Draft - Bab 2

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 29

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Adsorpsi
2.1.1 Definisi Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses perpindahan massa yang terjadi akibat interaksi
berupa gaya tarik menarik atau interaksi kimia antara permukaan padatan berpori dengan
partikel yang akan diserap dari fasa bulk (Oscik, 1982). Partikel yang teradsorpsi akan
terakumulasi pada permukaan zat padat, berbeda dengan proses absorbsi dimana massa
berpindah ke dalam volume atau bulk padatan atau fluida pengabsorbsi. Partikel yang
berpindah pada proses adsorpsi disebut sebagai adsorbat dan zat penyerap partikel adsorbat
disebut adsorben (Grassi, Kaykioglu, Belgiorno, & Lofrano, 2012).

Gambar 2.1 Mekanisme perpindahan massa pada adsorpsi

Mekanisme perpindahan massa dari fasa bulk hingga ke dalam adsorben pada
proses adsorpsi terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu (Seader, Henley, & Roper, 2010) :
1. Perpindahan massa dari 1 menuju 2, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1,
merupakan perpindahan massa eksternal. Perpindahan massa eksternal meliputi
perpindahan konvektif adsorbat dari fasa bulk menuju lapisan film yang
mengelilingi partikel adsorben dan perpindahan masa melalui lapisan film menuju
permukaan terluar adsorben.
2. Perpindahan dari 2 menuju 3 merupakan perpindahan massa internal adsorbat dari
permukaan partikel menuju permukaan dalam adsorben (4) melewati pori-pori
adsorben. Proses perpindahan ini dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a) Difusi pori (pore diffusion), yaitu perpindahan partikel adsorbat secara difusi di
dalam pori pori adsorben yang berisi fluida;
6

b) Difusi permukaan (surface diffusion), yaitu perpindahan partikel adsorbat
sepanjang lapisan film yang melapisi permukaan adsorben.


Gambar 2.2 Profil temperatur dan konsentrasi adsorbat pada adsorben padat berpori di
dalam fluida pada proses; (a) adsorpsi dan (b) desorpsi (Seader, Henley, & Roper, 2010)

Adsorpsi merupakan proses perpindahan massa dengan driving force perpindahan
massa berupa perbedaan konsentrasi adsorbat pada fasa bulk dan konsentrasi adsorbat pada
permukaan film yang melapisi adsorben. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 pada butir
(a), profil konsentrasi adsorbat di dalam adsorben lebih rendah daripada konsentrasi
adsorbat pada fasa bulk. Hal ini menyebabkan perpindahan massa adsorbat terjadi dari fasa
bulk ke dalam adsorben (adsorpsi). Jika adsorpsi terjadi secara fisika, maka proses adsorpsi
akan terjadi secara eksotermis. Proses eksotermis menghasilkan panas sehingga temperatur
adsorben akan menjadi lebih tinggi daripada temperatur lingkungan. Jika adsorpsi yang
terjadi merupakan adsorpsi kimia, perubahan suhu akan bergantung pada panas reaksi yang
terjadi (Rouquerol, Rouquerol, & Sing, 1999).
Perpindahan massa yang berlawanan dari adsorpsi dimana terjadi transfer adsorbat
dari dalam adsorben menuju fasa bulk dinamakan proses desorpsi. Profil temperatur dan
konsentrasi adsorbat pada proses desorpsi digambarkan pada Gambar 2.1 butir (b).
Konsentrasi adsorbat di dalam adsorben lebih tinggi daripada konsentrasi adsorbat pada
fasa bulk sehingga terbentuk driving force yang menyebabkan perpindahan massa adsorbat
terjadi dari dalam adsorben menuju fasa bulk. Desorpsi secara umum merupakan proses
7

dengan panas reaksi endotermis sehingga memerlukan energi tambahan berupa panas dari
lingkungan.
2.1.2 Adsorpsi Fisika dan Adsorpsi Kimia
Seperti yang telah dijelaskan pada butir 2.1.1, adsorpsi terjadi akibat interaksi
antara adsorben dengan adsorbat. Berdasarkan interaksi yang terlibat, adsorpsi dapat
berupa adsorpsi fisika (physisorption) atau adsorpsi kimia (chemisorption).

Tabel 2.1 Perbedaan Adsorpsi Fisika dan Adsorpsi Kimia (Rouquerol, Rouquerol, & Sing,
1999)
Perbedaan Adsorpsi Fisika Adsorpsi Kimia
Jenis
interaksi
ikatan Van der Waals, reversible ikatan kimia, irreversible
Selektivitas
spesifik
relatif rendah
bergantung pada kereaktifan adsorben
dan adsorbat
Energi
reaksi
eksotermis
bergantung pada energi reaksi yang
terjadi
Kebutuhan
energi
Aktivasi
tidak memerlukan energi aktivasi memerlukan energi aktivasi
Jumlah
lapisan
mono-layer, multi-layer pada
tekanan tinggi
terbatas pada mono-layer
Identitas
partikel
partikel adsorbat tidak mengalami
perubahan, pada proses desorpsi,
partikel adsorbat yang teradsorpsi
akan kembali ke kondisi awal
partikel mengalami perubahan struktur
kimia sehingga membentuk zat baru
karena telah melalui suatu reaksi kimia
Temperatur
Operasi
relatif rendah, di bawah
temperatur kritis zat adsorbat
operasi dilakukan pada suhu tinggi
(>200
o
C)

Adsorpsi fisika terjadi apabila interaksi yang terbentuk antara adsorben dan
adsorbat berupa ikatan Van der Waals. Gaya van der Waals merupakan suatu gaya lemah
yang ditimbulkan oleh perbedaan kepolaran momen dipol antar molekul. Ikatan yang
timbul oleh gaya ini juga bersifat lemah sehingga dapat terlepas dengan mudah atau
dengan kata lain sifat ikatan tersebut dapat balik (reversible).

Adsorpsi fisika berlangsung
relatif cepat dan dapat membentuk lapisan tunggal (mono-layer) atau lapisan rangkap
(multi-layer) pada operasi dengan tekanan tinggi. Pada pembentukan lapisan rangkap,
proses adsorpsi yang terjadi terlebih dahulu membentuk lapisan tunggal pada permukaan
adsorben. Molekul molekul yang mengisi lapisan tunggal ini kemudian akan menjadi
gugus adsorpsi untuk molekul berikutnya sehingga dapat terbentuk lapisan rangkap.
Adsorpsi kimia melibatkan ikatan kimia (ikatan kovalen) yang terbentuk sebagai
8

akibat interaksi elektron antara adsorben dan adsorbat. Reaksi yang timbul memiliki sifat
irreversible. Adsorbat yang mengalami adsorpsi kimia akan mengalami reaksi dan berubah
menjadi suatu senyawa baru, berbeda dengan adsorpsi fisika dimana tidak terbentuk
senyawa baru setelah proses adsorpsi. Ikatan yang terbentuk pada adsorpsi kimia terbatas
pada pembentukan lapisan tunggal pada permukaan adsorben. Hal ini disebabkan oleh
gugus aktif pemicu adsorpsi kimia yang hanya terdapat pada permukaan adsorben saja.
Adsorpsi kimia secara umum hanya terjadi pada suhu yang relatif tinggi (>200
o
C),
berlangsung relatif lambat, dan memerlukan energi aktivasi untuk memulai reaksi. Pada
kondisi temperatur dan tekanan operasi tertentu, dalam suatu proses adsorpsi dapat terjadi
proses adsorpsi kimia dan fisika secara bersamaan atau bergantian (Rouquerol, Rouquerol,
& Sing, 1999).

