Anda di halaman 1dari 10

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Glukosa Darah
2.1.1 Sumber Glukosa Darah
Karbohidrat, protein dan lemak merupakan nutrisi penting bagi tubuh.
Didalam saluran cerna, masing-masing karbohidrat, lemak dan protein tersebut
akan dipecah melalui berbagai proses menjadi molekul-molekul yang lebih
sederhana. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino, dan
lemak menjadi kolestrol dan asam lemak bebas. Tubuh memakai glukosa sebagai
sumber energi utama. Glukosa akan di absorpsi oleh saluran cerna dan ditransport
untuk selanjutnya disimpan dan dipakai oleh sel. Setelah diabsorbsi, glukosa
akan berada di dalam darah. Kadar glukosa di dalam darah dipertahankan antara
4,5-5,5 mmol/L. Selanjutnya untuk mempertahankan kadar glukosa, terjadi
proses pembentukan glukosa menjadi glikogen maupun penguraian glikogen
menjadi glukosa. Dalam mempertahankan glukosa di dalam darah, tubuh
mendapat glukosa dari berbagai sumber, antara lain :
1. Dari karbohidrat makanan
Sebagian besar karbohidrat dalam makanan pada pencernaan membentuk
glukosa, galaktosa atau fruktosa. Zat-zat ini kemudian diabsorbsi ke dalam
vena porta. Galaktosa dan fruktosa segera diubah menjadi glukosa dalam hati
(Irawan, 2007).
2. Dari berbagai senyawa glukogenik yang mengalami glukoneogenesis
Senyawa-senyawa ini dibagi dalam dua kategori: (1) Senyawa yang
langsung diubah menjadi glukosa tanpa banyak resiklus, seperti beberapa asam
amino dan propionat, (2) Senyawa yang merupakan hasil dari metabolisme parsial
glukosa dalam jaringan tertentu yang diangkut ke hati dan ginjal, dimana mereka
disintesis kembali menjadi glukosa. Misalnya, laktat, yang dibentuk dari oksidasi
glukosa dalam otot rangka dan oleh eritrosit, ditransport ke hati dan ginjal
dimana mereka diubah menjadi glukosa, yang dapat digunakan lagi melalui
sirkulasi untuk oksidasi dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai siklus cori atau
siklus asam laktat.
Universitas Sumatera Utara
5



Gliserol untuk triasilgliserol jaringan adipose mula-mula berasal dari
glukosa darah karena gliserol bebas tidak segera dapat dipergunakan untuk
sintesis triasilgliserol dalam jaringan ini. Asilgliserol jaringan adiposa secara
kontinu mengalami hidrolisis untuk membentuk gliserol bebas, yang berdifusi
keluar dari jaringan masuk ke dalam darah. Ia diubah kembali menjadi glukosa
oleh mekanisme glukoneogenesis dalam hati dan ginjal. J adi terdapat suatu siklus
yang kontinu dimana glukosa ditransport dari hati dan ginjal ke jaringan adiposa
dan gliserol dan dikembalikan untuk disintesis menjadi glukosa oleh hati dan
ginjal.
3. Dari glikogen hati oleh glikogenolisis.
Glukosa bila tidak digunakan akan disimpan dalam bentuk glikogen
di hati sebagai cadangan makanan. Proses penyimpanan glukosa menjadi glikogen
disebut glikogenesis. J ika tubuh kekurangan glukosa, maka glikogen pun akan
dipecah menjadi glukosa melalui proses glikogenolisis. (Murray et al., 2009)



Gambar 2.1 Proses Glikogenesis dan Glikogenolisis


Universitas Sumatera Utara
6




2.1.2 Kadar Glukosa Darah
Dalam keadaan postabsorbsi konsentrasi glukosa darah manusia berkisar
antara 80 100 mg/dl. Setelah makan karbohidrat kadar dapat meningkat sampai
sekitar 120-130 mg/dl. Selama puasa, kadarnya turun sampai sekitar 60-70 mg/dl.
Dalam keadaan normal, kadarnya dikontrol dalam batas-batas ini.

