0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
989 tayangan5 halaman
Deskripsi:
Pengaruh istilah-istilah maxis seperti ideology dianggap penting yang menjadi pendahulu terhadap adanya teori hegemoni Gramsci karena hegemoni kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari ideology yang dianut atau ideology yang dominan dalam suatu masyarakat pada suatu waktu.
Pengaruh istilah-istilah maxis seperti ideology dianggap penting yang menjadi pendahulu terhadap adanya teori hegemoni Gramsci karena hegemoni kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari ideology yang dianut atau ideology yang dominan dalam suatu masyarakat pada suatu waktu.
Pengaruh istilah-istilah maxis seperti ideology dianggap penting yang menjadi pendahulu terhadap adanya teori hegemoni Gramsci karena hegemoni kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari ideology yang dianut atau ideology yang dominan dalam suatu masyarakat pada suatu waktu.
Dua bab ini (bab 10-11) ditulis untuk memperkenalkan Antoni Gramsci dan Louis Althusser, dua pemikir marxis penting dalam cultural studies. Mereka melakukan pembaharuan pemikiran tentang bagaimana ideology dipahami dalam analisis kultural. Pengaruh istilah-istilah maxis seperti ideology dianggap penting yang menjadi pendahulu terhadap adanya teori hegemoni Gramsci karena hegemoni kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari ideology yang dianut atau ideology yang dominan dalam suatu masyarakat pada suatu waktu. Penting dalam pembahasan ini adalah analisis tentang bagaimana teori hegemoni Gramsci ini dipraktikkan (bukan hanya sebagai teori tetapi juga sebagai praksis). Terutama pertanyaan penting dalam praktik ini adalah pertanyaan tentang bagaimana teori hegemoni ini dapat diadaptasikan untuk analysis budaya popular. Teori Gramsci ini menjadi sumber ide bagi analisis mekanisme pembentukan kekuasaan. Menurut Gramsci kekuasaan itu dapat dibentuk melalu aliansi, negosiasi, dan kesepakatan. Tiga hal ini menjadi instrument tentang bagaimana kekuasaan itu dapat dipraktikkan dan diuji dalam berbagai interaksi dan transaksi. Dalam tulisan ini juga ditunjukkan banyak pemikir, seperti Raymond Williams, mulai berpaling dan memilih teori Gramsci ini untuk menjelaskan fenomena kultural. Hal ini memperlihatkan bagaimana ide Gramsci tentang kekuasaan ini dapat diterapkan dalam interpretasi politik kontemporer dan bias diadaptasikan untuk analisis kebudayaan popular, Teori hegemoni Gramsci ini melihat kebudayaan sebagai lapangan pergulatan di 2 mana makna-makna atas kekuasaan dan tujuan-tujuan kekuasaan dicapai melalui suatu pergulatan melalui negosiasi dan kontestasi yang dinamis. Di sinilah ideology menjadi penentu karena suatu ideology menjadi sumber dari legitimasi atas suatu bentuk hubungan kekuasaan. Kelas dominan tidak hanya mensubordinasikan kelompok social, politik, dan ekonomi yang tidak berkuasa, tetapi juga mempengaruhi bagaimana mereka memahami dunia yang mereka geluti sehari-hari. Kelompok proletar dibutuhkan karena sifat inferior mereka guna melestarikan gaya hidup kelas yang berkuasa. Hubungan kekuasaan yang timpang ini dipelihara melalui ideology yang dapat diterima oleh kaum proletar dan yang memberi pemahaman bahwa hubungan antara penguasa dengan yang dikuasai sebagai hubungan yang wajar. Pelestarian hubungan subordinatif ini perlu disyahkan pada tataran ide dan keyakinan yang membentuk apa yang disebut sebagai kesadaran palsu (kesadaran yang salah). Kesadaran ini terjadi ketika kelompok proletar melihat dunia dar kacamata yang memerintah. Dengan demikian berarti bahwa hukum dan nilai, termasuk cara mereka mengatur uang, pemerintahan, orang dan sumberdaya, yang diasimilasikan dan dipahami secara salah itu sebagai prasyarat bagi kebaikan semua pihak. Walaupun Thompson melihat hubungan semacam ini antara yang penguasa dengan kaum proletar sebagai dasar lahirnya berbagai konflik, struktur yang hegemonic menjamin keberlanjutan dari hubungan dominative dan subordinatif. Sebagaimana dikatan Gramsci bahwa dominasi tidak hanya dipraktikkan secara terbuka dalam berbagai bentuk kekerasan sebagaimana yang dilakukan Negara melalui aparatur Negara dan symbol-simbol Negara, tetapi melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Ini merupakan mekanisme yang berbahaya dalam praktik kekuasaan yang menyebabkan struktur (relasi) kekuasaan bersifat langgeng. Teori Gramsci ini menjadi jelas daam dialog dengan seorang dokter