Anda di halaman 1dari 16

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diperkirakan pada tahun 2020, penyakit kronis akan mencapai tiga perempat
dari semua penyebab kematian di dunia. Faktor asupan makanan dinilai
sebagai salah satu pemicu. Sebanyak 71% kematian karena penyakit jantung
iskemik, 75% karena stroke, 70% akibat diabetes akan terjadi di negara
berkembang. Dalam studi yang sama juga disebutkan jumlah penderita
diabetes di negara berkembang akan meningkat 2,5 kali lipat. Dari 8,4 juta
orang pada 1995, menjadi 228 juta orang pada 2025.

Penyakit menahun juga dikenal sebagai penyakit kronis yang umum diderita
ketika usia bertambah lanjut. Dokter James Hospedales, pakar penyakit kronik
pada WHO, mengatakan negara-negara berpendapatan menengah dan rendah
mulai menyadari perlunya pencegahan dalam membuat kebijakan tentang
kesehatan. WHO memperkirakan lebih dari 30 juta orang bisa diselamatkan
dalam 10 tahun mendatang dengan tindakan sederhana, seperti mengurangi
merokok, mengurangi konsumsi garam antara 15 - 20 persen, dan
meningkatkan jumlah orang yang berisiko kena serangan jantung dan stroke
dalam perawatan yang bersifat pencegahan, ujar Hospedales.

Salah satu contoh dari penyakit kronis yang banyak diidap oleh masyarakat
Indonesia adalah penyakit ginjal kronik (PGK) yang merupakan kerusakan
ginjal atau penurunan faal ginjal lebih atau sama dengan tiga bulan sebelum
diagnosis ditegakan. Gagal ginjal kronis adalah penurunan sernua faal ginjal
secara bertahap, diikuti penimbunan sisa metabolisme protein dari gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit (NKF-DOQI, 2002).

Saat ini terdapat satu juta penduduk dunia yang sedang menjalani terapi
pengganti ginjal dan angka ini terus bertambah sehingga diperkirakan pada
2010 terdapat dua juta orang yang menjalani terapi ginjal. Angka prevalensi
ini diperkirakan lebih tinggi dari yang dilaporkan. (Fisch, 2000).

2
Pelaksanaan terapi hemodialisa merupakan prosedur penyelamatan jiwa yang
banyak dilakukan pasien gagal ginjal kronis. Data yang diterima dari RSUP
Fatmawati pada tahun 2008 terdapat 400 orang penderita gagal ginjal kronis
yang melakukan hemodialisa seminggu dua kali dan diperkirakan setiap tahun
akan terus meningkat. Pasien yang menjalani hemodialisa jangka panjang
harus dihadapkan dengan berbagai masalah, seperti kesulitan dalam
mempertahankan pekerjaan, depresi, dan ketakutan terhadap kematian. Gaya
hidup yang terencana berhubungan dengan terapi hemodialisa (misalnya
pelaksanaan terapi hemodialisa 2-3 kali seminggu selama 3-4 jam) dan
pembatasan asupan cairan sering menghilangkan semangat hidup pasien. Hal
ini akan mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis (Brunner &
Suddarth, 2005). Selain itu, hal ini akan berlangsung terus-menerus sepanjang
hidupnya dan ia akan ketergantungan pada mesin dialisa seumur hidupnya
serta penyesuaian diri terhadap kondisi sakit mengakibatkan terjadinya
perubahan dalam kehidupan pasien. Dampak pasien dapat berupa: pasif,
ketergantungan, merasa tidak aman, bingung, dan menderita.

1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana cara mengurangi insiden penyakit gagal ginjal kronik di
Indonesia?
Pendekatan motivasi apa yang digunakan dalam mengurangi insiden penyakit
gagal ginjal kronik di Indonesia?

1.3. Tujuan
Mengetahui cara untuk mengurangi insiden penyakit gagal ginjal kronik di
Indonesia
Mengetahui pendekatan motivasi yang digunakan untuk mengurangi insiden
penyakit gagal ginjal kronik di Indonesia
1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Pemerintah
1.4.1.1. Dapat meningkatkan mutu pelayanan bagi setiap rumah sakit pemerintah
1.4.2. Bagi Masyarakat
1.4.2.1. Dapat memberi pengetahuan mengenai penyakit gagal ginjal kronik
sehingga dapat menurunkan angka mortalitas
3
1.4.2.2. Masyarakat lebih menjaga pola hidup sehat
1.4.3. Bagi Peneliti
1.4.3.1. Dapat dijadikan bahan informasi sebagai penambah latihan dalam
membuat suatu penelitian dan dapat mensosialisasikan pada lingkungan
setempat




























4
BAB II
DASAR TEORI

Gagal Ginjal Kronik
National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan penyakit gagal ginjal kronik
seperti kerusakan ginjal atau filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73
m2 untuk 3 bulan atau lebih dalam kurun waktu yang sama. Apapun etiologi yang
mendasari, penghancuran massa ginjal dengan sclerosis ireversibel dan hilangnya
nefron menyebabkan penurunan progresif GFR. Berbagai tahapan penyakit ginjal
kronis membentuk kontinum. Tidak ada klasifikasi seragam pada tahap penyakit
gagal ginjal kronik.

Etiologi
Penyebab gagak ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk keperluan klinis dapat dibagi
dalam 2 kelompok :
1. Penyakit parenkim ginjal
Penyakit ginjal primer : Glomerulonefritis, Mielonefritis, Ginjal polikistik, Tb
ginjal
Penyakit ginjal sekunder : Nefritis lupus, Nefropati, Amilordosis ginjal,
Poliarteritis nodasa, Sklerosis sistemik progresif, Diabetes mellitus
2. Penyakit ginjal obstruktif : pembesaran prostat, Batu saluran kemih, Refluks ureter.
Patofisiologi
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun penyakit
primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme
adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung
pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut
adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang
disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa
setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan
kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut
menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal (Noer, 2006).

5
Manifestasi klinis
Beberapa gejala yang dapat dilihat berupa: gangguan pernafasan, hipertensi, anoreksia,
nausea, ulserasi lambung, proteinuria, hematuria, penurunan konsentrasi, anemia, dan
sebagainya.

Penatalaksanaan
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan
keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis
mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.

2) Anemia
6
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena
dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari
GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan
obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia,
dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang
belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala
yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).

2) Dialisis peritoneal (DP)
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).

7
Motivasi
Sejak dahulu, dokter telah mempertanyakan apakah motivasi bisa digunakan sebagai
salah satu kunci utama dalam proses psikoterapi. Ini bisa dijelaskan melalui beberapa
faktor, yaitu definisi motivasi sendiri adalah suatu dorongan yang ajaib dimana dapat
menimbulkan keinginan secara otomatis untuk lebih cepat sembuh. Lebih dari itu,
motivasi mendorong manusia untuk mengalami perubahan, maka pasien yang tidak
ingin menerima pengobatan disebut sebagai non motivasi. Hal ini dapat dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal, dan juga oleh ketakutan, kekhawatiran,
kepercayaan, dan sebagainya.

Fungsi dari edukasi terapi tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian
pasien mengenai penyakitnya, melainkan juga untuk membuat pasien sadar akan
bahaya kesehatan mereka, dimana faktor resiko dan diagnosis juga ikut di dalamnya.
Hal ini dapat medorong pasien untuk membantu pasien mendapatkan terapi yang
teratur, bahkan menolong mereka untuk berubah, termasuk di dalamnya lifestyle.
Kegagalan tertinggi terdapat pada tidak adanya perubahan dalam lifestyle, seperti
merokok, mengonsumsi alkohol, dan obesitas. Maka, dengan adanya edukasi terapi
dapat menawarkan pasien untuk lebih termotivasi dalam hidup sehat.

Dalam psikologi, motivasi menempati peringkat utama dalam pendagogi sejak tahun
1930. Hal ini berkaitan dengan adanay pengaruh teori kaum behavioris dalam
pembelajaran, dimana kebutuhan dan keinginan dapat menuntun manusia untuk
belajar. Kaum behavioris mengatakan hal ini dapat mempengaruhi pasien dalam
aspek emosi dan konsep berpikir mereka. Faktanya adalah dengan menggunakan
metode edukasi terapi, motivasi akan muncul sebagai suatu konsep yang lama
kelamaan akan menimbulkan keinginan pasien untuk berubah, disebut juga libido
sciendi. Maka, definisi motivasi adalah keadaan yang timbul karena keinginan untuk
memenuhi kebutuhan, seperti meningkatkan kualitas hidup atau mempertahankan
keuntungan diri.

Keinginan untuk berubah memiliki konteks bahwa perubahan didasari oleh individual
tersebut karena berasal dari dalam diri. Tetapi, secara tidak langsung faktor internal
dan eksternal juga mempengaruhi pasien. Faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan
8
sebagai terapi didaktis lingkungan yang berasal dari penjaga pasien dan
diadaptasikan pada diri pasien. Hasil yang didapatkan berupa motivasi yang
memunculkan keinginan pasien untuk berubah. Peran lingkungan penting dalam
mempengaruhi faktor internal dan eksternal agar terdapat perubahan spesifik pada
pasien dalam jangka panjang. Maka, motivasi dapat dibentuk berdasarkan interaksi
antara keinginan dari dalam pasien dan lingkungan pasien.

Keinginan dasar yang mempengaruhi motivasi
Keingingan dasar manusia telah ada sejak abad ke-12. Abraham Maslow
mengemukakan daftar kebutuhan manusia yang disusun membentuk piramid dari 5
kategori.

Kebutuhan dasar manusia menurut Maslow:
1. Kebutuhan fisik sebagai kebutuhan dasar, dimana manusia membutuhkan
makan, air, udara, pendidikan, dan sebagainya.
2. Kebutuhan akan rasa aman; manusia ingin memiliki perlindungan baik untuk
tubuhnya, pikiran, keluarga, dan property.
3. Kebutuhan akan sosial; manusia butuh dihargai dan merasakan cinta yang bisa
didapat dari keluarga, persahabatan, dan seksual.
4. Kebutuhan akan kepercayaan diri; manusia butuh untuk merasa percaya diri,
dihargai, dan sukses.
5. Kebutuhan akan pengakuan diri; manusia butuh untuk dapat menyelesaikan
masalah, kreatif, dan sebagainya.
Kebutuhan dasar di atas merupakan dasar dari motivasi kuat yang dapat menuntun
manusia menuju perubahan dan pembelajaran.

9
Faktor internal yang mempengaruhi motivasi
Manusia memiliki keinginan dan ketertarikan, namun juga ketakutan, misalnya
sadar atau tidak, manusia memiliki rencana dalam melakukan sesuatu hal, dan
rencana tersebut akan menuntun mereka pada arah tertentu. Setiap rencana yang
dipilih akan mempengaruhi manusia dimana mereka akan berusaha untuk
mendapatkan kesenangan dari rencana tersebut.

Persepsi dalam diri seseorang, disebut juga kepercayaan diri memiliki pengaruh yang
besar dalam motivasi seseorang. Sebaliknya, ketidakbahagiaan dan frustasi dapat
menghambat motivasi pasien. Sama dengan perihal dimana pasien memiliki persepsi
dalam pengobatannya yang sangat penting. Pasien akan termotivasi tergantung pada
besar kecilnya kepentingan ia memandang kualitas hidupnya. Akan semakin besar
keinginan pasien apabila ia mengetahui informasi dalam mempelajari kegunaan
dalam penyakit, pengobatan, dan kualitas hidup. Semua ini bertolak belakang dengan
interaksi antara kebutuhan, ketertarikan, keinginan, dan ketakutan pasien yang dapat
menjadi persepsi dalam pengobatan mereka.

Pasien yang termotivasi menjelaskan keinginan mereka untuk berubah dan persepsi
mereka dalam situasi terapi yang harus dijalani oleh mereka. Untuk memenuhi
rencananya, mereka harus mengerti pentingnya pengobatan yang akan dijalani. Selain
itu, mempu untuk melakukan segala aktivitas juga sesuatu yang harus mereka rasakan.
Dengan demikian, mereka akan termotivasi untuk sembuh.



10
Faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi
Akar dari motivasi terletak pada dalam diri pasien. Motivasi memungkinkan manusia
untuk menciptakan perubahan dalam dirinya. Tetapi tanpa pengecualian yang penting,
motivasi hanya berarti sedikit dalam perubahan. Ini merupakan respons dari
lingkungan.




















11
BAB III
PEMBAHASAN

Pengaruh Penyakit Gagal ginjal Kronik (GGK) terhadap kondisi psikologi pasien
GGK adalah gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001; 1448).
Penumpukan ureum ini dapat meracuni semua organ termasuk otak sehingga
menimbulkan masalah yang cukup kompleks (Sukarja dkk, 2008). Keadaan yang
diakibatkan secara nyata menyebabkan penurunan kualitas hidup disertai angka
mortalitas tinggi berkisar 22% pertahun (Ike Surya S dkk, 2008). Pasien gagal ginjal
kronis dengan berbagai perubahan fungsi tubuh disertai dengan penurunan
kemampuan beraktivitas memiliki kecendrungan mengalami harga diri rendah.
Muncul rasa tidak berguna, mudah tersinggung, merasa dikritik orang lain dan selalu
merasa tidak percaya diri. Buruknya hubungan interpersonal dan kurangnya dukungan
dari pihak keluarga dan masyarakat termasuk petugas kesehatan akan menambah
beban pikiran yang menjadikan stress berkepanjangan (Sukarja dkk, 2008).

Maka dari itu, dukungan sosial dan motivasi sangat diperlukan bagi pasien gagal
ginjal kronis. Dukungan sosial merupakan sumber daya yang disediakan melalui
interaksi dengan orang lain. Pendapat lain dikemukakan oleh Siegel yang menyatakan
bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan
diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan
komunikasi dan kewajiban bersama. Pendapat hampir sama dikemukakan oleh Thoits
yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah derajat dimana kebutuhan dasar
individu akan afeksi, persetujuan, kepemilikan dan keamanan didapat lewat interaksi
dengan orang lain.

Dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial
merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan
psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai,
diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu
kelompok yang berdasarkan kepentingan bersama. Sumber dukungan dan motivasi
12
berasal dari interaksi dengan individu, sehingga individu tersebut dapat merasakan
kenyamanan secara fisik dan psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup,
orangtua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, staf medis serta anggota dalam
kelompok kemasyarakatan.
Menurut Sheridan dan Radmacher (1992), Sarafino (1998) serta Taylor (1999)
membagi dukungan sosial ke dalam lima bentuk, yaitu :
1. Dukungan instrumental (tangible assisstance). Bentuk dukungan ini merupakan
penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti
pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk
dukungan ini dapat mengurangi stres karena individu dapat langsung
memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan
instrumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah yang
dianggap dapat dikontrol.
2. Dukungan informasional. Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi,
saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu. Jenis informasi
seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah
dengan lebih mudah.
3. Dukungan emosional. Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan
nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial
sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini
sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat
dikontrol.
4. Dukungan pada harga diri. Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada
individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu,
perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini
membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.
5. Dukungan dari kelompok sosial. Bentuk dukungan ini akan membuat individu
merasa menjadi anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat
dan aktivitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki
13
teman senasib.
Selain itu, dukungan dan motivasi yang dapat diberikan juga berasal dari petugas
kesehatan. Hal ini dapat terjadi apabila petugas kesehatan melakukan pendekatan
kepada pasien yang berpusat pada perhatian kepada pasien sebagai individual.
Pendekatan ini dapat berupa pentingnya bagi petugas kesehatan dalam mendengarkan
keluhan pasien, memiliki rasa empati, memiliki sikap tegas, dan mengerti kesulitan
yang dialami pasien. Sikap tersebut dapat membawa kita, petugas kesehatan untuk
mengubah dan memotivasi pasien, sehingga pasien memiliki rasa ingin tetap berjuang
dalam menghadapi penyakitnya. Hal ini juga sekaligus dapat meningkatkan rasa
kepercayaan diri pasien sehingga ia akan tetap gigih dalam berjuang.
Berbagai metode yang dapat diterapkan dalam menimbulkan motivasi pasien:
1. Mendengar secara aktif baik secara verbal maupun non verbal
2. Memberi pandangan baru pada pasien mengenai kesulitan, solusi, dan
motivasi agar ia dapat mengerti pada keadaan
3. Menggunakan empati untuk mengerti dan menerima emosi pasien
4. Memperhatikan tantangan dan memberi pengertian pada pasien, tidak
melawannya
5. Bekerja dengan suasana yang nyaman untuk meningkatkan suasana hati yang
tenang dalam menghadapi pasien
6. Memperkuat rasa kebebasan dalam menetapkan keputusan untuk memotivasi
pasien
Dalam menghadapi pasien, petugas kesehatan juga harus selalu mengarahkan pasien
dalam membantu mereka menemukan rasa nyaman. Lingkungan yang
mendukung/motivasi akan lebih efektif dalam mendorong pasien untuk berubah.
Petugas kesehatan dapat memberi beberapa pilihan aktivitas atau situasi untuk
meningkatkan kepercayaan diri pasien. Keadaan ini akan diadaptasi oleh pasien
menuju motivasi mereka. Motivasi tidak bersifat tetap/konstan, dimana pasien akan
selalu mengalami fase yang berbeda. Suatu saat, pasien akan sadar akan
permasalahannya. Tetapi, dengan adanya motivasi, pasien dapat mencari cara, berupa
bantuan atau nasehat oang lain untuk menyelesaikannya.
14
BAB IV
KESIMPULAN

Motivasi penting diberikan bagi pasien penderita gagal ginjal kronis dimana hal ini
dapat membantu meningkatkan semangat mereka dalam berjuang mengahadapi
penyakitnya, dimana mereka seringkali merasa diri mereka tidak lagi berguna. Hal
ini menyebabkan mereka mudah tersinggung dan tidak percaya diri. Maka dari itu,
dukungan dan motivasi dari orang sekitar sangat berperan dalam membantu pasien
menghadapi penyakitnya.

Beberapa motivasi yang dapat diberikan berupa:
1. Dukungan instrumental
2. Dukungan emosional
3. Dukungan informasional
4. Dukungan pada harga diri
5. Dukungan dari kelompok sosial

Selain kelima hal di atas, dukungan dan motivasi juga dapat diberikan oleh petugas
kesehatan, dimana mereka dapat membantu dengan melakukan pendekatan pada
pasien. Dengan demikian, pasien akan percaya pada petugas kesehatan dan akan
berbagi keluh kesah dimana ia dapat mencurahkan isi hatinya. Hal ini dapat
membantu meringankan beban pasien dimana ia merasa bahwa ia diperhatikan dan
secara tidak langsung juga dapat meningkatkan motivasi mereka untuk bertahan dan
berjuang melawan penyakitnya. Hal ini sangat berguna dan penting untuk
diperhatikan bagi petugas kesehatan, dimana hal tersebut dapat meningkatkan kualitas
hidup masyarakat dan menciptakan suasana yang nyaman bagi pasien.








15

DAFTAR PUSTAKA

1. Acute kidney injury nutrition therapy. ADA Nutrition Care Manual.
http://nutritioncaremanual.org/vault/editor/Docs/Acute%20Kidney%20Nutriti
on%20Therapy_FINAL.pdf. Accessed April 8, 2010.
2. Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal
yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006
3. Brunner & Sudarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Volume 8.
Jakarta :EGC
4. Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Vol.2. Jakarta :
EGC
5. Carpenitto L.D. 2000. Nursing Diagnosis, Lippincort, Philadelpia.
6. DENPASAR TAHUN 2007
7. Doenges,Marilynne.2000.Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk
8. Doengoes Marilynne.2000.Rencana Asuhan Keperawatan ed.3. Jakarta : EGC
9. Ed. 4, vol 1. Jakarta: EGC
10. Ferri FF. Renal failure, acute. In: Ferri FF. Ferri's Clinical Advisor 2010.
Philadelphia, Pa.: Mosby; 2009.
http://www.mdconsult.com/das/book/body/192064788-4/0/2088/0.html.
Accessed March 30, 2010.
11. Ike Surya S, dkk. 2008. Perbedaan Nilai Kualitas Hidup Penderita Gagal
Ginjal yang
12. KOPING PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIS DI RSUP SANGLAH
13. Menjalani Hemodialisis Berdasarkan Kadar Malondialdehid dan Interleukin-6.
14. Molitoris BA. Acute kidney injury. In: Goldman L, et al. Cecil Medicine. 23rd
ed. Philadelphia, Pa.: Saunders; 2007.
http://www.mdconsult.com/das/book/body/192064788-4/0/1492/0.html.
Accessed March 30, 2010.
15. Nippoldt TB (expert opinion). Mayo Clinic, Rochester, Minn. Sept. 19, 2011.
16. Nursalam. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
17. Nutrition and Chronic Kidney Disease. National Kidney Foundation, 1998-
2006.
16
18. Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
19. Perkemihan. 2008. Jakarta : Salemba Medika.
20. Potter & Perry. 1999. Fundamental Of Nursing Volume 2. Jakarta : EGC
21. Potter&Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan konsep, proses,
dan praktik.
22. Price, Sylvia A.2005. Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC
23. Reclast (prescribing information). East Hanover, N.J.: Novartis
Pharmaceuticals Corp.; 2011.
http://www.pharma.us.novartis.com/product/pi/pdf/reclast.pdf. Accessed Sept.
14, 2011.
24. Reclast (zoledronic acid): Drug Safety Communication New
contraindication and updated warning on kidney impairment. Food and Drug
Administration. http://www.fda.gov/Drugs/DrugSafety/ucm270199.htm.
Accessed Sept. 1, 2011.
25. Schroeder K. Acute renal failure. In: Bope ET, et al. Conn's Current Therapy
2010. Philadelphia, Pa.: Saunders Elsevier; 2009.
http://www.mdconsult.com/book/player/book.do?method=display&type=abou
tPage&decorator=header&eid=4-u1.0-B978-1-4160-6642-2..C2009-0-38983-
7--TOP&isbn=978-1-4160-6642-2&uniq=192064788. Accessed March 30,
2010.
26. Suwitra, K., 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi,
B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Edisi keempat. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, 570-573.
27. Wolfson AB. Renal failure. In: Marx JA, et al. Rosen's Emergency Medicine:
Concepts and Clinical Practice. 7th ed. Philadelphia, Pa.: Mosby; 2009.
http://www.mdconsult.com/book/player/book.do?method=display&type=abou
tPage&decorator=header&eid=4-u1.0-B978-0-323-05472-0..X0001-1--
TOP&isbn=978-0-323-05472-0&uniq=193452254. Accessed March 30, 2010.

Anda mungkin juga menyukai