Judul Buku : Libel Law, Political Criticism, and Defamation of Public Figures
Penulis : Peter N. Amponsah
Ikhtisar Bab 1: Political Speech and The Concept of Democracy
Sebagai pembuka di dalam Bab 1 ini, Peter menekankan bahwa apa yang dimaksud dengan political speech di dalam konsep demokrasi adalah bukan semata-mata sebuah pidato tetapi juga berbagai ujaran atau pembicaraan yang membangun opini publik berkaitan dengan isu-isu yang harus dipikirkan oleh masyarakat yang berpendidikan.
Sustein Menambahkan bahwa sebuah pidato atau ujara dianggap politis jika dimaksudkan dan diterima sebagai suatu hal yang memancing publik untuk berpikir secara mendalam mengenai suatu isu.
Ujaran politis (political speech) sering diagung-agungkan oleh Amerika dan negara-negara demokratis lainnya sebagai perwakilan konkrit dari konsep free of Speech. Masyarakat demokratis menilai keterbukaan tak hanya sebagai pintu bagi partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga untuk membuka topeng operasi pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan khalayak.
Peter Amposan kemudian melanjutkan dengan memaparkan varian demokrasi yang saling terkait dan memposisikan political speech sebagai bagian dari kebebasan berpolitik. Varian demokrasi yang dimaksud adalah Contractual Liberalism, Deliberative democracy dan Pragmatic Democracy. Ketiganya dianggap serupa dan diyakini sebagai konsep ideal bagi pemerintahan.
Contractual Liberalism
Konsep demokrasi ini menyokong penuh bahwa rakyat memiliki hak dan kebebasan dalam berpolitik. Pemerintah wajib menjamin kekebasan berbicara, berpendapat dan berkumpul, kebebasan PERS, hak memilih dan membentuk kelompok politik. Berkaitan dengan hal ini, Hobbes menambahkan bahwa kedaulatan adalah milik penguasa dan agen masyarakat. Kekuasaaan tersebut diberikan oleh rakyat sebagai bentuk kontrak sosial sehingga para pejabat politis dianggap sebagai agen dari kepentingan yang diusung rakyat.
Di bawah kontrak sosial, kelompok mayoritas tidak bisa memaksakan kehendak pada kelompok minoritas. Walaupun suara negatif muncul dari kaum minoritas, bukan berarti kaum mayoritas boleh membungkam atau merintangi mereka untuk menyampaikan pendapatnya.
Teori Keadilan dari Rawls memberikan perspektif yang lain dari kontrak sosial tersebut. Menurut Rawls, masyarakat membuat aturan untuk mengatur hidup mereka sendiri. Ketika mereka membuat aturan mereka lupa siapa mereka. Mereka tidak lagi peduli akan usia, warna kulit, kekayaan dan posisi sosial. Dengan kata lain mereka menentukan dan menjalankan ekspektasi dari masyarakat sendiri tanpa terikat kepentingan pribadi dan atau kelompok.
Deliberative Democracy
Secara ringkas deliberatice democracy memiliki arti bahwa demokrasi tidak bisa hidup tanpa partisipasi aktif masyarakat luas.
Peter memaparkan bahwa dengan kata lain deliberati democracy dapat dianalogikan sebagai pemerintahan oleh perundingan (government by discussion). Saran, kritik, pencerahan dan perundingan merupakan penyokong demokrasi. Menambahkan analogi di atas, Cohen memaparkan tiga prinsip dasar dalam deliberative democracy: 1. Pemikiran mendalam ataupun debat seharusnya mampu menentukan kebijakan bagi rakyat 2. Kesempatan dan kekuatan politis harus terbebas dari posisi sosial dan kekuatan ekonomi. 3. Demokrasi harus mampu membentuk kesadaran politik sehingga rakyat tahu bahwa mereka setara, kompeten dan bebas secara politik.
Intinya deliberative democracy memerlukan keterbukaan dan partisipasi politik dari masyarakat luas dalam bentuk perdebatan dan perundingan guna menentukan kebijakan untuk hajat hidup orang banyak. Untuk itu sistem yudisial yang ada harus memberi ruang dan kebebasan berdiskusi bagi masyarakat.
Pragmatic Democration
Model demokrasi pragmatis ini terinspirasi oleh buah pikiran John dewey mengenai etika dan kesadaran diri. Menurut Dewey masyarakat akan survive jika mampu secara konstan menenun kembali benang-benang sosial dengan mengkomunikasikan pemahaman, harapan, standar, dan kepercayaan dari satu generasi ke generasi lain. Dalam hal ini bukan berarti masyarakat harus menjadi homogen, akan tetapi masyarakat tumbuh dalam suasana saling berbagi pengalaman dan pendapat yang kemudian membentuk aktivitas keseharian mereka.
Secara ringkas dapat dimaknai bahwa kebebasan berbicara dan berujar adalah milik semua masyarakat. Demokrasi melibatkan partisipasi aktif dari semua, pemerintahan bukan hanya milik para ahli dan politisi. Turun ke lapangan guna mendengar langsung dan terbuka terhadap apa yang dikehendaki rakyat merupakan salah satu syarat pembangun demokrasi.
Dari ketiga varian demokrasi tersebut dapat ditarik benang merah bahwa inti bentuk demokrasi yang ideal adalah keseteraan, kebebasan berekspresi berkaitan dengan isu-isu kerakyatan, kesempatan untuk berpikir secara mendalam, persetujuan masyarakat dalam bentuk partisipasi dalam mengawal pemerintahan dan menyadarkan diri sendiri sebagai bagian penting dari bangsa.
Kebebasan berbicara ini memang mampu memancing masyarakat untuk berpartisipasi, mencari kebenaran, dan mengawasi pemerintahan kalau-kalau mereka menyalahgunakan kekuasaannya. Akan tetapi kebebasan berbicara ini dapat bertentangan dengan hak pribadi dan reputasi. Tak bisa dipungkiri adakalanya berbagai ujaran politis yang muncul tidaklah selalu benar bahkan cenderung menuduh yang mengakibatkan turun atau runtuhnya sebuah reputasi. bahkan walau tuduhan itu tidak terbukti, reputasi sesorang akan tetap terusik karena dianggap mencemarkan nama baik.
Oleh sebab itu muncullah hukum penistaan. Hukum ini bukanlah pemberangusan atau sensor tetapi bentuk pencegahan dan suatu bentuk penegakkan hukum atas perusakan reputasi seseorang.
Hukum Penistaan Sebagai bagian hukum anglo saxon (common Law)
Hukum penistaan dicetuskan untk melindungi hak dan reputasi seseorang dari pencemaran nama baik. Bentuk hukum ini sudah mulai dikenal sejak dulu, seperti di Yunani misalnya, di Athena masyarkat mempunyai hukum yang melarang orang untuk menjelek-jelekan orang yang sudah meninggal serta untuk tuduhan yang salah terhadap seseorang. Begitu pula di Romawi, mereka memiliki hukum yang bernama iniuria. Hukum ini mengatur tentang hukuman bagi orang yang mencederai nama baik seseorang.
Menurut hukum common law, ujaran-ujaran penistaan dapat berupa dua jenis yaitu per se atau per quod. Per se adalah tuduhan berbuat kejahatan, menderita penyakit parah yang menular, pencemaran reputasi seseorang dalam pekerjaannya, atau tuduhan pelecehan seksual yang tak bermoral. Adapun jika dugaan pencemaran itu tidak terlihat secara explisit maka penistaan tersebut dikategorikan sebagai per quod contohnya tindakan bullying atau penghinaan secara terselubung.
Untuk di bawa ke ranah hukum, bentuk penistaan atau pencemaran harus memenuhi tiga syarat dasar: 1. Pencemaran harus terjadi dan terlihat (adanya pelapor) 2. Statement atau ujaran yang diduga sebagai penistaan itu harus ada bukti fisiknya (suara atau tulisan) 3. Penggugat harus diidentifikasi sebagai pihak yang dirugikan atau dicemarkan
Jika terbukti bersalah maka pihak tergugat akan mendapatkan hukuman dan pihak yang dicermakan nama baiknya akan mendapatkan kompensasi. Adapun kompensasi yang diberikan adalah solatium, (bentuk kompensasi secara moril) bukan kompensasi secara materil.
Sebagai kesimpulan, Prinsip demokrasi menyokong kebebasan berbicara secara politik. Karena adakalanya ujaran politik tersebut dapat bersinggungan dengan hak reputasi seseorang maka hukum penistaan atau pencemaran nama baik dirancang untuk melindungi serta membatasi kebebasan agar tidak kebablasan.
Di akhir bab ini , Peter menambahkan bahwa dalam berbicara tentang politik ada baiknya tetap pada ranah kepentingan publik (public interest) guna menghindari adanya clash dengan hak nama baik seseorang. Public interest dapat dijadikan modal seseorang untuk mengkritik dan berpendapat secara politik di dalam suatu lingkungan demokrasi.
Demokrasi memang menjunjung kebebasan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab.