Anda di halaman 1dari 5

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Pengantar
Pembicaraan mengenai mertofologi bahasa Indonesia sebenarnya telah banyak dilakukan
orang, baik dalam sebuah buku yang lebih luas, yaitu buku tata bahasa; baik yang bersifat preskriptif
maupun yang katanya bersifat deskriptif. Namun, buku-buku itu belum dapat menjawab pertanyaan
pertanyaan seperti:
1) Mengapa prefiks ber- dapat diimbuhkan, misalnya pada akar henti, sedangkan prefiks me-
tidak dapat? Secara actual kata berhenti berterima, sedangkan kata *menghenti tidak dapat
berhenti.
2) Mengapa prefiks ber-misalnya tidak dapat diimbuhkan pada akar tari sedangkan prefiks me-
dapat? Secara actual bentuk *berarti tidak berterima, sedangkan bentuk menari berterima.
3) Mengapa prefiks ber- meupun perefiks me- sama-sama dapat diimbuhkan misalnya pada
akar latih? Secara aktual kata berlatih dan melatih sama-sama berterima.
4) Mengapa baik prefiks ber- maupun prefiks me- sama-sama tidak dapat diimbuhkan, misalnya
pada akar mandi? Secara aktual kata *bermandi dan *memandi sama-sama tidak berterima.
5) Mengapa afiks gabungan memper-kan dapat diimbuhkan misalnya, pada akar tahun, tetapi
tidak dapt diimbhkan misalnya pada akar panjang? Secara aktual, kata mempertahankan
berterima sedangkan kata *memperpanjangkan tidak berterima.
Pertanyaan-pertanyaan ketatabahasaan itu mengenai penggunaan afiks, di dalam buku-buku
tata bahasa yang ada, jangankan memberi arah untuk menjawabnya, terpikirkan pun kiranya tidak.
Buku-buku tata bahasa yang ada, baik yang tradisional, yang sturuktural, dan yang lainnya biasanya
hanya mendeskripsikan keteraturan keteraturan ketata bahasaan yang ada, dan tidak menjelaskan
mengapa keteraturan-keteraturan itu terjadi. Oleh karena itu, hasil analisis yang dilakukan belum
dapat diguakan untuk membuat suatu prediksi (ramalan ilmiah), padahal salah satu tugas ilmu
adalah membuat suatu prediksi. Oleh karena itu juga, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapt
atau belum dapat dijawab.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu bagi kita sebagai bahasawan bahasa Indonesia memang
tidak pernah atau belum pernah mncul, tetapi bagai mereka yang bukan bahasawan Indonesia,
seperti para perwira asing yang menjadi siswa di sekolah bahasa Hankam, sering sekali muncul.
Tahun delapan puluhan sampai awal Sembilan puluhan ketika menjadi instruktur bahasa Indonesia
pada sekolah bahasa Hankam, saya banyak mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu; dan
pertanyaan-pertanyaan itu tidak mudah untuk dijawab, setidaknya dengan menggunakan hasil
analisis buku-buku tata bahasa yang ada.
Ketidak biasaan ahasil buku-buku tata bahasa yang ada untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti di atas adalah karena hasil analisis yang dilakukan hanya sampi pada
mendeskripsikan keteraturan-keteraturan yang tapak secara fisik (data ujaran). Belum sampai
mendeskripsikan ciri-ciri dalam, yakni komponen semantik, setiap akar atau dasar yang menjadi
dasar pembentukan sebuah kata. Padahal kita dapat melihat adanya hubungan antara komponen
semantic akar dengan makna gramatikal kata yang dibentuk dengan akar tersebut. Misalnya,
pengimbuhan prefiks ber-dengan akar sepeda memiliki komponen semantic [+ kendaraan]; dan
pengimbuhan prefiks ber- pada akar baju memberi makna gramatikal memakai akalah karena akar
baju iru memiliki komponen makna [+pakaian]; dan pengimbuhan prefiks ber-I pada akar debat
memberi makna gramatikal melakukan kegiatan karena akar debet memiliki komponen makna
[+kegiatan];
Dengan memperhatikan komponen semantik setiap akar, kiranya pertanyaan-pertanyan
ketatabahasaan seperti di atas dapt ditemukan jawabannya. Namun, sebelum itu, kiranya terlebih
dahulu perlu dibacarkan apa yang disebut morfologi, satuan-satuannya, proses-proses, dan model-
model atau teknik-teknik analisisnya.
1.2 Hakikat Mortofologi
Secara etimologi kata mortofologi berasal dari kata morf yang berarti bentuk dan kata logi
yang berarti ilmu jadi seara haarfiah kata morfologi berarti ilmu mengenai bentuk-bentuk dan
pembentukan kata; sedangkan di dalam kajian biologi mortofologi berarti ilmu mengenai bentuk-
bentuk sel-sel tumbuhan atau jasad-jasad hidup; memang selain bidang kajian linguistik, di dalam
kajian sama mengkaji tentang bentuk.
Kalau dikatakan morfologi memgicarakan masalah bentuk bentuk dan pembentukan kata,
maka semua satuan bentuk sebelum menjadi kata, yakni morfen dengan segala bentuk dan jenisnya,
perlu dibicarakan. Lalu, pembicaraan mengenai komponen atau unsur pembentukan kata itu, yaitu
morfem, baik morfem dasar maupun duplikasi ataupun pengulangan dalam pross pembentukan kata
melalui proses reduplikasi, penggabungan dalam proses pembentukan kata melalui proses
komposisi, dan sebagainya. jadi ujung dari proses porfologi adalah, terbentuknya kata dalam
pertukaran, maka bentuknya dapat dikatakan berterima; tetapi jika tidak sesuai dengan yang
diperlukan, maka bentuk itu dikatakan tidak berterima. Keberterimaan atau ketidakberterimaan
bentuk itu dapat juga karena alasan sosial. Namun, di sini, dalam kajian morfologi, alasan sosial itu
kita singkirkan dulu; yang kita perhatikan atau pedulikan adalah alasan gramatikal semata. Alasan
sosial masuk dalam kajian sosiologuistik (lihat chaer, 2004)

1.3 Morfologi dalam linguistik
Di dalam hierarki linguistik, kajian morfologi berada di antara kajian fonologi dan sintaksis
seperti tampak pada bagian berikut
Wacana
Sintaksis
Morfologi
Fonologi

Sebagai kajian yang terletak di antara kajian fonologi dan sintaksis, maka kajian morfologi itu
mempunyai kaitan baik dengan fonologi maupun dengan sentaksis. Keterkaitannya dengan fonologi
jelas dengan adanya kajian yang desebut morfonologi atau morfofonemik yaitu ilmu yang mengkaji
terjadinya perubahan fonem akibat adanya proses morfologi, seperti munculnya fonem /y/ pada
dasar hari bila diberi sufiks-an
Hari + an [hariyan]
Atau pindahnya konsonan /b/ paa jawab apabila diberi sufiks-an
Jawab + an jawaban
Lalu keterkaitan antara morfologi dan sintaksias tampak dengan adanya kajian yang disebut
morfosintaksis ( dari gabungan kata morfologi dan sintaksis ). Keterkaitan ini karena adanya maslah
morfologi yang perlu dibicarakan bersama dengan masalah sintaksis. Misalnya, satuan bahasa yang
disebut kata, dalam kajian morfologi merupakan satuan terkecil dalam pembentukan kalimat atau
satuan sintaksis lainnya. Jadi, satuan bahasa yang disebut kata itu menjadi objek dalam kajiab
sintaksis. Dalam bagan berikut dapat dilihat kedudukan kata dalam keseluruhan objek kajian
linguistik.


Kajian


Kajian morfologi
Kaiian fonologi


Keterangan singkat

Wacana adalah satuan bahasa terbesar atau tertinggi, yang berisi satu satuan
ujaran yang lengkap dan utuh; dan dibangun oleh kalimat atau kalimat-kalimat
dihubungkan secara kohesi dan koheransi (kridalaksana, 0997).

Kalimat adalah satuan sintaksis yang di bangun oleh konstituen dasar (biasanya
berupa klausal), delengkapi dengan konjungsi (bila diperlukan), disertai dengan intonasi
final (deklaratif, interogatif,imperatif, atau interjektif).

Klausa adalah satuan sintaksis yang berinti adanya sebuah predikat dan adanya
fungsi lainnya. Maka sering sikatakan klausa adalah kontruksi yang bersifat predikatif.

Frase adalah satuan sintaksis berupa kelompok kata yang posisinya tidak melewati
batas fungsi sintaksis (subjek,predikat,objek, atau keterangan).

Kata adalah sintaksis merupakan satuan terkecil yang biasa dan dapat menduduki
salah satu fungsi sintaksis (subjek,predikat,objek atau keterangan); dalam morfologi
merupakan satuan terbesar dibentuk melalui salah satu proses morfologi
(afiksasi,reduplakasi,komposisi,akronimasasi, dan konversi).

Morfem adalah satuan grametikal terkecil yang bermakna (secara inheren).

Fenom adalah satuan bunyi terkecil (dalam kajian fonologi ang dapat membedakan
makna kata.

Fon adalah satuan bunyi bahasa yang dilihat tanpa memperhatikan statusnya
sebagai pembeda makna kata (dalam kajian fonetil).

1.4 morfologi dan ilmu kebahasaan lain

sebagai ilmu yang mengambil salah satu bagian dari kebahasaan, tentu saja morfplogi
mempunyai hubungan dengan ilmu kebahasaan linnya, seperti:
Wacana
Kalimat
Klausa
Frasa
Kata
Morfem
Fonem
Fon
1. Dengan leksikologi
Dari namanya jelas, bahwa morfologi ilmu tentang bentuk dan pembentukan kata,
sedangkan leksikologi adalah ilmu mengenai leksikom dan satuannya disebut leksem.
Morfologi lebih mengarah pada masa proses pembentukan kata; sedangkan leksikologi
lebih mengarah pada kata yang sudah jadi, baik berbentuk secara arbitrer, maupun yang
terbentuk sebagai hasil proses morfologi. Dalam hal semantik, kalau morfologi
membicarakan makna dramatikal, maka leksikologi membicarakan makna leksikal
dengan berbagai aspek dan masalahnya.
2. Dengan leksikolografi
Sebenarnya leksikolografi adalah kelanjutan kerja dari leksikologi dalam arti kalau hasil
kerja leksikologi di tuliskan, maka proses kerja penulisan adalah disebut leksikolografi;
dan hasilnya adalah sebuah kamus. Jelas, dalam proses penyusunan kamus bidang
morfologi ini memegang peranan penting. Sebagaimana besar proses penysunan kamus
mengurusi masalah bentuk dan pembentukan kata; dan yang sebagaian lagi adalah
berkenan dengan kerja penyusunan defenisi, atau penjelasan mengenai makna kata.
3. Dengan etimologi
Morfologi membicarakan proses pembentukan kata yang berlaku secara umum sebagai
suatu sistem berkaidah sedangkan etimologi membicarakan pembentukan atau
berbentuknya kata atau asal-usul yang tidak berkaidah, misalnya, kata sinonim berasal
dari bahasa yunani syn yang artinya dengan dan kata bahasa yunani onoma yang
berarti nama. Contoh lain kata sekatan (dalam bahasa jawa) berasal dari bahasa arab
Syahadatain (yaitu ucapan dua kalimat syahadat).
4. Dengan filologi
Morfiogi membicarakan proses pembentukan kata dari sebuah dasar melalui salah satu
proses morfologi sehingga terjadi kata sedangkan filologi membicarakan kata yang
terdapat dalam naskah dalam kaitannya dengan sejarah dan budaya.
1.5 objek kajian morfologi
objek kajian morfologi adalah satuan-satuan morfologi, proses-proses morfologi, dan alat-
alat dalam proses morfologi itu. Satuan morfologi adalah:
1) nasfem (akar atau afiks).
2) kata.
Lalu proses morfologi melibatkan komponen:
1) dasar (bentuk dasar).
2) Alat pembentuk (afiks, duplikasi, komposisi, akrominisasi, dan koepersi).
3) Makna gramatikal
Selima objek kajian itu akan dibicarakan pada bab atau sub bab yang akan datang; tetapi
sebagai pegang sementara akan dijelaskan sebagai berikut: morfem adalh satuan
gramatikal terkecil yang bermakna. Morfem ini dapat berupa akar (dasar) dan dapat pula
berupa afiks. Bedanya, akar dapat menjadi dasar dalam pembentukan kata, sedangkan
afiks tidak dapat; akar memiliki makna leksitif sedangkan afiks hanya
menjadipenyebab terjadi makna gramatikal. Kemudian kata adalah satuan gramatikal
yang terjadi sebagai hasil dalam proses morfologis. Dalam tataran morfologi, kata
merupakan satuan terbesar dan dalam tataran sintaksis merupakan satuan terkecil.
Secara bersendiri setiap kata memiliki makna leksikal dan dalam kedudukannya dalam
satuan ujaran memiliki makna gramatikal.
Dalam proses morfologi, dasar atau bentuk dasar merupakan bentuk yang mengalami
proses morfologi. Dasar ini dapat berupa bentuk kolimorfemis (bentuk berimbuhan,
bentuk ulang atau bentuk gabungan). Alat pembentuk kata dapat berupa afiks

Anda mungkin juga menyukai