A. Pendahuluan
Obligasi berasal dari bahasa Belanda yaitu Obligatie yang dalam bahasa Indonesia
disebut dengan obligasi yang berarti kontrak. Dalam Keppres No. 775/KMK 001/1982
disebutkan bahwa obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan hutang atas pinjaman
uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang-kurangnya tiga
tahun dengan menjanjikan imbalan bunga yang jumlah serta saat pembayarannya telah
ditentukan terlebih dahulu oleh emiten.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa obligasi adalah surat hutang yang
dikeluarkan oleh emiten (bisa berupa badan hukum atau perusahaan, bisa juga dari
pemerintah) yang memerlukan dana segar untuk kebutuhan operasional maupun ekspansi
dalam memajukan investasi yang di dalamnya terdapat pernyataan atau janji untuk membayar
kembali pokok hutang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo
pembayaran. Ketentuan lain dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya
identitas pemegang obligasi, pembatasan-pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan
oleh penerbit dan lain-lain.
Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-
instrumen yang mempunyai komponen bunga (interest-bearing instruments) keluar dari daftar
investasi halal. Karena itu, dimunculkanlah alternatif yang dinamakan obligasi syariah.
Menariknya, Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 32/DSN- MUI/IX/2002 memberikan
pertimbangan awal bahwa obligasi yang selama ini (konvensional) didefinisikan masih belum
sesuai dengan syariah. Merujuk kepada Fatwa tersebut, yang dimaksud dengan obligasi
syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang
dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil /margin /fee, serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Sedangkan menurut Heru Sudarsono, obligasi syariah bukan merupakan hutang
berbunga tetap sebagaimana yang terdapat dalam obligasi konvensional, tetapi lebih
merupakan penyerta dana yang didasarkan pada prinsip bagi hasil. Transaksinya bukan akad
hutang piutang melainkan penyertaan. Obligasi sejenis ini lazim dinamakan muqaradhah
bond atau mudharabah bond. Dalam bentuknya yang sederhana obligasi syariah diterbitkan
oleh sebuah perusahaan atau emiten sebagai pengelola (mudharib) dan dibeli oleh investor
(shahib maal).
Dalam Islam, istilah obligasi lebih dikenal dengan istilah sukuk yang memiliki arti
sama dengan sertifikat atau note. Mungkin penggunaan istilah "obligasi syariah" itu sendiri
awalnya dianggap kontradiktif. Sebab kata obligasi sudah menjadi kata yang tak lepas dari
bunga sehingga agak susah untuk di-syariah-kan. Yang perlu digaris bawahi disini, yang
dimaksud obligasi syariah adalah surat berharga jangka panjang bukan surat hutang jangka
panjang.
Obligasi Konvensional
Obligasi berasal dari bahasa Belanda, yaituobligatie yang dalam bahasa Indonesia
disebut sebagai obligasi yang berarti kontrak. Dalam Keputusan Presiden RI Nomor
775/KmK 001/19 disebut bahwa obligasi adalah jenis efek berupa surat pengakuan utang atas
pinjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu.
Dari pengertian diatas dapat kita ketahui bahwa obligasi adalah surat utang yang
dikeluarkan oleh emiten (bisa berupa badan hukum atau perusahaan, bisa juga dari
pemerintah) yang memerlukan dana untuk kebutuhan operasional maupun ekspansi dalam
mengajukan investasi yang mereka laksanakan.
Dilihat dari pihak yang mengeluarkan obligasi, maka obligasi dapat dikeluarkan oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau bisa
juga dikeluarkan oleh pihak swasta seperti (1) participative bonds, yakni pemilik obligasi
selain memperoleh bunga tetap, juga memperoleh bagian keuntungan yang dicapai
perusahaan (2) client bond, yakni obligasi yang diberikan kepada langganan perusahaan
dalam rangka mengembangkan pemilik efek kepada masyarakat (3) departure bond, yakni
obligasi yang tidak dijamin atau tanpa suatu jaminan.
Obligasi termasuk salah satu jenis efek namun, berbeda dengan saham yang
kepemilikannya menandakan pemilikan sebagian dari suatu perusahaan yang menerbitkan
saham obligasi menunjukan utang dari penerbitnya. Dengan demikian pemegang obligasi
memiliki hak dan kedudukan sebagai kreditor dari penerbit obligasi. Obligasi merupakan
instrumen utang jangka panjang, yang pada umumnya diterbitkan dalam jangka berkisat
antara sepuluh tahun lamanya.
Sejarah obligasi syariah
Secara terminoogi sukuk adalah sebuah kertas atau catatan yang padanya terdapat
perintah dari seorang untuk membayar uang dengan jumlah tertentu pada orang lain yang
namanya tertera pada kertas tersebut. Kata sukuk berasal dari bhasa persia yaitu jak, lalu
masuk dalam bahasa arab dengan nama shak. Goiten menyebutkan bahwa shak adalah
asalkata dari kata chek yang terdapat dalam bahasa inggris dimana ia pada dasarnya adalah
surat hutang. Kemudian surat hutang model ini bekembang di eropa. Sukuk sudah pakai
sebagai salah satu alat pembayaran sejak awal islam dimana jatah (santunan negara) atau gaji
para pegawai negara kadangkala dibayar dengan memakai kertas tersebut. Dalam sejarah
disebutkan bahwa khalifah Umar Ibn al- Khatab adalah khalifah pertama yang membuat shak
dengan membubuhkan setempel dibawah kertas shak tersebut.
Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian
mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong
Otoritas Moneter Bahrain (BMA Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam
sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian
Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan global corporate Sukuk di pasar keuangan Islam
internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan
di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal
tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan
nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over
subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar
global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih
banyak contoh lainnya.
Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan
baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar
sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam
pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer.
B. Bentuk-Bentuk Obligasi Syariah
Obligasi syariah dapat diterbitkan dengan menggunakan prinsip mudharabah,
musyarakah, ijarah, istisna, salam dan murabahah. Tetapi diantara prinsip-prinsip instrumen
obligasi tersebut yang paling banyak dipergunakan di Indonesia adalah obligasi dengan
insturmen prinsip mudharabah dan ijarah.
1. Obligasi Syariah Mudharabah
Obligasi syariah mudharabah sekarang ini telah memiliki pedoman khusus dengan
disahkannya Fatwa No: 33/DSN-MUI/ IX/2002. Disebutkan dalam fatwa tersebut, bahwa
obligasi syariah mudharabah adalah obligasi syariah yang menggunakan akad mudharabah.
Selain telah mempunyai pedoman khusus, terdapat beberapa alasan lain yang mendasari
pemilihan struktur mudharabah, di antaranya adalah:
a) Obligasi syariah mudharabah merupakan bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk
investasi dalam jumlah besar dan jangka waktu yang relatif panjang.
b) Obligasi syariah mudharabah dapat digunakan untuk pendanaan umum (general
financing), seperti pendanaan modal kerja ataupun capital expenditure.
c) Mudharabah merupakan percampuran kerjasama antara modal dan jasa (kegiatan
usaha), sehingga membuat strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan
(collateral) atas aset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan
dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas aset yang didanai.
d) Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur murabahah dan Bai bi-
thaman Ajil menjadi mudharabah dan ijarah.
Adapun ketentuan atau mekanisme obligasi syariah mudharabah adalah :
i. Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan.
ii. Rasio atau presentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen
pendapatan (revenue sharing) atau keuntungan (profit sharing). Namun berdasarkan
fatwa No. 15/DSN-MUI/IX/2000 bahwa yang lebih maslahat adalah penggunaan
revenue sharing.
iii. Nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara konstan, meningkat, ataupun menurun dengan
mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal
kontrak.
iv. Pendapatan bagi hasil merupakan jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi
hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi
syariah. Bagi hasil yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang
obligasi syariah dengan pendapatan / keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya
tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
v. Pembagian hasil pendapatan atau keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan,
semesteran, kwartalan, maupun bulanan).
vi. Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten,
maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.
Produk obligasi mudharabah juga dapat dikonversi menjadi saham setelah dalam
jangka waktu tertentu dengan persetujuan pemiliknya. Sehingga pemilik surat ini berubah
menjadi musyarrik muaqqat (mitra kerjasama kontemporer) bagi perusahaan.
Adapun ketentuan-ketentuan yang berlaku berkaitan dengan konversi obligasi
mudharabah menjadi saham adalah:
a) Wajib menjaga kaidah-kaidah yang ditetapkan untuk pertambahan modal sesuai dengan
undang-undang negara tempat perusahaan yang mengeluarkan obligasi.
b) Wajib menjaga keseimbangan keuangan dengan sumber-sumbernya, baik dari dalam
maupun dari luar.
c) Tanggal dan syarat-syarat konversi menjadi saham harus dijelaskan, serta jangka waktu
yang mana pemilik surat obligasi tersebut meminta untuk mengkonversikan ke dalam
saham.
d) Wajib menjelaskan kadar batas maksimal pengeluaran bagi saham yang baru jika ada.
e) Penjelasan tanggal pengembalian harga obligasi dalam kondisi tidak dikonversikan ke
dalam saham.
Contoh:
Sebagai contoh Berlian Laju Tanker telah menerbitkan Obligasi Mudharabah senilai Rp 100
miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja
perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatakan di BES ini memperoleh
keuntungan dari bagi hasil berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT
Gardini atau kapal lain yang beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah
setiap tahun sesuai pendapatan.
2. Obligasi I jarah
Obligasi Ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad ijarah. Akad ijarah adalah
suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Artinya, pemilik harta
memberikan hak untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan
sementara atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada
pemilik objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama. Dalam akad ijarah
disertai dengan adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.
Ketentuan akad ijarah sebagai berikut :
Objeknya dapat berupa barang maupun berupa jasa.
Manfaat dan nilai dari objek diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak.
Ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan.
Penyewa harus menjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap terjaga.
Pemberi sewa haruslah pemilik mutlak.
Secara teknis, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Investor dapat bertindak sebagai penyewa (mustajir). Sedangkan emiten dapat
bertindak sebagai wakil investor. Dan property owner, dapat bertindak sebagai orang
yang menyewakan (mujir). Dengan demikian, ada dua kali transaksi dalam hal ini;
transaksi pertama terjadi antara investor dengan emiten, dimana investor mewakilkan
dirinya kepada emiten dengan akad wakalah, untuk melakukan transaksi sewa menyewa
dengan akad ijarah. Selanjutnya, transaksi terjadi antara emiten (sebagai wakil investor)
dengan property owner (sebagai orang yang menyewakan) untuk melakukan transaksi
sewa menyewa (ijarah).
2. Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali objek
sewa tersebut kepada emiten. Atas dasar transaksi sewa menyewa tersebut, maka
diterbitkanlah surat berharga jangka panjang (Obligasi Syariah Ijarah), dimana atas
penerbitan obligasi tersebut, emiten wajib membayar pendapatan kepada investor
berupa fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Penerapan akad Ijarah secara praktis dapat kita lihat pada Matahari Departemen Store.
Perusahaan ritel ini mengeluarkan Obligasi Ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan
untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah, dimana Matahari bertindak sebagai
wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi).
Kemudian ruang usaha tersebut disewakan kepada Cilandak Town Square di Jakarta. Atas
manfaat penyewaan tersebut berarti Matahari harus melakukan pembayaran sewa (fee ijarah)
dan dana obligasi kepada pemiliknya (pemegang obligasi). Fee ijarah dibayarkan setiap tiga
bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi.
Contoh:
Penerapan akad Ijarah secara praktis dapat kita lihat pada Matahari Departemen
Store. Perusahaan ritel ini mengeluarkan Obligasi Ijarah senilai Rp 100 miliar.
Dananya digunakan untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah, dimana
Matahari bertindak sebagai wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari
pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa adalah Cilandak
Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari sesuai dengan
akad wakalah, dimana atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa
(fee ijarah) dan dana obligasi. Fee ijarah dibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan
dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi. Jangka waktu obligasi
tersebut selama lima tahun.
Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam
hal-hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh
pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas
dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.
Ringkasan perbandingan antara obligasi dan sukuk:
Konvensional Mudharabah Ijarah
Akad (Transaksi) Tidak Ada Mudharabah Ijarah (Sewa/Lease)
Sifat Surat Hutang Investasi Investasi
Harga Penawaran 100% 100% 100%
Saat Jatuh Tempo 100% 100% 100%
Kupon Bunga Bagi Hasil Imbalan/Fee
Return Float/Tetap Indikatif berdasarkan
Pendapatan
Ditentukan
sebelumnya
Fatwa DSN Tidak Ada No.33/DSN-MUI
/IX/2002
No:41/DSN-MUI
/III/2004
Jenis Investor Konvensional Syariah/Konvensional Syariah/Konvensional
3. Obligasi I stisna
Sukuk Istisna
Istisna adalah perjanjian kontrak untuk barang-barang industri yang memperbolehkan
pembayaran tunai dan pengiriman di masa depan atau pembayaran di masa
depan dan pengiriman di masa depan dari barang-barang yang dibuat berdasarkan kontrak
tertentu. Hal ini dapat digunakan untuk menghasilkan fasililtas pembiayaan pembuatan atau
pembangunan rumah, pabrik, proyek, jembatan, jalan, dan jalan tol. Disamping kontrak
istisna yang paralel dengan sub kontraktor, bank-bank Islam dapat melakukan pembangunan
aset tertentu dan menjualnya untuk harga yang ditunda, dan melakukan subkontrak
pembangunan aktual kepada perusahaan khusus.
Perkembangan Obligasi Syariah
Salah satu indikasi pertumbuhan dan perkembangan obligasi syariah pada akhir-akhir ini
dapat dilihat dari maraknya penawaran umum perdana obligasi syariah dengan akad Ijarah.
Sebagai gambaran bahwa sampai dengan akhir tahun 2003 hanya terdapat 6 (enam) emiten
yang menawarkan obligasi syariah di pasar modal Indonesia dengan total nilai emisi sebesar
Rp 740 Milyar, sedangkan pada tahun 2004 ada penambahan sebanyak 7 (tujuh) emiten baru
yang telah mendapatkan pernyataan efektif dari Bapepam. Dengan demikian, sampai dengan
akhir tahun 2004 secara kumulatif terdapat 13 (tiga belas) emiten yang menawarkan obligasi
syariah atau meningkat sebesar 116,67% jika dibandingkan dengan tahun 2003 yang hanya
ada 6 (enam) emiten obligasi.
Perkembangan selanjutnya adalah ditandai dengan meningkatnya nilai emisi obligasi syariah
di pasar modal Indonesia, seperti diketahui bahwa nilai emisi obligasi syariah pada akhir
tahun 2003 baru mencapai sebesar Rp 740 Milyar sedangkan nilai emisi obligasi yang sama
pada akhir tahun 2004 mencapai Rp 1.424 Triliun yang berarti ada peningkatan sebesar
92,43%, namun jika dibandingkan dengan total nilai emisi obligasi di pasar modal Indonesia
di tahun 2004 secara keseluruhan yaitu sebesar Rp. 83.005,349 Triliun, maka prosentasenya
masih terlalu kecil yaitu baru mencapai 1,72%.
