PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu karakteristik kegiatan pertambangan adalah padat modal, padat teknologi dan memiliki risiko yang besar. Salah satu risiko yang ada adalah potensi kecelakaan. Tahun 2009 diketahui jumlah kecelakaan sebesar 303 korban yang terdiri atas 176 cidera ringan, 83 cidera berat dan 44 mati. Berdasarkan penyebab kecelakaan, pada tahun 2008 dan 2009 faktor tindakan tidak mengikuti prosedur merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan. Sebanyak 46% kecelakaan yang terjadi disebabkan oleh tindakan tidak mengikuti prosedur pada tahun 2008 dan 29% pada tahun 2009. Penyabab kecelakaan berikutnya adalah tempat kerja yang tidak aman, menempatkan badan yang tidak aman, perkakas tidak standard, tidak memakai APD, kurangnya koordinasi dan SOP yang tidak memadai. Dalam safety award tahun 2009 tingkat pemenuhan parameter K3 perusahaan pertambangan mineral dan batubara masih kurang baik, yaitu sebesar 77% dari 17 parameter yang diukur. Nilai pemenuhan paling rendah adalaheksternal audit yang hanya mencapai 25%. Hal tersebut menggambarkan bahwa budaya K3 pada perusahaan pertambangan mineral dan batubara masih belum terbentuk secara optimal. Berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pasal 139 ayat (4) dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pasal 2 ayat (2) bahwa Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR atau IUPK. Salah satu aspek yang harus dilakukan pembinaan adalah pembentukan budaya K3 pada perusahaan pertambangan. Oleh karena itu makalah ini disusun untuk memberikan gambaran mengenai pembinaan guna meningkatkan budaya K3 pada perusahaan pertambangan. B. Rumusan Masalah Secara filosofis, kendala yang dihadapi dalam menciptakan safety culture adalah tidak maksimalnya proses transformasi dari budaya agriculture menjadi budaya industrial. Pada budaya tradisional, mereka tidak terbiasa dengan disiplin kerja dan hanya menggunakan satu alat (tool) untuk melakukan berbagai pekerjaan, seperti kapak yang berfungsi sebagai alat pemotong maupun sebagai palu (hammer). Sementara pada industri, ada bermacam-macam palu untuk penggunaan yang berbeda, baik bahannya maupun ukurannya. Oleh karena itu, proses transformasi budaya tersebut harus dikelola secara serius agar prosesnya dapat berjalan secara baik dan maksimal. C. Tujuan 1) Mahasiswa dapat memahami prinsip dasar utama K3 2) Mahasiswa dapat mengetahui bahaya dan resiko di lingkungan kerja pertambangan 3) Mahasiswa dapat mengerti upaya kesehatan dan keselamatan kerja di lingkungan pertambangan 4) Mahasiswa dapat memahami tentang kewajiban pembinaan dan budaya K3 di lingkungan pertambangan
D. Pembahasan
a) Prinsip Dasar utama K3 Upaya kesehatan dan keselamatan kerja Status kesehatann pekerja Pengkajian bahaya potensial lingkungan kerja
b) Budaya K3 Budaya (culture) merupakan obyek studi ilmu antropologi dan konsepnya bersifat luas serta holistik. Budaya menggambarkan suatu kualitas yang sifatnya sangat khusus pada kelompok manusia dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Karena memiliki budaya inilah umat manusia memiliki apa yang dikenal dengan peradapan (civilization). Budaya K3 di suatu perusahaan sebagai bagian dari budaya organisasi perusahaan bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu: Aspek psikologis pekerja terhadap K3 (Psychological aspects, what people feel, what is believe) Aspek perilaku K3 pekerja (Behavioral aspects, what people do, what is done) Aspek situasi atau organisasi dalam kaitan dengan K3 (Situational aspects, what organizational has, what is said)
c) Kewajiban Pembinaan Berdasarkan Pasal 139 Ayat (4), UU No. 4 Tahun 2009, Pemerintah sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR atau IUPK. Dalam PP No. 55 Tahun 2010 Pasal 3, bahwa pembinaan terhadap IUP, IPR dan IUPK terdiri atas: 1. Pemberian pedoman dan standard pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan. 2. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi. 3. Pendidikan dan pelatihan. 4. Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara.
2. KESIMPULAN Pembinaan terhadap peningkatan budaya K3 harus dilakukan oleh Inspektur Tambang, karena salah satu tugas Inspektur Tambang adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan K3. Inspektur Tambang memiliki peran penting dalam terciptanya budaya K3 pada perusahaan pertambangan. Metode yang dapat digunakan oleh Inspektur Tambang dalam meningkatkan budaya K3 pada perusahaan pertambangan adalah: a. Memberikan cara berfikir, nilai, pengetahuan terhadap K3 kepada pekerja. b. Meningkatkan kompetensi pekerja dengan memberikan pendidikan dan pelatihan. c. Melakukan evaluasi dan memberikan masukan kepada perusahaan terhadap Kebijakan, Organisasi, Personil, Program, Biaya dan Peralatan K3. d. Melakukan uji kompetensi terhadap personil. e. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program K3. f. Melakukan sertifikasi kelayakan peralatan. g. Memberikan contoh kepada pekerja mengenai kebiasan K3.
3. SARAN a. Untuk manajemen dan karyawan perusahaan diharapkan menerapkan prinsip dasar keselamatan dan kesehatan kerja supaya tercapainya perlindungan tenaga kerja dan mencegah serta mengurangi kecelakaan kerja. b. Diharapkan bagi manajemen perusahaan untuk mengembangkan program keselamatan dan kesehatan kerja serta kebijakan kerja. c. Disarankan menerapkan kebijakan dalam praktek aktivitas produksi suatu perusahaan supaya terpeliharanya keamanan kerja. d. Dalam suatu perusahaan diharapkan melakukan pembinaan keselamataan dan kesehatan dalam lingkungan kerja di pertambangan secara berkala.