Anda di halaman 1dari 33

ii

MAKALAH
INTERAKSI OBAT

Prospek Klinis Interaksi Obat




Dosen : Dra. Refdanita, M.Si.,Apt.

Disusun oleh :
Farha Elein Kukihi 13330705

PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA dan ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA - 2014

i

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga makalah ini bisa selesai dengan
baik. Makalah Prospek Klinis Interaksi Obat ini dibuat sebagai salah satu tugas
untuk memenuhi persyaratan dalam mata kuliah Interaksi Obat.
Makalah ini masih jauh untuk dikatakan sempurna baik dari segi materi
maupun dari teknik penulisan. Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih
banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan yang
lebih luas kepada pembaca khususnya mengenai Prospek Klinis Interaksi Obat.
Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,
Jakarta, Oktober 2014


Penulis



ii
ii
DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Tujuan Penulisan .................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
A. Pengertian Interaksi Obat ...................................................................................... 3
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Obat ................................................ 3
C. Penyebab Terjadinya Interaksi Obat ...................................................................... 6
D. Mekanisme Interaksi Obat ...................................................................................... 6
E. Interaksi Obat dengan Makanan............................................................................ 13
F. Interaksi Obat dengan Herbal ............................................................................... 13
G. Interaksi Obat di Luar Tubuh ................................................................................ 14
H. Interaksi Obat yang dikehendaki secara Klinis .................................................... 15
I. Interaksi Obat yang Berbahaya ............................................................................. 15
J. Interaksi Obat yang Signifikan secara Klinis ....................................................... 15
K. Manajemen Klinis Interaksi Obat ......................................................................... 16
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................ 18
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 28








1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Topik interaksi obat telah menjadi perhatian yang besar di bidang
kesehatan di seluruh dunia. Setiap tahunnya semakin banyak obat baru yang
diperkenalkan sehingga meningkatkan jumlah laporan interaksi obat yang baru
dalam pengobatan. Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat
lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan sehingga
keefektifan atau toksisitas satu obat meningkat atau berubah (Syamsudin,
2011). Interaksi obat bukan hanya terjadi antara obat dengan obat yang lain
tetapi juga dengan makanan, pengobatan herbal, mikronutrien dan obat injeksi
dengan kandungan infus (interaksi obat di luar tubuh).
Prevalensi interaksi obat secara keseluruhan adalah 50 % hingga 60 %.
Obat-obat yang mempengaruhi farmakodinamika atau farmakokinetika
menunjukkan prevalensi sekitar 5 % hingga 9 %. Sekitar 7 % efek samping
pemberian obat di rumah sakit disebabkan oleh interaksi obat. Interaksi obat
bisa terjadi baik pada pasien rawat inap maupun rawat jalan. Pasien yang
beresiko tinggi mengalami interaksi obat pasien dengan penyakit kronis, pasien
lanjut usia, anak-anak di bawah 5 tahun dan wanita (Sharifi, 2013).
Interaksi obat merupakan kesalahan pengobatan yang sebenarnya dapat
dicegah yang dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan (adverse effects)
dan kematian. Salah satu penyebab utama terjadinya interaksi obat adalah
polifarmasi atau penggunaan lebih dari satu macam obat untuk pengobatan
pasien. Namun polifarmasi juga tidak bisa dihindari pada pasien dengan
penyakit tertentu seperti penyakit ginjal kronis dan gagal jantung kongestif.
Pasien geriatri juga pengobatannya menggunakan beberapa macam obat
sehingga sangat berpotensi menyebabkan interaksi obat. Berdasarkan hasil
studi tahun 2008, 13 % pasien yang menerima 2 obat mengalami interaksi obat
dan 40 % pasien yang menerima 5 obat mengalami interaksi obat sedangkan
pasien yang menerima 7 atau lebih obat yang mengalami interaksi obat lebih
dari 80 %.
2

Meningkatnya kompleksitas obat-obatan yang digunakan saat ini dan
berkembangnya polifarmasi maka kemungkinan terjadinya interaksi obat
semakin besar. Interaksi obat merupakan drug related problems yang harus
diperhatikan karena dapat mempengaruhi respons tubuh dalam pengobatan
seperti munculnya efek yang tidak diinginkan bahkan kematian. Meskipun
demikian kebanyakan tenaga kesehatan tidak benar-benar sadar akan interaksi
obat-obat yang berdampak secara klinis dan meremehkan resiko dari
pemberian beberapa obat secara bersama-sama.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dilihat bahwa interaksi obat
merupakan masalah yang memiliki dampak klinis bagi pengobatan pasien.
Obat-obatan yang sering digunakan dalam pengobatan seperti golongan AINS
dan antibiotika merupakan contoh dari obat yang menyebabkan interaksi obat
yang penting secara klinis. Peran farmasis dalam menangani masalah ini sangat
diperlukan, tidak hanya untuk mengetahui jenis interaksi obat dan
mekanismenya tetapi juga mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut
demi keamanan pasien yang menggunakan obat.

B. Tujuan
1. Mengetahui definisi, penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan
interaksi obat
2. Mengetahui jenis-jenis interaksi obat
3. Mengetahui dampak klinis interaksi obat
4. Mengetahui mekanisme penanganan interaksi obat





3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Interaksi Obat
Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang
diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau
toksisitas satu obat atau lebih berubah. Menurut Stockley, interaksi obat terjadi
ketika efek suatu obat berubah dengan kehadiran obat lain, obat tradisional,
makanan, minuman atau oleh suatu zat kimia. Interaksi obat bisa juga terjadi di
luar tubuh misalnya reaksi fisiko-kimia yang terjadi pada obat yang dicampur
dengan cairan intravena yang menyebabkan obat tersebut mengendap atau
mengalami inaktivasi.
Efek dari interaksi obat bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas atau
menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki obat tersebut sebelumnya.
Penurunan efek obat karena interaksi dapat berbahaya bagi pasien misalnya
pemberian warfarin dengan rifampisin dapat menurunkan kadar warfarin dalam
darah sehingga dosis warfarin harus ditingkatkan. Namun ada juga interaksi
obat yang meningkatkan efek suatu obat dan memberi efek menguntungkan.
Misalnya pemberian obat antihipertensi bersama dengan diuretik.
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi obat
Tingkat keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien
satu dengan yang lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerentanan
pasien terhadap interaksi obat antara lain :
1. Faktor yang berkaitan dengan Pasien (Patient-Related Factor)
Faktor yang berkaitan dengan pasien termasuk klirens obat pada
pasien tertentu, usia, faktor genetik, jenis kelamin, penyakit yang diderita,
faktor lingkungan dan makanan. Interaksi obat menjadi sangat penting
pada pasien dengan usia lanjut atau usia yang sangat muda seperti bayi dan
anak-anak, pasien dengan sistem imunitas yang lemah, pasien yang
menerima pengobatan yang berkaitan atau untuk mempengaruhi sistem
4