C. Sifat-Sifat Obligasi Syariah
Sukuk atau obligasi syariah adalah surat berharga sebagai instrumen investasi yang
diterbitkan berdasarkan suatu transaksi atau akad syariah yang melandasi (underying
transaction) yang dapat berupa ijarah (sewa) mudarabah (bagi hasil). Sukuk yang sekarang
sudah banyak diterbitkanadalah berdasarkan akad sewa (sukuk al-ijarah) dimana hasil
investasi berasal dan dikaitkan dengan arus embayaran sewa aset tersebut.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan sukuk
Tingkat return yang dipastikan pada sukuk
Tingkat return pada sebagian besar sukuk secara pasti disetujui di awal bahkan tanpa provisi
tertentu untuk jaminan pihak ketiga. Beberapa sukuk yang diterbitkan menjadi sasaran
kritikan tajam disebabkan karena keterlibatannya dari bay al-inah, bay al-dayn dan sifat-sifat
landasan nonsyariah yang membuat sukuk sama dengan obligasi berdasarkan buka. Bay al-
inah merupakan penjualan dua kali di mana pinjam dan orang yang meminjam menjual dan
kemudian menjual kembali suatu objek di antara mereka sekali untuk tujuan memperoleh
uang tunai dan sekali lagi untuk tujuan harga yang lebih tinggi berdasarkan kredit, dengan
hasil bersih dari suatu pinjaman dengan bunga.
Menurut aturan syariah, pemegang sukuk secara bersama memiliki resiko terhadap harga aset
dan biaya-biaya yang terkait dengan kepemilikan dan bagian dari uang sewanya dengan
melakukan sewa pada pengguna tertentu.
Bay al Dayn
Perdagangan pasar sekunder untuk sekuritas Islam dimungkinkan melalui bay aldayn
sebagaimana berbagai kasus di Malaysia yang didasarkan pada sukuk. Akan tetapi, jumhur
ulama tidak menerima keadaan ini karena utang yang diwakili oleh sukuk didukung oleh aset-
aset utama. Ahli-ahli hukum mslim tradisional dengan suara bulat menyatakan bahwa bayal-
dayn dengan diskon tidak diperbolehkan dalam syariah.
D. Pembiayaan Usaha Syariah Obligasi
Pembiayaan usaha berjangka panjang dalam bentuk bukan ekuitas dalam pasar modal dikena
sebagai pembiyaaan dengan menerbitkan obligasi. Menurut definisi obligasi adalah surat
berharga (efek) hutang jangka panjang yang diterbitkan oleh sebuah perusahaan atau
pemerintah (emiten) dengan ketentuan suku bunga dan tanggal jatuh tempo tertentu.
Prinsip syariah melarang untuk meminta atau memberi tambahan (imbalan) atas pemberian
hutang karena hutang dikategorikan sebagai kegiatan tolong menolong yang lebih sarat unsur
sosialnya.
Dalam konsep syariah pembiayaan dapat terjadi karena ada suatu pihak yang memberikan
dana untuk memungkinkan suatu taransaksi.
Perbedaannya adalah dalam hal hubungan langsung antara pihak penjual dengan pembeli
kedua belah pihak adalah pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan perdaganagan obyek
transaksi.
Dalam hal ini kegiatan investasi ini dapat mengikuti ikatan atau aqad mudharabah, kewajiban
akan timbul bila:
1. investor berhak atas pembagian hasil yang posotif, atau bila
2. investor ingin menarik kembali (sisa) dana yang telah diinvestasikan.
Kegiatan investasi ini juga dapat mengikuti aqad ijarah dimana kewajiban akan timbul atas:
1. pembayaran sewa/upah atas pemakaian manfaat dari obyek pembiayaan serta
2. pembayaran nilai jual obyek pembiyaan pada akhir masa sewa atas eksekusi aqad jaiz
dari emitten untik membeli obyek pembiayaan pada akhir masa pembiayaan
Karena itu, definisi paling tepat untuk obligasi syariah adalah suatu kontrak pembiayaan
tertulis, yang:
berjangka panjang
untuk membayar kembali pada waktu tertentu
seluruh kewajiban yang timbul
akibat pembiyaan untuk kegiatan tertentu menurut syarat dan ketentuan tertentu
serta membyar sejumlah manfaat secara peridik menurut aqad
E. Tantangan dan Strategi
Obligasi syariah dinilai prospektif, dari sisi pasar modal, penerbitan obligasi syariah
muncul sehubungan dengan berkembangnya institusi-institusi keuangan syariah, seperti asuransi
syariah, dana pensiun syariah, dan reksa dana syariah yang membutuhkan alternatif penempatan
investasi. Dari sisi investor obligasi syariah tidak hanya berasal dari institusi-institusi syariah
saja, tetapi juga investor konvensional. Produk syariah dapat dinikmati dan digunakan siapa
pun, sesuai dengan falsafahnya yaitu memberi manfaat (maslahat) kepada seluruh semesta
alam. Investor konvensional akan tetap bisa berpartisipasi dalam obligasi syariah, jika
dipertimbangkan bisa memberi keuntungan kompetitif, sesuai profil risikonya, dan juga
likuid. Sementara obligasi konvensional, investor base-nya justru terbatas karena investor
syariah tidak bisa ikut ambil bagian. Bagi emiten, menerbitkan obligasi syariah berarti juga
memanfaatkan peluang-peluang tertentu. Emiten dapat memperoleh sumber pendanaan yang
lebih luas, baik investor konvensional maupun syariah. Selain itu, struktur obligasi syariah
yang inovatif juga memberi peluang untuk memperoleh biaya modal yang kompetitif dan
menguntungkan.
Walau berprospek, ada banyak tantangan yang harus dihadapi oleh obligasi syariah untuk saat
ini.
