Anda di halaman 1dari 82

Diskusi Psikologi : Terorisme dalam Perspektif

Psikologi dan Sosiologi



Etiologi munculnya aksi-aksi terorisme di Indonesia bisa dilihat dari berbagai sudut pandang.
Dalam kesempatan ini saya mencoba melihat masalah terorisme ini dari sudut pandang psikologi
social dan sosiologi cultural. Secara psikologis aksi aksi terorisme di Indonesia secara umum
dipengaruhi oleh dua sebab utama yaitu (1) krisis kepercayaan kepada system kehidupan social
politik dan cultural. Sebab ke dua adalah karena factor pelemahan idiologi psikologis pelaku itu
sendiri.


1. Krisis kepercayaan atas system kehidupan social politik (termasuk ekonomi, pendidikan,
hokum dll) menyebabkan sebagian orang merasa frustrasi, marah, jengkel dan bahkan kecewa
dengan keadaan. Kondisi yang demikian ini menghantarkan kehidupan kejiwaann yang labil.
Labilitas kehidupan jiwa inilah yang melemahkan pertahanan emosi seseorang sehingga
kepadanya sangat mudah dipengaruhi, diprovokasi untuk melakukan pembencian terhadap
system kehidupan social kenegaraan dan pemerintahan yang dianggap bertanggung jawab atas
kehidupan social pada umumnya. Perilaku kebencian (hostility) ini dapat mewujut dalam
perilaku individual, kelompok maupun perilaku yang lebih terorganisasi dalam bentuk bentuk
kelompok yang mengaku atau mengatasnamakan agama, jihad, perjuangan fisabillilah, amar
makruf/nahi mungkar dan lain sebagainya. Pada tataran ini, aksi terorisme mungkin saja belum
mewujut dalam bentuk kekerasan frontal semacam peledakan bom atau penghancuran
penghancuran yang sifatnya massif, tetapi baru sebatas aksi aksi massa seperti unjuk rasa. Target
sementara gerakan terror macam ini adalah untuk menimbulkan rasa takut pada masyarakat,
sehingga berefek pada tata kehidupan pemerintahan dan kenegaraan yang tidak stabil.
Pemerintah diposisikan sebagai pihak yang tidak bisa melindungi atau tidak bisa memberikan
rasa aman kepada rakyatnya. Kondisi labil dalam tata kehidupan pemerintahan dan kenegaraan
inilah yang sengaja diciptakan oleh penggerak penggerak aksi (terror) semacam ini. Meski aksi
aksi ini belum frontal, tetapi hal ini merupakan potensi laten untuk terjadinya letupan terror yang
lebih dahsyat berupa gerakan destruktif (penghancuran massal), agresif dan berkembanganya
pola pola perilaku yang berbasis pada kekerasan atau violance. Kebencian adalah awal terjadinya
petaka terror dalam kehidupan umat. Terorisme menjadi semakin subur ketika KITA tidak
mampu menumpulkan rasa benci ,baik kebencian individu kepada individu maupun individu
dengan kelompok, kelompok dengan kelompok.
2. Pelemahan idiologi psikologis
Aksi-aksi terror dalam bentuk bom bunuh diri lebih disebabkan oleh terjadinya pelemahan
idiologi psikologis seseorang. Yaitu penumpulan intelektualitas tersengaja dan terstruktur yang
dilakukan oleh pihak atau person-person tertentu yang mempunyai otoritas kharismatika yang
kuat (luar biasa) kepada seseorang atau sekelompok orang yang secara idio psikologis tidak kuat
(tidak percaya diri, konsep diri kagak jelas, kecewa atau frustrasi/patah hati, merasa tertindas
dsb). Pelemahan idio psikologis melalui penumpulan inteketualitas tersengaja/terstruktur ini
berakibat seperti cuci otak atau brain washing pada kehidupan individu atau kelompok sehingga
mudah diindoktrinasi dengan nilai nilai tertentu (seperti jihad, kejuangan, bela Negara, bela
islam dan aneka nilai yang seakan akan berujung pada kepahlawanan dsb walau semua itu sudah
dibelokkan oleh sang indoktrinatornya). Pelemahan intelektualitas inilah sumber masuknya
kesediaan bunuh diri pada para pelaku aksi bom bunuh diri. Mungkin saja secara akademik,
pelaku bom bunuh diri ini bukanlah orang yang bodoh, bahkan merupakan lulusan terbaik dari
sekolah atau lembaga pendidikan tertentu yang bonafid. Tetapi secara intektualitas dan
sensitifitas afeksi mereka sangat bodoh. Kecerdasan afeksinya berada pada level terendah. Orang
orang yang memiliki kecerdasan afektif rendah pada umumnya memang sangat mudah disulut
untuk melakukan aksi aksi atau tindakaan yang sebenarnya konyol/tolol dan tidak bernilai, tetapi
dipersepsikan sebagai tindkan mulia dan berpahala besar.
3. Pandangan Sosiologi : secara sosiologis, terorisme adalah merupakan sebuah paham yang
mengajarkan cara cara perjuangan dengan cara menyebar terror atau melakukan aksi-aksi
menyebar rasa takut demi mencapai tujuan tertentu, baik tujuan kelompok maupun tujuan
pribadi. Pelaku aksi dapat mengerjakan aksi terornya secara orang perorang untuk pencapaian
tujuan pribadi atau dilakukan secara bersama/terorganisasi untuk tujuan . Jadi apapun bentuk
aksinya dan siapapun pelakunya, selama aksi tersebut menimbulkan ketakutan kolektif yang
mencekam kehidupan masyarakat, maka aksi atau tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai
aksi Terorisme.
4. Mengapa Melakukan Teror ? : aksi aksi terror yang belakangan ini kembali mengguncang
ketentraman hidup masyarakat, disebabkan bukan oleh satu factor tunggal melainkan disebabkan
oleh terjadinya interplay multifactor. Artinya aksi aksi tersebut bukan hanya disebabkan oleh
satu factor saja (misalnya fanatisme agama) melainkan oleh banyak factor , dimana diantara
factor factor penyebab tersebut terkait satu sama lain dan dimainkan secara bersama sama. Dari
berbagai factor tersebut ada empat unsur pokok yang saya lihat menjadi factor dominan
pecahnya aksi terorisme, yaitu : (1) ketidakadilan dan ketimpangan social ekonomi yang
menyebabkan terbukanya perasaan terkoyak dan terdzalimi , (2) melemahnya konsep dasar
intimitas relasi social oraganik yang menyebakan melebarnya jarak sosial dan keruhnya
ukhuwah wathaniah maupun ukhuwah social antar warga masyarakat, (3) masuknya (intervensi)
nilai nilai baru dari berbagai belahan dunia sehingga merubah tata nilai social-kultural dan
memporak porandakan sendi sendi kehidupan social indegenius masyarakat, (4) tidak
berfungsinya lembaga-lembaga social kemasyarakat dalam memberdayakan potensi-potensi
postif yang dipunyai masyarakat. Mereka lebih asyik berpolitik dan bercengkrama dengan
kelompoknya sendiri-sendiri sehingga meminggirkan peran serta aktif masyarakat serta abai
terhadap urusan bersama. Nah akibatnya potensi positf yang semestinya menjadi modal
pembangunan berbelok arah menjadi ledakan massif yang merusak tatanan pembangunan itu
sendiri.

5. Apa yang Harus dibenahi ?
1. System pengelolaan tata kehidupan social politik yang selama ini cenderung berpusat pada
kekuasaan dirubah menjadi system kehidupan social ekonomi politik yang berorientasi pada
keseimbangan dan keadilan masyarakat.
2. Membenahi kualitas hubungan social individual untuk mendekatkan/membangun proksimitas
warga masyarakat (hal ini sudah banyak dilakukan oleh pemkot Surakarta, seperti membangun
banyak open space yang dimaksud sebagai media srawung warga: Car Free Day setiap minggu di
jl slamet riyadi, city walk, Sunday market, ngarsopura, galabo,merubah wajah wajah pasar
tradisonal yang kumuh menjadi bersih, menutup usaha/tempat maksiat, membatasi ruang gerak
peredaran miras, pagelaran dan festival budaya, atraksi seni dll).
3. Menyediakan fasiltas fasilitas pendidikan formal yang memadai dan merangsang tumbuhnya
jiwa jiwa kreatif produktif, khususnya dikalangan anak anak muda.

Menghadapi Ancaman Terorisme
PADA pengujung tahun 1980-an, terorisme tampak menurun. Akan tetapi, terorisme jenis baru
telah muncul. Ancaman teroris dewasa ini terutama berasal dari para ekstremis yang telah
mendirikan jaringan pendanaan mereka sendirimelalui perdagangan obat bius, bisnis swasta,
kekayaan pribadi, kegiatan amal, serta dukungan finansial setempat. Dan, aksi mereka tetap
sekasar biasanya.
Dalam beberapa tahun belakangan, terdapat peningkatan pesat aksi terorisme yang tak
berperikemanusiaan. World Trade Center di New York City dibom, menewaskan 6 orang dan
melukai sekitar 1.000 orang. Sebuah sekte melepaskan gas saraf sarin di jalur kereta bawah tanah
Tokyo, menewaskan 12 orang dan membuat lebih dari 5.000 orang dirawat. Seorang teroris
menabrakkan truk yang berisi bom ke gedung federal di Oklahoma City, menewaskan 168 orang
dan melukai ratusan lainnya. Sebagaimana diperlihatkan oleh bagan di halaman 4 dan 5,
berbagai aksi teroris terus ada hingga sekarang.
Secara keseluruhan, para teroris tampaknya memperlihatkan lebih sedikit pembatasan daripada
sebelumnya. Pelaku pengeboman gedung federal Oklahoma City pada tahun 1995 dikutip
mengatakan bahwa untuk memperoleh tingkat perhatian yang ia butuhkan, ia menginginkan
banyak mayat. Pemimpin kelompok yang bertanggung jawab atas pengeboman World Trade
Center di New York City ingin merobohkan salah satu dari menara kembar itu sehingga
menimpa yang lain, dan menewaskan semua orang yang ada di kedua menara itu.
Hal lain yang baru adalah pilihan senjata para teroris. Louis R. Mizell, Jr., seorang pakar di
bidang terorisme, menyatakan, Kita hidup di zaman kekerasan yang tak terbayangkan dan
arsenal yang sangat mematikan: nuklir, bahan kimia, dan senjata biologi. Para ekstremis yang
ingin membuat kesan yang lebih besar beralih ke senjata yang lebih mematikan yang dihasilkan
oleh kemajuan teknologi.
Menyerang dengan Nol dan Satu
Apa yang disebut siberterorisme mencakup penggunaan teknologi modern, seperti komputer.
Salah satunya adalah virus komputer, yang memakan data atau membekukan sistem. Ada juga
bom logika yang membodohi komputer sehingga komputer tersebut berupaya melakukan
sesuatu yang tidak bisa ia lakukan, dengan demikian memaksanya hingga akhirnya rusak. Karena
ekonomi dan keamanan bangsa semakin bergantung pada jaringan informasi, banyak orang
merasa bahwa publik lebih mudah terkena serangan teroris semacam itu. Dan, karena
kebanyakan angkatan bersenjata memiliki sistem untuk menjaga komunikasi mereka bahkan
selama perang nuklir, sistem sipiltenaga listrik, transportasi, dan pasar uangdapat lebih
mudah disabotase.
Beberapa waktu lalu, jika seorang teroris ingin memadamkan semua listrik di sebuah kota,
misalnya saja di Berlin, ia mungkin berupaya mendapat pekerjaan di perusahaan listrik sehingga
ia dapat menyabot sistem listriknya. Namun sekarang, kata beberapa orang, seorang hacker yang
terlatih dapat membuat gelap sebuah kota cukup dari rumahnya sendiri di sebuah desa di bagian
lain dunia.
Belum lama ini, seorang hacker dari Swedia menyerang sistem komputer di Florida dan
mematikan sistem pelayanan darurat selama sejam, memperlambat respons polisi, pemadam
kebakaran, dan ambulans.
Pada intinya, kita telah menciptakan suatu perkampungan global tanpa adanya kepolisian,
komentar Frank J. Cilluffo, direktur Satuan Tugas Perang Informasi dari Pusat Pengkajian
Strategis dan Internasional (CSIS). Dan, Robert Kupperman, penasihat senior CSIS, menyatakan
pada tahun 1997 bahwa jika para teroris memilih untuk menggunakan metode berteknologi
tinggi, tidak ada lembaga pemerintah sekarang ini yang akan sanggup mengatasi dampak
serangan mereka.
Beberapa analis percaya bahwa para teroris komputer memiliki perangkat teknologi yang dapat
menerobos alat pelindung apa pun yang diproduksi pasukan keamanan. Musuh yang dapat
menanamkan virus yang tepat atau mengakses terminal yang tepat dapat mengakibatkan
kerusakan besar-besaran, kata George Tenet, direktur Lembaga Intelijen Pusat AS (CIA).
Teror dengan Bahan Kimia dan Kuman
Selain itu, ada juga kekhawatiran terhadap penggunaan bahan kimia dan senjata biologi. Pada
awal tahun 1995, dunia dikejutkan oleh berita tentang serangan gas beracun oleh teroris di jalur
kereta bawah tanah Tokyo. Tanggung jawab atas insiden itu dibebankan kepada sebuah sekte
hari kiamat.
Terorisme telah berubah, kata Brad Roberts dari Institut Analisis Pertahanan AS. Teroris
tradisional menginginkan konsesi politik. Namun sekarang, beberapa kelompok teroris
mengatakan bahwa tujuan utama mereka adalah pembunuhan massal. Dengan demikian, senjata
biologi cocok bagi mereka. Apakah sulit untuk memperoleh senjata semacam itu? Majalah
Scientific American mengatakan, Seseorang dapat membiakkan triliunan bakteri dengan risiko
yang relatif kecil terhadap dirinya dengan perlengkapan yang tidak lebih rumit daripada
perlengkapan seorang penyuling bir dan perlengkapan yang digunakan dalam pembiakan
mikroorganisme, sebuah topeng gas, dan sebuah pakaian luar plastik. Setelah kuman-kuman itu
siap, mengirimkannya pun relatif mudah. Para korban bahkan tidak akan tahu bahwa senjata ini
telah ditembakkan sampai sehari atau dua hari kemudian. Dan, itu sudah terlambat.
Konon, antraks paling sering dipilih sebagai senjata biologi. Nama penyakit ini berasal dari kata
Yunani untuk batu baramemaksudkan luka kering yang biasanya terbentuk di bagian kulit
yang sakit yang berkembang pada orang yang terkena kontak dengan ternak yang terinfeksi
antraks. Para pembuat keputusan di bidang pertahanan lebih mengkhawatirkan infeksi paru
akibat menghirup spora antraks. Pada manusia, infeksi antraks memiliki angka kematian yang
tinggi.
Mengapa antraks merupakan senjata biologi yang sedemikian efektif? Karena bakterinya mudah
dibiakkan dan memiliki tingkat kekebalan yang tinggi. Dibutuhkan beberapa hari sebelum
korban mengalami gejala pertama, yaitu malaise seperti flu dan kelelahan. Gejala ini disusul oleh
batuk dan ketidaknyamanan ringan di dada. Kemudian, datanglah kesulitan bernapas yang parah,
shock, dan, dalam beberapa jam, kematian.
Senjata Nuklir di Tangan Teroris?
Setelah keruntuhan Uni Soviet, banyak orang bertanya-tanya apakah senjata nuklir yang dicuri
akan muncul di pasar gelap. Akan tetapi, banyak pakar meragukan bahwa hal ini akan pernah
terjadi. Robert Kupperman, yang tadi dikutip, mengatakan, tidak ada bukti bahwa ada kelompok
teroris yang berupaya memperoleh bahan nuklir.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah saudaranya bom nuklir yang senyap tetapi mematikan
bahan radioaktif. Bahan ini tidak meledak. Bahan ini tidak membuat kerusakan akibat terjadinya
ledakan maupun panas. Sebaliknya, bahan ini mengeluarkan radiasi yang menghancurkan sel
secara individu. Sel sumsum tulang khususnya sangat mudah diserang. Kematian sel-sel itu
mengakibatkan efek-efek seperti hemoragi dan hilangnya sistem kekebalan tubuh. Berbeda
dengan senjata kimia, yang menurun efeknya setelah terkena oksigen dan kelembapan, bahan
radioaktif dapat terus mengakibatkan kerusakan selama bertahun-tahun.
Sebuah kecelakaan di Goinia, sebuah kota di Brasil tengah bagian selatan, memberikan
gambaran betapa mematikan radiasi itu. Pada tahun 1987, seorang pria tanpa rasa curiga
membuka kotak timbal yang menempel pada sebuah perlengkapan medis yang sudah tak terpakai
lagi. Kotak ini berisi sesium-137. Terpesona oleh kilauan cahaya biru dari benda itu, ia
memperlihatkannya kepada teman-temannya. Dalam seminggu, korban-korban pertama mulai
berdatangan ke klinik kesehatan setempat. Ribuan orang diperiksa untuk mencari tanda-tanda
kontaminasi. Sekitar seratus penduduk menjadi sakit. Lima puluh orang harus diopname, dan
empat orang meninggal. Pemikiran tentang apa yang akan terjadi kalau sesium itu dengan
sengaja disebarkan merupakan mimpi buruk bagi para pakar antiteroris.
Angka Kerugian yang Mencengangkan
Kerugian yang tragis berupa nyawa manusia merupakan akibat yang paling nyata dari terorisme.
Namun, ada implikasi-implikasi yang lebih luas. Terorisme dapat menghancurkan atau menunda
perdamaian di tempat-tempat yang bergolak di planet ini. Terorisme memprovokasi,
memperpanjang, atau memperdalam konflik, dan hal ini mempercepat siklus kekerasan.
Terorisme juga dapat memiliki dampak pada ekonomi nasional. Banyak pemerintah telah
terpaksa menghabiskan banyak sekali waktu dan sumber daya untuk memeranginya. Misalnya,
di Amerika Serikat saja, biaya pengeluaran untuk antiterorisme dianggarkan pada lebih dari
sepuluh miliar dolar untuk tahun 2000.
Entah kita menyadarinya atau tidak, terorisme mempengaruhi kita semua. Hal itu mempengaruhi
cara kita bepergian dan pilihan yang kita buat sewaktu kita bepergian. Hal itu memaksa negeri-
negeri di seputar dunia untuk menghabiskan sejumlah besar uang pajak guna melindungi tokoh-
tokoh masyarakat, instalasi-instalasi vital, dan penduduk.
Jadi, pertanyaannya adalah: Apakah ada solusi yang bertahan lama untuk wabah terorisme ini?
Ini akan dibahas dalam artikel berikutnya.
[Kotak/Gambar di hlm. 7]
Terorisme atas Nama Ekologi
Teror jenis baru telah mengambil bentuk aksi pembakaran, pengeboman, dan sabotase yang
mengatasnamakan penyelamatan lingkungan dan makhluk hidup, lapor surat kabar Oregonian.
Aksi penghancuran ini disebut ekoterorisme. Sedikitnya, seratus aksi besar jenis ini telah terjadi
di bagian barat Amerika sejak tahun 1980, dengan kerusakan total 42,8 juta dolar. Kejahatan
jenis ini biasanya dimaksudkan untuk mengganggu kegiatan penebangan pohon, penggunaan
daerah alam bebas untuk rekreasi, atau penggunaan binatang untuk pakaian kulit, makanan, dan
riset.
Aksi-aksi ini dianggap sebagai aksi teroris karena melibatkan kekerasan yang dimaksudkan
untuk mengubah perilaku individu dan lembaga atau untuk mengubah kebijakan publik.
Ekoteroris membuat frustrasi para penyelidik dengan menyerang sasaran yang lokasinya jauh,
sering kali dilakukan pada malam hari, dan meninggalkan sedikit bukti selain reruntuhan yang
sudah hangus. Dulu, kejahatan atas nama perlindungan lingkungan hanya berdampak terbatas
dan bersifat lokal sehingga tidak banyak menarik perhatian. Namun, pada tahun-tahun
belakangan ini, sasarannya meluas. Tujuan orang-orang ini adalah menarik perhatian pada
maksud mereka dalam upaya untuk menghasilkan perubahan, kata agen khusus James
N. Damitio, seorang penyelidik veteran Dinas Kehutanan AS. Dan, jika mereka merasa belum
mendapat perhatian itu, mereka akan mencoba cara lain.
[Kotak/Gambar di hlm. 10]
Terorisme dan Media
Publisitas telah menjadi tujuan utama sekaligus senjata bagi orang-orang yang menggunakan
teror terhadap orang-orang tak bersalah untuk mengajukan tujuan politik mereka atau hanya
untuk menyebabkan kekacauan, kata Terry Anderson, wartawan yang pernah ditawan selama
hampir tujuh tahun oleh teroris di Lebanon. Laporan media tentang penculikan politik,
pembunuhan, atau pengeboman yang mematikan merupakan kemenangan pertama bagi teroris.
Tanpa perhatian dunia, aksi-aksi keji ini sia-sia saja.
1. Pengeboman bunuh diri di Yerusalem, Israel
2. Teroris etnis mengebom sebuah bank di Kolombo, Sri Lanka
3. Sebuah bom meledak di Nairobi, Kenya
4. Keluarga korban ledakan bom di Moskwa, Rusia

Faktor Penyebab Aksi Terorisme

Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya aksi terorisme.8)

1. Faktor Pemikiran
Rasulullah SAW sangat mewanti-wanti umat Islam untuk tidak terjebak pada tindakan ekstremisme (at-
tatharruf al-dini) dan keras(al-tasyaddud).Ekstremisme pemikiran ini sangat berbahaya, karena akan
menjadikan orang lain yang berbeda pandangan sebagai musuh yang layak dibasmi. Lantas, biasanya,
akan dicari-cari kesempatan untuk membinasakannya dengan cara apapun.

2. Faktor Ekonomi
William Nocek pengarang buku Perwajahan Dunia Barumengatakan, terorisme yang belakangan ini
muncul merupakan reaksi dari kesenjangan ekonomi yang terjadi di dunia, liberalisme ekonomi yang
mengakibatkan perputaran modal hanya bergulir dan dirasakan bagi yang kaya saja,mengakibatkan
jurang yang sangat curam pada yang miskin.

3. Faktor Politik
Stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-
cita semua negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, bijaksana,berpihak pada rakyat,tidak hanya
memperkaya diri dan menjamin hak-hak rakyat,tentu akan melahirkan kebanggaan dari anak negara
untuk selalu membela dan memperjuangkannya. Sebaliknya jika politik yang dijalankannya adalah politik
kotor, politik hanya berpihak pada pemilik modal kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembudakan
rakyat,maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat,yang akan
menimbulkan mudahnya muncul kelompok-kelompok atas nama agama yang berbeda baik politik,
agama maupun politik sosial yang mudah saling menghancurkan satu sama lainnya.

4. Faktor Sosial
Diantara faktor munculnya pemahaman banyaknya perkara-perkara yang menyedot perhatian masa
yang berujung pada tindakan-tindakan anarkis,yang akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang
yang bersikap bercerai dengan masyarakat.Pada awalnya sikap berpisah dengan masyarakat ini
diniatkan untuk menghindari kekacauan yang ada,namun lama kelamaan sikap ini berubah menjadi
sikap antipati dan sikap memusuhi masyarakat itu sendiri.

5. Faktor Psikologis
Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman individual seseorang.Pengalaman dengan kepahitan
hidupnya, lingkungannya, kegagalan karir pekerjaannya dapat saja mendorong seseorang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang,bahkan anarkis. Jika halini terus berlangsung tanpa
adanya pembinaan dan pembimbingan yang tepat, orang tersebut akan mengejutkan sebagai reaksi
untuk sekedar menampakkan eksistensi dirinya. Dr.Abdurohman al-Almathrudi pernah menulis,
sebagian besar orang yang bergabung pada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi
mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya.Mereka inilah yang harus kita bina dan kita
perhatikan.Sehingga mereka yang secara ekonomi memiliki nasib kurang beruntung, akan terhindar dari
aksi-aksi yang merugikan.

6. Faktor Pendidikan
Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme,
akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang kelirujuga sangat berbahaya. Pendidikan
jika yang disuguhkan pada masyarakat lebih sering mengejek daripada mengajak, lebih sering
memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik dari pada mendidik, maka akan menghasilkan
generasi masyarakat yang merasa dirinyalah kelompok yang paling benar, sementara kelompok lain
selalu salah. Maka yang harus diperangi adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah.Sekolah-
sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum umum, sementara sekolah umum alergi
memasukkan kurikulum agama. Akibatnya tidak sedikit orang yang terlibat aksi terorisme justru dari
kalangan yang berlatar belakang pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli tehnik, ahli sains dan
lain lain, namun hanya mempelajari ilmu agama sedikit dari luar sekolah.

Terorisme Ancaman Nyata Bagi Perdamaian
Dalam buku Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi,dijelaskan bahwa meskipun kampanye global
melawan terorisme meningkat, tetapi ancaman terorisme tak surut bahkan semakin meningkat.Teknik
serangan terorispun semakin canggih dengan efek yang sangat mengerikan. Penggunaan bom bunuh diri
menjadi sering dilakukan seperti pada kasus Tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat yang
menelan korban lebih dari 3000 jiwa, TragediPengeboman 12 Oktober 2002 di Bali yang menelan
korban sebanyak 202 jiwa, Tragedy 12 Mei 2003 Riyad Arab Saudi yang menelan korban 34 jiwa,Tragedi
15 Mei 2013 di Cassablangka,Maroko yang menelan korban 41 jiwa,Tragedi 5 Agustus 2003 di Hotel JW
Marriot,Jakarta yang menelan korban 12 jiwa dan sebagainya.9)

Aksi terorisme yang lazim dilakukan adalah aksi pemboman, pembunuhan, penculikan, penyanderaan,
pembajakan, serangan senjata dan pembakaran. Pemboman adalah cara yang paling sering digunakan
dan paling disukai para teroris, karena biayanya yang murah, bahannya mudah didapat, mudah dirakit
dan mudah digunakan serta akibatnya yang langsung menarik perhatian media massa. Penggunaan bom
dapat mengakibatkan jatuhnya korban yang lebih banyak dan kerusakan fasilitas umum yang lebih
besar.

Akhir-akhir ini terdapat kekhawatiran yang meningkat bahwa teroris akan menggunakan senjata-senjata
pembunuh/penghancur masal yang terdiri dari senjata kimia, radio aktif, biologi dan nuklir dengan
Weapons of Mass Destruction (WMD). Ambang kekhawatiran ini yaitu terjadi penyerangan yang
menggunakan gas syaraf Sarin dikereta bawah tanah Tokyo pada tanggal 20 Maret 1995 yang telah
menyebabkan 12 orang meninggal, dan melukai lebih dari 5000 orang. Dari beberapa hal diatas, sudah
jelas bahwa teroris menjadi musuh kita yang sebenarnya, terutama teroris yang berjubahkan agama.10)

Dengan demikian, terorisme itu sangat mengancam perdamaian.Islam sebagai agama damai, tentu saja
konsen dengan upaya penciptaan perdamaian dunia.Untuk itu, kegiatan terorisme yang berdampak
perpecahan dunia dan hilangnya perdamaian sangat dikecam oleh Islam dan bahkan menjadi musuhnya.
Musuh inilah yang semestinya diperangi oleh kaum muslim, terutama oleh remaja-remaja muslim.

Respon Terhadap Terorisme Global
Setelah Tragedi 11 September 2001, Amerika Serikat menggerakkan dunia untuk mendukung kampanye
war on terrorism.Negara-negara didunia umumnya menyambut ajakan perang melawan terorisme yang
dituntut Amerika Serikat. Negara-negara Islam, termasuk Indonesia, meski tampak ragu pada awalnya,
akhirnya menyuarakan juga perang terhadap terorisme.Negara-negara yang dituduh memfasilitasi
teroris (exist of evil), dijadikan sasaran operasi militer seperti yang terjadi di Afganistan dan Irak.
Sedangkan negara yang terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang menentang Amerika Serikat
menjadi transit para teroris, maka Amerika Serikat akan memfasilitasi teknis dan memberikan bantuan
keuangan, militer, agar membatasi ruang gerak danmenindak kelompok pembangkang tersebut.11)

Di Amerika Serikat sendiri, selain menghilangkan nyawa ribuan orang, paska Tragedi 9/11 kebebasan
sipil tonggak kebanggaan Amerika Serikat menjadi korban bisu tragedi itu. Setelah 11 September,
pemerintah George W. Bush mengatakan the war on terror will not be won on defensive. We must
take the enemy, disturb his plans, and confront the wors threats before they emerge..(Perang melawan
teror tak dapat dimenangkan secara defensive.Kita harus membawa pertempuran kepada musuh,
ganggu rencananya, dan hadapi tantangan terburuk sebelum ia menjelma).Kemudian Bush meluncurkan
Undang-undang baru, seperti Patriot Act dan Homeland Scurity Act yang kontroversial.Undang-undang
ini memungkinkan tersangka ditahan tanpa izin dan tanpa pembelaan yang memadai. Mengenai hal ini
Indonesia mengeluarkan dua Perpu, yaitu Perpu No. 1 Tahun 2000 dan Perpu No. 2 Tahun 2003yang
kemudian disahkan menjadi UU No. 15 dan UU No. 16 tahun 2003.12)

Mencegah Terorisme Sebagai Kejahatan Kemanusiaan
Terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan dan peradaban serta merupakan satu ancaman
kedaulatan negara, karena terorisme saat ini bersifat global yangmenimbulkan bahaya terhadap
keamanan, perdamaian, menghalangi upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat dan melanggar
HAM.Karena itu, terorisme harus diberantas oleh semua pihak, termasuk dengan pengajaran akan
pemahaman dan penghayatan terhadap agama yang utuh dan benar, agar tak mudah terpengaruh atau
dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu.13)

Adanya umat Islam yang tersandung kasus terorisme bisa saja terjadi karena tidak mempelajari,
memahami, menerapkan ajaran Islam yang utuh dan komprehensif.Namun, menuduh dan meyudutkan
umat Islam sebagai penyebab terorisme merupakan propaganda hitam yang justru kontraproduktif
dalam pemberantasan terorisme dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM.Atas
dasar hal tersebut, maka adanya wacana atau usaha mencampuri urusan internal kelembagaan Islam,
seperti bujukan untuk merubah kurikulum lembaga pendidikan Islam dalam kaitan dengan isu terorisme,
harus ditolak.Penolakan juga perlu dilakukan terhadap dorongan barat agar Indonesia mempunyai UU
Antiterorisme yang melegitimasi langkah-langkah preventive sebagaimana berlaku di Australia yang
sangat berbahaya bagi penyuburan demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia yang sekarang masih
labil.Karena itu, pemberantasan terorisme global harus tetap berpegang pada penghormatan terhadap
agama, kedaulatan negara, serta penghargaan terhadap HAM dan demokrasi.

Selanjutnya untuk mencegah tanah air Indonesia menjadi ajang terorisme global, sebagaimana
disarankan oleh Ronny R. Nitibaskara, maka negara adidaya Amerika Serikat perlu dihimbau agar lebih
mawas diri. Sepanjang Amerika Serikat tak bersedia rendah hati dan mengubah kebijakan
internasionalnya, khususnya yang berkaitan dengan Israel, sepanjang itu pula global terrorismakan
mengarah kepadanya. Dalam kaitan itulah, sikap berlebihan Barat mendanai dan mensponsori
pengembangan sekularisme dan liberalism Islam di Indonesia, jelas kontra produktif bagi usaha jangka
panjang memerangi terorisme. Sekularisme adalah titik ekstrem dan akanmemunculkan titik ekstrem
berikutnya: radikalisme-terorisme. Karena itu bagi bangsa Indonesia, usaha memerangi terorisme bisa
dimulai dengan pengembangan dan penyemaian pemikiran-pemikiran keagamaan dan politik yang
moderat(ummatan wasatan). Tidak sesungguh-sunguh menghilangkan akar terorisme, sama halnya
memelihara kejahatan ini tumbuh laten.

Dengan demikian, usaha-usaha dalam memerangi terorisme dalam bentuk apapun seharusnya tidak
ditempuh dengan cara-cara kekerasan pula, karena dapat menjadikan terorisme baru.Apa yang kita lihat
dalam krisis Amerika Serikat, Afganistan, dll, memperlihatkan kecenderungan tersebut. Cara-cara
kekerasan pada akhirnya hanya melahirkan lingkaran setan terorisme yang akan menumpulkan segala
upaya untuk mengatasi terorisme secara komprehensif.

Kekerasan Tidak Identik dengan Islam
Disebabkan adanya segelintir Muslim yang menjadi pelaku terorisme global, maka islam diidentikan
sebagai agama yang memberI legitimasi bagi tindakan terorisme. Akhirnya Islam ditunjuk sebagai musuh
bagi Barat.Ini asumsi yang sangat keliru terhadap Islam.Didalam Islam, kedamaian tidak saja
terekspresikan dalam ayat ataupun hadis, tetapi juga dalam kenyataan hidup yang sesungguhnya.Islam
disebarkan melalui perdamaian, tidak melalui pemaksaan, apalagi dengnan pertumpahan darah danair
mata.Terlihat jelas dalam al-Quran, bahwa Islam bukan agama yang memaksa, tetapi agama yang ingin
menawarkan jalan terbaik dalam mengarungi hidupdi dunia maupun di akhirat nanti. Allah SWT
berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama(Islam).Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar dari pada jalan yg sesat. (Qs. al-Baqarah [2]:256).

Saat ini kita sebagai bangsa sedang dilanda masalah.Mulai krisis ekonomi, kesenjangan sosial,
kemiskinan, merajalelanya tindak korupsi dan teror yang menghantui kita.Kenyataan ini merupakan
cermin dari buramnya kehidupan bangsa yang mayoritas Islam.Kenyataan ini bisa merongrong kita
sebagai bangsa yang santun, pemaaf dan mengedepankan keharmonisan.Kita harus kembali kepada
ajaran Islam yang santun dan damai.

Banyak sekali ayat maupun Hadis Nabi yang menekankan pentingnya sopan santun atau keramahan
pada seluruh makhluk Allah SWT. Misalnya, Allah SWT menegaskan bahwa Muhammad SAW tidak
diutus kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta (wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin). Rasulullah
SAW juga mengingatkan, sayangilah atau kasihilah penduduk bumi, maka kita akan dikasihi penduduk
langit. Hadis kasih sayang kepada seluruh makhluk di bumi, tidak hanya manusia melainkan hewan dan
tumbuh-tumbuhan, ini antara lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.

Islam juga menganjurkan persaudaraan, bukannya permusuhan.Dalam Qs. al-Hujurat: 10, Allah SWT
berfirman: innamal muminuna ikhwah (Sesungguhnya orang-orang mumin itu
bersaudara).Berdasarkan hal ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa sesungguhnya seluruh umat Islam
diseluruh penjuru dunia itubersaudara, yang terikat oleh tali agama.Tidak seharusnya sebagai saudara
saling menyakiti. Dan Allah tegas-tegasnya tidak menyukai permusuhan atau perpecahan, seperti yang
tertulis dalam Qs. Ali Imran: 153; Watashimu bi habl Allah jamian wa la tafarraqu (berperanglah
kamu sekalian pada tali agama Allah dan janganlah engkau berpecah belah. Dalam Hadispun
dikatakan, bahwasanya Orang mumin dan mumin lainnya bagaikan satu bangunan yang saling
menguatkan satu sama lain. Hadits ini menerangkan bahwa umat muslim harus seperti sebuah
bangunan yang saling menopang, yang ketika ada mumin lain yang lemah, maka mumin lainnya harus
membantu menguatkannya kembali.

Karena pada umumnya pelaku tindak terorisme adalah kaum muda atau remaja, maka sudah
semestinya mereka diperi pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam di atas yang sangat menekankan
keramahan, perdamaian dan persaudaraan. Para remaja harus lebih giat lagi menggali doktrin
agamanya, sehingga memiliki intelektualitas yang mapan yang karenanya tidak akan menjadi pemuda
labil yang mudah dikendalikan orang-orang tertentu guna melakukan tindak kekerasan. Jihad yang
sesungguhnya pada saat ini adalah menciptakan perdamaian dunia, bukan membunuh orang-orang yang
tak bersalah dengan meledakkan bom.[]
Cikulur, 16 Mei 2013



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Jaringan teroris di Indonesia ternyata lebih besar dan lebih berpengalaman dari yang
selama ini dipikirkan oleh banyak pihak. Analis International Crisis Group (ICG) mengatakan
perekrutan anggota baru dalam jaringan yang dibangun Noordin M Top ternyata dilakukan
dengan sangat mudah. Jaringannya pun terus berkembang dan semakin meluas di tanah air.
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan
perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak
tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target
korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme",
para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan
perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism :
"Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang
penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak
dengan mengatasnamakan agama.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa penengertian teroris?
2. Bagaimana usaha teroris dalam merekrut anggota-anggotanya?
3. Apa tujuan teroris dalam melaksanakan aksinya?
4. Bagaimana perkembangan jaringan teroris saat ini?
5. Bagaimana cara agar terhindar dari pengaruh teroris?



1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian teroris.
2. Mengetahui bagaimana usaha yang dilakukan teroris untuk merekrut anggota.
3. Mengetahui tujuan teroris dalam melaksanakan aksinya.
4. mengetahui bagaimana perkembangan jaringan teroris saat ini.
5. Mengetahui cara agar terhindar dari pengaruh teroris.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Teroris
Kata teror pertama kali dikenal pada zaman Revolusi Prancis. Diakhir abad ke-19, awal
abad ke-20 dan menjelang PD-II, terorisme menjadi teknik perjuangan revolusi. Misalnya, dalam
rejim Stalin pada tahun 1930-an yang juga disebut pemerintahan teror. Di era perang dingin,
teror dikaitkan dengan ancaman senjata nuklir.
Kata Terorisme sendiri berasal dari Bahasa Prancis le terreur yang semula dipergunakan
untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan
secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan
kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan
kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata terorisme sejak awal dipergunakan
untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah.
Namun, istilah terorisme sendiri pada 1970-an dikenakan pada beragam fenomena: dari
bom yang meletus di tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan. Beberapa
pemerintahan bahkan menstigma musuh-musuhnya sebagai teroris dan aksi-aksi mereka
disebut terorisme. Istilah terorisme jelas berkonotasi peyoratif, seperti istilah genosida
atau tirani. Karena itu istilah ini juga rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi membuka peluang
penyalahgunaan. Namun pendefinisian juga tak lepas dari keputusan politis.
T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan
terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk
mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya
dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi dua
katagori, yaitu enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap
kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan menggangu tatanan yang
mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu. Jadi sudah barang tentu dalam hal ini,
terorisme selalu berkaitan erat dengan kondisi politik yang tengah berlaku.
Menurut konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang
ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-
orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Menurut kamus Webster's New School and Office Dictionary, terrorism is the use of
violence, intimidation, etc to gain to end; especially a system of government ruling by teror,
pelakunya disebut terrorist. Selanjutnya sebagai kata kerja terrorize is to fill with dread or terror';
terrify; ti intimidate or coerce by terror or by threats of terror.
Menurut ensiklopeddia Indonesia tahun 2000, terorisme adalah kekerasan atau ancaman
kekerasan yang diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptkan suasana ketakutan dan
bahaya dengan maksud menarik perhatian nasional atau internasional terhadap suatu aksi
maupun tuntutan.
RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta terkemuka di
AS, melalui sejumlah penelitian dan pengkajian menyimpulkan bahwa setiap tindakan kaum
terorris adalah tindakan kriminal.
Definisi konsepsi pemahaman lainnya menyatakah bahwa :
(1) terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga seyogyanya tetap dianggap sebagai
tindakan kriminal, juga situasi diberlakukannya hukum perang
(2) sasaran sipil merupakan sasaran utama terorisme, dan dengan demikian penyerangan terhadap
sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme
(3) meskipun dimensi politik aksi teroris tidak boleh dinilai, aksi terorisme itu dapat saja mengklaim
tuntutanan bersifat politis
a. Ciri-ciri terorisme
Menurut beberapa literatur dan reference termasuk surat kabar dapat disimpulkan bahwa
ciri-ciri terorisme adalah :
1. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi & militant
2. Mempunyai tujuan politik, ideologi tetapi melakukan kejahatan kriminal untuk mencapai tujuan.
3. Tidak mengindahkan norma-norma universal yang berlaku, seperti agama, hukum dan HAM.
4. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut
dan mendapatkan publikasi yang luas.
5. Menggunakan cara-cara antara lain seperti : pengeboman, penculikan, penyanderaan,
pembajakan dan sebagainya yang dapat menarik perhatian massa/publik.
Yon seorang Koordinator Bidang Kajian, Publikasi, dan Penelitian Pusat Kajian Timur
Tengah dan Islam Universitas Indonesia itu menjelaskan, secara umum pelaku terorisme,
termasuk pelaku bom bunuh diri, berdasarkan motivasi dapat dibedakan dalam empat kategori.
Kategori pertama, berkaitan dengan ideologi dan keyakinan, yakni kelompok teroris
yang dimotivasi oleh ajaran agama biasanya dididik dalam lembaga-lembaga pendidikan
keagamaan dalam waktu yang lama dan dipersiapkan untuk aktifitas terorisme.
"Kelompok ini biasanya memiliki ciri-ciri keagamaan tertentu. Melihat trend
pengeboman di Indonesia pada dasawarsa terakhir ini dapat disimpulkan bahwa terorisme
dengan motivasi ajaran agama secara murni hampir dipastikan telah hilang.
Hal itu, lanjutnya, karena komunitas agama di Indonesia tidak menolerir segala bentuk
aksi terorisme. Bahkan kelompok-kelompok yang dianggap keras sekalipun, seperti Ustaz Abu
Bakar Baasyir dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), secara tegas menolak cara-cara yang
dilakukan kelompok Noordin M Top.
Kategori kedua, kelompok yang tereksploitasi. Kelompok inilah yang mendominasi
aksi-aksi terorisme di Indonesia.
Walaupun pelaku mendapatkan indoktrinasi dan sekaligus proyeknya dari anggota dalam
jaringan teroris di Indonesia, tetapi sebagian besar tidak mengenal dengan baik orang telah
mencuci otaknya (brainwashing),
mereka yang dapat dieksploitasi menjadi suicide bombers (pelaku bom bunuh diri) adalah yang
memiliki perasaan bersalah atau merasa hidupnya tak bermakna.
Sebagian besar dari mereka berasal dari segmen pemuda yang bermasalah secara
psikologis dan sosial, serta bukan berasal dari kelompok religius.
"Ciri-cirinya pun berbeda dengan kategori pertama. Mereka tidak direkrut di masjid tetapi di
jalan. Tentu mengeksploitasi segmen masyarakat seperti ini sangat mudah dan inilah yang
menjadi fenomena terorisme di Indonesia," ujarnya.
Kategori ketiga, dimotivasi oleh balas dendam atas kekerasan oleh rezim Orde Baru
terhadap anggota keluarga mereka, Kelompok ini dapat berasal dari keluarga Darul Islam (DI).
Hanya saja untuk saat ini tentu sangat susah mendapatkan keluarga DI yang masih mengalami
trauma kekerasan yang diterima oleh keluarga mereka.
Sedangkan kategori keempat adalah kelompok separatis yang berkembang di Indonesia.
Pada kenyataannya, kata Yon, kelompok itu telah melakukan transformasi kepada gerakan
politik dan berdamai dengan pemerintah Indonesia.

b. Bentuk-bentuk Terorisme.
Dilihar dari cara-cara yang digunakan :
1) Teror Fisik yaitu teror untuk menimbulkan ketakutan, kegelisahan memalui sasaran pisik jasmani
dalam bentuk pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penyanderaan penyiksaan dsb,
sehingga nyata-nyata dapat dilihat secara pisik akibat tindakan teror.
2) Teror Mental, yaitu teror dengan menggunakan segala macam cara yang bisa menimbulkan
ketakutan dan kegelisahan tanpa harus menyakiti jasmani korban (psikologi korban sebagai
sasaran) yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tekanan batin yang luar biasa akibatnya
bisa gila, bunuh diri, putus asa dsb.
Dilihat dari Skala sasaran teror :
1) Teror Nasinal, yaitu teror yang ditujukan kepada pihak-pihak yang ada pada suatu wilayah dan
kekuasaan negara tertentu, yang dapat berupa : pemberontakan bersenjata, pengacauan stabilitas
nasional, dan gangguan keamanan nasional.
2) Teror Internasional. Tindakan teror yang diktujukan kepada bangsa atau negara lain diluar
kawasan negara yang didiami oleh teroris, dengan bentuk :
a) Dari Pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Dalam bentuk penjajahan, invansi, intervensi,
agresi dan perang terbuka.
b) Dari Pihak yang Lemah kepada Pihak yang kuat. Dalam bentuk pembajakan, gangguan keamanan
internasional, sabotase, tindakan nekat dan berani mati, pasukan bunuh diri, dsb.

2.2 Usaha Teroris Dalam Merekrut Anggota
Menurut Margaretha seorang Psikolog Universitas Airlangga (Unair), konsep pencucian
otak merupakan terminologi yang sangat umum. Dari perspektif komunikasi, pelaku kejahatan
ini mendekati calon korban dengan proses persuasi. Proses yang secara sadar bertujuan untuk
mempengaruhi orang berperilaku sesuatu.
Pencucian otak sangat bisa berhasil dengan proses persuasi yang sangat profesional. Bisa
dengan teknik lowball atau juga sugesti.
Teknik lowball, biasanya diawali dengan sebuah permintaan halus. Permintaan ringan yang
disodorkan berlangung terus menerus. Misalnya, seseorang meminta pertolongan secara materil.
Kejahatan dengan teknik lowball ini dilakukan dengan jangka waktu lama dan dilakukan
secara berulang-ulang pada korban yang sama. Semakin lama, si pelaku semakin memberikan
permintaan yang semakin berat. Teknik pencucian otak ini dilancarkan kepada calon korban
secara sadar.
Sedangkan, teknik sugesti digunakan si pelaku dengan menyerang alam tak sadar calon
korban. Biasanya masyarakat lebih akrab dengan teknik gendam. Calon korban diserang dalam
posisi tenang yakni pada saat istirahat atau tahap gelombang otak mengarah tenang.
Menurut Mardigu WP ahli pengamat terorisme, modus yang digunakan para pencuci otak
untuk melaksanakan tujuannya adalah mencari dana dengan doktrin jihad. Pertama, pelaku akan
mengajak si korban untuk hijrah, lalu berjihad, dan terakhir memintanya berinfaq.
Pendekatan yang dilakukan para pelaku juga tergolong singkat. Sejak pertama kali
mengenal korban hingga melakukan eksekusi, mereka butuh waktu dua minggu.
Tidak hanya itu, sasaran korban pun beragam. Tidak ada golongan khusus, atau jenis
kelamin tertentu. Yang jelas, Mardigu meminta semua pihak waspada jika ada orang-orang asing
yang mengajak kenalan dengan cara yang sangat intens.

2.3 Tujuan Teroris
a. Tujuan Jangka Pendek, meliputi :
1. Mempeeroleh pengakuan dari masyarakat lokal, nasional, regional maupun dunia internasional
atas perjuangannya.
2. Memicu reaksi pemerintah, over reaksi dan tindakan represif yang dapat mengakibatkan
keresahan di masyarakat.
3. Mengganggu, melemahkan dan mempermalukan pemerintah, militer atau aparat keamanan
lainnya.
4. Menunjukkan ketidak mampuan pemerintah dalam melindungi dan mengamankan rakyatnya.
5. Memperoleh uang atau perlengkapan.
6. Mengganggu dan atau menghancurkan sarana komunikasi, informasi maupun transportasi.
7. Mencegah atau menghambat keputusan dari badan eksekutif atau legislatif.
8. Menimbulkan mogok kerja.
9. Mencegah mengalirnya investasi dari pihak asing atau program bantuan dari luar negeri.
10. Mempengaruhi jalannya pemilihan umum.
11. Membebaskan tawanan yang menjadi kelompok mereka.
12. Membalas dendam.
b. Tujuan Jangka Panjang, meliputi :
1. Menimbulkan perubahan dramatis dalam pemerintahan, seperti revolusi, perang saudara atau
perang antar negara.
2. Mengganti ideologi suatu negara dengan ideologi kelompoknya.
3. Menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pihak teroris selama perang gerilya.
4. Mempengaruhi kebijakan pembuat keputusan baik dalam lingkup lokal, nasional, regional atau
internasional.
5. Memperoleh pengakuan politis sebagai badan hukum untuk mewakili suatu suku bangsa atau
kelompok nasional, misalnya PLO.

2.4 Perkembangan Terorisme Saat Ini
Pola Terorisme terus berubah dan berkembang. Sedangkan pada permukaan pada intinya
tetap "Merencanakan suatu tindakan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang melanggar hukum untuk menanamkan rasa takut ..." Ini sangat efektif
digunakan sebagai alat strategis dalam menghadapi Lawan yang dihadapinya. Bagaimanapun
terorisme telah berkembang dengan luar biasa dengan menerapkan strategi perang abad 21,
mereka juga selalu beradaptasi dengan perubahan sosial politik dunia serta lingkungan. Beberapa
perubahan itu telah mampu memfasilitasi kemampuan dari teroris dalam beroperasi, memperoleh
dana, dan mengembangkan kemampuan baru. Perubahan lain adalah secara perlahan terorisme
telah bergerak membangun hubungan yang berbeda menuju dunia yang lebih luas.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana konteks perubahan ini , maka kita
perlu melihat sejarah perkembangan terorisme, dengan mewarisi perubahan kontur atas teknik
yang dipelopori oleh orang lain. Perkembangan ini didorong oleh perkembangan yang
berlangsung secara alami, berlangsung dalam suatu konflik dan hubungan internasional. Hal ini
juga perlu di pertimbangkan karena dapat menjadi kemungkinan penyebab konflik yang lebih
besar di masa mendatang, sehingga sangat penting untuk mengetahui Tokoh dan motivasi
mereka.
Berbicara tentang evolusi/perkembangan terorisme dan penggunaan teror berdasarkan
sejarah, penting untuk diketahui bahwa bentuk-bentuk masyarakat dan pemerintah di masa lalu
sangat berbeda dari apa yang ada saat ini. Seperti diketahui bahwa negara-negara modern belum
terbentuk sampai 1648 (Perjanjian Westphalia), dan negara pada saat itu di monopoli oleh
perang, atau kekerasan antar-negara. Keterbatasan dari pemerintah pusat tidak memungkinkan
untuk menggunakan teror sebagai metode untuk mempengaruhi perubahan politik, karena tidak
ada satu otoritas politik yang dominan. Demikian juga dengan tidak adanya pusat kekuasaan
berarti bahwa penggunaan peperangan lebih terbuka bagi setiap kelompok. Tidak hanya tentara
nasional, masyarakat golongan bawah, Tentara bayaran, pimpinan golongan agama, atau para
pedagang dan pengusaha turut serta terlibat dan berpartisipasi dalam peperangan. Keterlibatan
mereka dalam peperangan dianggap sah. Hal ini tentu sangat kontras dengan era modern, di
mana Negara terlibat dalam perang, sedangkan partisipasi pribadi adalah illegal
Teori awal dari Terorisme
Awal penggunaan terorisme, seperti fanatisme dan pembunuhan sebenarnya tidak
meninggalkan filosofi tertentu atau doktrin tertentu dalam penggunaan terorisme. Suatu
pengecualian atas kegagalan spektakuler seperti Guy Fawkes dengan terinspirasi agama
berusaha untuk membunuh King James I dan Anggota Parlemen Inggris, membuktikan terorisme
tidak pernah terpisah dengan kemajuan atau melampaui batas normal dari bentuk peperangan
pada saat itu. Sebagaimana sistem politik menjadi lebih canggih, dan kekuasaan politik dilihat
kurang lebih merupakan karunia ilahi dan dan banyak lagi pembangunan sosial ide-ide baru yang
mengakibatkan timbulnya konflik-konflik baru.
Suasana perang dan konflik politik yang melanda Eropa setelah Revolusi Perancis telah
memberikan inspirasi dan pemikiran pada theory politik pada awal 1800an. Beberapa teori
penting dari revolusi sosial telah berkembang selama waktu itu. Menghubungkan antara
kekerasan revolusioner dan teror yang telah berkembang sejak awal. Theory Revolusioner
menolak kemungkinan reformasi sistem dan menginginkan kekerasan dan kerusakan. Tindakan
ekstrimis ini menjadi dasar untuk penggunaan kekerasan politik .
Dua ideologi yang menggunakan kekerasan dalam perubahan sosial adalah Marxism
yang kemudian berkembang menjadi komunisme, dan Anarkisme. Keduanya pada dasarnya
adalah hanya khayalan yang muluk-muluk, mereka menyatakan bahwa mereka meletakkan teori
dan praktek dapat menghasilkan masyarakat yang ideal. Kedua ideologiy ini sepaham bahwa
kemunculan mereka adalah karena kerusakan sistem yang ada. Keduanya mengakui bahwa
kekerasan di luar batas dapat diterima dan peperangan dan pemberontakan justru diperlukan.
Komunisme memfokuskan pada perang kelas ekonomi, dan diasumsikan penyitaan kekuasaan
negara oleh (rakyat jelata) sampai negara tidak lagi diperlukan, dan akhirnya dibuang
.Anarkisme menganut paham kurang lebih penolakan terhadap segala bentuk pemerintahan. Para
anarkis percaya bahwa setelah negara benar-benar hancur, tidak perlu lagi dibentuk yagng baru
sehingga orang bisa hidup dan berinteraksi tanpa paksaan pemerintah. Dalam jangka pendek,
penerimaan dari apa yg di tawarkan komunisme ini diperlukan untuk keperluan organisasi dan
pemaksaan yang digunakan oleh negara saat itu membuat ideologi ini lebih berhasil dari dua
ideologi yang lain. Anarkisme bertahan di era modern, dengan mempertahankan daya tarik untuk
tetap menerapkan kekerasan sampai hari ini

Abad Evolution of Terrorism
Pada awal Abad 20an. Ideologi yang berdasarkan Nasionalisme dan revolusi adalah merupakan
suatu kekuatan yang paling utama yang terus di kembangkan menghadapi terorisme. Bila
Perjanjian Versailles menggambar kembali peta Eropa setelah Perang Dunia I oleh kehancuran
kekaisaran Austro-Hungarian yang mengakibatkan terciptanya negara-negara baru, ini diakui
sebagai prinsip penentuan nasib sendiri untuk negara dan kelompok etnis. Hal ini mendorong
etnis minority dan penduduk asli tidak menerima pengakuan untuk mengkampanyekan
kemerdekaan atau otonomi. Namun, dalam banyak kasus, penentuan nasib sendiri adalah terbatas
pada negara-negara Eropa dan kelompok etnik di Eropa sementara yang lain tidak boleh,
terutama penguasa kekuasaan Eropa, telah menciptakan kepahitan dan periode konflik jangka
panjang di daerah-daerah jajahan atau koloninya..
Secara khusus, Negara-Negara Arab merasa bahwa mereka telah di Khianati. mereka percaya
akan kemerdekaan, mereka sangat kecewa; pertama ketika Perancis dan Inggris diberi
kewenangan atas tanah mereka, dan kemudian ketika Inggris mengijinkan imigrasi Zionist
masuk ke wilayah Palestina Sesuai dengan isi Deklarasi Balfour.
Sejak akhir Perang Dunia II, terorisme telah mempercepat perkembangannya menjadi komponen
utama dalam konflik kontemporer. Terutama di gunakan segera setelah perang sebagai unsur
utama anti-penjajahan dan perannya semakin meluas. Dalam Pelayanan di berbagai aspirasi dan
ideologi, terkadang terorisme digantikan dengan bentuk konflik lain. Hal ini menjadi senjata
jarak jauh yang mampu mencapai efek global lebih kurang seperti roket jarak jauh. Ia juga telah
dibuktikan dapat menjadi alat signifikan dari diplomasi internasional dan terbukti beberapa
negara cenderung untuk menggunakannya.
Nampaknya hasil yang cepat dan goncangan yang besar dari terorisme telah menjadi
pertimbangan sebagai jalan singkat menuju kemenangan. Kelompok Revolusioner yang tidak
rela untuk memberikan waktu dan sumber daya dalam mengatur kegiatan politik akan
bergantung pada "propaganda dari aksi yang dibuat" untuk menggerakkan aksi massa yang besar.
Hal ini menunjukkan bahwa kelompok pergerakan kecil dapat menumbangkan setiap pemerintah
melalui penggunaan terror hal ini dipercayai oleh oleh kaum revolusioner
Saat ini, motif terorisme lebih sering dikaitkan dengan dimensi moral yang luas seperti nilai,
ideologi, agama, ketidakadilan tatanan dan struktur sosial maupun konstelasi dunia. Namun tidak
dipungkiri, bahwa sekarang ini, Islam diidentikan sedemikian rupa sebagai agama yang
mengusung terorisme. Perkembangan Islam, baik secara institusi dan ataupun individualnya,
telah mengkhawatirkan dunia internasional sedemikian rupa tanpa alasan yang jelas sama sekali.
Stigma Islam yang melahirkan kekerasan terus dimunculkan setiap hari di berbagai belahan
dunia.Hingga umat pun perlahan-lahan mulai percaya bahwa Islam mengusung kekerasan seperti
itu, padahal tak sedikitpun agama ini menganjurkan kekerasan. Dalam berperang, Islam telah
mengajarkan syarat dan ketentuan seperti tidak sembarangan, tidak boleh membunuh non-
kombatan, tidak boleh merusak pepohonan, tidak boleh berlebihan, dan sebagainya.
Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik:
1. ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
2. keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin.
3. tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap Terorisme yang sudah dilakukan.
4. serangan Terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh
permukaan bumi.

Perkembangan Terorisme di Indonesia
Terorisme sebuah fenomena yang mengganggu. Aksi terorisme seringkali melibatkan beberapa
negara. Sponsor internasional yang sesungguhnya adalah negara besar. Harus dipahami bahwa
terorisme sekarang telah mendunia dan tidak memandang garis perbatasan internasional.
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 yang menetapkan Al Qaeda pimpinan
Osama bin Laden berada dibalik tragedi 11 September 2001 dan dinyatakan sebagai Terorisme
yang harus diberantas oleh dunia telah menimbulkan berbagai reaksi dikalangan masyarakat
internasional diantaranya muncul tanggapan yang menyatakan bahwa justru Amerika Serikat lah
yang mensponsori aksi teror di dunia dengan membentuk konspirasi global yang didukung
sekutunya dengan tujuan menghancurkan Islam di Indonesia tanggapan tersebut santer ketika
munculnya pernyataan PM Senior Singapura Lee Kuan Yeuw bahwa Indonesia Sarang Teroris
yang serta merta seluruh masyarakat Indonesia menolak pernyataan tersebut dengan membakar
gambar/patung PM Singapura.
Walaupun Polri berhasil menangkap para pelaku serta mengungkap jaringan Terorisme
yang berada dibalik peristiwa tersebut, namun hal ini sangat berdampak pada semua aspek
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Atas hasil pengungkapan kasus peledakan bom Bali
reaksi masyarakat yang semula cenderung apriori terhadap bom Bali, seolah-olah semua ini
adalah hasil rekayasa internasional bersama pemerintah, kini telah bergeser dan mampu melihat
fakta secara obyektif melalui proses penanganan dan pengungkapan berbagai macam serta semua
jaringan dan para pelaku serta.
Taktik. Yang sering dilakukan oleh para teroris adalah:
1) Bom. Taktik yang sering digunakan adalah pengeboman. Dalam dekade terakhir ini sering terjadi
aksi teror yang dilaksanakan dengan menggunakan bom, baik di Indonesia maupun di luar
negeri, dan hal ini kedepan masih mungkin terjadi.
2) Pembajakan. Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh kelompok teroris. Pembajkan terhadap
pesawat terbang komersial pernah terjadi di beberapa negara, termasuk terhadap pesawat Garuda
Indonesia di Don Muang Bangkok pada tahun 1981. Tidak menutup kemungkinan pembajakan
pesawat terbang komersial masih akaan terjadi saat ini dan massa yang akan datang, baik di
Indonesia maupun di luar negeri.
3) Pembunuhan. Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan masih digunakan hingga
saat in. Sasaran dari pembunuhan ini seringkali telah diramalkan, teroris akan mengklaim
bertanggungjawab atas pembunuhan yang dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini biasanya
adalah pejabat pemerintah, penguasa, politisi dan aparat keamanan. Dlam sepuluh tahun terakhir
tercatat 246 kasus pembunuhan oleh teroris seluruh dunia.
4) Penculikan. Tidak semua penghadangan ditujukan untuk membunuh. Dalam kasus kelompok
gerilya Abu Sayaf di Filipina, penghadangan lebih ditujukan untuk menculik personel, sepperti
yang dilakukan oleh kelompok GAM terhadap kameraman RCTI Ersa Siregar dan Fery Santoro
di Aceh. Penculikan biasanya akan diikuti dengan tuntutan imbalan berupa uang atau tuntutan
p[olitik lainnya.
5) Penyanderaan. Perbedaan antara penculikan dan penyanderaan dalam dunia terorisme sangat tipis.
Kedua bentuk operasi ini seringkali meimiliki pengegertian yang sama. Penculik biasanya
meennan korbannya di tempat tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa materi dan uang,
sedangkan penyanderaan biasanya menahan sandera di tempat umum ataupun di dalam hutan
seperti yang dilakukan oleh kelompok Kelly Kwalik di Papua yang menyandera tim peneliti
Lorenz pada tahun 1996. Tuntutan penyannderaan lebih dari sekedar materi. Biasanya tuntutan
politik lebih sering dilemparkan pada kasus penyanderaan ini.

2.5 Cara Agar Terhindar Dari Pengaruh Terorisme
Dalam rangka memerangi aksi terorisme, secara umum diperlukan persyaratan kesiapan
yang meliputi :
(1) kesiapan dibidang politik, yakni perlunya dukungan masyarakat secara penuh bahwa terorisme
adalah musuh bangsa dan negara yang harus dihadapi oleh segenap bangsa;
(2) kesiapan dibidang hukum, peraturan perudangan dibidang pemberantasan terorisme merupakan
agenda mutlak, karena hukum ini akan memberikan kekuatan kepada semua pihak untuk
menjerat pelaku terorisme, disadari bahwa hukum untuk menghadapi aksi teror kurang sejalan
dengan semangat demokrasi dan HAM;
(3) kesiapan bidang operasional, yakni menuntut kesiapan adanya satuan antiteror dan Litbang teror,
bekerjasama dengan semua pihak, permasalahannya adalah belum adanya aturan baku atau
prosedur tetap yang baku dan mengikat semua pihak.
Masyarakat harus lebih menyadari tentang keadaan dirinya, menyadari proses yang
dirinya sedang terlibat saat itu. Untuk teknik lowball, biasanya yang diserang adalah orang
bertipe mudah merasa bersalah. Jadi saat diminta untuk berbuat sesuatu, tidak bisa menolak.

Tak jauh beda dengan teknik lowball, teknik sugesti juga harus diwaspadai. Kuncinya,
masyarakat memang harus meningkatkan kesadaran diri. Bila ada orang asing yang
memberikan perhatian berlebihan, jangan ragu-ragu menolak. Biasanya pelaku-pelaku kejahatan
tersebut mensugesti kita menuju ketenangan, bisa dengan memberikan kue atau bahkan
mengajak ke suatu tempat.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terorisme adalah kekerasan atau ancaman kekerasan yang diperhitungkan sedemikian rupa
untuk menciptkan suasana ketakutan dan bahaya dengan maksud menarik perhatian nasional atau
internasional terhadap suatu aksi maupun tuntutan.
Ciri-ciri terorisme adalah :
1. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi & militant
2. Mempunyai tujuan politik, ideologi tetapi melakukan kejahatan kriminal untuk mencapai tujuan.
3. Tidak mengindahkan norma-norma universal yang berlaku, seperti agama, hukum dan HAM.
4. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut
dan mendapatkan publikasi yang luas.
5. Menggunakan cara-cara antara lain seperti : pengeboman, penculikan, penyanderaan,
pembajakan dan sebagainya yang dapat menarik perhatian massa/publik.
Bentuk-bentuk Terorisme:
Dilihar dari cara-cara yang digunakan :
1) Teror Fisik
2) Teror Mental
Dilihat dari Skala sasaran teror :
1) Teror Nasional
2) Teror Internasional
a) Dari Pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Dalam bentuk penjajahan, invansi, intervensi,
agresi dan perang terbuka.
b) Dari Pihak yang Lemah kepada Pihak yang kuat. Dalam bentuk pembajakan, gangguan keamanan
internasional, sabotase, tindakan nekat dan berani mati, pasukan bunuh diri, dsb.
Dalam rangka memerangi aksi terorisme, secara umum diperlukan persyaratan kesiapan
yang meliputi :
(1) kesiapan dibidang politik
(2) kesiapan dibidang hukum
(3) kesiapan bidang operasional

3.2 Saran
Setiap tindakan kaum teroris adalah tindakan kriminal. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat
yang mempunyai moral, pendidikan, dan etika sudah selayaknya tidak terjerumus hal-hal yang
berhubungan dengan tindakan terorisme ataupun tindakan kriminal lainnya. Selain itu,
penyuluhan terhadap bahaya terorisme di sekitar kita perlu diadakan untuk antisipasi
terpengaruhnya masyarakat awam terhadap terorisme.





DAFTAR PUSTAKA

http://www.antaranews.com/berita/1250846276/pengamat-jaringan-teroris-di-indonesia-sudah-
rapuh
http://indonesiacompanynews.wordpress.com/2011/04/11/kasus-teroris-pakai-hipnosis-untuk-
cari-kader/
http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme
http://allnitecafe.wordpress.com/2009/08/12/terorisme-perkembangan-dan-akar-sejarahnya/
http://astiol.com/terorism/6-global-terorism/21-evolusi-dan-perkembangan-terorisme.html
http://nunezbaehaqi.wordpress.com/2010/12/05/perkembangan-antara-agama-islam-dan-
ancaman-terorisme-di-indonesia/

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Jaringan teroris di Indonesia ternyata lebih besar dan lebih berpengalaman dari yang
selama ini dipikirkan oleh banyak pihak. Analis International Crisis Group (ICG) mengatakan
perekrutan anggota baru dalam jaringan yang dibangun Noordin M Top ternyata dilakukan
dengan sangat mudah. Jaringannya pun terus berkembang dan semakin meluas di tanah air.
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan
perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak
tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target
korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme",
para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan
perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism :
"Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang
penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak
dengan mengatasnamakan agama.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa penengertian teroris?
2. Bagaimana usaha teroris dalam merekrut anggota-anggotanya?
3. Apa tujuan teroris dalam melaksanakan aksinya?
4. Bagaimana perkembangan jaringan teroris saat ini?
5. Bagaimana cara agar terhindar dari pengaruh teroris?



1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian teroris.
2. Mengetahui bagaimana usaha yang dilakukan teroris untuk merekrut anggota.
3. Mengetahui tujuan teroris dalam melaksanakan aksinya.
4. mengetahui bagaimana perkembangan jaringan teroris saat ini.
5. Mengetahui cara agar terhindar dari pengaruh teroris.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Teroris
Kata teror pertama kali dikenal pada zaman Revolusi Prancis. Diakhir abad ke-19, awal
abad ke-20 dan menjelang PD-II, terorisme menjadi teknik perjuangan revolusi. Misalnya, dalam
rejim Stalin pada tahun 1930-an yang juga disebut pemerintahan teror. Di era perang dingin,
teror dikaitkan dengan ancaman senjata nuklir.
Kata Terorisme sendiri berasal dari Bahasa Prancis le terreur yang semula dipergunakan
untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan
secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan
kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan
kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata terorisme sejak awal dipergunakan
untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah.
Namun, istilah terorisme sendiri pada 1970-an dikenakan pada beragam fenomena: dari
bom yang meletus di tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan. Beberapa
pemerintahan bahkan menstigma musuh-musuhnya sebagai teroris dan aksi-aksi mereka
disebut terorisme. Istilah terorisme jelas berkonotasi peyoratif, seperti istilah genosida
atau tirani. Karena itu istilah ini juga rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi membuka peluang
penyalahgunaan. Namun pendefinisian juga tak lepas dari keputusan politis.
T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan
terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk
mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya
dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi dua
katagori, yaitu enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap
kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan menggangu tatanan yang
mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu. Jadi sudah barang tentu dalam hal ini,
terorisme selalu berkaitan erat dengan kondisi politik yang tengah berlaku.
Menurut konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang
ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-
orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.
Menurut kamus Webster's New School and Office Dictionary, terrorism is the use of
violence, intimidation, etc to gain to end; especially a system of government ruling by teror,
pelakunya disebut terrorist. Selanjutnya sebagai kata kerja terrorize is to fill with dread or terror';
terrify; ti intimidate or coerce by terror or by threats of terror.
Menurut ensiklopeddia Indonesia tahun 2000, terorisme adalah kekerasan atau ancaman
kekerasan yang diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptkan suasana ketakutan dan
bahaya dengan maksud menarik perhatian nasional atau internasional terhadap suatu aksi
maupun tuntutan.
RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta terkemuka di
AS, melalui sejumlah penelitian dan pengkajian menyimpulkan bahwa setiap tindakan kaum
terorris adalah tindakan kriminal.
Definisi konsepsi pemahaman lainnya menyatakah bahwa :
(1) terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga seyogyanya tetap dianggap sebagai
tindakan kriminal, juga situasi diberlakukannya hukum perang
(2) sasaran sipil merupakan sasaran utama terorisme, dan dengan demikian penyerangan terhadap
sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme
(3) meskipun dimensi politik aksi teroris tidak boleh dinilai, aksi terorisme itu dapat saja mengklaim
tuntutanan bersifat politis
a. Ciri-ciri terorisme
Menurut beberapa literatur dan reference termasuk surat kabar dapat disimpulkan bahwa
ciri-ciri terorisme adalah :
1. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi & militant
2. Mempunyai tujuan politik, ideologi tetapi melakukan kejahatan kriminal untuk mencapai tujuan.
3. Tidak mengindahkan norma-norma universal yang berlaku, seperti agama, hukum dan HAM.
4. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut
dan mendapatkan publikasi yang luas.
5. Menggunakan cara-cara antara lain seperti : pengeboman, penculikan, penyanderaan,
pembajakan dan sebagainya yang dapat menarik perhatian massa/publik.
Yon seorang Koordinator Bidang Kajian, Publikasi, dan Penelitian Pusat Kajian Timur
Tengah dan Islam Universitas Indonesia itu menjelaskan, secara umum pelaku terorisme,
termasuk pelaku bom bunuh diri, berdasarkan motivasi dapat dibedakan dalam empat kategori.
Kategori pertama, berkaitan dengan ideologi dan keyakinan, yakni kelompok teroris
yang dimotivasi oleh ajaran agama biasanya dididik dalam lembaga-lembaga pendidikan
keagamaan dalam waktu yang lama dan dipersiapkan untuk aktifitas terorisme.
"Kelompok ini biasanya memiliki ciri-ciri keagamaan tertentu. Melihat trend
pengeboman di Indonesia pada dasawarsa terakhir ini dapat disimpulkan bahwa terorisme
dengan motivasi ajaran agama secara murni hampir dipastikan telah hilang.
Hal itu, lanjutnya, karena komunitas agama di Indonesia tidak menolerir segala bentuk
aksi terorisme. Bahkan kelompok-kelompok yang dianggap keras sekalipun, seperti Ustaz Abu
Bakar Baasyir dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), secara tegas menolak cara-cara yang
dilakukan kelompok Noordin M Top.
Kategori kedua, kelompok yang tereksploitasi. Kelompok inilah yang mendominasi
aksi-aksi terorisme di Indonesia.
Walaupun pelaku mendapatkan indoktrinasi dan sekaligus proyeknya dari anggota dalam
jaringan teroris di Indonesia, tetapi sebagian besar tidak mengenal dengan baik orang telah
mencuci otaknya (brainwashing),
mereka yang dapat dieksploitasi menjadi suicide bombers (pelaku bom bunuh diri) adalah yang
memiliki perasaan bersalah atau merasa hidupnya tak bermakna.
Sebagian besar dari mereka berasal dari segmen pemuda yang bermasalah secara
psikologis dan sosial, serta bukan berasal dari kelompok religius.
"Ciri-cirinya pun berbeda dengan kategori pertama. Mereka tidak direkrut di masjid tetapi di
jalan. Tentu mengeksploitasi segmen masyarakat seperti ini sangat mudah dan inilah yang
menjadi fenomena terorisme di Indonesia," ujarnya.
Kategori ketiga, dimotivasi oleh balas dendam atas kekerasan oleh rezim Orde Baru
terhadap anggota keluarga mereka, Kelompok ini dapat berasal dari keluarga Darul Islam (DI).
Hanya saja untuk saat ini tentu sangat susah mendapatkan keluarga DI yang masih mengalami
trauma kekerasan yang diterima oleh keluarga mereka.
Sedangkan kategori keempat adalah kelompok separatis yang berkembang di Indonesia.
Pada kenyataannya, kata Yon, kelompok itu telah melakukan transformasi kepada gerakan
politik dan berdamai dengan pemerintah Indonesia.

b. Bentuk-bentuk Terorisme.
Dilihar dari cara-cara yang digunakan :
1) Teror Fisik yaitu teror untuk menimbulkan ketakutan, kegelisahan memalui sasaran pisik jasmani
dalam bentuk pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penyanderaan penyiksaan dsb,
sehingga nyata-nyata dapat dilihat secara pisik akibat tindakan teror.
2) Teror Mental, yaitu teror dengan menggunakan segala macam cara yang bisa menimbulkan
ketakutan dan kegelisahan tanpa harus menyakiti jasmani korban (psikologi korban sebagai
sasaran) yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tekanan batin yang luar biasa akibatnya
bisa gila, bunuh diri, putus asa dsb.
Dilihat dari Skala sasaran teror :
1) Teror Nasinal, yaitu teror yang ditujukan kepada pihak-pihak yang ada pada suatu wilayah dan
kekuasaan negara tertentu, yang dapat berupa : pemberontakan bersenjata, pengacauan stabilitas
nasional, dan gangguan keamanan nasional.
2) Teror Internasional. Tindakan teror yang diktujukan kepada bangsa atau negara lain diluar
kawasan negara yang didiami oleh teroris, dengan bentuk :
a) Dari Pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Dalam bentuk penjajahan, invansi, intervensi,
agresi dan perang terbuka.
b) Dari Pihak yang Lemah kepada Pihak yang kuat. Dalam bentuk pembajakan, gangguan keamanan
internasional, sabotase, tindakan nekat dan berani mati, pasukan bunuh diri, dsb.

2.2 Usaha Teroris Dalam Merekrut Anggota
Menurut Margaretha seorang Psikolog Universitas Airlangga (Unair), konsep pencucian
otak merupakan terminologi yang sangat umum. Dari perspektif komunikasi, pelaku kejahatan
ini mendekati calon korban dengan proses persuasi. Proses yang secara sadar bertujuan untuk
mempengaruhi orang berperilaku sesuatu.
Pencucian otak sangat bisa berhasil dengan proses persuasi yang sangat profesional. Bisa
dengan teknik lowball atau juga sugesti.
Teknik lowball, biasanya diawali dengan sebuah permintaan halus. Permintaan ringan yang
disodorkan berlangung terus menerus. Misalnya, seseorang meminta pertolongan secara materil.
Kejahatan dengan teknik lowball ini dilakukan dengan jangka waktu lama dan dilakukan
secara berulang-ulang pada korban yang sama. Semakin lama, si pelaku semakin memberikan
permintaan yang semakin berat. Teknik pencucian otak ini dilancarkan kepada calon korban
secara sadar.
Sedangkan, teknik sugesti digunakan si pelaku dengan menyerang alam tak sadar calon
korban. Biasanya masyarakat lebih akrab dengan teknik gendam. Calon korban diserang dalam
posisi tenang yakni pada saat istirahat atau tahap gelombang otak mengarah tenang.
Menurut Mardigu WP ahli pengamat terorisme, modus yang digunakan para pencuci otak
untuk melaksanakan tujuannya adalah mencari dana dengan doktrin jihad. Pertama, pelaku akan
mengajak si korban untuk hijrah, lalu berjihad, dan terakhir memintanya berinfaq.
Pendekatan yang dilakukan para pelaku juga tergolong singkat. Sejak pertama kali
mengenal korban hingga melakukan eksekusi, mereka butuh waktu dua minggu.
Tidak hanya itu, sasaran korban pun beragam. Tidak ada golongan khusus, atau jenis
kelamin tertentu. Yang jelas, Mardigu meminta semua pihak waspada jika ada orang-orang asing
yang mengajak kenalan dengan cara yang sangat intens.

2.3 Tujuan Teroris
a. Tujuan Jangka Pendek, meliputi :
1. Mempeeroleh pengakuan dari masyarakat lokal, nasional, regional maupun dunia internasional
atas perjuangannya.
2. Memicu reaksi pemerintah, over reaksi dan tindakan represif yang dapat mengakibatkan
keresahan di masyarakat.
3. Mengganggu, melemahkan dan mempermalukan pemerintah, militer atau aparat keamanan
lainnya.
4. Menunjukkan ketidak mampuan pemerintah dalam melindungi dan mengamankan rakyatnya.
5. Memperoleh uang atau perlengkapan.
6. Mengganggu dan atau menghancurkan sarana komunikasi, informasi maupun transportasi.
7. Mencegah atau menghambat keputusan dari badan eksekutif atau legislatif.
8. Menimbulkan mogok kerja.
9. Mencegah mengalirnya investasi dari pihak asing atau program bantuan dari luar negeri.
10. Mempengaruhi jalannya pemilihan umum.
11. Membebaskan tawanan yang menjadi kelompok mereka.
12. Membalas dendam.
b. Tujuan Jangka Panjang, meliputi :
1. Menimbulkan perubahan dramatis dalam pemerintahan, seperti revolusi, perang saudara atau
perang antar negara.
2. Mengganti ideologi suatu negara dengan ideologi kelompoknya.
3. Menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pihak teroris selama perang gerilya.
4. Mempengaruhi kebijakan pembuat keputusan baik dalam lingkup lokal, nasional, regional atau
internasional.
5. Memperoleh pengakuan politis sebagai badan hukum untuk mewakili suatu suku bangsa atau
kelompok nasional, misalnya PLO.

2.4 Perkembangan Terorisme Saat Ini
Pola Terorisme terus berubah dan berkembang. Sedangkan pada permukaan pada intinya
tetap "Merencanakan suatu tindakan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang melanggar hukum untuk menanamkan rasa takut ..." Ini sangat efektif
digunakan sebagai alat strategis dalam menghadapi Lawan yang dihadapinya. Bagaimanapun
terorisme telah berkembang dengan luar biasa dengan menerapkan strategi perang abad 21,
mereka juga selalu beradaptasi dengan perubahan sosial politik dunia serta lingkungan. Beberapa
perubahan itu telah mampu memfasilitasi kemampuan dari teroris dalam beroperasi, memperoleh
dana, dan mengembangkan kemampuan baru. Perubahan lain adalah secara perlahan terorisme
telah bergerak membangun hubungan yang berbeda menuju dunia yang lebih luas.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana konteks perubahan ini , maka kita
perlu melihat sejarah perkembangan terorisme, dengan mewarisi perubahan kontur atas teknik
yang dipelopori oleh orang lain. Perkembangan ini didorong oleh perkembangan yang
berlangsung secara alami, berlangsung dalam suatu konflik dan hubungan internasional. Hal ini
juga perlu di pertimbangkan karena dapat menjadi kemungkinan penyebab konflik yang lebih
besar di masa mendatang, sehingga sangat penting untuk mengetahui Tokoh dan motivasi
mereka.
Berbicara tentang evolusi/perkembangan terorisme dan penggunaan teror berdasarkan
sejarah, penting untuk diketahui bahwa bentuk-bentuk masyarakat dan pemerintah di masa lalu
sangat berbeda dari apa yang ada saat ini. Seperti diketahui bahwa negara-negara modern belum
terbentuk sampai 1648 (Perjanjian Westphalia), dan negara pada saat itu di monopoli oleh
perang, atau kekerasan antar-negara. Keterbatasan dari pemerintah pusat tidak memungkinkan
untuk menggunakan teror sebagai metode untuk mempengaruhi perubahan politik, karena tidak
ada satu otoritas politik yang dominan. Demikian juga dengan tidak adanya pusat kekuasaan
berarti bahwa penggunaan peperangan lebih terbuka bagi setiap kelompok. Tidak hanya tentara
nasional, masyarakat golongan bawah, Tentara bayaran, pimpinan golongan agama, atau para
pedagang dan pengusaha turut serta terlibat dan berpartisipasi dalam peperangan. Keterlibatan
mereka dalam peperangan dianggap sah. Hal ini tentu sangat kontras dengan era modern, di
mana Negara terlibat dalam perang, sedangkan partisipasi pribadi adalah illegal
Teori awal dari Terorisme
Awal penggunaan terorisme, seperti fanatisme dan pembunuhan sebenarnya tidak
meninggalkan filosofi tertentu atau doktrin tertentu dalam penggunaan terorisme. Suatu
pengecualian atas kegagalan spektakuler seperti Guy Fawkes dengan terinspirasi agama
berusaha untuk membunuh King James I dan Anggota Parlemen Inggris, membuktikan terorisme
tidak pernah terpisah dengan kemajuan atau melampaui batas normal dari bentuk peperangan
pada saat itu. Sebagaimana sistem politik menjadi lebih canggih, dan kekuasaan politik dilihat
kurang lebih merupakan karunia ilahi dan dan banyak lagi pembangunan sosial ide-ide baru yang
mengakibatkan timbulnya konflik-konflik baru.
Suasana perang dan konflik politik yang melanda Eropa setelah Revolusi Perancis telah
memberikan inspirasi dan pemikiran pada theory politik pada awal 1800an. Beberapa teori
penting dari revolusi sosial telah berkembang selama waktu itu. Menghubungkan antara
kekerasan revolusioner dan teror yang telah berkembang sejak awal. Theory Revolusioner
menolak kemungkinan reformasi sistem dan menginginkan kekerasan dan kerusakan. Tindakan
ekstrimis ini menjadi dasar untuk penggunaan kekerasan politik .
Dua ideologi yang menggunakan kekerasan dalam perubahan sosial adalah Marxism
yang kemudian berkembang menjadi komunisme, dan Anarkisme. Keduanya pada dasarnya
adalah hanya khayalan yang muluk-muluk, mereka menyatakan bahwa mereka meletakkan teori
dan praktek dapat menghasilkan masyarakat yang ideal. Kedua ideologiy ini sepaham bahwa
kemunculan mereka adalah karena kerusakan sistem yang ada. Keduanya mengakui bahwa
kekerasan di luar batas dapat diterima dan peperangan dan pemberontakan justru diperlukan.
Komunisme memfokuskan pada perang kelas ekonomi, dan diasumsikan penyitaan kekuasaan
negara oleh (rakyat jelata) sampai negara tidak lagi diperlukan, dan akhirnya dibuang
.Anarkisme menganut paham kurang lebih penolakan terhadap segala bentuk pemerintahan. Para
anarkis percaya bahwa setelah negara benar-benar hancur, tidak perlu lagi dibentuk yagng baru
sehingga orang bisa hidup dan berinteraksi tanpa paksaan pemerintah. Dalam jangka pendek,
penerimaan dari apa yg di tawarkan komunisme ini diperlukan untuk keperluan organisasi dan
pemaksaan yang digunakan oleh negara saat itu membuat ideologi ini lebih berhasil dari dua
ideologi yang lain. Anarkisme bertahan di era modern, dengan mempertahankan daya tarik untuk
tetap menerapkan kekerasan sampai hari ini

Abad Evolution of Terrorism
Pada awal Abad 20an. Ideologi yang berdasarkan Nasionalisme dan revolusi adalah merupakan
suatu kekuatan yang paling utama yang terus di kembangkan menghadapi terorisme. Bila
Perjanjian Versailles menggambar kembali peta Eropa setelah Perang Dunia I oleh kehancuran
kekaisaran Austro-Hungarian yang mengakibatkan terciptanya negara-negara baru, ini diakui
sebagai prinsip penentuan nasib sendiri untuk negara dan kelompok etnis. Hal ini mendorong
etnis minority dan penduduk asli tidak menerima pengakuan untuk mengkampanyekan
kemerdekaan atau otonomi. Namun, dalam banyak kasus, penentuan nasib sendiri adalah terbatas
pada negara-negara Eropa dan kelompok etnik di Eropa sementara yang lain tidak boleh,
terutama penguasa kekuasaan Eropa, telah menciptakan kepahitan dan periode konflik jangka
panjang di daerah-daerah jajahan atau koloninya..
Secara khusus, Negara-Negara Arab merasa bahwa mereka telah di Khianati. mereka percaya
akan kemerdekaan, mereka sangat kecewa; pertama ketika Perancis dan Inggris diberi
kewenangan atas tanah mereka, dan kemudian ketika Inggris mengijinkan imigrasi Zionist
masuk ke wilayah Palestina Sesuai dengan isi Deklarasi Balfour.
Sejak akhir Perang Dunia II, terorisme telah mempercepat perkembangannya menjadi komponen
utama dalam konflik kontemporer. Terutama di gunakan segera setelah perang sebagai unsur
utama anti-penjajahan dan perannya semakin meluas. Dalam Pelayanan di berbagai aspirasi dan
ideologi, terkadang terorisme digantikan dengan bentuk konflik lain. Hal ini menjadi senjata
jarak jauh yang mampu mencapai efek global lebih kurang seperti roket jarak jauh. Ia juga telah
dibuktikan dapat menjadi alat signifikan dari diplomasi internasional dan terbukti beberapa
negara cenderung untuk menggunakannya.
Nampaknya hasil yang cepat dan goncangan yang besar dari terorisme telah menjadi
pertimbangan sebagai jalan singkat menuju kemenangan. Kelompok Revolusioner yang tidak
rela untuk memberikan waktu dan sumber daya dalam mengatur kegiatan politik akan
bergantung pada "propaganda dari aksi yang dibuat" untuk menggerakkan aksi massa yang besar.
Hal ini menunjukkan bahwa kelompok pergerakan kecil dapat menumbangkan setiap pemerintah
melalui penggunaan terror hal ini dipercayai oleh oleh kaum revolusioner
Saat ini, motif terorisme lebih sering dikaitkan dengan dimensi moral yang luas seperti nilai,
ideologi, agama, ketidakadilan tatanan dan struktur sosial maupun konstelasi dunia. Namun tidak
dipungkiri, bahwa sekarang ini, Islam diidentikan sedemikian rupa sebagai agama yang
mengusung terorisme. Perkembangan Islam, baik secara institusi dan ataupun individualnya,
telah mengkhawatirkan dunia internasional sedemikian rupa tanpa alasan yang jelas sama sekali.
Stigma Islam yang melahirkan kekerasan terus dimunculkan setiap hari di berbagai belahan
dunia.Hingga umat pun perlahan-lahan mulai percaya bahwa Islam mengusung kekerasan seperti
itu, padahal tak sedikitpun agama ini menganjurkan kekerasan. Dalam berperang, Islam telah
mengajarkan syarat dan ketentuan seperti tidak sembarangan, tidak boleh membunuh non-
kombatan, tidak boleh merusak pepohonan, tidak boleh berlebihan, dan sebagainya.
Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik:
1. ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
2. keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin.
3. tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap Terorisme yang sudah dilakukan.
4. serangan Terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh
permukaan bumi.

Perkembangan Terorisme di Indonesia
Terorisme sebuah fenomena yang mengganggu. Aksi terorisme seringkali melibatkan beberapa
negara. Sponsor internasional yang sesungguhnya adalah negara besar. Harus dipahami bahwa
terorisme sekarang telah mendunia dan tidak memandang garis perbatasan internasional.
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 yang menetapkan Al Qaeda pimpinan
Osama bin Laden berada dibalik tragedi 11 September 2001 dan dinyatakan sebagai Terorisme
yang harus diberantas oleh dunia telah menimbulkan berbagai reaksi dikalangan masyarakat
internasional diantaranya muncul tanggapan yang menyatakan bahwa justru Amerika Serikat lah
yang mensponsori aksi teror di dunia dengan membentuk konspirasi global yang didukung
sekutunya dengan tujuan menghancurkan Islam di Indonesia tanggapan tersebut santer ketika
munculnya pernyataan PM Senior Singapura Lee Kuan Yeuw bahwa Indonesia Sarang Teroris
yang serta merta seluruh masyarakat Indonesia menolak pernyataan tersebut dengan membakar
gambar/patung PM Singapura.
Walaupun Polri berhasil menangkap para pelaku serta mengungkap jaringan Terorisme
yang berada dibalik peristiwa tersebut, namun hal ini sangat berdampak pada semua aspek
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Atas hasil pengungkapan kasus peledakan bom Bali
reaksi masyarakat yang semula cenderung apriori terhadap bom Bali, seolah-olah semua ini
adalah hasil rekayasa internasional bersama pemerintah, kini telah bergeser dan mampu melihat
fakta secara obyektif melalui proses penanganan dan pengungkapan berbagai macam serta semua
jaringan dan para pelaku serta.
Taktik. Yang sering dilakukan oleh para teroris adalah:
1) Bom. Taktik yang sering digunakan adalah pengeboman. Dalam dekade terakhir ini sering terjadi
aksi teror yang dilaksanakan dengan menggunakan bom, baik di Indonesia maupun di luar
negeri, dan hal ini kedepan masih mungkin terjadi.
2) Pembajakan. Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh kelompok teroris. Pembajkan terhadap
pesawat terbang komersial pernah terjadi di beberapa negara, termasuk terhadap pesawat Garuda
Indonesia di Don Muang Bangkok pada tahun 1981. Tidak menutup kemungkinan pembajakan
pesawat terbang komersial masih akaan terjadi saat ini dan massa yang akan datang, baik di
Indonesia maupun di luar negeri.
3) Pembunuhan. Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan masih digunakan hingga
saat in. Sasaran dari pembunuhan ini seringkali telah diramalkan, teroris akan mengklaim
bertanggungjawab atas pembunuhan yang dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini biasanya
adalah pejabat pemerintah, penguasa, politisi dan aparat keamanan. Dlam sepuluh tahun terakhir
tercatat 246 kasus pembunuhan oleh teroris seluruh dunia.
4) Penculikan. Tidak semua penghadangan ditujukan untuk membunuh. Dalam kasus kelompok
gerilya Abu Sayaf di Filipina, penghadangan lebih ditujukan untuk menculik personel, sepperti
yang dilakukan oleh kelompok GAM terhadap kameraman RCTI Ersa Siregar dan Fery Santoro
di Aceh. Penculikan biasanya akan diikuti dengan tuntutan imbalan berupa uang atau tuntutan
p[olitik lainnya.
5) Penyanderaan. Perbedaan antara penculikan dan penyanderaan dalam dunia terorisme sangat tipis.
Kedua bentuk operasi ini seringkali meimiliki pengegertian yang sama. Penculik biasanya
meennan korbannya di tempat tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa materi dan uang,
sedangkan penyanderaan biasanya menahan sandera di tempat umum ataupun di dalam hutan
seperti yang dilakukan oleh kelompok Kelly Kwalik di Papua yang menyandera tim peneliti
Lorenz pada tahun 1996. Tuntutan penyannderaan lebih dari sekedar materi. Biasanya tuntutan
politik lebih sering dilemparkan pada kasus penyanderaan ini.

2.5 Cara Agar Terhindar Dari Pengaruh Terorisme
Dalam rangka memerangi aksi terorisme, secara umum diperlukan persyaratan kesiapan
yang meliputi :
(1) kesiapan dibidang politik, yakni perlunya dukungan masyarakat secara penuh bahwa terorisme
adalah musuh bangsa dan negara yang harus dihadapi oleh segenap bangsa;
(2) kesiapan dibidang hukum, peraturan perudangan dibidang pemberantasan terorisme merupakan
agenda mutlak, karena hukum ini akan memberikan kekuatan kepada semua pihak untuk
menjerat pelaku terorisme, disadari bahwa hukum untuk menghadapi aksi teror kurang sejalan
dengan semangat demokrasi dan HAM;
(3) kesiapan bidang operasional, yakni menuntut kesiapan adanya satuan antiteror dan Litbang teror,
bekerjasama dengan semua pihak, permasalahannya adalah belum adanya aturan baku atau
prosedur tetap yang baku dan mengikat semua pihak.
Masyarakat harus lebih menyadari tentang keadaan dirinya, menyadari proses yang
dirinya sedang terlibat saat itu. Untuk teknik lowball, biasanya yang diserang adalah orang
bertipe mudah merasa bersalah. Jadi saat diminta untuk berbuat sesuatu, tidak bisa menolak.

Tak jauh beda dengan teknik lowball, teknik sugesti juga harus diwaspadai. Kuncinya,
masyarakat memang harus meningkatkan kesadaran diri. Bila ada orang asing yang
memberikan perhatian berlebihan, jangan ragu-ragu menolak. Biasanya pelaku-pelaku kejahatan
tersebut mensugesti kita menuju ketenangan, bisa dengan memberikan kue atau bahkan
mengajak ke suatu tempat.



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terorisme adalah kekerasan atau ancaman kekerasan yang diperhitungkan sedemikian rupa
untuk menciptkan suasana ketakutan dan bahaya dengan maksud menarik perhatian nasional atau
internasional terhadap suatu aksi maupun tuntutan.
Ciri-ciri terorisme adalah :
1. Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi & militant
2. Mempunyai tujuan politik, ideologi tetapi melakukan kejahatan kriminal untuk mencapai tujuan.
3. Tidak mengindahkan norma-norma universal yang berlaku, seperti agama, hukum dan HAM.
4. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut
dan mendapatkan publikasi yang luas.
5. Menggunakan cara-cara antara lain seperti : pengeboman, penculikan, penyanderaan,
pembajakan dan sebagainya yang dapat menarik perhatian massa/publik.
Bentuk-bentuk Terorisme:
Dilihar dari cara-cara yang digunakan :
1) Teror Fisik
2) Teror Mental
Dilihat dari Skala sasaran teror :
1) Teror Nasional
2) Teror Internasional
a) Dari Pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Dalam bentuk penjajahan, invansi, intervensi,
agresi dan perang terbuka.
b) Dari Pihak yang Lemah kepada Pihak yang kuat. Dalam bentuk pembajakan, gangguan keamanan
internasional, sabotase, tindakan nekat dan berani mati, pasukan bunuh diri, dsb.
Dalam rangka memerangi aksi terorisme, secara umum diperlukan persyaratan kesiapan
yang meliputi :
(1) kesiapan dibidang politik
(2) kesiapan dibidang hukum
(3) kesiapan bidang operasional

3.2 Saran
Setiap tindakan kaum teroris adalah tindakan kriminal. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat
yang mempunyai moral, pendidikan, dan etika sudah selayaknya tidak terjerumus hal-hal yang
berhubungan dengan tindakan terorisme ataupun tindakan kriminal lainnya. Selain itu,
penyuluhan terhadap bahaya terorisme di sekitar kita perlu diadakan untuk antisipasi
terpengaruhnya masyarakat awam terhadap terorisme.





DAFTAR PUSTAKA

http://www.antaranews.com/berita/1250846276/pengamat-jaringan-teroris-di-indonesia-sudah-
rapuh
http://indonesiacompanynews.wordpress.com/2011/04/11/kasus-teroris-pakai-hipnosis-untuk-
cari-kader/
http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme
http://allnitecafe.wordpress.com/2009/08/12/terorisme-perkembangan-dan-akar-sejarahnya/
http://astiol.com/terorism/6-global-terorism/21-evolusi-dan-perkembangan-terorisme.html
http://nunezbaehaqi.wordpress.com/2010/12/05/perkembangan-antara-agama-islam-dan-
ancaman-terorisme-di-indonesia/

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah mengenai terorisme ini dengan sebaik-baiknnya.
Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas yang diberikan kepada kami sebagai bahan diskusi dan
referensi bagi kami saat pelaksanaan diskusi dalam mata kuliah Pendidikan kewarganegaraan. Semoga
dengan terselesaikannya makalah ini dapat menjadi pembelajaran yang lebih baik bagi kami dalam
pembuatan mkalah saya yang berikutnya.
Makalah ini berisikan tentang pengertian teroris, UU yang mengatur tentang teroris dan dampak yang
ditimbulkan jika kita menjadi seorang teroris. Makalah ini dibuat dengan sebagaiman mestinya dan kami
berharap bahwa makalah ini dapat memberikan sebuah wawasan baru bagi kami maupun bagi anda
yang membacanya.
Demikian makalah ini kami buat dan semoga bermanfaat.




Penulis








DAFTAR ISI
Halaman judul.1
Kata pengantar....2
Daftar isi..3
Bab I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang4
1.2 Rumusan Masalah...4
1.3 Tujuan Penulisan.....5
Bab II. Pembahasan
2.1 Pengertian terorisme dan perilaku yang dapat dikategorikan sebagai perilaku teroris.6
2.2 UU apa saja yang mengatur tentang terorisme dan sejauh mana pelaksanaan UU itu
sendiri......7
2.3 Sisi negatif yang ditimbulkan oleh pelaksanaan UU tentang pemberantasan terorisme12
2.4 Upaya yang bisa dilakukan untuk memerangi terorisme...13
Bab III.Penutup.....15
Daftar Pustaka...16








BAB I
PENDAHULUAN
1.1. latar Belakang
Seperti kita ketahui bahwa aksi Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual
terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada
tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai September Kelabu, yang memakan 3000 korban.
Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan
pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika
Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan ke menara
kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon. Kejadian ini merupakan isu global yang
mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi
untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah
mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional.
Terlebih lagi di Indonesia juga terjadi aksi teroris dengan terjadinya Tragedi Bali I, tanggal 12 Oktober
2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan
184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan
oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai
akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas
Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut.
Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Dan sebagai mahasiswa sudah merupakan
kewajiban bagi kita untuk belajar dan memahami apa itu terorisme. Oleh sebab itu, dalam kesempatan
kali ini kami akan membahas mengenai masalah terorisme.




1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah:
Apa yang disebut dengan terorisme dan tindakan seperti apa yang bias dikategorikan tindakan teroris
?

UU apa saja yang mengatur tentang terorisme dan sejauh mana pelaksanaan UU itu sendiri ?
Sisi negatif apakah yang ditimbulkan oleh pelaksanaan UU tentang pemberantasan terorisme ?
Upaya apa yang bisa dilakukan untuk memerangi terorisme?

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dengan terselesaikannya penulisan makalah ini adalah disamping untuk
melaksanakan penugasan pembuatan makalah yang materinya menyangkut masalah terorisme dari
Dosen, makalah ini juga bertujuan sebagai sarana untuk belajar dalam menuangkan pemikiran kami
tentang Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang diterima dengan ditunjang dengan beberapa
referensi referensi yang relevan dengan permasalahan ini. Selain itu,Dengan penulisan makalah ini,
kami mengharapkan agar makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi dan tambahan wawasan /
pengetahuan bagi pembaca mengenai hal-hal yang berkenaan aksi terorisme yang membawa pengaruh
terhadap kondisi keamanan dalam dan luar negeri.















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian terorisme dan perilaku yang dapat dikategorikan sebagai perilaku teroris.
Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap
penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang .
Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata Terorisme yang artinya dalam
keadaan teror ( under the terror ), berasal dari bahasa latin terrere yang berarti gemetaran dan
detererre yang berarti takut . Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh
dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan
terhadap publi. Istilah terorisme dan teroris sekarang ini memiliki arti politis dan sering digunakan untuk
mempolarisasi efek yang mana terorisme tadinya hanya untuk istilah kekerasan yang dilakukan oleh
pihak musuh, dari sudut pandang yang diserang.
Polarisasi tersebut terbentuk dikarenakan ada relativitas makna terorisme yang mana menurut Wiliam D
Purdue ( 1989 ), the use word terorism is one method of delegitimation often use by side that has the
military advantage. Sedangkan teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi
terorisme. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga yang tidak puas sampai paada non komformis
politik.Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif
dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung kekerasan terhadap penduduk sipil
menggunakn istilah positif untuk kombatan mereka, misalnya antara lain paramiliter, pejuang
kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan oleh kombatan negara, bagaimanapun lebih diterima
daripada yang dilakukan oleh teroris yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak
dapat dibenarkan melakukan kekerasan. . Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering
melakukan kekerasan terhadap penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian
muncul istilah State Terorism , namun mayoritas membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh
negara dengan terorisme, hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak mengenal
kompromi , korban bisa saja militer atau sipil , pria, wanita, tua, muda bahkan anak-anak, kaya miskin,
siapapun dapat diserang.
Kebanyakan dari definisi terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria, antara lain target,
tujuan, motivasi dan legitmasi dari aksi terorisme tersebut. Pada Bulan November 2004 , Panel PBB
mendifinisikan terorisme sebagai
Any action intended to cause death or serious bodily harm to civilians, non combatans, when the
purpose of such act by is nature or context, is to intimidate a population or compel a government or
international organization to do or to abstain from doing any act. ( Yang dalam terjemahan bebasnya
adalah segala aksi yang dilakukan untuk menyebabkan kematian atau kerusakan tubuh yag serius bagi
para penduduk sipil, non kombatan dimana tujuan dari aksi tersebut berdasarkan konteksnya adalah
untuk mengintimidasi suatu populasi atau memaksa pemerintah atau organisasi internasional untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu ).Dapat dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi terorisme
dilatarbelakangi oleh motif motif tertentu seperti motif perang suci, motif ekonomi, motif balas
dendam dan motif-motif berdasarkan aliaran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa
terorisme bukan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi ,
instrumen atau alat untuk mencapai tujuan . Dengan kata lain tidak ada terorisme untuk terorisme,
kecuali mungkin karena motif-motif kegilaan ( madness ).

2.2 UU apa saja yang mengatur tentang terorisme dan sejauh mana pelaksanaan UU itu sendiri
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-
kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun
regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai
kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai
Terorisme. Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme,
serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali,
merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu
dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas
utama dalam penegakan hukum.
Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana
Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk
memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan
menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana
Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat
khusus, dapat tercipta karena
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh
perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya
dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat,
menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan
perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang
telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk
segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara
materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) [[(lex
specialis derogat lex generalis)]]. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi
criteria:
1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang
setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga
pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak
dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus
tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana
dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-
pasal KUHP.
1. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum
acaranya.
2. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan
negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk
memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan
negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar
lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi.
Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu
tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur
lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum
acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap
memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana
formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak
Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya
pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana
dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa
pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan
Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan
asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang
diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap
perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia. Atau mungkin karena sifatnya sebagai
Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan
pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam
tahap beracara di pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan
berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang
yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai
batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas
mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar
pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum.
Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi.
1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan
Intelijen.
2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari.
4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan
yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu
sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk
pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3
dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua
Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu
mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan
terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya
pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama
dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia
yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya
ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen,
apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya
hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena
ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk
melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah
melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar
tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara
sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang
telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak
asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan
maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat,
dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan
tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang
yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan
Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights,
yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang
Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary
detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional
menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris
cenderung meningkat. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus
diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan
dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional
harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh
justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi
Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga
bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan.


2.3 Sisi negatif yang ditimbulkan oleh pelaksanaan UU tentang pemberantasan terorisme
Kebijakan yang terlalu bertumpu kepada pendekatan legal formal dan bersifat represif, perlu ditinjau
ulang karena bukan saja tidak mampu mengatasi masalah terorisme tetapi justeru dapat meningkatkan
tindakan kekerasan semacam itu di masa depan . Hal itu terbukti makin banyaknya 2004. Pemerintah
perlu memikirkan alternatif pendekatan dalam menyelesaikan masalah terorisme di tanah air diluar
pendekatan legal formal / represif. Ada beberapa hal efek negatif dapat menyebabkan cara
penyelesaian berbasis legal formal/represif itu kurang mampu menyelesaikan masalah terorisme yaitu :
a) Logika dibelakang pendekatan melalui pendekatan melalui mekanisme hukum itu berlawanan dengan
logika yang dianut para teroris itu sendiri. Sanksi pidana pada dasarnya untuk mencegah agar sesorang
tidak melakukan tindakan tersebut dan atau menghukum mereka yang melakukan tindakan yang
dilarang dengan harapan pelaku dan orang lain tidak melakukan hal yang sama kelak dengan cara
menerapkan sanksi fisik bagi para pelanggar, mulai yang teringan sampai dengan yang terberat seperti
hukuman mati. Tetapi, logika itu berlawanan dengan logika para pelaku teroris yang bertindak
melampaui rasa takut untuk melakukannya bahkan mereka rela mati untuk mewujudkan tujuan mereka.
b) Cara memerangi terorisme yang bersifat legal formal dan represif seperti ini dapat menimbulkan efek
balik yang berlawanan dengan tujuan semula untuk memerangi terorisme. Tindakan semacam itu tidak
mustahil justeru dapat memicu perlawanan dan radikalisme baru yang lebih hebat , bukan hanya dari
kelompok masyarakat yang dituding sebagai pelaku terorisme tetapi menimbulkan reaksi negatif dari
kelompok-kelompok lainnya. Apalagi tiap penerapan cara penanganan semacam itu seringkali bukannya
mengobati dan menyembuhkan luka dan rasa frustasi suatu kelompok dalam masyarakat tetapi
cenderung berakibat pada kian mendiskreditkan dan memojokkan mereka . Kolompok masyarakat lain
akan memberikan stigma negatif pada kelompok masyarakat tersebut sehingga kelompok yang
menerima stigma tersebut akan berdampak melakukan perlawanan kepada pemerintah dan kelompok
lainnya.
c) Penerapan UU yag represif seperti UU anti terorisme dan internal security act dapat membawa
implikasi negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya kehidupan masyarakat demokrasi.
Jika ISA diberlakukan wewenang aparat negara akan lebih besar sehingga terbuka peluang untuk
disalahgunakan . Ada kemungkinan orang yang dicuriagai sebagai teroris dapat diperiksa dan ditangkap
tanpa prosedur hukum yang sah dan benar. Tiap-tiap lawan politik yang berseberangan misalnya dapat
dikenakan dengan pasal-pasal ini sehingga memunculkan state terorism yang tentunya akan
menimbulkan masalah panjang yang tidak berkesudahan. Keberhasilan membuat perangkat hukum yang
baik belum tentu memberikan dampak positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum. Sebagus
apappun produk hukum formal yang ada tidak akan ada artinya tanpa disertai penerapan yang baik.
Ironisnya, Indonesia dipandang sebagai negara yang pandai membuat perangkat hukum namun masih
lemah penerapannya. Hal ini jika dibiarkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap hukum itu sendiri.

2.4 Upaya yang bisa dilakukan untuk memerangi terorisme
Pendekatan Sosio-Kultural dapat digunakan sebagai alternatif penyelesaian. Dalam jangka panjang
memerangi terorisme tidaklah cukup dan tidak akan pernah berhasil hanya dengan menindak pelaku
teror dan peledakan bom dengan kekerasan. Kita melihat bagaimananya Amerika Serikat dan sekutunya
dalam menjalankan kampanye Perang Terhadap Terorisme. Justeru kampanye tersebut telah
menimbulkan masalah tersendiri yang telah memakan korban warga negara mereka itu sendiri dan
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menindak para pelaku teror. Para pelaku teror tersebut
akan terus meningkatkan perlawanannya seiring semakin hebatnya USA dan sekutunya untuk
memerangi pelaku teroris.
Fakta telah menunjukkan bahwa membunuh pelaku teror, mengisolasinya dan memenjarakan para
pemimpin organisasi teroris tidak mampu menghentikan tindakan terorisme dalam waktu
lama.Sementara itu di Indonesia munculnya tindakan terorisme menandakan adanya yang salah dalam
sistem sosial, politik dan ekonomi . Para pelaku teroris menjadi sedemikian radikal disebabkan mereka
merasa termarginalisasi dan terasing dari kehidupan sosial, politik dan ekonomi masyarakat .
Keterasingan tersebut pada umumya bersifat struktural yang termanifestasi dalam kebijakan
pemerintah yang kurang akomodatif atau merugikan dalam waktu panjang.
Hal ini akan mengakibatkan perasaaan tidak puas dan benci pada pemerintah dan kelompok masyarakat
tertentu seperti orang kaya, penguasa dan orang asing yang dianggap telah melangkahi kepentingan
mereka. Namun upaya untuk mengatasi rasa keterasingan tersebut secara normal mengalami hambatan
karena tidak ada ruang bagi mereka untuk berpartisipasi dan menyalurkan harapan serta kepentingan
mereka sehingga timbullah aksi radikal seperti terorisme Amatlah penting untuk menerapkan cara-cara
lain yang lebih persuasif dan akomodatif terhadap kepentingan terhadap kelompok yang berpotensi
melakukan tindakan terorisme. Misalnya dengan menerapkan kebijakan yang lebih sensitif terhadap
kepentingan berbagai kelompok yang merasa termarginalisasi atau dirugikan dengan berbagai kebijakan
yang telah diterapkan selama ini. Termasuk kemungkinan penerapan tindakan yang bersifat dan
mengandung unsur konsesi dan rekonsiliasi antara pemerintah dan masyarakat serta unsur-unsur dalam
masyarakat itu sendiri. Sehingga memperkecil pilihan penggunaan kekerasan untuk mencapai
tujuannya.
Selain itu pula dalam rangka mengeliminir perekrutan pelaku terorisme pemerintah dapat bersinerji
dengan para tokoh setiap agama yang ada di Indoensia untuk melepaskan label atau stigma dari suatu
kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya yang dicurigai sebagai pelaku terorisme. Sehingga
perlunya lebih merekatkan kerjasama di dalam kelompok masyarakat Indonesia dan menjalin
komunikasi untuk menyamakan persamaan pandangan dari dalam seluruh kelompok masyarakat bahwa
terorisme bukanlah nilai / ajaran suatu kelompok tertentu.


BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa dapat terlihat bahwa Terorisme timbul dengan dilatar belakangi
berbagai sebab dan motif. Naun patut kita sadari bahwa terorisme bukan merupakan ideologi atau nilai-
nilai tertentu dalam ajaran agama . Terorisme merupakan strategi , instrumen dan atau alat mencapai
tujuan. Penerapan UU anti terorisme di dalam No 15 Tahun 2003 sangat berpotensi mengakibatkan
pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi para tersangka terorisme dan tidak memberikan efektifitas untuk
mengurangi orang untuk bertindak sebagai teroris. Wewenang yang terlalu luas bagi aparat untuk
memberantas terorisme tanpa disertai tanggungjawab dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan
suatu terorisme baru yang dilakukan terhadap negara terhadap warga negaranya atau State Terorism.
Hal inilah yang ditakutkan oleh para ahli hukum pidana. Untuk itu pemerintah perlu memikirkan
pendekatan yang tidak legalis represif terhadap terorisme salah satunya antara lain memikirkan
kemungkinan rekonsialisasi dan terbukanya komunikasi intensif antara pemerintah-masyarakat dan
unsur-unsur di dalam masyarakat itu sendiri. Patut disadari bahwa terorisme merupakan rangkaian
tindakan yang kompleks, maka pada dasarnya pengaturan anti terorisme tidak akan memadai jika hanya
dilakukandalam satu undang-undang.
Selain itu sudah sepatutnya aparat penegak hukum mengefektifkan ketentuan hukum yang sudah ada
dan terpancar dalam berbagai undang-undang, dengan cara mengintegrasikan kedalam kerangka hukum
yang komprehensif. Revisi UU anti terorisme harus sesuai dengan kerangka hukum yang harus mengatur
aspek-aspek yang berkaitan dengan pengawasan perbatasan, keamanan transportasi, bea cukai,
keimigrasian, money loundring, basis rekruitmen dan pelatihan ( milisi atau pelatihan militer illegal ),
keuangan, bahan peledak, bahan kimia dan persenjataan serta perlindungan terhadap masyarakat sipil.
Serta mewajibkan setiap prosedur dan tindakan hukum dilakukan secara nondiskriminatif , melindungi
dan menghormati HAM.



DAFTAR PUSTAKA
HHTP://en. www.pemantauperadilan.com . Diakses tanggal 21 April 2008.
History and causes of terrorism hhtp://en.wikipedia.org/wiki/terrorism. Diakses tanggal 21 April
2008.
Tb Ronny Rahman Nitibaskara, State Terorism. Kompas Cyber Media , www.kompas.com.edisi
Sabtu, 20 April 2002. Diakses tanggal 22 April 2008.
HHTP://en.wikipedia.org/wiki/definitions_of_terorism. Diakses tanggal 22 April 2008.
Kompas Cyber Media, Revisi UU Anti Terorisme Diakui untuk menambah Kewenangan Intelejen ,
Sabtu, 30 Agustus 2003 .www.kompas.com, diakses tanggal 23April 2008.
Dr. Indrianto SenoAdjie , SH, MH, Terorisme Perpu No. 1 Tahun 2002 dalam perspektif hukum
pidana, Hal 45 , Buku OC Kaligis & Associates, Terorisme : Tragedi Umat Manusia , Jakarta, April 2003.
Amir Syamsuddin, Menegakkan Hukum Tanpa Rasa Keadilan, Kompas Cyber Media, 30 Juli 2004,
www.kompas.com , diakses tanggal 25 April 2008.
Frans Hendra Winata, Terorisme itu Kejahatan Luar Biasa , Kompas Cyber Media, 11 September
2004, www.kompas.com. Diakses tanggal 25 April 2008.
Dafri Agussalim, Mencari Cara Memerangi Terorisme, Kompas Cyber Media, Kamis 23 Agustus 2003
www.kompas.com . Diakses tanggal 25 April 2008.


















KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya telah diberikan kepada kita
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas MENINGKATNYA TINDAK KRIMINAL TERORISME : FAKTOR ,
PENYEBAB, DAMPAK DAN SOLUSI ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Uji Kompetensi Dasar
III mata kuliah Bahasa Indonesia.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, motivasi dan
bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dra. Sumarwati, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selaku memberikan nasihat dan
masukan akademis pada penulis.
2. Orang tua tercinta yang telah sudi membantu baik moril maupun materiil.
3. Dan semua sahabat serta teman-teman yang telah membantu dalam bentuk sekecil apapun demi
kelancaran tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca.

Penulis,

22 April 2011

BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah
Teror sudah lama ada hampir seiring dengan sejarah peradaban manusia, tetapi mulai efektif
digemakan pada abad pertengahan ketika negara-negara atau kerajaan-kerajaan berperang, dan terror
digemakan sebagai salah satu cara untuk memenangkan peperangan. Tetapi waktu itu hampir terlalu
gampang untuk ditebak, siapa yang melakukan terror. Namun sekarang, kejadian terror hampir sangat
sulit ditebak siapa pelakunya, organisasi atau negara mana yang mengaturnya. Semua berjalan
undercoverlunderground dan tidak berbentuk, serta organisasinya sulit dibaca atau sulit diketahui.
Pada saat ini, apabila kita mendengar kata-kata terorisme, pikiran kita hampir selalu terkait atau
tergambar adanya sesuatu yang negatif, adanya bom yang meledak hebat yang menghancurkan gedung-
gedung dan sarana prasarana lain, tewasnya manusia yang tidak terhitung jumlahnya serta akibat lain
yang dikategorikan perbuatan biadab, tidak bermoral, tidak berperikemanusiaan. Namun, apakah
memang demikian sebenarnya? Bahkan kadang-kadang selalu digandeng-gandengkan antara terorisme
dengan islam. Apabila demikian, apakah sebenarnya terorisme itu?
Terkait permasalahan yang selama ini telah dialami oleh khalayak masyarakat menimbulkan
banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya menjadi perhatian dunia internasional. Semisal,
apakah masyarakat tidak mempunyai hak untuk memperoleh rasa aman? Bagaimana upaya untuk
memberikan rasa aman terhadap khalayak masyarakat? Pertanyaan- pertanyaan inilah yang mendasari
berbagai upaya untuk menyelesaikannya. Hal inilah yang patut dikaji sebagai respon positif terhadap
upaya tersebut.MENINGKATNYA TINDAK KRIMINAL TERORISME : FAKTOR PENYEBAB, DAMPAK DAN
SOLUSI.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi faktor penyebab meningkatnya tindak kriminal terorisme?
2. Apa dampak dari meningkatnya tindak kriminal terorisme?
3. Bagaimana solusi mengurangi meningkatnya tindak kriminal terorisme?

C. Tujuan
1. Mengidentifikasikan faktor penyebab meningkatnya tindak kriminal terorisme.
2. Mengidentifikasi dampak dan meningkatnya tindak kriminal terorisme.
3. Mengidentifikasi solusi menguranginya tindak kriminal terorisme.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana Kriminal Terorisme
Menurut para ahli kontraterorisme berpendapat bahwa istilah teroris merujuk kepada para
pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan
angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang
dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi. Oleh karena itu, para pelakunya
("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Akibat makna-makna negatif yang dikandung
oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai
separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam
pembenaran dimata teroris : Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan
terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang. Padahal Terorisme
sendiri sering tampak dengan mengatas namakan agama.
(http://www.definisionline.com/2009/12/definisi-dan-pengertian-terorisme_31.html)
Di lihat dari segi bahasa terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik. Dalam
skala lebih kecil daripada perang, teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata terorisme yang artinya
dalam keadaan teror ( under the terror ), berasal dari bahasa latin terrere yang berarti gemetaran dan
detererre yang berarti takut.Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh
dari sengketa territorial atau cultural melawan ideology atau agama yang melakukan aksi kekerasan
terhadap publik.
(http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:c329J2zEYPEJ:www.scribd.com/doc/468323
5/Terorisme-+jurnal+tentang+terorisme&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-
a&source=www.google.co.id)
Pandangan terorisme menurut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim
Muzadi, mengatakan Indonesia merupakan korban dari jaringan teror global. Menurut beliau, ini yang
harus diluruskan di mata dunia. Teror itu biasanya datang dari luar, dimana bisa dilakukan sendiri dan
bisa juga melalui doktrin, Indonesia victim global teror. (http://rumahmadina.com/blog-artikel-
islam/jihad-bukan-terorisme-terorisme-bukan-jihad/)
Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu
serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa
masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan
langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa
saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan
teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.
Menurut pendapat dari DR. F. Budi Hardiman (Endriyono, 2005: 4) yang menyatakan bahwa
teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah, yang berusaha menakut-nakuti, mengancam,
memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut, dan hal ini
digunakan sebagai taktik dalam perjuangan kekuasaan. Seperti yang dikatakan oleh Prof. M. Cherif
Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian
yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna
Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan
yang subjektif, hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
(http://www.definisionline.com/2009/12/definisi-dan-pengertian-terorisme_31.html)
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya
kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional
maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy)
disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan
sebagai Terorisme.

B. Landasan Hukum Tentang Terorisme

Menurut Waluyadi (2009: 17) Undang-Undang memberikan pembatasan, bahwa yang dimaksud
terorisme adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan atau bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau
fasilitas internasional.
Dalam rumusan yang paling formal di Indonesia adalah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, dalam pasal 6 dan pasal 7 yang isinya mengenai ancaman
pidana bagi pelaku teror dibagi menjadi dua. Pertama, perbuatan yang menimbulkan akibat yang
dilarang diancam dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Kedua, perbuatan
yang dimaksudkan menimbulkan akibat yang dilarang diancam dengan pidana penjara seumur hidup.
Untuk menjamin berjalannya proses hukum dalam tindak pidana terorisme, Undang-Undang juga
menegaskan adanya ancaman kepada siapa saja yang menghalangi proses hukum tersebut, dengan
ancaman pidana minimal 2 tahun dan maksimal 7 tahun. Apabila usaha untuk menghalangi proses
hukum tersebut diikuti dengan mengintimidasi aparat hukum, maka pelakunya diancam dengan pidana
minimal 3 tahun maksimal 15 tahun.


C. Faktor Penyebab Tindakan Terorisme
Empat faktor menjadi penyebab tumbuh suburnya terorisme di Indonesia. Pendorong melakukan
tindak kekerasan dan mau benar sendiri itu adalah kondisi ketidakadilan, lemahnya tatanan negara,
ketidakpedulian masyarakat dan krisis identitas.
(http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/08/20/brk,20090820-193436,id.html)
Selain itu, penyebab terorisme yang perlu dikenali karena ini berkait dengan upaya
pencegahannya, antara lain:
1. Kesukuan, nasionalisme/separatisme
Tindak teror ini terjadi di daerah yang dilanda konflik antar etnis/suku atau pada suatu bangsa
yang ingin memerdekan diri. Menebar teror akhirnya digunakan pula sebagai satu cara untuk mencapai
tujuan atau alat perjuangan. Sasarannya jelas, yaitu etnis atau bangsa lain yang sedang diperangi. Bom-
bom yang dipasang di keramaian atau tempat umum lain menjadi contoh paling sering. Aksi teror
semacam ini bersifat acak, korban yang jatuh pun bisa siapa saja.
2. Kemiskinan dan kesenjangan dan globalisasi
Kemiskinan dan kesenjangan ternyata menjadi masalah sosial yang mampu memantik terorisme.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi 2 macam: kemiskinan natural dan kemiskinan struktural.
Kemiskinan natural bisa dibilang miskin dari sononya. Orang yang tinggal di tanah subur akan
cenderung lebih makmur dibanding yang berdiam di lahan tandus. Sedang kemiskinan struktural adalah
kemiskinan yang dibuat. Ini terjadi ketika penguasa justru mengeluarkan kebijakan yang malah
memiskinkan rakyatnya. Jenis kemiskinan kedua punya potensi lebih tinggi bagi munculnya terorisme.
3. Non demokrasi
Negara non demokrasi juga disinyalir sebagai tempat tumbuh suburnya terorisme. Di negara
demokratis, semua warga negara memiliki kesempatan untuk menyalurkan semua pandangan
politiknya. Iklim demokratis menjadikan rakyat sebagai representasi kekuasaan tertinggi dalam
pengaturan negara. Artinya, rakyat merasa dilibatkan dalam pengelolaan negara. Hal serupa tentu tidak
terjadi di negara non demokratis. Selain tidak memberikan kesempatan partisipasi masyarakat,
penguasa non demokratis sangat mungkin juga melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya.
Keterkungkungan ini menjadi kultur subur bagi tumbuhnya benih-benih terorisme.
Melihat kompleksitas permasalahan tersebut tampaknya terorisme bukan semata-mata
masalah agama, melainkan masalah seluruh umat manusia dalam berbagai aspek. Muktifaktorial
tersebut juga akhirnya yang akan mengakibatkan berbagai pihak akan melakukan aksi saling tuding
sebagai biang penyebabnya. Bom di Jakarta yang mengguncang di Jakarta bom, telah menjadikan
banyaknya kambing hitam yang muncul. Pihak keamanan dan pihak intelejen dituding tidak becus dan
tidak professional dalam mencegah aksi tersebut. Tapi tudingan selalu dimentahkan, jangankan di
Indonesia di negara Amerika Serikat sebagai pusat rujukan anti teror dunia.
(http://rokipanjaitan.wordpress.com/2010/03/14/bahaya-terorisme-terhadap-peradaban-manusia/)
4. Pelanggaran harkat kemanusiaan

Aksi teror akan muncul jika ada diskriminasi antar etnis atau kelompok dalam masyarakat. Ini
terjadi saat ada satu kelompok diperlakukan tidak sama hanya karena warna kulit, agama, atau
lainnya.Kelompok yang direndahkan akan mencari cara agar mereka didengar, diakui, dan diperlakukan
sama dengan yang lain. Atmosfer seperti ini lagi-lagi akan mendorong berkembang biaknya teror.