kardiovaskular atau sistem saraf pusat, dan juga pasien dengan penyakit
kronis, banyak penyakit dan juga pasien yang mengalami kegagalan ginjal
atau hati. Pasien yang baru saja mengalami transplantasi, pasien dengan
penyakit yang parah, dan penyakit yang berhubungan dengan AIDS juga
lebih rentan untuk terjadinya interaksi obat.
Pada usia lanjut, adanya perubahan pada fase disposisi obat, penyakit
yang banyak dan penggunaan obat yang bermacam-macam meningkatkan
resiko interaksi obat. Demikian juga sulit untuk mengingat waktu
penggunaan obat yang banyak pada waktu yang berbeda. Hal-hal ini
cenderung menyebabkan penggunaan obat yang tidak sesuai. Situasi ini
diperparah jika obat-obat OTC (over the counter) juga digunakan oleh
pasien. Secara umum angka kejadian efek samping obat akibat interaksi
obat pada usia lanjut mencapai 2 kali lipat kelompok usia dewasa.
Pada sebuah studi yang melibatkan sebanyak 287.074 veteran, obat-
obat yang umumnya berpotensial menyebabkan interaksi obat yang
merugikan adalah verapamil, metrotrexat, amiodaron, litium, warfarin,
siklosporin dan itrakonazol (Roughhead,2010). Manifestasi interaksi obat
pada usia lanjut termasuk halusinasi dan gejolak psikomotor yang
disebabkan oleh interaksi antara venlafaksin dan propafenon, gangguan
psikis akibat interaksi antara natrium valproat dan levetiracetam dan
terjadinya blood dyscrasia akibat pemberian bersama fenobarbital dan
lamotrigin pada pasien epilepsi.
Usia yang rentan juga terhadap interaksi obat adalah anak-anak. Pada
pasien yang berusia di bawah 5 tahun interaksi obat juga berpotensi terjadi
akibat sistem enzimatik metabolik yang belum sempurna sehingga dapat
menyebabkan akumulasi obat. Klirens obat pada anak-anak umumnya
lebih cepat sehingga jika proses metabolism obat berubah maka
meningkatkan resiko toksisitas. Resiko toksisitas teofilin akibat inhibisi
metabolismenya oleh makrolida lebih tinggi pada anak-anak dibanding
orang dewasa. Penyakit mempunyai akibat pada interaksi obat, karena
sitokin, transporter obat dan enzim bisa mengalami perubahan selama
5

proses infeksi dan proses lainnya. Sebagai contoh, aktivitas transporter P-
glikoprotein menurun pada pasien yang mengalami operasi usus kecil,
dan enzim mikrosomal hepatic CYP3A4 bisa dipengaruhi jika pasien
menderitas sirosis hati.
2. Faktor Khusus dari Obat (Drug-Specific Factors)
Termasuk di dalamnya sifat kinetic dan dinamik yang khusus dari
obat, jumlah obat yang diresepkan, dosis, waktu, formulasi dan rute
pemberian. Konsultasi atau pemeriksaan pada beberapa dokter,
penggunaan bebas dari obat alternatif dan penggunaan obat yang termasuk
kelompok yang menyebabkan interaksi obat menyebabkan peningkatan
kemungkinan interaksi obat. Angka kejadian interaksi obat meningkat
dengan jumlah obat yang diterima oleh pasien. Telah dilaporkan bahwa
resiko interaksi obat meningkat cukup pesat ketika obat yang diberikan
melebihi empat, dan angka kejadian interaksi obat yang signifikan secara
klinis mencapai lebih dari 20 % ketika jumlah obat yang diberikan 10
sampai 20 obat.
Peresepan dan pencampuran bisa menyebabkan pasangan obat
berpotensial berinteraksi yang merugikan. Sebuah studi menemukan
bahwa obat presipitan yang umum diresepkan di sarana pelayanan
kesehatan primer adalah golongan AINS dan antibiotik, khususnya
rifampisin. Obat dengan indeks terapi sempit atau rendah lebih mudah
menjadi objek interaksi obat yang serius. Obat objek yang sering
digunakan yang menyebabkan interaksi obat termasuk warfarin,
fluorokuinolon, antiepilepsi, antikontrasepsi, cisaprid, dan 3 hidroksi-3
dimana obat-obat ini terlibat pada interaksi obat harus diberikan bendera
merah termasuk warfarin, siklosporin, eritomisin, antifungi azol, PI
(inhibitor protease HIV) dan inhibitor HMG CoA- reduktase (statin).
Penelitian sebelumnya, sebagai tambahan, mengatakan bahwa
interaksi obat, secara klinis relevan dengan obat-obat yang mempengaruhi
fungsi tubuh (antihipertensi, antidiabetes dan antikoagulan) dan obat
6

memiliki kinetika jenuh, metabolisme lintas pertama tinggi atau memiliki
rute eliminasi tunggal yang dapat dihambat. Beberapa faktor
farmakokinetik juga dapat menjadi penyebab interaksi obat. Obat dengan
ikatan protein plasma yang tinggi, obat yang sebagian dimetabolisme oleh
isoform CYP3A4 dan obat yang mana menjadi penginduksi atau
penghambat sistem enzim CYP450 pada umumnya cenderung
menyebabkan interaksi obat.

C. Penyebab Terjadinya Interaksi Obat
1. Polifarmasi
Merupakan hal yang umum sekarang ini untuk meresepkan banyak obat
sekaligus yang sering disebut sebagai polifarmasi.
2. Pasien berkonsultasi pada beberapa dokter
Terkadang pasien tidak puas dengan satu dokter saja dan bisa berkonsultasi
dengan dokter lain tanpa menginformasikan hasil konsultasinya pada dokter
pertama.
3. Polifarmasi yang irasional, penggunaan bersamaan obat yang diresepkan
dan obat yang tidak diresepkan
Pasien bisa menggunakan Aspirin dan antasida yang bisa diperoleh tanpa
resep dokter. Jika pasien tersebut juga meminum obat yang diresepkan
dokter seperti digoksin dan tetrasiklin, interaksi obat bisa terjadi.
4. Ketidakpatuhan pasien
Kadang-kadang pasien tidak mematuhi aturan yang diberikan oleh dokter
atau apoteker dan mengonsumsi bahan makanan yang dilarang. Sebagai
contoh keju dengan monoamine oxidase inhibitors, hal ini bisa
menyebabkan krisis hipertensi yang parah.

D. Mekanisme Interaksi Obat
Terdapat beberapa mekanisme bagaimana obat bisa berinteraksi, tetapi
sebagian besar dapat dikelompokkan menjadi interaksi farmakokinetik
(absorpsi, distribusi, metabolisme, ekskresi), interaksi farmakodinamik atau
7

interaksi gabungan. Pengetahuan tentang mekanisme interaksi obat terjadi
berguna secara klinis, karena mekanisme dapat mempengaruhi baik waktu dan
metode mencegah atau mengatasi interaksi. Beberapa interaksi obat muncul
sebagai hasil dari dua atau lebih mekanisme.
1. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi obat farmakokinetik terjadi ketika terdapat perubahan pada
absorpsi, distribusi, biotransformasi atau eliminasi satu atau lebih obat.
Absorpsi obat di saluran cerna bisa dipengaruhi oleh penggunaan
bersamaan zat lain yang :
Memiliki luas permukaan yang luas dimana obat bisa diserap
Mengikat atau khelat
Mengubah pH lambung
Mengubah motilitas saluran cerna
Mempengaruhi protein transport seperti P-glikoprotein
Kita harus membedakan antara efek pada kecepatan absorpsi dan efek
pada jumlah yang diabsorpsi. Pengurangan pada kecepatan absorpsi obat
jarang penting bagi klinis, sedangkan pengurangan jumlah yang diabsorpsi
akan penting secara klinis jika hal tersebut menghasilkan kadar serum
yang dibawah kadar yang menghasikan efek terapeutik.
Mekanisme yang mempengaruhi distribusi obat termasuk :
Kompetisi pengikatan protein plasma
Pemindahan dari ikatan jaringan tempat aksi
Perubahan pada penghalang jaringan local, contohnya : penghambatan
P-glikoprotein pada sawar darah-otak.
Meskipun kompetisi ikatan protein plasma dapat meningkatkan
konsentrasi bebas dari obat yang dipindahkan dalam plasma, peningkatan
itu hanya terjadi sementara saja karena peningkatan ini akan seimbang
pada fase disposisi obat. Pentingnya pemindahan ikatan protein telah
dilebih-lebihkan; penelitian terbaru menyatakan bahwa interaksi tersebut
8

tidak menghasilkan efek samping. Penggantian dari ikatan jaringan akan
menyeimbangkan konsentrasi darah.
Metabolisme obat bisa distimulasi atau dihambat oleh terapi obat yang
sedang diterima. Induksi isozim sitokrom CYP450 pada hati dan usus
kecil dapat disebabkan oleh obat-obat seperti barbiturat, bosentan,
karbamazepin, efavirenz, nevirapin, fenitoin, primidon, rifampisin,
rifabutin. Penginduksi enzim juga bisa meningkatkan aktivitas metabolism
fase II seperti glukoronidasi. Induksi enzim tidak terjadi secara cepat,
maksimal efek akan terjadi setelah 7-10 hari dan membutuhkan waktu
yang sama atau lebih panjang untuk menghilangkannya setelah
penginduksi enzim dihentikan. Rifampisin contohnya, bisa menginduksi
enzim setelah pemberian beberapa dosis. Inhibisi metabolisme umumnya
terjadi lebih cepat dari induksi enzim dan bisa terjadi segera setelah
konsentrasi inhibitor dalam jaringan yang cukup tercapai. Bagaimanapun,
jika waktu paruh dari obat yang dipengaruhi panjang, waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi tunak serum yang baru bisa satu
minggu atau lebih.
Obat-obatan yang bisa menghambat metabolism CYP450 dari obat
lain termasuk amiodaron, androgen, atazanavir, kloramfenikol, simetidin,
siprofloksasin, klaritromisin, siklosporin, delavirdin, diltiazem,
difenhidramin, disulfiram, enoksasin, eritromisin, flukonazol,
fluvoksamin, senyawa dalam sari buah anggur, indinavir, isoniazid,
itrakonazol, ketokonazol, metronidazol, meksiletin, mikonazol, nefazodon,
omeprazol, paroksetin, propoksifen, kuinidin, ritonavir, sulfametizol,
verapamil, vorikonazol, zafirlukas, dan zileuton.
Ekskresi renal dari obat aktif bisa dipengaruhi oleh terapi obat yang
sedang digunakan. Ekskresi renal obat-obat tertentu yang merupakan asam
lemah atau basa lemah bisa dipengaruhi oleh obat lain yang menyebabkan
perubahan pH urin. Hal ini disebabkan oleh perubahan ionisasi obat.
Untuk beberapa obat, sekresi aktif ke dalam tubula renal merupakan rute
eliminasi yang penting. ABC P-glikoprotein transporter berperan dalam
9

sekresi aktif tubular untuk beberapa obat dan penghambatan terhadap
transporter ini bisa menghambat eliminasi renal yang berakibat
peningkatan konsentrasi obat dalam serum.

2. Mekanisme Farmakodinamik
Ketika dua obat atau lebih yang memiliki efek farmakologik yang
sama diberikan secara bersamaan, respon aditif atau sinergistik biasanya
terlihat. Dua obat bisa saja atau tidak memberi aksi pada reseptor yang
sama untuk menghasilkan efek tersebut. Sebaliknya, obat-obat dengan
efek farmakologik berlawanan bisa menurunkan respon salah satu atau
kedua obat. Interaksi obat farmakodinamik merupakan hal yang umum
dalam praktek klinis, tetapi efek samping yang terjadi umumnya bisa
diminimalkan jika kita mengerti farmakologi setiap obat yang digunakan.
Dengan cara demikian interaksi-interaksi bisa diantisipasi dan pengukuran
yang sesuai bisa diambil
a. Interaksi Aditif atau Sinergis
Ketika aksi suatu obat difasilitasi atau ditingkatkan oleh obat yang
lain fenomena in disebut sinergisme dan kombinasi ini disebut
kombinasi sinergis. Sinergisme antara dua obat bisa terjadi dengan
cara yang berbeda-beda.
Ketika dua obat dengan efek sama digunakan bersamaan terjadi
efek adisi, penambahan efek dari dua obat. Contoh yang umum terjadi
termasuk penambahan efek analgesik dari dua obat analgesic, adisi
depresi sistem saraf pusat pada penggunaan bersamaan dua obat atau
lebih depresan sistem saraf pusat atau penambahan efek blockade
neuromuscular dari relaksan otot rangka dan antibiotik
aminoglikosida. Istilah efek supra-aditif biasanya digunakan ketika
efek kombinasi menjadi lebih besar daripada jumlah efek obat ketika
ditambahkan. Contohnya adalah kotrimoksazol, kombinasi
trimetoprim dan sulfametoksazol. Dua obat ini berkhasiat sebagai
10

bakteriostatik tetapi kombinasi keduanya menghasilkan efek
bakterisidal dengan blokade dari dua tahap sintesis asam folat pada
mikroorganisme.
Contoh lain dari kombinasi sinergis termasuk kombinasi
kontrasepsi oral estrogen-progestin, kombinasi nitrat-propanolol untuk
profilaksi angna atau kombinasi antihipertensi dari hidroklorotiazida-
enalapril. Pada situasi seperti ini, dua obat yang dikombinasi biasanya
memiliki efek yang sama atau mekanisme yang bervariasi tetapi
memiliki tujuan yang sama.
Selain itu ada juga contoh interaksi dari obat yang tidak memiliki
peran langsung dalam memberikan efek, tetapi dapat meningkatkan
atau memfasilitasi aksi atau efek dari obat lain, yaitu obat utama untuk
tujuan yang spesifik. Contohnya kombinasi levodopa-karbidopa,
dimana karbidopa bukan obat antiparkinson tetapi memfasilitasi dan
menolong aksi dari levodopa. Karbidopa adalah inhibitor
dekarboksilase dopa peripheral dan mencegah kegagalan peripheral
levodopa sehingga lebih banyak levodopa yang mencapai otak.
Penggunaan sulbaktam atau asam klavulanat (inhibitor beta
laktamase) untuk mencegah rusaknya ampisilin atau amoksisilin
merupakan contoh lain dimana inhibitor beta-laktamase tidak
memiliki aksi antimikroba tetapi memfasilitasi efek dari antibiotik -
laktam. Contoh-contoh di atas merupakan sinergisme obat atau
potensiasi. Jadi istilah sinergisme dan potensiasi dipertimbangkan
dengan implikasi umum dari efek menguntungkan yang dihasilkan
ketika dua zat atau obat digunakan sebagai kombinasi, tidak
tergantung apakan kedua komponen tersebut memiliki efek yang sama
atau tidak.
b. Interaksi obat antagonis (Antagonistic drug interactions)
Interaksi obat antagonis bisa bersifat farmakologi seperti antagonis
kompetitif atau non-kompetitif dan jenis lain dari interaksi obat
antagonis bisa antagonis non-farmakologi atau antagonis non-reseptor,
11

dimana interaksi antara dua obat tidak terjadi pada tingkat reseptor,
tetapi dua obat tersebut menghasilkan efek yang berlawanan dengan
cara antagonis fisik, kimia atau fisiologik.
- Antagonis reseptor kompetitif :
Dua obat dikombinasikan dan bersaing untuk berikatan pada
reseptor yang sama. Salah satu obat merupakan agonis yang
memiliki aktivitas intrinsik, dan yang lain merupakan antagonis
yang memiliki aktivitas intrinsik yang lemah. Keduanya bersaing
untuk menempati reseptor yang sama dan menggantikan salah
satu dari reseptor tersebut. Interaksi berdasarkan antagonis
kompetitif secara luas digunakan untuk penanganan overdosis
atau keracunan senyawa tertentu, yang spesifik untuk reseptor
tertentu sehingga aksinya dapat dibalikkan dengan menggunakan
antagonis kompetitif untuk reseptor yang sama. Salah satunya
adalah penggunaan nalokson pada overdosis akut opiat,
flumazenil pada overdosis akut benzodiazepine atau atropine pada
keracunan senyawa organofosfat. Senyawa organofosfat adalah
senyawa antikolinesterase yang mengkumulasikan asetilkolin
sehingga atropin digunakan sebagai antagonis kompetitif pada
reseptor kolinergik muskarinik.
- Nonkompetitif antagonis reseptor :
Kombinasi diazepam-bikukulin atau norepinefrin-
fenoksibenzamin adalah contoh dari nonkompetitif antagonis.
- Antagonis non-reseptor atau non-farmakologi :
Antagonis fisiologik, fisika dan kimia adalah berbagai jenis dari
antagonis tipe ini. Dua obat berinteraksi tidak pada tingkat
reseptor yang sama tetapi dengan mekanisme yang lain seperti
yang dijelaskan di bawah ini. Antagonis fisiologis : Ketika dua
obat menghasilkan efek berlawanan pada sistem atau jaringan
atau fungsi fisiologis yang sama. Hidroklorotiazida dan triamteren
walaupun tidak saling berkompetisi pada reseptor yang sama,
12

tetapi dengan mekanismenya masing-masing menghasilkan efek
yang berlawanan pada eksresi kalium urin. Sama halnya dengan
glucagon dan insulin memiliki efek yang berlawanan pada kadar
gula darah. Antagonis kimia : Dua obat berinteraksi satu sama
lain melalui reaksi kimia. Kalium permanganat digunakan pada
kasus keracunan alkaloid karena mengoksidasi alkaloid yang
tidak terserap di lambung.
Hal yang sama juga terjadi ketika tannin digunakan pada
kasus tersebut. Tanin menyebabkan reaksi kimia dan membentuk
tanat-alkaloid yang tidak larut sehingga mencegah absorpsi dari
alkaloid. Dimerkaprol membentuk khelat dengan logam berat
arsen dan berguna untuk keracunan arsen. Pada overdosis akut
besi, desferioksamin digunakan untuk mengkhelat besi. Nitrat
bereaksi secara kimia dengan radikal sianida untuk membentuk
methemoglobin, dan berguna untuk penanganan keracunan
sianida.
Walaupun terjadi di luar tubuh, antagonis antara heparin-
penisilin, heparin-tetrasiklin dan lainnya bisa disebut sebagai
antagonis kimia karena terjadi reaksi kimia antara dua obat
tersebut.
Antagonis fisika : Pada antagonis ini, terjadi fenomena
fisika atau reaksi fisika antara dua obat atau zat. Reaksi fisika
termasuk pengikatan atau adsorpsi. Adsorpsi alkaloid di lambung
oleh karbon aktif adalah contoh antagonis fisika sehingga karbon
aktif digunakan untuk cuci lambung ketika terjadi keracunan
alkaloid.

3. Interaksi Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Ada dua obat yang berinteraksi baik dengan mekanisme
farmakokinetika dan farmakodinamika. Aspirin menggantikan warfarin
dari ikatan protein plasma dan menaikkan kadar warfarin yang
13

meningkatkan efeknya, yang merupakan efek farmakokinetik. Sebagai
tambahan, efek antiplatelet dari aspirin dan efek antikoagulan dari
warfarin berpotensiasi satu sama lain pada tingkat farmakodinamika.

E. Interaksi Obat dengan Makanan
Pada umumnya, makanan menurunkan absorpsi sebagian besar obat.
Absorpsi dan bioavailabilitas dari obat tertentu sangat signifikan dipengaruhi
oleh makanan yang masuk, sebagai contoh rifampisin yang dianjurkan untuk
digunakan pada pagi hari dalam keadaan perut kosong. Tetrasiklin,
sulfonamida dan fluorokuinolon mengkhelat kalsium dalam susu dan produk
susu, yang menghasilkan tidak adanya penyerapan kalsium dan antibiotic. Sari
buah anggur menstimulasi transporter P-glikoprotein dan menurunkan efek
statin, antihipertensi dan antihistamin.
Terdapat juga beberapa makanan yang meningkatkan absorpsi obat.
Makanan dengan kandungan lemak tinggi meningkatkan absorpsi griseofulvin,
saquinavir, lovastatin dan spironolakton. Makanan yang asam, jus dan soda
mengubag absorpsi ketokonazol. Vitamin C di buah jeruk dan lemon, sari jeruk
dan cranberry meningkatkan absorpsi besi dengan memfasilitasi disolusi dan
perubahan dari bentuk fero ke feri.
Diantara jenis minuman, alkohol menyebabkan interaksi obat yang serius.
Alkohol ditemukan menurunkan sistem saraf pusat dan menyebabkan efek
adiktif dengan depresan sistem saraf pusat, termasuk hipno-sedatif seperti
benzodiazepine, non-benzodiazepin dan barbiturat, dan obat-obat antiepilepsi,
antihistamin klasik, ansiolitik, antidepresan dan opioid.

F. Interaksi Obat dengan Herbal
Beberapa interaksi potensial antara obat dan produk herbal dijelaskan di
bawah ini. Warfarin diketahui memiliki potensi interaksi dengan beberapa
tanaman obat yang menyebabkan peningkatan efek warfarin, termasuk Gingko
biloba, denshen (menghambat metabolism warfarin), bawang putih
(menghambat agregasi platelet) dan jahe (aktivitas antikoagulan). Ginkgo
14

menurunkan konsentrasi plasma omeprazol, ritonavir dan tolbutamida. Kasus
klinis mengindikasi interaksi ginkgo dengan antiepilepsi, aspirin, diuretic,
ibuprofen, risperidon, rofecoxib, trazodon dan warfarin. Efek warfarin
menurun dengan adanya teh hijau (mengandung vitamin K dan memiliki efek
yang berlawanan, St. Johns wort (meningkatkan metabolisme warfarin).
Bawang putih mentah atau yang telah diolah jika dikonsumsi dalam jumlah
banyak dapat menurunkan efek dari inhibitor protease. Bawang putih juga
berinteraksi dengan klorpropamida, fluindion dan warfarin.
Interaksi antara obat herbal dan obat yang diresepkan bisa terjadi dan bisa
menimbulkan konsekuensi klinis yang serius. Terdapat interaksi teoritis yang
didapat dari data praklinik. Baik mekanisme farmakokinetik dan
farmakodinamika diperkirakan berperan dalam interaksi ini. Kepentingan klinis
dari interaksi obat-herbal ini bergantung pada banyak faktor yang berhubungan
dengan herbal yang digunakan, obat dan pasien. Tanaman herbal seharusnya
diberi label yang sesuai untuk mengingatkan pasien terhadap potensi interaksi
ketika digunakan bersama dengan obat, dan sebaiknya dianjurkan untuk
konsultasi dengan dokter atau apoteker sebelum menggunakan.

G. Interaksi Obat di luar tubuh
Obat-obat tertentu bereaksi satu sama lain dan mengalami inaktivasi jika
dicampurkan dalam alat suntik atau dalam cairan infus. Sehingga efek obat bisa
hilang bahkan sebelum diberikan. Fenitoin mengendap dalam larutan dekstrosa
5%. Aminoglikosida seperti gentamisin, makrolida (seperti eritromisin),
tetrasiklin dan kloramfenikol inkompatibel secara fisika dan kimia dengan
sebagian besar antibiotik beta laktam (penisilin dan sefalosporin) dan
menghasilkan hilangnya aktivitas antibiotik dimana biasanya komponen -
laktam menginaktivasi struktur lainnya.
Heparin tidak boleh dicampur dalam alat suntik dengan hidrokortison,
penisilin atau aminoglikosda. Hidrokortison bisa menginaktivasi penisilin dan
aminoglikosda. Norepinefrin tidak boleh dicampur dengan natrium bikarbonat.
15

Tiopental bisa mengendap dengan suksinilkolin, pankuronium, atrakurium,
ketamin atau morfin ketika dicampur dalam alat suntik.

H. Interaksi Obat yang dikehendaki secara Klinis
Interaksi obat yang dihendaki adalah efek obat yang menguntungkan yang
meningkat atau efek obat merugikan yang dihilangkan oleh penggunaan
bersama-sama obat lain. Interaksi obat ini dengan sengaja digunakan untuk
memperoleh efek menguntungkan dalam praktek klinis [36].
Kombinasi seperti sulfametoksazol-trimetoprim atau sulfadoksin-
pirimetamin adalah contoh klasik dari interaksi obat yang dikehendaki secara
klinis. Penisilin atau sefalosporin digunakan bersama aminoglikosida
menyediakan kentungan dari dua obat yang mekanisme aksinya berbeda.
Kombinasi ini menghasilkan spectrum aktivitas yang lebih luas dibandingkan
dengan pemberian satu komponen saja.

I. Interaksi Obat yang Berbahaya
Beberapa interaksi obat yang tidak diinginkan bisa saja menjadi serius
dan/ atau fatal. Efek warfarin yang berlebihan bisa memicu perdarahan dengan
penggunaan bersama siprofloksasin, klaritromisin, metronidazol,
kotrimoksazol, lovastatin, asetaminofen dan AINS termasuk aspirin.
Peningkatan kadar memicu toksisitas serius dari pengobatan antiepilepsi
(karbamazepin, fenitoin, fenobarbiton) diketahui disebabkan oleh penggunaan
bersama dengan simetidin, eritromisin, klaritromisin dan flukonazol,
sedangkan rifampin diketahun secara signifikan menurunkan efek dari
antiepilepsi. Penggunaan bersamaan AINS atau diuretik memicu peningkatan
yang signifikan kadar litium dan toksisitasnya.

J. Interaksi Obat yang Signifikan secara Klinis
Tidak semua interaksi obat signifikan secara klinis. Signifikansi dari
interaksi obat bisa dari rentang teoritis dan tidak berefek hingga
membahayakan jiwa. Interaksi disebut signifikan ketika terjadi antara dua atau
16

lebih zat yang diberikan bersama dan menghasilkan kebutuhan untuk
penyesuaian dosis salah satu zat atau intevensi medis lainnya.
Prevalensi interaksi obat yang signifikan secara klinis antara 2 % hingga
16 %. Pemberian bersama-sama obat yang kurang hati-hati dari pasangan obat
sinergis atau antagonis bisa memicu efek yang tidak diinginkan. Beberapa jenis
obat yang umumnya menimbulkan interaksi obat yang signifikan secara klinis
antara lain depresan SSP, antikoagulan oral, antidiabetes, glikosida jantung,
antihipertensi, antihistamin non-sedatif, benzodiazepine, antiepilepsi,
imunosupresan dan pengobatan sitotoksik. Pasien yang sakit parah, memiliki
penyakit kronis dan lanjut usia memiliki resiko terkena interaksi obat ini.
Pemberian kombinasi obat diketahui berpotensi menimbulkan interaksi obat
pada manusia bisa saja tidak menghasilkan interaksi obat pada semua pasien.

K. Manajemen Klinis Interaksi Obat
Setelah menilai tingkat dokumentasi di literatur dan tingkat signifikansi
interaksi, pertimbangan harus diberikan pada onset dan offset kejadian,
mekanismenya, perubahan pada hasil, anjuran manajemen dan diskusi pada
literature yang tersedia berkaitan dengan interaksi tersebut. Ketika seorang
pasien telah diidentifikasi beresiko mengalami interaksi obat yang relevan
secara klinis, langkah-langkah harus diambil untuk mencegah atau
meminimalkan kejadian yang potensial ini. Jika memungkinkan kombinasi
tersebut dihindari atau salah satu atau lebih obat dihentikan. Pengobatan
mungkin bisa diganti dengan pengobatan yang tidak berinteraksi yang ekivalen
secara terapeutik, dosis mungkin bisa disesuaikan, kekuatan dosis atau interval
dimodifikasi, atau rute pemberian diubah.
Penting untuk tidak bereaksi berlebihan terhadap interaksi yang potensial.
Tindakan seperti tidak melanjutkan obat yang penting pada pasien, peningkatan
atau penurunan dosis yang tidak perlu, meningkatkan kunjungan monitoring
yang tidak perlu, atau pengukuran konsentrasi obat tidak perlu dilakukan. 5
kelas sistem kategorisasi untuk manajemen interaksi obat direkomendasikan
dan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
17

Tabel 1. Sistem Kategori Manajemen Interaksi Obat
Kelas 1 Hindari pemberian kombinasi obat. Resiko efek yang tidak
diinginkan pada pasien. Hindari pemberian obat bersamaan
Kelas 2 Kombinasi dihindari kecuali manfaat pemberian kombinasi obat
lebih besar daripada resikonya pada pasien. Jika perlu gunakan obat
alternative yang tidak berinteraksi. Pasien harus dimonitor secara
ketat jika kombinasi obat diberikan
Kelas 3 Beberapa pilihan penatalaksanaan tersedia : gunakan obat alterantif,
mengubah regimen obat (dosis, interval) atau rute pemberian untuk
meminimalkan interaksi, atau monitor pasien jika kombinasi obat
diberikan
Kelas 4 Potensi kerusakan/bahaya rendah dan tidak ada aksi spesifik yang
diperlukan selain berhati-hati terhadap kemungkinan interaksi oat
Kelas 5 Bukti-bukti yang ada menunjukkan tidak ada interaksi











18

BAB III
PEMBAHASAN

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat
akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan sehingga
keefektifan atau toksisitas satu obat meningkat atau berubah. Selain interaksi obat
dengan obat, interaksi obat dengan makanan, asap rokok, etanol, bahan-bahan
kimia lingkungan dan produk herbal juga dapat terjadi dan mempengaruhi efek
dari obat. Ketika kombinasi terapeutik mengakibatkan perubahan yang tidak
diinginkan atau komplikasi terhadap kondisi pasien, maka interaksi tersebut
digambarkan sebagai interaksi yang bermakna klinis.
Interaksi obat kini menjadi perhatian di dunia klinis karena banyak kasus
yang terjadi, ADR yang tinggi, dan untuk menjaga keamanan pasien dalam
pengobatan maka banyak sekali penelitian mengenai interaksi obat. Dari beberapa
penelitian yang dilakukan di beberapa negara diketahui banyak kombinasi obat
yang digunakan menyebabkan interaksi obat baik yang efeknya parah, sedang
maupun minor. Tabel di bawah ini mengambil contoh 10 (sepuluh) kombinasi
obat yang secara klinis menyebabkan efek yang parah dan membahayakan bagi
pasien yang menggunakan kombinasi obat tersebut berdasarkan hasil penelitian di
beberapa negara.









19

Tabel 2. Contoh Kombinasi Obat yang Berinteraksi dan Menyebabkan Efek/Kejadian Klinis
No. Obat Objek Obat
Presipitan
Mekanisme
Interaksi
Efek yang ditimbulkan Penanganan
1. Isoniazida Rifampisin Rifampisin mengubah
metabolisme isoniazida,
menghasilkan senyawa hidrazin
yang menyebabkan hepatotoksik
Kerusakan hati/
Hepatotoksik
Diberikan peringatan untuk pasien
dengan fungsi hati yang rusak,
lanjut usia, anak di bawah 2
tahun, pasien malnutrisi.
Anjuran untuk pemeriksaan fungsi
hati setiap bulan

2. Enoxaparin Diklofenak Efek adisi antikoagulan dari
enoxaparin
Perdarahan Kombinasi sebaiknya dihindari.
Jika harus menggunakannya,
harus diperhitungkan apakah
penggunaannya mempunyai
manfaat yang lebih besar atau
tidak.
3. Warfarin Heparin Heparin dapat memperpanjang
waktu tahap satu protrombin,
sehingga meningkatkan resiko
Perdarahan Gunakan heparin dan warfarin
bersamaan untuk memastikan
proses antikoagulasi terjadi
20

perdarahan sampai warfarin menjadi waktu
tunak (steady-state), hentikan
penggunaan heparin ketika INR
sudah stabil
4. Kotrimoksazol Pirimetamin Pirimetamin dan trimetoprim
keduanya antagonis folat dan
secara selektif menghambat
enzim dihidrofilat reduktase,
yang memicu sintesis dari asam
nukleat yang diperlukan untuk
produksi sel-sel baru. Hal ini
menyebabkan defisiensi folat
dan akhirnya menyebabkan
anemia megaloblastik
Pansitopenia dan
anemia megaloblastik
Kombinasi sebaiknya dihindari.
Jika harus menggunakan
kombinasi ini, pasien diberikan
suplemen folat seperti kalsium
folinat.
5. Verapamil Simvastatin Verapamil menghambat
isoenzim CYP450 yaitu
CYP3A4 yang berperan dalam
metabolism simvastatin
sehingga kadar simvastatin
Toksisitas simvastatin
(Meningkatkan resiko
myopathy atau
Rhabdomyolisis)
Turunkan dosis simvastatin
hingga dosis terendah (20 mg)

