Anda di halaman 1dari 25

Case Report Session

Kejang Demam Kompleks







Oleh
Mega Redha Putri 0910312038
Amelia Rahayu 0910313219


Preseptor:
dr. Metrizal, Sp.A





BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. ACHMAD MOCHTAR
BUKITTINGGI
2014


BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada peningkatan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 38
0
C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Terdapat perbedaan batasan usia terendah penderita kejang demam. Menurut The
American Academy of Pediatrics usia termuda kejang demam enam bulan. National Institutes
of Health (NIH) Consensus Conference dan The Consensus Development Panel On Febrile
Convultions menyebutkan batasan usia termuda untuk penderita kejang demam adalah tiga
bulan, sedangkan menurut International League Against Epilepsy batasan usia termuda
kejang demam adalah satu bulan. Tidak ada batasan usia tertinggi yang spesifik untuk
penderita kejang demam. Kasus kejang demam jarang terjadi pada usia diatas tujuh tahun.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari empat
minggu tidak termasuk kejang demam.
Kejang demam diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks. Kriteria kejang demam sederhana adalah sebagai
berikut.
a. Kejang bersifat umum, yaitu tonik dan atau klonik.
b. Kejang berlangsung < 15 menit.
c. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Suatu serangan kejang demam disebut kejang demam kompleks bila memenuhi
kriteria sebagai berikut.
a. Kejang bersifat fokal, atau kejang umum yang didahului oleh kejang parsial.
b. Kejang berlangsung > 15 menit.
c. Kejang berulang dalam waktu 24 jam.
Seseorang berisiko mengalami kejang demam kompleks dan kejang demam berulang
bila :
a. Bangkitan kejang demam pertama terjadi pada suhu < 40
0
C.
b. Usia kurang dari 12 bulan.
c. Adanya riwayat kejang demam pada lini pertama keluarga.
Sebagian besar kejang demam yang terjadi merupakan kejang demam sederhana.
Insiden kejang demam sederhana sekitar 80% dari seluruh kejadian kejang demam,
sedangkan insiden kejang demam kompleks hanya sekitar 20% dari seluruh insiden kejang
demam.

1.2 Epidemiologi
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering terjadi pada anak.
Sekitar 2-5% anak berusia di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang disertai demam.
Kejang demam biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun dengan puncak insiden
kejang demam pada usia 18-24 bulan.
Angka kejadian kejang demam sangat bervariasai. Di Cina dilaporkan kejadian kejang
demam 0,35-1,5%. Insiden kejang demam di Eropa dan Amerika sekitar 2-7%. Insiden
kejang demam di beberapa negara Asia lebih tinggi dibandingkan dengan di Eropa dan
Amerika. Dilaporkan insiden kejang demam di Jepang sekitar 9-10% dan di India 10,1%.
Sedangkan di Guam insiden kejang demam dilaporkan lebih tinggi, yaitu sekitar 14%. Di
Indonesia belum didapatkan angka pasti insiden kejang demam.
Beberapa penelitian menunjukkan perbedaan insiden kejang demam pada anak laki-
laki dan perempuan. Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan
dengan anak perempuan. Perbandingan kejang demam pada anak laki-laki dan perempuan
yaitu 1,2-1,6:1. Dari penelitian lain didapatkan perbandingan kejadian kejang demam antara
anak laki-laki dan perempuan sebesar 1,4:1.

1.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab pasti terjadinya kejang demam belum diketahui sampai saat ini. Beberapa
faktor penting yang mempengaruhi terjadinya kejang demam adalah demam, usia, faktor
genetik, faktor prenatal, dan faktor perinatal.
1.3.1 Demam
Demam merupakan kenaikan suhu tubuh di atas 38
0
C rektal atau di atas 37,8
0
C aksila.
Demam pada kejang demam biasanya disebabkan oleh infeksi. Pirogen yang dilepaskan oleh
leukosit dan agen infeksius akan mempengaruhi hipotalamus. Hal tersebut akan
mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu tubuh atau demam.
Kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion, metabolisme seluler, dan produksi
adenosine triphosphate (ATP). Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan oksigen dan glukosa. Pada demam tinggi dapat terjadi hipoksia jaringan yang
mengakibatkan terjadinya metabolisme anaerob sehingga ATP yang dihasilkan juga lebih
sedikit. Hal tersebut mengakibatkan tubuh kekurangan energi yang dapat mempengaruhi
fungsi normal pompa natrium yang dapat mencetuskan terjadinya bangkitan kejang.
Suhu tubuh saat demam dan durasi terjadinya demam mempengaruhi terjadinya
kejang demam. Kejang tidak selalu timbul pada demam tinggi. Kadang kejang demam dapat
terjadi pada demam ringan. Penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada
Januari 2008 sampai Maret 2009 menunjukkan kejang demam lebih banyak terjadi pada anak
dengan suhu tubuh > 39
0
C. Didapatkan anak dengan suhu tubuh > 39
0
C berisiko 4,5 kali
lebih besar untuk mengalami kejang demam dibandingkan anak yang mengalami demam
dengan suhu tubuh < 39
0
C. Dari penelitian tersebut juga didapatkan anak yang mengalami
demam kurang dari dua jam sebelum terjadinya bangkitan kejang berisiko 2,4 kali lebih besar
untuk mengalami kejang demam dibandingkan dengan anak dengan demam lebih dari dua
jam sebelum terjadinya bangkitan kejang.
Kejang demam lebih sering disebabkan oleh penyakit akibat infeksi virus
dibandingkan dengan infeksi bakteri. Sekitar 80% kejang demam diakibatkan oleh infeksi
virus. Penyakit infeksi tersering yang menyebabkan terjadinya kejang demam adalah otitis
media, Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), pneumonia, dan Infeksi Saluran Kemih
(ISK).
1.3.2 Usia
Bangkitan kejang demam umumnya terjadi pada anak usia tiga bulan hingga enam
tahun. Kejang demam juga dapat terjadi pada usia di bawah tiga bulan dan di atas enam
tahun. Usia puncak bangkitan kejang demam antara 18-24 bulan. Usia termuda onset kejang
demam adalah tiga bulan. Ada pendapat lain yang menyatakan onset termuda kejang demam
pada usia satu bulan. Onset terjadinya kejang demam jarang di atas 7 tahun.
Bulan kelima kehamilan hingga dua tahun setelah lahir merupakan masa
perkembangan otak fase organisasi (developmental window). Pada masa perkembangan otak,
keadaan otak belum matang sehingga regulasi ion natrium, kalium, dan kalsium belum
sempurna. Regulasi ion yang belum sempurna akan mengakibatkan gangguan repolarisasi
dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Hal tersebut mengakibatkan anak pada masa
developmental window rentan mengalami kejang demam. Pada masa perkembangan, keadaan
otak belum matang, reseptor eksitasi aktif sedangkan reseptor inhibisi kurang aktif, sehingga
mekanisme eksitasi lebih dominan dibandingkan dengan inhibisi. Selain itu pada masa
developmental window, kadar Corticotropin Releasing Hormon (CRH) yang merupakan
neuropeptida eksitator tinggi di hipokampus. Hal tersebut meningkatkan potensi terjadinya
bangkitan kejang saat demam.
1.3.3 Faktor Genetik
Faktor genetik adalah riwayat keluarga pernah menderita kejang demam atau adanya
mutasi pada gen yang mengatur kanal ion natrium dan GABA (gamma-aminobutyric acid)
reseptor. Riwayat kejang demam dalam keluarga merupakan predisposisi terjadinya kejang
demam pada seorang anak, Kejang demam diturunkan secara autosomal dominan sederhana.
Beberapa gen diidentifikasi mempengaruhi terjadinya kejang demam, antara lain FEB 1, 2, 3,
4, 5, 6, dan 7 yang terdapat pada kromosom 5q14-15, 6q22-24, 8q13-21, 18p11.2, 19p13.3,
dan 21q22. Dari gen-gen tersebut hanya fungsi dari FEB 2 yang telah diketahui yaitu gen
yang mengatur kanal natrium, SCNIA (Subunit Channel Natrium I Alfa). Kromosom 2q juga
merupakan gen yang bertanggung jawab terhadap reseptor kanal natrium. Mutasi tersebut
mengakibatkan proses aktif pintu kanal ion natrium berkepanjangan sehingga meningkatkan
eksitabilitas membran sel neuron.
Risiko kejang demam pada anak meningkat jika orang tua pernah mengalami kejang
demam, terutama jika kedua orang tua pernah mengalami kejang demam. Anak dengan
saudara kandung yang pernah mengalami kejang demam juga berisiko mengalami kejang
demam. Risiko kejang demam juga lebih tinggi pada anak kembar monozigot yaitu sebesar
56% dibandingkan dengan kembar dizigot yang hanya 14%.
.
1.3.4 Riwayat Prenatal
Riwayat prenatal seorang anak dapat menjadi faktor risiko terjadi kejang demam pada
anak tersebut di kemudian hari. Usia ibu saat hamil dan paparan asap rokok pada masa
kehamilan merupakan faktor predisposisi terjadinya kejang demam.
Usia ibu yang kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan
berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi tersebut antara lain eklampsia,
trauma persalinan, prematuritas, lahir dengan berat badan kurang, dan partus lama. Keadaan
tersebut dapat mengakibatkan janin asfiksia sehingga terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia
mengakibatkan terjadinya metabolisme anaerob sehingga energi yang dihasilkan lebih rendah
dan produksi asam laktat meningkat. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi
dan atau meningkatkan fungsi neuron eksitasi sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan.
1.3.5 Riwayat Perinatal
Riwayat perinatal yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam adalah asfiksia.
Selain itu usia kehamilan atau prematuritas dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya kejang demam.
Bayi dengan asfiksia akan mengalami hipoksia dan iskemia jaringan otak. Hal
tersebut akan meningkatkan cairan dan natrium intraseluler sehingga terjadi edema otak.
Hipoksia dapat mengganggu faktor inhibisi dan eksitasi sehingga jika terdapat rangsangan
akan mempermudah terjadinya kejang demam.
Bayi dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat badan lahir kurang dari
2500 gram lebih banyak mengalami kejang demam dibandingkan bayi dengan usia kehamilan
dan berat badan cukup. Pada bayi prematur, perkembangan alat tubuhnya belum sempurna.
Bayi prematur dan BBLR rentan mengalami apnea, asfiksia, serta sindrom gangguan nafas
yang dapat menyebabkan terjadinya hipoksia dan dapat mencetuskan bangkitan kejang.
Selain itu bayi tersebut juga lebih rentan mengalami infeksi yang dapat mencetuskan
terjadinya kejang demam.

1.4 Patofisiologi
Seluruh sel dan jaringan, termasuk sel saraf, membutuhkan energi untuk
mempertahankan kelangsungan hidup. Energi tersebut didapatkan dari proses metabolisme
dengan bahan baku utama berupa glukosa. Glukosa tersebut akan dipecah melalui proses
oksidasi sehingga menghasilkan energi, karbon dioksida (CO
2
), dan air.
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran yang dalam keadaan normal dapat dengan
mudah dilalui oleh ion kalium dan sulit dilalui oleh natrium dan elektrolit lainnya, kecuali
klorida. Keadaan ini mengakibatkan konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi natrium rendah, sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya.
Perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel ini mengakibatkan terjadinya
perbedaan potensial yang disebut potensial membran sel neuron. Potensial membran tersebut
harus dijaga keseimbangannya, untuk itu diperlukan energi dan enzim Na-K-ATPase yang
terdapat pada permukaan sel. Potensial membran istirahat pada sel neuron adalah -70mV.
Ion kalsium berperan dalam pengaturan sinyal saraf dan kontraksi otot. Sebagian
besar ion kalsium intrasel berikatan dengan retikulum endoplasma dan organel lain. Organel
tersebut merupakan tempat penyimpanan kalsium yang dapat dimobilisasi untuk
meningkatkan konsentrasi kalsium di sitoplasma. Ion kalsium masuk ke dalam sel melalui
kanal bergerbang voltase dan ligan. Keseimbangan ion kalsium dipertahankan dengan adanya
enzim Ca-H-ATPase yang memompa kalsium keluar sel dan dipertukarkan dengan 2H
+
.
Keseimbangan potensial membran sel dapat berubah karena beberapa keadaan, yaitu:
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
Rangsangan yang mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari
sekitarnya.
Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau keturunan.
Terdapat perbedaan tingkat sirkulasi otak anak dan orang dewasa. Pada anak yang
berusia tiga tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh. Sedangkan pada orang
dewasa, sirkulasi otak hanya 15% dari seluruh sirkulasi tubuh.
Demam pada kejang demam umumnya disebabkan oleh infeksi. Makrofag dan
leukosit akan memfagositosis agen penyebab infeksi sehingga akan melepaskan interleukin-1
atau disebut juga pirogen endogen. Interleukin-1 akan menginduksi pembentukan
prostaglandin yang akan bekerja di hipotalamus yang mengakibatkan peningkatan set-point
pada thermostat hipotalamus. Suhu tubuh akan mendekati nilai set-point sehingga terjadi
peningkatan suhu tubuh.
Peningkatan suhu tubuh akan mempengaruhi metabolisme sel dan permeabilitas
membran sel. Setiap kenaikan suhu tubuh 1
0
C akan meningkatkan metabolisme basal 10-15%
dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Jadi pada keadaan demam, kebutuhan glukosa dan
oksigen tubuh akan meningkat. Suhu tubuh yang meningkat akan mengakibatkan perubahan
permeabilitas membran sel. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya difusi kalium keluar sel
dan natrium ke dalam sel sehingga terjadi pelepasan muatan listrik. Lepasan muatan listrik
tersebut dapat meluas ke seluruh sel dan membran sel tetangga dengan bantuan
neurotransmitter sehingga terjadi kejang.
Timbulnya bangkitan kejang demam dipengaruhi oleh neurotransmitter eksitator dan
inhibitor. Mekanisme eksitasi diperankan oleh neurotransmitter asam glutamat dan
asetilkolin. Rangsangan asam glutamat mengakibatkan terbukanya pintu voltase kanal
natrium dan kalsium sehingga ion natrium dan kalsium masuk ke dalam sel yang
mengakibatkan terjadinya depolarisasi. Rangsangan asetilkolin di neuromuscular junction
ditangkap oleh kanal voltase sensitif ion kalsium. Hal tersebut mengakibatkan ion kalsium
keluar dari retikulum endoplasma dan berikatan dengan troponin sehingga menimbulkan
kontraksi otot. Penurunan konsentrasi kalsium ekstrasel akan meningkatkan eksitabilitas sel
saraf dan sel otot dengan menurunkan jumlah depolarisasi yang diperlukan untuk memicu
perubahan konduktansi natrium dan kalium yang menghasilkan potensial aksi.
Mekanisme inhibisi diperankan oleh neurotransmitter GABA. Apabila
neurotransmitter GABA ditangkap oleh reseptor GABA-A akan mengakibatkan terbukanya
pintu kanal ion klor sehingga permeabilitas membran sel terhadap klor meningkat. Apabila
neurotransmitter GABA ditangkap oleh reseptor GABA-B, maka pintu kanal ion kalium akan
terbuka dan permeabilitas membran sel terhadap kalium meningkat. Terbukanya kanal ion
klor dan kalium akan mengakibatkan terjadinya hiperpolarisasi yang menghambat timbulnya
potensial aksi. Ketidakseimbangan antara neurotransmitter eksitator dan inhibitor akan
mencetuskan terjadinya bangkitan kejang.
Pada saat bangkitan kejang terjadi kontraksi otot rangka. Mekanisme terjadinya
kontraksi otot diawali oleh pelepasan muatan oleh neuron motorik dan dilanjutkan dengan
pelepasan neurotransmitter asetilkolin. Selanjutnya terjadi peningkatan konduktansi natrium
dan kalium sehingga terbentuk potensial aksi. Retikulum sarkoplasma melepaskan ion
kalsium sehingga berikatan dengan troponin C yang mengakibatkan terbukanya tempat
pengikatan miosin pada molekul aktin. Pembentukan ikatan silang antara aktin dan miosin
menghasilkan gerakan otot rangka dan terjadi hidrolisis ATP. Potensial membran istirahat
otot rangka adalah -90mV.
1.5 Manifestasi Klinik
Kejang demam merupakan bangkitan kejang terjadi bersamaan dengan peningkatan
suhu tubuh yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama demam. Kejang berlangsung singkat
dan bersifat umum dengan bangkitan tonik-klonik, tonik, klonik, fokal, atau akinetik.
Umumnya kejang akan berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi
apapun sejenak. Setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar kembali tanpa kelainan
saraf.
Kejang yang berlangsung lama dapat diikuti oleh paralisis Todd. Paralisis Todd
adalah monoplegia atau hemiplegia sementara pascakejang. Paralisis Todd berlangsung
beberapa jam hingga beberapa hari. Kejang unilateral dapat diikuti oleh hemiparesis yang
menetap.

1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, mencari
tahu penyebab penyakit, dan memperkirakan perjalanan penyakit. Pemeriksaan penunjuang
yang dilakukan pada kasus kejang demam lebih ditujukan untuk mencari penyebab terjadinya
kejang demam. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1.6.1 Pungsi Lumbal
Gejala klinis pada meningitis stadium dini dapat menyerupai kejang demam.
Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan pada pasien kejang yang disertai dengan peningkatan
suhu tubuh dan menunjukkan rangsangan meningeal positif. Pungsi lumbal biasanya
dilakukan pada anak yang berusia kurang dari 18 bulan karena pada usia tersebut tanda klinis
meningitis tidak terlalu terlihat. Rekomendasi dari The American Academy of Pediatrics
(AAP), pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan pada penderita kejang demam yang
berusia kurang dari 12 bulan dan dianjurkan pada penderita yang berusia 12-18 bulan.
1.6.2 Darah
Pemeriksaan darah mencakup pemeriksaan darah rutin, kadar gula, elektrolit, fosfat,
ureum, seng, dan besi darah. Pemeriksaan kimia darah biasanya dilakukan tergantung kondisi
klinis pasien. Pemeriksaan lebih ditujukan untuk mencari penyebab terjadinya demam yang
mencetuskan kejang demam. The American Academy of Pediatrics menganjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan darah, elektrolit, dan glukosa pasien yang berusia diatas enam bulan
tanpa riwayat kesehatan yang mencurigakan (misalnya muntah dan diare) atau pemeriksaan
fisik yang abnormal. Selain untuk mencari penyebab terjadinya demam, pemeriksaan darah
juga dilakukan untuk mencari tahu penyebab terjadinya kejang demam dan memperkirakan
perjalanan penyakit pasien.
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien kejang yang mungkin didapatkan adalah
kadar natrium, kalium, dan kalsium yang rendah. Ion memiliki fungsi penting pada sistem
saraf dalam terjadinya potensial aksi. Pembukaan saluran natrium dan kalsium
mengakibatkan depolarisasi sel saraf sedangkan pembukaan saluran kalium menyebabkan
hiperpolarisasi. Peran kalsium lebih besar sebagai second messenger dibandingkan dengan
peran kalsium dalam terjadinya depolarisasi. Mutasi gen pintu kanal voltase ion natrium
(channelopathy) akan mengganggu fungsi normal pintu kanal voltase ion. Hal ini
mengakibatkan peningkatan aliran natrium sehingga meningkatkan eksitabilitas membran sel.
Nilai gula darah pada penderita kejang demam dapat normal atau terjadi peningkatan
karena stres hiperglikemia. Stres hiperglikemia didefinisikan sebagai hiperglikemia yang
terjadi secara spontan pada suatu penyakit akut pada pasien yang tidak diketahui sebagai
penderita diabetes sebelumnya. Stress hiperglikemia disebabkan oleh interaksi kompleks
hormon seperti katekolamin, hormon pertumbuhan, kortisol, dan sitokin.
1.6.3 Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) bukan merupakan pemeriksaan rutin pada
kejang demam sederhana. Pemeriksaan elektroensefalografi dilakukan tujuh hari setelah
bangkitan kejang demam karena jika dilakukan sebelum tujuh hari akan didapatkan hasil
yang tidak normal. Pemeriksaan ini dianjurkan pada kejang demam kompleks untuk
memastikan ada tidaknya ensefalitis virus dan mesial temporal sclerosis. EEG yang abnormal
lebih sering didapatkan pada pasien kejang demam kompleks. EEG dapat memperlihatkan
gelombang lambat baik bilateral maupun unilateral. Pada pemeriksaan EEG yang dilakukan
pada hari kejang, perlambatan ditemukan pada 88% pasien. Perlambatan pada 33% pasien
ditemukan pada pemeriksaan yang dilakukan 3-7 hari setelah kejang.
1.6.4 CT Scan dan MRI
Pemeriksaan CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) pada umumnya tidak diperlukan. Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada
pasien kejang demam kompleks. Pemeriksaan CT Scan dan MRI dilakukan pada penderita
dengan riwayat trauma kepala sebelum kejang. Pada hasil pemeriksaan didapatkan kelainan
otak, adanya gangguan neuro development sebelum atau sesudah bangkitan kejang demam,
serta pada kejang yang lama diduga mengakibatkan sklerosis di hipokampus. Pada penderita
kejang demam fokal, pemeriksaan MRI dapat menunjukkan abnormalitas hipokampus.

1.7 Diagnosis Banding
2.7.1. Infeksi Intrakranial
Pada cetusan kejang yang timbul bersamaan dengan peningkatan suhu tubuh harus
dibedakan apakah demam yang terjadi tersebut akibat infeksi intrakranial atau ekstrakranial.
Infeksi intrakranial seperti meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan dengan kejang demam
dengan melakukan pemeriksaan pungsi lumbal.
2.7.2. Sinkop
Sinkop juga dapat terjadi karena diprovokasi oleh demam. Kadang sulit membedakan
antara sinkop yang diprovokasi oleh demam dan kejang demam.
2.7.3. Delirium
Pada anak dengan demam yang tinggi dapat timbul delirium, menggigil, pucat, dan
sianosis. Kondisi tersebut mirip dengan cetusan kejang demam. Diperlukan anamnesis yang
baik untuk dapat membedakan keduanya. Jika diperlukan, minta orang tua pasien untuk
mencontohkan bagaimana menggigil, gemetar, atau mengejang yang terjadi pada anaknya.
2.7.4. Epilepsi
Pada penderita epilepsi, demam dapat mencetuskan terjadinya kejang. Untuk
membedakannya harus dipastikan ada tidaknya riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
Perlu dipastikan juga apakah demam terjadi sebelum atau sesudah kejang.

1.8 Tata Laksana
2.8.1. Pengobatan Fase Akut
Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri. Pada saat anak kejang, prioritas utama
adalah menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan dan posisi anak
dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus
dilakukan teratur. Jika diperlukan, dapat dilakukan intubasi.
Diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut karena
diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara intravena
atau per rektal, karena pemberian melalui intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam
pada anak adalah 0,3 mg/kgBB diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut. Jika
jalur intravena belum terpasang, dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila
berat badan kurang dari 10 kg dan dosis 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg.
Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal intramuskular dengan dosis
awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia satu bulan hingga satu tahun, dan 75 mg untuk
usia lebih dari 1 tahun. Midazolam intranasal 0,2 mg/kgBB cukup aman dan efektif untuk
mengatasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran darah
vena dan efeknya pada sistem saraf pusat cukup baik walaupun efek terapinya masih kurang
bila dibandingkan dengan diazepam intravena.
2.8.2. Mencari dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan pada anak < 18 bulan karena tanda rangsang
meningeal lebih sulit ditemukan. Pemeriksaan laboratorium lain seperti pemeriksaan darah
rutin, kadar gula darah, dan elektrolit dilakukan untuk mencari penyebab terjadinya kejang
demam. Setelah diketahui penyebab, diberikan penatalaksanaan sesuai dengan infeksi
penyebab terjadinya kejang demam.
2.8.3.Pengobatan Profilaksis Berulangnya Kejang Demam
2.8.3.1. Profilaksis Intermiten
Profilaksis intermiten diberikan pada saat anak demam, yaitu suhu rektal > 38
0
C.
Obat yang dapat digunakan adalah diazepam, baik per oral maupun per rektal. Dosis oral
diberikan 0,5 mg/kgBB perhari dibagi dalam tiga dosis. Dosis per rektal tiap 8 jam adalah 5
mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat
badan lebih dari 10 kg. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk, dan hipotoni.
2.8.3.2. Profilaksis Jangka Panjang
Terapi profilaksis jangka panjang tidak disarankan untuk penderita kejang demam
sederhana. Indikasi pemberian profilaksis jangka panjang adalah sebagai berikut.
Adanya kemungkinan bangkitan ulang kejang demam, berulang empat kali dalam kurun
waktu satu tahun.
Adanya kelainan atau gangguan perkembangan neurologis sebelum kejang demam yang
pertama.
Adanya riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
Serangan kejang demam lebih dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap.
Kejang demam terjadi pada bayi < 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu
episode demam.
Antikonvulsan profilaksis jangka panjang diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang
terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Profilaksis ini hanya
berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah
timbulnya epilepsi di kemudian hari.
Profilaksis jangka panjang dilakukan dengan pemberian fenobarbital 4-5 mg/kgBB
perhari. Efek samping fenobarbital adalah iritabel, hiperaktif, pemarah, dan agresif. Obat lain
yang dapat digunakan adalah asam valproat. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kgBB
perhari. Efek samping asam valproat adalah hepatotoksik, tremor, dan alopesia.

1.9 Prognosis
Prognosis kejang demam baik dan tidak akan menyebabkan kematian jika dilakukan
penatalaksanaan yang tepat dan cepat. Mortalitas pada kejang demam hanya 0,64-0,74%.
Kejang demam berulang dapat dialami oleh 30-35% pasien. Frekuensi berulangnya kejang
demam sekitar 25-50% yang biasanya terjadi pada enam bulan pertama. Sekitar 75% kejang
demam berulang dalam satu tahun. Berulangnya kejang demam lebih sering terjadi bila
bangkitan kejang pertama kali terjadi pada usia kurang dari satu tahun.
Menurut Lewis P. Rowland dan Timothy A. Pedley (2010), sepertiga dari anak
dengan kejang demam mendapatkan lebih dari satu kali serangan kejang demam. Faktor-
faktor yang mempengaruhi berulangnya kejang demam adalah sebagai berikut.
Usia kejang demam pertama < 18 bulan.
Faktor genetik.
Durasi demam yang singkat sebelum terjadinya kejang.
Faktor genetik yang dapat mempengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah
riwayat keluarga yang menderita kejang demam dan mutasi gen. Penderita kejang demam
dengan riwayat kejang demam pada keluarga lini pertama memiliki risiko 50-100%
mengalami kejang demam berulang.
Mutasi gen yang dapat mempengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah
mutasi pada pintu kanal voltase ion natrium dan mutasi pada reseptor GABA. Mutasi pada
pintu kanal voltasi ion natrium tersebut disebut juga channelopathy. Mutasi dapat terjadi pada
pintu pintu voltase kanal ion natrium subunit (SCNIA) dan subunit (SCNIB). SCNIA
diperiksa di kromosom 2q24, sedangkan SCNIB di kromosom 19q13. Mutasi reseptor
GABA-A terjadi di kromosom 5.
Anak dengan kejang demam juga dapat menderita kejang tanpa demam di kemudian
hari. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang tanpa demam adalah sebagai
berikut.
Riwayat kejang tanpa demam pada keluarga.
Kelainan perkembangan saraf sebelum kejang demam.
Kejang yang lama atau fokal.
Jika seorang anak memiliki dua dari ketiga faktor tersebut, risiko anak akan
mengalami kejang tanpa demam di kemudian hari sebesar 13%. Bila anak tidak memiliki
faktor tersebut atau hanya memiliki satu faktor tersebut, risiko untuk terjadinya kejang tanpa
demam sebesar 2-3%.
Kelainan neurologis hanya ditemukan pada sebagian kecil kasus. Kelainan neurologis
biasanya terjadi pada pasien yang mengalami kejang demam lama atau berulang.
Hemiparesis, diplegia, koreoatetosis, dan rigiditas deserebrasi merupakan kelainan neurologis
yang dapat terjadi. Hemiparesis biasanya terjadi pada kejang yang berlangsung lama (> 30
menit). Awalnya kelumpuhan bersifat flaksid, namun setelah 2 minggu timbul spastisitas.
Hanya 0,2% anak yang mengalami hemiparesis setelah kejang.
Kejang demam yang sering berulang juga dapat menimbulkan retardasi mental.
Risiko retardasi mental 5 kali lebih besar pada anak yang mengalami kejang demam yang
kemudian diikuti kejang tanpa demam.
Gangguan intelektual dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam
sederhana. Pada pasien yang mengalami kejang demam lama dan menimbulkan komplikasi
mungkin didapatkan IQ yang lebih rendah. Risiko retardasi mental dapat meningkat lima kali
apabila kejang demam diikuti oleh kejang tanpa demam yang berulang.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. QI
Umur : 3 tahun 1 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
No. MR : 382260

B. Anamnesis
Keluhan utama
Kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit

Riwayat penyakit sekarang
Demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi, terus menerus, tidak menggigil,
tidak berkeringat.
Muntah 1 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 10 kali/hari, jumlah 1 sendok
makan, tidak menyemprot
Batuk 1 hari sebelum masuk rumah sakit, berdahak, tidak berdarah
Kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 1 kali, selama 5 menit, kejang
seluruh tubuh, mata melihat ke atas, stelah kejang anak sadar. Ini merupakan episode
kejang kedua.
Pilek tidak ada, sesak nafas tidak ada
Riwayat telinga berair tidak ada
Riwayat trauma kepala sebelumnya tidak ada
Nafsu makan biasa
Buang air kecil warna dan jumlah biasa.
Buang air besar warna dan konsistensi biasa.
Kejang pertama terjadi 30 menit sebelum kejang ke-2 selama 1 menit. Pasien lalu di
bawa ke IGD RSAM kemudian diberi stesolid suppos 1 kali, lalu pasien boleh pulang dan
diberi obat pulang cefadroxil sirup dan OBH. Ketika sampai di mobil sepulang dari IGD
anak mengalami kejang yang ke-2, lalu anak dibawa lagi ke IGD RSAM Bukittinggi.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami kejang dengan demam sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kejang dengan atau tanpa demam.

Riwayat kebiasaan, sosial, dan ekonomi
Pasien anak pertama dari 3 bersaudara, lahir SC atas indikasi gemelli, kurang bulan,
ditolong dokter, BBL 1700 gram, PBL 48 cm, langsung menangis.
Riwayat imunisasi dasar lengkap
Pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal
Higenis dan sanitasi lingkungan baik.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : sadar
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 108 kali/menit
Nafas : 30 kali/menit
Suhu : 38
0
C
Berat badan : 12 kg
Tinggi badan : 103 cm
Keadaan gizi : BB/U : 82,75%
TB/U : 108%
BB/TB : 77,42%
kesan : gizi kurang
Edema : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Anemis : tidak ada

Kulit : teraba hangat.
KGB : tidak teraba pembesaran KGB
Kepala : bulat, simetris
Rambut : hitam, tidak mudah rontok
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Pupil isokor, diameter 2 mm/2 mm, reflek cahaya +/+ normal
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : tidak ditemukan kelainan
Tenggorokan : tonsil T2 T2 hiperemis
faring hiperemis
Gigi : mukos mulut dan bibir basah
JVP : 5-2 cmH
2
O, kaku kuduk tidak ada
Thorak : Paru : I : bentuk dada normochest, retraksi dinding dada tidak ada
gerakan dada simetris kanan dan kiri.
Pa : fremitus kanan = kiri
Pe : sonor
Au : vesikuler, Rhonki tidak ada, Wheezing tidak ada.
Jantung : I : iktus cordis tidak terlihat
Pa : iktus cordis teraba pada LMCS RIC V
Pe : batas jantung atas RIC II
batas jantung kanan LSD RIC IV
batas jantung kiri pada LMCS RIC V
Au : irama regular, bising tidak ada.
Abdomen : I : distensi tidak ada
Pa : supel, hepar dan lien tidak teraba
Pe : timpani
Au : bising usus (+) normal
Anus : tidak diperiksa
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik
refleks fisiologis positif normal, refleks patologis tidak ada
tanda rangsang meningeal tidak ada

D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Darah
Hemoglobin 12 g/dl
Leukosit 10.000/mm
3

Hitung jenis
Trombosit 113.000/mm
3

GDR 113 mg/dl
E. Diagnosis Kerja
Kejang Demam Komplek
Tonsilofaringitis

F. Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan elektrolit darah

G. Tatalaksana
1. Non Farmakologik
Tirah Baring
Diet
a. Diet ML 1100 kkal
2. Farmakologik
O2 2L/menit
Luminal 2 x 50 mg PO
Luminal 1 x 75 mg I.M
Paracetamol 4 x 150 mg PO
Amoksisilin 3 x 200 mg
Ambroksol 3 x cth

Follow Up
29/6/2014
s/ demam tidak ada
kejang tidak ada
sesak nafas tidak ada
batuk ada, berdahak
mual muntah tidak ada
o/ sakit sedang, pasien sadar
nadi 106x/menit, nafas 22x/menit, suhu 37,2C
mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
thorak : normochest, retraksi tidak ada
cor : irama teratur,bising tidak ada
pulmo : vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
abdomen : distensi tidak ada, BU (+) normal
ekstremitas : akral hangat, perfusi baik
Terapi :
Diet ML 1100 kkal
O2 2L/menit
Luminal 2 x 50 mg PO
Paracetamol 4 x 150 mg PO
Amoksisilin 3 x 200 mg
Ambroksol 3 x cth

30/6/2014
s/ demam ada
kejang tidak ada
sesak nafas tidak ada
batuk ada, berdahak
mual muntah tidak ada
tangan kanan tidak dapat memegang sesuatu
kaki kanan tidak bisa diangkat melewati rintangan
o/ sakit sedang, pasien sadar
nadi 110x/menit, nafas 28x/menit, suhu 37,8C
mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
thorak : normochest, retraksi tidak ada
cor : irama teratur,bising tidak ada
pulmo : vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
abdomen : distensi tidak ada, BU (+) normal
ekstremitas : akral hangat, perfusi baik

Rencana : EEG
Terapi :
Diet ML 1100 kkal
O2 2L/menit
Luminal 2 x 25 mg PO
Paracetamol 4 x 150 mg PO
Amoksisilin 3 x 200 mg
Ambroksol 3 x cth

1/7/2014
s/ demam ada
kejang tidak ada
sesak nafas tidak ada
batuk ada, berdahak
mual muntah tidak ada
o/ sakit sedang, pasien sadar
nadi 120x/menit, nafas 30x/menit, suhu 38 C
mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
thorak : normochest, retraksi tidak ada
cor : irama teratur,bising tidak ada
pulmo : vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
abdomen : distensi tidak ada, BU (+) normal
ekstremitas : akral hangat, perfusi baik
Terapi :
Diet ML 1100 kkal
O2 2L/menit
Luminal 2 x 25 mg PO
Paracetamol 4 x 150 mg PO
Amoksisilin 3 x 200 mg
Ambroksol 3 x cth

BAB III
DISKUSI

Telah dirawat seorang anak perempuan usia 3 tahun 1 bulan pada tanggal 28 juni
2014 di bangsal anak dengan diagnosis kejang demam kompleks. Dari anamnesis didapatkan
bahwa anak dibawa oleh orang tua ke IGD RSAM setelah episode kejang ke-2 sebanyak 1
kali selama 5 menit, seluruh tubuh dan anak sadar setelah kejang. Kejang pertama terjadi 30
menit sebelum kejang kedua, dimana kejang pertama terjadi 1 kali selama 1 menit, seluruh
tubuh dan anak sadar setelah kejang. Ini artinya dalam waktu 24 jam telah terjadi 2 kali
kejang. Sebelum nya anak mengalami demam tinggi dan batuk berdahak.
Dari pemeriksaan fisik tenggorok didapatkan tonsil T2-T2 hiperemis, dan faring
hiperemis. Tonsilofaringitis ini dicurigai sebagai penyebab demam pada pasien ini. Ketika di
IGD pasien sudah tidak kejang lagi sehingga pada pasien diberikan terapi luminal inisial dan
luminal maintenance, selain itu pasien juga diberikan obat antipiretik, obat pengencer dahak,
dan antibiotik.

Anda mungkin juga menyukai

  • Sampah Medis
    Sampah Medis
    Dokumen7 halaman
    Sampah Medis
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Syok Anafilaktik Ib
    Syok Anafilaktik Ib
    Dokumen9 halaman
    Syok Anafilaktik Ib
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii Tinjauan Pustaka
    Bab Ii Tinjauan Pustaka
    Dokumen6 halaman
    Bab Ii Tinjauan Pustaka
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • BRONKIOLITIS
    BRONKIOLITIS
    Dokumen9 halaman
    BRONKIOLITIS
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Syok Anafilaktik Ib
    Syok Anafilaktik Ib
    Dokumen20 halaman
    Syok Anafilaktik Ib
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Gizi
    Gizi
    Dokumen16 halaman
    Gizi
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Case Spondilitis TB
    Case Spondilitis TB
    Dokumen19 halaman
    Case Spondilitis TB
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Kasus Kematian
    Kasus Kematian
    Dokumen21 halaman
    Kasus Kematian
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Tinjauan Pustaka
    Tinjauan Pustaka
    Dokumen7 halaman
    Tinjauan Pustaka
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Keluar Nanah Dari Saluran Kencing
    Keluar Nanah Dari Saluran Kencing
    Dokumen2 halaman
    Keluar Nanah Dari Saluran Kencing
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Case Tonsilitis Uti
    Case Tonsilitis Uti
    Dokumen39 halaman
    Case Tonsilitis Uti
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat Radiologi Uti
    Cover Referat Radiologi Uti
    Dokumen1 halaman
    Cover Referat Radiologi Uti
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Case Paranokia
    Case Paranokia
    Dokumen5 halaman
    Case Paranokia
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Case Diare
    Case Diare
    Dokumen24 halaman
    Case Diare
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen14 halaman
    Bab Ii
    Mia Siti Hikmayanti
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen14 halaman
    Bab 1
    Dini Amalia
    Belum ada peringkat
  • Referat Radiologi Uti
    Referat Radiologi Uti
    Dokumen15 halaman
    Referat Radiologi Uti
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Case Herpes Zoster
    Case Herpes Zoster
    Dokumen7 halaman
    Case Herpes Zoster
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Sudden Deafness
    Sudden Deafness
    Dokumen10 halaman
    Sudden Deafness
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Case Paranokia
    Case Paranokia
    Dokumen5 halaman
    Case Paranokia
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Laporan BST 1 RINA
    Laporan BST 1 RINA
    Dokumen3 halaman
    Laporan BST 1 RINA
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • GLOMERULONEFRITIS
    GLOMERULONEFRITIS
    Dokumen32 halaman
    GLOMERULONEFRITIS
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Dermatitis Atopik Case
    Dermatitis Atopik Case
    Dokumen14 halaman
    Dermatitis Atopik Case
    vorez
    Belum ada peringkat
  • Case Herpes Zoster
    Case Herpes Zoster
    Dokumen6 halaman
    Case Herpes Zoster
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat
  • Dermatitis Atopik Case
    Dermatitis Atopik Case
    Dokumen14 halaman
    Dermatitis Atopik Case
    vorez
    Belum ada peringkat
  • Referat Sumbatan Hidung - Uti
    Referat Sumbatan Hidung - Uti
    Dokumen31 halaman
    Referat Sumbatan Hidung - Uti
    PutriYuriandiniYulsam
    Belum ada peringkat