2.1.3 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kinetika Adsorpsi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinetika perpindahan massa pada adsorpsi
adalah (Grassi, Kaykioglu, Belgiorno, & Lofrano, 2012):
a) Kecepatan pengadukan
Pengadukan akan memperkecil hambatan perpindahan massa yang terdapat di dalam
larutan fasa bulk. Pada laju pengadukan yang lebih besar, hambatan perpindahan
massa yang harus dilalui oleh adsorbat menjadi makin kecil sehingga difusi partikel
adsorbat menjadi lebih cepat. Pergerakan partikel yang semakin cepat akan
mempengaruhi laju kolisi antar partikel adsorbat dengan adsorben sehingga
meningkatkan laju adsorpsi.
b) Konsentrasi awal adsorbat dalam larutan
driving force perpindahan massa pada proses adsorpsi merupakan perbedaan profil
antara konsentrasi adsorbat di dalam fasa bulk (larutan) dengan konsentrasi adsorbat
pada lapisan tipis film yang mengelilingi adsorben. Jika perbedaan konsentrasi antara
kedua fasa tersebut semakin besar, maka proses perpindahan massa akan berlangsung
semakin cepat dan adsorpsi yang terjadi akan lebih cepat mencapai kesetimbangan.
c) pH larutan
Nilai pH larutan mempengaruhi besar muatan elektrostatis pada permukaan adsorbat
dan pada gugus aktif adsorben (Ofomaja, 2008). Pada nilai pH yang berbeda, muatan
yang terbentuk pada gugus aktif adsorben dapat mengalami perubahan dari positif
menjadi negatif atau sebaliknya (Bestani, Benderdouche, Benstaali, Belhakem, &
9

Addou, 2008). Perubahan muatan permukaan ini akan mempengaruhi atraksi adsorbat
pada adsorben. makin besar perbedaan muatan yang terbentuk, makin besar pula
atraksi yang terjadi dan proses adsorpsi akan berlangsung lebih cepat.
d) Temperatur operasi
Peningkatan temperatur operasi dapat memberikan berbagai macam pengaruh pada
sistem adsorpsi. (Calderon, Moraga, Leal, Agouborde, Navia, & Vidal, 2008)
Temperatur operasi yang meningkat akan mengurangi viskositas larutan sehingga laju
difusi massa adsorbat pada larutan tersebut akan bertambah besar. Hal ini
menyebabkan terjadi perpindahan massa adsorbat yang lebih cepat melalui fasa cairan
yang terdapat pada fasa bulk maupun di dalam pori pori adsorben. Selain itu,
kapasitas kesetimbangan antara adsorbat dan adsorben merupakan fungsi temperatur,
sehingga perubahan temperatur akan secara langsung mempengaruhi kapasitas
kesetimbangan adsorben.
e) Dosis adsorben
Menurut Baral, Dasa, Chaudhury, Swamy, dan Rath (2008), dosis adsorben merupakan
ukuran jumlah adsorben yang digunakan dalam suatu proses adsorpsi. Dosis adsorben
secara umum dinyatakan dalam konsentrasi volumetrik adsorben atau rasio masa
adsorben terhadap volume larutan yang digunakan. Dalam proses adsorpsi, dosis
adsorben berperan besar dalam menentukan kapasitas adsorpsi. Jika konsentrasi
adsorben dalam larutan meningkat, maka luas permukaan yang tersedia untuk
melakukan adsorpsi juga akan semakin banyak. Peningkatan luas permukaan ini
secara langsung berpengaruh pada peningkatan kapasitas adsorpsi adsorben.

2.1.4 Adsorben
Adsorben adalah suatu zat padat yang digunakan dalam proses adsorpsi untuk
mengikat adsorbat dari fasa bulk. Proses adsorpsi terjadi pada seluruh permukaan
adsorben, termasuk pada permukaan pori mikroskopis yang terdapat pada seluruh volume
adsorben. Suatu adsorben dipenuhi pori-pori berukuran mikroskopis yang saling
berhubungan untuk menyediakan luas permukaan adsorpsi per volume adsorben yang jauh
lebih besar. Karena proses adsorpsi terjadi tidak hanya pada permukaan luar adsorben,
tetapi juga pada permukaan pori adsorben, luas permukaan pori-pori yang makin besar
akan menghasilkan proses adsorpsi yang makin efektif. Berdasarkan ukuran diameter, pori-
pori pada adsorben dapat dibedakan menjadi micropore, yaitu pori terkecil dengan
10

diameter pori berukuran < 20 , mesopore dengan ukuran diameter pori berkisar antara 20-
500 , dan macropore dengan ukuran diameter pori > 500 (Seader, Henley, & Roper,
2010).
Adsorben yang digunakan secara komersial memenuhi kriteria sebagai berikut
(Seader, Henley, & Roper, 2010) :
a) Memiliki selektivitas tinggi untuk meningkatkan efektivitas proses pemisahan.
b) Luas permukaan total yang besar sehingga kapasitas adsorpsi adorben besar
agar dosis adsorben dapat dikurangi.
c) Memiliki sifat-sifat kinetis dan kriteria transfer yang menguntungkan agar
proses adsorpsi terjadi dengan cepat.
d) Stabil secara fisika, kimia, dan termal. Adsorben yang baik memiliki kelarutan
yang sangat rendah dalam larutan kontak.
e) Memiliki ketahanan fisik yang baik agar tidak mengalami erosi atau mudah
hancur pada proses adsorpsi yang melibatkan pengadukan.
f) Dapat mengalir dengan bebas untuk memudahkan proses pengisian atau
pengosongan reaktor.
g) Tidak menyebabkan fouling pada sistem perpipaan dan reaktor.
h) Tidak memicu reaksi kimia yang dapat merugikan proses adsorpsi.
i) Dapat diregenerasi pada proses yang melibatkan partikel yang mudah
diadsorpsi tetapi sulit didesorpsi untuk menghemat penggunaan adsorben.
j) Tersedia dalam harga yang relatif murah.
Taraf suatu proses adsorpsi ditentukan oleh luas permukaan spesifik adsorben .
Semakin besar luas permukaan spesifik suatu adsorben, semakin banyak pula adsorben
tersebut dapat mengadsorpsi adsorbat (Grassi, Kaykioglu, Belgiorno, & Lofrano, 2012).
Oleh karena itu, dalam menentukan kualitas suatu adsorben, hal utama yang
dipertimbangkan adalah luas permukaan spesifik adsorben. Luas permukaan spesifik pori
adalah sebagian dari luas permukaan total yang terkandung di dalam suatu massa adsorben
yang tersedia untuk proses adsorpsi (Seader, Henley, & Roper, 2010). Luas permukaan
spesifik pori dapat dihitung dengan menggunakan yang melibatkan adsorpsi gas Nitrogen
pada adsorben pada berbagai tekanan operasi. Volume kesetimbangan adsorpsi gas
Nitrogen digunakan dalam perhitungan luas permukaan spesifik dengan menggunakan
persamaan BET (Rouquerol, Rouquerol, & Sing, 1999).
Adsorben komersial yang beredar luas di pasaran dalam bentuk apapun memiliki
11

rentang luas permukaan sekitar 300-1200 m
2
/gram adsorben (Seader, Henley, & Roper,
2010). Luas permukaan demikian disebabkan oleh pori-pori pada adsorben. Perbandingan
antara volume rongga pori-pori adsorben terhadap volume total adsorben disebut dengan
istilah porositas. Dengan diameter pori berkisar pada rentang 10-200 , porositas adsorben
dapat berkisar antara 30-85%-volume (Seader, Henley, & Roper, 2010).





2.1.4.1 Jenis Jenis Adsorben (Seader, Henley, & Roper, 2010)
Berikut adalah tabel perbandingan sifat sifat beberapa contoh adsorben komersial :
Tabel 2.2 Tabel Perbandingan Adsorben (Seader, Henley, & Roper, 2010)
Adsorben Sifat
Diameter
Pori, dp
()
Porositas
Partikel,
p
Densitas
Partikel
p
(g/cm
3
)
Luas
Permukaan
Sg, (m
2
/g)
Kapasitas Adsorpsi
uap air pada 25
o
C
dan 4.6 mmHg,
%wt (basis kering)
Alumina Aktif hidrofilik, amorf 10-75 0.5 1.25 320 7
Silica gel : hidrofilik/hidrofobik, amorf
Pori kecil 22-26 0.47 1.09 750-850 11
Pori besar 100-150 0.71 0.62 300-350 -
Karbon aktif : hidrofobik, amorf
Pori kecil 10-25 0.4-0.6 0.5-0.9 400-1200 1
Pori besar >30 - 0.6-0.8 200-600 -
Molecular-sieve carbon hidrofobik 2-10 - 0.98 400 -
Molecular-sieve zeolites polar-hidrofilik, kristalin 3-10 0.2-0.5 1.4 600-700 20-25
Adsorben polimer - 40-25 0.4-0.55 - 80-700 -

Karbon Aktif
Karbon aktif merupakan padatan karbon hitam yang berasal dari material kaya
karbon seperti kulit kelapa, kayu, arang, dan tulang yang telah melalui serangkaian proses
karbonisasi dan aktivasi sehingga dipenuhi oleh pori pori berukuran mikroskopis. Pori
pori tersebut berfungsi untuk meningkatkan luas permukaan spesifik karbon aktif dalam
proses adsorpsi. Dapat dilihat pada Tabel 2.1 bahwa terdapat dua macam karbon aktif
dengan dua jenis ukuran pori. Perbedaan ukuran pori pada permukaan karbon aktif
disesuaikan dengan ukuran partikel zat yang akan diproses.
Berdasarkan Tabel 2.1, dapat diperhatikan bahwa karbon aktif merupakan adsorben
12

bersifat hidrofobik dengan luas permukaan yang besar (400-1200 m
2
/g untuk karbon aktif
berpori kecil dan 200-600 m
2
/g untuk karbon aktif berpori besar). Karbon aktif digunakan
untuk memisahkan atau memurnikan larutan dengan campuran organik. Senyawa organik
yang bersifat non-polar di dalam larutan akan lebih kuat mengikat pada karbon aktif
dibandingkan air karena karbon aktif juga memiliki sifat non-polar. Dibandingkan dengan
air yang memiliki sifat semi polar, molekul senyawa organik akan lebih mudah untuk
berikatan dengan karbon aktif. Karbon aktif juga mudah diregenerasi karena interaksi yang
terbentuk antara permukaan karbon aktif dengan adsorbat cukup lemah, sehingga mudah
dipisahkan.



Molecular-Sieve Carbon
Molecular-Sieve Carbon merupakan salah satu adsorben karbon seperti juga karbon
aktif. Molecular-Sieve Carbon adalah kerangka karbon berpori yang tersisa setelah proses
pirolisis senyawa polimer. Adsorben ini memiliki nilai porositas yang tinggi sehingga
sering dimanfaatkan untuk menyaring molekul berukuran sangat kecil (C2-C5). Seperti
juga pada adsorben lain, ukuran pori pada adsorben Molecular-Sieve Carbon dan ukuran
analit yang akan diadsorbsi mempengaruhi proses adsorpsi yang terjadi. Molecular-Sieve
Carbon memiliki kekuatan adsorpsi yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan kekuatan
adsorpsi adsorben karbon lain. Hal ini menyebabkan partikel yang berukuran relatif besar,
lebih besar dari C5 misalnya, sulit dipisahkan dari adsorben pada proses desorpsi.
Dapat diamati pada Tabel 2.1 bahwa Molecular-Sieve Carbon merupakan adsorben
dengan sifat hidrofobik sehingga adsorpsi masih dapat terjadi dengan baik dan stabil pada
daerah dengan kelembapan udara tinggi. Ukuran diameter pori yang sangat kecil (2-10 )
memungkinkan Molecular-Sieve Carbon untuk digunakan dalam penyaringan gas Nitrogen
dari udara.
Secara garis besar, terdapat dua macam produk Molecular-Sieve Carbon, yaitu
(Sigma Aldrich):
a) Carboxen Adsorbents
Yaitu Molecular-Sieve Carbon dengan struktur pori terbuka sehingga
menghasilkan karakteristik adsorpsi yang efisien.
b) Carbosieve Adsorbents
13

Yaitu Molecular-Sieve Carbon dengan struktur pori tertutup untuk
menghasilkan ikatan adsorpsi yang kuat pada adsorben.

Silica Gel
Silica gel merupakan padatan jernih SiO
2
yang dibuat dari larutan koloid asam
silikat (Seader, Henley, & Roper, 2010). Silica gel secara umum berwujud padatan jernih
dan transparan, tetapi terdapat beberapa spesi dengan warna putih berkabut karena
mengandung alumina. Silica gel yang umum dikomersilkan hadir dalam berbagai bentuk
yaitu; granular dengan diameter 1-3 mm, pellet berdiameter 2-4 mm, dan serbuk. Terdapat
banyak metode dalam mensintesis silica gel, (Ali, Chughtai, & Sattar, 2009). Salah satu
metode umum yang digunakan adalah metode pengasaman larutan natrium silikat. Larutan
yang diasamkan akan membentuk hidrosol yang kemudian akan teraglomerasi menjadi
polimer silika.
Berdasarkan Tabel 2.1, silica Gel sebagai adsorben memiliki luas permukaan yang
relatif tinggi berkisar antara 350-850 m
2
/g silica gel. Silica gel memiliki afinitas yang
tinggi terhadap air sehingga sangat cocok digunakan sebagai desikan (Ali, Chughtai, &
Sattar, 2009) Selain sebagai desikan, silica gel juga digunakan sebagai penopang katalis,
zat perata dalam proses coating, dan sebagai adsorben selektif pada kromatografi. Selain
dalam bentuk SiO2, terdapat pula adsorben berbasis silika lain, seperti magnesium silikat
(florisil), kalsium silikat, clays, dan Fullers earth. Seperti juga karbon aktif, terdapat dua
macam silica gel dengan ukuran diameter pori yang berbeda.

Alumina
Alumina aktif merupakan padatan berwarna putih dengan rupa menyerupai kapur
yang dibuat dengan cara menguapkan air dari larutan koloid Al
2
O
3
.3H
2
O hingga senyawa
hidrat alumina hanya mengikat 0,5 molekul air. Alumina secara komersil dipasarkan dalam
wujud bola berdiameter 1-8mm, granul, pelet berukuran 2-4 mm, dan serbuk. (Seader,
Henley, & Roper, 2010) Alumina memiliki kapasitas adsorpsi air yang cukup tinggi untuk
mengeringkan gas dengan kandungan air hingga mencapai < 1 ppm. Untuk alasan ini,
alumina digunakan secara luas sebagai desikan dan untuk mengikat molekul air dari dalam
suatu larutan.

Zeolit
14

Zeolit merupakan padatan putih berkabut dengan rupa menyerupai kapur.
Keserupaan wujud fisik zeolit dengan alumina dikarenakan zeolit adalah senyawa alumino-
silikat yang merupakan gabungan dari senyawa silika dan alumina. Rasio perbandingan
antara senyawa silika dan senyawa alumina dalam zeolit memperngaruhi kepolaran zeolit
dalam mengadsorpsi. Zeolit yang lebih kaya mengandung silika akan bersifat non polar
sedangkan zeolit dengan kandungan silika yang lebih kaya akan bersifat lebih polar.
Zeolit memiliki ukuran diameter pori yang sangat kecil dan seragam dengan
kisaran antara 3-10 (Tabel 2.1). Ukuran diameter pori yang kecil ini membuat zeolit
dapat dengan selektif memisahkan partikel yang berukuran lebih besar dari diameter pori
sehingga zeolit disebut juga sebagai molecular-sieve zeolites. Penggunaan zeolit meliputi
pengeringan gas, (Zahra, Jafar, & Masoud, 2008)

sebagai adsorben pada pressure swing
adsorption untuk memisahkan gas oksigen, memisahkan parafin dari nafta, dan
memisahkan p-xilena dari isomer isomer zat tersebut.

2.2 Prinsip Adsorpsi
2.2.1 Kinetika Adsorpsi
Kinetika adsorpsi menggambarkan proses transfer massa yang terjadi pada proses
adsorpsi dan desorpsi dalam bentuk persamaan matematis (Dogan, Abak, & Alkan, 2009).
Persamaan-persamaan yang secara umum digunakan untuk memodelkan kinetika adsorbsi
yaitu :
2.2.1.1 Persamaan Pseudo Orde 1
Persamaan pseudo orde 1 oleh Lagergren (Sen & Sarzali, 2008) :

=
1
(

) (2.1)

Integrasi persamaan (2.1) dengan kondisi batasan t = 0 hingga t = t dan q = 0 hingga
q = q
t
menghasilkan persamaan (2.2) :
ln(

) = ln


1
. (2.2)
Keterangan :
q
e
: jumlah adsorbat teradsorpsi saat kesetimbangan
(
gram adsorbat
gram adsorben
)
q
t
: jumlah adsorbat yang teradsorpsi saat t

(
gram adsorbat
gram adsorben
)
k
1
: konstanta laju adsorpsi pseudo orde 1 (
1
menit
)
15

nilai k
1
ditentukan dengan melakukan regresi linear ln(

) vs t dan nilai k
1

merupakan gradien persamaan regresi linear.

2.2.1.2 Persamaan Pseudo Orde 2
Persamaan pseudo orde 2 digunakan untuk memodelkan secara empiris kinetika
adsorpsi untuk proses adsorpsi kimia (Sen & Sarzali, 2008).

=
2
(

)
2
(2.3)
Penyusunan ulang variabel-variabel pada persamaan (2.3) menghasilkan persamaan
(2.4)

)
2
=
2
(2.4)

Integrasi persamaan (2.4) dengan kondisi batasan t = 0 hingga t = t dan q = 0 hingga
q = q
t
menghasilkan persamaan (2.5) :

=
1

2
+

(2.5)
Laju adsorpsi mula-mula dinyatakan dalam persamaan (2.6)
=
2

2
(2.6)
Keterangan :
q
e
: jumlah adsorbat teradsorpsi saat kesetimbangan
(
gram adsorbat
gram adsorben
)
q
t
: jumlah adsorbat yang teradsorpsi saat t

(
gram adsorbat
gram adsorben
)
k
2
: konstanta laju adsorpsi pseudo orde 2 (
gram adsorben
gram adsorbat. menit
)
h : laju adsorpsi mula-mula orde 2 (
gram
gram. menit
)
nilai laju awal adsorpsi (h), kapasitas kesetimbangan adsorpsi (q
e
), dan konstanta
orde 2 (k
2
) ditentukan secara eksperimen dari gradien dan intercept regresi linier kurva t/q
t

versus t. nilai k
2
merupakan 1/gradien persamaan (2.6) dan nilai q
e
diperoleh dengan
mensubstitusikan nilai k
2
ke dalam intercept persamaan (2.6).

2.2.1.3 Persamaan Elovich (Alkan, Dogan, Turhan, Demirbas, & Turan, 2008)
Pada proses adsorpsi kimia, tanpa desorpsi, laju adsorpsi akan semakin berkurang
seiring waktu karena permukaan adsorben semakin tertutup oleh adsorbat. Salah satu
persamaan yang paling tepat untuk memodelkan peristiwa ini adalah persamaan Elovich :
16

= exp (

) (2.7)
dimana adalah laju adsorpsi mula-mula (kg
adsorbat
/kg
adsorben
.s) dan merupakan
variabel yang menghubungkan energi aktivasi dan cakupan permukaan () pada adsorben
untuk adsorpsi kimia. Untuk menyederhanakan persamaan (2.7), nilai t diasumsikan >>
1 dan dengan kondisi batas qt = 0 saat t = 0, bentuk sederhana persamaan tersebut menjadi
persamaan linear (2.8) :
qt = ln() + ln t (2.8)
Jika q
t
dialurkan terhadap ln(t), maka dari persamaan regresi yang dihasilkan akan
diperoleh nilai sebagai gradien persamaan linear dan nilai diperoleh dari intercept
persamaan pada sumbu q
t
.

2.2.2 Kesetimbangan Adsorpsi
Jika ditinjau berdasarkan sudut pandang adsorbat, pada sistem adsorpsi padat-cair,
proses adsorpsi menyebabkan jumlah partikel solut di dalam larutan semakin berkurang
dan pada saat yang bersamaan, meningkatkan akumulasi adsorbat pada permukaan
adsorben (Grassi, Kaykioglu, Belgiorno, & Lofrano, 2012). Akumulasi massa pada
permukaan adsorben akan terus terjadi hingga pada suatu saat di dalam sistem adsorpsi
akan terjadi kesetimbangan dinamis adsorpsi antara konsentrasi adsorbat di dalam fasa
bulk dan konsentrasi adsorbat pada permukaan adsorben. Isoterm adsorpsi menggambarkan
distribusi adsorbat di dalam fasa bulk dan fasa adsorben ketika proses adsorpsi mencapai
kesetimbangan (F.O. & E.O., 2010)
Kesetimbangan adsorpsi dapat dinyatakan dalam C dan q; konsentrasi adsorbat
dalam fasa bulk (C) dan loading pada adsorben yaitu akumulasi pada adsorbat berupa
massa, mol atau volume adsorbat per satuan massa atau luas permukaan spesifik adsorben
(q). Kesetimbangan antara konsentrasi C dengan konsentrasi q untuk suatu rangkaian
reaksi adsorpsi pada temperatur tetap dinyatakan dalam variabel isoterm adsorpsi.
Persamaan umum isoterm adsorpsi adalah :

=
(
0

(2.9)

Dimana q
t
(mg/g) adalah jumlah adsorbat yang diadsorpsi oleh adsorben per unit
massa adsorben pada saat t. C
0
dan C
t
berturut-turut adalah konsentrasi mula-mula adsorbat
dan konsentrasi adsorbat pada saat t. V (liter) merupakan volume larutan dan m (gram)
17

adalah massa adsorben.
Secara praktis, kebanyakan proses adsorpsi merupakan proses yang cukup
kompleks sehingga persamaan umum tersebut tidak dapat mencakup aspek keseluruhan
proses yang terjadi. Beberapa isoterm adsorpsi diperkenalkan untuk memodelkan proses
adsorpsi tersebut yang termasuk Isoterm Langmuir, Isoterm Freundlich, Isoterm Brunauer,
Emmet, dan Teller (BET), dan Isoterm Toth.

2.2.2.1 Isoterm Langmuir
Persamaan Isoterm Langmuir menggambarkan suatu sistem kontak antara
adsorben-adsorbat dimana kontak hanya terbatas pada satu lapisan molekul / monolayer
(Rouquerol, Rouquerol, & Sing, 1999).
Langmuir mengasumsikan terdapat gugus aktif dalam jumlah terbatas pada
permukaan adsorben (Dada, Olalekan, Olatunya, & DADA, 2012) dan fraksi jumlah gugus
aktif yang berikatan dengan molekul adsorbat didefinisikan sebagai variabel .
Beberapa asumsi yang dibuat dalam penggunaan isoterm Langmuir, menurut F.O.
& E.O., 2010 dan (Zavareh, 2012) :
1. Lapisan adsorbat pada adsorben merupakan lapisan monolayer, adsorpsi hanya
terjadi pada gugus aktif spesifik yang terdapat pada permukaan adsorben.
2. Tiap gugus aktif adsorpsi hanya dapat mengadsorpsi satu molekul atau atom
adsorbat.
3. Tidak ada interaksi antara molekul adsorbat sehingga molekul yang teradsorpsi
pada permukaan adsorben tidak mengalami perpindahan (transmigrasi) posisi
gugus aktif
4. Setiap gugus aktif adsorpsi adalah identik dan terdapat kesama-rataan
penyebaran energi pada setiap gugus aktif.
Perumusan awal Isoterm Langmuir didasarkan pada teori kinetika gas. Berdasarkan
teori kinetika gas, laju adorpsi berbanding lurus dengan tekanan gas dan (1-) sedangkan,
laju desoprsi bergantung pada dan energi aktivasi, E. Langmuir kemudian merumuskan
bahwa terjadi kesetimbangan antara laju adsorpsi dengan laju desorpsi pada permukaan
adsorben dimana laju adsorpsi sama besar dengan laju desorpsi. Perumusan Isoterm
Langmuir berdasarkan teori kinetika gas adalah sebagai berikut

:
(1 ) =
(

)
(2.10)
18


Dimana dan adalah konstanta karakteristik untuk sistem adsorpsi padatan-gas
tertentu. Pada asumsi dimana desorpsi terjadi pada nilai E konstan, maka persamaan (2.10)
dapat disederhanakan menjadi persaman (2.11) :
=

(1+)
=

(2.11)
=

)
(2.12)

Pada persamaan (2.11) diatas, q
m
merupakan kapasitas adsorpsi maksimum
adsorben sedangkan q adalah jumlah adsorbat yang teradsorpsi pada permukaan adsorben.
Koefisien b merupakan fungsi dari temperatur dan entalpi.
Untuk memodelkan penyerapan zat terlarut dari larutan cair, persamaan (2.11)
dapat dinyatakan menjadi persamaan (2.13) (Dada, Olalekan, Olatunya, & DADA, 2012):

1+

(2.13)
Keterangan :
q
e
= jumlah adsorbat terserap per masa adsorben pada kesetimbangan
(kg
adsorbat
/kg
adsorben
)
C
e
= konsentrasi kesetimbangan adsorbat pada fasa cair (kg/m
3
)
Q
m
= kapasitas maksimum adsorpsi monolayer pada adsorben
(kg
adsorbat
/kg
adsorben
)
k
L
= konstanta Isoterm Langmuir (m
3
/kg)

Persamaan (2.13) dapat dilinearisasi menjadi :

=
1

(2.13)

Penentuan konstanta Q
o
dan k
L
pada Isoterm Langmuir dapat dilakukan dengan
metode regresi. Pengaluran C
e
/q
e
vs C
e
akan menghasilkan persamaan garis lurus dengan
slope 1/Q
o
dan intercept 1/(k
L
.Q
o
).

2.2.2.2 Isoterm Freundlich
(Zavareh, 2012) Persamaan isoterm Freundlich merupakan persamaan yang
mengasumsikan kondisi operasi adsorpsi tidak ideal pada permukaan adsorben heterogen
19

di mana terjadi adsorpsi multi-layer. Persamaan umum isoterm Freundlich memiliki bentuk
sebagai berikut :
=


(2.14)
Keterangan :
k
F
= konstanta isoterm Freundlich (m
3
/kg)
1/n = konstanta yang mengindikasikan kekuatan interaksi antara partikel
adsorben dengan adsorbat. (Zavareh, 2012) Nilai 1/n > 1 mennunjukkan
bahwa interaksi antara adsorbat dan adsorben tidak cukup baik.
C
e
= konsentrasi adsorbat di dalam larutan pada kesetimbangan (kg/m
3
)
q
e
= konsentrasi adsorbat pada permukaan adsorben pada saat kesetimbangan
(kg
adsorbat
/kg
adsorben
)

Nilai konstanta k
F
dan 1/n pada persamaan di atas dapat ditentukan dengan
melakukan regresi linear terhadap persamaan (2.14) ke dalam bentuk persamaan (2.15) :
ln

= ln

+
1

ln

(2.15)

Dengan mengalurkan nilai ln (q
e
) terhadap nilai ln C
e
, maka akan diperoleh
persamaan regresi linier dengan bentuk persamaan = + dimana nilai slope adalah
sama dengan nilai 1/n dan nilai k
F
dapat diperoleh melalui eksponen nilai intercept.

2.2.2.3 Isoterm BET
Persamaan Isoterm BET merupakan persamaan isoterrm yang dikembangkan oleh
Brunauer, Emmett, dan Teller. Asumsi yang digunakan dalam model isoterm BET adalah
(Seader, Henley, & Roper, 2010) :
a) Adsorpsi terjadi secara multi-layer.
b) Panas adsorpsi yang terbentuk pada saat pembentukan mono-layer diasumsikan
konstan.
c) Efek panas yang timbul pada pembentukan lapisan adsorbat berikutnya
merupakan sama dengan panas kondensasi.
Persamaan isoterm BET merupakan persamaan yang digunakan untuk menentukan
luas permukaan spesifik suatu adsorben. Persamaan BET yang digunakan pada penentuan
20

luas permukaan spesifik adsorben adalah sebagai berikut :

(
0
)
=
1

+
(1)

0
) (2.16)
Keterangan :
P = tekanan gas total (atm)
P
o
= tekanan uap adsorbat pada temperatur operasi (atm)
= volume gas yang teradsorpsi pada kondisi kondisi 0
o
C dan 1 atm (Liter)

= konstanta yang menunjukkan volume gas monomolekular yang


teradsorpsi pada kondisi STP (Liter)
c = konstanta panas adsorpsi exp



Nilai konstanta ditentukan dengan cara mengalurkan data percobaan

(
0
)

terhadap (

0
). Dari garis kurva yang diperoleh, dilakukan regresi linier hingga diperoleh
persamaan garis dengan slope yang mewakili nilai
(1)

dan intercept yang mewakili nilai


1

sehingga nilai

dan kemudian dapat dihitung. Dengan nilai

yang telah
diketahui, maka luas permukaan spesifik adsorben (S
g
) dapat dihitung dengan persamaan
(2.17) :

(2.17)
= 1.091 (

)
2
3

(2.18)

Keterangan :

= luas permukaan spesifik adsorben (cm


2
)
= luas permukaan tiap 1 molekul yang teradsorpsi (cm
2
/molekul)


= konstanta yang menunjukkan volume gas monomolekular yang
teradsorpsi pada kondisi STP (Liter)

= bilangan Avogrado (6,023 x 10


23
molekul/mol)
V = volume 1 mol gas pada kondisi STP (22,4 Liter/mol)
M = masa molekular adsorbat (g/mol)

= densitas adsorbat (g/cm


3
)

21

2.3 Aplikasi Adsorpsi dalam Dunia Industri
Di dalam industri, proses adsorpsi secara umum dimanfaatkan dalam unit
pemisahan dan pemurnian terutama pada pemurnian limbah dan penyediaan air bersih
(Grassi, Kaykioglu, Belgiorno, & Lofrano, 2012). Berikut adalah beberapa aplikasi
adsorpsi pada industri kimia :

2.3.1 Pressure Swing Adsorption dalam Produksi Gas Nitrogen
Pressure Swing Adsorption merupakan suatu metode yang digunakan dalam proses
pemurnian udara (Seader, Henley, & Roper, 2010). Secara umum, pressure swing
adsorption digunakan untuk memisahkan campuran gas Oksigen atau gas Nitrogen dari
udara. Pemisahan pada pressure swing adsorption dilakukan berdasarkan kemudahan
mengadsorpsi molekul gas pada adsorben padat di bawah tekanan operasi yang berbeda
(Ivanova & Lewis, 2012). Pada tekanan tinggi, molekul gas akan lebih mudah teradsorpsi
pada padatan dan jika tekanan pada reaktor diturunkan, maka akan terjadi desorpsi molekul
gas dari padatan adsorben.