21

meningkat dan beresiko terjadi
myopathy.
6. Digoxin Spironolakton Spironolakton menghambat
ekskresi digoksin di ginjal
sehingga spironolakton
meningkatkan kadar digoxin
sebesar 25 %
Toksisitas digoxin
(nausea, muntah,
aritmia jantung)
Jika penggunaan digoksin pada
dosis tertinggi harus dilakukan
monitoring pada pasien
7. Aspirin Verapamil Verapamil menghambat agregasi
platelet, karena verapamil (CCB)
mengganggu perpindahan ion
kalsium melalui membrane sel
yang dapat mempengaruhi
fungsi platelet. Efek aditif terjadi
ketika dikombinasi dengan
antiplatelet seperti aspirin.
Resiko perdarahan dan
terjadi memar abnormal
(satu kasus)
Gunakan aspirin dengan dosis
minimum ketika dikombinasi
dengan verapamil

8. Fluvastatin Siklosporin Kompetisi pada isoenzim
CYP3A4 sitokrom 450 yang
berperan dalam metabolism
fluvastatin. Siklosporin
Toksisitas statin
(Rhabdomyolisis,
myopathy)
Kombinasi tidak dihindari tetapi
gunakan statin tidak lebih dari 10
mg.
Jika terjadi myopathy, hentikan
22

mengganggu metabolism
fluvastatin dan meningkatkan
kadar fluvastatin dalam darah
penggunaan statin.
9. Lamotrigin Asam valproat Asam valproat menurunkan
glukuronidaasi lamotrigin
dengan inhibisi kompetitif
sehingga menurunkan klirens
lamotrigin.
Interaksi farmakodinamik
menyebabkan tremor
Ruam dan reaksi kulit
serius termasuk
sindrom Stevens-
Johnson.

Tremor
Ketika digunakan bersama
valproat, dosis lamotrigin
diturunkan hingga setengah untuk
mencegah toksisitas lamotrigin
10. Simvastatin Itrakonazol Itrakonazol menghambat
isoenzim CYP3A4 yang
memetabolisme simvastatin
sehingga kadar simvastatin
dalam darah meningkat dan
dapat terjadi toksisitas
simvastatin
Toksisitas statin
(rhabdomyolisis)
Kombinasi harus dihindari.


23

Ketika menggunakan obat-obatan, hasil yang beragam bisa muncul,
kebanyakan adalah hasil yang menguntungkan bagi pasien namun, efek yang tidak
diinginkan, mulai dari efek samping minor hingga kematian bisa terhadi. Salah
satu dari konsekuensi penggunaan beberapa obat adalah resiko dimana salah satu
obat mempengaruhi aktivitas, ketersediaan atau efek dari obat yang lain.
Pada penelitian yang dilakukan di rumah sakit Universitas Gondar di
Etiopia tahun 2013 ditemukan 413 interaksi obat yang potensial, sebagian besar
masuk kategori sedang (61,2 %) dan kategori serius sebanyak12,8 %. Kombinasi
Rifampisin-Isoniazida dan Warfarin-Heparin serta Kotrimoksazol-Pirimetamin
adalah contoh kombinasi obat yang menyebabkan adverse effect yang serius.
Penggunaan Rifampisin dan Isoniazida bersamaan bisa menyebabkan kerusakan
hati, sedangkan kombinasi warfarin dan heparin bisa meningkatkan resiko
perdarahan pasien. Penggunaan bersama Kotrimoksazol dan Pirimetamin dapat
menyebabkan anemia megaloblastik.
Populasi khusus seperti pasien lanjut usia juga beresiko mengalami
interaksi obat yang signifikan secara klinis. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Porto Alegre di Brazil tentang interaksi obat yang potensial pada
lanjut usia tahun 2013, ditemukan mayoritas menggunakan satu sampai tiga obat
yang berpotensi menyebabkan interaksi obat, juga ditemukan 591 interaksi obat
yang sebagian besar menyebabkan adverse effect sedang pada pasien. Kombinasi
Verapamil-Simvastatin, Aspirin-Verapamil, dan Digoksin-Spironolakton
merupakan beberapa contoh penggunaan kombinasi obat yang berinteraksi dan
berdampak klinis pada pasien. Penggunaan bersama Verapamil dan Simvastatin
dapat menyebabkan kadar Simvastatin meningkat sehingga terjadi toksisitas statin
seperti miopati atau rhabdomiolisis. Kombinasi Aspirin-Verapamil dapat
meningkatkan resiko perdarahan, sedangkan penggunaan digoksin bersama
diuretika Spironolakton menyebabkan toksisitas digoksin.
Hasil studi observasi retrospektif yang dilakukan di Kroasia tahun 2005
sampai 2008 menemukan 94 kasus adverse effect yang disebabkan karena
interaksi obat. Kombinasi fluvastatin-siklosporin dan asam valproat-lamotrigin
merupakan dua contoh interaksi obat yang ditemukan menyebabkan adverse
24

effect pada pasien. Fluvastatin yang diberikan bersama siklosporin menyebabkan
keracunan statin yaitu myopati atau rhabdomyolisis. Penggunaan asam valproat
bersama lamotrigin dalam pengobatan epilepsi dapat menyebabkan ruam dan
reaksi kulit serius.
Salah satu penyebab terjadinya interaksi obat adalah polifarmasi.
Polifarmasi yang menyebabkan interaksi obat tentunya perlu mendapat perhatian
bagi keamanan pasien yang menerima pengobatan dengan beberapa obat. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sharifi (2013) di Iran melaporkan kombinasi
enoxaparin dan diklofenak yang lazim digunakan menyebabkan perdarahan akibat
adisi efek antikoagulan dari enoxaparin.
Resep dari dokter yang umumnya mengandung lebih dari satu obat juga
berpotensi menyebabkan interaksi obat yang dapat membahayakan pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh Tragni,et al. tahun 2013 di Italia tentang peresepan
obat yang berpotensi menyebabkan interaksi obat menemukan 27 pasangan
kombinasi obat yang sering diresepkan oleh dokter dan dapat menyebabkan
interaksi obat. Pemilihan ini didasarkan pada interaksi yang kontraindikasi atau
mayor atau sedang yang relevan secara klinis serta penggunaannya tinggi. Salah
satu contoh kombinasi obat yang sering diresepkan adalah simvastatin dengan
itrakonazol yang diketahui dapat menyebabkan toksisitas statin (rhabdomyolisis
atau myopati).
Farmasis bersama dokter yang meresepkan obat memiliki tugas untuk
memastikan pasien mengetahui dan berhati-hati terhadap resiko efek samping
yang bisa terjadi. Farmasis memiliki pengetahuan yang detail tentang obat dan
kemampuan untuk menghubungkan gejala yang tidak dikehendaki yang dialami
oleh pasien yang mungkin merupakan efek yang tidak diinginkan pada
pengobatan. Praktek farmasi klinis juga memastikan bahwa efek obat yang tidak
diinginkan diminimalkan dengan menghindari obat-obat yang berpotensi
menyebabkan efek samping pada pasien yang rentan. Oleh karena itu farmasis
memiliki peran yang penting dalam hubungannya dengan pencegahan, deteksi dan
pelaporan efek obat yang tidak diinginkan.