Sosialisasi yang belum cukup, dengan kata lain bahwa masyarakat kita belum begitu
terbiasa dengan sistem bagi hasil maupun sistem syariah lainnya.
Menyangkut opportunity cost. Terdapat pembandingan atas pilihan yang ada.
Ilustrasinya, ketika obligasi syariah mudharabah ditawarkan, emiten
membandingkannya dengan suku bunga pinjaman, sementara investor (terutama
investor konvensional) membandingkan dengan yield obligasi konvensional. Karena
sistem bagi hasil ini tidak menawarkan "fixed-predetermined return", atau hasilnya bisa
berfluktuasi.
Menyangkut perdagangan obligasi syariah di pasar sekunder yang mengemuka
kepentingannya karena tujuan likuiditas (as-suyulah). Hampir semua Islamic bonds
dibeli untuk investasi jangka panjang, sampai jatuh tempo. Lebih banyaknya investor
yang buy and hold akan membuat pasar sekundernya kurang likuid. Hal ini terjadi pada
Obligasi Syariah Mudharabah Indosat.
Keterbatasan regulasi. misalnya belum ada peraturan yang memadai sebagai dasar
kepastian hukum untuk obligasi syariah.
Untuk menjawab tantangan itu ada beberapa inisiatif strategis yang ditawarkan, antara lain:
Kemauan dan keberanian kebijakan yang lebih mendukung pengembangan instrumen
ini. Seperti melengkapi regulasi untuk memberi kepastian hukum dan sosialisasinya
pada masyarakat yang lebih efektif.
Dalam hal aspek perpajakan dibutuhkan kebijakan yang jelas dan mendukung, dan juga
insentif yang memadai. Securities Commision Malaysia misalnya, memberikan insentif
pajak yang menarik untuk penerbitan obligasi syariah. Dimana, biaya yang dikeluarkan
terkait emisi obligasi syariah menjadi pengurang pajak. Begitu juga dengan pendapatan
dari obligasi syariah bebas pajak. Belum lagi pembayaran zakat untuk obligasi syariah
juga dihitung sebagai pengurang pajak.
Berikutnya, dukungan berbagai kalangan sangat dibutuhkan dalam pengembangan dan
inovasi struktur investasi syariah yang lebih beragam.
Usaha untuk meningkatkan profesionalitas, kualitas dan kapabilitas untuk meningkatkan
kepercayaan mayarakat. Sebab suksesnya sebuah pasar dan instrumen keuangan, baik
syariah maupun lainnya, akan tergantung pada faktor kepercayaan atas sistem dan
proses, keragaman dan kualitas produk, serta keyakinan investor dan emiten untuk
menggunakan produk keuangan tersebut.
F. Emisi Obligasi Syariah
Untuk menerbitkan Obligasi Syariah, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:
1. Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa
DSN. Fatwa tersebut antara lain menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang
bertentangan dengan syariah Islam di antaranya:
Usaha perjudian dan yang tergolong judi.
Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan
minuman haram.
Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang
ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
2. Peringkat investment grade:
Memiliki fundamental usaha yang kuat.
Memiliki fundamental keuangan yang kuat.
Memiliki citra yang baik bagi publik.
3. Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index (JII).
Kenapa perusahaan yang akan menerbitkan obligasi harus yang masuk kriteria
investment grade, tidak lain adalah untuk memenuhi prinsip syariah itu sendiri. Terlebih lagi
obligasi syariah yang ada di Indonesia ditetapkan dalam dua skema yaitu Obligasi Syariah
Mudharabah dan Obligasi Syariah Ijarah yang secara kasat mata merupakan obligasi yang
pendapatan dan pengembaliannya cukup pasti. Baik pendapatan secara bagi hasil maupun
sewa menyewa yang tertuang dalam obligasi ijarah. Atas dasar itulah, untuk menerbitkan
obligasi syariah harus ditandai dengan tingginya hasil rating, alias masuk kriteria investment
grade.
Masing-masing perusahaan rating memiliki aturan main sendiri dalam menilai sebuah
perusahaan masuk kategori investment grade atau tidak. Boleh jadi bagi satu perusahaan
rating, dalam melakukan pemeringkatan atas perusahaan yang sama boleh jadi hasilnya
berbeda. Yang membedakan hasilnya sudah barang tentu adalah gaya kerja mereka
melakukan pemeringkatan. Tapi bagaimapun juga dengan hasil rating AAA yang diperoleh
sebuah perusahaan tentunya akan berbeda kemampuannya membayar utang dengan
perusahaan yang memperoleh rating dengan hasil rating CCC.
Untuk menjawab seperti apa obligasi tersebut dikatakan sebagai instrumen surat utang
yang layak investasi (investment grade) ada baiknya kita melihat kriteria hasil rating yang
dikeluarkan oleh dua perusahaan peringkat utama dunia, yakni Standard & Poors
Corporatioan (S&P) dan Moody's Investor Servis (Moodys). Obligasi dengan rating Triple A
atau Triple B adalah termasuk obligasi yang diizinkan secara hukum untuk dipertahankan
karena dianggap cukup kuat. Sedangkan yang berrating Triple C hingga D dan Caa hingga C
dianggap obligasi yang tidak layak investasi.