Gambar 2.3 Skema unit sederhana Pressure Swing Adsorption
Rangkaian peralatan utama pada unit pressure swing adsorption sederhana terdiri
atas dua reaktor dengan perbedaan tekanan operasi. Reaktor dimana terjadi adsorpsi gas
akan memiliki tekanan operasi yang lebih tinggi daripada reaktor regenerasi di mana
22

terjadi proses desorpsi adsorben. Selama operasi, kerangan kerangan aliran diatur dengan
dibuka dan ditutup berdasarkan arah aliran yang diinginkan.
Dapat diamati pada Gambar 2.2, ketika udara berisi campuran senyawa gas N
2
dan
O
2
memasuki sistem, kerangan 1 akan dibuka dan kerangan 2 ditutup. Udara masuk akan
kemudian memasuki reaktor bertekanan tinggi P
2
yang berisikan unggun adsorben. Di
dalam reaktor, adsorben akan mengadsorbsi senyawa tertentu di dalam campuran gas, O
2

misalnya, sehingga terbentuk gas dengan kemurnian N
2
lebih tinggi. Kemurnian gas N
2

yang diinginkan dapat diatur dengan menambahkan atau mengurangi tekanan operasi di
dalam reaktor P
2
. Produk berupa gas N
2
kemudian dapat ditampung melalui kerangan 4.
Adsorben yang telah jenuh mengadsorpsi gas O
2
kemudian dialirkan menuju
reaktor P
1
dengan menutup kerangan 4 serta 6 dan membuka kerangan 3 serta 5. Di dalam
reaktor P
1
terjadi regenerasi adsorben melalui proses desorpsi. Tekanan operasi diatur
rendah sehingga O
2
yang teradsorpsi pada permukaan adsorben terlepas ke dalam udara
dan adsorben yang semula jenuh kembali menjadi adsorben segar. Adsorben yang telah
diregenerasi dikembalikan ke dalam reaktor P
2
melalui kerangan 7 dan 2 untuk menempuh
siklus adsorpsi baru, sementara gas O
2
hasil regenerasi ditampung atau dilepaskan ke udara
atmosfer melalui kerangan 7.
Sebelum memasuki proses adsorpsi utama, udara yang juga mengandung pengotor
selain O
2
dan N
2
(CO
2
, uap air, minyak, dll) akan terlebih dahulu dilewatkan melalui
sebuah filter untuk menyaring air dan minyak yang terkandung di dalam campuran gas.
Udara yang telah bersih dari air dan minyak kemudian dilewatkan ke dalam reaktor yang
berisikan unggun adsorben. Adsorben yang digunakan dapat berupa MSV (molecular sieve
carbon) untuk mengadsorpsi oksigen dan menghasilkan gas nitrogen atau (Zahra, Jafar, &
Masoud, 2008) zeolit untuk mengadsorpsi nitrogen dan menghasilkan gas oksigen.
Menurut Ivanova dan Lewis (2012). Pressure swing adsorption marak digunakan
sebagai metode produksi gas nitrogen karena menyediakan proses yang relatif rendah
biaya dan juga dapat menghasilkan produk dengan kemurnian tinggi dengan laju alir yang
dapat diatur sesuai kebutuhan. Kemurnian gas nitrogen yang dapat dihasilkan melalui
proses pressure swing adsorption berkisar antara 95% - 99.9995% dengan laju alir yang
dapat diatur antara 5000 60000 standard cubic feet per hour.

2.3.2 Carbon Sequestration
23

Menurut Grande, Cavenati, & Rodrigues (2010), Green House Gas (GHG) adalah
golongan beberapa senyawa gas yang dapat menyerap dan menyimpan radiasi termal
matahari sehingga dapat menghangatkan suhu bumi. GHG berperan meningkatkan
temperatur bumi dan menjaga bumi agar tetap hangat, tetapi konsentrasi GHG yang
berlebihan pada atmosfer dapat memicu efek rumah kaca. (Keller, Yang, Hall, & Bradford,
2003) Efek rumah kaca berakibat pada peningkatan temperatur bumi, mengubah pola iklim
secara global, dan dapat menyebabkan kondisi cuaca ekstrim (Sundermeier, Reeder, & Lal,
2005). (Grande, Cavenati, & Rodrigues, 2010) Gas gas yang tergolong ke dalam
kelompok GHG meliputi gas metana, NO
x
, SO
x
, dan CO
2
. Gas CO
2
hasil emisi dari
penggunaan bahan bakar fosil merupakan senyawa utama yang menyebabkan efek rumah
kaca dalam kelompok GHG.
Sejak permulaan era industrial hingga awal tahun 2000, konsentrasi CO
2
di udara
telah meningkat sebanyak 30% dari 280-370 ppm (Herzog & Eliasson, 2000) dan separuh
dari peningkatan tersebut merupakan akibat kegiatan manusia dari mengonsumsi bahan
bakar fosil (Huijgen & Comans, 2003). Peningkatan efek rumah kaca yang semakin parah
tiap tahun memicu perkembangan beberapa metode untuk mengurangi emisi CO
2
ke
atmosfer, salah satu metode tersebut adalah dengan mengurangi penggunaan bahan bakar
fosil dan metode yang lain adalah carbon sequestration.
Carbon sequestration atau sequestration adalah suatu proses pemisahan gas CO
2

dari sumber CO
2
berupa flue gas dan diikuti penyimpanan atau penimbunan atau isolasi
gas tersebut ke dalam suatu reservoir geologis. Sequestration didefinisikan sebagai suatu
proses fisik yang mana pada proses yang bersangkutan tidak terjadi perubahan kimiawi
pada CO
2
yang diproses (Folger, 2013). Secara garis besar, terdapat 3 langkah utama dalam
Carbon sequestration, yaitu :
a) Memisahkan karbon dioksida dari flue gas
Langkah pemisahan gas karbon dioksida merupakan langkah yang paling
menghabiskan biaya jika dibandingkan dengan dua langkah pemisahan lain.
Proses pemisahan dengan absorbsi pada Mono-Etilen-Amin (MEA) yang
dilanjutkan dengan stripping menggunakan steam dapat menghabiskan dua
pertiga dari keseluruhan biaya proses (Huijgen & Comans, 2003).
Selain dengan cara absorpsi, pemisahan karbon dioksida juga dapat dilakukan
dengan cara adsorpsi adsorben. Salah satu metode adsorpsi yang digunakan
sebagai teknologi alternatif adalah pressure swing adsorption dengan dua unit
24

pemisahan untuk meningkatkan efisiensi pemisahan dan meningkatkan
kemurnian gas CO
2
(Grande, Cavenati, & Rodrigues, 2010).
b) Tahap kompresi dan transportasi gas CO
2
menuju situs penimbunan.
c) Penimbunan gas CO
2
ke dalam reservoir.
Gas CO
2
yang telah dipisahkan diinjeksikan ke dalam situs penimbunan. Situs
penimbunan meliputi lahan geologis kosong yang dipersiapkan secara khusus
(Grande, Cavenati, & Rodrigues, 2010), (Huijgen & Comans, 2003) lahan
bekas pengeboran minyak bumi dan batu bara, lahan bekas daerah
pertambangan, persediaan air garam bawah tanah (saline aquifier), dan
(Sundermeier, Reeder, & Lal, 2005) lahan reforestasi. Setelah diinjeksi, perlu
dilakukan pemantauan secara berkala terhadap lahan penimbunan untuk
memastikan tidak ada kebocoran gas CO
2
yang ditimbun.
Permasalahan yang dihadapi oleh hampir semua metode sequestration adalah
penimbunan yang tidak bersifat permanen. Meski dapat bertahan hingga ratusan hingga
ribuan tahun, penimbunan CO
2
dengan metode sequestration hanya bersifat sementara
emisi gas CO
2
yang ditimbun dapat membahayakan generasi yang akan datang (Keller,
Yang, Hall, & Bradford, 2003). Selain itu, terdapat juga masalah kebocoran gas CO
2
.
Kebocoran gas CO
2
dalam jumlah besar dapat menyebabkan gangguan kesehatan kronis
bila terpapar pada manusia (Huijgen & Comans, 2003).

2.4 Heterogeneous Surface Diffusion Model (HSDM)
HSDM menggunakan asumsi multipore model yaitu suatu asumsi dimana terdapat
variasi ukuran pori pada adsorben berupa ukuran pori yang besar (macropore), pori
berukuran sedang (mesopore), dan pori berukuran kecil (micropore). Ukuran diameter pori
untuk macropores adalah > 50 nm, ukuran diameter pori mesopores adalah 2 50 nm dan
ukuran diameter pori micropores adalah < 2 nm (Angelina). Ukuran pori yang berbeda
pada permukaan adsorben menyebabkan perbedaan mekanisme perpindahan massa pada
masing masing pori. Mekanisme perpindahan massa berdasarkan HSDM adalah sebagai
berikut :
a) Perpindahan adsorbat eksternal yaitu perpindahan massa dari fasa bulk menuju
partikel adsorben secara konveksi.
b) Kesetimbangan antara konsentrasi di fasa bulk dengan fasa padatan di interface
c) Perpindahan internal yang meliputi difusi dan adsorpsi adsorbat pada
25

permukaan macropore, mesopore, dan micropore

Perpindahan massa yang terjadi dinyatakan dalam model matematis yang akan
dimodelkan berdasarkan penurunan neraca massa.
Pemodelan matematis dengan HSDM menggunakan asumsi asumsi berikut :
a) Perpindahan massa internal hanya dikendalikan difusi permukaan
b) Perpindahan massa eksternal terjadi secara konvektif
c) Terjadi kesetimbangan konsentrasi solut pada interface
d) Partikel adsorben berbentuk bola homogen
e) Perpindahan massa terjadi secara radial
Pemodelan HDSM pada pori dilakukan dengan menerapkan neraca mikroskopis atau
neraca massa kulit pada control volume yang ditentukan di dalam dimensi adsorben.
Control volume berupa lapisan kulit tipis berbentuk bola pada adsorben dengan ketebalan
, luas permukaan 4
2
, dan volume 4
2
. Fraksi f
1
dan f
2
berurut turut menyatakan
perbandingan jumlah macropre dan mesopore terhadap keseluruhan pori. Akumulasi massa
pada permukaan adsorben dinyatakan dalam variabel (
kg adsorbat
kg adsorben
) dan fluks
konsentrasi pada luas permukaan bola mengikuti persamaan :
=

(2.19)
atau bila konsentrasi dinyatakan dalam variabel q, persamaan (2.19) menjadi :

=
.

(2.20)
2.4.1 Neraca Massa Eksternal
Perpindahan massa eksternal pada permukaan adsorben berdasarkan aliran
konvektif :


,
) (2.21)
Keterangan :
k
f
= koefisien perpindahan massa (1/s)
C
t
= konsentrasi adsorbat di fasa cair pada waktu tertentu (kg/m
3
)
C
S,t
= konsentrasi adsorbat pada adsorben pada waktu tertentu (kg/m
3
)

2.4.2 Neraca Massa Internal
2.4.2.1 Macropore
Persamaan HSDM untuk macropore :
26

=

1

2
(
(
2
.

)
1
(

)
2
(

) (2.22)
Keterangan :
f
1
= fraksi macropore pada adsorben
q
ma
= konsentrasi adsorbat pada adsorben pada macropore (kg
adsorbat
/kg
adsorben
)
q
me
= konsentrasi adsorbat pada adsorben pada mesopore (kg
adsorbat
/kg
adsorben
)
q
mi
= konsentrasi adsorbat pada adsorben pada micropore (kg
adsorbat
/kg
adsorben
)
k
1
= koefisien laju adsorpsi dari macropore menuju mesopore (s
-1
)
k
2
= koefisien laju adsorpsi dari mesopore menuju micropore (s
-1
)
D
s
= koefisien difusivitas permukaan (m
2
/s)

q
= fluks perpindahan massa dengan satuan konsentrasi massa (kg
adsorbat
/m.s)

Penurunan persamaan model HSDM adalah :
=
1

2

Akumulasi yang terjadi pada control volume merupakan akumulasi massa akibat
perbedaan laju masuk dan keluar fluks masa (

). Pada macropore juga terjadi


perpindahan massa adsorbat menuju mesopore dan micropore.
|
+
|

=
(

. 4
2
|

. 4
2
|
+
).
1
(

).

. 4
2
. .
2
(

) .

. 4
2
. .

. |
+

. |

= (

. 4
2
|

. 4
2
|
+
).

1
(

).

. 4
2
. .
2
(

) .

. 4
2
. .

1
.

. 4
2
. (

|
+

)
. . 4
2
.

=

1
. 4. (

.
2
|

.
2
|
+
).
. . 4
2
.

1
(

).

. 4
2
. .
. . 4
2
.

2
(

) .

. 4
2
. .
. . 4
2
.

1

(,)

=

1

2
.

(
(

.
2
)

)
1
(

)
2
(

)
(2.23)
Dimana

=
.

sehingga persamaan (2.23) menjadi persamaan (2.24) :


27

1

(,)

=

1

2
(
(
2
.

(,)

)
1
(

)
2
(

)
(2.24)

2.4.2.2 Mesopore
Laju perpindahan massa adsorbat pada mesopore dinyatakan dalam variabel R
1
.

=
1
(

)
2
(

) (2.25)
Keterangan :
f
2
= fraksi mesopore pada adsorben
q
ma
= konsentrasi adsorbat pada adsorben pada macropore (kg
adsorbat
/kg
adsorben
)
q
me
= konsentrasi adsorbat pada adsorben pada mesopore (kg
adsorbat
/kg
adsorben
)
q
mi
= konsentrasi adsorbat pada adsorben pada micropore (kg
adsorbat
/kg
adsorben
)
k
1
= koefisien laju adsorpsi dari macropore menuju mesopore (s
-1
)
k
2
= koefisien laju adsorpsi dari mesopore menuju micropore (s
-1
)

Neraca akumulasi massa pada mesopore adalah :
Akumulasi masa adsorbat pada mesopore terjadi akibat laju alir masa adsorbat
dari macropore menuju mesopore dikurangi dengan laju alir masa adsorbat dari
mesopore menuju micropore
|
+
|

= (
1
.


1
.

) (
2
.


2
.

). .

2
. (

. |
+

. |

) = (
1
.


1
.

) (
2
.


2
.

). .

.
.

2
.

=
1
(

)
2
(

)

2.4.2.3 Micropore
Laju perpindahan massa adsorbat dari macropore menuju micropore dinyatakan
dalam variabel R
2
.

=
3
(

) +
2
(

) (2.26)
Keterangan :
f
3
= fraksi micropore pada adsorben
q
ma
= konsentrasi adsorbat pada adsorben pada macropore (kg
adsorbat
/kg
adsorben
)
q
me
= konsentrasi adsorbat pada adsorben pada mesopore (kg
adsorbat
/kg
adsorben
)
q
mi
= konsentrasi adsorbat pada adsorben pada micropore (kg
adsorbat
/kg
adsorben
)
28

k
3
= koefisien laju adsorpsi dari macropore menuju micropore (s
-1
)
k
2
= koefisien laju adsorpsi dari mesopore menuju micropore (s
-1
)

Neraca akumulasi massa pada micropore adalah :
Akumulasi masa adsorbat pada micropore terjadi akibat laju alir masa adsorbat
dari macropore menuju mesopore dikurangi dengan laju alir masa adsorbat dari
mesopore menuju micropore
|
+
|

= (
3
.


1
.

) +(
2
.


2
.

). .

3
. (

. |
+

. |

) = (
3
.


3
.

) (
2
.


2
.

). .

.
.

=
3
(

)+
2
(

)
(2.27)

Kondisi awal dan batas untuk model HSDM adalah sebagai berikut :
a) Pada saat t = 0, belum terdapat molekul adsorbat yang teradsorpsi pada
permukaan adsorben dan konsentrasi larutan adalah sama dengan
konsentrasi awal (C
o
) sehingga :

(, 0) = 0
(2.28)

(, 0) =

(, 0) = 0
(2.29)

( = 0) =
0

(2.30)

b) Pada posisi r = 0 untuk setiap nilai t, tidak terjadi perubahan konsentrasi
adsorbat terhadap perbedaan posisi di dalam adsorben, sehingga :

(0, ) = 0
(2.31)

c) Pada posisi r = R, laju adsorpsi pada permukaan adsorben adalah sama
dengan laju perpindahan masa konvektif, sehingga :


,
) (2.32)
29


2.5 Persamaan Diferensial Parsial
2.5.1 Definisi Persamaan Diferensial Parsial
Persamaan diferensial parsial adalah persamaan dengan fungsi yang mengandung
lebih dari satu variabel, misalnya variabel x dan y beserta penurunan parsial persamaan
tersebut. Persamaan diferensial parsial sering dijumpai dalam berbagai masalah fisis dan
teknis dan sering digunakan untuk menggambarkan secara matematis fenomena
fenomena yang terjadi. Terdapat berbagai macam persamaan diferensial parsial dan masing
masing persamaan menggambarkan keunikan dari fenomena yang dimodelkan (Moore,
2013). Persamaan diferensial parsial dapat berupa persamaan tunggal ataupun berupa suatu
sistem persamaan diferensial parsial yang terdiri atas beberapa persamaan (Urroz, 2004).
Beberapa contoh persamaan diferensial parsial seperti (Keyfitz) :
a) Persamaan gelombang

2


2
=
2

(2.33)
b) Persamaan panas


=
(2.34)
c) Persamaan potensial

2


2
+

2


2
+

2


2
= 0
(2.35)

2.5.2 Karakteristik Persamaan Diferensial Parsial
Beberapa karakteristik dari suatu persamaan diferensial parsial adalah sebagai
berikut (Urroz, 2004) :
a) Orde persamaan
Orde diferensial tertinggi dari suatu persamaan diferensial parsial merupakan orde
dari persamaan tersebut. Persamaan (3.33) merupakan contoh persamaan
diferensial parsial dengan orde 1 sedangkan persamaan (3.34) memiliki orde 2.
b) Linear dan non linear
Suatu persamaan diferensial parsial dikatakan linear jika variabel terikat persamaan
30

tersebut (misalnya ) dan fungsi dari merupakan orde pertama.
c) Homogen dan tidak homogen
Sebuah persamaan diferensial parsial dikatakan homogen jika pada tiap suku
persamaan tersebut terkandung sebuah variabel terikat atau penurunan dari variabel
tersebut. Jika tidak, maka persamaann diferensial parsial dikatakan tidak homogen.

2.5.3 Metode Penyelesaian Persamaan Diferensial Parsial
Persamaan HSDM yang digunakan dalam penelitian ini merupakan persamaan
diferensial parsial dengan dua variabel bebas berupa variabel waktu (t) dan variabel posisi
(r). Terdapat berbagai metode dalam penyelesaian persamaan diferensial parsial termasuk
metode analitis dan metode numerik.
Dikenal dua macam kondisi batas yang digunakan untuk menyelesaikan suatu
persamaan diferensial parsial yaitu; Initial Value Condition (IVP) dan Boundary Value
Condition (BVP). IVP menggambarkan kondisi awal pada saat salah satu variabel bebas
berharga nol sedangkan BVP menyatakan kondisi pada batas awal dan akhir suatu
persamaan diferensial parsial. Baik IVP maupun BVP dapat dinyatakan secara ekplisit atau
dapat diestimasi dari fenomena yang terjadi dalam suatu permasalahan.
Beberapa metode numerik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan
diferensial parsial, yaitu :














31


2.5.3.1 Method of Lines

Gambar 2.4 Ilustrasi diskretisasi persamaan diferensial dengan Method of Lines

Method of lines merupakan metode numerik yang melibatkan pengunaan metode
penghampiran terbatas dan metode analitis secara bersamaan dalam menyelesaikan
persamaan diferensial parsial. Metode ini melibatkan diskretisasi persamaan dengan
mengaplikasikan penghampiran terbatas terhadap sumbu-x, seperti yang diiliustrasikan
pada Gambar 2.3. Persamaan diferensial parsial yang telah didiskretisasi akan menjadi
persamaan diferensial biasa sehingga dapat diselesaikan dengan cara analitis dengan
memasukkan kondisi batas (Moore, 2013). Method of lines merupakan modifikasi lanjut
dari metode penghampiran terbatas biasa dengan akurasi yang lebih baik dan waktu
perhitungan yang lebih efektif (Sadiku & Obiozor). Beberapa keunggulan method of line
dibandingkan dengan metode lain adalah (Sadiku & Obiozor) :
a) Efisiensi perhitungan
metode semi-analitis yang digunakan pada method of lines menghasilkan suatu
algoritma perhitungan yang lebih sederhana dibandingkan dengan metode lain
namun dengan solusi yang akurat.
b) Stabilitas numerik
32

Dengan diskretisasi yang terpisah antara variabel waktu dan variabel ruang,
beragam permasalahan persamaan diferensial parsial dapat diselesaikan dengan
konvergensi yang stabil.
c) Mempersingkat waktu perhitungan
Karena hanya terdapat sedikit diskretisasi yang dilakukan, sistem persamaan
yang rumit dijadikan sistem persamaan yang sederhana sehingga tidak
memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan persamaan tersebut.

2.5.3.2 Metode Crank Nicolson

Gambar 2.5 Ilustrasi diskretisasi persamaan diferensial dengan metode Crank Nicolson

Metode lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial
parsial adalah Metode Crank Nicolson. Metode Crank Nicholson merupakan metode
penghampiran terbatas orde dua yang merupakan gabungan dari metode eksplisit dan
metode implisit Euler. Berbeda dengan method of lines yang hanya melakukan diskretisasi
penghampiran terbatas terhadap salah satu variabel Persamaan diferensial parsial, metode
Crank Nicolson melakukan penghampiran terhadap kedua variabel yang terlibat. Metode
ini menghasilkan solusi yang stabil untuk penyelesaian beragam persamaan diferensial
parsial (Thomas, 1995).
33

Diskretisasi pada metode Crank Nicolson menggabungkan penghampiran maju
terhadap waktu dan penghampiran mundur terhadap waktu dari metode eksplisit dan
implisit Euler. Penghampiran varabel ruang dilakukan dengan penghampiran tengah. Salah
satu contoh penyelesaian persamaan diferensial paial dengan metode Crank Nicolson
digambarkan pada Gambar 2.5 dengan contoh persamaan (Nurfitroh, 2013):


=
2


2
(2.36)
Penyelesaian untuk persamaan (2.35) dengan metode Crank Nicolson adalah sebagai
berikut :
Penghampiran maju untuk tahap :

,+1

=
2

+1,
2
,
+
1,

2
(2.37)
Penghampiran mundur untuk tahap +1 :

,+1

=
2

+1,+1
2
,+1
+
1,+1

2
(2.38)
Metode Crank Nicolson merupakan rata-rata dari penggabungan persamaan (2.37) dan
(2.38), sehingga menjadi :

,+1

=

2
2
*

+1,
2
,
+
1,

2
+

+1,+1
2
,+1
+
1,+1

2
+ (2.39)

Anda mungkin juga menyukai