25

Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh farmasis dalam penatalaksaan interaksi
obat untuk menghindari interaksi obat, termasuk :
- Menghindari kombinasi seluruhnya
Beberapa interaksi obat, resikonya lebih besar dibandingkan manfaatnya
sehingga kombinasi tersebut harus dihindari. Biasanya dipilih obat
alternatif yang tidak berinteraksi baik untuk obat objek atau obat presipitan
- Menyesuaikan dosis dari obat objek
Kadang-kadang dua obat yang berinteraksi bisa diberikan asalkan dosis
obat objek disesuaikan
- Memberi jarak waktu pemberian obat untuk menghindari interaksi obat
Pada beberapa obat interaksi terjadi karena adanya ikatan di saluran
gastrointestinal. Untuk menghindari interaksi, obat objek diberikan 2 jam
sebelum atau 4 jam setelah obat presipitan. Dengan cara ini, obat objek
bisa diserap ke dalam sirkulasi sebelum obat presipitan masuk.
- Monitoring untuk deteksi dini
Pada beberapa kasus yang mengharuskan kombinasi obat yang
berinteraksi diberikan, interaksi bisa diatasi melalui monitoring
laboratorium atau klinis yang ketat untuk melihat adanya bukti interaksi.
Dengan demikian bisa dilakukan perubahan dosis yang sesuai, atau
pemberian obat dihentikan jika perlu
- Memberikan informasi tentang faktor resiko pasien yang meningkatkan
resiko outcome/luaran yang tidak diinginkan
- Memperbaiki sistem skrining interaksi obat yang terkomputerisasi

Selain itu, untuk mencegah atau mengurangi terjadinya interaksi obat yang
tidak dikehendaki dan mungkin dapat bersifat fatal, beberapa hal berikut dapat
dipertimbangkan :
1. Usahakan memberikan jumlah obat sesedikit mungkin pada tiap-tiap
penderita, termasuk pemberian obat-obat OTC, dan obat-obat herbal.
26

2. Dalam memberikan obat, perhatian terutama pada pasien usia lanjut,
pasien dengan penyakit sangat berat, pasien dengan adanya disfungsi hati
atau ginjal.
3. Sangat berhati-hati jika menggunakan obat-obat dengan batas keamanan
sempit (antikoagulan, digitalis, antidiabetik, antiaritmia, antikonvulsan,
antipsikotik, antidepresan, imunosupresan, sitostatika), dan obat-obat
inhibitor kuat CYP (ketokonazol, itrakonazol, eritromisin, klaritromisin).



















27

BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat atau farmakokinetikanya
oleh adanya obat lain yang dapat menyebabkan efek/kejadian klinis
2. Interaksi obat bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor yang
berkaitan dengan pasien seperti usia, faktor genetik dan jenis kelamin serta
penyakit dan faktor yang berhubungan dengan obat seperti sifat kinetika dan
dinamika obat. Faktor usia dan penyakit merupakan faktor yang penting
untuk diperhatikan dalam usaha pencegahan interaksi obat.
3. Interaksi obat merupakan kejadian yang dapat dicegah. Untuk interaksi obat
yang berpotensi menyebabkan kejadian klinis atau signifikan secara klinis
diperlukan penatalaksanaan interaksi obat untuk menghindari dan mencegah
kejadian klinis yang membahayakan pasien.
















28

DAFTAR PUSTAKA

Ansari,J. 2011. Drug Interaction and Pharmacist. Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2964764/ pada tanggal 17
September 2014.
Baxter,K. 2010. Stockleys Drug Interaction 9
th
edition. Pharmaceutical Press.
London.
Muthalik,M. Sanghavi,D. 2014. Review of Drug Interaction : A Comprehensive
Update. Diakses dari
http://www.sciencedomain.org/download.php?f=Mutalik482013BJPR853
1_1.pdf&aid=3944 pada tanggal 30 September 2014
Nidhi,S. 2012. Concept of Drug Interaction. Diakses dari
http://www.plosone.org/article/fetchObject.action?uri=info%3Adoi%2F10
.1371%2Fjournal.pone.0047062&representation=PDF pada tanggal 18
September 2014
Roughead,E. 2010. Prevalence of potentially hazardous drug interactions amongst
Australian veterans. Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2911555/pdf/bcp0070-
0252.pdf pada tanggal 30 September 2014
Sharifi,H. Hasanloei,M.,Mahmoudi,J. 2013. Polypharmacy-induced Drug-drug
interactions; Threat to Patient Safety. Diakses dari https://www.thieme-
connect.com/products/ejournals/pdf/10.1055/s-0033-1363965.pdf pada
tanggal 17 September 2014
Skvrce,N. dkk. 2011. Adverse drug reactions caused by drug-drug interactions
reported to Croatian Agency for Medicinal Products and Medical devices
: a retrospective observational study. Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3195969/pdf/CroatMedJ_5
2_0604.pdf pada tanggal 26 September 2014
Snyder,B. Polasek,T. Doogue,M. 2012. Drug Interactions : Principles and
practice. Diakses dari
http://www.australianprescriber.com/magazine/35/3/article/1290.pdf pada
tanggal 21 September 2014
Srikanth,A dkk. 2014. Prevalence of potential drug-drug interactions among
internal medicine ward in University of Gondar Teaching Hospital
Ethiopia. Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4025339/pdf/apjtb-04-s1-
s204.pdf pada tanggal 27 September 2014
Syamsudin. 2011. Interaksi Obat : Konsep Dasar dan Klinis. Universitas
Indonesia-Press. Jakarta.
Tragni,E.dkk. 2013. Prevalence of the Prescription of Potentially Interacting
Drugs. Diakses dari
http://www.plosone.org/article/fetchObject.action?uri=info%3Adoi%2F10
.1371%2Fjournal.pone.0078827&representation=PDF pada tanggal 18
September 2014
29

Venturini,C.dkk. 2011. Gender differences, polypharmacy, and potential
pharmacological interactions in the elderly. Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3203957/pdf/cln-66-11-
1867.pdf pada tanggal 27 September 2014

Anda mungkin juga menyukai