protein kasein,
laktoglobulin, dan a-laktalbumin dan pada sebagian orang merupakan protein asing
yang dapat menimbulkan alergi. Protein susu sapi adalah protein asing utama
yang pertama diberikan kepada seorang bayi
1,2
.
Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi
imunologis yang timbul sebagai akibat pemberian susu sapi atau makanan yang
mengandung susu sapi dan reaksi ini dapat terjadi segera atau lambat. Tanda dan
gejala ASS tidak spesifik dan sulit dikenali. Gejala ASS pada umumnya dimulai
pada usia 6 bulan pertama kehidupan dan 28% bisa timbul setelah 3 hari minum
susu sapi, 41% setelah 7 hari dan 68% setelah 1 bulan. Di samping gejala pada
kulit, ASS dapat menunjukkan gejala paru dan gejala saluran cerna tipe segera
bahkan gejala sistemik berupa reaksi anafilaksis. ASS dapat juga memberikan
gejala reaksi tipe lambat yang timbul setelah 24 jam berupa sindrom kolik pada
usia bayi (infantile colic syndrome)
3
.
Diperkirakan prevalensi alergi susu sapi pada bayi sekitar 2-3% dan
semakin menurun pada anak yang lebih tua, sedangkan di antara bayi umur 1
tahun dengan dermatitis atopik 30-45% disebabkan ASS
1
. Pada tahun 2007 World
Health Organization (WHO) secara resmi mengakui bahwa alergi telah menjadi
penyakit epidemik No. 1 yang dialamii anak-anak di negara maju dan World
Alergi Organization (WAO) memperkirakan bahwa 1,9% sampai 4,9% dari anak-
anak menderita alergi susu sapi, namun diperkirakan angka ini bisa naik menjadi
10 kali lebih tinggi bila dilakukan konfirmasi dengan uji yang sesuai
4
.
Tata laksana alergi susu sapi meliputi penghindaran susu formula atau
makanan yang mengandung protein susu sapi. Upaya pencegahan terhadap alergi
2
protein susu tidak kalah penting. Rekomendasi pencegahan primer cukup
bermakna dilakukan pada bayi baru lahir yang memiliki risiko tinggi alergi yaitu
ibu memiliki riwayat atopi atau saudara kandung dengan riwayat penyakit alergi
yang jelas dan/atau terbukti dengan pemeriksaan IgE total tali pusat yang tinggi.
Pada bayi dari kelompok risiko tinggi ini dianjurkan pemberian ASI eksklusif
selama minimal 4 bulan, atau memberikan susu formula hipoalergenik, atau
menunda pemberian makanan padat hingga usia 6 bulan
1
.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : By. Ernawati
Umur : 1 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
No. CM : 1017919
Alamat : Aceh Besar
Tgl. Pemeriksaan : 10 September 2014
2. Anamnesis
Keluhan utama : bercak merah pada wajah dan dada
Keluhan tambahan : muntah, mencret, rewel
Riwayat penyakit sekarang :
Ibu pasien mengeluh bahwa muncul bercak-bercak merah pada wajah pasien
sejak diberi susu sapi (Lactogen 1 Gold prebio). Keluhan ini muncul kurang
lebih 1 jam setelah mengkonsumsi susu tersebut. Berca-bercak merah ini
awalnya muncul pada wajah dan kemudian menyebar ke dada. Jumlah lesi
banyak, berwarna merah. Sebelum muncul ruam tersebut pasien mengalami
muntah 1 kali, muntahan berisi apa yang diminum (susu). Ibu pasien juga
mengeluh pasien semakin rewel. Nafas bunyi tidak ada. BAK tidak ada
keluhan. Mencret ada, berwarna hijau, konsistensi encer bercampur ampas,
tidak ada darah, frekuensi 1 kali dalam 24 jam.
Riwayat penyakit dahulu : pasien tidak pernah mengalami hal yang
sama sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga :
Ayah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap makanan laut seperti ikan
tongkol dan udang. Kakak pasien diduga menderita rhinitis alergi.
Riwayat kehamilan :
Ibu ANC teratur ke bidan. Tidak pernah sakit selama hamil. Riwayat
mengkonsumsi obat-obatan selama hamil tidak ada.
4
Riwayat persalinan :
Pasien merupakan anak keenam dari enam bersaudara. Pasien lahir secara
section caesarea atas indikasi BSC 1 kali dan PEB dengan BBL 3100 gram,
PB 44 cm, LK: 33 cm, LD: 34 cm, LP: 32 cm, LILA: 10 cm, A/S: 7/9. BS:38
sesuai usia gestasi 38-40 minggu.
Riwayat imunisasi :
Belum pernah mendapat imunisasi
Riwayat pemberian makanan :
Belum pernah mendapat ASI. Untuk menggantikan ASI diberi susu formula
berupa susu sapi (merk Lactogen 1 Gold prebio).
Riwayat kebiasaan sosial :
Ada riwayat penggunaan sabun bayi (merk Cussons Baby soap).
3. Vital Sign
HR : 156 x/menit
RR : 52 x/menit
T : 36,5
0
C
4. Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephali, UUB terbuka rata
Mata : konjungtiva palpebral inferior pucat (-/-), sclera ikterik (-/-)
Telinga : normotia, serumen (-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa bibir lembab (+)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax :
Inspeksi : simetris, retraksi SS, IC dan epigastrium (-)
Palpasi : stridor (-)
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-)
Cor : BJ I > BJ II, regular (+), bising (-)
5
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Palpasi : soepel, turgor kembali cepat, tidak teraba pembesaran
H/L/R
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : peristaltic (+) normal
Ekstremitas:
Ekstremitas superior : macula eritema (-/-), edema (-/-), pucat (-/-)
Ekstremitas inferior : macula eritema (-/-), edema (-/-), pucat (-/-)
Anus : (+), hiperemis (-)
Genitalia : (+), perempuan, labia mayor telah menutupi labia minor
Status Lokalis : tampak macula eritema pada kedua pipi, dagu dan dada
dengan batas tidak tegas, jumlah multiple.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini belum pernah dilakukan pemeriksaan penunjang yang
mendukung diagnosis.
6. Diagnosis Banding
-Alergi susu sapi
-Intoleramsi laktosa
-Dermatitis kontak iritan
7. Diagnosis Sementara
Alergi susu sapi
8. Terapi
Menggantikan susu formula berbahan susu sapi (Lactogen 1 Gold prebio)
dengan susu formula berbahan kedelai (SGM soya 1).
6
9. Rencana
a. Diagnostik :
Darah tepi, hitung jenis eosinofil >3% atau eosinofil total >300/ml
Uji skin prick test saat usia 4 bulan
RAST test
Uji eliminasi dan provokasi
Pemeriksaan darah dalam tinja, chromiun-51 labelled erythrocites pada
feses dan reaksi orthotolidin
b. Rencana Terapi
Jika didapatkan reaksi alergi cepat atau anafilaksis:
Penghentian makanan (susu) tersangka
Epinephrin 0,01 mg/kg dalam larutan 1:1000 diberikan subkutan, dapat
diulang setelah 10-15 menit, dan dirawat di ruang gawat darurat
Antihistamin parenteral
Kortikosteroid parenteral
Diawasi minimal selama 4 jam setelah syok dapat diatasi.
c. Monitoring
Awasi tanda-tanda alergi terhadap susu soya
Awasi tanda-tanda syok anafilaksis
d. Edukasi
Edukasi keluarga pasien agar membaca setiap label makanan dan
mengenali istilah yang mengindikasikan adanya allergen susu sapi
seperti bubuk whey, lactoferrin dan bubuk casein.
Edukasi keluarga pasien bila timbul gejala alergi terhadap susu soya
seperti ruam merah pada kulit, mencret, mencret dan gejala sistem
organ lainnya.
Edukasi keluarga pasien tentang tanda-tanda reaksi anafilaksis
Edukasi ibu pasien agar tetap berusaha menyusui anaknya (pasien)
7
BAB III
PEMBAHASAN
Alergi susu sapi adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang diperantarai
secara imunologis terhadap protein susu sapi. Alergi susu sapi dibagi dua yaitu
yang diperantarai oleh IgE (IgE mediated) dimana mekanismenya melibatkan
reaksi hipersensitivitas tipe 1 dan yang tidak diperantarai oleh IgE (non-IgE
mediated) tetapi diperantarai oleh IgG dan IgM. Gejala klinis non-IgE mediated
ini timbul lebih lambat (1-3 jam) setelah mengkonsumsi protein susu sapi dengan
manifestasi klinis berupa allergic eosinophilic gastroenteropathy, kolik,
enterokolitis, proktokolitis, anemia, dan gagal tumbuh
5
.
Pada kasus ini gejala yang timbul muncul setelah 1 jam minum susu
formula. Gejala yang timbul berupa ruam kemerahan pada wajah dan dada,
muntah dan mencret. Berdasarkan onset dan manifestasi klinisnya, maka jenis
alergi susu sapi pada kasus ini adalah yang diperantarai oleh IgE. Hal ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa gejala klinis yang dittimbulkan oleh alergi
suus sapi yang diperantarai oleh IgE muncul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam
(sangat jarang > 2 jam). Manifestasi klinisnya dapat berupa urtikaria, angioedema,
ruam kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis,
bronkospasme, dan anafilaksis
5
.
Alergi yang diperantarai oleh IgE muncul bila tubuh gagal mentoleransi
alergen yang ada pada susu. Susu sapi terdiri dari kurang lebih 25 macam protein
yang memproduksi antibodi spesifik pada manusia. Antigen yang tersering pada
susu sapi adalah casein dan whey
7
. 80% protein susu sapi disusun oleh casein
yang cenderung tahan panas. Alergen casein terdiri dari empat protein yang
berbeda yaitu 1-, 2-, - and -casein. 20% sisanya disusun oleh protein whey
yang sensisitif terhadap panas. Allergen whey terdiri dari -lactalbumin, -
lactoglobulin, bovine serum albumin dan bovine immunoglobulin (Ig)
7
.
Susu sapi yang diberikan pada pasien adalah susu formula merk Lactogen 1
Gold Prebio dengan komposisi bubuk whey, laktosa dan bubuk skim. Seperti yang
telah diuraikan sebelmunya bahwa protein whey (laktosa) merupakan salah satu
bahan alergen. Ketika antigen susu tersebut ditelan lalu diproses di usus, usus
memiliki barrier untuk mencegah antigen masuk baik melalui mekanisme non
8
imunologik (mukus, epithelial cell tight junctions, asam and enzim) maupun
imunologik. Hilangnya barrier pelindung ini dan ketidakmaturan komponen
barrier usus (kurangnya aktivitas enzimatik dan produksi IgA) dapat
meningkatkan prevalensi alergi susu sapi pada bayi
2
. Telah diketahui bahwa pada
bayi baru lahir kadar IgA sekretorik dalam usus masih rendah sehingga antigen
mudah menembus mukosa usus dan kemudian dibawa ke aliran darah sistemik
3
.
Alergen dalam jumlah sedikitpun dapat mensensitisasi dan menimbulkan
gejala pada individu atopik
6
. Seperti pada kasus ini, diketahui pasien memiliki
riwayat atopi yang berasal dari ayah dan kakak pasien. Ayah pasien memiliki
riwayat alergi terhadap makanan dari laut sedangkan kakak pasien diduga
menderita rhinitis alergi. Dalam hal makanan seperti susu sapi, tidak dapat diduga
berapa banyak protein yang diserap dan berapa lama kontak dengan sistem imun
serta berapa cepat alergen yang dimakan, dipecah untuk dapat diserap.
Diperkirakan 1 mikrogram -lactoglobulin sudah dapat mensensitisasi
6
.
Kegagalan tubuh untuk dapat mentoleransi alergen protein susu sapi akan
merangsang imunoglobulin E (IgE), yang mempunyai reseptor pada sel mast,
basofil dan juga pada sel makrofag, monosit, limfosit, eosinofil dan trombosit
dengan afinitas yang rendah. Ikatan IgE dan alergen susu sapi akan melepaskan
mediator histamin, prostaglandin dan leukotrien dan akan menimbulkan
vasodilatasi, kontraksi otot polos dan sekresi mukus yang akan menimbulkan
gejala reaksi hipersensitivitas tipe I
6
.
Manifestasi alergi susu sapi yang diperantari oleh IgE dapat bermacam-
macam, tergantung dari tempat dan luas degranulasi sel mast, mulai dari urtikaria
akut sampai reaksi anafilaksis yang fatal. Organ target yang sering terkena adalah
kulit, saluran cerna, saluran napas atas, bawah dan sistemik
6
. Pada kasus ini
muncul gejala kulit dan saluran cerna. Gejala kulit yang muncul berupa gambaran
dermatitis atopi yaitu makula eritema pada pipi yang selanjutnya meluas ke dada.
Sementara itu, gejala saluran cerna yang ditunjukkan berupa muntah berisi susu
dan mencret.
Diakui bahwa penegakan diagnosis pada kasus ini hanya melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Dari data yang diperoleh, diagnosis
mengarah kepada alergi susu sapi. Namun diagnosis banding lainnya seperti
9
intoleransi laktosa dan dermatitis kontak iritan belum bisa sepenuhnya
disingkirkan. Kecurigaan terhadap intoleransi laktosa muncul karena pada kasus
ini gejala saluran pencernaan berupa muntah dan mencret. Namun, intoleransi
laktosa sering dialami anak yang lebih tua dan remaja serta manifestasi klinisnya
umumnya hanya melibatkan sistem pencernaan. Hal ini berebeda dengan alergi
susu sapi dimana prevalensi lebih banyak pada bayi dan anak yang lebih muda
serta manifestasi klinisnya melibatkan banyak organ tidak hanya terbatas pada
saluran pencernaan
8
. Sementara itu, bila dilihat dari manifestasi klinis di kulit
pada kasus ini yaitu makula eritema dengan batas tidak tegas bisa dipikirkan
kemungkinan lain yaitu dermatis kontak iritan. Terlebih lagi pada kasus ini ada
riwayat penggunaan sabun bayi.
Oleh karena itu, agar diagnosis alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE
tegak seharusnya perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa
uji tusuk kulit
(Skin prick test ). Namun, pada kasus ini, skin prick test belum bisa dilakukan
karena syarat untuk melakukan uji ini adalah minimal berusia 4 bulan, sementara
pasien masih berusia 1 hari. Dalam keadaan skin prick test tidak bisa dilakukan,
maka alternatif selanjutnya adalah melakukan uji IgE RAST (Radio Allergo
Sorbent Test). Bila hasil pemeriksaan kadar serum IgE spesifik untuk susu sapi >
5 kIU/L pada anak usia 2 tahun atau > 15 kIU/L pada anak usia > 2 tahun maka
hasil ini mempunyai nilai duga positif 53%, nilai duga negatif 95%, sensitivitas
57%, dan spesifisitas 94%
6
. Namun, uji ini membutuhkan waktu yang lama dan
mahal
5
.
Untuk diagnosis pasti dapat dilakukan uji eliminasi dan provokasi. Uji
eliminasi dan provokasi atau disebut juga Double Blind Placebo Controlled Food
Challenge (DBPCFC) merupakan uji baku emas untuk menegakkan diagnosis
alergi makanan. Uji ini dilakukan berdasarkan riwayat alergi makanan, dan hasil
positif uji tusuk kulit atau uji RAST. Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Jika
gejala alergi menghilang setelah dilakukan diet eliminasi selama 2-4 minggu,
maka dilanjutkan dengan uji provokasi yaitu memberikan susu formula dengan
bahan dasar susu sapi. Uji provokasi dilakukan di bawah pengawasan dokter dan
dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas resusitasi yang lengkap. Uji provokasi
dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul kembali, maka diagnosis
10
alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi dinyatakan negatif bila tidak
timbul gejala alergi susu sapi pada saat uji provokasi dan satu minggu kemudian,
maka bayi tersebut diperbolehkan minum formula susu sapi. Meskipun demikian,
orang tua dianjurkan untuk tetap mengawasi kemungkinan terjadinya reaksi tipe
lambat yang bisa terjadi beberapa hari setelah uji provokasi
5
.
Terapi yang diberikan pada kasus ini adalah mengganti susu sapi (Lactogen
1 Gold Prebiop) dengan susu berbahan dasar kedele (SGM soya 1). Hal ini sesuai
dengan teori bahwa prinsip utama terapi untuk alergi susu sapi adalah
menghindari (complete avoidance) segala bentuk produk susu sapi tetapi harus
memberikan nutrisi yang seimbang dan sesuai untuk tumbuh kembang bayi/anak
5
.
Konsensus Tata Laksana Alergi Susu Sapi IDAI 2010 mengklasifikasikan
tata laksana ASS menjadi dua yaitu tata laksana pada alergi susu sapi pada bayi
dengan ASI eksklusif dan pada bayi dengan susu formula. Pada kasus ini
didapatkan bahwa ibu pasien tidak dapat mengeluarkan ASI maka dipilih tata
laksana pada bayi dengan susu formula
6
. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
skema di bawah ini
5
.
11
Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian susu
formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrolisat ekstensif
(untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau formula asam
amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus
ini dilakukan sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun
waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul
kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila
gejala timbul kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan
seterusnya
6
. Umumnya bayi akan toleran sekitar umur 3 tahun
3
. Bila gejala tidak
menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain
5
.
Namun, pada kasus ini susu pengganti yang diberikan bukan susu formula
terhidrolisat ekstensif melainkan susu formula berbahan dasar kedele. Hal ini
disebabkan susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia di pasaran.
Walaupun demikian, perlu pengawasan karena 30-40% kasus ASS akan alergi
juga terhadap kedele tetapi hanya 14% ASS yang alergi susu kedele pada anak
usia <3,5 tahun
3
.
Usaha pencegahan juga tidak kalah penting. Seperti juga tindakan
pencegahan alergi secara umum, maka tindakan pencegahn ASS ini dilakukan
dalam 3 tahap yaitu, pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer
dilakukan sebelum tersensitisasi. Pencegahan sekunder dilakukan bila sudah
tersensitisasi namun belum menunjukkan manifestasi klinis alergi. Pencegahan
tersier dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan
manifestasi penyakit alergi yang masih dini misalnya dermatitis atopik atau rinitis
tetapi belum menunjukkan gejala alergi yang lebih berat misalnya asma. Dengan
demikian, pada kasus ini pencegahan tersier paling tepat dilakukan karena pasien
telah tersensitisasi dan menunjukkan manifestasi klinis alergi berupa dermatitis
atopik Pencegahan dilakukan dengan pemberian susu sapi yang dihidrolisis
sempurna atau pengganti susu sapi, serta tindakan lain berupa pemberian obat
pencegahan misalnya cetirizin, imunoterapi, imunomodulator serta penghindaran
asap rokok
3
. Selain itu, mengedukasi pasien agar tetap berusaha menyusui
anaknya agar ASI. Sebab pemberian ASI ekslusif dapat mengurangi angka
kejadian alergi susu sapi.
12
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka remisi
45-55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua dan 90% pada tahun
ketiga. Namun, terjadinya alergi terhadap makanan lain juga meningkat hingga
50% terutama pada jenis: telur, kedelai, kacang, sitrus, ikan dan sereal serta alergi
inhalan meningkat 50-80% sebelum pubertas
5
.
13
BAB IV
KESIMPULAN
Protein susu sapi merupakan protein asing yang pertama kali dikenal oleh
bayi, sehingga alergi susu sapi sering diderita pada bayi usia dini. Alergi susu sapi
adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi imunologis yang timbul sebagai
akibat pemberian susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi dan reaksi
ini dapat terjadi segera atau lambat.Gajala klinisnya beraneka ragam namun
dengan pemeriksaan penunjang yang sesuai diagnosis dapat ditegakkan dengan
tepat. Tata laksana alergi susu sapi mencakup penghindaran susu sapi dan
makanan yang mengandung susu sapi, dengan memberikan susu formula
terhidrolisat ekstensif /asam amino atau susu kedele sampai terjadi toleransi
terhadap susu sapi.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Zakiudin Munasir, Sjawitri P Siregar, Sri S Nasar, Nia Kurniati. 2007.
Pemberian Bubur Formula Protein Hidrolisat dan Bubur Soya dalam
Pencegahan Alergi Susu Sapi. Sari Pediatri. Vol.8 (4) p.282-288.
2. Avigael. H. Benhamou, Michela. G. Schppi Tempia, Dominique. C. Belli,
Philippe A. Eigenmann. 2009. An overview of cows milk allergy in children.
SWISS MED WKLY. Vol. 139 (2122) p.300307.
3. Sjawitri P Siregar, Munasir Zakiudin. 2006. Pentingnya Pencegahan Dini dan
Tata laksana Alergi Susu Sapi. Sari Pediatri. Vol. 7 (4) p.237-243.
4. Venter et al. 2013. Diagnosis and management of non-IgE-mediated cows
milk allergy in infancy - a UK primary care practical guide. Clinical and
Translational Allergy. Vol. 3 (23) p.1-11.
5. Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi. IDAI.
6. Sjawitri P Siregar. 2001. Alergi Makanan pada Bayi dan Anak. Sari Pediatri.
Vol. 3 (3) p.186-174.
7. SJ Karabus and G du Toit. 2012. IgE-Mediated Cows Milk Protein Allergy.
Current Allergy & Clinical Immunology. Vol. 25(1) p.4-8.
8. National Dairy Council. 2006. Cows Milk Allergy Versus Lactose
Intolerance. Digest. Vol. 77(3) p.13-18.