Anda di halaman 1dari 4

Pulang Haji

Cerpen Ahmad Muchlish Amrin (Media Indonesia, 12 Oktober 2014)



MATA kami terpagut ke arah jalan. Orang-orang membuat gerbang dari bambu berpelitur, dihiasi aneka
kembang. Di atas gerbang itu ditempelkan kertas kerlap-kerlip dan berkilau, berbentuk menara. Dari arah
depan, terpampang sebuah tulisan Selamat Datang Haji Zubaidi, Semoga Menjadi Haji yang Mabrur.
Rahnayu, satu-satunya orang yang mampu naik haji di kampung kami, telah berubah nama. Nama pemberian
ayah-ibunya telah berganti menjadi Haji Zubaidi.
Para tetangga berdatangan. Mak Salama, Mak Emar, Masad, Amrin, dan Sahnawi menyembelih sapi di
belakang rumah. Muhsin dan Rahwini memasang lukisan kaligrafi di kaca-kaca jendela rumah dan langgar.
Amir menggantung mercon siap sulut di pohon nangka. Bukhari, Faidi, dan Zubda membereskan ruang tamu
dan menaruh sebuah kursi di halaman. Kursi yang akan ditempati Haji Zubaidi saat menerima tamu yang ingin
mendengar kisah-kisah gaib dari Tanah Suci. Selain itu, Zubda menaruh bak dan cangkir kecil tempat air
zamzam. Menurut tetua kampung, siapa yang meminum air zamzam, oleh-oleh orang naik haji, nantinya juga
dikaruniai naik haji.
Orang-orang yang diundang untuk pawai bermotor juga sudah berangkat ke kota bersama rombongan
keluarga. Menurut informasi yang diterima keluarga Haji Zubaidi, jemaah haji akan segera tiba. Kelompok
hadrah al-Majali juga sudah datang, siap menabuh gendang dan melantunkan selawat.
***
Segumpal awan melengkung di langit. Bagai kuntum bunga melati. Matahari berkelindan di atas ubun-ubun.
Suara pawai motor mulai gaduh dari arah selatan, memenuhi jalan raya. Pawai motor menyalakan lampu. Dua
mobil menguntit di belakang. Orang-orang berbanjar di depan gerbang, jemaah hadrah siap memainkan
gendang dan Tarian Saman. Mereka bagai menyambut pahlawan dari medan perang. Penuh haru. Mata
berkaca-kaca.
Pawai motor makin dekat. Dua mobil disewa khusus. Satu untuk Haji Zubaidi, ibunya, istrinya, dan anaknya.
Satu lagi ditumpangi saudara-saudara, ipar, dan para kerabat. Rahnayu alias Haji Zubaidi duduk di depan.
Matanya hening bulan Januari. Menatap lurus ke depan. Ke arah orang-orang yang berbaris di pinggir jalan.
Pawai terus ke rumah! tukas Dapir, lelaki berewok berdada bidak dan berkopiah hitam, mengatur di depan
gerbang.
Pawai motor memasuki gerbang. Sementara itu, dua mobil di belakang berhenti. Dapir meminta rombongan
turun. Mercon mulai disulut, pertanda pengantin haji telah datang. Suara letusannya bagai menusuk gendang
telinga. Haji Zubaidi turun dari mobil, digandeng Fatimah, istri tercintanya, dan ibunya yang renta. Di
belakang tampak dua remaja, Asro dan Nahwari, anaknya. Haji Zubaidi tampak berwibawa. Memakai gamis
dan sorban hitam, memakai egal, dan kaca mata hitam.
Minggir, minggir! teriak Dapir.
Orang-orang menyingkir. Barisan penari mulai menabuh gendang dan menyanyikan selawat. Haji Zubaidi
berjalan pelan di tengah barisan. Orang-orang kampung mengiringinya. Letusan mercon terus berdebam.
Angin bertiup pelan. Daun nyiur bergoyang seolah ikut menyambut kedatangan lelaki dari Tanah Suci.
Kulitnya tambah hitam, bisik seseorang dalam barisan pengiring.
Barisan hadrah telah memasuki halaman, para penari Saman membentuk dua barisan. Haji Zubaidi bersama
keluarga lewat di tengah. Ia didudukkan di sebuah kursi yang telah tersedia di depan amben, di dekat pohon
cemara yang dibonsai.
Ia segera berdiri. Orang-orang kampong mendekat secara bergantian. Berpelukan bagai bertemu kawan lama.
Setiap kali Haji Zubaidi memeluk seseorang, keningnya mengernyit, matanya selalu melihat cincin permata
yang memenuhi seluruh jemarinya. Mulutnya komat-kamit. Entah apa yang ia baca. Mungkin saja doa-doa.
Ia mempersilakan para tamu untuk duduk. Amrin membagikan kurma. Sementara itu, Sahnawi menuangkan
air zamzam dari sebuah jeriken, dicampur dengan air sumber di kampung kami.
Para hadirin menyeruput air zamzam, menikmati buah kurma. Haji Zubaidi tampak berkeringat. Seorang lelaki
tua mendekat, kopiahnya terlihat lusuh, jenggotnya putih logam, rambutnya keriting. Kami mohon
panjenengan mendoakan kami, mohonnya. Lalu, Haji Zubaidi berdiri dan mengangkat tangan tinggi-tinggi,
kepalanya mendongak ke langit, keningnya mengerut, air matanya menetes. Khusyu. Kalimat demi kalimat
menyeruak dari mulutnya. Kumisnya bergerakgerak saat berdoa.
***
Sebelum menyampaikan kisah-kisahnya, Haji Zubaidi ingin menebus burung peliharaan yang digadai pada
Masrudin, tetangganya. Menurut orang-orang di kampung kami, setiap orang yang ingin berangkat ke Tanah
Suci, ia harus melepaskan segala peliharaan; burung, sapi, kuda, atau apa pun. Sebelum berangkat, Haji
Zubaidi menggadaikan burung beo peliharaannya.
Masrudin telah datang. Ia membawa burung dan sangkarnya.
Silakan, Mas!
Masrudin masuk ke dalam terop. Amrin dan Amir membawa sangkar burung di belakang Masrudin. Haji
Zubaidi memegang uang. Meremasnya. Entah berapa jumlahnya. Masrudin berdiri. Lelaki berkumis lebat itu
mengambil burung dari dalam sangkar dan menjulurkannya pada Haji Zubaidi. Lalu, lelaki berjubah itu
menerimanya dan menyerahkan sejumlah uang. Tepuk tangan ramai, sorak-sorai bergempita. Masrudin
kembali duduk. Haji Zubaidi menaruh burung dalam sangkar.
Hadirin diharap tenang! Dapir masih mengatur jalannya acara. Orang-orang mengambil posisi masing-
masing. Sunyi.
Haji Zubaidi berdiri di hadapan ratusan orang. Ia menunduk, matanya berkaca-kaca, seolah-olah teringat
peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Tanah Suci. Tiba-tiba gerimis bening gugur dari pipinya. Ketika ia
berdiri, terasa ada sesuatu yang aneh, hadirin saling tatap. Entah apa yang terjadi padanya. Haji Zubaidi
menyimpan kenangan luka? Atau ia kangen pada kenikmatan di Tanah Suci?
Saya terputus. Menunduk. Gerimis semakin deras di pipinya. Ia mengusap air mata dengan sorban.
Kepalanya mendongak lagi. Menunduk lagi. Orang-orang terharu. Sebagian ada yang menangis. Ada pula yang
berbisik-bisik dan mencibir.
Saya merasa sangat nikmat di Tanah Suci, ia mulai lancar bercerita. Sesekali ia mengangkat lengan kiri yang
dilingkari arloji kuning. Saya bermimpi bertemu Rasulullah. Seolah saya disemati bunga melati. Lalu, saya
bertanya pada seorang syekh. Ia bilang, kamu orang yang dekat dengan Allah. Saya memeluknya erat-erat.
Suparno mencibir. Berbisik pada lelaki di sampingnya. Sementara yang lain menganga.
Haji Zubaidi berbisik pada Dapir. Ia menunjuk pada tas hitam, tak jauh dari posisinya. Haji Zubaidi meminta
Dapir mengambil tas kecil di dalam tas hitam itu. Haji Zubaidi membuka ritsleting tas kecil itu. Isinya intan
permata rubi yang berkilauan. Saya dicium oleh syekh, kata dia, sambil mengangkat tangan, seolah ingin
memperlihatkan deretan cincinnya. Syekh berjanji, sebelum pulang ia akan memberikan kenang-kenangan.
Saya hanya tersenyum dan mengangguk.
Sebelum pulang syekh memberikan cincin ini, ia memperlihatkan jarinya yang penuh cincin Dan, ada
beberapa mutiara. Bila kalian berminat membeli mutiara pemberian syekh, kalian bisa datang ke sini bulan
depan. Ia membetulkan sorban hitamnya.
Haji kemprol. Berdagang! gerutu Suparno.
Bila kalian dikaruniai Allah naik haji, bersihkan dulu hati kalian, agar bisa seperti saya. Saya mencium hajar
al-aswad 20 kali. Bila kalian pernah mendengar bahwa mencium hajar al-aswad itu susah, bagi saya sangat
gampang, bahunya diangkat, alisnya mengernyit. Orang-orang menganga. Kecil Haji Zubaidi menjulurkan
jari kelingkingnya.
Burung yang tadi berdiam dalam sangkar tiba-tiba melompat ke luar. Mungkin Haji Zubaidi lupa mengunci
sangkar. Sesaat ia terbang di dekat atap, lalu mendekati Haji Zubaidi. Plaggg!!! Cekernya menancap di kepala
Haji Zubaidi. Pipinya berlumur berdarah seketika. Kacamatanya terlepas.
Kuku burung itu tajam sekali. Ia mencakar lagi. Haji Zubaidi terpelanting jatuh. Orang-orang tertegun. Haji
Zubaidi segera bangun. Ia mengelap darah dengan sorban. Tak lama kemudian, burung itu kembali
menyerang, mencakar lagi, berkali-kali, hingga Haji Zubaidi tersungkur kembali. Burung bangsat!! rintihnya.
Orang-orang berkerumun, sebagian berteriak. Fatimah mendekati suaminya. Ia bertanya-tanya, apa
sebenarnya yang terjadi?
Burung! Dapir menjawab pendek.
Haji Zubaidi diusung masuk ke dalam rumah. Kerumunan bubar. Sebagian keluar dari halaman, sebagian
masuk ke dalam rumah, ingin melihat kondisi Haji Zubaidi.
Lelaki yang terkapar di ranjang itu menangis. Air matanya membasahi bantal. Fatimah mengusapnya pelan-
pelan. Orang-orang menyaksikan di kanan-kiri ranjang. Pertanda apakah peristiwa ini, Kak? Fatimah gelisah.
Suaminya terus menangis, sesenggukan.
Tenangkan dirimu, Bing, kata Muhsin. Mak Emar memijit kaki lelaki itu. Mak Salama mengompres bengkak
di kepala Haji Zubaidi. Ia menangis lagi. Sesenggukan lagi. Darah terus mengalir di pipinya. Orang-orang
saling pandang. Sebagian mengernyitkan alis. Sebagian lain berbisik-bisik dan menggerakkan bahu. Mulut
mereka bagai terkunci. (*)
2014
Ahmad Muchlish Amrin: Lahir di Sumenep, 24 Agustus 1984. Pada 2009, ia diundang untuk membacakan
karyanya di Ubud Writers & Readers Festival. Kini mengelola komunitas Tang Lebun, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai