Anda di halaman 1dari 55

REFERAT

BENJOLAN DI LEHER


Oleh:
Rizka Utami
1102010251


Pembimbing:
dr. Trimayus, Sp.B


DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK
SMF BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSU. dr. Slamet Garut
September 2014

1

BAB I
PENDAHULUAN

Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu kelainan atau penyakit kepala-leher diperlukan
kemampuan dan keterampilan melakukan anamnesis dan pemeriksaan organ-organ tersebut.
Kemampuan ini merupakan bagian dari pemeriksaan fisik yang merupakan syarat bila
terdapat keluhan atau gejala yang berhubungan dengan kepala-leher (Iskandar, 2001).
Sistem aliran limfe leher sangat penting untuk dipelajari, karena hampir semua bentuk radang
atau keganasan kepala dan leher akan terlihat dan bermanifestasi ke kelenjar limfe leher
(Iskandar,2001).
Pasien dengan penyakit pada leher dan wajah dapat mempunyai banyak gejala yang
bervariasi. Nyeri kepala, kelemahan otot atau kelompok otot, disestesia, pembengkakan atau
massa, deformitas dan perubahan pada kulit merupakan keluhan-keluhan yang paling sering
dijumpai (Boies, 1997).
Palpasi leher dan wajah harus dilakukan dengan sistematik. Kelenjar limfe leher dan
metastatik seringkali terletak pada segitiga leher depan. Daerah ini perlu di inspeksi dengan
cermat, khususnya di bawah otot sternokleidomastoideus dan sepanjang perjalanan selubung
karotis. Bangunan yang bisanya dapat dan harus dipalpasi adalah tulang hioid, rawan tiroid
dan krikoid, celah tirohioid dan krikotiroid, cincin trakea, otot sternokleidomastoideus, arteri
karotis, klavikula dan celah supraklavikula (Boies,1997).






2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI LEHER
Leher merupakan bagian dari tubuh manusia yang terletak di antara thoraks dan caput. Batas
di sebelah cranial adalah basis mandibula dan suatu garis yang ditarik dari angulus mandibula
menuju ke processus mastoideus, linea nuchae suprema sampai ke protuberantia occipitalis
eksterna. Batas kaudal dari ventral ke dorsal dibentuk oleh incisura jugularis sterni, klavicula,
acromion dan suatu garis lurus yang menghubungkan kedua acromia(Luhulima, 2002).












Gambar 1 Anatomi leher
(Pabst, 2002)
3

Jaringan leher dibungkus oleh tiga fascia. Fascia koli superficialis membungkus musculus
Sternokleidomastoideus dan berlanjut ke garis tengah di leher untuk bertemu dengan fascia
sisi lain. Fascia koli media membungkus otot-otot pratrakeal dan bertemu pula dengan fascia
sisi lain di garis tengah yang juga merupakan pertemuan dengan fascia coli superficial. Ke
dorsal fascia koli media membungkus arteri karotis komunis, vena jugularis interna dan
nervus vagus jadi satu. Fascia koli profunda membungkus musculus prevertebralis dan
bertemu ke lateral dengan fascia koli media (de Jong, 2011).
Bentuk umum leher adalah sebagai conus dengan basis yang menghadap ke arah kaudal.
Ditentukan oleh processus spinosus vertebra cervicalis, otot-otot panniculus adiposus, os.
hyoideum, trachea dan glandula thyroidea. Turut menentukan adalah posisi kepala dan
columna vertebralis, pada posisi antefleksi kepala dan leher maka processus spinosus dari
vertebra prominens sangat menonjol, kulit disebelah ventral melipat-lipat. Pada posisi
retrofleksi kepala dan leher maka kulit disebelah dorsal melipat-lipat sedangkan disebelah
ventral akan kelihatan dengan jelas laring, trachea dan glandula thyroidea ( terutama pada
wanita) (Luhulima,2002).
Leher dibagi oleh muskulus sternokleidomastoideus menjadi trigonum anterior atau medial
dan trigonum posterior atau lateral.
1. Trigonum anterior : di anterior dibatasi oleh sternokleidomastoideus, linea mediana
leher dan mandibulae, terdiri dari :
1. Trigonum muscular : dibentuk oleh linea mediana, musculus omohyoid venter
superior, dan musculus sternokleidomastoideus.
2. Trigonum caroticum : dibentuk oleh musculus omohyoid venter superior,
musculus sternokleidomastoideus, musculus digastricus venter posterior.
3. Trigonum submentale : dibentuk oleh venter anterior musculus digastricus, os.
hyoid dan linea mediana.
4. Trigonum submandibulare : dibentuk oleh mandibula, venter superior musulus
digastricus, dan venter anterior musculus digastricus
4

2. Trigonum posterior : dibatasi superior oleh musculus sternokleidomastoideus,
musculus trapezius dan clavicula, terdiri dari :
1. Trigonum supraclavicular : dibentuk oleh venter inferior musculus omohyoid,
clavicula dan musculus sternokleidomastoideus.
2. Trigonum occipitalis : dibentuk oleh venter inferior musculus omohyoid,
musculus trapezius dan musculus sternokleidomastoideus (Luhulima, 2002).

5




6


Gambar 2 Trigonum anatomicum
Dikutip dari kepustakaan 6
A. PEMBAGIAN KELENJAR LIMFE
Sekitar 75 buah kelenjar limfe terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan berada pada
rangkaian jugularis interna dan spinalis assesorius. Kelenjar limfe yang selalu terlibat dalam
metastasis tumor adalah kelenjar limfe pada rangkaian jugularis interna (Iskandar,2001).
Kelenjar limfe servical dibagi ke dalam gugusan superficial dan gugusan profunda. Kelenjar
limfe superficial menembus lapisan pertama fascia servical masuk kedalam gugusan kelenjar
limfe profunda. Meskipun kelenjar limfe nodus kelompok superficial lebih sering terlibat


7

dengan metastasis, keistimewaan yang dimiliki kelenjar kelompok ini adalah sepanjang
stadium akhir tumor, kelenjar limfe nodus kelompok ini masih signifikan terhadap terapi
pembedahan.
Kelenjar limfe profunda sangat penting sejak kelenjar-kelenjar kelompok ini menerima aliran
limfe dari membran mukosa mulut, faring, laring, glandula saliva dan glandula thyroidea
sama halnya pada kepala dan leher.
Hampir semua bentuk radang dan keganasan kepala dan leher akan melibatkan kelenjar getah
bening leher bila ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di leher, perhatikan
ukurannya, apakah nyeri atau tidak, bagaimana konsistensinya, apakah lunak kenyal atau
keras, apakah melekat pada dasar atau kulit. Menurut Sloan Kattering Memorial Cancer
Center Classification, kelenjar getah bening leher dibagi atas 5 daerah penyebaran.









Gambar 3 Daerah penyebaran kelenjar limfe leher
(Iskandar,2001)
Keterangan : (Iskandar,2001)
I. Kelenjar yang terletak di segitiga submentale dan submandibulae
II. Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar getah bening jugularis
superior, kelenjar digastrik dan kelenjar servikalis posterior.
8

III. Kelenjar getah bening jugularis di antara bifurkatio karotis dan persilangan
Musculus omohioid dengan musculus sternokleidomastoideus dan batas
posterior musculus sternokleidomastoideus.
IV. Grup kelenjar getah bening di daerah jugularis inferior dan supraklavikula
V. Kelenjar getah bening yang berada di segitiga posterior servikal.








Gambar 4 Penyebaran kelenjar limfe di kepala dan leher
1. Kelenjar limfe occipitalis terletak diatas os occipitalis pada apeks trigonum
cervicalis posterior. Menampung aliran limfe dari kulit kepala bagian
belakang. Pembuluh limfe eferen mencurahkan isinya ke dalam kelenjar limfe
cervicalis profundi.
2. Kelenjar limfe retroaurikular terletak di atas permukaan lateral processus
mastoideus. Mereka menampung limfe sebagian kulit kepala di atas auricula
dan dari dinding posterior meatus acusticus externus. Pembuluh limfe eferen
mencurahkan isinya ke dalam kelenjar limfe cervicalis profundi.
3. Kelenjar limfe parotid terletak pada atau di dalam glandula parotis.
Menampung limfe dari sebagian kulit kepala di atas glandula parotis, dari
permukaan lateral auricula dan dinding anterior meatus acusticus externus, dan
9

dari bagian lateral palpebra. Pembuluh limfe eferen mencurahkan isinya ke
dalam kelenjar limfe cervicalis profundi.
4. Kelenjar submandibular : terletak sepanjang bagian bawah dari mandibula
pada kedua sisi lateral, pada permukaan atas glandula submandibularis
dibawah lamina superfisialis. Menerima aliran limfe dari struktur lantai dari
mulut. Pembuluh limfe eferen mencurahkan isinya ke dalam kelenjar limfe
cervicalis profundi.
5. Kelenjar submental : terletak dibawah dari mandibula dalam trigonum
submentale. Menerima aliran dari lidah dan cavum oral. Pembuluh limfe
eferen mencurahkan isinya ke dalam kelenjar limfe submandibularis dan
cervicalis profundi.
6. Kelenjar supraclavicular : terletak didalam cekungan diatas clavicula, lateral
dari persendian sternum. Menerima aliran dari bagian dari cavum toraks dan
abdomen.
B. STRUKTUR DAN FUNGSI KELENJAR LIMFE
Kelenjar limfe adalah organ limfoid perifer yang berhubungan dengan sirkulasi pembuluh
limfatik aferen dan eferen dan melalui venula pascakapiler berendotel tinggi. Sejumlah tipe
sel membentuk kerangka dan stroma penyokong kelenjar kapiler. Fibroblas adalah tipe sel
dominan pada kapsul dan trabekula kelenjar limfe. Lalu lintas kelenjar limfe melalui jalur
aferen dan eferen. Limfe aferen mengandung limfosit makrofag dan antigen memasuki
kelenjar limfe melalui ruang subkapsul dan mengalir melalui daerah parakorteks dan medula
ke dalam sinus medula yang menyatu membentuk pembuluh limfatik eferen.
Kelenjar limfe berfungsi sebagai tempat sel yang memperkenalkan antigen,
sel T dan sel B berkontak dengan antigen yang dengan struktur tertentu meningkatkan
interaksi sel T, sel B dan sel-sel yang mempresentasikan antigen secara optimum. Dalam
keadaan normal, interaksi seperti itu menyebabkan efisiensi pengenalan antigen, aktivasi
lengan reaksi imun seluler dan humoral dan berakhir dengan pembasmian antigen.

10








Gambar 5 Aliran drainase kelenjar limfe
Dikutip dari kepustakaan 12
2.2 MEKANISME TIMBULNYA BENJOLAN PADA LEHER
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher, seperti trauma,
infeksi, hormon, neoplasma dan kelainan herediter. Faktor-faktor ini bekerja dengan caranya
masing-masing dalam menimbulkan benjolan. Hal yang perlu ditekankan adalah tidak
selamanya benjolan yang ada pada leher timbul karena kelainan yang ada pada leher. Tidak
jarang kelainan itu justru berasal dari kelainan sistemik seperti limpoma dan TBC.
Hampir semua struktur yang ada pada leher dapat mengalami benjolan entah itu kelenjar
tiroid, paratiroid dan getah bening, maupun benjolan yang berasal dari struktur jaringan lain
seperti lemak, otot dan tulang.
Infeksi dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher melalui beberapa cara yang di
antaranya berupa benjolan yang berasal dari invasi bakteri langsung pada jaringan yang
terserang secara langsung maupun benjolan yang timbul sebagai efek dari kerja imunitas
tubuh yang bermanifestasi pada pembengkakan kelenjar getah bening.
Mekanisme trauma dalam menimbulkan benjolan pada leher agak menyerupai mekanisme
infeksi. Hanya saja trauma yang tidak disertai infeksi sekunder pada umumnya tidak
menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening.
11

Jika jaringan tubuh manusia terkena rangsangan berupa trauma dan reaksi imun, maka
otomatis sel-sel akan mengalami gangguan fisiologis. Sebagai responnya, sel tubuh terutama
mast sel dan sel basofil akan mengalami granulasi dan mengeluarkan mediator radang berupa
histamin, serotonin, bradikinin, sitokin berupa IL-2, IL-6 dan lain-lain. Mediator-mediator
radang ini terutama histamin akan menyebabkan dilatasi arteriola dan meningkatkan
permeabilitas venula serta pelebaran intraendothelialjunction. Hal ini mengakibatkan cairan
yang ada dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya sehingga timbul benjolan pada
daerah yang terinfeksi ataupun terkena trauma. Infeksi dapat menimbulkan pembesaran
kelenjar limfe karena apabila mekanisme pertahanan tubuh berfungsi baik, sel-sel pertahanan
tubuh seperti makrofag, neutrofil dan sel T akan berupaya memusnahkan agen infeksius
sedangkan agen infeksius itu sendiri berupaya untuk menghancurkan sel-sel tubuh terutama
eritrisot agar bisa mendapatkan nutrisi. Kedua upaya perlawanan ini akan mengakibatkan
pembesaran kelenjar limfe karena bekerja keras untuk memproduksi sel limfoid maupun
menyaring sel tubuh yang mengalami kerusakan dan agen infeksius yang masuk agar tidak
menyebar ke organ tubuh lain.
Sedangkan mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma entah itu di otot, sel limfoid,
tulang maupun kelenjar secara umum hampir sama. Awalnya terjadi displasia dan metaplasia
pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga diferensiasi sel tidak lagi sempurna. Displasia
ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologis molekuler seperti peningkatan laju
pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme bunuh diri sel terprogram. Hal ini berakibat pada
proliferasi sel tak terkendali yang bermanifestasi pada timbulnya benjolan pada jaringan.
Neoplasma dapat terjadi pada semua sel yang ada di leher entah itu kelenjar tiroid-adenoma
tiroid, lemak-lipoma, kartilago-kondroma, jaringan limfe-limfoma maupun akibat dari
metastase kanker dari organ di luar leher.

1. Anamnesis dan pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis
Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Jika ditemukan pasien dengan keluhan benjolan di leher, maka beberapa hal yang perlu
dilakukan pada pasien untuk mengarahkan diagnosis adalah sebagai berikut:
12







13

2. Diferensial Diagnosis
I. Kongenital
a. Kistik Higroma
Definisi
Higroma kistik berasal dari sistem limfe sehingga secara patologi anatomi lebih tepat disebut
limfangioma kistik. Higroma kistik dapat terjadi pada anak lelaki maupun anak perempuan
dengan frekuensi yang sama. Kebanyakan (75%) higroma kistik terdapat di leher. Sekitar
75% kasus terjadi saat lahir mauun masa neonatus (de Jong, 2011).
Etiologi dan Patogenesis
Anyaman pembuluh limfe yang pertama kali terbentuk di sekitar pembuluh vena mengalami
dilatasi dan bergabung membentuk jala yang di daerah tertentu akan berkembang menjadi
sakus limfatikus(de Jong, 2011).
Pada embrio usia dua bulan, pembentukan sakus primitif telah sempurna. Bila hubungan
saluran ke arah sentral tidak terbentuk, timbullah penimbunan cairan yang akhirnya
membentuk kista berisi cairan. Hal tersebut sering terjadi di daerah leher. Kelainan ini dapat
meluas ke segala arah seperti ke jaringan sublingualis di mulut (de Jong, 2011).
Pada mulanya bagian dalam kista dilapisi oleh selapis sel endotel dan berisi cairan jernih
kekuningan yang sesuai dengan cairan limfe. Pada permukaaan ditemukan kista besar yang
makin ke dalam menjadi makin kecil seperti buih sabun. Higroma kistik dapat mencapai
ukuran yang besar dan menyusup ke otot leher dan daerah sekitarnya seperti faring, laring,
mulut dan lidah. Yang terakhir dapat menyebabkan makroglosia (de Jong, 2011).
Gejala klinis
Keluhan adalah adanya benjolan di leher yang telah lama atau sejak lahir tanpa nyeri atau
keluhan lain. Benjolan ini berbentuk kistik, berbenjol-benjol dan lunak. Permukaannya halus
dan lepas dari kulit, dan sedikit melekat pada jaringan dasar. Kebanyakan terletak di regio
trigonum posterior colli. Sebagai tanda khas, pada pemeriksaan transluminasi positif tampak
terang sebagai jaringan tembus cahaya (de Jong, 2011).
14

Benjolan ini jarang menimbulkan gejala akut, tetapi suatu saat dapat cepat membesar karena
radang dan menimbulkan gejala gangguan pernafasan akibat pendesakan saluran nafas seperti
trakea, orofaring, maupun laring. Bila terjadi perluasan ke arah mulut dapat timbul gangguan
menelan. Perluasan ke aksila dapat menyebabkan penekanan pleksus brakialis dengan
berbagai gejala neurologik (de Jong, 2011).
Penatalaksanaan
Eksisi total merupakan pilihan utama. Pembedahan ini dimaksudkan untuk mengambil
keseluruhan massa kista. Akan tetapi,bila tumor besar dan telah menyusup ke organ penting,
seperti trakea, esofagus, atau pembuluh darah, ekstirpasi total sulit dikerjakan. Oleh karena
itu, penanganannya cukup dengan pengambilan sebanyak-banyaknya kista. Kista yang
letaknya didalam dan sangat melekat dengan struktur vital dipecahkan dengan melakukan
eksisi parsial. Hal ini merupakan cara penaganan yang paling bail dan aman.
Pada akhir pembedahan, pemasangan penyalir isap sangat dianjurkan. Bila residif dapat
dilakukan operasi ulang atau pemberian bleomisin ke dalam kista yang telah diaspirasi isinya
terlebih dahulu. Pembedahan sebaiknya dilakukan setelah periode neonatus karena mortalitas
akibat pembedahan pada periode neonatus cukup tinggi (de Jong, 2011).

b. Kista Branchial
Kelainan brankial dapat berupa fistel, kista, dan tulang rawan ektopik. Arkus brankial ke-3
membentuk os hioid, sedangkan arkus brankial ke-4 membentuk skelet laring, yaitu rawan
tiroid, krikoid, dan aritenoid.
Fistel kranial dari tulang hioid yang berhubungan dengan meatus akustikus eksternus berasal
dari celah brankial pertama. Fistel antara fosa tonsilaris ke pinggir depan
m.sternokleidomastoideus berasal dari celah brankial kedua. Fistel yang masuk ke sinus
piriformis berasal dari celah ketiga. Sinus dari celah brankial keempat tidak pernah
ditemukan. Sinus atau fiste mungkin berupa saluran yang lengkap atau mungkin menutup
sebagian.
15

Fistel brankial sisa celah brankial ke-2 akan terdapat tepat di depan
m.sternokleidomastoideus. bila penutupan terjadi sebagian, sisanya dapat membentuk kista
yang terletak agak tinggi di bawah sudut rahang. Bila terbuka ke kulit, akan terjadi fistel. Bila
masih ada sinus tonsilaris, fistel selalu berjalan melalui percabangan a.karotis.
Pada anamnesis diketahui kista merupakan benjolan sejak lahir. Fistel terletak di depan
m.sternocleidomastoideus dan mengeluarkan cairan. Fistel yang buntu akan membengkak
dan merah, atau merupakan lekukan kecil yang dapat ditemukan unilateral atau bilateral.

Penatalaksanaan
Kista dapat langsung diekstirpasi bersama saluran menuju orofaring. Seringkali diperlukan
insisi multipel sejajar di atas insisi pertama (stepladder incision). Fistel diisi bahan warna
seperti biru metilen, kemudian dapat diekstirpasi melalui insisi kecil multipel. Operasi ini
tidak tergolong bedah minor karena fistel harus dikeluarkan seluruhya melalui percabangan
a.karotis komunis sampai ke sinus tonsilaris. Bila sebagian saja, fistel tertinggal akan kambuh
dan biasanya mengalami infeksi.

c. Kista Ductus Tiroglosus
Definisi
Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus yang menetap
sepanjang alur penurunan kelenjar tiroid, yaitu dari foramen sekum sampai kelenjar tiroid
bagian superior di depan trakea.
Epidemiologi
Beberapa penulis menyatakan bahwa kasus ini merupakan kasus terbanyak dari massa non
neoplastik di leher, merupakan 40% dari tumor primer di leher.

Ada penulis yang menyatakan
hampir 70% dari seluruh kista di leher adalah kista duktus tiroglosus. Kasus ini lebih sering
terjadi pada anak-anak,

walau-pun dapat ditemukan di semua usia.

Predileksi umur terbanyak
antara umur 0 20 tahun yaitu 52%, umur sampai 5 tahun terdapat 38%. Tidak terdapat
16

perbedaan risiko terjadinya kista berdasarkan jenis kelamin dan umur yang bisa didapat dari
lahir sampai 70 tahun, rata-rata pada usia 5,5 tahun.
Etiologi dan Patogenesis
Terdapat dua teori yang dapat menyebabkan terjadinya kista duktus tiroglosus :
1) infeksi tenggorok berulang akan merangsang sisa epitel traktus, sehingga mengalami
degenerasi kistik.
2) sumbatan duktus tiroglosus akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sekret sehingga
membentuk kista.
Teori lain mengatakan mengingat duktus tiroglosus terletak di antara beberapa kelenjar limfe
di leher, jika sering terjadi peradangan, maka epitel duktus juga ikut meradang, sehingga
terbentuklah kista.

Lokasi
Kista duktus tiroglosus dapat tumbuh di mana saja di garis tengah leher, sepanjang jalur
bebas duktus tiroglosus mulai dari dasar lidah sampai ismus tiroid.

Lokasi yang sering adalah

:
intra lingual : 2,1%
suprahioid : 24,1%
tirohioid : 60,9%
suprasternal : 12,9%
Sedangkan Ward

mendapatkan dari 72 pasien dengan kista duktus tiroglosus, lokasinya
terdapat di:
- submental : 2
- suprahioid : 18
17

- transhioid : 2
- infrahioid : 43
- suprasternal : 3
Gejala klinis
Keluhan yang sering terjadi adalah adanya benjolan di garis tengah leher, dapat di atas atau di
bawah tulang hioid. Benjolan membesar dan tidak menimbulkan rasa tertekan di tempat
timbulnya kista. Konsistensi massa teraba kistik, berbatas tegas, bulat, mudah digerakkan,
tidak nyeri, warna sama dengan kulit sekitarnya dan bergerak saat menelan atau menjulurkan
lidah.

Diameter kista berkisar antara 2-4 cm, kadang-kadang lebih besar.

Bila terinfeksi,
benjolan akan terasa nyeri. Pasien me-ngeluh nyeri saat menelan dan kulit di atasnya
berwarna merah.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik; yang harus dipikirkan pada setiap
benjolan di garis tengah leher. Untuk fistula, diagnosis dapat ditegakkan menggunakan
suntikan cairan radioopak ke dalam saluran yang dicurigai dan dilakukan foto Rontgen.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus bervariasi dan banyak macamnya, antara lain insisi
dan drainase, aspirasi perkutan, eksisi sederhana, reseksi dan injeksi dengan bahan sklerotik.
Dengan cara-cara tersebut angka kekambuhan dilaporkan antara 60-100%. Schlange (1893)
melakukan eksisi dengan mengambil korpus hioid dan kista beserta duktus-duktusnya;dengan
cara ini angka kekambuhan menjadi 20%.
Sistrunk (1920) memperkenalkan teknik baru berdasarkan embriologi, yaitu kista beserta
duktusnya, korpus hioid, traktus yang menghubungkan kista dengan foramen sekum serta
otot lidah sekitarnya kurang lebih 1 cm diangkat. Cara ini dapat menurunkan angka
kekambuhan menjadi 2-4 %.
Cara Sistrunk :
18

1) Penderita dengan anestesi umum dengan tube endotrakea terpasang, posisi terlentang,
kepala dan leher hiperekstensi.
2) Dibuat irisan melintang antara tulang hioid dan kartilago tiroid sepanjang empat
sentimeter. Bila ada fistula, irisan ber-bentuk elips megelilingi lubang fistula.
3) Irisan diperdalam melewati jaringan lemak dan fasia; fasia yang lebih dalam digenggam
dengan klem, dibuat irisan me-manjang di garis media. Otot sternohioid ditarik ke lateral
untuk melihat kista di bawahnya.
4) Kista dipisahkan dari jaringan sekitarnya, sampai tulang hioid. Korpus hioid dipotong satu
sentimeter.
5) Pemisahan diteruskan mengikuti jalannya duktus ke foramen sekum. Duktus beserta otot
berpenampang setengah sentimeter diangkat. Foramen sekum dijahit, otot lidah yang longgar
dijahit, dipasang drain dan irisan kulit ditutup kembali.


II. Infeksi
a. Limfadenitis Leher Akut
Definisi dan Etiologi
Linfadenitis leher akut merupakan pembesaran kelenjar getah bening (kgb) akibat kegagalan
mengatasi infeksi di daerah pertahanan regionalnya. Limfadenitis leher dapat disebabkan oleh
infeksi daerah telinga, gigi, tenggorokan, hidung. Dapat mengenai satu kelenjar limfe atau
satu kelompok kelenjar limfe, bisa unilateral atau bilateral leher.
Limfadenitis sendiri disebabkan oleh berbagai infeksi dari berbagai organisme, seperti
bakteri, virus, protozoa, riketsia, dan jamur. Nama-nama bakteri yang masuk dalam kategori
bakteri penyebab limfadenitis adalah Streptokokus beta hemolitikus. Grup A atau
stafilokokus aureus. Bakteri anaerob bila berhubungan dengan caries dentis (gigi berlubang)
dan penyakit gusi. Difteri, Hemofilus influenza tipe b jarang menyebabkan hal ini. Untuk
penyebarannya ke kelenjar getah bening melaluiinfeksi pada kulit, hidung, telinga, dan mata
(de Jong, 2011).
19

Penatalaksanaan
Tata laksana pada imfadenitis akut lebih disarankan untuk mengobati penyakit dasar sebagai
penyebabnya. Jika dengan konservatif atau penatalaksanaan penyakit dasar tidak berhasil,
dapat dilakukan pembedahan, namun hanya dapat menghilangkan benjoannya saja tidak
menghilangkan penyakit dasar.

b. Limfadenitis TBC
Definsi
Limfadenitis tuberkulosis, suatu peradangan pada satu atau lebih kelenjar getah
bening.Penyakit ini masuk dalam kategori tuberkolosis luar. Tuberkolosis sendiri dikenal
sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang tertulis dalam kepustakaan Sanskrit kuno.
Nama "tuberculosis" berasal dari kata tuberculum yang berarti benjolan kecil yang
merupakan gambaran patologik khas pada penyakit ini. Begitu juga dengan limfadenitis,
penyakit ini ditandai benjolan pada bagian leher penderitanya.
Etiologi dan Patogenesis
Siklus munculnya penyakit ini adalah bakteria dapat masuk melalui makanan ke rongga
mulut dan melalui tonsil mencapai kelenjar limfa di leher, sering tanpa tanda TBC paru.
Kelenjar yang sakit akan membengkak dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin secara berangsur
kelenjar di dekatnya satu demi satu terkena radang yang khas dan dingin ini.
Di samping itu, dapat terjadi juga perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar melekat satu
sama lain berbentuk massa. Bila mengenai kulit, kulit akan meradang, merah, bengkak,
mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis, mengeluarkan bahan keperti keju. Tukak yang
terbentuk akan berwarna pucat dengan tepi membiru dan menggangsir, disertai sekret yang
jernih. Tukak kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang tipis atau
berbintil-bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan bahan seperti keju lagi,
demikian berulang-ulang. Kulit seperti ini disebut skrofuloderma.

20

Gejala klinis
Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah benng, padat / keras
multiple dan dapat berkonglomerasi satu sama lain. Dapat pula sudah terjadi perkijuan
seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunak seperti abses tetapi tidak nyeri seperti abses
banal. Apabila abses ini pecah ke kulit, lukanya sulit sembuh oleh karena keluar secara terus
menerus sehingga seperti fistula. Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar getah bening dapat
terjadi sedemikian rupa, besar dan konglomerasi sehingga leher penderita itu disebut seperti
bull neck.
Penatalaksanaan
Pengobatan dilakukan dengan tuberkulostatik. Bila terjadi abses, perlu dilakukan aspirasi,
dan bila tidak berhasil, sebaiknya dilakukan insisi serta pengangkatan dinding abses dan
kelenjar getah bening yang bersangkutan (de Jong, 2011).

c. Tiroiditis
Definisi
Tiroiditis adalah peradangan kelenjar tiroid. Penyebab pasti untuk penyakit ini belum
diketahui. Fakta yang ada menunjukkan bahwa penyakit ini lebih banyak menyerang wanita
daripada pria. Umumnya menyerang orang berusia 13-80 tahun.
Radang tiroid dapat terrjadi akut, subakut atau menahun. Radang akut biasanya disebabkan
oleh infeksi S. aureus. Tiroiditis bakterial akut ni sangat jarang ditemukan. Tiroiditis subakut
yang juga jarang ditemukan umumnya terjadi pada infeksi virus di saluran nafas. Tiroiditis
menahun pada umumnya adalah penyakit autoimunyang disertai kenaikan kadar antibodi
terhadap hormon tiroid/produk tiroid di dalam darah.
Gejala klinis
Gejala paling awal adalah kelenjar tiroid yang terlalu aktif (hipertiroidisme). Gejala-gejala ini
dapat berlangsung selama 3 bulan, kadang ada yang kurang dari 3 bulan. Gejala biasanya
ringan, gejala tersebut antara lain:
21

* Kelelahan
* Sering buang air besar
* Selera meningkat
* Keringat bertambah
* Periode menstruasi tidak teratur
* Iritabilitas
* Kram otot
* Gugup dan gelisah
* Berat badan menurun

Tiroiditis Hashimoto
Tiroiditis kronik yang sering dijumpai adalah tiroiditis limfositik atau tiroiditid Hashimoto.
Pada tiroiditis Hashimoto didapatkan infiltrasi limfosit ke seluruh kelenjar tiroid yang
menyebabkan destruksi progresif folikel kelenjar. Dalam beberapa tahun terjadi atrofi
kelenjar dengan fibrosis. Berbagai macam antibodi antitiroid dapat ditemukan dalam kadar
tinggi di darah sebagai tanda reaksi autoimun.
Penyakit ini sering ditemukan dan sering dijumpai pada wanita. Biasanya mulai pada usia
dewasa dengan atau tanpa pembesaran kelenjar tiroid. Jika terdapat pembesaran kelenjar
tiroid, akan dirasakan sedikit nyeri, padat pada palpasi, dan nyeri pada penekanan. Pada
awalnya penderita eutiroidisme, kemudian berubah secara bertahap menjadi hipotiroidisme
yang memerlukan terapi substitusi dengan sediaan hormon tiroid. Struma Hashimotot sering
asimetrik. Diagnosis banding adalah karsinoma karena itu sering kali diperlukan tindakan
biopsi guna konfirmasi diagnosis. Pengobatannya trutama bersifat tindak bedah paliatif dan
simptomatik (de Jong,2011).
Tiroiditis de Quervain
Tiroiditis menurut de Quervain merupakan inflamasi akut yang mengenai seluruh kelenjar
tiroid, yang mungkin disbabkan oleh infiltrasi sel neurofil yang disusul oleh sel limfosit dan
histiosit, jenis radang ini jarang ditemukan.
22

Gambaran klinis berupa pembesaran tiroid sedang atau ringan yang sangat nyeri disertai
gejala dan tanda sistemik. Penyakit ini biasanya mereda setelah beberapa minggu, tetapi
sering kambuh kembali. Umumnya penderita eutiroidisme, tetapi pada tahap akut mungkin
terjadi hipertiroidisme. Pengobatan dengan sediaan salisilat untuk menghilangkan nyeri. Pada
stadium akut juga digunakan kortikosteroid untuk menekan inflamasi (de Jong,2011).
Tiroiditis Riedel
Tiroiditis Riedel merupakan jenis yang sangat jarang ditemukan, juga dianggap sebagai
reaksi autoimun. Kelenjar tiroid menjadi keras sehingga kelainan ini disebut juga struma
kayu. Kelenjar sering berbentuk asimetris sehingga sukar dibedakan dengan
adenokarsinoma anaplastik karena konsistensinya sangat padat. Diagnosis hanya dapat
ditentukan dengan biopsi insisi. Struma Riedel mungkin mengakibatkan kompresi trakea
sehingga kadang membutuhkan dekompresi dengan pembelahan istmus atau istmektomi (de
Jong,2011).

III. Neoplasma
a. Karsinoma Nasofaring
Definisi
Diperkirakan kira-kira 80%-90% keganasan nasopharynx adalah berkembang dari sel
epithelium. Terdapat 3 jenis carcinoma nasopharynx berdasarkan gambaran
histopatologisnya. Menurut WHO, dibagi:
-WHO type 1,atau squamous karsinoma sel
-WHO type 2,atau non-keratin carcinoma
-WHO type 3,atau undifferentiated karsinoma
Epidemiologi
Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan tertinggi didaerah leher dari bidang ilmu
penyakit THT . Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring dan tempat
23

predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi sehingga sulit
mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan gejalanya yang tidak
khas.Angka kematiannya cukup tinggi.Di Indonesia penyakit ini termasuk dalam sepuluh
besar keganasan dari seluruh tubuh.Banyak menyerang pada usia 40-60 tahun,
perbandingannya antara laki-laki dan perempuan 2,5:1 (de Jong, 2011).
Etiologi
Faktor Pencetus karsinoma nasofaring ada berbagai macam, antara lain :
Genetik : HLA-A2, HLA-B.sin
Virus : Epstein Barr
DNA pada epitel sel tumor
Antibodi anti EBV
Lingkungan (paparan bahan-bahan karsinogenik) ;
Nitrosamin
Asap kayu bakar
Herbal tea
Higiene buruk
Ventilasi buruk
Ikan asin, kebiasaan mengkonsumsi ikan asin jangka panjang merupakan mediator
utama yang bisa mengaktifkan virus Epstein-Barr.Diduga ikan asin ini mengandung
hasil metabolisme protein yang disebut dengan nitrosmin. Begitu pula dengan
makanan yang diawetkan.
Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup. Misalnya kebiasaan membakar
didalam rumah, memasak dengan kayu bakar dan ventilasi rumah juga tidak
mencukupi.
Kontak dengan zat karsinogen, misalnya pekerja pabrik bahan-bahan kimia.
24

Ras dan keturunan. Kanker nasofaring paling sering ditemukan pada ras mongoloid
atau keturunan cina. Serta lebih sering dialami laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 2,18 :1.Hampir 60% ditemukan pada kisaran usia 25-60 tahun.
Radang kronis nasofaring yang sering mengganggu proses pembersih secara alami
sehingga bisa memicu virus yang dapat menyebabkan kanker.
Histopatologi
Karsinoma nasofaring adalah tumor asal epidermoid.
Kriteria WHO:
Tipe 1 : Keratinizing squamous cell carcinoma.
(karsinoma sel squamous berkeratin)
Tipe 2a: Non-Keratinizing squamous cell carcinoma.
(karsinoma sel squamousa tidak berkeratin )
Tipe 2b: Undifferentiated carcinoma.
(karsinoma tidak berdifferensiasi)
Patogenesis
Virus Epstein-Barr adalah berkaitan rapat dengan karsinoma nasopharynx.Titer antibodi
(imunnoglobulin A) terhadap virus ini akan meningkat bagi setiap penderita karsinoma
nasopharynx.Maka ia di gunakan sebagai tumor maker.untuk menilai keberkesanan
terapi.Menurut pemerhatian bahawa 80% penderita nasopharynx carsinoma menunjukkan
adanya produk BCL2.Produk ini menyebabkan terjadinya penghalangan proses apoptosis.Ini
menyebabkan perkembangan kanser tersebut.Menurut pemerhatian,memakan ikan asin dan
bahan kimia tertentu dapat memicu terjadinya kanser nasopharynx karsinoma tersebut (de
Jong, 2011).
Stadium tumor
T :Tumor pada nasofaring
25

Tis :Tumor insitu
T1 :Tumor terbatas pada satu tempat /sisi atau tumor tak tampak (hanya dengan biopsy.
T2 : Tumor mengenai dua tempat
T3 :Ekstensi tumor kecavum nasi dan orofaring
T4 :Tumor invasi dasar tengkorak dan nervi cranialis.
N :Metastasis pada kelenjar limfe
NO :Tidak ada metastase kelenjar limfe
N1 :Tunggal,ipsilateral, 3 cm
N2a :Tunggal ipsilateral, 3-6 cm.
N2b :Multipel ipsilateral, 6 cm.
N2c :Bilateral, 6 cm.
N3 :Metastase pada nodus cm
M :Metastasis
M0 :Tidak ada metastasis
M1 :Ada metastasis jauh
Gejala klinik
Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring dan tempat predileksinya
pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi sehingga sulit mendiagnosis
penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan gejalanya yang tidak khas. Adapun
tanda ataupun gejala yang timbul tergantung dimana perluasan tumor (de Jong, 2011).
Apabila perluasannya ke arah atas, penderita akan merasakan diplopia. Apabila perluasannya
ke arah lateral, Sebelumnya penderita merasakan adanya lendir dibelakang hidung terus
menerus yang tidak bisa dikeluarkan, rasa penuh ditelinga, telinga berdenging/gembrebeg
(tinnitus), otalgia, adanya radang pada telinga tengah ( congean ) sampai dengan terjadinya
26

robekan gendang telingan tanpa sebab yang jelas, dan tidak sembuh dengan pengobatan serta
terjadi berulang-ulang. Hal ini Karena adanya tumor pada daerah tenggorok bagian atas
(nasofaring ) menutupi saluran yang menuju keliang telinga tengah (oklusib Tuba eustachi ).
Bila tumor sudah membesar (stadium lanjut), maka ia dapat meluas kerongga hidung bagian
belakang ( koana ) dengan keluhan adanya hidung tersumbat ataupun mimisan bercampur
dengan ingus dalam jumlah yang bervariasi .Keluhan pada tenggorok merupakan gangguan
bicara,bernafas dan menelan dapat dijumpai bila tumor sudah membesar karena mendesak
kerongga tenggorok (de Jong, 2011).
Sementara keluhan penglihatan dobel, karena tumor sudah meluas kedasar tengkorak
sehingga mengakibatkan kelumpuhan pada syaraf-syaraf otot penggerak bola mata, dan mata
menjadi juling yakni nervus okulomotorius dan abdusen. Adanya gejala neurology pada
syaraf cranial seperti nyeri kepala dan nyeri disekitar wajah juga sering dijumpai pada
penderita kanker tenggorok akibat dari penekanan tumor pada syaraf disekitar kepala yakni
nervus trigeminus, glossofaringeus, vagus, assesorius .
Stadium lanjut, karsinomanya mengalami metastasis ke kelenjar getah bening bermanifestasi
sebagai benjolan yang teraba keras umumnya pada rantai kelenjar limfe jugularis profunda
superior (de Jong, 2011).
Penatalaksanaan
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan
megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat
berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan anti virus (de Jong, 2011).
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih
tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan). Berbagai macam kombinasi dikembangkan,
yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan cis platinum sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi cis platinum, bleomycin, dan 5 fluorouracil sedang
dikembangkan di bagaian THT FKUI dengan hasil sementara cukup memuaskan. Demikian
pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis
27

platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan
kehidupan yang cukup baik.
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum
diberikan radiasi yang bersifat *radio sensitizer* memperlihatkan hasil yang memberi
harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasopharing.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadapa benjolan dileher yang
tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai,
tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologik dan serologik. Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif)
diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi (de Jong, 2011).
Perawatan paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa kering
disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak
banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah,
membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang
rasa asam sehingga merangsang keluarnya aar liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga
mulut karena jamur, rasa kaku didaerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit
kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang kadang muntah dan rasa mual (de Jong, 2011).
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor tetap
ada atau kambuh kembali. Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti
ketulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis
yang dapat diberikan selain pengobatan simptomatis untuk meningkatan kualitas hidup.
Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal didaerah dengan resiko tinggi.
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ketempat lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara masak makanan untuk
mencegah akibat yang timbul dari bahan bahan yang berbahaya. Penyuluhan mengenai
lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dahn berbagai hal
yang berkaitan dengan kemungkinan kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik
28

IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal yang akan mendatangkan manfaat dalam
menemukan karsinoma nasopharing secara dini (de Jong, 2011).

b. Karsinoma Tiroid
Etiologi
Etiologi pasti dari Karsinoma Tiroid ini belum dapat dipastikan, karena secara umum
penyebab dari kanker itu sendiri sampai sekarang belum diketahui pasti. Namun terdapat
beberapa factor factor resiko yang dapat menyebabkan karsinoma tiroid, yang antara lain
ialah :
Riwayat Radiasi
Riwayat keluarga
Nodul soliter
Anak anak
Laki laki dewasa
Nodul tiroid timbul relatif cepat dan tidak sakit
Struma pada anak anak
Struma pada wanita >45 tahun
Umur < 25 tahun : 50% ganas
Umur < 15 tahun : 75% ganas.
Epidemiologi
Karsinoma tiroid agak jarang didapat , yaitu sekitar 3 5% dari semua tumor malignant.
Insidennya lebih tinggi dinegara dengan struma endemik, terutama jenis tidak
berdeferensiasi. Karsinoma tiroid didapat pada segala usia dengan puncak pada usia muda (7
20 tahun) dan usia setengah baya (40 60 tahun). Insiden pada pria adalah sekitar
29

3/100.000/tahun dan wanita 8/100.000/tahun. Kurang lebih 25% terjadi pada struma nodusa.
Karsinoma aganya timbal diantara nodul bukan didalamnya. 80 % dalah jenis papiller
Patogenesis
Difrensiasi
Sel Normal Sel Kanker

Onkogen

Radiasi Protoonkogen

Proses : Inisiasi
Promosi
Progresi
Pada keadaan awal dimana sel sel tiroid dalam keadaan normal Namun setelah ada paparan
dengan bahan bahan karsinogenik seperti terlihat pada bagan yakni radiasi maka sel normal
tersebut dapat berubah menjadi sel kanker, dimana sel kanker juga melalui beberapa tahap,
yakni Inisiasi, yakni dimana terjadi amplifikasi dari DNA Namun Belum menimbulkan
ekspresi gen, sehingga pada tahapo ini dapat dikatakan bahwa jumlah dari gen gen meningkat
Namun belum menimbulkan efek kepada sel itu sendiri, Namun pada proses promosi
dimana pada tahap ini terpapar lagi oleh bahan bahan karsinogenik dapat serupa dengan
bahan pada saat tahap inisisai Namun dapat pula berbeda, pada tahap ini terjadi ekspresi gen
dimana sel sel telah menjadi sel abnormal Namun pada tahap ini sel sel tersebut bersifat
reversible dengan kata lain apabila pada tahap ini kita dapat mengobati dengan komplit maka
sel tersebut dapat kembali menjadi sel normal kembali Namun apabila tidak komplit maka
dapat menjadi sel kanker, dan selanjutnya pada tahap progresi maka terjadi perubahan serta
perbanyakan sel secara cepat dan tidak terkendali lagi (de Jong, 2011).
30

Dan perubahan dari sel normal menjadi sel kanker perlu digarisbawahi juga bahwa disini
terjadi perubahan dari protoonkogen menjadi onkogen, dan terjadi inaktivasi dari supresor
sehingga tidak ada lagi penghambat bagi sel tersebut untuk terus memperbanyak diri, maka
jadilah sel normal tersebut menjadi sel ganas.
Gambaran Klinik
Pada karsinoma tiroid ini terdapat beberapa tipe, dan masing masing tipe tersebut juga
berbeda gambaran kliniknya, adapula pembagiannya ialah : (de Jong, 2011).
a. Epitelial
Adenokarsinoma papiller
Adenokarsinoma folikuler
Undifferentiated karsinoma/anaplastia
Small cell karsinoma
Giant ceel karsinoma
Spindle cell karsinoma
Karsinoma meduller
Squamos cell karsinoma
b. Non Epitelial
Limphoma
Sarcoma
Metastasis tumor
Malignant teratoma
Unclassified tumor
c. Well Differentiated
Type papiller
Type folikuler
Type medulle
31

d. Undifferentiated
Type anaplastik

Pemeriksaan Tambahan
Untuk pemeriksaan tambahan guna dapat mendiagnosis karsinoma tiroid kita dapat
lakukan sesuai dengan type karsinoma itu sendiri, yang antara lain :
1. Adenokarsinoma Papiller
Tumor biasanya dapar diraba dengan mudah dan umunya dapat pula dilihat. Yang khas untuk
tumor tiroid ialah tumor ikut dengan gerakan menelan.
Ultrasonografi dapat dilakukan untuk membedakan nodul kistik atau padat dan menentukan
volume tumor. Pemeriksaan Roentgen berguna untuk melihat dorongan dan tekanan pada
trakea serta kalsifikasi didalam jaringan tiroid. Foto thorax dibuat untuk melihat
kemungkinan penyebaran kemediastinum bagaian atas atau ke paru (de Jong, 2011).
Pemeriksaan sidik radioaktif tiroid dilakukan dengan yodium 131. Berdasarkan banyaknya
yodium yang ditangkap oleh nodul tiroid dikenal nodul dingin, yaitu nodul yang menangkap
yodium lebih sedikit dibandingkan sel kelenjar normal, atau tidak menangkat sama sekali.
Nodul hangat menangkap yodium radioaktif sama banyak dengan kelenjar normal, dan nodul
panas menangkap yodium radioaktif lebih banyak. Karsinoma papiller biasanya kurang
menangkap yodium atau sama sekali tidak menagkap.
Biopsi insisi dianjurkanpada karsinoma tiroid yang masih layak bedah. Biopsi aspirasi jarum
halus dapat dilakukan tetapi ketepatan diagnosis tergantung kepada kejelian ahli patologi atau
sitologi.
2. Adenokarsinoma Meduler
Jika dicurigai Adenokarsinoma meduler maka dilakukan pemeriksaan kadar kalsitonin dalam
darah sebelum atau sesudah suntikan pentagastrin atau kalsium.
3. Adenokarsinoma Anaplastik
32

Pada anamnesis ditemukan struma yang telah diderita cukup lama dan kemudian membesar
dengan cepat. Bila disertai suara parau harus dicurigai Adenikarsinoma Anaplastik.
Pemeriksaan penunjang berupa foto roentgen torax dan seluruh tulang tubuh dilakukan untuk
mencari metastasis keorgan tersebut.
Penatalaksanaan
Untuk penataksanaan karsinoma tiroid dilakukan sesuai dengan masing masing tipe
karsinoma tiroid : (de Jong, 2011).
1. Adenokarsinoma Papiller
Pada struma nodul tunggal sebainya tidak dilakukan enukleasi, sebab bila hasil pemeriksaan
patologi ternyata ganas maka sel tumor sudah tercecer dan pembedahan berikutnya menjadi
tidak sempurna lagi. Harus diingat bahwa sebagian struma nodul tunggal adalah ganas, dan
juga nodul yang terba tunggal adalah tunggal mungkin merupakan bagian struma
multinodusa. Nodul soliter jinak jarang terdapat pada anak, pria (semua umur), dan wanit
dibawah 40 tahun. Bila ditemukan struma nodul tunggal pada golongan tersebut harus
dianggap suatu keganasan dan dilakukan istmolobektomi. Pada pemeriksaan histopatologi,
sekitar 10% menunjukkan keganasan dan biasanya jenis adenokarsinoma papiller.
Bila ditemukan pembesaran kelenjar limfe leher, kemungkinan besar telah terjadi penyebaran
melalui saluran limfe didalam kelenjar sehingga perlu dilakukan tiroidektomi total dan
diseksi kelenjar leher pada sisi yang sama.
Diseksi leher merupakan pengeluaran semua kelenjar limfe leher. Bila tidak ada penyusupan
struktur diluar kelenjar getah bening, diseksi dapat dibatasi pada kelenjar getah bening saja,
artinya m. Sternocleidomastyoideus, n. Accesorius dan v. Jugularis interna tidak turut
diangkat./ Bedah diseksi leher yang dimodifikasi ini menguntungkan, karena pengangkatan
m. Sternocleidomastoideus dan atrofi m trapezius mengakibatkan gangguan kosmetik yang
mencolok sekali. Atrofi m. Trapezius disebabkan karena putusnya n. Accesorius pada
pengeluaran m sternocleidomastoideus.
Penyulit tiroidektomi terpenting adalah gangguan n laryngeus inferior (n. Recurrens) dan
hipoparatiroid. Pada setiap tiroidektomi n recurrens harus dipisahkan untuk mencegah cedera.
33

Pengobatan dengan radioaktif tidak memberi hasil karena adenokarsinoma papiller pada
umumnya tidak menyerap yodium. Pascatiroidektomi total ternyata yodium dapat ditangkap
oleh sel anak sebar tumor papiller tertentu sehingga pemberian pada keadaan itu yodium
radioaktif bermanfaat. Radiasi ekstern dapat diberikan bila tidak terdapat fasilitas radiasi
intern. Metastasis ditanggulangi secara ablasio radioaktif.
2. Adenokarsinoma Folikuler
Pembedahan untuk adenokarsinoma folikuler adalah tiroidektomi total. Karena sel karsinoma
ini menangkap yodium, maka radioterapi dengan Y 131 dapat digunakan. Bila masih tersisa
ataupun terdapat metastasis, maka dilakukan pemberian yodium radioaktif ini.
Radiasi ekstern untuk metastasis ternyata memberi hasil yang cukup baik.
3. Adenokarsinima Meduler
Penanggulangan tumor ini adalah tiroidektomi total. Pemberian radioterapi tidak memuaskan.
Pemberian yodium radioaktif juga tidak akan berhasil karena tumor ini berasal dari sel C
sehingga tidak menangkap dan menyerap yodium.
4. Adenokarsinoma Anaplastik
Pembedahan biasanya sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga hanya dapat dilakukan
biopsi insisi untuk mengetahui jenis karsinoma. Satu satunya terapi yang bisa diberikan
adalah radiasi ekstern.
Prognosis
Untuk prognosis dari karsinoma tiroid ini, maka dapat dikatakan bahwa Adenokarsinoma
Papiller mempunyai prognosis yang bagus jika dibandingkan dengan tipe yang lainnya,
sedangkan untuk Adenokarsinoma Anaplastik mempunya prognosis yang buruk jika
dibanding denga tipe adenokarsinoma tiroid yang lainnya. Dan untuk adenokarsinoma
folikuler mempunyai prognosis bagus jika tipenya mikroinvasif.
Komplikasi
Karena untuk adenokarsimona tiroid ini ditangani sebagian besar dengan tiroidektomi total
maka ada beberapa komplikasi dari tindakan tersebut, yang antara lain :
34

a. Durante Operasi
Perdarahan
Krisis tiroid
Cedera nervus, trakea dan esofagus
Pratiroid terangkat

b. Pasca operasi
Hematoma
Tracheomalacia
Hipokalsemia
Suara parau/ hilang
Tersedak

c. Karsinoma Laring
Definisi
Karsinoma laring merupakan keganasan pada pita suara, kotak suara (laring) atau daerah
lainnya di tenggorokan.
Epidemiologi
Karsinoma laring jarang ditemukan pada wanita, rasio antara laki-laki dan wanita 'oleh
beberapa peneliti disebutkan sebesar 1015 : 1. Data terakhir rasio ini memperlihatkan
kecenderungan peningkatan jumlah kasus penderita wanita. Usia penderita umumnya telah
menginjak usia tua antara 45-75 tahun.
Penelitian epidemiologik tumor ganas laring memperlihatkan beberapa faktor yang diduga
berhubungan langsung atau tidak langsung dengan timbulnya keganasan, tersebut. Banyak
bahan tertentu yang terdapat di lingkungan kita yang mempunyai sifat karsinogen atau
pencetus aktivitas karsinogen.
35

Rokok sigaret sering diasumsikan mempunyai peranan penting dalam timbulnya karsinoma
laring, meskipun masih perlu dipertimbangkan faktor lain 'yang dapat bekerja sama dalam
proses timbulnya tumor ganas.

Etiologi dan Patogenesis
Etiologi karsinoma laring sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, tetapi para ahli
menghubungkannya dengan bahan asing yang mengakibatkan iritasi kronis pada laring,
sehingga dengan kemajuan industri dan perubahan kebiasaan mungkin insidensinya akan
meningkat.
Bahan "agent" karsinogen/prekarsinogen larings.
Agent Ditemukan di / dalam
Asbes
Etanol
Gas mustard
Nikel
Polisiklik hidrokarbon
Tembakau, nitrosamin
Minyak, bahan kimia (hidrokarbon,
vinyl, benzen dan sebagainya).
lingkungan, produk pabrik, tambang
diet
produk pabrik
produk pabrik, tambang
lingkungan, produk pabrik
rokok
produk pabrik

Di dalam asap rokok sigaret terkandung suatu senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon yang
merupakan bahan bersifat prekarsinogen. Sedang di dalam tubuh manusia terdapat sistem
ensim arilhidrokarbonhidroksilase yang mampu mengubah bahan prekarsinogen (polisiklik
aromatik hidrokarbon) menjadi karsinogen. Makin tinggi kadar kandungan AHH di dalam
tubuh seseorang, makin tinggi pula risiko untuk menderita karsinoma laring.
36

Gejala klinis
Gejala awal yang memaksa penderita datang berobat umumnya karena perubahan suara
serak. Dokter yang memeriksa pertama kali biasanya menghubungkannya dengan penyakit
infeksi tuberkulosa laring' . Suara serak menunjukkan adanya gangguan mekanisme getar pita
suara karena adanya penambahan masa laring, kerusakan atau kelumpuhan. Hal ini dapat
terjadi' pada semua tingkat usia. Suara serak , akibat penambahan massa dapat terjadi pada.
radang atau trauma yang menyebabkan edema laring. Penambahan massa oleh tumor
disebabkan oleh perubahan struktur histologis secara bertahap. Oleh karena itu' akan mudah
dibedakan kelainan suara serak secara akut dan disebabkan karena trauma, radang akut atau
benda asing, sedangkan kelainan yang berlangsung kronis mungkin disebabkan radang kronis
atau tumor. Pada tumor laring suara serak dimulai dengan gejala hilang timbul yang berjalan
progresif dan akhirnya menetap. Biasanya gejala dini berupa suara serak pada pagi hari tanpa
disertai gejala batuk. Bilamana disertai batuk umumnya berupa batuk kering non produktif2 .
Karsinoma laring berdasarkan lokasi anatomis dibedakan atas karsinoma laring supraglotis,
glotis dan subglotis. Karsinoma laring glotis dan subglotis akan menimbulkan gejala suara
serak, sedangkan karsinoma laring supraglotis pada keadaan awal tidak memberikan
gangguan suara penderita2.
Penatalaksanaan
Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu pembedahan, radiasi dan
sitostatika, ataupun kombinasi daripadanya.
I. Pembedahan
Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari :
A. Laringektomi
1. Laringektomi parsial
Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang tidak
memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II.
2. Laringektomi total
37

Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas (epiglotis dan os
hioid) sampai batas bawah cincin trakea.
B. Diseksi leher radikal
Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 T2) karena kemungkinan metastase ke
kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumor supraglotis, subglotis dan tumor glotis
stadium lanjut sering kali mengadakan metastase ke kelenjar limfe leher sehingga perlu
dilakukan tindakan diseksi leher.
Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.
II. Radioterapi
Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1 dan
T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan dengan cara
ini adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang
dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai dosis total 6000 7000 rad.
Radioterapi dengan dosis menengah telah pula dilakukan oleh Ogura, Som,
Wang, dkk, untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk memperoleh
kerusakan maksimal dari tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan
pada jaringan yang melapisinya. Wang dan Schulz memberikan 45005000 rad
selama 46 minggu diikuti dengan laringektomi total.
III. Kemoterapi
Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun
paliativ. Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80120 mg/m2
dan 5 FU 8001000 mg/m2.
Rehabilitasi
Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa
tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik.
rehabilitasi mencakup : Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social
Rehabilitation.
38

Prognosa
Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan
kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada karsinoma
laring stadium I 90 98% stadium II 75 85%, stadium III 60 70% dan stadium
IV 40 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan menurunkan 5 year
survival rate sebesar 50%.

d. Limfoma Maligna
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui,
tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya Epstein-Barr virus yang ditemukan pada limfoma
Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma pada kelompok penderita AIDS
pengidap virus HIV, tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini
disebabkan oleh virus. Awal pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan
limfatik sekunder (seperti kelenjar limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran
ke sumsum tulang dan jaringan lain (de Jong, 2011).
Limfoma dibedakan atas dasar histopatologi mikroskopik dari kelenjar limfe yang terlibat.
Penggolongan tersebut terdiri dari Limfoma Hodgkin dan Non Hodgkin. Walaupun tanda dan
gejala limfoma saling menutupi, pengobatan dan prognosis berbagai limfoma saling
menutupi, pengobatan dan prognosis berbagai limfoma tetap berlainan. Dengan demikian
adalah suatu keharusan untuk menegakkan diagnosis secara tepat. Untuk tujuan ini, diambil
sebuah kelenjar limfe atau lebih untuk diperiksa secara mikroskopis. Limfoma dibedakan
menurut jenis sel yang mencolok yang terdapat pada kelenjar limfe. Umumnya, prognosis
yang lebih baik dihubungkan dengan distribusi nodular dimana terdapat limfosit yang
menonjol. Untuk mengenali asal neoplastik baik sebagai limfosit B ataupun sebagai limfosit
T, dilakukan pemeriksaan imunologis dan sitokimiawi (de Jong, 2011).
Salah satu determinan utama dari pengobatan maupun prognosis adalah stadium klinik
penderita waktu diagnosis itu dibuat. Setelah diagnosis jaringan ditegakkan, harus dilakukan
penggolongan meurut stadiumnya. Ini biasanya berupa : (de Jong, 2011).
39

1. Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada system limfatik (kelenjar limfe, hati
dan limpa)
2. Hitung sel darah rutin, pemeriksaan diferensiasi dan hitung trombosit
3. Pemeriksaan kimiawi darah (fungsi ginjal dan hati; asam urat)
4. Pembuatan radiogram dada untuk melihat adanya adenopati di hillus (pembesaran
kelenjar limfe bronkial)
5. CT Scan dada, abdomen dan pelvis
6. Limfangiogram bipedal untuk memeriksa adanya keterlibatan kelenjar retroperitoneal
dan iliaka.
7. Scan tulang jika ada nyeri tekan pada tulang
Biopsi sumsum tulang bilateral merupakan indikasi bagi penderita yang disertai gejala
sistemik atau pada stadium III. Pada keadaan dimana sumsum tulang tidak terlibat, biasanya
dilakukan laparatomi dengan splenektomi dan biopsi hati untuk mendapatkan diagnosis
akurat pada penderita penyakit Hodgkin. Tindakan ini tidak rutin dilakukan pada penderita
limfoma non-hodgkin.
Limfoma Non-Hodgkin
Limfoma non hodgkin merupakan salah satu jenis limfoma maligna atau keganasan sel
limfoid. Keganasan ini dapat berasal dari sel limfosit B, Limfosit T atau berasal dari sel
Natural Killer. Limfoma Non Hodgkin yang berasal dari Limfosit B adalah yang paling
sering (85 %) sedangkan yang berasal dari Limfosit T dan NK berjumlah 15 %. Kemajuan
ilmu pengetahuan dalam bidang imunologi dan fisiologi limfosit, seperti membedakan
limfosit dalam jenis sel B atau sel T memberikan klasifikasi yang lebih pasti dari limfoma
non Hodgkin. Secara garis besar berdasarkan gradenya Limfoma Non Hodgkin dibedakan
atas low-grade, intermediategrade dan high-grade (de Jong, 2011).


40

Etiologi
a) Translokasi kromosom memegang peranan penting penyebab terjadinya limfoma
maligna.
b) Virus antara lain Epstein-Barr Virus (EBV), Human T-cell leukemia virus type 1
(HTLV-1), Hepatitis C virus (HCV) dan Kaposi sarcomaassociated herpesvirus
(KSHV).
c) Faktor lingkungan antara lain akibat zat kimia (pestisida, herbisida), kemoterapi dan
radiasi.
d) Inflamasi kronik seperti Sjgren syndrome dan Hashimoto thyroiditis
e) Infeksi Helycobacter pylori
Epidemiologi
Median umur penderita limfoma non hodgkin adalah usia > 50 tahun kecuali untuk jenis
Limfoma Non Hodgkin yang high-grade utamanya terjadi pada anak-anak dan usia dewasa
muda. Low-grade limfoma insidensnya dalam masyarakat sekitar 37 % dengan usia diantara
35-64 tahun
Gejala klinik
Berdasarkan gradenya manifestasi klinik yang timbul pada penderita Limfoma ini antara lain
sebagai berikut :
Low-grade lymphomas
o Limfadenopati difus tanpa rasa sakit dan dapat menyerang satu atau seluruh
kelenjar limfe perifer
o Regresi spontan kelenjar limfe yang membesar
o Gejala konstitusional berupa demam (>38C), penurunan berat badan,
berkeringat pada malam hari
41

o Apabila menginfiltrasi atau menginvasi sumsum tulang belakang akan
menyebabkan cytopenia.
o Lemah dan lesu
Intermediate-grade lymphomas & High-grade lymphomas
o Adenopathy
o Gejala konstitusional
o Lymphoblastic lymphoma, high-grade lymphoma, menunjukkan adanya
massa mediastinum anterior dan posterior
o Pasien dengan limfoma burkitt menunjukkan adanya massa abdomen yang
besar dan adanya gejala obstruksi dari saluran pencernaan
o Hidronefrosis obstruksi terjadi pada penderita limfoma burkitt akibat
obstruksi dari ureter
o Gejala-gejala lain pada saluran pencernaan, kulit, tulang, traktus urinarius,
tiroid dan susunan saraf pusat
Pemeriksaan tambahan
a. Fisik
Low-grade lymphomas
o Adenopathy perifeer
o Splenomegali
o Hepatomegali
Intermediate- and high-grade lymphomas
o Limphadenopathi
o Splenomegali
42

o Hepatomegali
o Massa abdomen yang besar.
o Massa testis
o Lesi pada kulit berupa lesi yang berhubungan dengan limfoma sel T kutaneus
(mycosis fungoides), anaplastic large cell lymphoma, dan angioimmunoblastic
lymphoma
o Foto dada menunjukkan massa mediastinum bulky, yang berhubungan dengan
primary mediastinal large B-cell lymphoma atau lymphoblastic lymphoma
b. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin menunjukkan :
o Anemia akibat autoimun hemolysis, perdarahan dan akibat inflamasi kronik.
o Trombositopenia, leucopenia hingga pansitopenia akibat infiltrasi pada
sumsum tulang.
o Lymphositosis dan trombositosis
Peningkatan kadar Laktat Dehirogenase (LDH) dan gangguan fungsi
hati
Peningkatan beta 2-mikroglobulin
Penatalaksanaan
Terapi pada limfoma milignat non hodkin diberikan berdasarkan staging :
a. Stage Ia, Ib, IIa : Radioterapi
b. Stage IIb dan seterusnya : Kemoterapi
Karena pada Limfoma Non Hodkin dibagi atas tipe low grade dan high grade maka terapinya
juga berdasarkan grade tersebut.
Low Grade
43

Regimen CVP
- Cyclopospamid
- Vincristin
- Prednison
Fludarabin
Rituximad
High Grade
Regimen CHOP
- Cyclopospamid
- Doxorubicin
- Vincristin
- Prednison
Regimen CHOP + Rituximad
Transplantasi stem sel autolog
Prognosis
Faktor prognosis buruk :
Usia > 60 tahun
Kadar Laktik Dehidrogenase meningkat
Stage III/IV
Tampilan klinis atau performance status jelek
Untuk limfoma high grade prognosisnya tergantung respon terhadap kemoterapi

44

Limfoma Hodgkin
Definisi
Limfoma hodgkin adalah suatu penyakit keganasan yang melibatkan kelenjar getah bening
yang ditandai dengan adanya sel Reed Stenberg.
Etiologi
Penyebabnya belum diketahui, tetapi bukti menunjukkan adanya hubungan dengan virus
seperti virus Ebstein Barr. Pada pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan DNA virus
ebstein barr pada sel Reed Stenberg. Penyakit Hodgkin bia muncul pada berbagai usia, jarang
ditemukan pada usia dibawah 10 tahun, ditemukan pada usia 20-40 tahun, dan diatas 60
tahun.
Gejala Klinis
Penyakit Hodgkin biasanya ditemukan jika seseorang mengalami pembesaran kelenjar getah
bening yang tidak nyeri, paling sering di leher,tapi kadang-kadang penyebarannya sistemik.
Walaupun biasanya tidak nyeri, pembesaran tersebut bisa menimbulkan nyeri dalam beberapa
jam setelah penderita meminum alkohol dalam jumlah yang banyak.
Gejala lainnya adalah symtom B yaitu demam, keringat malam, dan penurunan berat badan.
Beberapa penderita mengalami demam Pel- Ebstein dimana suhu tubuh meninggi selama
beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama beberapa hari
atau beberapa minggu.
Stadium Limfoma Hodgkin
Stadium Penebaran Penyakit
I Mengenai kelenjar getah bening pada satu bagian tubuh
II Mengenai dua atau lebih kelenjar getah bening pada sisi yang sama
III Mengenai kelenjar getah bening diatas dan dibawah diafragma
IV Mengenai kelenjar getah bening di bagian tubuh lainnya misalnya sum
45

sum tulang, paru paru, hati

Keempat stadium dikelompokkan lagi menjadi A (tidak adanya) atau B (adanya) salah satu
atau lebih dari gejala berikut :
1. Demam dengan suhu 37,8 C
2. Keringat malam
3. Penurunan berat badan
Diagnosis
Pada penyakit hodgkin kelenjar getah bening membesar dan tidak menimbulkan nyeri, tanpa
adanya infeksi, jika pembesaran ini berlangsung lebih ari 1 minggu maka dapat dicurigai
penyakit Hodgkin, terutama jika demam, berkeringat malam dan disertai penurunan berat
badan.
Untuk mengetahui secara pasti penyakit Hodgkin dilakukan biopsi kelenjar getah bening
yang hasilnya positif jika ditemukan sel Reed Stenberg.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengetahui stadium dari limfoma Hodgkindapat dilakukan pemeriksaan :
1. Rontgen dada
2. Limfangiogram
3. CT scann
4. Skenning galium
5. Laparatomi
Penatalaksanaan
Dua jenis pengobatan limfoma Hodgkin yang efektif adalah dengan radioterapi dan
kemoterapi. Terapi penyinaran menyembuhkan 90 % Hodgkin stadium I dan II. Pengobatan
46

dilakukan 4-5 minggu. Pengobatan ditujukan pada kelenjar getah bening yang terkena dan
sekitarnya. Untuk stadium III dengan gejala dilakukan radioterapi sedangkan yang tanpa
gejala dilakukan kemoterapi dengan atau tanpa radioterapi. Pada stadium IV dilakukan
kombinasi dengan obat obat kemoterapi.
Prognosis
Stadium I lebih dari 90 %
Stadium II 90 %
Stadium III 80 %
Stadium IV 60-70 %

IV. Kelainan Lain
a. Struma
Definisi
Struma atau Goiter atau gondok adalah suatu keadaan pembesaran kelenjar tiroid apapun
sebabnya. Pembesaran dapat bersifat difus yang berarti bahwa seluruh kelenjar tiroid
membesar, atau nodusa yang berarti bahwa terdapat nodul dalam kelenjar tiroid. Pembesaran
nodusa dapat dibagi lagi menjadi uninodusa, bila hanya terdapat satu nodul dan multinodular
bila terdaapt lebih dari satu nodul pada satu obus atau dua lobus.
Epidemiologi
1.) Penyakit Graves
Definisi
Penyakit Graves disebut juga penyakit Basedow jika dijumpai trias Basedow yaitu adanya
struma tiroid difus, hipertiroidisme dan eksoftalmus yang merupakan hipertiroidisme yang
sering dijumpai. Penyakit ini sering ditemui pada orang muda. Secara klinis sering dijumpai
adanya pembesaran kelenjar tiroid.
47

Walaupun etiloginya belum diketahui dengan pasti, tampaknya ada peranan suatu antibodi
yang dapat ditangkap oleh reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan
hormon tiroid. Penyakit ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radioaktif oleh
kelenjar tiroid.
Etiologi dan Patogenesis
Goiter dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
- Kekurangan yodium akibat autoregulasi kelenjar tiroid
- Stimulasi oleh TSH karena rendahnya kadar hormon tiroksin dalam darah
- Masuknya bahan goitrogenik yang terkandung dalam makanan, air, obat dan rokok
yang mengganggu masuknya yodium ke dalam sel folikuler kelenjar tiroid
- Adanya kelenjar kongenital yang emnimbulkan gangguan sistem hormon tiroid
- Terjadi kelebihan yodium, sehingga proses iodinasi dalam kelenjar tiroid menjadi
terhambat
Gambaran klinis
Gejala dan tanda dari penyakit ini merupakan manifestasi peningkatan metabolisme di semua
sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas. Peningkatan metabolisme
menyebabkan meningkatnya kebutuhan kalori sehingga berat badan menurun drastis bila
asupan kalori tidak tercukupi.
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovascular terlihat dalam bentuk peningkatan
sirkulasi darah, antara lain meningkatnya curah jantung sampai dua-tiga kali normal, yang
juga terjadi pada keadaaan istirahat. Irama nadi naik dan denyut nadi bertambah sehingga
menjadi pulsus seler, penderita akan mengalami takikardia dan palpitasi. Beban miokard dan
rangsangan saraf autono dapat mengacaukan irama jantung, berupa ekstrasistol, fibrilasi
atrium dan fibrilasi ventrikel.
Terjadi peningkatan sekresi maupun peristaltis saluran cerna sehingga sering timbul
polidefekasi dan diare.
48

Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, susah tidur, dan sering
terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi, kegelisahan,
kekacauan pikiran dan ketakutan tidak beralasan.
Pada saluran nafas, hipermetabolisme menimbulkan dispneu dan takipnea yang tidak terlalu
mengganggu. Kelemahan otot, terutama otot bagian proksimal, biasanya cukup mengganggu
dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan elektrolit yang dipacu
oleh hipertiroidisme. Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metroragia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap reseptor
terhadap jaringan ikat dan otot ekstrabulbi di dalam rongga mata. Jaringan ikat dengan
jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong keluar dan otot mata
terjepit. Akibatnya, terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan rusaknya bola mata akibat
keratitis. Gangguan faal bola mata menyebabkan strabismus.
Penatalaksanaan
Terapi penyakit Graves ditujukan dalam pengendalian keadaan tirotoksikosis/hipertiroidisme
dengan anti tiroid, seperti propiltiourasil (PTU) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih
antara pengobatan antitiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radioaktif, atau
tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid pada keadaan hipertiroidisme dilakukan terutama
jika terapi medikamentosa gagal dan ukuran tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya
memberikan kesembhan yang permanen meskipun kadang dijumpai adanya hipotiroidisme
dan kompliksai yang minimal.
2.) Struma Nodosa
Definisi
Struma nodosa merupakan pembesaran kelenjar tiroid dimana terdapat nodul di dalamnya.
Struma nodosa ini biasanya merupakan struma endemik atau struma adenomatosa yang
terutama ditemukan di daerah pegunungan yang airnya kurang mengandung yodium. Di luar
daerah endemik, struma nodosa dijumpai pada keluarga tertentu. Etioogi umumnya
multifaktor. Biasanya tiroid membesar pada usia muda. Awalnya difus, dan berkembang
menjadi multinodular.
49

Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita usia lanjut, dan perubahan yang terdapat
pada kelenjar berupa kombinasi bagian yang hiperplasia dan bagian yang berinvolusi. Pada
awalnya, sebagian struma multinododsa dapat dihambat pertumbuhannya dengan pemberian
hormon tiroksin.
Biasanya, penderita struma nodosa tidak mempunyai keluhan karena tidak mengalami hipo-
atau hipertiroidisme. Nodul dapat tunggal, tetapi kebanyakan berkembang/berubah menjadi
multinoduler tanpa perubahan fungsi. Degeneraasi jaringan menyebabkan terbentuknya kista
atau adenoma. Karena pertumbuhan terjadi secara perlahan, struma dapat membesar tanpa
memberikan gejala selain adanya benjolan di leher, yang dikeluhkan terutama atas alasan
kosmetik. Ebagian besar penderita struma nodosa dapat hidup dengan struma tanpa keluhan.
Walaupun sebagian besar struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena
pertumbuhannya ke arah lateral atau anterior, sebagian lain dapat menekan trakea jika
pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral dapat terlihat melalui foto roentgen polos
leher sabagai trakea pedang. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan
trakea ke arah kontralateral tanpa menimbulkan gangguan akibat obstruksi pernafasan.
Penyempitan yang hebat dapat menyebabkan gangguan pernafasan dengan gejala stridor
inspiratoar.
Secara umum, struma adenomatosa benigna, walaupun besar, tidak menyebabkan gangguan
neurologik, muskuloskeletak, vaskular, atau respirasi, atau menyebabkan gangguan menelan
akibat tekanan atau dorongan.
Gambaran klinis
Keluhan yang sering timbul ialah rasa berat di leher, adanya benjolan yang bergerak naik
turun waktu menelan, dan alasan kosmetik. Jarang terjadi hipertiroidisme pada struma
adenomatosa. Sekitar 5% struma nodosa mengalami degenerasi maligna. Berbagai tanda
keganasan yang dapat dievaluasi meliputi perubahan bentuk, pertumbuhan (lebih cepat), dan
tanda infiltrasi pada kulit dan jaringan sekitar, serta fiksasi dengan jaringan sekitar. Dapat
terjadi penekanan atau infiltrasi ke nervus rekurens (perubahan suara), trakea (dispnea), atau
esofagus(disfagia). Adanya nodul tunggal harus tetap mendapat perhatian karena dapat
merupakan nodul koloid, kistik, adenoma tiroid, dan atau suatu karsinoma tiroid. Nodul
maligna sering ditemukan terutama pada pria usia muda dan usia lanjut.
50

Struma dapat meluas sampai ke mediatinum anterior superior, terutama pada bentuk nodulus
yang disebut struma retrosternum. Umumnya struma retrosternum ini tidak turun naik pada
gerakan menelan karena apertura toraks terlalu sempit. Sering kali, struma ini berlangsung
lama dan bersifat asimtomatik, sampai terjadi penekanan pada organ atau struktur sekitar.
Penekanan ini akan memberikan gejala dan tanda penekanan trakea atau esofagus. Diagnosis
ditentukan dengan foto roentgen toraks atau pemeriksaan yodium radioaktif.
Penatalaksanaan
Struma nodosa yang berlangsung lama biasanya tidak dapat lagi dipengaruhi oleh pengobatan
supresi hormon tiroid atau pemberian hormon tiroid. Penanganan struma lama adalah dengan
tiroidektomi subtotal atas indikasi yang tepat.
Pembedahan struma retrosternum dapat dilakukan melalui insisi di leher dan tidak
mmerlukan torakotomi karena perdarahan berpangkal pada pembuuh darah leher. Jika
letaknya di dorsal arteri subklavia, pembedahan dilakukan dengan cara torakotomi.
Indikasi tindakan pembedahan struma nodosa non-toksik, sebagai berikut :
- Kosmetik (tiroidektomi subtotal)
- Eksisi nodulus tunggal (yang mungkin ganas)
- Struma multinodular yang berat
- Struma yang menyebabkan kompresi laring atau struktur leher lain
- Struma retrosternum yang menyebabkan kompresi trakea atau struktur lain






51

BAB III
RINGKASAN


52



Pada umumnya, penatalaksanaan adanya benjolan di leher adalah pembedahan. Namun,
pembedahan dapat dilakukan jika memenuhi indikasi yang ada pada tiap penyakit atau jenis
dari benjolan. Tata laksana konseravtif dapat diberikan sebelum dan atau sesudah
pembedahan, tergantung macam dari pembedahan, begitu pula prognosisnya.




53

Daftar Pustaka
Soepardi EA, Iskandar N. Sistem aliran limfe leher dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Leher. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2001. p.
137-42
Adams GL, Boies LR, Higler PA. Anamnesis dan Pemeriksaan Kepala dan Leher dalam
Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC; 1997. p. 3,23
Luhulima, JW. Collum dalam Anatomi Head and Neck. Makassar: Fakultas Kedokteran UH;
2002. p. 35-5, 42-3
Pabst R, Putz R. Atlas Anatomi Manusia Sobbota. Jakarta: EGC; 2002.
Sjamsuhidayat R, de Jong W. Leher dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta: EGC;
2011.
Alford BR. Core Curriculum Syllabus: Review of Antomy-The Neck. [Online].[cited 2007
Nov 7]; Available from: http//www.bcm.edu/oto/studs/anat/neck.html
Cummings CW, Frederickson JM, Harker LA, Krause CJ, Schuller DE. Surgical Anatomy
dalam Otolaryngology-Head And Neck Surgery. 2
nd
ed. Maryland: Elseiver Mosby; 2000. p.
1531
Sudoyo AR, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
4
th
ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departeman Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI;
2006. p. 32-3
Snell RS. Kepala dan Leher dalam Anatomi Klinik. 3
rd
ed. Jakarta: EGC; 1991. p 43-5
Thompson J. Head and Neck Exam dalam A Practical Guide to Clinical Medicine. [Online].
2006 Agust 30 [cited 2007 Nov 7]; Available from:
http//medicine.ucsd.edu/clinicalmed/head.html
Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Pembengkakan
Kelenjar Limfe dan Limpa dalam Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. 13
th
ed.
Jakarta: EGC; 1999. p. 369-72
54

Anonymous. This animation shows the flow of lymph through a lymph node [Online]. 1999
May 01 [cited 2007 Nov 7]; Available from: http//www.jdaross.cwc.net-lymphnode.html
Delp MH, Manning RT. Pemeriksaan Kepala dan Leher dalam Major Diagnosis Fisik. 9
th
ed.
Jakarta: EGC; 1999.
Medscape. Head and Neck diagnostic Procedures. [Online]. 2006 [cited 2007 Nov 12];
Available from: http// www.medscape.com/viewarticle/521712/8.html
Kuhuwael F. Penuntun Pembelajaran Keterampilan Palpasi Kelenjar Limfe Leher dalam
Buku Panduan Kerja Keterampilan Klinik Pemeriksaan Palpasi Kelenjar limfe. Makassar:
Fakultas Kedokteran UH; 2006.
Beissert M, Jenett M, Wetzler T, Hinterseher I, Kessler C, Hahn D. Enlarged Lymph Nodes
of the Neck: Evaluation with Parallel Extended Field-of-View Sonographic Sequences.
[Online]. 2000 [cited 2007 Nov 14]; Available from: http//
www.jultrasoundmed.org/cgi/reprint/19/3/195.pdf
Aru Sudoyo dkk. 2006. Buku Ajar I lmu Penyakit Dalam J ilid 2 Edisi I V. Jakarta: IPD Press
Efiaty Arsyad dkk. 2007. Buku Ajar THT Edisi 6. Jakarta: UI Press
http://www.emedicine.medscape.com/oncology/ diakses pada pukul 7.30 22 December 2009
Theopilus B. dkk. 2008. Buku Ajar Anatomi Umum. Makassar: Bagian Anatomi FK Unhas
Wan Desen. 2008. Buku Ajar Onkologi. Jakarta: UI Press

Anda mungkin juga menyukai