5. Radikalisme agama
Butir ini nampaknya tidak asing lagi. Peristiwa teror yang terjadi di Indonesia banyak terhubung
dengan sebab ini. Radikalisme agama menjadi penyebab unik karena motif yang mendasari kadang
bersifat tidak nyata. Beda dengan kemiskinan atau perlakuan diskriminatif yang mudah diamati.
Radikalisme agama sebagian ditumbuhkan oleh cara pandang dunia para penganutnya. Menganggap
bahwa dunia ini sedang dikuasi kekuatan hitam, dan sebagai utusan Tuhan mereka merasa terpanggil
untuk membebaskan dunia dari cengkeraman tangan-tangan jahat.

D. Dampak dari Tindakan Terorisme

1. Terhadap sistem politik, terdapat input yang berguna untuk memberi masukan didalam sistem politik.
Karena sistem politik disusun untuk memberikan kepuasan bagi masyarakat yang berada dibawahnya.
Namun permasalahannya untuk Indonesia yang memiliki berbagai macam tuntutan karena latar
belakang masyarakat yang sudah berbeda-beda, dan kebutuhan yang berbeda pula. Dan kadang
kebutuhan tersebut tidak seluruhnya bisa dipenuhi, dan akhirnya rakyat menuntut. Terlihatlah bahwa
Terorisme itu bisa mengganggu sistem perpolitikan suatu negara. Dan hendaknya masing-masing negara
mampu mengatur suatu sistem perpolitikan dengan baiksehingga hal-hal seperti ini tidak kita temui lagi.
2. Pengaruh terorisme dapat memiliki dampak yang signifikan, baik segi keamanan dan keresahan
masyarakat maupun iklim perekonomian dan parawisata yang menuntut adanya kewaspadaan aparat
intelijen dan keamanan untuk pencegahan dan penanggulangannya.
3. Masih adanya ancaman terorisme di Indonesia juga disebabkan oleh belum adanya payung hukum yang
kuat bagi kegiatan intelijen untuk mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme.
Sulitnya menyusun payung hukum tersebut karena adanya pemahaman sempit sementara kalangan
umat beragama, bahwa perang melawan terorisme dianggap memerangi Islam. Kondisi masyarakat
tradisional yang menghadapi persoalan ekonomi dan sosial sangat mudah dipengaruhi atau direkrut
menjadi anggota kelompok teroris.

E. Solusi dari Tindakan Terorisme
Terorisme (Endriyono, 2005: 22) adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan
maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara. Ada beberapa soft strategy yang bisa
dilakukan oleh pemerintah dalam menahan laju terorisme di Indonesia.
1. Pemberantasan kemiskinan dan perbaikan ekonomi. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemiskinan adalah
salah satu pendorong terjadinya gerakan resistensi dari berbagai golongan masyarakat, termasuk
gerakan terorisme. (http://kampus.okezone.com/read/2010/08/20/373/364815/373/solusi-berantas-
terorisme-dari-mahasiswa-umy)
2. Pemerintah hendaknya melakukan kampanye tentang pengertian jihad kepada seluruh masyarakat.
(http://kampus.okezone.com/read/2010/08/20/373/364815/373/solusi-berantas-terorisme-dari-
mahasiswa-umy)
3. Untuk para siswa yang duduk di bangku sekolah, pemahaman tentang jihad hendaknya dimasukkan ke
dalam buku agama yang dikeluarkan oleh Departemen Agama (Depag).
4. Untuk masyarakat diadakan dialog antara masyarakat barat dan Islam untuk membahas islam. Selain itu,
pemerintah maupun masyarakat baiknya membuat film dokumenter yang ditayangkan di televisi
mengenai pemahaman jihad itu sendiri.
5. Itu harus ada empowering terhadap pemikiran moderat, karena inilah yang diperlukan di Indonesia. Jadi
bukan hanya NU diajak bekerjasama, tetapi bagaimana pemikiran-pemikiran moderat itu diperkuat
dengan sistem kenegaraan.
6. Didalam sebuah sistem politik, terdapat Input, Output, dan Lingkungan yang memengaruhinya. Input
yang Indonesia dapatkan sudah terlalu banyak, permasalahannya pun sudah dilumatkan dalam
beberapa pertemuan, kerjasama antarnegara yang berkaitan dengan terorisme pun telah dijalin dengan
berbagai negara, dan hendaknya kebijakan-kebijakan atau output yang dikeluarkan pun sudah
memuaskan seluruh kalangan.
Sebagai upaya memerangi terorisme, ada dua hal yang kita hadapi, yaitu terror dan isme. Terror itu
harus dihadapi dengan inteligen teritory dimana ini sudah dilakukan oleh Indonesia. Sementara yang
kedua, yaitu isme, ini tidak bisa menggunakan cara-cara tersebut, kita harus menggunakan sistem
pendidikan keagamaan yang menjamin untuk tidak timbulnya terror yang berkarakter agama.
(http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/72-desember-2009/658--menangkal-terorisme-
dengan-memberdayakan-pemikiran-moderat.html)

F. Langkah-Langkah Kebijakan
Arah kebijakan yang ditempuh dalam rangka mencegah dan menanggulangi kejahatan terorisme pada
tahun 2005 2009 adalah sebagai berikut:
1. penguatan koordinasi dan kerja sama di antara lembaga Pemerintah;
2. peningkatan kapasitas lembaga pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan teroris, terutama
satuan kewilayahan;
3. pemantapan operasional penanggulangan terorisme dan penguatan upaya deteksi secara dini potensi
aksi terorisme;
4. penguatan peran aktif masyarakat dan pengintensifan dialog dengan kelompok masyarakat yang radikal;
5. peningkatan pengamanan terhadap area publik dan daerah strategis yang menjadi target kegiatan
terorisme;
6. sosialisasi dan upaya perlindungan masyarakat terhadap aksi terorisme;
7. pemantapan deradikalisasi melalui upaya-upaya pembinaan (soft approach) untuk mencegah rekrutmen
kelompok teroris serta merehabilitasi pelaku terror yang telah tertangkap.
Dalam mencegah dan menanggulangi terorisme, Pemerintah tetap berpedoman pada prinsip yang
telah diambil sebelumnya, yakni melakukan secara preventif dan represif yang didukung oleh upaya
pemantapan kerangka hukum sebagai dasar tindakan proaktif dalam menangani aktivitas, terutama
dalam mengungkap jaringan terorisme. Peningkatan kerja sama intelijen, baik dalam negeri maupun
dengan intelijen asing, melalui tukar-menukar informasi dan bantuan-bantuan lainnya, terus
ditingkatkan. Untuk mempersempit ruang gerak pelaku kegiatan terorisme, Pemerintah akan terus
mendorong instansi berwenang untuk meningkatkan penertiban dan pengawasan terhadap lalu lintas
orang dan barang di bandara, pelabuhan laut, dan wilayah perbatasan, termasuk lalu lintas aliran dana,
baik domestik maupun antarnegara. Penertiban dan pengawasan juga akan dilakukan terhadap tata
niaga dan penggunaan bahan peledak, bahan kimia, senjata api dan amunisi di lingkungan TNI, Polisi,
dan instansi pemerintah. Selain itu, TNI, Polisi, dan instansi pemerintah juga terus melakukan
pengkajian mendalam bekerja sama dengan akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Di samping itu, diselenggarakannya gelar budaya dan ceramah-ceramah mengenai wawasan
kebangsaan dan penyebaran buku-buku terorisme dapat mengubah persepsi negatif masyarakat
terhadap langkah Pemerintah untuk memerangi terorisme di Indonesia. Peningkatan kemampuan
berbagai satuan anti teror dan intelijen dalam menggunakan sumber-sumber primer dan jaringan
informasi diperlukan agar dapat membentuk aparat anti teror yang profesional dan terpadu dari TNI,
Polri, dan BIN. Selanjutnya, kerja sama internasional sangat perlu untuk ditingkatkan karena terorisme
merupakan permasalahan lintas batas yang memiliki jaringan dan jalur tidak hanya di Indonesia.


BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Faktor penyebab meningkatnya tindak kriminal terorisme antara lain:
a) Kesukuan, nasionalisme/separatism
Tindak teror ini terjadi di daerah yang dilanda konflik antar etnis/suku atau pada suatu bangsa yang ingin
memerdekan diri. Menebar teror akhirnya digunakan pula sebagai satu cara untuk mencapai tujuan atau
alat perjuangan.
b) Kemiskinan dan kesenjangan dan globalisasi
Kemiskinan dan kesenjangan ternyata menjadi masalah sosial yang mampu memantik terorisme.
c) Non demokrasi
Penguasa non demokratis sangat mungkin juga melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya.
Keterkungkungan ini menjadi kultur subur bagi tumbuhnya benih-benih terorisme.
d) Pelanggaran harkat kemanusiaan
Kelompok yang direndahkan akan mencari cara agar mereka didengar, diakui, dan diperlakukan sama dengan
yang lain. Atmosfer seperti ini lagi-lagi akan mendorong berkembang biaknya teror.
e) Radikalisme agama
Radikalisme agama menjadi penyebab unik karena motif yang mendasari kadang bersifat tidak nyata.
Radikalisme agama sebagian ditumbuhkan oleh cara pandang dunia para penganutnya. Menganggap
bahwa dunia ini sedang dikuasi kekuatan hitam, dan sebagai utusan Tuhan mereka merasa terpanggil
untuk membebaskan dunia dari cengkeraman tangan-tangan jahat.

2. Dampak tindak kriminal terorisme antara lain:
a. Mengganggu sistem perpolitikan suatu negara.
b. Mengganggu sistem perekonomian Negara.
c. Merugikan beberapa pihak-pihak yang bersangkutan, baik kehilangan harta dan jiwa.
d. Menyebabkan perasaan takut dan menciptakan kondisi yang tidak aman dan tidak nyaman.
3. Solusi untuk mengurangi tindak kriminal terorisme antara lain:
a. penguatan koordinasi dan kerja sama di antara lembaga Pemerintah;
b. peningkatan kapasitas lembaga pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan teroris, terutama
satuan kewilayahan;
c. pemantapan operasional penanggulangan terorisme dan penguatan upaya deteksi secara dini potensi
aksi terorisme;
d. penguatan peran aktif masyarakat dan pengintensifan dialog dengan kelompok masyarakat yang
radikal;
e. peningkatan pengamanan terhadap area publik dan daerah strategis yang menjadi target kegiatan
terorisme;
f. sosialisasi dan upaya perlindungan masyarakat terhadap aksi terorisme;
g. pemantapan deradikalisasi melalui upaya-upaya pembinaan (soft approach) untuk mencegah rekrutmen
kelompok teroris serta merehabilitasi pelaku terror yang telah tertangkap.
B. Saran
1. Sebaiknya pemerintah lebih mengoptimalkan kembali kinerja para aparat yang berwenang seperti polisi
dalam upaya-upaya penanggulangan walaupun sudah banyak dilakukan meskipun kurang maksimal.
2. Mengoptimalkan upaya-upaya tersebut guna mencapai hasil yang lebih baik dalam upaya
pemberantasan terorisme, hal ini juga didukung dengan partisipasi warga masyarakat untuk lebih peka
terhadap lingkungan sekitarnya terutama tetangga dekat mereka sebagai warga baru dalam mengetahui
aktivitas keseharian mereka dan identitas mereka yang akurat.

DAFTAR PUSTAKA


Bab-6__20091007161707__7. 2009. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME. Tersedia pada
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8406/. Diakses pada tanggal 12 April 2011.
Darlis, M. 2009. Empat Faktor Terorisme Tumbuh Subur. Tersedia pada
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/08/20/brk,20090820-193436,id.html. Diakses pada
tanggal 7 Mei 2011.
Definisi dan Pengertian. 2009. Definisi Terorisme. Tersedia pada
http://www.definisionline.com/2009/12/definisi-dan-pengertian-terorisme_31.html. Diakses pada
tanggal 22 April 2011.
Endriyono. 2005. TERORISME, Ancaman Sepanjang Masa. Semarang: CV. Media Agung Persada.
Gumara, Dolly. 2008. UPAYA PEMERINTAH MEMINIMALISIR AKSI TERORISME MELALUI PENDEKATAN HUKUM
DAN SOSIO-KULTURAL DI INDONESIA. Tersedia pada
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:c329J2zEYPEJ:www.scribd.com/doc/4683235
/Terorisme-+jurnal+tentang+terorisme&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-
a&source=www.google.co.id. Diakses pada tanggal 22 April 2011.
Muzadi, Hasyim. 2010. Menangkal Terorisme Dengan Memberdayakan Pemikiran Moderat.
Tersedia pada http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/72-desember-
2009/658--menangkal-terorisme-dengan-memberdayakan-pemikiran-
moderat.html. Diakses pada tanggal 26 April 2011.
Panjaitan, Roki. 2010. Bahaya Terorisme Terhadap Peradaban Manusia. Tersedia pada
(http://rokipanjaitan.wordpress.com/2010/03/14/bahaya-terorisme-terhadap-
peradaban-manusia/). Diakses pada tanggal 7 Mei 2011.
RumahMadina. 2009. Jihad Bukan Terorisme, Terorisme Bukan Jihad. Tersedia pada
http://rumahmadina.com/blog-artikel-islam/jihad-bukan-terorisme-terorisme-bukan-jihad/. Diakses
pada tanggal 7 Mei 2011.
Sahana, Cuk. 2010. Solusi Berantas Terorisme dari Mahasiswa UMY. Tersedia pada
http://kampus.okezone.com/read/2010/08/20/373/364815/373/solusi-berantas-terorisme-dari-
mahasiswa-umy. Diakses pada tanggal 7 Mei 2011.
Waluyadi. 2009. Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana. Bandung: CV. Mandar Maju.




BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak
terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11
September 2001, dikenal sebagai September Kelabu. Lalu baru-baru ini kita semua dikagetkan
dengan aksi pengeboman "LAGI" oleh sekelompok organisasi yang belum kita ketahui.
Berbagai usaha yang dilakukan bahkan setelah terjadi Bom Bali 1 pemerintahan RI
membentuk suatu ketentuan undang-undang yang dinamakan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor.15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-
undang nomor.1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi undang-
undang.
Terlebih Pemerintahan RI membentuk suatu kesatuan khusus yang dinamakan Detasemen
Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk
penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk
menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan
anggota tim Gegana.
Hingga pada puncaknya pasukan khusus ini dapat menghentikan sepak terjang salah satu
gembong teroris yang paling diburu yakni Gembong teroris Noordin M Top yang tewas dalam
penggerebekan Densus 88 di Solo, Jawa Tengah, 17 September lalu, ternyata semua itu bukan
akhir dari pada sepak terjang para teroris yang ada di Indonesia namun akan tetapi telah
mengembangkan jaringan sel-sel baru terorisme.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan judul masalah ini yaitu TERORISME DI INDONESIA, maka masalah
yang akan diidentifikasikan adalah:
1. Apa yang menjadi motif yang melatar-belakangi keberadaan teroris tersebut ?
2. Sudah sejauh mana tindakan terorisme yang telah dilakukan kelompok teroris?

1.3 LANDASAN PEMIKIRAN
Alasan kami memilih materi ini adalah karena belakangan ini kita sering diresahkan oleh
aktivitas dari kelompok tertentu. Semoga dalam diskusi masalah ini kita bisa menemukan jalan
keluar atau solusi, sehingga kita dapat terhindar dari ancaman terorisme tersebut.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Terorisme
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan
perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak
tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target
korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku
yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan
angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangan-
serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan
oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
2.2 Apa Yang Membuat Teroris Di Sangkutpautkan Dengan Islam
Islam dan teroris merupakan dua kata yang berlawanan dan tidak bisa disamakan. Islam
merupakan agama monoteis yang menuntut kepatuhan total kepada Tuhan. Islam adalah sebuah
kata dari bahasa Arab yang terdiri atas tiga konsonan, S-L-M, yang berarti kedamaian (salam),
kebaikan, dan keselamatan. Dengan kata lain, Islam memberi seseorang kedamaian jiwa dan
kebaikan hidup serta keselamatan dari balasan Tuhan dalam kehidupan sesudah mati. Sedangkan
terorisme, meski memiliki banyak definisi, merupakan tindakan kekerasan terencana dan
bermotivasi politik yang dilakukan terhadap orang-orang tak bersenjata atau penduduk sipil.
Dua istilah ini (Islam dan terorisme) sangat jauh berbeda karena Islam sangat menghargai
nyawa manusia. Islam juga menganggap kehidupan sebagai semangat Tuhan yang
dianugerahkan kepada manusia. Dalam Alquran disebutkan bahwa siapa saja yang
menghilangkan nyawa seseorang, maka Allah menganggap dia telah menghilangkan nyawa
seluruh umat manusia (Surat 5 ayat 32). Tetapi, kita terhenyak ketika terjadi tragedi 11
September di AS. Mengapa aksi teroris seperti itu terjadi dan dilakukan orang-orang yang
mengaku dirinya sebagai muslim sejati dan memiliki semangat besar untuk menyebarkan ajaran
Islam.
Dengan kata lain Islam tidak mengenal kata teroris, semua itu hanya sebuah rekayasa
yang bertujuan untuk mempecah belah agama Allah yakni agama Islam yang cinta akan
kedamaian, tidak mengenal kekerasan atau tindakan biadab seperti yang mereka lakukan.
2.3 Potensi Terorisme Di Indonesia
Indonesia memiliki potensi terorisme yang sangat besar dan perlu langkah antisipasi yang
ekstra cermat. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang kadang tidak dipahami oleh orang tertentu
cukup dijadikan alasan untuk melakukan teror. Berikut ini adalah potensi-potensi terorisme
tersebut :
Terorisme yang dilakukan oleh negara lain di daerah perbatasan Indonesia. Beberapa kali negara
lain melakukan pelanggaran masuk ke wilayah Indonesia dengan menggunakan alat-alat perang
sebenarnya adalah bentuk terorisme. Lebih berbahaya lagi seandainya negara di tetangga sebelah
melakukan terorisme dengan memanfaatkan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan dan
kurang diperhatikan oleh negera. Nasionalisme yang kurang dan tuntutan kebutuhan ekonomi
bisa dengan mudah orang diatur untuk melakukan teror.

Terorisme yang dilakukan oleh warga negara yang tidak puas atas kebijakan negara. Misalnya
bentuk-bentuk teror di Papua yang dilakukan oleh OPM. Tuntutan merdeka mereka
ditarbelakangi keinginan untuk mengelola wilayah sendiri tanpa campur tangan pemerintah.
Perhatian pemerintah yang dianggap kurang menjadi alasan bahwa kemerdekaan harus mereka
capai demi kesejahteraan masyarakat. Terorisme jenis ini juga berbahaya, dan secara khusus
teror dilakukan kepada aparat keamanan.


Terorisme yang dilakukan oleh organisasi dengan dogma dan ideologi tertentu. Pemikiran
sempit dan pendek bahwa ideologi dan dogma yang berbeda perlu ditumpas menjadi latar
belakang terorisme. Bom bunuh diri, atau aksi kekerasan yang terjadi di Jakarta sudah
membuktikan bahwa ideologi dapat dipertentangkan secara brutal. Pelaku terorisme ini biasanya
menjadikan orang asing dan pemeluk agama lain sebagai sasaran.

Terorisme yang dilakukan oleh kaum kapitalis ketika memaksakan bentuk atau pola bisnis dan
investasi kepada masyarakat. Contoh nyata adalah pembebasan lahan masyarakat yang
digunakan untuk perkebunan atau pertambangan tidak jarang dilakukan dengan cara yang tidak
elegan. Terorisme bentuk ini tidak selamanya dengan kekerasan tetapi kadang dengan bentuk
teror sosial, misalnya dengan pembatasan akses masyarakat.


Teror yang dilakukan oleh masyarakat kepada dunia usaha, beberapa demonstrasi oleh
masyarakat yang ditunggangi oleh provokator terjadi secara anarkis dan menimbulkan kerugian
yang cukup besar bagi perusahaan. Terlepas dari siapa yang salah, tetapi budaya kekerasan yang
dilakukan oleh masyarakat adalah suatu bentuk teror yang mereka pelajari dari kejadian-kejadian
yang sudah terjadi.
2.4 Faktor-faktor Terjadinya Terorisme Di Indonesia
Menurut sebagian besar aktifis yang tergabung dalam kelompok Tanzim al-Qaidah di
Aceh, faktor-faktor pendorong terbentuknya radikalisme dan terorisme di Indonesia bukanlah
semata-mata untuk kepentingan individu. Sebab, apabila dimotivasi untuk kepentingan individu,
maka semestinya hal tersebut apa yang dilakukannya dan tindakannya tidak menyakitkan baik itu
diri sendiri maupun orang lain. Adapun faktor-faktor yang mendorong terbentuknya terorisme:
1. Faktor ekonomi
Kita dapat menarik kesimpulan bahwa faktor ekonomi merupakan motif utama bagi para
terorisme dalam menjalankan misi mereka. Keadaan yang semakin tidak menentu dan kehidupan
sehari-hari yang membikin resah orang untuk melakukan apa saja. Dengan seperti ini pemerintah
harus bekerja keras untuk merumuskan rehabilitasi masyarakatnya. Kemiskinan membuat orang
gerah untuk berbuat yang tidak selayaknya diperbuat seperti; membunuh, mengancam orang,
bunuh diri, dan sebagainya.
2. Faktor sosial
Orang-orang yang mempunyai pikiran keras di mana di situ terdapat suatu kelompok
garis keras yang bersatu mendirikan Tanzim al-Qaidah Aceh. Dalam keseharian hidup yang kita
jalani terdapat pranata social yang membentuk pribadi kita menjadi sama. Situasi ini sangat
menentukan kepribadian seseorang dalam melakukan setiap kegiatan yang dilakukan. Sistem
social yang dibentuk oleh kelompok radikal atau garis keras membuat semua orang yang
mempunyai tujuan sama dengannya bisa mudah berkomunikasi dan bergabung dalam garis keras
atau radikal.
3. Faktor Ideologi
Faktor ini yang menjadikan seseorang yakin dengan apa yang diperbuatnya. Perbuatan yang
mereka lakukan berdasarkan dengan apa yang sudah disepakati dari awal dalam perjanjiannya.
Dalam setiap kelompok mempunyai misi dan visi masing-masing yang tidak terlepas dengan
ideologinya. Dalam hal ini terorisme yang ada di Indonesia dengan keyakinannya yang
berdasarkan Jihad yang mereka miliki.

2.5 Sudah Sejauh Mana Tindakan Terorisme Di Indonesia
Terorisme di Indonesia merupakan terorisme di Indonesia yang dilakukan oleh grup teror
Jemaah Islamiyah yang berhubungan dengan al-Qaeda. Sejak tahun 2002, beberapa "target
negara Barat" telah diserang. Korban yang jatuh adalah turis Barat dan juga penduduk Indonesia.
Terorisme di Indonesia dimulai tahun 2000 dengan terjadinya Bom Bursa Efek Jakarta, diikuti
dengan empat serangan besar lainnya, dan yang paling mematikan adalah Bom Bali 2002.
Berikut adalah beberapa kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia dan instansi
Indonesia di luar negeri:



1981
Garuda Indonesia Penerbangan 206, 28 Maret 1981. Sebuah penerbangan maskapai
Garuda Indonesia dari Palembang ke Medan pada Penerbangan dengan pesawat DC-9
Woyla berangkat dari Jakarta pada pukul 8 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang
ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat
tersebut dibajak oleh 5 orang teroris yang menyamar sebagai penumpang. Mereka
bersenjata senapan mesin dan granat, dan mengaku sebagai anggota Komando Jihad. 1
kru pesawat tewas, 1 tentara komando tewas, 3 teroris tewas.
1985
Bom Candi Borobudur 1985, 21 Januari 1985. Peristiwa terorisme ini adalah peristiwa
terorisme bermotif "jihad" kedua yang menimpa Indonesia.
2000
Bom Kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di
depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang
lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.
Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks Kedutaan Besar
Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan mengguncang lantai parkir P2
Gedung Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak
berat, 57 rusak ringan.
Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom pada malam Natal di
beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta
mengakibatkan 37 mobil rusak.
2001
Bom Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 Juli 2001. di Kawasan Kalimalang, Jakarta
Timur, 5 orang tewas.
Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom meledak di kawasan Plaza
Atrium, Senen, Jakarta. 6 orang cedera.
Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom mengakibatkan kaca,
langit-langit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada korban jiwa. Sebuah bom lainnya
yang dipasang di kantor MLC Life cabang Makassar tidak meledak.
Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan meledak di halaman
Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta.
2002
Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di depan rumah makan ayam
Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi
Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang
mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat
bersamaan, di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen
Filipina, tidak ada korban jiwa.
Bom restoran McDonald's, Makassar, 5 Desember 2002. Bom rakitan yang dibungkus
wadah pelat baja meledak di restoran McDonald's Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-
luka.
2003
Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom rakitan meledak di lobi
Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak dii area publik di
terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. 2 orang
luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.
Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian Hotel JW Marriott.
Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.

2004
Bom Palopo, 10 Januari 2004. Menewaskan empat orang.
Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan
Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ledakan juga
mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89,
Menara Grasia, dan Gedung BNI.
Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12 Desember 2004.
2005
Dua Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005
Bom Tentena, 28 Mei 2005. 22 orang tewas.
Bom Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005. Bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan
Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang
Barat. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang
tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA's Bar dan
Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Caf Jimbaran.
Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi
Tengah yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang.
2009
Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-
Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB.
2010
Penembakan warga sipil di Aceh Januari 2010
Perampokan bank CIMB Niaga September 2010

2011
Bom Cirebon, 15 April 2011. Ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon saat
Salat Jumat yang menewaskan pelaku dan melukai 25 orang lainnya.
Bom Gading Serpong, 22 April 2011. Rencana bom yang menargetkan Gereja Christ
Cathedral Serpong, Tangerang Selatan, Banten dan diletakkan di jalur pipa gas, namun
berhasil digagalkan pihak Kepolisian RI
Bom Solo, 25 September 2011. Ledakan bom bunuh diri di GBIS Kepunton, Solo, Jawa
Tengah usai kebaktian dan jemaat keluar dari gereja. Satu orang pelaku bom bunuh diri
tewas dan 28 lainnya terluka.

2.5.1 Terorisme Di Lingkungan Pelajar (Mahasiswa)
Di era globalisasi seperti sekarang, terorisme bukan hanya di lakukan dalam bentuk
pengeboman ataupun pembajakan alat transportasi massal. Melainkan dengan cara
DOKTRINASI, dimana sarsarannya sebagian besar berasal dari kalangan pelajar terutama
mahasiswa yang secara psikologis masih bisa di goyahkan pendiriannya seperti yang di lakukan
oleh organisasi NII (Negara Islam Indonesia).
Negara Islam Indonesia (NII) atau dikenal dengan nama Darul Islam (Rumah Islam). NII
adalah pergerakan politik yang berdiri pada tanggal 7 agustus 1949 (12 Syawal 1368H) di Desa
Cisampah, Ciawiligar, Tasikmalaya, Jawa Barat. Pendirinya adalah Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo.
Tujuan NII adalah menjadikan Indonesia yang saat itu baru saja merdeka sebagai Negara
Islam. Dalam proklamasi NII hukum islam adalah hukum yang berlaku. Dalam undang-undang
NII dinyatakan dengan tegas Negara berdasarkan Islam. Perkembangan Darul Islam menyebar
ke berbagai wilayah terutama Jabar menuju ke arah perbatasan. Termasuk juga menyebar ke
Sulawesi dan Aceh. Setelah pendiri ditangkap oleh TNI dan di eksekusi pada tahun 1962,
gerakan ini terpecah. Tapi tetap bergerak secara diam-diam dan oleh pemerintah dianggap
sebagai organisasi ilegal. Sekarang gerakan NII ini makin merajalela dan mengancam saudara-
saudara kita. Sasaran utama mereka adalah remaja dan mahasiswa. Maka berhati-hatilah,
lindungi anak-anak kita, saudara, teman, tetangga kita dari aliran yang berbahaya ini.
Meski kerap menggunakan cara-cara baru seperti menggunakan jejaring sosial seperti
Facebook dan Twitter untuk mendekati calon korbannya. Namun modus yang digunakan untuk
perekrutan/doktrinasi dariu tahun ke tahun tetap sama, yaitu:
1. Dilakukan oleh seorang anggota NII dibantu temannya dengan cara diskusi.
2. Setelah 2-3 kali diskusi/pertemuan si korban akan disiapkan untuk melakukan hijrah.
3. Sebelum berhijrah korban diharuskan memberikan sedekah. Sedekah ini di doktrin untuk
membersihkan dosanya. Nilainya bervariasi mulai 100 ribu sampai 10 juta rupiah. tergantung
tingkat ekonomi korban.
4. Setelah siap berhijrah, korban dijemput ditempat yang sudah ditentukan, seperti di mall, di halte,
toko buku, dsb. Kemudian berangkat dengan mata tertutup.
5. Saat sampai di tempat transit, korban di bina dan di doktrin. Kemudian dibawa dan ketempat lain
dan di doktrin secara marathon.
6. Akibat doktrin-doktrin tersebut ketika sampai di tempat tujuan, sang korban meminta agar
diterima menjadi warga NII.
7. Korbanpun diterima menjadi anggota dan di baiat (di sumpah) dengan 9 poin.
8. Setelah di baiat korban akan berganti nama. Sampai disini prekrutan selesai.
9. Korban dikembalikan ketempat semula saat pertama kali dilakukan penjemputan. Namun tidak
berhenti sampai disini karena pembinaan masih terus berlangsung.
Masa remaja ibarat orang yang sedang kehausan. Seseorang yang haus kemudian ditawari
minuman, tentu dia akan meminumnya seketika. Kalau minuman itu baik, mengandung unsur
kesehatan, seperti kesehatan mental, kesehatan ideologi, kesehatan doktrin-dokrin agama, tentu
tidak masalah, namun jika minuman tersebut mengandung racun, dan mencekopi pemahaman
yang keliru, tentu akan menjadi persoalan.
Oleh karena itu, satu-satunya cara adalah bersaing dengan para penyebar virus-virus yang
menyesatkan tersebut. Dalam hal ini pendidikan keluarga dan peran orangtua cukup penting.
Sesibuk apapun orangtua, jangan sampai lupakan keluarga, karena keluarga berperan penting
untuk menangkal terorisme dan radikalisme ditingkatan remaja. Para orangtua harus melakukan
dialog, komunikasi efektif, dan diskusi tentang bahaya laten terorisme dan radikalisme.
Selain lingkungan keluarga, yang berperan penting untuk menangkal paham radikalisme
dan terorisme adalah lingkungan masyarakat sekitar, seperti memberdayakan lembaga RT/RW.
Dengan ini, maka potensi remaja bisa tersalurkan, dan generasi muda tidak terjebak pada paham
terorisme dan radikalisme.
James H.Wolfe (1990) menyebutkan beberapa karakteristik terorisme sebagai berikut:
1. Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat politis maupun nonpolitis.
2. Sasaran yang menjadi obyek aksi terorisme bisa sasaran sipil (super market, mall, sekolah,
tempat ibadah, rumah sakit dan fasilitas umum lainya) maupun sasaran non-sipil.
3. Aksi terorisme dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau mempengaruhi kebijakan pemerintah
negara.
4. Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak menghormati hukum internasional atau
etika internasional.
5. Serangan yang dilakukan dengan sengaja untuk membinasakan penduduk sipil seperti yang
terjadi di Kuta adalah pelanggaran hukum internasional.
6. Persiapan atau perencanaan aksi teror bisa bersifat multinasional. Kejadian di Bali, kalau
memang benar sebagai teror, bisa dilakukan oleh orang Indonesia, orang asing atau gabungan
keduanya.
7. Tujuan jangka pendek aksi terorisme adalah menarik perhatian media massa dan untuk
menarik perhatian publik. Jadi pemberitaan yang gencar di seluruh penjuru dunia tentang
kejadian di Bali dapat disebut sebagai cara teroris untuk menarik perhatian publik.
8. Aktivitas terorisme mempunyai nilai mengagetkan (shock value) yang bagi teroris berguna untuk
mendapatkan perhatian. Untuk itulah dampak aktivitas teroris selalu terkesan kejam, sadis dan
tanpa menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Kalau memang betul aksi terorisme, maka tragedi di
Bali justru akan mengangkat perhatian publik, yang berguna bagi kepentingan teroris.
2.6 Usaha Pemerintah Dalam Membasmi Teroris
Masih adanya ancaman terorisme di Indonesia juga disebabkan oleh belum adanya
payung hukum yang kuat bagi kegiatan intelijen untuk mendukung upaya pencegahan dan
penanggulangan terorisme. Kendala lain dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme
adalah belum adanya pembinaan yang menjamin dapat mengubah pemikiran radikal menjadi
moderat. Sementara itu masih lemahnya sistem pengawasan terhadap peredaran berbagai bahan
pembuat bom, menyebabkan para teroris masih leluasa melakukan perakitan bom yang jika tidak
terdeteksi dapat menimbulkan kekacauan di berbagai tempat.
Berikut adalah arah kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah dalam rangka mencegah
dan menanggulangi kejahatan terorisme pada tahun 2005 2009 adalah sebagai berikut:
1. Penguatan koordinasi dan kerja sama di antara lembaga Pemerintah;
2. Peningkatan kapasitas lembaga pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan teroris,
terutama satuan kewilayahan;
3. Pemantapan operasional penanggulangan terorisme dan penguatan upaya deteksi secara dini
potensi aksi terorisme;
4. Penguatan peran aktif masyarakat dan pengintensifan dialog dengan kelompok masyarakat yang
radikal,
5. Peningkatan pengamanan terhadap area publik dan daerah strategis yang menjadi target kegiatan
terorisme;
6. Sosialisasi dan upaya perlindungan masyarakat terhadap aksi terorisme;
7. Pemantapan deradikalisasi melalui upaya-upaya pembinaan (soft approach) untuk mencegah
rekrutmen kelompok teroris serta merehabilitasi pelaku terror yang telah tertangkap.

Dalam rangka mencegah dan menanggulangi ancaman terorisme di dalam negeri,
Pemerintah telah menempuh berbagai cara, terutama dengan mengambil tindakan-tindakan yang
sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pemerintah, melalui aparat terkait, telah melakukan
pendekatan melalui tokoh masyarakat, tokoh agama moderat dan yang cenderung radikal guna
mengubah pemikiran radikal menjadi moderat, yakni dengan memberikan pengertian
sesungguhnya tentang istilah jihad yang selama ini disalahartikan.
Permasalahan terorisme hanya dapat diselesaikan melalui kerja sama dan koordinasi
antara berbagai pemangku kepentingan (stake holder), baik instansi pemerintah maupun
masyarakat. Untuk itu, TNI dan Polri terus melakukan latihan gabungan mengingat pentingnya
kerja sama TNI-Polri untuk terorisme. Untuk membantu penanganan kasus yang berhubungan
dengan terorisme, Kejaksaan Agung membentuk satuan tugas penanganan tindak pidana
terorisme dan tindak pidana lintas negara sehingga diharapkan penyelesaian kasus terorisme
dapat dilakukan dengan lebih baik.
Dalam mencegah dan menanggulangi terorisme, Pemerintah tetap berpedoman pada
prinsip yang telah diambil sebelumnya, yakni melakukan secara preventif dan represif yang
didukung oleh upaya pemantapan kerangka hukum sebagai dasar tindakan proaktif dalam
menangani aktivitas, terutama dalam mengungkap jaringan terorisme. Peningkatan kerja sama
intelijen, baik dalam negeri maupun dengan intelijen asing, melalui tukar-menukar informasi dan
bantuan-bantuan lainnya, terus ditingkatkan. Untuk mempersempit ruang gerak pelaku kegiatan
terorisme, Pemerintah akan terus mendorong instansi berwenang untuk meningkatkan penertiban
dan pengawasan terhadap lalu lintas orang dan barang di bandara, pelabuhan laut, dan wilayah
perbatasan, termasuk lalu lintas aliran dana, baik domestik maupun antarnegara.
Penertiban dan pengawasan juga akan dilakukan terhadap tata niaga dan penggunaan
bahan peledak, bahan kimia, senjata api dan amunisi di lingkungan TNI, Polisi, dan instansi
pemerintah. Selain itu, TNI, Polisi, dan instansi pemerintah juga terus melakukan pengkajian
mendalam bekerja sama dengan akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Peningkatan
kemampuan berbagai satuan anti teror dan intelijen dalam menggunakan sumber-sumber primer
dan jaringan informasi diperlukan agar dapat membentuk aparat anti teror yang profesional dan
terpadu dari TNI, Polri, dan BIN. Selanjutnya, kerja sama internasional sangat perlu untuk
ditingkatkan karena terorisme merupakan permasalahan lintas batas yang memiliki jaringan dan
jalur yang tidak hanya ada di Indonesia.





2.7 Kendala yang Dihadapi Pemerintah Dalam Membasmi Teroris
Peran Pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi terorisme sudah
menunjukan keberhasilan yang cukup berarti, tetapi masih banyak yang perlu dihadapi untuk
menciptakan perasaan aman di masyarakat dari aksi-aksi terorisme. Tragedi ledakan bom belum
lama ini menunjukan bahwa aksi terorisme harus terus diwaspadai, dimana bentuk gerakan dan
perkembangan jaringannya terus berubah sehingga sukar untuk dilacak. Sulitnya penyelesaian
permasalahan terorisme ini terjadi karena masih banyak faktor yang menyebabkan terorisme
dapat terus berkembang. Dari faktor perbedaan ideologis dan pemahaman tentang agama yang
berbeda-beda sampai kesenjangan sosial dan pendidikan yang membuat masyarakat lebih mudah
untuk disusupi oleh jaringan-jaringan teroris.

2.8 Pembentukan Detasemen Khusus 88
Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik
Indonesia untuk penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih
khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga
merupakan anggota tim Gegana.
Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan mengatasi
gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Unit khusus berkekuatan
diperkirakan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan
unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu (Sniper).
Pasukan khusus ini dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat melalui bagian Jasa
Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service) Departemen Negara AS dan dilatih
langsung oleh instruktur dari CIA, FBI, dan U.S. Secret Service. Satuan pasukan khusus baru
Polri ini dilengkapi dengan persenjataan dan kendaraan tempur buatan Amerika Serikat, seperti
senapan serbu Colt M4, senapan penembak jitu Armalite AR-10, dan shotgun Remington 870.
Bahkan dikabarkan satuan ini akan memiliki pesawat C-130 Hercules sendiri untuk
meningkatkan mobilitasnya. Semua persenjataan yang diberikan, termasuk materi latihan,
diberitakan sama persis dengan apa yang dimiliki oleh satuan khusus antiteroris AS.
BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kami rasa aksi ini bukan yang terakhir kalinya, kami barusan tersadar, aksi pengeboman ini
selau dilakukan dengan jeda-jeda yang cukup untuk membuat kita lengah, lupa dengan adanya
terorisme di sini, kita tidak tahu apakah pelakunya selalu sama, tetapi setidaknya, kita bisa
menduga, bahwa mereka selalu jeli dalam mengambil jeda waktu yang tepat.
Ruang lingkup terorisme jaman sekarang sudah lebih luas dan mengarah kepada golongan
masyarakat yang memiliki pondasi pemikiran yang lemah dan mudah digoyahkan seperti pelajar
dan mahasiswa.
Pada hakekatnya mereka (teroris) punya keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan itu benar.
Mereka mengatas-namakan agama sebagai kedok kejahatan mereka. Padahal jika kita cermati,
hal demikianlah yang bisa mengadu domba satu agama dengan agama yang lain, yang tentunya
juga akan merusak citra ISLAM yang indah dan damai. Tentu hal demikian bukan hanya
menjadi musuh bangsa, tetapi menjadi musuh kita semua sebagai kaum muslim.
3.2 SARAN
Terorisme harus di usut tuntas sampai keakarnya, sehingga menimalisir terjadinya hal yang
lebih buruk lagi.
Jangan langsung mempercayai orang asing yang tiba-tiba berlagak sudah akrab.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Indriyanto Seno.2001.Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum
Pidana dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.
Kusumah, Mulyana W.2002.Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal
Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III.Jakarta:Terbit Terang.
Muryati, Sri.2003.Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU
No.15 tahun 2003.Jakarta:Konsiderans.
Adji, Indriyanto Seno.2001.Bali, Terorisme dan HAM dalam Terorisme: Tragedi Umat
Manusia.Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.
Muladi.2002.Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal
Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III.Jakarta: Terbit Terang.
http://megapolitan.kompas.com/read/2009/07/17/08451691/Ledakan.di.JW.Marriott.dan.Ritz..8.
Warga.Asing.Terkapar.

Anda mungkin juga menyukai