di mana Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni itu jauh lebih halus dari cara-cara vulgar kekuasaan yang dipraktikkan atau ditegakkan dengan kekerasan dan paksaan institusional seperti penjara dan rumah sakit, tetapi melalui berbagai strategi untuk mencapai suatu tingkat moralitas dan intelektualitas yang dapat melanggengkan hubungan kekuasaan. Tindakan-tindakan pemimpin atau 3 penguasa kemudian dianggap sebagai suatu kewajaran yang perlu atas hubungan kedua belah pihak walaupun itu tidak sebanding dan adil. Berbagai bentuk ekspresi kebudayaan yang berlangsung menjadi ruang atau lapangan pergulatan dalam penciptaan hubungan kekuasaan yang hegemonic (lihat Gambar betrikut)
Dengan demikian, mengikuti Gramsci, bahwa hegemoni itu bukan sekadar soal bagaimana kekuatan digunakan dalam berbagai transaksi, tetapi lebih merupakan bagaimana penguasa menciptakan nilai-nilai moral dalam mendidik pihak yang dikuasai dan masyarakat bahwa suatu bentuk dan praktik kekuasaan merupakan suatu yang niscaya. Dengan demikian, cultural studies tidak dapat dilepasan dari politik, menyangkut bagaimana suatu praktik social hadir dalam suatu kerangka politik yang secara sadar dibangun untuk suatu kepentingan tertentu. Lebih jelas lagi suatu praktik kekuasaan lebih merupakan suatu usaha menjamin bahwa praktik yang timpang itu sebagai sebuah keharusan yang tidak dapat ditolak. Dalam konteks semacam inilah lahir konsep budaya popular yang memperlihatkan bagaimana struktur kelas mempengaruhi ekspresi-ekspresi kebudayaan. Kebudayaan menjadi ruang pertempuran yang menentukan suatu kemenangan atau kekalahan yang didasarkan pada nilai-nilai, yang tentu saja dibangun dalam suatu kerangka relasi kuasa. 4 Demikian juga Althusser yang dapat diadaptasikan dalam studi kebudayaan popular. Ide-ide Althusser sebagaimana juga Gramsci dapat diadaptasikan dalam mengkaji kebudayaan, khususnya menyangkut konstruksi teks yang memiliki persoalan yang disebut silence dan gap. Althusser mengemukakan konsep penting yang disebutnya pembacaan problematic dan simptomatik yang memperlihatkan bagaimana suatu kritik dalam pembacaan itu tertuju pada gap dan silence dari berbagai ekspresi budaya. Tujuan dari pembacaan ini tidak lain untuk menemukan batas-batas teoretis dan ideologis. Kritik di sini tidak hanya memiliki kemampuan membaca ganda yang memungkinkan suatu ekspresi kebudayaan dipahami dengan baik, tetapi juga mampu diperlihatkan bagaimana sejarah dapat diungkapkan. Sejarah dalam hal ini merupakan pernyataan tentang adanya ideology yang berlaku, seperti ideology kolonialisme, globalisme, seksisme, dll. Konsep Althusser tentang interpelasi juga memperlihatkan suatu strategi dalam realitas secara lebih tajam. Sebagaimana dikatakannya bahwa seorang individu meskipun dia sebagai orang bebas tetap saja harus dilihat sebagai produk system social. Keberadaan indvidu tidak bebas tetapi dia ada atas suatu ideology yang melatarbelakangi, baik dalam keluarga maupun dalam komunitas. Sama halnya dengan penonton dalam suatu produk budaya, kehadirannya tidak dapat dilepaskan dari bagaimana produk-produk budaya itu memposisikannya, termasuk hukum dan norma yang mengatur individu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Althusser menempatkan berbagai ekspresi kebudayaan dalam berbagai bentuknya sebagai symptom yang perlu dianalisis dan diinterpretasikan tentang bagaimana ekspresi kebudayaan itu terstruktur secara ideologis. Dengan kata lain, kehadiran suatu bentuk kebudayaan dengan berbagai unsurnya tidak terbebas dari berbagai kepentingan yang ada di belakangnya. Demikian pula halnya dalam suatu pembacaan haruslah bersifak kritis untuk tidak hanya melihat pada permukaan dari suatu kejadian atau pertunjukkan, tetapi harus ditemukan struktur-struktur ideologis yang tersembunyi. Di balik suatu bentuk atau unsur kebudayaan selalu ada sesuatu yang menjadi reason atau motif dari keberadaannya itu. 5 Dalam suatu ekspresi juga terdapat persoalan yang penting ditemukan secara seksama. Istilah problematic yang digunakan menunjuk pada keterbatasan teoretis dan ideologis yang tersembunyi dan hal ini dapat ditemukan pada kontradiksi-kontradiksi yang muncul dalam berbagai bentuk ekspresi. Demikian juga istilah interpelasi yang digunakan Althusser memungkinkan kita melihat lebih tajam bahwa individu merupakan konsekuensi dari adanya suatu system politik, ekonomi dan budaya yang semua itu hadir dalam suatu kerangka ideologis.