G. Kesimpulan
Obligasi syariah mudharabah adalah obligasi syariah yang dilakukan berdasarkan
akadmudharabah. Obligasi ini merupakan instrument investasi syariah berupa surat
berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh perusahaan
(sebagai mudharib) kepada investor (sebagai shahib al maal) dengan tujuan pendanaan
proyek perusahaan, kemudian keuntungannya didistribusikan secara periodik kepada
investor menurut prosentase yang telah disepakati saat akad (basis profit-loss sharing ).
Obligasi Ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad ijarah. Akad ijarah adalah suatu jenis
akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Artinya, pemilik harta memberikan
hak untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan sementara atau
peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik objek.
Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama.
Dalam hal ini,investor mendapatkan bagi hasil yang sesuai besarnya dengan
prosentase yang disepakati,dan jika mendapatkan kerugian maka akan menanggung kerugian
itu bersama, tidak membebankan salah satu pihak. Bahkan pilihan obligasi syariah sebagai
investasi yang halalmemberikan peranan, dari sisi pasar modal dan dari sisi
perusahaan.Obligasi syariah telah cukup berkembang di dalam negeri berdasarkan hasil
penelitiandalam beberapa aplikasinya.
Namun permasalahan yang masih berkembang di masyarakats eperti kurangnya
sosialisasi dan pemahaman yang lebih jauh mengenai obligasi syariah ini masih menjadi
hambatan bagi perkembangannya.Sedangkan perkembangan di luar negeri telah lebih baik di
banding dalam negeri, karena pemahaman masyarakat yang cukup tinggi tentang obligasi
syariah mudharabah. Selain ituaset luar negeri mempunyai daya tarik bagi investasi syariah
H. Penutup
Ketentuan Obligasi Syariah.
Ketentuan Umum:
a. Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang mengandung bunga.
b. Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-
prinsip syariah.
Ketentuan Khusus:
a. Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain: mudharabah
(muqaradhah), musyarakah, murabahah, salam, istishna dan ijarah.
b. Jenis usaha yang dilakukan emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah.
c. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan harus bersih dari unsur non halal.
d. Pendapatan yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan.
e. Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.
Daftar Pustaka
Dr. Muhammad Firdaus, dkk. Konsep Dasar Obligasi Syariah, Renaisan,2005.
Heru Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ekonosia-FH UII, Yogyakarta,
2007.
http://bolaeropa.kompas.com/kompas-cetak/0306/04/finansial/347914.htm
http://www.sebi.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=338&Itemid=33
http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/eureka/2004/0423/eur1.html
Nurul Huda, Mustafa Edwin Nasution, Investasi pada Pasar Modal Syariah, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, tahun 2007.
2. JUAL BELI MURABAHAH
Pengertian Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tembahan keuntungan yang disepakati.
Dalam istilah teknis perbankan syariah, murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian yang
disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana Bank menyediakan pembiayaan untuk
pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar
kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu
yang ditetapkan.
Dalam murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang dia beli dan menentukan suatu
tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan
sistem pemesanan. Dalam al-Umm, Imam Syafii menamai transaksi ini dengan istilah al-amir bi al-
syira . Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan dapan memesan kepada sesorang (sebut saja
pembeli) untuk membelikan suatu barang tertentu yang diinginkannya. Kedua belah pihak membuat
kesepakatan mengenai barang tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih
sanggup ditanggung pemesan. Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati beberapa
keuntungan atau tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah pihak dilakukan
setelah barang tersebut beada di tangan pemesan
Landasan Syariah Murabahah
Al-Quran
Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah 2:275).
Al-Hadits
Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda : Tiga hal yang didalamnya terdapat
keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual (HR. Ibn Majah).
Operasional Murabahah
Produk murabahah adalah pembiayaan perbankan syariah dengan memakai prinsip jual-beli barang
pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak bank selaku penjual
dan nasabah selaku pembeli, atau sebagai dana talangan. Karakteristiknya adalah penjual harus
memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahannya. Pembayaran dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan kesepakatan bersama.
Bila dilihat sekilas, terdapat persamaan jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumtif.
Persamaannya antara lain, pembiayaan yang diberikan adalah barang (motor, mobil, dll), bukan
uang, dan pembayarannya secara cicilan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam sesuai dengan fatwa
DSN MUI, karakteristiknya berbeda. Terdapat beberapa perbedaan utama antara jual beli murabahah
dengan pembiayaan konsumen.
Perbedaan pertama, harga jual pembiayaan konsumen biasanya memakai tingkat bunga yang
tergantung situasi pasar, sedangkan margin/tingkat keuntungan murabahah (bila sudah terjadi ijab
kabul) bersifat tetap, sehingga harga jual tidak boleh berubah. Jadi, sejak awal perjanjian sampai
dengan masa pelunasan, bank syariah tidak diperbolehkankan mengubah harga yang telah
diperjanjikan/ diakadkan. Pada lembaga keuangan konvensional, dimungkinkan membuat sebuah
klausul untuk meningkatkan bunga seperti karena akibat ketergantungan pada situasi pasar, krisis
BBM, dan krisis nilai tukar. Keunggulan dari sebuah produk jual beli murabahah adalah memberikan
kepastian dan kenyamanan kepada nasabah terhadap angsuran pembiayaan.
Perbedaan kedua, akad murabahah adalah akad jual beli, sehingga diwajibkan adanya suatu barang
yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan tersebut berupa harta yang jelas harganya,
seperti mobil atau motor. Sedangkan akad pembiayaan konsumen adalah akad pinjam meminjam.
Dalam hal ini belum tentu ada barangnya. Pada pembiayaan konsumen, nasabah diberi uang yang
akan dipergunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan. Dalam praktiknya, sering kali terjadi
penyalahgunaan pemakaian.
Perbedaan ketiga, dalam hal utang nasabah. Dalam jual beli murabahah, utang nasabah adalah
sebesar harga jual. Harga jual adalah harga perolehan/pembelian barang ditambah keuntungan yang
disepakati. Apabila nasabah mengangsur utangnya, utang nasabah itu akan berkurang sebesar
pembayaran angsuran yang dilakukan, jadi tidak membedakan lagi unsur pokok dan keuntungan.
Sedangkan pada pembiayaan konsumen, utang nasabah adalah sebesar pokok kredit ditambah
dengan bunga. Bila dibayar secara angsuran, utang nasabah akan berkurang sebesar pembayaran
angsuran pokok kredit dan pembayaran bunga. Jadi, dalam pembiayaan konsumen dikenal adanya
utang pokok dan hutang bunga.
Apabila kita sebagai nasabah suatu bank syariah ingin mengajukan pembiayaan murabahah untuk
pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank
syariah.
Jika bank syariah menerima permohonan tersebut, bank harus membeli terlebih dahulu aset yang
dipesannya secara sah dengan pedagang. Bank membeli barang keperluan nasabah atas nama bank
sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Dalam hal ini bank harus memberitahu secara
jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. Dimungkinkan bagi bank
memberikan kuasa pembelian barang kepada nasabah untuk membeli barang yang dibutuhkannya.
Jika demikian, akad jual beli (murabahah) harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik
bank.
Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual sebesar
harga beli plus margin/keuntungannya. Nasabah harus membelinya sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat. Kemudian, kedua belah
pihak harus membuat kontrak jual beli.
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad/perjanjian tersebut, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah
Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang
telah disepakati.
Dalam jual beli tersebut bank dibolehkan meminta nasabah untuk menyediakan jaminan dan atau
membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Hal ini untuk
menghindari cedera janji dari nasabah.
Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang
muka tersebut. Apabila nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank
dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
Nasabah dapat menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, dan tetap
berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
Dalam akad murabahah, apabila bank syariah mendapat diskon pembelian dari pemasok, harga
perolehan/pembelian adalah harga setelah didiskon. Diskon adalah hak nasabah. Namun, bila diskon
dari pemasok diberikan setelah akad murabahah, pembagian diskon antara bank syariah dengan
nasabah didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum pada akad.
Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih
cepat dari waktu yang disepakati, bank syariah boleh memberikan potongan dari kewajiban
pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad, yang besarnya diserahkan pada
kebijakan dan pertimbangan bank syariah
Rukun murabahah:
1. Pihak yang berakad:
a. Penjual
b. Pembeli
2. Objek yang diakadkan:
a. Barang yang diperjualbelikan
b. Harga
3. Akad/sighot:
a. Serah (ijab)
b. Terima (qabul)
Syarat-syarat murabahah:
Bank Islam memberitahu biaya modal kepada nasabah.
Kontrak pertama harus sah.
Kontrak harus bebas dari riba.
Bank Islam harus menjelaskan setiap cacat yang terjadi sesudah pembelian dan harus membuka
semua hal yang berhubungan dengan cacat.
Bank Islam harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi harga pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara hutang.
Jika syarat dalam 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan:
melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan.
membatalkan kontrak.
Fatwa DSN tentang Murabahah
Fatwa 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
Fatwa 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah
Fatwa 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon Dalam Murabahah
Fatwa 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda Pembayaran
Fatwa 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah
Fatwa 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah
Fatwa 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah Tak Mampu
Bayar
Fatwa 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah
Fatwa 49/DSN/MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah
3. JUAL BELI SALAM
Pengertian Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu
barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai
pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam
transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya
kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual
yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank
menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Sedangkan
dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat
berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang
belum ada seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara
tunai atau secara cicilan.
Landasan Syariah Salam
Al-Qur'an
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (Al-Baqarah 2: 282).
Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya
melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau
berkata, "Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang
jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui."
Operasional Salam
Syarat utama salam adalah barang atau hasil produksi yang akan diserahkan kemudian tersebut
dapat ditentukan spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya.
Apabila ternyata nantinya barang yang diserahkan tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan di
awal maka nasabah harus bertanggung jawab dengan cara menyediakan barang sejenis yang sesuai
dengan spesifikasi atau mengembalikan seluruh uang yang telah diterima.
Contohnya petani tembakau membutuhkan uang saat ini sedangkan panen belum tiba, maka petani
tersebut dapat meminta kepada Bank Syariah untuk membeli hasil panen yang akan datang dan bank
akan menjualnya kembali kepada petani tersebut dengan cicilan yang disepakati dalam jangka waktu
tertentu. Tentunya Bank Syariah akan menerapkan persentase keuntungan tertentu sesuai
kesepakatan.
Contoh lainnya, petani tembakau ingin menjual hasil panennya 2 bulan mendatang kepada
pedagang. Dalam hal ini katakan pedagang belum memiliki uang. Maka kedua pihak tersebut dapat
pergi ke Bank Syariah dan mengajukan pembiayaan salam. Bank Syariah akan memberikan uang
tunai kepada petani tembakau dan pedagang tersebut memiliki utang kepada Bank Syariah dan
sesuai dengan kesepakatan akan dicicil dan dilunasi dalam jangka waktu tertentu. Bank akan
menambahkan sejumlah persentase keuntungan yang disepakati.
Rukun salam:
Muslam atau pembeli
Muslam ilaih atau penjual
Rasul mal atau modal/uang
Muslam fiihi atau barang
Sighat atau ucapan/akad
Syarat salam:
Modal
1) Modal harus diketahui
Barang harus diketahui jenis, kualitas, dan jumlahnya.
Hukum awal mengenai pembayaran harus dalam bentuk uang tunai.
2) Penerimaan pembayaran salam
Pembayaran salam dilakukan di tempat kontrak (kebanyakan ulama).
Pembayaran salam tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang yang harus dibayar dari muslam ilaih
(penjual).
Ketentuan umum salam:
Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran,
mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas "A" dengan harga
Rp5000 / kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen)
harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau
mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan
(inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga
(pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut
dengan paralel salam.
Salam paralel:
Karena yang dibeli oleh Bank adalah barang seperti padi, jagung dan cabai, dan Bank tidak berniat
untuk menjadikannya sebagai inventory, dilakukanlah akad salam kepada pembeli kedua, misalnya
kepada Bulog, pedagang pasar induk, atau grosir. Inilah yang dikenal sebagai Salam Paralel
Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat:
Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan
Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
Fatwa DSN tentang Salam
Fatwa 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam
4. JUAL BELI ISTISHNA
Pengertian Istishna
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan
oleh bank syariah dalam beberapa kali (termin) pembayaran dalam jangka waktu tertentu sesuai
dengan kesepakatan. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan
manufaktur dan konstruksi.
Landasan Syariah Istishna
Karena istishna merupakan jenis khusus dari salam, maka secara umum landasan syariah yang
berlaku pada salam juga berlaku pada istishna
Mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna atas dasar istihsan karena alasan berikut:
Masyarakat telah mempraktikkan istishna secara luas tanpa ada keberatan
Dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma ulama
Istishna didasarkan atas kebutuhan masyarakat
Sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash
atau aturan syariah
Hal ini menjadikan istishna sebagai kasus ijma atau konsensus secara umum.
Operasional Istishna
Syarat utama istishna adalah sama dengan pembiayaan salam yakni spesifikasi barang dapat
ditentukan dengan jelas. Umumnya pembiayaan istishna dilakukan untuk membiayai pembangunan
konstruksi.
Contoh, Pak Badu ingin membangun ruko di atas tanah yang dimilikinya maka Pak Badu melakukan
transaksi jual beli kepada Bank Syariah. Bank Syariah akan menetapkan harga jual ruko yang akan
dibangun tersebut kepada Pak Badu dan Pak Badu harus mencicil sampai dengan lunas berdasarkan
kesepakatan. Bank Syariah juga akan menunjuk kontraktor yang akan membangun ruko tersebut dan
membayar kontraktor sesuai dengan termin pembayaran yang disepakati sampai bangunan ruko
tersebut selesai dikerjakan.
Melalui fasilitas istishna bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua
belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih
rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-
tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in
process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses tahap berikutnya, sampai tahap
akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan
tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan
barang jadi sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal,
pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara
membeli dari pihak lain.
Setelah barang selesai, maka produk tersebut statusnya menjadi milik bank. Tentu saja bank tidak
bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan
mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses pemberian fasilitas
istishna' tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank
tersebut. Dalam praktiknya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian
dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan
berupa istishna' paralel atau istishna' wal murabahah, dan bila hasil produksi tersebut disewakan,
skemanya menjadi istishna' wal ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli
(istishna') dengan harga jual (murabahah atau dari hasil sewa (ijarah).
Rukun istishna:
Mustashni (Pembeli)
Shani (Penjual)
Mashnu (Barang)
Tsaman (Harga)
Shighat (Ijab Kabul)
Syarat istishna:
Kedua belah pihak yang bertransaksi berakal, cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk
melakukan jual beli
Ridha/kerelaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.
Shani menyatakan kesanggupan untuk membuat barang
Apabila bahan baku berasal dari mushtasni, maka akad ini bukan lagi Istishna,tetapi berubah
menjadi Ijarah
Apabila isi akad mensyaratkan shani hanya bekerja saja, maka akad ini juga bukan lagi Istishna,
tetapi berubah menjadi Ijarah
Mashnu (barang yang dipesan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran (tipe), mutu dan
jumlahnya.
Barang yang dipesan tidak termasuk kategori yang dilarang syara (najis, haram/tidak jelas) atau
menimbulkan kemudharatan (menimbulkan maksiat)
Ketentuan umum istishna:
Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlah. Harga jual
yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah selama berlakunya
akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad
ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.
Istishna paralel:
Dalam sebuah kontrak istishna, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat barang menggunakan
subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna
paralel
Fatwa DSN tentang Istishna
Fatwa 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna
Fatwa 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Istishna' Paralel