2.1.3 Pengaturan Glukosa Darah
Mempertahankan kadar glukosa dalam darah hingga stabil adalah salah
satu mekanisme homeostatik yang paling baik, dimana hati, jaringan-jaringan
ekstrahepatik, dan beberapa hormon mempunyai peranan. Sel-sel hati sangat
permeable terhadap glukosa, sedangkan sel-sel jaringan ekstrahepatik relatif
impermeabel. Ini mengakibatkan penembusan glukosa melalui membran sel
merupakan langkah-langkah yang rate limiting dalam jaringan ekstrahepatik.
Glukosa dengan cepat mengalami fosforilasi oleh heksokinase pada waktu masuk
kedalam sel. Sebaliknya, ada kemungkinan bahwa aktifasi enzim-enzim tertentu
dan konsentrasi zat-zat antara yang penting lebih banyak mempengaruhi secara
langsung uptake dan output glukosa dalam darah. Hal ini merupakan faktor yang
penting dalam mengatur kecepatan uptake glukosa dalam hati dan jaringan
ekstrahepatik.
Heksokinase dihambat oleh glukosa 6-fosfat, sehingga dapat terjadi
pengaturan umpan balik terhadap uptake glukosa dalam jaringan ekstrahepatik
yang tergantung pada heksokinase untuk fosforilasi glukosa. Glukokinase, yang
mempunyai km lebih tinggi (afinitas yang lebih rendah) untuk glukosa daripada
heksokinase, meningkat dalam aktifitas batas konsentrasi fisiologis glukosa dan
mempunyai hubungan spesifik dengan uptake glukosa di hati pada konsentrasi
yang lebih tinggi setelah mengkonsumsi karbohidrat.
Disamping pengaruh langsung dari kondisi hiperglikemia dalam
meningkatkan uptake glukosa ke dalam hati dan jaringan perifer, hormon insulin
juga memegang peranan pokok dalam pengaturan konsentrasi glukosa darah.
Insulin dihasilkan oleh sel-sel beta pulau langerhans dalam pankreas dan
Universitas Sumatera Utara
7



disekresi ke dalam darah sebagai respon langsung terhadap
hiperglikemia.Konsentrasinya dalam darah sebanding dengan konsentrasi glukosa.
Hormon- hormon seperti epinefrin dan norepinefrin menghambat pengeluaran
insulin. Secara invitro (dan mungkin in vivo) ditemukan bahwa insulin
mempunyai efek langsung pada jaringan seperti jaringan adiposa dan otot dalam
menaikkan kecepatan uptake glukosa. Diduga bahwa kerja ini disebabkan karena
peningkatan transport glukosa melalui membran sel.
Glukagon adalah hormon yang diproduksi oleh sel-sel alfa pulau
langerhans dari pankreas. Sekresinya dirangsang oleh hipoglikemia dan bila
sampai di hati (melalui vena porta), menyebabkan glikogenolisis dengan
mengaktifkan fosforilase dengan cara yang sama seperti epinefrin. Tidak seperti
epinefrin, glukagon tidak mempunyai efek terhadap fosforilase otot. Glukagon
juga merangsang efek glukoneogenesis serta glikogenolisis hati dan menambah
efek hiperglikemik yang diakibatkan oleh glukagon.
Kelenjar hipofisis anterior mengsekresi hormon-hormon yang cenderung
untuk meningkatkan glukosa darah dan oleh karena itu melawan kerja insulin.
Hormon-hormon ini adalah hormon pertumbuhan, ACTH (kortikotropin), dan
mungkin zat diabetogenik lainnya. Sekresi hormon pertumbuhan, dirangsang
oleh hipoglikemia. Hormon ini bekerja dengan menurunkan uptake glukosa dalam
jaringan tertentu, misalnya otot. Pemberian hormon pertumbuhan untuk waktu
yang lama dapat menimbulkan diabetes. Efek hiperglikemia yang timbul akibat
perangsangan hormon pertumbuhan merangsang sekresi insulin, dengan
kemungkinan menyebabkan sel-sel beta menjadi letih.Selain hormon
pertumbuhan, ACTH dapat mempunyai efek tidak langsung pada penggunaan
glukosa, yaitu meningkatkan pengeluaran asam-asam lemak bebas dari jaringan
adiposa. Efek utamanya pada metabolisme karbohidrat adalah perangsangan
sekresi hormon korteks adrenal.
Korteks adrenal mengsekresi sejumlah hormon steroid antara lain
glukokortikoid (kortisol) dan mineralokortikoid (aldosteron). Glukokortikoid
berperan penting dalam metabolisme karbohidrat. Pemberian glukokortikoid
mengakibatkan terjadinya glukoneogenesis. Sehingga terjadi kenaikan
Universitas Sumatera Utara
8



katabolisme protein dalam jaringan, peningkatan uptake asam amino oleh hati,
dan kenaikan aktivitas transaminase dan enzim-enzim lain yang berhubungan
dengan glukoneogenesis dalam hati. Selain itu, glukokortikoid juga menghambat
penggunaan glukosa dalam jaringan ekstrahepatik. Glukokortikoid juga berperan
dengan suatu cara yang antagonistik terhadap insulin.
Epinefrin, disekresi oleh medulla adrenal, merangsang pemecahan
glikogen dalam otot. Akan tetapi, pemberian epinefrin mengakibatkan
pengeluaran glukosa dari hati bila terdapat glikogen akibat perangsangan
fosforilase. Pada Otot, sebagai akibat tidak adanya glukosa 6-fosfotase,
glikogenolisis mengakibatkan pembentukan laktat. Laktat yang berdifusi ke dalam
darah diubah kembali oleh mekanisme glukoneogenesis menjadi glikogen dalam
hati (siklus cori). Kondisi hipoglikemia menyebabkan suatu rangsangan saraf
simpatis, sehingga terjadi kenaikan sekresi epinefrin, akibatnya terjadi proses
glikogenolisis dan diikuti oleh kenaikan konsentrasi glukosa darah.
(Bender & Meyes, 2009)

2.2 Kopi
2.2.1 Sejarah Kopi
Tanaman kopi berasal dari Ethiopia, tetapi sejarah awal pembudidayaan
kopi dan penggunaannya sebagai minuman berpusat pada Arabia. Kopi
diperkenalkan di Arabia sekitar abad ke-15. Sekitar tahun 1500-an, kopi
dibudidayakan di Yemen dan praktek pemanggangan biji kopi mulai berkembang
di banyak bagian dunia Islam. Sekitar than 1600, kopi mulai dikenalkan ke bangsa
Eropa dan beberapa tahun kemudian orang-orang Belanda memperkenalkan kopi
ke pulau J awa. Kopi arabika dikenal sejak abad ke-13, sedangkan kopi robusta
dikenal setelah akhir abad ke-19 (International Coffee Organization)
Secara taksonomi, kopi termasuk famili Rubiacaea, genus coffea.
Speciesnya ada 2 yaitu coffea arabica (arabika) dan coffea canephora (robusta).
Kopi robusta tumbuh di tempat yang berbeda dengan kopi arabika,yaitu didaerah
tropis dimana kopi arabika tidak bisa tumbuh. Harga kopi robusta lebih murah
Universitas Sumatera Utara
9



daripada kopi arabika namun rasanya kurang enak lebih pahit bila dibanding kopi
arabika.
2.2.2 Kandungan Kopi
Di dalam sekeping biji kopi terkandung beberapa senyawa kimia.
Senyawa-senyawa kimia tersebut dapat dibedakan atas senyawa volatil dan non
volatil. Senyawa volatil adalah senyawa yang mudah menguap, terutama jika
terjadi kenaikan suhu. Yang termasuk senyawa volatil antara lain golongan
aldehid, keton dan alkohol. Senyawa volatil berpengaruh terhadap aroma kopi
sedangkan senyawa non volatil lebih berpengaruh terhadap mutu kopi.
Mutu kopi diperankan oleh senyawa non volatil diantaranya adalah kafein,
chlorogenic acid dan senyawa-senyawa nutrisi. Kafein merupakan unsur
terpenting pada kopi yang berfungsi sebagai stimulant, sedangkan kafeol
merupakan faktor yang menentukan rasa. Selain kafein yang diduga banyak
berperan dalam fisiologis tubuh, biji kopi juga mengandung beberapa senyawa
nutrisi antara lain karbohidrat, protein, lemak, dan mineral. Sukrosa, salah satu
golongan karbohidrat merupakan senyawa disakarida yang terkandung dalam biji
kopi, kadarnya bisa mencapai 75% pada biji kopi kering. Selain itu, dalam biji
kopi terdapat pula gula pereduksi sekitar 1 %. Berkurangnya gula pereduksi yang
disebabkan oleh penyimpanan pada suhu tinggi akan menyebabkan turunnya mutu
kopi seduhan yang dihasilkan, karena gula merupakan salah satu komponen
pembentuk aroma. Golongan asam juga dapat mempengaruhi mutu kopi, karena
merupakan salah satu senyawa pembentuk aroma kopi. Asam yang dominan pada
biji kopi adalah asam klorogenat yaitu sekitar 8 % pada biji kopi berkurang
menjadi 4,5% pada kopi sangrai. Hal ini dikarenakan selama penyangraian
sebagian besar chlorogenic acids akan terhidrolisa menjadi asam kafeat dan
Quinic acid (Clarke dan Macrae (eds), 1985). Dalam 1 cangkir kopi robusta
dengan 10 g bubuk kopi terkandung sekitar 100 mg kafein dan 200 mg
chlorogenic acid. Kadar kafein yang terdapat pada kopi Robusta sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan kopi Arabika. Sebaliknya jenis Arabika lebih banyak
mengandung zat gula dan minyak atsiri. Dinegara-negara konsumen ramuan
Universitas Sumatera Utara
10



minuman kopi biasanya dihidangkan dalam bentuk hasil blending kopi Robusta
dan Arabika (Spillane, 1990).

2.2.3 Efek Kopi
Kopi dapat mempengaruhi fisiologis tubuh. Dua senyawa yang paling
berperan dalam hal ini antara lain adalah kafein dan chlorogenic acid.
1. Kafein
Kafein (1,3,7-trimethylxantin) merupakan stimulant yang paling banyak
ditemukan. Selain pada kopi, kafein juga terdapat di dalam teh, cokelat, softdrink,
serta minuman-minuman berenergi. J umlah kafein dalam secangkir kopi
bervariasi, sekitar 50-180 mg. Kafein diabsorpsi secara cepat dan sempurna,
dengan 99% di absorpsi dalam 45 menit setelah asupan. Ketika dikonsumsi dalam
bentuk minuman, kafein diabsopsi secara cepat oleh saluran cerna dan
terdistribusi melalui cairan tubuh. Kadar puncak kafein di dalam tubuh tercapai
dalam 15-120 menit, namun bervariasi tergantung waktu pengosongan lambung.
Sekali diabsorpsi, kafein tidak mengalami first pass metabolisme. Sebuah
penelitian pada manusia dewasa, 4 mg/kg (280 mg/70 kg atau 2-3 cangkir kopi)
kafein mempunyai waktu paruh antara 3-6 jam (Rogers, 2007). Kafein mengalami
metabolisme di hati menjadi paraxanthine, theobromin dan theophilline.
Kemudian kafein akan diekskresikan melalui urin. Rokok dapat meningkatkan
metabolisme kafein, dengan meningkatkan aktifitas xantin oxidase, sehingga
mempercepat proses demetilasi (Committee on Military Nutrition Research Food
and Nutrition Board, 2001).

Gambar 2.2 Struktur Kimia Kafein
Universitas Sumatera Utara
11




Di dalam tubuh, kafein bekerja pada tingkat sel dengan beberapa
mekanisme, yaitu: (1) meningkatkan affinitas myofilament terhadap kalsium
(Ca
2+
) dan meningkatkan pelepasan Ca
2+
di retikulum sarkoplasama, (2)
menghambat enzim phospodiesterase sehingga terjadi akumulasi cyclic-3,5-
adenosine monophosphat (cAMP) di berbagai jaringan termasuk jaringan adiposa
dan otot skelet, (3) menghambat secara kompetitif reseptor adenosine (Daly dan
Fredholm, 2004).
Adenosine diproduksi di semua jaringan dan berperan dalam proses
pemecahan ATP selama metabolisme sel dan transmisi neuron (J ohnson et al.,
2001). Dua kerja adenosine melatarbelakangi efek kafein di sistem kardioveskular
dan endokrin. Pertama, adenosine bekerja pada kanal kalium menyebabkan
hiperpolarisasi membran sel neuron, otot polos pembuluh darah, dan otot jantung
(Suzuki et al., 2001). Efek adenosine menyebabkan penurunan laju transmisi
neuron dan penurunan respon jantung dan pembuluh darah. Kedua, adenosine
bekerja dalam menurunkan pelepasan neurotransmitter presinaps di sistem saraf
pusat maupun sistem saraf autonom. Hal ini akan mengurangi efek simpatis
yang terjadi di jantung, pembuluh darah, dan medulla adrenal (Shinozuka et al.,
2002). Sehingga dapat disimpulkan bahwa antagonisme kafein secara kompetitif
pada reseptor adenosine akan menurunkan kerja adenosine dan menyebabkan
peningkatan aktifitas sistem saraf pusat dan sistem saraf autonom. Peningkatan
aktifitas sistem saraf pusat akan menyebabkan tubuh tetap terjaga, kewaspadaan
meningkat serta timbulnya perasaan gelisah.
Peningkatan aktifitas sistem saraf autonom oleh hambatan kafein terhadap
reseptor adenosine akan menyebabkan vasokonstriks serta peningkatan
pelepasan katekolamin dari medula adrenal. Pelepasan katekolamin ini berperan
dalam meningkatkan tekanan darah, kontraksi jantung, denyut nadi dan lipolisis
ehingga meningkatkan asam lemak bebas di dalam darah (Wedick et al, 2011).
Selain mempunyai efek terhadap sistem saraf pusat, jantung, dan
pembuluh darah. Pelepasan katekolamin yang diakibatkan oleh kafein juga dapat
mempengaruhi metabolisme tubuh, diantaranya metabolisme glukosa.
Universitas Sumatera Utara
12



Katekolamin bekerja meningkatkan glikogenolisis di hepar dan otot rangka,
menghambat sekresi insulin melalui aktivasi adrenoseptor- (lebih dominan
dibanding peningkatan sekresi insulin melalui aktivasiadrenoseptor-
2
). Adrenalin
(Epinefrin) juga memacu pemecahan lemak (lipolisis) melalui aktivasi
adrenoseptor -
3
dan meningkatkan aktivitas lipase. Dari hal yang telah
disebutkan, dapat disimpulkan bahwa pelepasan katekolamin dapat meningkatkan
kadar glukosa di dalam darah (Greer et al, 2001).
Data penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa kafein meningkatkan
sekresi adrenokortikotropin hormon (ACTH) dan kortisol (Lovallo et al., 2005).
Efek metabolik yang paling terkenal dari kortisol adalah perangsangan
glukoneogenesis. Kortisol meningkatkan enzim-enzim yang dibutuhkan untuk
mengubah asam-asam amino menjadi glukosa. Kortisol juga menekan proses
oksidasi nikotinamid-adenin-dinukleotida (NADH) untuk membentuk NADH
+
.
Oleh karena NADH harus dioksidasi agar menimbulkan glikolisis, efek ini dapat
berperan dalam mengurangi pemakaian glukosa oleh sel. Peningkatan kecepatan
glukoneogenesis serta berkurangnya kecepatan pemakaian glukosa oleh sel dapat
meningkatkan konsentrasi glukosa darah (Guyton dan Hall, 2006).

2. Chlorogenic acid (CGA)
Chlorogenic acids (CGA) atau 5-caffeoylquinic acid merupakan salah
satu senyawa phenol. Kopi merupakan sumber alami utama CGA (5-12g/100 g)
(Farah et al., 2008). Secara invitro, CGA telah terbukti berperan sebagai
antioksidan. CGA mempengaruhi kadar glukosa postprandial, toleransi glukosa,
konsentrasi lipid dan absorpsi glukosa di saluran cerna. Secara invitro ditemukan
bahwa CGA menghambat ambilan glukosa di saluran cerna dan meningkatkan
sekresi insulin dari sel pancreas, menunjukkaan CGA potensial dalam
mempengaruhi postprandial glycemia (Bryans et al., 2007). Hasil percobaan pada
tikus menunjukkan CGA mempengaruhi metabolisme glukosa dengan cara
menurunkan gradient konsentrasi Na
+
, sehingga menurunkan ambilan glukosa
oleh enterosit, dan menghambat aktifitas glukosa-6-fosfatase. CGA tidak
mengalami modifikasi selama di lambung maupun usus halus. Namun, ketika
Universitas Sumatera Utara
13



berada di caecum, CGA diubah menjadi caffeic acid oleh mikroflora yang ada.
Di lambung, CGA mengalami absorpsi secara sempurna sehingga konsentrasi
CGA ditemukan dalam gastric vein dan aorta tanpa mengalami konjugasi.
Sesampainya di liver, CGA pun tidak mengalami modifikasi, sehingga CGA dapat
langsung bekerja menghambat glukosa-6-fosfatase di sel hati. CGA juga
menurunkan pelepasan glucose dependent-insulinotropic peptide (GIP) di bagian
proksimal usus halus dan menurunkan absorpsi glukosa (Thom, 2007).
























Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai